Anda di halaman 1dari 26

NARRATIVE REVIEW

”FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KULTUR


JARINGAN TUMBUHAN”
(literature 10 jurnal)

Oleh:
SINTIA NONOWA
432418037
KELAS B

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KULTUR JARINGAN BEBERAPA KULTIVAR BUAH PISANG (Musa paradisiaca L.)
DENGAN PEMBERIAN CAMPURAN NAA DAN KINETIN

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara campuran NAA dan
Kinetin terhadap pertumbuhan tiga kultivar buah pisang secara teknik kultur jaringan. Penelitian
dilakukan dengan RAL dua factor, dengan zat perangsang tumbuh terdiri dari 6 kombinasi NAA
(0,4, 0,8, dan 1,2 mg l-1) dan Kinetin (6 dan 9 mg l-1), menggunakan 3 kultivar pisang (kepok,
uli/mauli, dan raja). Pengamatan secara kuantitas dilakukan terhadap persentase hidup,
kontaminasi dan saat pembentukan kalus, dan secara kualitas terhadap defferensiasi morfologi
eksplan pada minggu ke 4, 8 dan ke 12 setelah penaburan dengan satuan penilaian tertentu. Dari
hasil percobaan tidak ditemukan interaksi antara campuran NAA dan Kinetin dengan kultivar
pisang terhadap semua peubah pengamatan.

Kata Kunci : Kultur jaringan, NAA, kinetin, eksplan, pisang

PENDAHULUAN

Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur dengan
eksplan bonggol. Apabila dibandingkan dengan jantung pisang maka mendapatkannya lebih
mudah dan jumlah eksplan yang didapat lebih banyak bahkan mencapai 200 eksplan setiap
jantung pisang, serta lebih kecil resikonya terhadap kontaminasi sebab bukan berasal dari tanah
dan tertutup rapat oleh kelopak.

Dalam percaturan pasar dunia, kelompok pisang terkenal ialah yang mempunyai susunan
gen tripel (AAB dan AAA), bersifat triploid, dan tidak berbiji (partenokarpi) (Sunarjono, 2002).
Huruf besar “A” dan “B” masing-masing menggambarkan banyaknya genom (kelompok
kromosom) yang berasal dari nenek moyang pisang diploid Musa acuminata dan Musa
balbisiana. Pisang kepok mengandung genom BBB, pisang mauli mengandung genom AA dan
pisang raja mengandung genomAAB (Sunarjono, 2002). Dari sekian banyak jenis media dasar
yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, tampaknya media MS (Murashige dan Skoog)
mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel
tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990). Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur
tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin (Gunawan, 1990). NAA (Naftaleine
Asetat Acid) adalah zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin.

METODE

Penelitian ini menggunakan media MS dan zat pengatur tumbuh bertujuan untuk
menginduksi tunas. Penelitian ini disusun menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan menggunakan dua faktor. Kombinasi perlakuan 6 x 3 diulang sebanyak 2 kali sehingga
ada 36 unit percobaan, setiap unit percobaan ada 4 botol kultur masing-masing berisi satu
eksplan. Akuades dipersiapkan dalam botol-botol kecil dan disterilisasi basah dengan otoklaf
pada suhu 121 OC, tekanan 17,5 psi dan waktu 15 menit. Laminar Air Flow sebelum digunakan
disterilkan terlebih dahulu dengan mengusapkan alkohol 90 % atau menyemprotkan alkohol 70
% pada dinding dan alasnya kemudian didiamkan selama kurang lebih 30 menit.

HASIL PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan campuran zat pengatur tumbuh
NAA dan kinetin, dengan kultivar pisang serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase hidup eksplan. Beberapa eksplan yang mati rata-rata disebabkan oleh
pencoklatan dan infeksi mikroba. Fitriani (2003) mendapatkan bahwa warna coklat kalus
menandakan sintesis senyawa fenolik. Dalam penelitian ini, sel mengalami cekaman luka pada
jaringan, selain cekaman dari medium. Vickery & Vickery (1980) menyatakan bahwa sintesis
senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Senyawa fenol sangat
toksik bagi tanaman dan dapat menghambat pertumbuhan.

Analisis ragam menunjukkan bahwa campuran zat pengatur tumbuh NAA dan kinetin,
dengan kultivar pisang serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kontaminasi.
Pada percobaan ini terjadi kontaminasi mencapai 87,5 % pada perlakuan a3b1 dan a5b2, karena
beberapa faktor, antara lain eksplan. Eksplan yang mengandung atau terinfeksi bakteri, virus atau
jamur akan menyebabkan kontaminasi pada tahap pertumbuhan. Meskipun pada masa awal
setelah penaburan tidak terjadi kontaminasi, beberapa bulan berikutnya pertumbuhan jamur
terlihat. Selain itu, faktor sterilitas ruangan juga sangat menentukan terhadap kontaminasi.
Ruangan yang sudah steril dapat saja berubah menjadi tidak steril pada saat musim hujan,
sehingga dapat membawa masuknya bakteri dan jamur dari luar, serta dapat meningkatkan
kelembaban yang akan mempercepat perkembangan mikroorganisme. Pengambilan meristem
sebagai eksplan harus dilakukan dalam ruang steril (aseptik) agar tidak terkontaminasi
(Sunarjono, 2002). Kontaminasi disebabkan oleh jamur, bakteri dan cendawan.

Dalam penelititan ini tunas tidak terbentuk. Saat tumbuh tunas dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu faktor eksplan, media, dan lingkungan (Mante dan Tepper, 1983). Eksplan bakal
buah pisang kemungkinan memang sulit untuk pembentukan tunas. Kultur Jaringan bakal buah
pisang telah dilakukan oleh Ram et al. (1964), namun eksplan tersebut hanya membentuk kalus
dan tidak berkembang menjadi organ. Martino (1997) manyatakan bahwa hormon yang
dihasilkan oleh eksplan belum cukup untuk menginduksi kalus apalagi sampai terjadinya
organogenesis.

Referensi

Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don
Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Gunawan, L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat
Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.

