Anda di halaman 1dari 21

IDENTIFIKASI MATERI PAI

DI MA KELAS XII SEMESTER GANJIL

Dosen pengampu : Mukhlisin, M.Pd.I.

NAMA KELOMPOK 2
ABD. ROHIM {1117090}
AHMAD KHUSAIRI { 1117093 }
SITI ZUBAIDAH { 1117121 }
TOHA ZAKIYUL FATIH {1117116 }

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULKTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM (Unipdu)
JOMBANG
2020
Fiqih

1. Identifikasi pelajaran FIQIH pada MA kelas XII semester ganjil sebagai berikut
Materi : Empat bab
BAB I ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyah.
BAB II ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyah.
BAB III sumber hukum Islam.
BAB IV sumber hukum Islam.
BAB V hukum-hukum syar’i.
Sub materi : ada 6 sub bab:
sub bab
A. ketentuan Islam tentang pemerintahan (khilafah).
B. Majlis syura dalam Islam.
C. Sumber hukum Islam yang disepakati ulama dan yang
diperselisihkan.
D. Penerapan sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati
ulama.
E. pengertian, fungsi dan kedudukan ijtihad.
F. Hukum taklifi dan penerapannya dalam Islam.

Jam pelajaran : Terdapat 12 jam pelajaran dalam semester ganjil


Tatap muka : Terdapat 6 tatap muka dengan satu kali tatap muka 2 jam pelajaran
dalam semester ganjil

KESIMPULAN :
BAB I ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyah.
ketentuan Islam tentang pemerintahan (khilafah).

Secara sederhana siyasah syar’iyah diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurusan


masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat.

Khallaf merumuskan siyasah syar’iyah dengan:

Pengelolaan masalah-masalah umum bagi pemerintah islam yang menjamin terciptanya


kemaslahatan dan terhindarnya kemudharatan dari masyarakat islam,dengan tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak
sejalan dengen pendapat para ulama mujtahid.Definisi ini lebih dipertegas oleh Abdurrahman
taj yang merumuskan siyasah syariyah sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan
Negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-
dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun
pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur’an maupun al-sunah.Bahansi
merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai
dengan tuntutan syara. Sementara para fuqaha, sebagaimana di kutip khallaf, mendefinisikan
siysah syariyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah untuk melakukan kebijakan-
kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak
bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal
itu.Dengan menganalisis definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas dapat
ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, yaitu:

1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan


manusia.
2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan(ulu ai-
amr)

Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak


kemudharatan.Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat
islam.Berdasarkan hakikat siyasah syar’iyah ini dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber
pokok siyasah syar’iyah adalah al quran dan ai sunnah. Kedua sumber inilah yang menjadi
acuan bagi pemegang pemerintahan untuk menciptakan peraturan-peraturan perundang-
undangan dan mengatur kehidupan bernegara. Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi
atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis,
Fiqh merupakan bentuk mashdar(gerund) dari tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang
berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan
atau tindakan tertentu.Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan
sebagai berikut: Ilmu tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami
dari dalil-dalilnya yang rinci.Sementara mengenai asal kata siyasah terdapat dua pendapat.
Pertama, sebagaimana di anut AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol,
yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga
di baca siyasah. Pendapat tersebut di dasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik
jengish khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dengan berbagai
bentuk hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu.Kedua, sebagaimana di anut Ibn
Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni bahasa Persia,turki dan
mongol.Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab,
yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, [3] yang semula berarti
mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang
disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda.Sedangkan secara
terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis islam. Menurut
Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:

1. “Siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak
menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”
2. “siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta
pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi
mereka.Dan definisi yang paling ringkas dari Ibn Manzhur tentang siyasah adalah “
mengatur sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.”

Setelah di uraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun terminologis,
perlu juga kiranya di kemukakan definisi fiqh siyasah. Penting dicatat, di kalanagn teoritisi
politik islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga di sinonimkan denganilmu siyasah syar’iyyah.
Sebagaimana dijelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata
Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan
ummat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hokum,
peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan
ajaran islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghadirkannya dari
berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kejidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang dijalaninya. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukn ruang lingkup
kajian fiqh siyasah.diantaranya ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang
menetapkan kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama yang
membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang.

