Anda di halaman 1dari 31

IKLIM DAN BUDAYA PROFESIONAL

DALAM ORGANISASI LEMBAGA PENDIDIKAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan


Organisasi Lembaga Pendidikan pada Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Jaja Jahari, M. Pd

Disusun oleh :
Cecep Sopyan (2190060015)

PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2020 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT. Shalawat serta
salam semoga tetap dicurahkan kepada junjungan baginda alam Muhamad SAW
karena rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah


Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan. Makalah ini membahas tentang
Iklim dan Budaya Lembaga Organisasi Pendidikan yang didalamnya menjelaskan
tentang Hakikat Iklim dan Budaya Profesional, Konsep Dasar Iklim Organisasi
Pendidikan, Budaya Organisasi Pendidikan dan Penerapan Konsep Budaya
Organisasi di Sekolah. Kami sadar bahwasannya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin.

Bandung, Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Iklim dan Budaya Profesional.........................................2


B. Konsep Dasar Iklim Organisasi.....................................................5
C. Budaya Organisasi Pendidikan......................................................6
D. Budaya Profesional Pendidikan....................................................11
E. Penerapan Konsep Budaya Organisasi di Sekolah.......................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................15
B. Saran..............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan
pemeliharaan iklim dan budaya yang kondusif untuk belajar. 1 Iklim dan Budaya
sekolah yang kondusif ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman,
nyaman dan tertib sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Iklim
dan budaya sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa senang dan
bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasa dihargai, serta agar orang
tua dan masyarakat merasa diterima dan dilibatkan. 2 Hal ini dapat terjadi melalui
penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang
harmonis yang didasari oleh sikap saling menghormati. Selain itu, iklim budaya
sekolah yang kondusif mendorong setiap warga sekolah untuk bertindak dan
melakukan sesuatu yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.
Iklim dan budaya sekolah juga berkaitan dengan pemupukan harapan untuk
berprestasi pada semua warga sekolah. Penelitian White dan Wals
mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi
untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan
penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi. Menurut
Mortimore, harapan yang tinggi yang ditransmisikan kedalam kelas berperan
dalam meningkatkan ekspektasi siswa terutama keinginan untuk meningkatkan
prestasi akademik mereka.3 Murphy, seperti dikutip oleh Wayson, dkk.
mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga
perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: ”Keyakinan bahwa
semua siswa dapat belajar, tanggung jawab yang tinggi bagi pembelajaran siswa,

1
Raimond WY., Entrepreneurship (New York: Prentice Hall, 1995).
2
Townsend, dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan.Kepala Sekolah (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012).
3
Mortimore, dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan..., 2012
harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, persyaratan promosi
dan penjenjangan, dan pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan”.4
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Salah satu dari hal tersebut adalah membangun budaya sekolah dengan baik.
Budaya sekolah merupakan kultur organisasi dalam konteks persekolahan.
Menurut Uyoh Sadulloh, definisi budaya sekolah belum diperoleh kesatuan
pandangan. Terminologi budaya sekolah masih disamakan dengan “Iklim atau
Ethos”. Konsep budaya sekolah masuk ke dalam pendidikan itu pada dasarnya
sebagai upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi lingkungan pembelajaran,
lingkungan dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal yaitu : (1) lingkungan
yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, (2) lingkungan
artificial yang diciptakan oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat iklim dan budaya profesional ?
2. Bagaimana Konsep Dasar Iklim Orgaanisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana Budaya Organisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana Profesional Pendidikan ?
5. Bagaimana Penerapan Konsep Budaya Organisasi di Sekolah ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Hakikat Iklim dan Budaya Profesioal.

2. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Iklim Orgaanisasi Pendidikan.

3. Untuk Mengetahui Budaya Organisasi Pendidikan.

4. Untuk Mengetahui Profesional Pendidikan .

5. Untuk Mengetahui Penerapan Konsep Budaya Organisasi di Sekolah.

4
Wayson, dkk., dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan..., 2012.

4
BAB II
PEMBAHASA
N

A. HAKIKAT IKLIM DAN BUDAYA PROFESIONAL


1. Pengertian Iklim
Hakikat Iklim, dimensi iklim kerja menurut Litwin dan Stringer yang
dikutip oleh Holbeche adalah sebagai berikut :

a) Tanggung jawab, karyawan diberi kebebasan untuk melaksanakan tugas


dan menyelesaikannya, diberi motivasi yang lebih untuk melaksanakan
tugas tanpa harus selalu mencari persetujuan manajer, diberi keberanian
me-nanggung resiko dari pekerjaan tanpa rasa takut dimarahi.
b) Fleksibilitas, karyawan diberi kebebasan untuk lebih inovatif.
c) Standar, diperlukan untuk mencapai hasil yang memuaskan ditandai
dengan adanya dorongan untuk maju.
d) Komitmen tim, orang akan memberikan apa yang terbaik yang mereka
bisa lakukan jika mereka memiliki komitmen terhadap organisasi dan
bangga berada di dalamnya.
e) Kejelasan, kejelasan terhadap apa yang menjadi tujuan, tingkatan
tanggung jawab, nilai-nilai organisasi. Hal ini penting diketahui oleh
karyawan agar mereka tahu apa yang sesungguhnya diharapkan dari
mereka dan mereka dapat memberikan kontribusi yang tepat bagi
organisasi.
f) Penghargaan, karyawan dihargai sesuai dengan kinerjanya. Manajer harus
lebih banyak memberikan pengakuan daripada kritikan. Sistem promosi
harus dibuat untuk membantu karyawan meraih puncak prestasi.
Kesempatan berkembang harus menggunakan penghargaan dan
peningkatan kinerja.
g) Gaya kepemimpinan, ketika gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi
yang ada maka hasil akan dicapai.
2. Pengertian Budaya Profesional
Istilah dan konsep „budaya‟ di dunia pendidikan berasal dari konsep
budaya yang terdapat di dunia industri atau disebut corpration (perusahaan) ,
yang disebut budaya organisasi.

