Anda di halaman 1dari 15

Nama : Listya Nursita Arifani

NIM : 20200810200143
Kelas : ESD

Resume Buku “Pendidikan Kaum Tertindas”

By : Paulo Feire

Bab 1

Secara aksiologi, masalah humanisasi dipandang sebagai permasalahan utama manusia


yang selalu berhasil menimbulkan keprihatinan. Keprihatinan terhadap masalah humanisasi
akan menuntun kita untuk mengakui adanya masalah dehumanisasi. Dalam konteks yang
kongkret dan objektif, masalah humanisasi dan dehumanisasi merupakan kemungkinan yang
selalu ada bagi seseorang sebagai makhluk tidak sempurna yang menyadari
ketidaksempurnaannya. Namun sepanjang humanisasi atau demhumanisasi merupakan
pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertamalah yang merupakan fitrah manusia.
Fitrah inilah yang selalu diingkari namun melalui pengingkaran tersebutlah fitrah tersebut
diakui. Agar perjuangan mereka para kaum tertindas mejadi lebih bermakana, maka mereka
yang berusaha merebut kembali kemanusiaannya tidak boleh berbalik menjadi penindas kaum
penindas, namun memulihkan kembali kemanusiaan pada keduanya.

Berbagai usaha memperlunak kekuasaan kaum penindas dengan alasan untuk lebih
menghormati kelemahan kaum tertindas hampir selamanya mewujudkan diri dalam kemurah
hati yang palsu. Untuk mengkekalkan kemurah hati yang palsu, maka kaum penindas juga
harus mengekalkan ketidakadilan. Suatu tatanan sosial yang tidak adil, merupakan alasan yang
harus ada bagi eksistensi kemurah hatian ini, yang selalu dibayangi oleh bayangan maut
keputusasaan, dan kemiskinan. Perjuangan untuk kaum tertindas merupakan tindakan cinta
melawan ketiadaan rasa cinta yang bersarang dalam jantung kekejaman kaum penindas,
ketiadaan cinta yang sekalipun berkedok kemurahan hati palsu.

Sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan,
tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas. Struktur pikiran mereka telah dibentuk
oleh kontradiksi dalam situasi ekstensial yang kongkret. Tujuan mereka memang menjadi
manusia, tetapi bagi mereka,menjadi seorang 'manusia' adalah menjadi seorang penindas.

Rasa "takut kebebasan" yang meninpa kaum tertindas, ketakutam yang baik mendorong
mereka untuk menginginkan peranan sebagai penindas maupun mengurung mereka tetap
sebagai orang tertindas, harus ditelaah. Adanya pemolaan merupakan salah satu unsur dasar
dari hubungan antarakaum penindas dengan kaum tertindas. Setiap pemolaan merupakan
pemaksaan pilihan seseorang terhadap orang lain, mengubah kesadaran orang yang dipola agar
cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu. Perilaku tertindas adalah perilaku
terpola, menuruti apa yang telah digariskan oleh kaum penindas. Kaum tertindas
menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka,
mengalami rasa takut menjadi bebas.

Untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus mengenali secara
kritis sumber penyebabnya, kemudian melakukan tindakan perubahan dimana mereka dapat
menciptakan situasi baru, situasi yang mungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh.
Perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya, telah dimulai dalam perjuangan otentik untuk
mengubah situasi. Kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dalam struktur penindasan
dimana mereka tenggelam dan pasrah terhadapnya. Kaum tertindas dapat mengatasi
kontradiksi dimana mereka terjebak hanya jika pengetahuan itu mendorong mereka berjuang
membebaskan diri.

Salah satu rintangan terberat untuk mencapai kebebasan adalah realitas yang menindas
dapat memukau mereka yang berada di dalamnya dan karena itu menundukkan alam pikiran
mereka. Secara fungsional, penindasan berarti penjinakan. Agar tidak berlarut-larut menjadi
korban pengaruhnya, maka seseorang harus bangkit melawannya. Hal itu hanya dapat terwujud
melalui praksis: refleksi dan tindakan atas dunia mengubahnya. Dalam pemikiran dialektis,
dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Namun, tindakan hanya
manuasiawi jika bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tapi juga merupakan suatu
perenungan yang mendalam. Pendidikan kaum tertindas merupakan pendidikan bagi manusia
yang terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka berakar dari praksis.