Menurul al mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup:

1. Kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyasah


dusturiyah).
2. Ekonomi dan militer (siyasah maliyah)
3. Peradilan (siyasah qadha’iyah)
4. Hukum perang (siyasah harbiah).
5. Administrasi negara (siyasah idariyah).

Sedangkan ibn taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian yaitu:

1. Peradilan.
2. Administrasi negara.
3. Moneter
4. Serta hubungan internasional

Sementara Abdul wahhab khallaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja
yaitu:

1. Peradilan.
2. Hubungan internasional
3. Dan keuangan negara
BAB II ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyah.

Majlis syura dalam Islam.

Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan


memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].Sedangkan
secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka
adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan
pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm.
207]. Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat
(dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang
dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297]. Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih
kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu
permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami
al-Hukm al-Islami hlm. 14].

Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura
sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi
argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan
berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga
tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].
Pensyari’atan Syura dalam Islam . Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah,
baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Dalam
kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan
Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa


syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh
ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang
dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi
Sulaiman ‘alahissalam. Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura
(musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa
syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku
jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya
bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-
orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang
di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan,
permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa
sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah”
BAB III sumber hukum Islam.

Sumber hukum Islam yang disepakati ulama dan yang diperselisihkan

1. Al Quran

Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya
berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.Al Quran juga merupakan hujjah atau
argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan
pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk
mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan
atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun
manusia itu adalah orang pintar.

2. Hadits

Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan
dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang
kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk
mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32. Al Hadits
sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan,
sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di
dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada
kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

3. Ijma

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul.
Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i
tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan
perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu
metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam
Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era
globalisasi dan teknologi modern.Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan
Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari
umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum
syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma
sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui
pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat
langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam
forum pun sulit dilakukan.Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama
melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu
masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang
banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan
pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.
4. Qiyas

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan
yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya
dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia
memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.

Penerapan sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati ulama.

berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan


empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang
disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang
terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya
Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama
dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-
Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil
yang disepakati.

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw,
baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi
Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah
itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan
dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.

Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).

Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada
umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan


beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

3) Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di


hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau
bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.
BAB IV sumber hukum Islam.

pengertian, fungsi dan kedudukan ijtihad.

Menurut pengertian kebahasaan kata ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata
kerjanya “jahada” yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam
ilmu fikih, pengertian ijtihad adalah mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-
sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung didalam Al-Qur’andan hadist dengan syarat-syarat tertentu. Muslim yang
melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil
hukumnya secara pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist.Masalah-masalah yang sudah jelas
hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist
seperti kewajiban beriman pada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun
Islam yang lama, maka masalah-masalah tersebut tidak boleh diijtihadkan lgi.Ditinjau dari
segi sejarah ijtihad, ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah Saw masih hidup dan
terus berlanjut hingga beliau wafat.

Kedudukan Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-
Qur’an dan Hadist. Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:

Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil
Haram dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.”
(Q.S. Al-Baqarah, 2: 150).

Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari
Baitullah (Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan
menentukan arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan
pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada. Hadist yang dijadikan dalil ijtihad ialah hadist
riwayat Tirmidzi dan Abu Daud tentang dialog antara Rasulullah Saw dengan sahabatnya
Mu’az bin Jabal, yang telah disebutkan di muka. Hadist lainnya, yang juga dapat dijadikan
dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah yang artinya: “Apabila seorang
hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat
dua pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari
dan Muslim).
BAB V hukum-hukum syar’i

Hukum taklifi dan penerapannya dalam Islam


Hukum Taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukallaf (sudah baligh dan berakal) untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram,
makan minum mubah.
Wajib yang berarti tetap atau pasti. Dibagi menjadi 3 yaitu:
Pembagian Wajib dari segi orang yang dibebani kewajiban:
1. Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiapo mukallaf tanpa terkecuali,
misalnya shalat wajib 5 waktu, berzakat, haji bila mampu.
2. Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk
dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya. Jadi syari’ hanya menuntut dari
kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari
mukalaf yang lain, tapi apabila tidak ada seorang pun mukalaf yang melakukannya maka
semua mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya menjawab salam, amar
ma’ruf nahi munkar , menshalatkan orang yang meninggal, menolong orang lain.
Wajib kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya kecuali
mukalaf itu. Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedangkan semua orang yang
menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang itu, maka wajib kifayah itu
menjadi wajib ‘ain baginya.
Pembagian Wajib dari segi kandungan perintah:

1. Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa
ada pilihan. Misalnya, puasa di bulan ramadhan, membaca al-fatihah dalam shalat

2. Wajib mukhayyar, yaitu kewajiban dimana menjadi objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat sumpah.
Pembagian Wajib dari segi waktu pelaksanaanya

1. Wajib mutlaq, yaitu wajib yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Misalnya, Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia
membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia
kehendaki, dan kewajiban membayar hutang puasa ramadhan yang tertinggal (qadha).
Wajib muaqqat , yaitu kewajiban yang pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu.
Misalnya, shalat 5 waktu, puasa bulan ramdhan, haji.
Pembagian Manbud / Nadb/ Sunnah, yang berarti sesuatu yang dianjurkan:
1. Muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan, yang dibiasakan oleh rasul. Misalnya,
shalat sunnah rawatib dan fajar

2. Ghair muakkadah, yaitu sunnah biasa yang dilakukan rasul namun bukan menjadi
kebiasaannya. Misalnya, shalat sunnah 2 rakaat sebelum zuhur

3. Zawaid, sunnah mengikuti kebiasaan sehari hari rasul sebagai manusia. Misal, cara
makan rasul tidur, minum, tidur, dan lain lain.

Pembagian Haram, yang berarti sesuatu yang dilarang untuk mengerjakannya:

1. Al-muharram li dzatihi yaitu, iharamkan karna esensinya mengandung kemudharatan


bagi kehidupan manusia. Misalnya, larangan melakukan perzinahan, memakan bangkai,
darah, dan daging babi.

2. Al-muharram li ghairihi yaotu, dilarang karana bukan esensinya, tapi pada kondisi
tertentu dilarang karna ada pertimbangan eksternal. Misalnya, larangan meakukan jual beli
saat azan jumat/ shalat jumat bagi laki laki.

Pembagian Makruh, yang berarti sesuatu yang dibenci oleh Allah swt:

1. Makruh tahrim, yaitu dilarang syariat karna apabila dikerjakan dibenci ditinggalkan
berpahala mendekati keharaman tapi dalilnya bersifat dhanni al-wurud (dugaan keras, seperti
hadist ahad yang diriwayatkan perorangan). Misalnya, larangan meminang perempuan yang
sedang dalam pinangan orang lain, dan merokok

2. Makruh tanzih, yaitu dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya,


memakan daging kuda pada waktu sangat butuh diwaktu perang, menurut sebagian Hanafian,
ada pula memakan makanan yang meninggalkan bau menyengat di mulut.

Pembagian Mubah, yang berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan oleh Allah swt:

Pembagian mubah menurut al-syatibi:

1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya, makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk
menggerakan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb.

2. Sesuatu dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya
jika dilakukan setiap waktu. Misalnya, bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan
waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan musik hukumnya akan menjadi haram.

3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yang mubah pula.
Misalnya, membeli perabotan rumah untuk kepentingan kesenangan.
MAPEL AQIDAH AKHLAK KELAS XII SEMESTER GANJIIL

1. Identifikasi pelajaran Aqidah Akhlak pada kelas XII MA semester Ganjil sebagai berikut:

Materi : Ada 4 bab :


1. Prinsip-prinsip dan Metode Peningkatan Kualitas Aqidah
2. Tauhid
3. Syirik dalam Islam
4. Akhlak
Sub materi : Sub bab dari bab I :
1. Prinsip-prinsip akidah
2. Metode-metode peningkatan kualitas akidah
3. Prinsip-prinsip akidah dalam kehidupan
4. Metode-metode peningkatan kualitas akidah dalam
kehidupan

Sub bab dari bab II:


1. Pengertian tauhiid dan istilah-istilah lainnya
2. Macam-macam tauhiid (uluuhiyah, rubuubiyah,
mulkiyah, rahmaniyah dan lain-lain)
3. Prilaku orang yang ber-tauhiid
4. Perilaku ber-tauhid dalam kehidupan sehari-hari
Sub bab dari bab III:
1. Pengertian syirik
2. Macam-macam syirik
3. Perilaku orang yang berbuat syirik
4. Akibat perbuatan syirik
5. Hal-hal yang mengarah kepada perbuatan syirik dalam
kehidupan sehari-hari