Mante, S., and H.B.Tepper. 1983. Propagation of Musa textille Nee Plants from Apical Meristem
Slice in vitro. Plant Tissue Culture 2: 151-159 Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of
Higher P
Pembibitan (Kultur Jaringan hingga Pembesaran) Anggrek Phalaenopsis di Hasanudin
Orchids, Jawa Timur

ABSTRAK

Kegiatan penelitian di kebun Hasanudin Orchids bertujuan meningkatkan pengetahuan


dan keterampilan mahasiswa dalam aspek budidaya anggrek Phalaenopsis. Tujuan secara khusus
pada penelitian ini adalah mempelajari proses pembibitan anggrek Phalaenopsis dari kultur
jaringan hingga pembesaranuntuk menghasilkan tanaman yang bernilai jual tinggi di Hasanudin
Orchid. Hasil pengamatan menunjukkan pada pembuatan media kultur PDA terjadi kontaminasi
sebesar 7% dan media VW sebesar 22%. Proses penyemaian atau sub kultur, terutama pada sub
kultur 1 banyak ditemukan kontaminasi. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya
planlet yang luka pada saat pindah media. Persentase keberhasilan pada saat aklimatisasi adalah
100%. Pencegahan kehilangan akibat kontaminasi perlu diperhatikan secara intensif.

Kata kunci: aklimatisasi, media kultur, pindah tanam

PENDAHULUAN

Teknik kultur in vitro dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anggrek Phalaenopsis dalam
jumlah yang besar dan kualitas bunga yang seragam, (Young et a.l, 2001). Sebelum ditanam
sebagai bibit dalam pot, bibit anggrek hasil perbanyakan in vitro memerlukan suatu tahap
penyesuaian terhadap cekaman lingkungan yang baru, yang disebut tahap aklimatisasi. Tahap
akhir dalam kegiatan budidaya tanaman secara kultur jaringan adalah aklimatisasi. Aklimatisasi
dapat dilakukan jika planlet sudah memiliki organ lengkap yang umumnya berumur delapan
hingga dua belas bulan. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian terhadap iklim pada
lingkungan baru yang merupakan masalah penting dalam budidaya tanaman menggunakan bibit
dari teknik kultur jaringan (Handini 2012).

Protocorm anggrek yang sudah menjadi planlet pada saat aklimatisasi harus segera
dipindahkan ke dalam pot. Hal ini ditujukan agar tanaman planlet memiliki ruang tumbuh yang
lebih baik. Pembibitan biasanya dilakukan di dalam green house untuk memberikan kondisi
lingkungan anggrek Phalaenopsis yang optimal, yaitu memiliki suhu berkisar antara 15-35 oC,
kelembaban udara 70-80%, intensitas sinar matahari 12.000-20.000 lux, semi teduh atau semi
naungan berkisar antara 15-30%

METODE

Metode langsung dilakukan dengan mengikuti seluruh kegiatan teknis di laboratorium


dan kebun serta pengamatan pada beberapa variabel. Metode tidak langsung dilakukan dengan
mengumpulkan data sekunder dari perusahaan. Pada kegiatan ini, penulis bekerja secara
langsung di lapangan sebagai karyawan harian lepas (KHL). Kegiatan yang berlangsung setiap
hari ditulis dalam jurnal harian. Kegiatan yang dilaksanakan oleh penulis yaitu membuat media
kultur VW (modifikasi), media PDA, penyemaian benih, sub kultur, aklimatisasi, penyiapan
media tanam, repotting, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit dan pengemasan
(packing). Pelaksanaan kegiatan tersebut disesuaikan dengan kegiatan kebun pada saat kegiatan
penelitian berlangsung. pengamatan dilakukan di 2 GH dengan ketinggian yang berbeda dan
desain GH yang berbeda. Ketinnggian GH 1 adalah 680 meter diatas permukaan laut dengan
plastik uv berada di bawah paranet, sedangkan ketinggian GH 2 adalah 770 meter diatas
permukaan laut dengan plastic uv berada di atas paranet.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat keberhasilan perkecambahan biji anggrek secara in vitro umumnya sangat tinggi
jika syaratnya terpenuhi yaitu kondisi yang aseptik pada biji dan media kultur, kecukupan
kandungan gula sebagai sumber energi dan kecukupan nutrisi dan senyawa organik yang
diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan protocorm menjadi seedling (Yusnita, 2012).
Pembuatan media kultur jaringan ini mengenai persentase kontaminasi media. Media sangat
rawan terserang mikroorganisme kontaminan yang dapat menyebabkan tanaman tidak tumbuh
bahkan mati. Hal ini dapat dikarenakan oleh tempat penyimpanan media yang terlalu lembab
atau cara pembuatan media yang tidak sesuai, misalnya kurangnya pengadukan media pada saat
akan dimasukan ke dalam botol. Oleh karena itu, cara pembuatan media harus diperhatikan
dengan benar oleh karyawan. Berdasarkan pengamatan dapat dilihat bahwa media PDA hanya
mengalami kontaminasi sebesar 7%, sedangkan pada media VW (modifikasi) sebesar 22%. Hal
ini dapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya pada proses akhir memasak yaitu kurang
kuat dalam menutup botol dan tempat penyimpanan media. Penutupan tutup botol yang kurang
kuat dapat mengakibatkan terjadinya pertukaran udara dari dalam dan luar botol, sehingga
terjadinya kontaminasi. Tempat penyimpanan media VW (modifikasi) sangat lembab, sehingga
media banyak terkontaminasi oleh cendawan. Untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi,
pekerja harus menutup botol dengan kuat dan media harus dipindahkan ke tempat yang tidak
begitu lembab.

Referensi

Young, P.S., H.N. Murty, P.K. Yeuep. 2001. Mass multiplication of protocorm-like bodies using
bioreactor system and subsequent plant regeneration in Phalaenopsis. Plant Cell, Tissue
and Organ Cult. 63:67-72.

Yusnita. 2012. Pemuliaan Tanaman Untuk Menghasilkan Anggrek Hibrida Unggul. Lembaga
Penelitian Universitas Lampung. Lampung.

