Anda di halaman 1dari 8

B.

Masyarakat Islam/Masyarakat Madani

1. Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah


tersentuh oleh peradaban maju atau juga civil society (masyarakat sipil). Pada
zaman Yunani terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut
Sivitas Dei, suatu kota Ilahi dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab
lawan dari pada masyarakat komunitas yang masih liar. Adapun masyarakat
madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah SAW yang artinya juga sama
dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju), lawan
dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih
mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui). Sementara
masyarakat Islam meiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan
kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep
ajaran spiritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena
menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal maupun
horizontal.

2. Karakteristik Masyarakat Madani

Secara umum masyarakat yang beradab berciri, kemanusiaan, saling


menghargai sesama manusia, sebagai makhluk ilahi dalam kehidupan bersama
dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik, memiliki berbagai
perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis,
pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilingungi oleh sesama
warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing. Masyarakat
ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup
dengan damai dan tentram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an
kondisi masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibatun
Warabun Gafur.” Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya.
Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi Muhammad SAW
dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyarakatnya
memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan
Rasulullah SAW hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan
hidupnya. Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang
beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan
iptek. Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang
merupakan perjanjian antara Rasul beserta ummat Islam dengan penduduk
Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan khazraj yang beragama
watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk
saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi
penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas
khusus yaitu : berTuhan, damai, tolong menolong, toleran, keseimbangan antara
hak dan kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.

3. Umat Islam dan Masyarakat Madani

Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya
yang sifatnya normatif dan potensial. Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan
normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbasiyah, dimana ummat
Islam menjadi kelompok umat terdepan dan unggul di berbagai bidang; ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan lain-lain. Saat ini umat
Islam menghadapi banyak tantangan, seperti mereka yang sibuk
mempermasalahkan pemecahan ketegangan antara masalah agama dengan dunia.
Dalam konteks ini, Islam berada dalam Garis Tengah, tidak mempertentangkan
antara keduanya. Islam tidak mengenal susunan hirearki dalam mengembangkan
umat, dan berhasil membentuk umat. Namun keinginan membentuk masyarakat
madani, lambat laun semakin kuat seperti yang telah ada pada keputusan MPR
1998, menjadikan masyarakat madani sebagai tujuan reformasi pembangunan,
meletekkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi, pembangunan agama dan
sosial budaya dalam usaha mewujudkan civil society. Posisi umat Islam untuk
mengiringi terwujudnya civil society, kembali kepada SDM umat Islam itu
sendiri. Dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer,
ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan peranannya yang
signifikan. Dalam kaitan ini, umat Islam khususnya di Indonesia perlu
mengembangkan keunggulan yang bersifat normatif dan potensial menjadi suatu
realitas. Untuk itu umat Islam harus mengikuti langkah-langkah dasar menuju
masyarakat amdani (Civil Society) yang dalam konteks Islam mempunyai lima
fondasi (the five foundation of good society) :

1. Tauhid, yakni kalimat laa ilaaha illallah sebagai kalimat tahrir (pembebasan)
dari penyembahan terhadap maskhluk menuju penyembahan Allah Swt.
AQIDAH ini penting sekali karena masayrakat yang pondasinya lemah, tidak
dapat berumur panjang.
2. Sistem nilai moral yang benar berdasarkan wahyu ilahu (Q.S.
Albaqarah/2/185) yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu sebagai petunjuk bagi
umat manusia (hudallinnas). Menolak sistem nilai yang dinamakan “Model
Situation”.
3. Amal sholeh yang didasari akidah serta nilai-nilai moral yang benar, sehingga
amal itu tidak hampa. Tujuan amal itu menjadi jelas arahnya. Setiap kerja dan
karya yang digelar dalam amal sholeh itu mempunyai tujuan yang tertentu
yaitu illahi robbil alamin.
4. Keadilan, merupakan perintah yang pertama dalam Al-Qur’an. “Innalllaha
ya’muru bil’adl wal ihsan.” Jadi kedilan itu harus ada keseimbangan yang
simetris. Semua orang mendapat apa yang menjadi haknya dan bagi semua
orang itu diminta apa yang menjadi kewajibannya

Memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan


dan teknologi. (Amien Rais, dkk. Masyarakat Utama : Konsepsi dan Strategi /
1995 : hal. 14).

4. Peranan Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

a. Keniscayaan Peranan umat Islam


Salah satu wujud nyata dari masyarakat madani yang pernah diperankan Nabi
saw dan umat Islam di Madinah adalah adanya kerja sama antar umat beragama
untuk membangun dan mempertahankan Madinah. Pada saat itu lahirlah
konstitusi Hudaibiyah yang dikenal dengan piagam madinah. Piagam ini
merupakan bentuk keseriusan umat Islam atas kerja sama dengan umat beragama
lainnya dalam menata harmonisasi dan kesejahteraan yang berkeadilan dalam
kehidupan sosial dan politik. Dengan demikian, untuk membangun masyarakat
madani, maka segala potensi umat harus disatukan agar menjadi kekuatan sosial.
Sejalan dengan itu, umat Islam diharuskan untuk mengambil peranan yang
maksimal sebagai komponen terdepan menyuarakan dan menjalankan amar
ma’ruf dan nahyi munkar sebagai benteng keberlangsungan masyarakat madani.