Tidak ada pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan yang tetap membuat jarak
dari kaum tertindas, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak beruntung
dan menyajikan model pelajaran tiruan yang berasal dari kaum penindas. Pada tahap pertama,
perlawanan terjadi dalam diri kaum tertindas yang menyadari dunia penindasan. Pada tahap
kedua, perlawanan dilakukan untuk memberantas mitos-mitos yang diciptaan dan
dikembangkan pada masa dahulu yang membayangi perubahan revolusioner.

Menghalangi seseorang untuk mencapai afirmasi diri sebagai seorang manusia yang
bertanggungjawab adalah bentuk penindasan. Tindak kekejaman selalu dimulai oleh mereka
yang menindas dan bukan oleh mereka yang tertindas. Disadari atau tidak pemberontakan
kaum tertindas justru dapat menumbuhkan cinta kasih. Ketika kaum tertindas yang berjuang
untuk menjadi lebih manusiawi berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan kaum penindas
sebagai alat untuk menguasai dan menekan, sebenarnya mereka sedang berusaha untuk
menulihkan harkat kemanusiaan kaum penindas yang telah pupus selama melakukan
penindasan. Hanya kaum tertindaslah yang dapat membebaskan dirinya sendiri dan kaum
penindasnya. Jadi, tujuan kaum tertindas untuk menjadi manusia yang seutuhnya tidak dapat
dicapai hanya dengan mengubah posisi sebagai kaum penindas saja.

Kemurahan hati kaum penindas ditunjang oleh tatanan yang tidak adil, yang terus-
menerus dipertahankan agar dapat mengesahkan kemurahan hati tersebut. Kaum tertindas tidak
dapat memahami dengan jelas “tatanan” yang melayani kepentingan- kepentingan kaum
penindas yang citra dirinya telah mereka internalisasi. Tidak menghargai diri sendiri adalah
sifat lain dari kaum tertindas yang berasal dari internalisasi pendapat penindas tentang diri
mereka sendiri. Mereka sering sekali mendengar bahwa mereka tidak berguna, tidak tahu
apapun dan tidak mampu mempelajari apapun. Selama kaum tertindas tidak menyadari sebab-
sebab dari keadaan mereka, secara “fatalistic” mereka menerima pemerasan atas diri mereka.
Bagi kaum tertindas, pada saat-saat tertentu dalam pengalaman ekstensial mereka, mengada
bukan berarti menyerupai kaum penindas, tetapi berada dibawahnya, bergantung kepadanya.
Oleh sebab itu kaum tertindas secara emosional tergantung. Ketergantungan emosional total
semacam ini mengarahkan kaum tertindas pada perilaku nekrofilis.

Dalam seluruh tahap pembebasan mereka, kaum tertindas harus melihat diri sendiri
sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologism dan kesejarahan untuk menjadi
manusia seutuhnya. Keyakinan kaum tertindas bahwa mereka harus berjuang untuk
pembebasan mereka bukanlah suatu hadiah yang dianugerahkan oleh kepemimpinan
revolusioner, tetapi hasil dari penyadaran diri mereka sendiri.

Kaum tertindas yang telah dibentuk oleh iklim mematikan dari suasana penindasan
harus menemukan jalan menuju humanisasi, melalui perjuangan mereka. Dalam rangka
merebut kembali harkat kemanusiannya, mereka harus berhenti menjadi benda dan berjuang
sebagai manusia. Perjuangan ini dimulai dari kesadaran bahwa mereka selama ini telah
dihancurkan. Satu-satunya perangkat efektif adalah sebuah bentuk pendidikan yang manusiawi
dimana kepemimpinan revolusioner dapat membangun hubungan dialog yang ajek dengan
kaum tertindas.
Bab 2

Suatu analisis yang cermat menganai hubungan antara guru-murid pada semua
tingkatan, baik di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita yang
mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subjek yang bercerita dan objek-
objek yang patuh dan mendengarkan. Oleh karena itu, pendidikan semacam ini merupakan
sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengan dan guru penabungnya. Yang
terjadi bukanlah proses komunikasi, melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan
dan guru “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan dan diulangi dengan patuh oleh para
murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimanaa ruang gerak yang disediakan bagi
kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.