Handini, A.S. 2012. Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium


lasianthera pada Tahap Aklimatisasi [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) HASIL KULTUR
JARINGAN YANG DITANAM DENGAN BERAT BIBIT YANG BERBEDA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berat bibit kultur jaringan yang
berbeda terhadap pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dan untuk mengetahui berat
bibit hasil kultur jaringan yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut jenis Kappaphycus
alvarezii. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 4
perlakuan menggunakan bibit hasil kultur jaringan dengan perbedaan berat bibitnya. Perlakuan
tersebut adalah P1 : bibit dengan berat 50 gr, P2 : bibit dengan berat 75 gr, P3 : bibit dengan
berat 100 gr, P4 : bibit dengan berat 125 gr. Perlakuan diulang sebanyak 4 kali (4 rakit).

Kata kunci : Kappaphycus alvarezii, pertumbuhan, berat, bibit, fotosintesis.

PENDAHULUAN

Faktor penting yang menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut adalah
penggunaan bibit yang memiliki kualitas baik, yaitu bibit yang dapat tumbuh dengan cepat dan
memiliki cabang yang banyak serta bebas dari serangan penyakit. Bibit rumput laut yang
digunakan secara terus menerus akan mengalami penurunan kualitas hidupnya, alternatif untuk
mengatasi kendala tersebut yakni dengan menggunakan bibit berkualitas yang dihasilkan melalui
Kultur Jaringan.

Pada proses penanaman rumput laut, faktor penting yang harus dipertimbangkan yaitu jumlah
bibit yang tepat agar rumput laut dapat tumbuh dengan optimal. Oleh karena itu perlunya
dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berat bibit hasil kultur jaringan yang
berbeda

METODE

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan
yaitu P1 : bibit kultur jaringan dengan berat bibit 50 gr; P2 ; bibit kultur jaringan dengan berat
bibit 75 gr ; P3 : bibit kultur jaringan dengan berat bibit 100 gr; P4 : bibit kultur jaringan dengan
berat bibit 125 gr. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali (4 rakit), sehingga
diperoleh satu unit eksperimen dengan 20 unit percobaan.

Bibit rumput laut yang digunakan adalah bibit hasil kultur jaringan yang telah
diperbanyak oleh BPBL dan bibit bukan hasil kultur jaringan yang diperoleh dari pembudidaya.
Bibit rumput laut ditimbang dengan berat bibit awal sesuai dengan perlakuan yaitu dengan berat
50 gr, 75 gr, 100 gr dan 125 gr. Bibit kemudian diikatkan pada tali ris menggunakan tali rafia
dengan jarak antar bibit yaitu 25 cm. Jarak antar tali ris adlah 50 cm dan tali ris diletakkan secara
acak di setiap ra kit apung.

HASIL PEMBAHASAN

Pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput
laut ini antara lain jenis, galur, bagian thallus dan umur thallus yang digunakan sebagai bibit,
sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan lingkungan fisik dan kimiawi
perairan. Namun demikian selain faktorfaktor tersebut, ada faktor lain yaitu faktor pengelolaan
yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan oleh manusia dalam kegiatan rumput laut
kadang merupakan faktor utama yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga
penggunaan berat bibit yang optimal dalam satu rakit apung (Prihaningrum, 2001).
Lobban,C.and Paul, J.H. (2000) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan rumput laut adalah usia, fenotip, genotip, kondisi reproduksi dan nutrisi yang ada
di perairan.

Referensi

Lobban,C.and Paul, J.H. (2000). Seaweed Ecology and Physiology. Newyork, Cambridge
University.

Sarifin. (2012). Petunjuk teknis budidaya rumput laut. Lombok, Balai Budidaya laut Lombok.
STUDI PERBANYAKAN JATROPHA CURCAS L. (JARAK PAGAR) DENGAN
TEKNIK KULTUR JARINGAN

ABSTRAK

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan tunas dan kalus terjadi pada minggu
pertama dari semua perlakuan. Eksplan yang diolah ternyata memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap jumlah kecambah, jumlah daun dan panjang kecambah. Kecambah ketiak
yang diberi perlakuan menghasilkan jumlah kecambah rata-rata tertinggi, yaitu 1,80, jumlah
daun terbesar yaitu 5.06, dan kecambah terpanjang yaitu 0,99 cm dibandingkan dengan
kecambah apikal yang diberi perlakuan menghasilkan jumlah kecambah 0,99, jumlah daun 4,66,
dan panjang kecambah 0,85 cm. Konsentrasi zat pengatur tumbuh tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah kecambah, daun dan panjang kecambah. Sedangkan perlakuan Z19 (NAA 0,09
+ BAP 2,25 mg / l) menghasilkan jumlah kecambah 1,0, jumlah daun terbanyak 5,73 dan
kecambah terpanjang 1,1 cm untuk eksplan kecambah apikal, sedangkan untuk eksplan
kecambah ketiak, jumlah kecambah tertinggi 2.0, jumlah daun terbesar 6.13 dan kecambah
terpanjang1,2 cm terjadi pada pengobatan Z20 (NAA 0,09 + BAP 4,5 mg / l). Untuk
memperbanyak tanaman jarak in vitro, Hasil penelitian menyarankan penggunaan jenis eksplan
kecambah ketiak yang dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh NAA 0,09 + BAP 4,5 mg / l.

Kata kunci: tipe eksplan, zat pengatur tumbuh, perbanyakan, pertumbuhan

PENDAHULUAN

Walaupun tamanan jarak pagar termasuk golongan tanaman yang mudah tumbuh, tapi
permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan jarak tersebut antara lain jumlah ketersediaan
benih yang terbatas dan teknik budidaya yang belum memadai.

Untuk perbanyakan kultur jaringan jenis jarak pagar belum diketahui dengan pasti
formulasi yang tepat. Berdasarkan informasi tersebut, maka penelitian tentang formulasi media
yang tepat sangat diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipe eksplan dan pengaruh berbagai konsentrasi
zat pengatur tumbuh (BAP dan NAA) yang tepat untuk pertumbuhan eksplan dan perbanyakan
secara in vitro.