“Budaya adalah asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan diantara


para anggota kelompok atau organisasi”. Sedangkan organisasi diartikan
sebagai kumpulan orang dengan sistem kerjasama untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam sistem kerjasama secara jelas diatur siapa menjalankan apa,
siapa bertanggung jawab atas siapa, arus komunikasi, dan memfokuskan
sumber daya pada tujuan. Jadi, organisasi adalah suatu lembaga atau
kelompok fungsional, seperti sebuah perusahaan, sebuah sekolah, sebuah
perkumpulan, dan badan-badan pemerintahan.

Budaya professional terdiri dari kata budaya dan professional yang


masing-masing memiliki pengertian sendiri. Namun di dalam budaya
professional lebih difokuskan pada sebuah keahlian yang dibudayakan pada
prosesnya. Karena secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa inggris
profession atau bahasa latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan,
menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.
Sedangkan secara terminology, profesi dapat diartikan sebagai sesuatu
pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dalam
science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk
diimplementasikan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

Profesi merupakan seuatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian


(expertis) dari para anggotanya. Artinya ia tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk
melakukan pekerjaan itu.

Profesi identik juga dengan kata keahlian, demikian juga Jarvis


mengartikan seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang
yang ahli (expert).pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang
yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan
prosedur berlandaskan intelektualitas. Hal demikian dapat dibaca pula
pendapat volmer dan Mills, Mc Cully, dan Diana W. Kommers, yang dikutip
Martinis Yamin dalam bukunya profesionalisme dan implementasi KTSP,
mereka sama-sama mengartikan profesi sebagai spesialisasi dari jabatan
intelektual yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan menciptakan
keterampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga keterampilan dan
pekerjaan itu diminati, disenangi orang lain, dan dia dapat melakukan
pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji
(payment).

B. KONSEP DASAR IKLIM ORGANISASI DALAM PENDIDIKAN


1. Pengertian Iklim Organisasi
Menurut Robbins, iklim organisasi merupakan sekumpulan total tingkatan
dan kualitas faktor lingkungan yang memengaruhi anggota organisasi, yang
biasanya diukur melalui presepsi. Iklim organisasi atau “suasana kerja”
organisasi yang dilihat, dipikir, dan dirasakan oleh para pekerja diharapkan
dapat menimbulkan suasana kerja yang kondusif, persuasif,edukatif.5

Menurut Davis yang dimaksud dengan iklim organisasi adalah lingkungan


manusia di dalam suatu organisasi tempat mereka melaksanakan pekerjaan.
Jadi iklim organisasi adalah kepribadian organisasi seperti yang dilihat oleh
anggotanya sehingga iklim organisasi menjadi dasar bagi anggotanya untuk
menafsir dan memahami keadaan sekitar mereka dan menentukan hubungan
antara imbalan dan hukum.

Iklim organisasi atau suasana kerja, dapat bersifat tampak mata atau fisik
dan dapat pula bersifat tidak tampak mata atau emosional. Iklim organisasi
merupakan suasana kerja yang dialami oleh anggota organisasi, misalnya
lewat ruang kerja yang menyenangkan, rasa aman dalam bekerja, penerangan
yang memadai, sarana dan prasarana yang memadai, jaminan sosial yang

5
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.254.
memadai, promosi, jabatan, kedudukan, pengawasan yang memadai, dan lain-
lain.

2. Dimensi Iklim Organisasi Pendidikan


Menurut Streers, iklim adalah kepibradian organisasi pendidikan yang
dicerminkan oleh anggota-anggotanya. Ada sepuluh dimensi pada tingkat
organisasi secara keseluruhannya, yaitu:6
a. Struktur tugas
b. Hukuman imbalan-hukum
c. Sentralisasi keputusan
d. Tekanan pada prestasi
e. Tekanan pada latihan dan pengembangan
f. Keamanan vs resiko
g. Keterbukaan vs ketertutupan
h. Status dan semangat
i. Pengakuan dan umpan balik
j. Kompetensi dan keluwesan organisasi secaara umum

Sedangkan menurut Kolb dan Rubin, membagi dimensi iklim organisasi


menjadi tujuh aspek yang membentuk iklim organisasi, yaitu sebagai berikut.

1. Konformitas (conformity) adalah perasaan adanya pembatasan yang


dikenakan oleh organisasi secara eksternal. Perasaan ada banyak
peraturan, prosedur, kebijakan dan peraturan yang harus dipatuhi
dibandingkan, dengan kemungkinan untuk melaksanakan pekerjaan
dengan cara sendiri yang dianggap tepat. Apakah peraturan yang ada
terlalu menekan, merugikan, atau justru membantu menyelesaikan tugas.
2. Tanggung jawab (responsibility) adalah tanggung jawab yang diberikan
pada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan demi tercapainya tujuan
organisasi. Apakah dapat membuat keputusan dan memecahkan masalah
tanpa diawasi untuk setiap langkah yang dikerjakan.