Pendidikan yang membebaskan, sebaliknya terletak pada usaha rekonsiliasi.


Pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan kontradiksi guru-murid tersebut, dengan
merujuk kutub-kutub kontradiksi tersebut, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah
guru dan murid. Sebaliknya, pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam
kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan berikut yang mencerminkan suatu
keadaan masnyarakat tertindas secara keseluruhan.
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurut
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
guru
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.

Konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Kemampuan pendidikan gaya bank
untuk mengurangi atu menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan sikap
mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak berkepentingan
dengan dunia yang terkuak atau berubah. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme”
mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu,
mereka akan selalu menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan
merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat
sebelah, tetapi selalu mencari ikatan yang menghubungkan satu hal dengan hal lain atau satu
masalah dengan masalah lain.

Sebenarnya, kepentingan kaum penindas adalah “menggubah kesadaran kaum


tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”, karena dengan lebih mudahnya kaum tertindas
dapat diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi itu, maka akan lebih mudah mereka
dapat dikuasai. “Humanisme” dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha untuk
menjadikan manusia sebagai benda terkendali, yang merupakan suatu penolakan fitrah
ontologism mereka untuk menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan gaya bank bertolak dari
suatu pengertian keliru tentang manusia sebagai objek, maka dia tidak mampu
mengembangkan biofili, tetapi justru mengembangkan nekrofili. Penindasan merupakan
nekrofilis, yang ditumbuhkan dari rasa cinta pada kematian, bukan kehidupan. Konsep
pendidikan gaya bank yang mengabdi pada kepentingan- kepentingan penindasan merupakan
tindakan nekrofilis. Berdasar pada pandangan tentang kesadaran yang mekanistis, statis,
naturalistis dan terkotak, dia menjadikan murid sebagai objek yang harus menerima. Selalu
berusaha untuk mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar
menyesuaikan diri terhadap dunia dan mengahalangi kemampuan kreatif mereka.

Pendidikan sebagai bentuk pengekangan mendorong lahirnya sikap membeo


dikalangan para murid, dengan penekanan ideologis yang mengindoktrinasi mereka agar
menyesuaikan diri dengan situasi penindasan. Pendidikan yang membebaskan merupakan
sebuah situasi belajar dimana objek yang dapat dipahami menghubungkan para pelaku
pemahaman.

Pendidikan hadap masalah, yang menolak pola hubungan vertical dalam pendidikan
gaya bank, dapat memenuhi fungsinya sebagai praktik kebebasan hanya jika dia dapat
mengatasi kontradiksi antara guru dan murid. Melalui dialog guru-nya- murid dan murid-nya-
guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru yaitu guru-yang- murid dengan murid-yang-guru.
Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui
dialog dengan murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Mereka
semua bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka berkembang.

Metode oendidikan hadap masalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru-murid. Guru
selalu “menyerap”, baik ketika mempersiapkan bahan pelajaran maupun berdialog dengan para
murid. Objek yang dipamahi bukanlah milik pribadi, tapi sebagai objek refleksi para murid dan
dirinya sendiri. Dengan demikiaan, pendidika hadap-masalah secara kontinu dapat
memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para murid. Peran seorang pendidik hadap-
masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana dimana pengetahuan pada
tahap doxa diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu. Pendidikan hadap-masalah
menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus-menerus.

Murid, karena mereka lebih banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang


berhubungan dengan kehadiran mereka dan bersama dengan dunia, akan semakin ditantang
dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini. Jawaban mereka terhadap tantangan itu
menimbulkan tantangan-tantangan baru, kemudian disusul dengan pemahaman baru pula, dan
akhirnya secara bertahap mereka akan merasa memiliki keterlibatan. Pendidikan gaya bank
menolak dialog, sementara itu pendidikan hadap-masalah menganggap dialog sebagai
prasyarat laku pemahaman untuk menguak realitas. Pendidikan gaya bank memperlakukan
murid sebagai objek yang harus ditolong, sementara pendidikan hadap-masalah menjadikan
mereka pemikir yang kritis. Pendidikan gaya bank menghalangi kreativitas dan menjinakkkan
intensionalitas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang dengan
demikian menolak fitrah ontologism dan kesejarahan manusia untuk menjadi manusia
seutuhnya.