METODE

Bahan penelitian yang digunakan adalah tunas apikal dan tunas aksilar yang berasal dari
material induk jarak pagar yang telah berumur 1 tahun, media MS, arang aktif, zat pengatur
tumbuh BAP dan NAA, deterjen, Dithane M-45, alkohol 70%, bayclin dan HgCl2,

Media tanam adalah MS (Murashige dan Skoog) yang telah dibuat dalam larutan stock,
ditambahkan arang aktif dan zat pengatur tumbuh (BAP dan NAA) dengan konsentrasi yang
berbeda-beda.

Eksplan yang digunakan berasal dari material tanaman Jarak pagar yang berasal dari
pertanaman berumur 1 tahun. Bahan yang diambil adalah tunas apikal dan tunas 5 cm.aksilar
sepanjang 3-5 cm

PENDAHULUAN

Jumlah eksplan yang digunakan pada penelitian ini adalah 2 tipe eksplan yaitu tunas
apikal dan tunas aksilar yang diberi perlakuan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP sebanyak 25
perlakuan dan setiap perlakuan diulang 3 kali. Dalam setiap botol kultur berisi 2 tunas eksplan,
sehingga keseluruhan berjumlah 150 botol kultur dan 300 tunas eksplan, yang mana eksplan
tunas apikal berjumlah 150 eksplan dan tunas aksilar berjumlah 150 eksplan.

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya terhadap


pertumbuhan eksplan maka dilakukan uji F. Bila sidik ragam menunjukkan pengaruh signifikan,
maka digunakan uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan dengan menggunakan
komputer yaitu program Statgraphics Versi 4,0

HASIL PEMBAHASAN

Sterilisasi bahan tanaman merupakan salah satu kegiatan penting dalam keberhasilan
kultur jaringan. Bahan tanaman dari lapangan mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai
kontaminan hidup pada permukaannya. Kontaminasn dapat berupa cendawan dan bakteri.
Fungisida Dithane M-45 mengandung bahan aktif Mankozeb 80%, efektif dalam mematikan
cendawan. Dari hasil perlakuan sterilisasi menunjukkan bahwa penggunaan Dithane M-45 10%
memberikan hasil terbaik 78% segar dalam menyeterilkan bahan eksplan jarak pagar,
dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Dengan demikian Dithane M-45 10% adalah paling
baik untuk digunakan pada bahan eksplan jarak pagar.

Kontaminasi terlihat mulai dari hari ke-4 ditandai dengan munculnya jamur atau bakteri.
Kontaminasi ini diduga karena media dan eksplan yang digunakan kurang steril, pemberian
bahan sterilan yang agak rendah dan juga disebabkan oleh faktor lingkungan laboratorium.

Penggunaan bahan sterilan yang pekat pada eksplan akan mengakibatkan eksplan
mengalami pencoklatan atau browning. Penggunaan bahan sterilan Dithane M-45 15%
menghasilkan eksplan segar 66% dan terjadi browning eksplan 21%. Ini lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena selain penggunaan
konsentrasi dalam dosis tinggi, dapat juga disebabkan karena jaringan eksplan mengalami stress
mekanik, pelukaan saat isolasi eksplan merangsang metabolisme senyawa fenol yang bersifat
toksik, yang bisa menghambat pertumbuhan atau mematikan eksplan. Menurut Yusnita (2003),
bahan sterilan berpengaruh terhadap tingkat kontaminasi dan konsentrasi berpengaruh langsung
terhadap pencoklatan eksplan.

Referensi

Soejono, S. 1995. Perbanyakan Melati (Jasminum multiflorum dan J. sambae) dengan Stek
258.dan Zat Pengatur Tumbuh Asam Indol Butirat. Jurnal Hortikultura 5 (2): 249

Sriyanti dan Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. PT Kanisius, Yogyakarta.


Pengaruh Penambahan Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan
dan Perkembangan Biji Dendrobium Taurulinum J.J Smith Secara In Vitro

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur
tumbuh NAA dan BAP yang efektif untuk perkembangan biji D. Penelitian menunjukkan bahwa
setelah 5 bulan inokulasi hasil terbaik ditunjukkan pada medium tanpa penambahan ZPT dengan
100% biji berkembang menjadi planlet. Pada penambahan berbagai kombinasi Zat Pengatur
Tumbuh didapatkan hasil dominasi pertumbuhan hanya mampu membentuk protocorm. Hal ini
membuktikan bahwa suatu organ dan jaringan tumbuhan mengandung hormon endogen yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ atau jaringan tersebut hingga
tahapan yang paling sempurna walaupun tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh dari luar.

Kata Kunci: -BAP, In Vitro, NAA, pertumbuhan biji D. taurulinum, Zat Pengatur Tumbuh.

PENDAHULUAN

Salah satu upaya konservasi anggrek ini adalah dengan perbanyakan anggrek melalui
kultur biji dengan penambahan berbagai jenis zat pengatur tumbuh untuk memacu
perkecambahan dan pertumbuhannya. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah NAA dan
BAP yang dapat meningkatkan perkecambahan biji dan menginduksi terbentuknya protokorm.
Penambahan 0,4 mg/L NAA dan 0,1 mg/L BAP menunjukkan pertumbuhan tertinggi pada
perkecambahan biji Dendrobium capra sedangkan 0,1 mg l-1 NAA atau 0,5 mg l-1 BA efektif
untuk meningkatkan tingkat perkecambahan biji Calanthe hybrid. Penggunaan kombinasi NAA
dan BAP dengan konsentrasi baik untuk perkecambahan biji Dendrobium sp. secara in vitro
adalah NAA 1 mg.L-1 dan BAP 0,5 mg.L-1.

Penelitian mengenai perkembangan protokorm telah banyak dilakukan, namun informasi


mengenai perkembangan dan penambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam medium yang
menggunakan eksplan dari spesies anggrek langka masih kurang. Penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap
pertumbuhan dan perkembangan biji D. Taurulinum.

METODE
Dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121o C tekanan 1,5 atm selama 20
menit (Nugroho, 2004), setelah itu semua alat dan bahan di masukkan ke Laminair Air Flow
(LAF) yang sudah disemprot dengan alkohol 70%.