6
Usman Husaini, 2006, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,
hlm. 82.

8
3. Standar pelaksanaan pekerjaan (standar) adalah kualitas pelaksanaan dan
mutu produksi yang diutamakan organisasi. Organisasi menetapkan
tujuan yang menantang dan mengutamakan mutu ke anggota organisasi
agar berprestasi.
4. Imbalan (reward) adalah penghargaan yang diberikan mendapat imbalan
untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik, tidak hanya dikritik,
diabaikan, atau dihukum.
5. Kejelasan organisasi (organizational clarity) adalah kejelasan tujuan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh organisasi, segala sesuatu terorganisir
dengan jelas tidak membingungkan, kabur atau kacau.
6. Hubungan interpersonal dan semangat kelompok (warmth and support)
adalah derajat perasaan para anggota bahwa keakraban adalah penting
untuk ciri organisasi, saling menghargai, saling membantu, dan adanya
hubungan yang baik antara karyawan.
7. Kepemimpinan (leadership) adalah posisi di dalam organisasi, apakah
diterima atau ditolak oleh anggotanya. Kepemimpinan didasarkan oleh
keahlian, organisasi tidak didominasi atau tergantung pada satu atau dua
orang saja.
3. Timbulnya Iklim Organisasi
Iklim organisasi memengaruhi perilaku guru yang kemudian memengaruhi
kinerja organisasi pendidikan. Dengan demikian kontribusi yang positif atau
baik akan menghasikan perilaku dan kinerja organisasi yang positif dan baik.7
4. Faktor Yang Mempengaruhi Iklim Organisasi
Menurut Asmar, terdapat lima faktor yang memengaruhi iklim organisasi,
yaitu sebagai berikut:
a. Penempatan Personalia
Masalah penempatan personalia atau penempatan sangat penting, karena
apabila terjadi kesalahan dalam penempatan dapat menjadikan perilaku
pegawai menjadi terganggu dan pada akhirnya bisa merusak iklim organi

7
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.255.
sasi. Dalam penempatan seorang pemimpin hendaknya melihat berbagai
aspek atau kondisi seperti, spesialisasi yang dimiliki, kegemaran,
keterampilan dan pengalaman watak.
b. Pembinaan Hubungan Komunikasi
Dalam lingkungan organisasi bahwasanya tidak luput dari proses
komunikasi, dalam kehidupan sehari-hari komunikasi sangat berperan dan
iklim organisasi tercipta karena adanya komunikasi. Hubungan yang
dibangun bersifat formal dan non formal.
c. Pendinasan dan Penyelesaian Konflik
Setiap organisasi akan mengalami perubahan atau perkembangan dalam
setiap aspeknya seiring dengan perubahan lingkungan. Proses perubahan
ini sangatlah penting untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi stagnasi
bahkan kemunduran organisasi. Peran pimpinan dalam hal ini yaitu
membuat para personil/pegawai menjadi lebih dinamis dan mampu
mendukung kemajuan organisasi. Untuk itu pimpinan perlu untuk
menciptakan suatu kondisi yang dinamis dengan cara memberi kebebasan
pada pegawai untuk mengembangkan kreativitasnya dan merealisasikan
ide-ide nya.
d. Pengumpulan dan Pemanfaatan informasi
Informasi memegang peranan yang penting dalam sebuah organisasi
sebagai penghubung antara berbagai bagian organisasi sehingga tercipta
keutuhan organisasi. Informasi sangat bermanfaat bagi organisasi
terutama dalam penyusunan program kerja organisasi, mendukung
kelancaran penggunaan metode kerja dan sebagai alat kontrol atau
pengawasan.
e. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan kerja sering disebut juga sebagai suasana atau
keadaan dalam kerja. Adapun yang dimaksud hal ini yaitu mencakup
keadaan fasilitas atau sarana yang ada, misalnya ruangan untuk pimpinan,
ruang rapat, lobi, ruang kerja pegawai, ruang tamu dan lain-lain. Kondisi
fasilitas ini sebenarnya tidak langsung memengaruhi sehat tidaknya iklim