Sub bab dari bab IV:


1. Pengertian akhlak
2. Induk-induk akhlak terpuji dan induk-induk akhlak
tercela
3. Macam-macam metode peningkatan kualitas akhlak
4. Metode-metode peningkatan kualitas akhlak dalam
kehidupan
Jam pelajaran : Terdapat 16 jam pelajaran dalam semester
Tatap muka : Terdapat 8 tatap muka dengan satu kali tatap muka 2 jam pelajaran
dalam semester genap
Resume materi Aqidah Akhak Kelas XII MA semester ganjil pada setiap bab :
BAB I :
1. Pengertian Akidah
Akidah berakar dari kata yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain, sehingga
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika masih dapat dipisahkan berarti
belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya. Dalam pembahasan yang
masyhur akidah diartikan sebagai iman, kepercayaan atau keyakinan.
Dalam kajian Islam, akidah berarti tali pengikat batin manusia dengan yang diyakininya
sebagai Tuhan yang Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini.
Akidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata yang tidak menerima keraguan
dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu itu masih ada unsur keraguan
dan kebimbangan, maka tidak disebut akidah. Jadi akidah itu harus kuat dan tidak ada
kelemahan yang membuka celah untuk dibantah.
2. Dalil / Argumentasi dalam Akidah
Argumentasi yang kuat dan benar yang memadai disebut Dalil. Dalil dalam akidah ada dua
yaitu:
a. Dalil ‘Aqli ( ).
Dalil yang didasarkan pada penalaran akal yang sehat. Orang yang tidak mampu
mempergunakan akalnya karena ada gangguan, maka tidak dibebani untuk memahami
Akidah. Segala yang menyangkut dengan Akidah, kita tidak boleh meyakini secara ikut-
ikutan, melainkan berdasarkan keyakinan yang dapat dipelajari sesuai dengan akal yang
sehat.
b. Dalil Naqli ( )
Dalil naqli adalah dalil yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunah.
Walaupun akal manusia dapat menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus
disadari bahwa betapapun kuatnya daya pikir manusia, ia tidak akan sanggup mengetahui
hakikat zat Allah yang sebenarnya. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki
yang ghaib, untuk mengetahui yang ghaib itu kita harus puas dengan wahyu Allah. Wahyu
itulah yang disebut dalil Naqli.
Kebenaran dalil Naqli ini bersifat Qa‫’ܒ‬iy (pasti), kebenarannya mutlak serta berlaku untuk
semua ruang dan waktu. Dalil Naqli ada dua yaitu al-Qur’an dan hadis Rasul. Hal-hal yang
tidak dapat dijangkau oleh akal, cukup diyakini kebenarannya tanpa harus membuktikan
dengan akal. Termasuk ke dalam bagian ini adalah hakikat hal-hal yang ghaib, seperti kiamat,
alam barzakh, alam makhsyar, surga, neraka, malaikat,dan lain sebagainya.
3. Tujuan Akidah Islam
Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yaitu:
a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah. Karena Allah adalah
Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan
hanya kepada-Nya .
b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya akidah.
Karena orang yang lemah akidahnya, adakalanya kosong hatinya dan adakalanya terjerumus
pada berbagai kesesatan dan khurafat.
c. Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat
hubungan antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar
menghadapi segala persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan.
d. Meluruskan tujuan dan perbuatan yang menyimpang dalam beribadah kepada Allah
serta berhubungan dengan orang lain berdasarkan ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah
saw.
e. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan
yang baik untuk beramal baik. Sebab setiap amal baik pasti ada balasannya. begitu
sebaliknya, setiap amal buruk pasti juga ada balasannya. Di antara dasar akidah ini adalah
mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
4. Metode-Metode Peningkatan Kualitas Akidah
Di antara cara atau metode yang bisa diterapkan adalah
(1) Melalui pembiasaan dan keteladanan.
Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran orang tua sangat
penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari anggota keluarganya sedini
mungkin. Keberhasilan penanaman akidah tidak hanya menjadi tanggungjawab guru saja,
tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak. Karena itu, semuanya harus terlibat. Selain itu
pembiasaan hidup dengan kekuatan akidah itu harus dilakukan secara berulang-ulang
(istiqamah), agar menjadi semakin kuat keimanannya.
(2) Melalui pendidikan dan pengajaran
Pendidikan dan pengajaran dapat dilaksanakan baik dalam keluarga, masyarakat atau
lembaga pendidikan formal. Pendidikan keimanan ini memerlukan keterlibatan orang lain
untuk menanamkan akidah di dalam hatinya. Penanaman kalimat-kalimat yang baik seperti
dua kalimat syahadat dan kalimat lƗ ilaha ill Allah (tiada
Tuhan selain Allah) sangat penting untuk menguatkan keimanan seseorang. Pendidikan dan
pengajaran menjadi salah satu cara yang tepat dalam menanamkan akidah dan meningkatkan
kualitas akidah. Islam mendidik manusia supaya menjadikan akidah dan syariat Allah
sebagai rujukan terhadap seluruh perbuatan dan tindakannya. Oleh sebab itu, pendidikan
Islam menjadi kewajiban orang tua dan guru di samping menjadi amanat yang harus dipikul
oleh satu generasi untuk disampaikan kepada generasi berikutnya, dan dijalankan oleh para
pendidik dalam mendidik anak-anak.
5. Prinsip-Prinsip Akidah Islam
Prinsip-prinsip akidah secara keseluruhan tercakup dalam sejumlah prinsip agama Islam.
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Esa. Berimankepada Allah dan
hanya menyembah kepada Allah, dan tidak menyekutukan Allah.
b. Pengakuan bahwa para Nabi telah diangkat dengan sebenarnya oleh Allah Swt. untuk
menuntun umatnya. Keyakinan bahwa para Nabi adalah utusan Allah Swt. sangat penting,
sebab kepercayaan yang kuat bahwa Nabi itu adalah utusan Allah, mengandung konsekuensi
bahwa setiap orang harus meyakini apa yang dibawa oleh para Rasul utusan Allah tersebut
berupa kitab suci. Keyakinan akan kebenaran kitab suci menjadikan orang memiliki pedoman
dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
c. Kepercayaan akan adanya hari kebangkitan. Keyakinan seperti ini memberikan
kesadaran bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya. Setiap orang pada hari
akhir nanti akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawaban selama hidupnya di
dunia.
d. Keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Maha Adil. Jika keyakinan seperti ini tertanam di
dalam hati, maka akan menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan
mendapatkan balasan dari Allah Swt. Orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan
balasan yang baik, seberapapun kecilnya kebaikan itu. Sebaliknya perbuatan jelek sekecil
apapun akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt.