Larutan stok, sukrosa, agar dan zat pengatur tumbuh dituang kedalam gelas Beaker dan
ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai dengan perlakuan. Larutan media ditambah aquades
hingga mencapai volume 1L. pH diset 5,8 dengan penambahan NaOH atau HCl. Media
dipanaskan di atas api hingga mendidih. Media dituang kedalam botol ±20 ml, dilanjutkan
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 atm selama 20 menit.
Setelah suhu autoklaf turun, media dikeluarkan dan di uji kontaminasi selama ± 1 minggu.

HASIL PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman termasuk pada biji anggrek Dendrobium taurulinum yang


digunakan pada penelitian ini dipengaruhi oleh suatu senyawa pengatur tumbuh yang lebih
dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT). Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik
ataupun anorganik yang hanya dibutuhkan tanaman dalam konsentrasi yang sangat sedikit. Zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk menginduksi pertumbuhan pada teknik
mikropropagasi adalah kombinasi golongan auksin dan sitokinin dimana pada penelitian ini jenis
yang digunakan adalah NAA yang dikombinasikan dengan BAP.

Penambahan auksin dengan konsentrasi tinggi mempunyai efek menghambat


pertumbuhan jaringan yang disebabkan terdapat persaingan dengan auksin endogen untuk
mendapatkan tempat kedudukan penerima sinyal membran sel sehingga penambahan auksin dari
luar tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel.

Referensi

Cribb, P.J. 1986. Dendrobium sect. Spatulata Lindl., the correct name for the ‘Antelope’
dendrobiums. Orchadian 7(8): 189

Risna R.A, et al. 2010. Spesies Prioritas Untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia. Seri I. Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya BogorLIPI

Arditti, J. dan Ernst, R. 1993. Micropropagation of Orchid. John Wiley& Sons Inc. New York.
Pengaruh Konsentrasi Thidiazuron (TDZ) dan Arang Aktif pada Sub Kultur Tunas
Pisang Kepok Hijau (Musa paradisiaca L.)

ABSTRAK

Penelitian mengenai “Pengaruh Beberapa Konsentrasi Thidiazuron (TDZ) dan Arang


Aktif pada Sub Kultur Tunas Pisang Kepok Hijau (Musa paradisiaca L.)” telah dilaksanakan
pada bulan Agustus sampai November 2014 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Kultur
Jaringan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Andalas, Padang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Thidiazuron,
arang aktif dan kombinasi keduanya terhadap pertumbuhan sub kultur tunas pisang kepok secara
in vitro. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial.

Kata Kunci: Musa paradisiaca L., Thidiazuron, Arang Aktif, Konsentrasi, Kultur Jaringan

PENDAHULUAN

Sub kultur adalah salah satu tahapan yang terjadi pada proses produksi bibit tanaman
melalui kultur jaringan.Adapun penggunaan ZPT (zat pengatur tumbuh) yang tepat adalah faktor
penting yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Isnaeni (2008) dengan jenis pisang Raja Bulu Juara, diperoleh nilai kematian
eksplan terendah pada perlakuan TDZ (thidiazuron) 0,04 mg/l. Diduga penggunaan TDZ dengan
konsentrasi 0,04 mg/l memicu inisiasi lebih cepat dibandingkan penyebaran senyawa fenolik
yang terjadi pada eksplan, sehingga sel-sel yang ada dapat berfungsi normal.Nisyawati dan
Kariyani (2013) mengungkapkan bahwa pada tanaman pisang Baranganpenambahan 2 g/l arang
aktif mampu memicu eksplan untuk menghasilkan tunas lebih banyak dibandingkan dengan
penambahan 0,5 dan 1 g/l arang aktif. Menurut Kumar et al. (2005) arang aktif tidak hanya
menstimulasi difusi nutrisi, gas dan respirasi dari tunas tapi juga dapat menyerap eksudat yang
tidak penting misalnya 5-hydroxymethylfurfural dan senyawa fenolik berbahaya lainnya.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah pemberian TDZ (A) dan
faktor kedua adalah pemberian arang aktif (B) total terdapat 12 perlakuan dan 3 ulangan

HASIL PEMBAHASAN

Kemampuan hidup eksplan yang baik ini karena eksplan yang digunakan dalam keadaan
yang segar. Selain itu diduga hal ini juga terjadi karena eksplan yang digunakan mampu
beradaptasi dengan media perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutami dan Purmaningsih
(2003) dan Mante and Tepper (1983), yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan multiplikasi antara lain kesegaran eksplan, media kultur, lingkungan
dan frekuensi sub kultur. Pernyataan ini semakin diperkuat dengan pendapat Yusnita (2003),
bahwa pemilihan eksplan merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan kultur
jaringan tumbuhan. Bahkan menurut Sulastri (2005) bahwa eksplan dengan kondisi fisik yang
baik akan dapat bertahan hidup pada medium kultur dengan atau tanpa penambahan hormon.

Tiwari et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat
menyebabkan jumlah tunas berkurang. Didukung oleh pendapat Khawar et al. (2004) yang juga
melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan regenerasi
tunas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini perlakuan konsentrasi TDZ yang
diberikan terlalu rendah (0,04 mg/l) sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan jika
dibandingkan dengan tanpa penambahan TDZ (0,00 mg/l) dan terlalu tinggi (0,09 mg/l) sehingga
menurunkan jumlah tunas yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui
bahwa tidak terjadi interaksi antara dua faktor perlakuan yang diberikan. Diduga hal ini terjadi
karena kerja arang aktif dan TDZ tidak saling mempengaruhi terhadap pertambahan jumlah tunas
pisang Kepok.

Referensi

Hutami, S. dan R. Purmaningsih. 2003. Perbanyakan Klonal Temu Mangga (Curcuma mangga)
Melalui Kultur In Vitro. Buletin Plasma Nutfah, 9 (1).