10
kerja tetapi memberikan efek terhadap suasana hati pegawai yang ada di
dalamnya.
5. Indikator Iklim Organisasi
Menurut Wirawan, iklim organisasi dapat dilihat dari budaya organisasi
karena di dalam budaya organisasi terdapat hal-hal yang mencakup:8
a. Perubahan organisasi
b. Karakteristik organisasi
c. Kreasi
d. Contoh-contoh budaya organisasi dan memelihara atau menjaga organisasi
e. Prinsip-prinsip organisasi dan tipe-tipe organisasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi pendidikan
merupakan keadaan ditempat kerja baik fisik maupun nonfisik yang
mendukung pelaksanaan tugas dalam sekolah.
6. Iklim Organisasi Sekolah
Iklim Organisasi di sekolah berperan penting karena dapat menjembati
praktik pengelolaan sumber daya manusia dan produktivitasnya. Perubahan
iklim yang terjadi di sekolah pada giliranya akan memengaruhi motivasi kerja
dan prilaku guru di sekolah dalam mencapai target yang akan dicapai.9
James dan Jones (Toulson dan Smith 1994:455) membagi iklim organisasi
disekolah dalam tiga pendekatan, yaitu:10
a. Multiple measurement – organizational approach
Pendekatan ini memandang bahwa iklim organisasi adalah
serangkaiankarakteristik deskriptif dari organisasi yang mempunyai tiga
sifat, yaitu: relatif tetapselama periode tertentu, berbeda antara organisasi
satu dengan organisasi lainnya,serta mempengaruhi perilaku orang yang
berada dalam organisasi tersebut. Faktor-faktor utama yang
mempengaruhi adalah ukuran, struktur, kompleksitas sistem,
gayakepemimpinan, dan arah tujuan organisasi.
8
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.255.
9
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.256.
10
Rusdiana, h.256.
b. Perseptual measurement – organizational attribute approach
Pendekatan ini juga memandang iklim organisasi sebagai atribut
organisasi,tetapi pendekatan ini lebih menekankan penggunaan
pengukuran persepsi daripadapengukuran secara obyektif seperti ukuran
dan struktur organisasi.
c. Perseptual measurement – individual approach
Pendekatan ini memandang iklim sebagai serangkaian ringkasan atau
persepsiglobal yang mencerminkan sebuah interaksi antara kejadian yang
nyata dalamorganisasi dan persepsi terhadap kejadian tersebut.
Pendekatan ini menekankan padaatribut organisasi yang nyata ke sebuah
ringkasan dari persepsi individu. Denganpendekatan ini, variabel
intervensi yang disebabkan oleh kejadian-kejadian baik yangdialami oleh
individu maupun organisasi dapat mempengaruhi perilaku individu-
individu tersebut. Oleh karena itu, iklim organisasi dapat berlaku sebagai
variabel bebas maupun terikat.
7. Hubungan antara Iklim dan Budaya Organisasi Pendidikan
Suatu organisasi pendidikan termasuk sekolah tidak terlepas dari
lingkungan yang mengelilinginyaa, baik internal maupun eksternal, salah
satunya adalah budaya organisasi. Budaya organisasi sebagai salah sau
lingkungan organisasi sangan memengaruhi tercciptanya iklim atau suasana
organisasi.11
Hoy, et al. (Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah
dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat
dievaluasi dalam sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim
sekolah tertutup.12
Iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualia dan karakter dari
kehidupan sekolah mencakup perilaku dari kepala sekolah, guru dan staf,
serta dinamika sekolah.

11
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),
h.256.
12
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, h.257.
C. BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN
Budaya organisasi pendidikan adalah budaya organisasi yang mengacu
pada suatu sistem pemaknaan bersama yang dianut oleh anggota organisasi
pendidikan dalam bentuk nilai, tradisi, keyakinan, norma dan cara berpikir
unik yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya.
1. Konsep Budaya Organisasi
Menurut Robbins, (1994), budaya organisasi merujuk pada sistem
pengertian bersama yang dipegang oleh anggota suatu organisasi yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya,13 Sistem
pengertian bersama ini merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi
nilai bagi suatu organisasi.
Budaya organisasi mengacu pada norma perilaku, asumsi, dan keyakinan
dari suatu organisai, sementara iklim organisasi mengacu pada persepsi orang-
orang dalam organisasi yang merefleksikan norma, asumsi dan keyakinan.14
Sonhadji dalam Soetopo (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi
adalah proses sosialisasi anggota organisasi. Adapun Soetopo (2010)
mengatakan bahwa budaya organisasi berkenaan dengan keyakinan, asumsi,
nilai, norma, perilaku, ideologi, sikap, kebiasaan, dan harapan yang dimiliki
oleh organisasi (dalam hal ini termasuk organisasi universitas swasta).

Gibson, Ivanichevich & Donelly (Soetopo, 2010) berpendapat bahwa


budaya organisasi adalah kepribadian organisasi yang memengaruhi cara
bertindak individu dalam organisasi. Budaya mengandung pola eksplisit dan
implisit dari dan untuk perilaku yang dibutuhkan dan diwujudkan hasil
kelompok manusia secara berbeda termasuk benda-benda ciptaan manusia.15

13
Loc. Cit., Robbins, 1994, Organizational Behavior......hlm. 485.
14
R.G. Owens, 1991, Organizational Behavior in Education, Boston: Allyn and Bacon, hlm. 311.
15
Hendyat Sotopo, 2010, Perilaku Organisasi Teori dan Praktik di Bidang Pendidikan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, hlm, 77.
Dari semua definisi tentang budaya organisasi tersebut secara umum dapat
ditetapkan ahwa budaya organisasi berkaita dega makna bersama, nilai, sikap,
dan keyakinan.
2. Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins (Soetopo, 2010) mengemukakan tujuh karakteristik budaya
organisasi yaitu sebagai berikut.16
a. Otonomi individu, yaitu kadar kebebasan, tanggung jawab, dan kesempatan
individu untuk berinisiatif dalam organisasi.
b. Struktur, aitu kadar peraturan dan ketetapan yang dignk untuk mengontrol
perilaku pegawai.
c. Dukungan, yaitu kadar bantuan dan keramahan manajer kepada pegawai.
d. Identitas, yaitu kadar kenalnya anggota terhadap organisainya secara
keseluruhan, terutama informasi kelompok kerja dan keahlian profesionalnya.
e. Hadiah performansi, yaitu kadar alokasi hadiah yang didasarkan pada
kriteria performansi pegawai.
f. Toleransi konflik, yaitu kadar konflik dalam hubungan antarsejawa dan
kemauan untuk jujur dan terbuka terhadap perbedaan.
g. Toleransi risiko, aitu kadar dorongan terhadap pegawai untu agri, inovatif,
dan berani menanggung risiko.
3. Fungsi Organisasi
Soetopo (2010) mengemukan bahwa fungsi budaya organisasi
herhubungan dengan fungsi eksternal dan fungsi internal. 17 Fungsi eksternal
budaya organisasi adalah melakukan adaptasi terhadap lingkungan di luar
organisasi, sementara fungsi internal berkaitan dengan integrasi berbagai
sumber daya yang ada di dalamnya termasuk sumber daya manusia. Jadi
secard eksternal, budaya organisasi akan selalu beradaptasi dengan
budayabudaya yang ada di luar organisasi, begitu seterusnya sehingga
budaya organisasi tetap akan selalu ada penyesuaian-penyesuaian.