Pendidikan hadap-masalah mendasari dirinya atas kreativitas serta mendorong refleksi


dan tindakan yang benar atas realitas dan dengan cara iu menyambut fitrah manusia yang akan
menjadi makhluk sejati hanya jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif. Teori dari
pendidikan gaya bank sebagai kekuatan yang membelenggu dan menekan, tidak mampu
menampilkan manusia sebagai makhluk menyejarah, sedangkan teori dan praktik praktik
pendidikan hadap-masalah menjadikan kesejarahan manusia sebagai pangkal-tolak.

Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai mankhluk yang berada dalam


proses menjadi, sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, makhluk yang tidak pernah sempurna
dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Titik tolak gerakan ini terletak dalam
diri manusia sendiri. Karena manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia atu terpisah dari
realitas, maka gerakan itu harus mulai dari hubungan manusia-dunia. Karena titik tolak harus
selalu berupa manusia “disini dan sekarang”, yang merupakan situasi tempat mereka
tenggelam, dari mana mereka muncul, dan dimana mereka melibatkan diri. Hanya bertolak dari
itulah mereka dapat memulai bergerak. Untuk melakukan gerakan secara murni, mereka harus
memahami keadaan diri mereka bukan sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan.

Sementara pendidikan gaya bank secara langsung atau tidak langsung menumbuhkan
pandangan manusia yang fatalistic terhadap situasi dirinya, maka pendidikan hadap-masalah
mengajukan situasi tersebut kepada manusia sebagai suatu permasalahan. Ketika situasi
tersebut menjadi objek pemikirannya, maka padangan magis dan naïf yang telah melahirkan
sikap fatalistic mereka memberi jalan bagi pandangan yang memungkinkan untuk memahami
diri sendiri, bahkan ketika ia memahami realitas, dengan demikan dapat bersikap kritis dan
objektif terhadap realitas tersebut.

Bab 3

Hakikat dari dialog adalah kata. Kata lebih dari sekedar alat yang memungkinkan dialog
dilakukan. Di dalam kata kita menemukan dua dimensi, yaitu refleksi dan tindakan. Dalam
suatu interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah satunya dikorbankan maka yang lain
akan dirugikan. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak merupakan sebuah
praksis. Dengan demikian mengucapkan kata yang sejati adalah mengubah dunia. Sebuah kata
yang tidak otentik tidak akan dapat mengunah realitas yang terjelma manakala dikotomi
diterapkan terhadap unsur-unsur pembentuknya.

Mengada secara manusiawi adalah menamai dunia dan mengubahnya. Manusia tidak
diciptakan dalam kebisuan, tapi dalam kata, dalam karya, dalam tindakan refleksi.
Mengucapkan kata yang benar adalah mengubah dunia, maka mengucapkan kata tersebut
bukanlah hak istimewa sejumlah kecil orang, tapi hak setiap orang. Dengan demikian, tidak
seorangpun dapat mengucapkan sebuah kata yang benar seorang diri dan juga tidak dapat
mengucapkannya untuk orang lain, dalam nada perintah yang merampas hak-hak orang lain
atas kata-katanya sendiri.

Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia
dan terhadap sesama manusia. Penanaman dunia sebagai suatu laku penciptaan dan penciptaan-
kembali adalah mustahil jika tidak dijiwai oleh rasa cinta. Cinta sekaligus menjadi dasar dari
dialog serta diolog itu sendiri. Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan, dan bila
tidak, maka tindakan tersebut bukanlah cinta. Hanya dengan menghapuskan situasi penindasan
akan mungkin mengembalikan cinta yang tak mungkin dalam situasi penindasan itu.

Dipihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati. Penamaan dunia, dimana
manusia secara terus-menerus menciptakan kembali dunia itu, tidak mungkin berupa laku
kesombongan. Seseorang yang kurang rendah hati tidak akan dapat akrab dengan rakyat, tidak
dapat menjadi kawan seiring mereka dalam rangka menamai dunia ini. Seseorang yang tidak
dapat mengenal dirinya sebagai makhluk fana sebagaimana orang lain, akan masih
memerlukan waktu lama untuk tiba dalam perjumpaan ini.