Tiwari, V., Tiwari K.N and Singh B.B. 2000. Comparative Studies of Cytokinin on In Vitro
Propagation of Bacapa monera. Plant Cell. Tissue and Organ
KULTUR JARINGAN JERUK KASTURI (Citrus Microcarpa) DENGAN
MENGGUNAKAN HORMON KINETIN DAN NAFTALEN ACETYL ACID (NAA)

ABSTRAK

Tanaman jeruk kesturi adalah salah satu tanaman hortikultra yang dapat dibuat jus dan
perasa makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Kinetin dan NAA terhadap
pertumbuhan eksplan biji Jeruk Kasturi (Citrus microcarpa). Hasil penelitian menunjukkan
pengaruh Kinetin dan NAA secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan eksplan Jeruk
Kasturi. Persentase tumbuh eksplan 100% tumbuh, kecuali perlakuan K5A0,waktu muncul akar
tercepat pada perlakuan K0A0,5 yaitu dengan rerata 2,3 hari setelah tanam (HST). Muncul tunas
eksplan biji jeruk kasturi yang paling cepat pada perlakuan K5A0 yaitu 5 (HST). Jumlah tunas
terbanyak yaitu pada perlakuan K3A2 adalah 2.4 tunas, panjang tunas tertinggi yaitu pada
perlakuan K3A0 adalah 7.1 tunas, dan jumlah akar terbanyak yaitu pada perlakuan K0A0,5
adalah 8,1 akar.

Kata Kunci: Kinetin, Kultur Jaringan, NAA.

PENDAHULUAN

Penggunaan sitokinin sangat diperlukan untuk memacu multiplikasi tunas tanaman.


Penggandaan tunas pada tanaman berkayu seperti belimbing, sukun, jeruk (Mahadi, 2013). Pada
umumnya memerlukan zat pengatur tumbuh dalam konsentrasi yang lebih tinggi berkisar antara
5-10 mg/l, untuk meningkatkan kemampuan proliferasi tunas kadang ditambahkan thidiazuron
atau auksin seperti NAA dalam konsentrasi yang rendah (0,1-0,3 mg/l). Sitokinin merupakan
faktor yang memicu pertumbuhan tunas aksilar yang keberadaanya juga dipengaruhi oleh
keberadaan auksin. Seperti yang telah dinyatakan oleh Dun (2006), perlakuan dekapitasi
(pengurangan konsentrasi auksin) pada P. sativum mampu meningkatkan konsentrasi sitokinin
pada batang utama diikuti dengan peningkatan konsentrasi sitokinin pada tunas aksilar.

METODE
Penelitian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama, kultur jaringan jeruk kasturi
(Citrus microcarpa) dilakukan dilabor Bioteknologi Universitas Islam Riau, sedangkan tahap
kedua, pengembangan lembar kerja siswa berbasis virtual laboratory dilakukan di Universitas
Riau pada bulan April-Mei 2015. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4 x 4.

HASIL PEMBAHASAN

Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari (2011) bahwa penambahan Auksin dan Sitokinin
ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam
sel, sehingga menjadi “ faktor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Jika
dibandingkan dengan perlakuan K5A0 (44%), diduga bahwa penambahan hormon eksogen dapat
menurunkan daya proliferasi sel untuk berkembang. Hal ini disebabkan karena tingginya
konsentrasi hor-mon Kinetin. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat More dalam Wahidah
(2011) menga-takan bahwa hormon kinetin dapat mem-pengaruhi proses perkembangan tanaman
pada konsentrasi rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan.

Faktor lain yang mendukung keberhasilan persentase tumbuh eksplan pada penelitian ini
adalah karena penggunaan media MS (Murashige Skoog) yang mengandung komposisi lengkap
untuk pertumbuhan eksplan. Menurut Wahyuni (2009), pemberian hormon dengan beberapa
konsentrasi pada media MS memberikan persentase tumbuh eksplan yang baik, karena pada
media mengandung vitamin, unsur hara makro dan mikro serta besi dan sukrosa sehingga cukup
untuk memacu pertumbuhan eksplan.

Referensi

Imam Mahadi. 2014. Induksi kalus kenerak (Goniothalamus umbrosus) berdasarkan jenis
eksplan menggunakan metode In vitro. Agroteknologi Tropika, 1(1): 18- 22.

Endang. G. Lestari. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh Dalam Perbanyakan Tanaman Melalui
Kultur Jaringan. Journal Agro. Biogen, 7(1): 63-68
Perbanyakan Begonia Bimaensis Undaharta & Ardaka Dengan Teknik Kultur Jaringan

ABSTRAK

Begonia bimaensis Undaharta & Ardaka adalah salah satu Begonia yang dikembangkan
di Kebun Raya „Eka Karya‟ Bali. Jenis ini merupakan spesies endemik yang ditemukan di
Gunung Muria di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa. Begonia bimaensis memiliki rambut putih
yang tumbuh pada permukaan atas daunnya. Perbanyakan tanaman B. bimaensis perlu dilakukan
dengan teknik kultur jaringan karena terbatasnya tanaman dan untuk menjaga kelestariannya.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui teknik sterilisasi yang tepat untuk inisiasi eksplan daun
B. bimaensis dan mengetahui kombinasi ZPT kinetin dan 2,4-D yang paling efektif serta
pengaruhnya terhadap pertumbuhan kultur B .bimaensis. Penelitian ini menggunakan media
dasar MS (Murashige dan Skoog) dengan penambahan kombinasi ZPT kinetin (0 ppm, 1 ppm,
dan 2 ppm) dan 2,4- D (0 ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm). Percobaan terdiri dari 9 perlakuan yang
setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan dengan tiap ulangan terdiri dari 1 botol.

Kata kunci: in vitro, Begonia, 2,4-D, kinetin

PENDAHULUAN

Media kultur jaringan mengandung unsurunsur penting, salah satunya adalah zat pengatur
tumbuh (ZPT). Dalam kultur jaringan ada dua golongan ZPT yang sangat penting, yaitu sitokinin
dan auksin (Lestari, 2011). Kinetin merupakan salah satu dari hormon sitokinin dan 2,4-D
merupakan salah satu hormon auksin.

Berdasarakan hal di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui teknik
sterilisasi yang tepat untuk inisiasi eksplan daun B. bimaensis, mengetahui pengaruh ZPT kinetin
dan 2,4-D terhadap pertumbuhan kultur B. bimaensis, dan mengetahui kombinasi ZPT kinetin
dan 2,4-D yang paling efektif untuk pertumbuhan kultur B. bimaensis.