16
Op. Cit., hlm. 79.
17
Op. Cit., Soetopo, 2010, Perilaku........hlm. 88.
Lebih lanjut Soetopo menjelaskan bahwa makin kuat budaya organisas,
semakin sulit organisasi itu terpengaruh oleh budaya luar yang berkembang di
lingkungannya. Sementara kekentalan fungsi internal semakin dirasakan
menguat jika dalam organisasi itu semakin berkembang norma-norma,
peraturan, treadisi, adat istiadat organisasi yang terusmenerus dipupuk oleh
para anggotanya sehingga berangsur-angur budaya itu akan menjadi semakin
kuat.
Robbins (1994) mengemukakan tentang fungsi budaya dalam organisasi
menjadi lima fungsi berikut.18
a. Memiliki suatu peran batas tertentu, aitu menciptakan perbedaan antara
satu organisasi dengan organisasi lainnya.
b. Menampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisasi.
c. Mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih
luas, melebihi batasan ketertarikan individu.
d. Mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan sutu katan soial
yang membantu mengikat kebersamaan oran dan menyediakan standar-
standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan
karyawan.
e. Sebagai pembntuk rasa dan mekanisme pengendal yang memberikan
panduan dan bentuk perilaku serta sikap karyawan

D. BUDAYA PROFESIONAL PENDIDIKAN


1. Pengertian Budaya Profesional Guru
Istilah dan konsep "budaya" di dunia pendidikan berasal dari konsep
budaya yang terdapat di dunia industri, yang disebut budaya organisasi,
merupakan bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori
organisasi.19
Kajian ini dikenal pertama kali di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun
1970-an. Di Indonesia, budaya organisasi mulai dikenal pada tahun 1990an,

18
Loc, Cit., Robbins, 1994, Organizational Behavior........hlm. 491
19
Tika Pabundu, 2006, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kineria Perusahaan, Cetakan
Pertama, Jakarta: Bumi Aksara., hlm. 150.
saat banyak dibicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan
budaya Indonesia serta pembudayan nilai-nilai baru. Seiring dengan itu, para
akademis mulai mengkajinya dan memasukan ke dalam kurikulum
pendidikan.20
Budaya professional guru juga mengacu pada teori budaya organisasi di
dunia pendidikan. Menurut Abdul Aziz Wahab (2008) budaya sekolah
merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan, dan norma yang diterima secara
bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami,
dibentuk oleh lingkungan yang mencita pemma yang sama di antara seluruh
unsur dan personel sekolah baik kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika
perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.16
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya
organisasi merupakan asumsi, sikap, dan kebiasaan seseorang atau kelompok
manusia yang memengaruhi perilaku kerja dan cara bekerja dalam organisasi.
Dengan kata lain, budaya organisasi adalah aturan main dalam organisasi.
Adapun budaya profesional guru dapat dirtika nildominan yang didukung oleh
sekolah, atau falafah yang menuntun kebjakan sekolah terhadap semua unsur
dan kompon sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara
melakanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang
dianut oleh personel sekolah.
2. Esensi Budaya Profesional
Budaya profesional terdiri atas kata asing-masing memiliki "budaya" dan
"profesional" yang masing-masing pengertian sendiri. Akan tetapi, budaya
profesional lebih difokuskan pada keahlian yang dibudayakan pada prosesnya.
Hal ini dikarenakan secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa
Inggris, profession atau bahasa profession latin profecus, yang artinya
mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ali dalam melaksanakan
pekerjaan tertentu.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dalam science dan