Dialog juga tidak dapat terjadi tanpa adanya harapan. Harapan berakar pada
ketidaksempurnaan manusia, dari mana mereka secara terus-menerus melakukan usaha
pencarian-pencarian yang hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain.
Ketiadaan harapan adalah sebuah bentuk kebisuan, penolakan terhadap dunia dan sikap
melarikan diri darinya.

Dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis,
pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis,
pemikiran yang tidak memisahkan diri dari tindakan, tetapi senantiasa bergumul dengan
masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.

Pendidikan yang mampu mengatasi konradiksi guru-murid berlangsung dalam situasi


dimana keduanya mengarahkan laku pemahaman mereka kepada objek yang mengghargai
keduanya. Karena itu, sifat dialogis dari pendidikan sebagai praktik pembebasan tidak dimulai
ketika guru-yang–murid berhadapan dengan murid-yang- guru dalam suatu situasi pendidikan.
Perenungan tentang isi dioalog itu adalah sesungguhnya perenungan tentang isi program
pendidikan. Bagi pendidikan gaya bank, yang anti-dialog, pertanyaan tentang bahan isi
pendidikan tersebut hanya dikaitkan dengan rencana yang akan ia ceritakan kepada muridnya
dan dia menjawab pertanyaanya sendiri dengan menyusun rencananya sendiri. Bagi pendidik
yang dialogis, yakni guru-yang-murid dari model hadap-masalah, isi bahan pelajaran dalam
pendidikan bukanlah sebuah hadiah atau pemaksaan potongan-potongan informasi yang
ditabungkan ke dalam diri para murid, namun berupa “penyajian kembali” kepada murid
tentang hal-hal yang ingin mereka ketahui lebih banyak, secara tersusun, sistematik dan telah
dikembangkan.

Penelitian pendidikan sebagai kompleks dari “tema-tema generative” mengesahkan


dialog pendidikan sebagai praktik kebebasan. Konsep tema generatif bukanlah penemuan yang
asal jadi dan juga bukan sebuah hipotesa yang harus dibuktikan. Dihadapkan dengan “dunia
tema-tema” dalam kontradiksi dialektis, manusia mengambil posisi yang juga kontradiktif.
Situasi-situasi batas mencakup orang yang diuntungkan atau dirugikan baik secara langsung
ataupun tidak langsung dikendalikan oleh situasi tersebut. Jika decode dilakukan dengan baik,
maka gerakan membalik dan membalik lagi dari abstrak ke kongkret yang berlangsung dalam
analisis terhadap situasi tersandi akan berakhir pada pergantian abstraksi oleh pemahaman
kritis terhadap yang kongkret, yang tidak lagi merupakan realitas yang ketat dan tidak
tertembus. Sandi adalah representasi dari situasi ekstensial, maka pendadar cenderung untuk
memulai dari represntasi itu ke situasi yang kongkret dimana dan dengan apa dia menemukan
dirinya.

Penelitian tema melibatkan penelitian manusia, pemikiran yang hanya terjadi didalam
dan di antara manusia untuk memahami realitas bersama-sama. Dengan menegtahui inti
kontradiksi, para peneliti dapat mulai menyusun program pendidikan yang sesuai. Secara
intrinsic, kontradiksi ini merupakan situasi-batas, yang melibatkan tema-tema dan
menunjukkan tugas-tugas. Dalam proses pendadaran, peserta mengungkapkan tema-temanya
dan dengan demikaian mempertegas “kesadaran nyata"-nya terhadap dunia. Dengan meluaskan
“pandangan terhadap pandangan sebelumnya” serta “pengetahuan tentang pengetahuan
sebelumya”, maka pendadaran mendorong terwujudnya suatu pandangan baru dan
pengembangan pengetahuan baru.

Bab 4

Manusia sebagai makhluk praksis, berbeda dengan binatang yang merupakan makhluk
yang sekadar berbuat. Binatang tidak berpikir tentang dunia dan tenggelam di dalamnya.
Sebaliknya manusia muncul dari dunia, mengenalinya dan dengan cara itu dapat memahami
dan mengubah dunia dalam karya mereka. Aktivitas manusia adalah teori dan praktik, itulah
yang disebut dengan refleksi dan tindakan yang tidak dapat direduksi menjadi verbalisme dan
aktivisme saja.