METODE

Metode yang digunakan yaitu teknik kultur jaringan dengan Rancangan Acak Lengkap
dengan 2 faktor. Faktor pertama. adalah kombinasi konsentrasi kinetin yang terdiri dari 3 taraf,
yakni : 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm. Faktor kedua adalah konsentrasi 2,4-D yang terdiri dari 3 taraf,
yaitu: 0 ppm, 0,5 ppm dan 1 ppm. Sehingga dalam penelitian ini ada 9 kombinasi perlakuan dan
masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan

HASIL PEMBAHASAN

Faktor yang mempengaruhi kontaminasi kultur ada pada tahap sterilisasi bahan tanam.
Eksplan daun B. bimaensis memiliki rambut putih lebat di permukaan daunnya merupakan
tempat yang sesuai untuk menempel mikroorganisme jamur maupun bakteri sehingga rentan
menyebabkan kontaminasi. Selain itu, kontaminasi bisa terjadi karena pada saat kultur musim
penghujan dan sedang banyak media yang terkontaminasi jamur dari penelitian lain dalam
laboratorium yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiyoko (1995) bahwa setiap kondisi
kultur terkontaminasi sangat ditentukan oleh keahlian pelaksananya, sterilnya lingkungan kerja,
jenis eksplannya, cara sterilisasinya, kondisi suhu dan iklim pada saat kultur.

Proses pembuatan dan sterilisasi media juga menjadi faktor yang penting dalam
mendukung keberhasilan kultur jaringan karena media tumbuh dan eksplan paling rentan
terhadap kontaminasi mikroorganisme. Gunawan (1988) mengatakan bahwa media kultur
jaringan merupakan media yang sangat mendukung bagi mikroorganisme.

Referensi

Gunawan, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya Informasi
IPB

Setiyoko, B. 1995. Kultur Meristem Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L.) Kultivar Ambon
untuk Memperoleh Tanaman yang Bebas Cucumber Mosaic Virus. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
PEMANFAATAN AIR KELAPA DAN APLIKASI PUPUK ORGANIK UNTUK
MERANGSANG PERTUMBUHAN BIBIT TEBU G3 HASIL KULTUR JARINGAN

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk organik dan kosentrasi
penyemprotan air kelapa yang memberikan pertumbuhan terbaik pada tanaman tebu G3 Hasil
kultur jaringan. Penelitian dilaksanakan di Kebun Penelitian KPTR Manis Harum Kab. Pasuruan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2018 sampai Desember 2018. Racangan
percobaan menggunakan rancangan faktorial yang diatur dalam rancangan acak lengkap
(completely randomized design) yang terdiri atas dua faktor yaitu jenis pupuk (P), konsentrasi air
kelapa (K). Data dianalisis dengan sidik ragam (analysis of variance). Apabila ada beda nyata
maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan’s Multiple Range Test) pada jenjang nyata
5%.

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi tanaman tebu dipengaruhi oleh penyediaan bibit unggul yang
bermutu antara lain memiliki rendemen gula yang tinggi, kualitas gilingan yang tinggi, tipe
kemasakan, tahan terhadap penyakit, serta dapat beradaptasi pada perubahan iklim global (antara
lain drainase yang buruk (Ardiyansyah & Purwono, 2015). Pengadaan bibit tebu dalam skala
besar, cepat dan murah merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Penyediaan bibit unggul
yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan
pertanian di masa mendatang khususnya tanaman tebu (Indrawanto et al., 2010). Pengadaan bibit
tanaman tebu khususnya yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat
akan sulit dicapai melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak
dilaporkan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan.
Melalui kultur jaringan tanaman tebu dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan karena
faktor perbanyakannya yang tinggi dan tidak tergantung pada musim (Pawirosemadi, 2011)

METODE
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan faktorial yang diatur dalam
rancangan acak lengkap (completely randomized design) yang terdiri atas dua faktor yaitu jenis
pupuk (P), konsentrasi air kelapa (K). Faktor yang pertama yaitu jenis pupuk, terdiri dari P0
(Kontrol ), P1 (Kompo 1 : 1), P2 (Kotoran sapi 1 : 1), P3 (Kascing 1 Faktor yang kedua yaitu
penyemprotan dengan air kelapa, terdiri dari 4 aras yaitu K0 (tanpa penyemprotan), K1
(penyemprotan dengan 100 ml/l), K2 (penyemprotan dengan 200 ml/l), K3 (penyemprotan
dengan 300 ml/l)

HASIL PEMBAHASAN

Zaini et al., 2017). Fase perkecambahan pada tanaman tebu dimulai saat terjadinya
pertumbuhan mata tunas tebu yang awalnya dorman menjadi tunas muda yang dilengkapi dengan
daun, batang, dan akar. Fase perkecambahan sangat ditentukan faktor internal pada bibit seperti
varietas, umur bibit, jumlah mata, panjang stek, cara meletakan bibit, jumlah mata, bibit
terinfeksi hama penyakit, dan kebutuhan hara bibit. Selain itu, faktor eksternal seperti kualitas
dan perlakuan bibit sebelum tanam, aerasi dan kelengasan tanah, kedalaman peletakan bibit
(ketebalan cover), dan kualitas pengolahan tanah juga sedikit berpengaruh pada fase
perkecambahan ini (Gery, 2015).

Menurut Pawirosemadi (2011), tanaman tebu yang berada di dalam tanah yang
mengandung unsur hara yang tercukupi akan tumbuh secara maksimal dan mendapatkan hasil
yang maksimal. Hal ini sejalan dengan pendapat (Raksun et al., 2019) yang menyatakan bahwa
Pupuk merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi tanaman. Di dalam pupuk terkandung
berbagai unsur hara yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Pemupukan
tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk sintetik maupun pupuk organik. serta
sependapat dengan (Darlina et al., 2016) yang menyatakan bahwa air kelapa mengandung air
kelapa muda mengandung hormon giberelin (0,460 ppm GA3, 0,255 ppm GA5, 0,053 ppm
GA7), sitokinin (0,441 ppm kinetin, 0,247 ppm zeatin), dan auksin (0,237 ppm IAA) serta
senyawa lain yang dapat memacu pertumbuhan biji.