20
Op. Cit., him. 150.
teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk implementasikan
berbagai kegiatan yang bermanfat. Profesi merupakan jabatan atau pekerjaan
yang menuntut keahlian (expertis) dari para anggotanya.
Guru mengemban tugas sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003, daam Pasal 3 ayat 1.
Dinyatakan: Tenaga keendidikan bertugs melaka pengelolaan, pembangunan,
organisatoran, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada
satuan pendidikan.
Dalam UU Guru dan Dosen, pendidik merupakan tenaga professional yang
bertugas merencanakan dan melakanakan proses pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, teutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Profesi identik juga dengan kata keahlian, demikian juga Jarvis
mengartikan seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang
yang ahli (expert). Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang
yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan
prosedur belandaskan intelektualitas.
Salah satu landasan menjadi seorang tenaga edukaif (guru) dalh guru yang
profesional sebab bidang keguran dan kependidikan butuh rutinitas
pengulangan, kebiasaan, dan kerjaan amatiran, melainkan suatu bidang yang
memerlukan proses perencanaan yang mantap dan manajemen yang mampu
memerhatikan komponen-komponen dalam suatu sistem proses (dari input
sampai output) juga bidang yang memerlukan konsep teori politik, kerangka
operasional, dan evaluasi keguruan dan kependidikan yang cukup lama dalam
pendidikan dan pelatihan sejak pendidikan dasar (basic education) hingga
pendidikan profesional keguruan.
3. Fungsi Manajemen Budaya Sekolah
Manajemen budaya sekolah memiliki fungsi untuk menata, mengatur,
mengontrol, dan mengorganisasi nilai-nilai yang dipahami atau yang
teridentifikasi dalam pola perilaku. Budaya ini dimanifestasikan dalam bentuk
sikap dan perilaku sehari-hari kepala sekolah, guru, dan siswa. Kepala sekolah
dan tenaga keendidikan lainnya dapat membran conto tu keteladanan dalam
perilaku di sekolah yang mengarah pada budaya sekolah yang kondusif
kepada siswa.
Dengan memahami konsep yang telah diuraikan, dapat diketahui bahwa
penerapan konsep budaya organisasi di sekolah tidak jauh berbeda dengan
penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Hanya, terdapat sedikit
perbedaan, yaitu pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan
karakteristik dari para pendukungnya. Nilai-nilai yang dikembangkan di
sekolah, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai
organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk mengmbangkan,
melestarikan, dan mewar nila-lab kepada para guru.
4. Profesional Guru
Budaya profesional guru dapat diketahui dari manifes-manifes yang
muncul dalam bentuk perilaku beseta simbol karakterii organisasi. Beberapa
manifestasi budaya dapat diidentifikasi dari cara-cara mereka berkomunikasi,
bergaul, dan menempatkan diri dalam peranannya sebagai komunitas belajar
dan pembelajar, atau dapat ditangkap dari cara-cara bersikap, kebiasaan
mereka dalam melakukan kesharian personali yang dapat berbentuk kegiatan,
upacara, ritual, ataupun seragam yang dikenakan.
Moore yang dikutip Martinis Yamin Guru dan Implementasi KTSP
(2008), dalam bukunya Profesional mengidentifikasikan profesi menurut ciri-
ciri berikut:
a. menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya;
b. terikat oleh panggilan hidup, dan dalam hal ini memperakukan
pekerjaannya sebagai seprangkat norma kept dan piaku;
c. anggota organisasi profesional yang formal;
d. menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar latihan
spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus;
e. terikat dengan syarat-sarat kompetensi, kesaran prestasi, dan pengabdian.
f. memperoleh otonomi berdasarkan spesialisai teknis yang tinggi sekali.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, budaya profesional
merupakan segala kepercayan, perasan, perilaku, dan simbol-simbol menjadi
karakteristik organisasi. Secara khusus, budaya profesional guru dinyatakan
asumsi sebagai filosofi bersama, ideologi, keyakinan, perasaan, dasar,
harapan, sikap, norma, dan nilai-nilai dari sebuah keahlian yang harus dimiliki
oleh guru dalam melakanakan pembelajaran di sekolah yang akan bedampak
pada keberhasilan belajar siswa.
Dari pengertian mengenai profesi tersebut, jelas bahwa unsur terpenting
dalam profesi guru adalah penguasaan sejumlah kompetensi sebagai
keterampilan atau keahlian khusus, yang diperlukan melaksanakan tugas
mendidik dan mengajar secara efektif dan efisien. Kata lain dari kompetensi
adalah kemampuan dan keakap. Oleh karena itu, kompetensi profesional guru
dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan
profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi.
5. Manajemen Budaya Profesional Guru
Manajemen budaya/kultur profesional guru merupakan manajemn ekstensi
(perluasan) dari manajemen substansif pendidikan inti. Agar peran sekolah
sebagai pusat pendiikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap
masyarakat maka budaya sekolah perlu dikelola dengan sebaik-baiknya
dengan ilmu manajemen.
Dengan demikian, dengan adanya evaluasi dalam suatu organisasi dapat
diukur hasil kerja yang dilakukan organisasi tersebut dan jika terjadi
penimpangan akan dapat dilakukan perbaikan, sehingga akan tercapai tujuan
organisasi secara efektif dan efisien.
Budaya profesional guru pada hakikatnya adalah fenomena kelompok,
karenanya terbentuknya budaya profesional tidak dapat lepas dari dukungan
kelompok dan terbentuk dalam kurun waktu yang lama.
6. Proses Pembentukan Budaya Profesional
Pembentukan budaya profesional melibatkan leader/tokoh yang
mengintroduksikan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi kepada para anggota
sehingga dalam waktu terentu menjadi kebiasaan dan dijadikan acuan oleh
seluruh anggotanya untuk bertindak dan berperilaku.
Pembentukan budaya organisai sekolah berawal dari proses sosial,
terbentuknya budaya terjadi melalui proses akomodasi, akulturasi, dan
asimilasi. Akomodasi (accomodation) dalh proses penerimaan yang satu oleh
budaya yang lain sebagaimana adanya, baik berdasarkan saling membutuhkan,
kesukarelan, kesepakatan, atau pertukaran (exchange).
Akulturasi (acculturation) adalah proses adopsi budaya yang satu oleh
budaya yang lain, sehingga sementara identitas masing-masing tetap utuh,
terjadi pembentukan budaya baru (sinergi budaya).
Asimilasi (assimilation) mengandung arti budaya yang satu menyatu
(incorporated), berubah (converted), atau menjadi sama (resembled to,
resembled with), identitas masing-masing relatif berubah atau sebagian besar
besar hilang.

Pembentukan budaya menurut Stephen P. Robbins digambarkan sebagai


berikut.