Suatu revolusi akan terlaksana tanpa verbalisme dan aktivisme, tetapi dengan praksis,
yakni dengan refleksi dan tindakan yang diarahkan pada struktur–struktur yang hendak diubah.
Dialog dengan rakyat sangat diperlukan bagi setiap revolusi sejati. Inilah yang memberinya
sifat sebagai suatu revolusi, untuk dibedakan dengan kudeta mititer. Semakin cepat dialog
dimulai, gerakan revolusi akan menjasi semakin murni. Dialog teramat penting dalam revolusi
ini, sesuai dengan kebutuhan dasar lain: kebutuhan manusia sebagai makhluk yang tidak akan
menjadi benar-benar manusiawi tanpa adanya komunikasi, sebab mereka pada hakikatnya
adalah makhluk komunikatif. Menghalangi manusia berkomunikasi berarti mereduksi mereka
menjadi “benda” dan itu merupakan tindakan dari kaum penindas bukan kaum revolusioner.

Ketidakmanusiawian kaum penindas serta kemanusiawian revolusi keduanya


memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tapi ilmu pengetahuan dan teknologi yang melayani kaum
penindas digunakan untuk mereduksi manusia kepada status “benda”: yang melayani revolusi
digunakan untuk memajukan humanisasi. Kaum tertindas harus menjadi pelaku dalam proses
revolusi agar jangan sampai mereka terus dianggap sebagai sekadar objek dari kepentingan
ilmiah. Revolusi lahir sebagai gejala sosial dalam masyarakat penindas; sejauh dia merupakan
aksi kebudaayaan, maka dia tidak mungkin tidak berkaitan dengan potensi-potensi dari wujud
sosial dimana dia muncul.

berikut merupakan analisis mengenai teori-teori tindakan yang antidialogis dan


dialogis.
Penaklukan

Watak pertama dari tindakan antidialogis adalah keharusan adanya penaklukan. Nafsu
untuk menaklukan sentantiasa terdapat dalam tindakan antidialogis. Hal ini dilakukan dengan
cara menabungkan mitos-mitos kaum penindas yang tidak terelakkan bagi keberlangsungan
status quo.

Pecah dan Kuasai

Cara ini merupakan dimensi penting yang lain dari teori tindakan menindas yang
seumur dengan penindasan itu sendiri. Setelah minoritas penindasan menaklukan dan
menguasai mayoritas rakyat, mereka harus memecah belah dan menjaga agar tetap terpecah,
supaya dapat terus berkuasa. Efek pemecah yang lain terjadi dalam hubungan yang disebut
“pelatihan-pelatihan kepemimpinan”. Kaum penindas tidak mau memajukan masyarakat
secara keseluruhan, tetapi hanya para pemuka yang terpilih. Jika bagi manusia mengada di
dunia karya berarti tergantung secara total, rawan dan senantiasa terancam. Bila karya mereka
tidak menjadi miliknya, maka manusia tidak akan menjadi selesai. Karya yang tidak bebas
tidak lagi merupakan suatu usaha kearah keselesaian dan menjadi sarana efektif bagi
dehumanisasi.
Manipulasi

Manipulasi adalah dimensi lain dari teori tindakan antidialogis, yang merupakan alat
untuk menaklukkan. Dengan cara memanipulasi, elite penguasa berusaha membuat rakyat
meyesuikan diri dengan tujuan-tujuan mereka. Bila kaum tertindas hampir sama sekali
tenggelam dalam realitas, maka tidak ada keharusan memanipulasinya. Dalam teori tindakan
antidialogis, manipulasi merupakan jawaban kaum penindas terhadap kondisi kongkret yang
baru dari proses sejarah. Salah satu metode manipulasi adalah menanamkan cita rasa borjuis
kepada orang-orang untuk mencapai sukses pribadi. Manipulasi ini kadangkala dilakukan
secara langsung oleh kaum elite dan kadangkala tidak langsung melalui para pemimpin populis.