BAB II :

1. Pengertian Tauhid
Menurut bahasa kata tauhid berasal dari bahasa Arab tauhid bentuk masdar (in¿nitif) dari kata
wahhada, yang artinya al-i’tiqaadu biwahdaniyyatillah (keyakinan atas keesaan Allah).
Sedangkan pengertian secara istilah tauhid ialah meyakini bahwa Allah Swt. itu Esa dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat syahadat. Laa ilaha illa Allah
(tidak ada Tuhan selain Allah).
2. Nama-Nama Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid memiliki beberapa sebutan lain seperti berikut:
1. Ilmu Ushuluddin
Kata ushuluddin terdiri dari dua kata yaitu usҕnjl yang berarti pokok atau pangkal dan din
yang berarti agama. Jadi ilmu ushuluddin adalah ilmu tentang pokok-pokok agama. Ilmu
tauhid sering disebut juga dengan ilmu ushuluddin (pokok-pokok atau dasar-dasar agama)
karena ilmu itu menguraikan pokok-pokok atau dasar-dasar agama.
2. Ilmu Aqaid
Ilmu tauhid sering juga disebut ilmu aqaid (keyakinan), karena ilmu tersebut membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan keyakinan.
3. Ilmu Kalam
Kata kalam berarti perkataan atau kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud
pengertian. Kata kalam kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Allah yaitu
berkata-kata. Jadi ilmu kalam adalah ilmu tentang kalam Allah.
4. Ilmu IlƗhiah
Ilmu tauhid juga dikenal dengan sebutan ilmu ilƗhiah, karena yang menjadi obyek utama ilmu
ini pada dasarnya adalah masalah ketuhanan. Ilmu tauhid juga kadang disebut dengan teologi.
Teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan.
3. Ruang Lingkup Tauhid
Pokok-pokok pembahasan yang menjadi ruang lingkup ilmu tauhid meliputi tiga hal sebagai
berikut:
1. Ma’rifat al-mabda’ yaitu mempercayai dengan penuh keyakinan tentang Pencipta
alam yaitu Allah Swt. Hal ini sering diartikan dengan wujud yang sempurna, wujud mutlak
atau wajibul wujud.
2. Ma’rifat al-watsiqah yaitu mempercayai dengan penuh keyakinan tentang para utusan
Allah Swt. yang menjadi utusan dan perantara Allah Swt. dengan umat manusia untuk
menyampaikan ajaran-ajaran Nya, tentang kitab-kitab Allah yang dibawa oleh para utusan-
Nya dan tentang para malaikat-Nya.
3. Ma’rifat al-ma’ad yaitu mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya
kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ihwal yang ada di dalamnya.
4. Macam-Macam Tauhid
Berdasarkan jenis dan sifat keyakinan tauhid, para ulama membagi ilmu tauhid dalam empat
bagian; yaitu:
1. Tauhid yang berhubungan dengan ke Tuhanan yaitu mempercayai bahwa hanya
kepada Allah-lah kita harus berTuhan, beribadah, memohon pertolongan, tunduk, patuh dan
merendah serta tidak kepada yang lain. Tauhid ini mengandung makna bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah. Semua amal ibadah harus disandarkan kepada-Nya.
2. Tauhid yang berhubungan dengan sifat Allah yang Maha Memelihara yaitu mempercayai
bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya pencipta, pemelihara, penguasa dan pengatur alam
semesta ini. Tauhid ini juga mengandung pengertian keyakinan atas keesaan Allah dalam
penciptaan alam. Allah adalah al-KhƗliq. Hanya Allah Pencipta dan Penguasa alam semesta.

3. Tauhid yang berhubungan dengan kesempurnaan sifat Allah yaitu mempercayai hanya
Allah Swt. yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan terlepas dari sifat tercela atau dari
segala kekurangan.
4. Tauhid yang berhubungan dengan kekuasaan Allah yaitu mempercayai bahwa Allah
sebagai satu-satunya Zat yang menguasai alam semesta, tidak ada lagi zat lain yang turut
serta dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada sekutu atas kekuasaan Allah di jagat raya ini. Allah
adalah al-Malik, Maha Raja di atas raja-raja yang ada di dunia
5. Hikmah dan Manfaat Bertauhid
Orang yang bertauhid akan memiliki hikmah yang besar, antara lain:
1. Tauhid yang kuat akan menumbuhkan sikap kesungguhan, pengharapan dan
optimisme di dalam hidup ini. Sebab orang yang bertauhid meyakini bahwa kehidupan dunia
adalah ladang akhirat.
2. Orang yang bertauhid jika suatu saat dikaruniai harta, maka ia akan bersyukur dan
menggunakan hartanya itu di jalan Allah. Sebab ia yakin bahwa harta dan segala yang ada
adalah milik Allah.
3. Dengan bertauhid akan mendidik akal manusia supaya berpandangan luas dan mau
mengadakan penelitian tentang alam. Al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita supaya
memperhatikan penciptaan langit, bumi, dan segala isinya.
4. Orang yang bertauhid akan merendahkan diri dan tidak tertipu oleh hawa nafsu yang
ada pada dirinya. Misalnya, jika ia akan tertipu hawa nafsu, maka dia segera mengingat
bahwa Allah Maha Kaya.
5. Dengan mentauhidkan Allah, kita akan menjauhkan diri dari anganangan yang
kosong. Semua amal perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas oleh Allah Swt.
6. Dengan bertauhid yang benar, kita akan diliputi ketenangan dan pengharapan. Ia akan
merasa tenang setelah mengetahui bahwa Allah dekat, mengabulkan permohonan, menerima
taubat dan menolong orang-orang teraniaya.
7. Orang yang menjaga tauhidnya akan menjamin seseorang akan masuk surga, tempat
yang penuh dengan kenikmatam