Referensi
Andayani, La Sarido, & La Sarido. Andayani. (2013). Uji Empat Jenis Pupuk Kandang Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Cabai Keriting (Capsicum annum L.). Jurnal
AGRIFOR, 12(1), 22–29.

Ardiyansyah, B., & Purwono. (2015). Mempelajari Pertumbuhan dan Produktivitas Tebu
(Saccharum Officinarum. L) dengan Masa Tanam Sama pada Tipologi Lahan Berbeda.
Bul. Agrohorti, 3(3), 357–365.

Gery, G. (2015). Fase Pertumbuhan Tanaman Tebu. Agronomi Indonesia.

Heriansyah, P., Sagiarti, T., Program Studi Agroteknologi, R., Pertanian Universitas Islam
Kuantan Singingi, F., Kuantan Jln Gatot Subroto, T. K., Telp, J., & Kuantan, T. (2014).
Pengaruh Pemberian Myoinositol dan Arang Atif pada Media Subkultur Jaringan
Tanaman Anggrek (Dendrobium sp.). Jurnal Agroteknologi, 5(1), 9–16.

Indrawanto, C., Purwono, & Siswanto. (2010). Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Eska Media.
Pengaruh Konsentrasi GA3 Terhadap Induksi TunasTanaman Anggur (Vitis vinivera
L.) Secara In Vitro

ABSTRAK

Penelitian tentang 'Pengaruh Konsentrasi GA3 terhadap Induksi Grapevine ( Vitis vinifera L.)
Tunas Tumbuh In Vitro telah dilaksanakan selama periode Februari hingga Agustus 2016 di
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi GA3 yang paling tepat dalam merangsang
pertumbuhan tunas selentingan in vitro. Percobaan ditata dalam Rancangan Acak Lengkap
dengan 5 perlakuan konsentrasi GA3. Perlakuannya adalah GA3 0, 10, 20, 30, 40 ppm, masing-
masing diulang sebanyak lima kali.

Kata kunci: Grapevine, Tunas, GA3, in vitro

PENDAHULUAN

Kultur jaringan atau kultur in vitro adalah teknik menumbuhkan organ, jaringan, sel (atau
protoplas) tanaman secara in vitro pada media yang mengandung nutrisi dilaboratorium dalam
kondisi aseptik. Teori ini didasari oleh teori totipotensi sel, yaitu teori yang menyebutkan bahwa
sel tanaman memiliki potensi untuk tumbuh menjadi tanaman secara utuh. Teknik ini digunakan
untuk berbagai tujuan, yang utamanya adalah untuk perbanyakan tanaman. Perbanyakan tanaman
dengan teknik kultur jaringan ini termasuk perbanyakan secara vegetatif dan anakan yang
dihasilkan akan sama dengan induknya (true-to type). Selain sifat (true-to type) pada anaknya,
teknik perbanyakan dengan cara ini lebih efisien karena dari bahan tanam yang berukuran kecil
akan dihasilkan anakan dalam jumlah banyak. Bibit tanaman yang dihasilkan juga lebih sehat
dan bersih, sehingga untuk tujuan perdagangan bibit, maka hasil dari kultur jaringan jauh lebih
baik (Dwiyani, 2015).

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan kultur jaringan yaitu
bahan sterilisasinya, kandungan unsur kimia dalam media.Media merupakan salah satu faktor
penting untuk keberhasilan teknik kultur jaringan untuk maksud apapun. Kecocokan media akan
menentukan keberhasilan eksplan merespon, tumbuh dan berkembang. Komponen pokok
medium meliputi makronutrien, mikronutrien, sumber karbon, hormon (ZPT), vitamin, asam
amino dan asam-asam organik, air dan agar. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan
hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, meghambat dan merubah proses fisiologis
tumbuhan.

METODE

Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan konsentrasi GA3, yaitu : M0 = 0 ppm GA3 M1 = 10
ppm GA3 M2 = 20 ppm GA3 M3= 30 ppm GA3 M4= 40 ppm GA3 Perlakuan tersebut diulang 5
kali, sehingga ada unit 25 perlakuan. Setiap unit perlakuan diwakili oleh satu buah botol kultur
yang ditanam 3 buah eksplan. Media dasar yang digunakan adalah media MS. Dalam penelitian
ini tidak dilakukan uji statistik, karena rendahnya tingkat keberhasilan dalam penelitian kultur
jaringan. Sehingga data hasil penelitian ini hanya dibahas secara deskriptif. Penelitian kultur in-
vitro tanpa menggunakan uji statistik pernah dilaporkan oleh Girsang (2008), Dwiyani (2010)
dan Rineksane (2015).

HASIL PEMBAHASAN

Di dalam kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting
dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman (Gaba, 2005). Perannya antara lain
mengatur kecepatan pertumbuhan dari masingmasing jaringan dan mengintegrasikan bagian-
bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat
pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi,
genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al., 2004). Zat pengatur tumbuh
giberalin yang digunakan pada penilitian ini cukup mempengaruhi perkembangan dari eksplan
anggur. Akibat pemberian giberalin tersebut terjadi beberapa perubahan bentuk pada eksplan
akibat adanya perangsangan dan efek dari pemberian hormon dalam hal ini perubahan tersebut
dikatakan sebagai tahap perkembangan. Adapun tahapan perkembangan yang terjadi pada
eksplan dalam penelitian ini yakni dimulai dengan terjadinya pembengkakan.

Referensi

Ahmad Z., A. Hussain, N. Zaidi, Z. Iqbal, and F.H. Shah.1995. A study of relationship between
growth regulatorsand browning in Pistacia vera Calli. Plant Tiss. Cult. 5(2):125-129.
Basri, Z., 2004. Kultur Jaringan Tanaman.Universitas Tadulako Press, Palu.

Chakraborty D, Mandal AKA, Datta SK. Retrieval of new coloured chrysanthemum through
organogenesis from Sectorial chimera. Curr Sci. 2000;789:1060–1061.

Anda mungkin juga menyukai