Serangan Budaya

Serangan budaya, seperti halnya taktik memecah belah dan memanipulasi juga
melayani tujuan-tujuan penaklukan. Jika mereka yang diserang kemudian melihat reakitas dari
sudut pandang penyerang dan bukan dari sudut pandangnya sendiri, maka akan semakin
banyak mereka meniru para penyerang, dan akan semakin mantaplah kedudukan para
penyerang tersebut."Revolusi kebudayaan" adalah usaha maksimum rezim reolusioner bagi
penyadaran yang harus dicapai setiap orang, tanpa memperhatikan jabatannya.

Pendidikan manusia untuk bidang pekerjaan apapun menghendaki pemahaman


terhadap kebudayaan sebagai superstuktur yang dapat menyimpan "puing-puing" masa lalu,
yang terus hidup dalam substruktur yang sedang mengalami perubahan revolusiorer, dan
kemudian pekerjaan itu sendiri sebagai suatu sarana bagi perubahan kebudayaan.

Kerja Sama

Dalam teori tindakan antidialogis, penaklukan melibatkan semua pelaku yang


menaklukkan orang lain, dan mengubahnya menjadi suatu “benda”. Dalam teori tindakan
dialogis, para pelaku berkumpul dalam kerja sama untuk mengubah dunia. Dalam teori
tindakan dialogis, tidak ada tempat bagi penaklukan rakyat atas nama urusan revolusi, tetapi
hanya untuk memperoelh dukungan mereka. Dialog tidak memaksakan, tidak memanipulasi,
tidak menjinakkan, tidak “berslogan”. Kepercayaan rakyat kepada para pemimpin
mencerminkan keyakinan pemimpin kepada rakyat. Para pemimpin harus percaya kepada
potensi rakyat yang tidak boleh mereka perlakukan sebagai sekadar objek dari tindakan
mereka. Mereka harus percaya bahwa rakyat mampu berperan serta dalam perjuangan
pembebasan.
Persatuan untuk Pembebasan

Dalam teori dialogis para pemimpin harus menyerahkan dirinya bagi usaha tanpa kenal
lelah bagi persatuan kaum tertindas untuk mencapai kebebasan. Sedangkan untuk menciptakan
persatuan diantara mereka memerlukan suatu bentuk aksi kebudayaan yang akan membuat
mereka mengetahui mengapa dan bagaimana mereka melekat kepada realitas. Agar kaum
tertindas dapat bersatu, mereka harus memotong tali pusar magis dan mitos yang mengikat
mereka dengan dunia penindasan terlebih dahulu.

Organisasi

Dalam teori tindakan dialogis organisasi rakyat merupakan lawan antagonistis dari
manipulasi. Dalam tindakan antidialogis, manipulasi melayani tujuan-tujuan penaklukkan,
sedangkan dalam tindakan dialogis kesaksian yang berani dan penuh cinta melayani tujuan-
tujuan organisasi. Tidak ada kebebasan tanpa otoritas, namun juga tidak ada otoritas tanpa
kebebasan.

Sintesa Kebudayaan

Aksi kebudayaan dapat melayani dominasi atau juga dapat melayani pembebasan
manusia. Tindakan dialogis, sebalikanya mengatasi segala sifat berpamrih. Ketidak mampuan
aksi kebudayaan antidialogis untuk mengatasi sifat berpamrihnya disebabkan oleh tujuannya,
yaitu dominasi. Dalam sintesa kebudayaan terdapat kemungkinan untuk mengatasi kontradiksi
antara pandangan dunia para pemimpin dengan pandangan dunia rakyat, yang akan
memperkaya keduanya.
Kesimpulan dan Analisis

Dalam memahami pendidikan kaum tertindas, Freire mencoba memaparkan siswa


sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan
sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya kaum
tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan
dirinya penindas, atau penindas kecil. Oleh karenanya, dibutuhkan konsep pendidikan yang
memberikan mereka pemahaman baru tentang “kebebasan” yang seutuhnya agar nantinya
mereka dapat terbebas dari lingkaran "tertindas dan penindas”.