Manajemen puncak

Filosofi
Pendiri Kriteria seleksi Budaya Organisasi
Oranisas
i
Sosisalisasi
Gambar 13.1 Proses Pembentukan Budaya
Sumber: Stepen Robbins (Nurkolis, 2003)

Dari bagan tersebut terlihat jelas filsafat organisasi bahwa pendiri


memiliki asumsi, persepsi, dan nilai-nilai yang harus diseleksi terlebih dulu.
Hasil seleksi tersebut akan dimunculkan ke permukaan melalui sosialisasi.
Setelah dipahami dan dianut oleh semua anggota, nilai-nilai terebut akan
menjadi karakteristik budaya profesional guru.
Jadi, pada awal kemunculannya, budaya organisasi menacu pada visi
pendirinya yang dipengaruhi oleh cita-cita internal dan tuntutan ekster yang
melingkupinya. Kemudian, budaya yang diangun dari nilai yang dianut akan
memicu tumbuhnya komitmen anggota sehng ana dengan mudah memahami
nilai-nilai dan norma yang dianut dalam satuan kerja dan menerapkannya
dalam lingkungan kerja/sekolaah sebagai pedoman dalam berperilaku.
E. PENERAPAN KONSEP BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH
Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah tidak jauh
berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. mekipun
terdapat perbedaan, mungkin hana terletak pada jenis nilai dominan yang
dikembangkanna dan karakateristik dari para pendukungnya.
Berkenaan dengan pendukung budaa organisasi di sekolah Paul E.
Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan
bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals."
Prinsip tersebut, adalah sebagai berikut.
Nilai-nilai dari yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat
dilepaskan Keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan,
memiliki peran dan yang fungsi untuk mengembangkan, melestarikan, dan
mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Larry Lashway (1996)
menyebutkan "schools are moral institutions, designed to promote social
norms", yaitu berkenaan dengan hal-hal berikut.
1. Observed Behavioral Regularities
Budaya bertindak organisasi di sekolah ditanda dengan adanya
keberaturan cara dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati.
Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara ritual tertentu, bahasa
umum yang digunakan atau simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-
nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norma
Budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya berisi
tentang standar norma yang perilaku dari anggota sekolah, baik bagi
Siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa bedasarkan pada kebijakn
internal sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah
pemerintah pusat. Standar perilak siswa berhubunga dan hasil belajar
siswa, dengan pencapaian yang akan menentukan apakah seorang siswa
dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa, tidak
hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik tetapi juga
menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kuriulum Berbasis Kope, secrau standar
perilaku yang diharapkan dari lulusan sekolh menengh antaranya
mencakup: (1) memiliki keyakinan dan ketakwaan sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya; (2) memilki nilai dasar humanioa untuk
menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) menguasai pengetahuan
dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan
pendidikn; (4) mengalihgunakan kemampa akam da keterampilan hidup di
masarakat lokal dan global; (5) berksi dan menghargai seni; (6) menjaga
kebersihan, kesehatan, dan kebugaran jamani; (7) berpartisipasi dan
berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa, dan
bernegara secara demokratis. Sedangkan berkenaan dengan standar
perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang
harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya.
Dalam perspektif kebijakan pendidkan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, yaitu: (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan
kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a)
pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d)
prancangan pembelajaran; (e) pelaksanan pembelajarn mendidik dan
dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peseta ddik
untuk mengaktalisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2)
Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang:
(a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa;
(f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat; (h) mengevaluas kinerja sendiri; dan (i) mengembag di
berkelanjutan; (3) Kopetensi sosial yaitu meru kemapun ni sebagai bagian
dari masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan;
(b) menggunakan teknologi komuniai dan informasi secara fungsional;
(c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun
dengan masarakat sekitar; dan (4) Kompetens profeson merupakan
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam
yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni
yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada
dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; (d) peneapan konsep-konsep keilmuan dalam kehdua seari-hari;
dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap
melestarikan nilai dan budaya nasional.
3. Dominant Value
Jika dihubungan dengan tantangan pendidika Indonesia saat ini,
yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, budaya organisasi di sekolah
seyogianya diletakkan mutu pendidikan di sekolah. Nilai dalam kerangka
pencapaian dan keyakinan terhadap pencapaian mutu pendidikan di
sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah.
Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono
sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya
sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku
anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan.
Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek
input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan
ditunjukkan melalui tingkat kesapan dan ketersediaan sumer daya,
perangkat lunak, dan harapan-harapan. Semakin tinggi tingkat kesiapan
input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Adapun pada aspek proses,
mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengoordinasian dan penyerasian
serta pemanduan input sekolah dilakuan secara harmonis, sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-
benar mampu memberdayakan peserta didik.
Sementara itu, dari aspek output, mutu pendidikan dapat dilihat
dari prestasi sekolah, khususnya pretasi siswa, baik alam bda aa maupun
nonakademik. Berbicara tentang upaya menubuhkembang budaya mutu di
sekolah akan mengingatkan kita pada Total Quality Management (TQM),
pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan
daya saing organisasi melalui prakasa perbaikan terus-menerus atas
produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya.
Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) memerinci elemen-elemen yang
terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yaitu: (a) inlormasi kualitas
harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk megadili/mengontrol
orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus
diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborai dan
sinerg, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga
sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (I) atmosfir keadilan
(fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai
pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for
Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education. dalam ERIC Digest memaparkan paya membangun budaya
keunggu akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip
Total Quality Management, yang mencakup:
“....(1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems
dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4)
systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5)
delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning
for
change; dan (8) leadership: supporting a quality culture.
Dikemukakan pula bahwa "when the quality principles are
implemented holistically, a culture for academic excellence is
created.21

Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. tersebut, dapat disimpulkan


bahwa untuk membangun budaya kunggulan akademik atau budaya mutu
pendidikan, kita dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality
Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama
dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy
Budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh
anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki,
misalnya waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijdikan seba ki
organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang
telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, dan filosofi ini
diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan,
sekolah pun harus memiliki keyakinan tiap pentingnya upaya untuk
memberikan kepuasan kepada pelanggan.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbas
is Sekolah, Depdknas (2001) disebutkan bahwa:"pelanggan, terutama
siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya,
semua input proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk
meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini
semua adalah bahwa penyiapan input, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan
siswa.
5. Rules
Budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan aturan main
yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki

21
Jann E. Freed, et.al., 1997, A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality
Principles in Higher Education, Eugene, Oregon:ERIC, hlm. 37..
ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan
sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga
sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi.
Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tatatertib
sekolah (school discipline), yang di dalamnya berisikan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi
pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline
yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa, School
discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students,
and (2) create an environment conducive to learning.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hakikat Iklim, di dalam dimensi iklim kerja adalah merupakan tanggung
jawab, fleksibilitas, standar, komitmen tim, kejelasan, penghargaan, gaya
kepemimpinan. Sedangkan Budaya professional terdiri dari kata budaya dan
professional yang masing-masing memiliki pengertian sendiri. Namun di dalam
budaya professional lebih difokuskan pada sebuah keahlian yang dibudayakan
pada prosesnya. Karena secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa
inggris profession atau bahasa latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan,
menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Sedangkan
secara terminology, profesi dapat diartikan sebagai sesuatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dalam science dan teknologi
yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan berbagai
kegiatan yang bermanfaat.

Iklim organisasi pendidikan merupakan keadaan ditempat kerja baik fisik


maupun nonfisik yang mendukung pelaksanaan tugas dalam sekolah. Iklim
Organisasi di sekolah berperan penting karena dapat menjembati praktik
pengelolaan sumber daya manusia dan produktivitasnya. Perubahan iklim yang
terjadi di sekolah pada giliranya akan memengaruhi motivasi kerja dan prilaku
guru di sekolah dalam mencapai target yang akan dicapai. Iklim sekolah adalah
persepsi kolektif terhadap kualia dan karakter dari kehidupan sekolah mencakup
perilaku dari kepala sekolah, guru dan staf, serta dinamika sekolah.

Budaya organisasi pendidikan adalah budaya organisasi yang mengacu pada


suatu sistem pemaknaan bersama yang dianut oleh anggota organisasi pendidikan
dalam bentuk nilai, tradisi, keyakinan, norma dan cara berpikir unik yang
membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya. Adapun budaya
profesional guru dapat dirtika nildominan yang didukung oleh sekolah, atau
falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen
sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melakanakan pekerjaan di
sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personel sekolah.

Budaya profesional merupakan segala kepercayan, perasan, perilaku, dan


simbol-simbol menjadi karakteristik organisasi. Secara khusus, budaya
profesional guru dinyatakan asumsi sebagai filosofi bersama, ideologi, keyakinan,
perasaan, dasar, harapan, sikap, norma, dan nilai-nilai dari sebuah keahlian yang
harus dimiliki oleh guru dalam melakanakan pembelajaran di sekolah yang akan
bedampak pada keberhasilan belajar siswa.

Penerapan konsep budaya organisasi di sekolah tidak jauh berbeda dengan


penerapan konsep budaya organisasi lainnya. mekipun terdapat perbedaan,
mungkin hana terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkanna dan
karakateristik dari para pendukungnya.

B. Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersipat umum,
oleh karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mencari sumber yang lain guna
memeberikan perbandingan dengan pembahasan yang kami buat, guna
mengkoreksi bila terjadi kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Raimond WY., Entrepreneurship (New York: Prentice Hall, 1995).


Townsend, dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan.Kepala Sekolah
(Jakarta: Bumi Aksara, 2012).
Mortimore, dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan..., 2012
Wayson, dkk., dalam E. Mulyasa, Manajemen & Kepemimpinan..., 2012.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), h.254.
Usman Husaini, 2006, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, hlm. 82.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), h.255.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), h.255.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), h.256.
Rusdiana, h.256.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2016), h.256.
Rusdiana, Pengembangan Organisasi Lembaga Pendidikan, h.257.
Loc. Cit., Robbins, 1994, Organizational Behavior......hlm. 485.
R.G. Owens, 1991, Organizational Behavior in Education, Boston: Allyn and
Bacon, hlm. 311.
Hendyat Sotopo, 2010, Perilaku Organisasi Teori dan Praktik di Bidang
Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm, 77.
Op. Cit., hlm. 79.
Op. Cit., Soetopo, 2010, Perilaku ...... hlm. 88.
Loc, Cit., Robbins, 1994, Organizational Behavior ...... hlm. 491
Tika Pabundu, 2006, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kineria Perusahaan,
Cetakan Pertama, Jakarta: Bumi Aksara., hlm. 150.
1
Op. Cit., him. 150.
1
Jann E. Freed, et.al., 1997, A Culture for Academic Excellence: Implementing
the Quality Principles in Higher Education, Eugene, Oregon:ERIC, hlm.
37..

Anda mungkin juga menyukai