6. Bahaya Tidak Bertauhid


Keimanan yang kuat akan memberikan hikmah dan manfaat yang besar. Sebaliknya, sikap
tidak bertauhid akan mendatang hal-hal negatif, diantaranya:
1. Orang yang tidak bertauhid tidak akan mempunyai rasa optimisme dan pengharapan
dalam hidup, karena tidak ada dalam benaknya keyakinan akan adanya kehidupan setelah
mati.
2. Orang yang tidak bertauhid akan berpandangan sempit. Tidak ada dorongan di dalam
hatinya untuk melakukan penelitian dan renungan tentang rahasia di balik kekuasaan Allah
Swt. Karena ia tidak percaya terhadap Allah Swt.
3. Orang yang tidak bertauhid akan mudah tertipu oleh hal-hal yang bersifat
keduniawian. Prinsip hidup orang seperti ini yang penting senang, tidak peduli apakah hal itu
benar atau salah.
4. Orang yang tidak bertauhid akan tertutup hatinya. Jiwanya mengalami disfungsi.
Pesan-pesan Allah tidak akan mampu tertangkap meskipun Allah begitu dekat.
BAB III :
1. Pengertian Syirik
Secara bahasa syirik berasal dari Bahasa Arab as-syirku, yang artinya (1) ta’addudul aalihati
(kemusyrikan), (2) al-musyariku (sekutu, peserta), an-nashibu (bagian), dan asy-syirkatu
wasysyarikatu (persekutuan, perseroan).
Secara istilah syirik adalah perbuatan, anggapan atau itikad menyekutukan Allah Swt. dengan
yang lain, seakan-akan ada yang maha kuasa di samping Allah Swt. Orang yang
menyekutukan Allah disebut musyrik.
2. Macam-Macam Syirik
Syirik terbagi menjadi dua macam, yakni syirk akbar (syirik besar) atau disebut juga dengan
syirk jali (syirik nyata) dan syirk asghar (syirik kecil) atau disebut juga dengan syirk
kha¿ (syirik samar-samar).
1. Syirik Akbar
Disebut syirik akbar atau syirk jali jika
(1) melakukan perbuatan yang jelas-jelas menganggap ada tuhantuhan lain selain Allah
Swt. dan tuhan-tuhan itu dijadikannya sebagai tandingan di samping Allah Swt.
(2) menganggap ada sesembahan selain Allah Swt.
(3) menganggap Tuhan mempunyai anak atau segala perbuatan yang mengingkari
kemahakuasaan Allah Swt.
2. Syirik Asghar
Syirik asghar (syirk kha¿) ialah perbuatan yang secara tersirat mengandung pengakuan ada
yang kuasa di samping Allah Swt. Misalnya, pernyataan seseorang: “Jika seandainya saya
tidak ditolong oleh dokter itu, saya pasti akan mati.” Pernyataan seperti ini menyiratkan
seakan-akan ada pengakuan bahwa ada sesuatu yang berkuasa selain Allah Swt. Seorang
mukmin yang baik dalam peristiwa seperti tersebut di atas akan berkata: “seandainya tidak
ada pertolongan Allah melalui dokter itu, saya pasti akan mati.”
3.Bahaya Perbuatan Syirik
Akibat negarif perbuatan syirik antara lain:
1. Amalan saleh yang sudah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat syirik akan
lenyap dan sia-sia.
2. Orang-orang musyrik benar-benar melakukan kezaliman yang besar.
3. A kan masuk ke dalam neraka jahannam.
4. Cara Menghindari Perbuatan Syirik
Di antara perilaku atau hal-hal yang bisa dilakukan agar seseorang terhindar dari perbuatan
syirik adalah sebagai berikut:
1. Selalu menegakkan shalat, karena dengan melakukan salat yang benar akan terhindar
dari perbuatan keji dan munkar.