Konsep pembelajaran dengan pemahaman kritis merupakan wujud dari “kritisme


sosial”, seluruh pengetahuan yang ada pada dasarnya bersumber dari sejarah dan lingkungan
sekitar kita. Pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis
dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka
ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia
hubungan sosial yang menindas, tetapi juga didedikasikan untuk merubah kondisi semacam
itu. Pendidikan bukan untuk mencetak individu yang hanya diam saat mereka harus
berhadapan langsung dengan sistem sosial yang menindas, tapi pendidikan ialah wadah untuk
memberikan kesadaran akan kebebasan kepada setiap muridnya. Pendidikan adalah momen
kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Bagi saya pribadi buku ini memberi saya pengetahuan serta pandangan baru dalam
bidang pendidikan. Paulo tidak hanya menuliskan apa yang menjadi keresahannya, tetapi ia
juga memberikan solusi-solusi realistis atas keresahannya dibidang pendidikan. Buku
pendidikan kaum tertindas ini memberi banyak insprirasi mengenai bagaimana sebenarnya
praktik pendidikan yang membebaskan manusia. Walaupun buku ini disusun berdasarkan
pengalaman nyata yang terjadi di Brazil, namun kondisi tersebut sebenarnya dapat dijadikan
cerminan siatuasi politik dan pendidikan yang ada di Indonesia yang tidak jauh berbeda
terutama kondisi pendidikan yang disebut dengan “pendidikan gaya bank” oleh Freire.

Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan


untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah
yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak
lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali
menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin
berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah
dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya.

Sebagai contoh kasus dalam lingkup terkecil misalnya, pada awalnya saya sama sekali
tidak suka dengan fisika. Karena saya berfikir apa yang saya pelajari tidak masuk akal dan
tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari saya. Guru saya hanya memberikan rumus
dan contoh kasus dari rumus tersebut yang tidak saya mengerti dan membuat saya bingung.
Dalam rumus fluida dinamis misalnya, kami diminta untuk menghitung kecepatan air yang
keluar dari sebuah ember yang bocor, yang terfikir oleh saya saat itu kenapa saya harus
menghitungnya? Bukannya dalam kesaharian ember yang bocor cukup di tambal saja? Atau di
ganti dengan yang baru.

Menurut saya, seorang guru bukan hanya sebatas memberi rumus dan menyuruh
siswanya untuk menghafal dan mengerjakan soal yang di berikan. Siswa juga berhak
mendapatkan penjelasan dan pemahaman mengapa dia harus belajar itu, dan apa manfaat dari
mata pelajaran tersebut di kehidupannya kelak. Jika pembelajaran (pendidikan) hanya sebatas
agar siswa dapat mengerjakan soal dan mendapatkan nilai yang bagus itu semua hanyalah
membuang waktu saja, karena satu tahun kemudia mereka akan lupa dengan pelajaran tersebut,
karena yang mereka pelajari hanya tentang menghafal bukan memahaminya serta
mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, seorang siswa juga berhak untuk dapat berdialog dengan guru mereka.
Bertanya kepada guru apa yang mereka tidak bisa, kesulitan belajar apa yang mereka alami.
Guru tidak bisa memaksakan standar yang sama kepada semua muridnya, karena sertiap murid
memiliki kecerdasan dibidangnya masing-masing. Jika seorang guru tidak memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk berdialog, lambat laun mereka akan kehilangan daya kritis
mereka, menjadi seseorang yang enggan untuk berpendapat, dan kelak saat mereka dewasa
kemungkinan besar mereka juga akan melakukan hal yang demikian pula.

Paulo feire pernah mengungkapkan “Guru tidak lagi sekedar individu (seseorang) yang
mengajar, tetapi individu (seseorang) yang mengajar dirinya sendiri melalui dialog dengan para
siswanya, ia mengajar juga diajar. Mereka menjadi bertanggung jawab bersama dan tumbuh
bersama”. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang
belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan
memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya
bank”? Kendati demikian pemerintah melalui Kemendikbud terus berupaya untuk
memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia melalui perbaikan kurikulum.

Pada perkembangannya, kurikulum yang menonjolkan CBSA telah digantikan dengan


kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013, dimana secara teori pengembangan kurikulum ini
sangat memperhatikan aspek pedagosis dalam pelaksanaannya. Jadi, melalui perubahan
kurikulum 2013 yang lebih pedagosis ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan
yang seutuhnya, yaitu memanusiakan manusia atau menjadikan peserta didik menjadi manusia
seutuhnya, yang nantinya akan menjadi seorang “Manusia yang dapat memanusiakan manusia
lainya".

Anda mungkin juga menyukai