Kesempurnaan Islam menjadi nikmat, karena Islam memberikan dasar-dasar


kehidupan yang lengkap dalam berbagai aspek kehidupan. Petunjuk-petunjuk
dasar dalam ajaran Islam memberikan kemudahan bagi manusia untuk mengenal
Tuhannya dan mengenal dirinya dan mengetahui rahasia dan lingkungannya.
Ajaran Islam sangat menghargai akal dan menjadikan akal sebagai anugerah
tertinggi. Akal merupakan salah satu media terpenting untuk membangun
peradaban dan merekayasa alam dan melestarikannya. Namun, akal tersebut harus
selalu melihat kepada nash-nash Alquran dan Sunah agar ia terbimbing.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, di mana umat Islam adalah mayoritas,


peranan umat Islam sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia sangat
bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam
itu dapat direalisasikan dalam jalur hukum, sosial politik, ekonomi dan yang lain.
Sistem hukum, sosial politik, ekonomi dan yang lain memberikan ruang bagi umat
Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa
secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang menjadi kendala pada saat ini
adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter
dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara
kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah sehingga perlu
pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar maruf dan nahyi munkar juga masih
sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi
yang terjadi di semua sektor, kurangnya rasa aman, dan lain sebagainya. Bila umat
Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

b. Keniscayaan Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

Dimaksud dengan sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang


menggunakan prinsip ekonomi yang di asaskan dan dibatasi oleh ajaran-ajaran
Islam. Sistem ekonomi Islam tersebut, bersumber dari Alquran dan Hadis yang
dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam
bidangnya. Jika Alquran dan Hadis dipelajari dengan seksama tampak jelas bahwa
Islam mengakui motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif itu
terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial dan pembatasan diri. Islam
mengharamkan riba, tipu daya (gharar), pemaksaan (ikrah), dan eksploitasi
berlebihan dan muderat. Islam lebih mengedepankan ekonomi pasar untuk
mengembangkan harta. Sebab, harta bukan saja untuk kesejehteraan pribadi tetapi
juga untuk kesejehtaraan sosial; bukan saja untuk pegangan tetapi juga untuk
kepastian.

c. Zakat Dan Wakaf Sebagai Instrumen Kesejahteraan Umat

Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara,
yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut
ajaran Islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan
sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan
kesejahteraan dimaksud, dalam Islam selain dari kewajiban zakat, masih
disyari'atkan untuk memberi sedekah, infaq, hibah, dan wakaf kepada pihak-pihak
yang memerlukan. Lembaga-lembaga tersebut dimaksudkan untuk menjembatani
dan memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara
kelompok yang kuat dengan yang lemah, antara yang kaya dengan yang miskin.

1. Manajemen Zakat

Kata zakat merupakan kata dasar atau mashdar yang berasal dari zaka, yazki,
taskyah, yang berarti bertambah (al-ziyadah), tumbuh dan berkembang, bersih dan
suci. Menurut istilah, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Zakat adalah rukun
Islam yang keempat. Menurut jumhur ulama, zakat ditetapkan pada tahun kedua
Hijriah. Namun menurut sebagian ulama, seperti al-Thabary ibadah ini telah
ditetapkan ketika Nabi saw masih berada di Mekah.

Zakat merupakan dasar prinsi untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat
bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan
terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar diharapkan kesulitan dan
penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping itu dengan pengelolaan
zakat yang profesional, sebagian permasalahan yang terjadi dalam masyarakat
yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.

Zakat ada dua macam yaitu zakat mal (harta) dan zakat fitrah. Zakat mal adalah
sebagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan
kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan
dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat
yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadan. Hukumnya wajib atas setiap Muslim,
kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka

Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan umat Islam
sendiri, dari golongan umat yang kaya kepada golongan umat yang miskin.
Hikmahnya adalah agar tidak terjadi jurang pemisahan antara golongan kaya dan
golongan miskin serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan
kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat dengan baik dan sesuai dengan
fungsi dan tujuannya tentu harus ada aturan yang dilakukan dalam
pengelolaannya. Pengelolaan zakat yang berdasarkan pada prinsip yang baik dan
jelas akan lebih meningkatkan manfaat yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23
september 1999 presiden RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang zakat. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut,
Menteri Agama RI menetapkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
nomor 581 tahun 1999.

Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat


yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat
tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam
pengelolaannya apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian
sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh amil zakat dan political
will dari pemerintah.

2. Manajemen Wakaf

Kata 'wakaf' berasal dari bahasa Arab waqf, yang berarti 'menghentikan' atau
'menahan'. Artinya, seseorang menghentikan hak miliknya atas suatu harta dan
menahan diri dari penggunaannya dengan cara menyerahkan harta itu kepada
pengelola untuk digunakan bagi kepentingan umum. Barang yang diwakafkan
adalah barang yang bermanfaat dan tidak cepat habis karena dipakai, baik harta
yang tidak bergerak, seperti tanah, maupun harta bergerak seperti buku-buku.

Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial
ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya
Sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara
misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Bangladesh, dan lain-lain. Hal ini
barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik
sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak. pihak yang memerlukannya.

Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang
memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial
khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya
kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan
wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat
terealisasi secara optimal.

Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka di


Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang
selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini
wakaf dikelola secara produktif.

Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh,


wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa
tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain juga
dikelola secara produkif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat
dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

Wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat


kondisi perekonomian tidak stabil. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf
tunai di Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam di Indonesia. Kalau
umat Islam mampu melaksanakan dalam skala besar, maka akan terlihat implikasi
positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai peluang yang
unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan
sosial.

Anda mungkin juga menyukai