2. Selalu berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah, karena dengan begitu akan
selalu diberikan jalan keluar terhadap segala masalah yang dihadapi.
3. Selalu berusaha melatih diri untuk senantiasa ingat bahwa syirik itu adalah dosa yang
paling besar di antara dosa-dosa yang ada dan tidak akan diampuni oleh Allah Swt. Jika kita
selalu berada di dalam kesadaran bahwa syirik itu akan menyeret pelakunya ke neraka, maka
kita akan berusaha menghindari perbuatan syirik tersebut.
BAB IV:
1. Pengertian akhlak
Secara bahasa kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlak, yang merupakan bentuk jamak
dari kata khuluq atau al-khaliq yang berarti
a) tabiat, budi pekerti,
b) kebiasaan atau adat,
c) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan
Sedangkan pengertian secara istilah, akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa
manusia, yang melahirkan perbuatan-perbuatan yang mudah, tanpa melalui proses pemikiran,
pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan perbuatan yang baik dan
terpuji menurut pandangan akal dan hukum Islam, disebut akhlak yang baik. Jika perbuatan-
perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk.
2. Macam-Macam Akhlak
a. Akhlak Wad’iyyahҕ
Akhlak Wa ঌ'iyyah adalah norma yang mengajarkan kepada manusia dengan berpedoman
kepada olah pikir dan pengalaman manusia. manusia dengan menggunakan akhlaknya
berpikir dan bertindak kearah yang baik dan benar dengan menjadikan akal sebagai rujukan
dalam perbuatan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, akhlak, ini hanya mempunyai satu macam sanksi, yaitu sanksi yang datang
dari masyarakat (sesama manusia) semata-mata
b.Akhlak Islam
Adapun ciri-ciri akhlak Islam adalah:
1) Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-mutlaqah), yaitu kebaikan yang
terkandung dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu
maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu dan tempat apapun;
2) Kebaikannya bersifat menyeluruh (al-sʑ alahʑ iyyah al-ammah), yaitu kebaikan yang
terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di segala zaman
dan di semua tempat;
3) Tetap dan kontekstual, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap,
tidak berubah oleh perubahan waktu dan tempat atau perubahan kehidupan masyarakat;
4) Kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzƗm al-mustajab), yaitu kebaikan yang
terkandung dalam akhlak Islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan sehingga ada
sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya; dan
5) Pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhitҕ ʑ ah). Karena akhlak Islam
bersumber dari Tuhan, maka pengaruhnya lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia, sehingga
seseorang tidak berani melanggar kecuali setelah ragu-ragu dan kemudian akan menyesali
perbuatannya untuk selanjutnya bertaubat dengan sungguhsungguh dan tidak melakukan
perbuatan yang salah lagi. Ini terjadi karena agama merupakan pengawas yang kuat.
Pengawas lainnya adalah hati nurani yang hidup yang didasarkan pada agama dan akal sehat
yang dibimbing oleh agama serta diberi petunjuk.

3. Cara Meningkatan Kualitas Akhlak


Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan cara atau metode yang tepat dalam usaha
meningkatkan kualitas akhlak masyarakat. Metodemetode antara lain sebagai berikut:
a. Melalui perumpamaan (tamtsil)
b. Melalui keteladanan (uswatun hasanah)
c. Melalui Latihan dan Pengamalan
d. Melalui Ibrah dan Mau’idahҕ
e. Penerapan Peningkatan Kualitas Akhlak

Peningkatan kualitas akhlak bisa dilakukan orang tua antara lain dengan cara membiasakan
anak-anaknya mengingat kebesaran dan nikmat Allah, merenungi semua ciptaan-Nya agar
bisa berkembang dengan baik dan senantiasa terjaga ketauhidannya. Namun hal lain yang
tidak boleh dilupakan adalah keteladanan orang tua dalam beribadah dan berakhlak mulia.
b. Lingkungan Pendidikan Formal
Lingkungan sekolah atau madrasah atau tempat belajar yang lain merupakan lingkungan
kedua setelah keluarga. Tempat ini sangat penting dalam usaha meningkatkan kualitas
akhlak. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan, mulai aktivitas belajar dan bermain sangat
berpengaruh dalam ikut membentuk kepribadian anak didik. Tanggung jawab guru sangat
besar dalam menerapkan berbagai metode yang tepat agar anak bisa terbimbing akhlaknya
dan tetap terjaga keimanannya.
Melihat begitu pentingnya peran guru, maka seorang guru haruslah melakukan hal-hal
berikut; membimbing anak didiknya agar menyembah Allah, ikhlas, sabar dalam
menjalankan tugas, jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya, membekali diri
dengan ilmu, memahami kejiwaan dan perkembangan anak didiknya, serta mampu bersikap
adil kepada anak didiknya.
c. L ingkungan Masyarakat
Masyarakat Islam memiliki tanggungjawab moral dalam membina akhlak. Allah menyuruh
masyarakat Islam agar berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Allah beriman:

Anda mungkin juga menyukai