Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PERENCANAAN WILAYAH PERIKANAN


“ ORGANISASI SPASIAL SISTEM PRODUKSI INDUSTRI”

Erlinda Indrayani, S.Pi, M.Si

Kelas A1
Kelompok 2

1. Vivi Ervina 145080400111005


2. Iva Dwi Wulandari 145080400111007
3. Nurma Pujiyanti 145080400111009
4. Lisanti 145080400111011
5. Ulfa Rohmatul Khasanah 145080400111013

AGROBISNIS PERIKANAN
SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat serta Hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Organisasi Spasial
Sistem Produksi Industri” sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Perencanaan
Wilayah Perikanan.

Makalah ini terselesaikan tidak terlepas dari dukungan dan semangat dari
diri penulis, orang tua, dosen dan teman – teman. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
menyelesaikan makalah essay ini. Tidak lupa kepada Ibu Erlinda Indrayani
selaku dosen pembimbing mata kuliah Perencanaan Wilayah Perikanan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca,


khususnya mahasiswa atau mahasiswi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan
Universitas Brawijaya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca supaya memberi pembelajaran pada diri penulis demi
kepentingan masa depan yang lebih baik.

Malang, 5 Desember 2017

Penyusun

ii
iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
1. PENDAHULUAN........................................................................................................v
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................v
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................v
1.3 Tujuan........................................................................................................................v
2. PEMBAHASAN.........................................................................................................vi
2.1 Analisis Weber tentang Titik Transpor Minimum................................................vi
2.2 Kerangka Subtitusi Isard........................................................................................vi
2.3 Kurva Biaya Ruang dari Smith..............................................................................vi
2.4 Neoclassical Location Theory (Teori Lokasi Neoklassik....................................vi
2.5 Organisasi Spasial dari Produksi Industri............................................................vi
2.5.1 Asumsi Satu Produsen...............................................................................vi
2.5.2 Asumsi Lebih dari Satu Produsen untuk Barang yang Sama................vi
2.6 Organisasi Spasial Produksi Barang – Barang Lainnya....................................vi
2.6.1 Organisasi Spasial Berkas Barang (Bundles of Good) : Penataan
Lokasi Pusat (Central Place).................................................................................vi
2.6.2 Pengaturan Hierarki Pusat – Pusat menurut Pendekatan Losch............vi
2.7 Teori Sistem Lokasi Pusat (Central Place)..........................................................vi
2.8 Hierarki dan Pergerakan Konsumen ke Lokasi Pusat.......................................vi
2.9 Penempatan Pusat – Pusat Kota..........................................................................vi
3. PENUTUP..................................................................................................................vii
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................vii
3.2 Saran.......................................................................................................................vii
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................viii

iv
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemahaman tentang keputusan penentuan lokasi mutlak diperlukan bila
akan membahas kegiatan pada ruang dan menganalisis bagaimana suatu
wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh
unit-unit pengambil keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang
terbentuk. Menurut Tarigan (2005), lokasi adalah ruang. Studi tentang lokasi
akan melihat kedekatan (atau jauhnya) satu kegiatan dengan kegiatan lain dan
apa dampaknya atas masing-masing kegiatan karena lokasi yang berjauhan atau
berdekatan tersebut.
Satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk
dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah
kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya.
Tingkat aksesibilitas antara lain dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana
perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya
dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Di lain sisi,
berbagai hal yang disebutkan di atas sangat terkait dengan aktivitas ekonomi
yang terjalin antara dua lokasi. Artinya, frekuensi perhubungan sangat terkait
dengan potensi ekonomi dari dua lokasi yang dihubungkannya. Dengan
demikian, potensi mempengaruhi aksesibilitas, tetapi pada sisi lain, aksesibilitas
juga menaikkan potensi suatu wilayah.
Teori lokasi industri yang sering dipakai pada unit pengambil keputusan
adalah teori lokasi biaya minimum oleh Weber, teori lokasi pendekatan pasar
oleh Losch, dan teori lokasi memaksimumkan laba oleh Smith. Ketiga teori
tersebut tidak mutlak diacu dalam pemilihan lokasi kawasan industri di Indonesia,
mengingat ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi
kawasan industri seperti kebijakan pemerintah dan lain lain.
Lokasi industri dalam pembangunan daerah ataupun pembangunan
wilayah harus diperhitungkan secara cermat dan ditentukan secara tepat, agar
kegiatan pembangunan industrinya dapat terlangsung efektif dan efisien. Proses
penentuan lokasi industri optimal sangat berkait dengan "faktor lokasi", karena
"faktor lokasi" ini akan memberikan persyaratan lokasi optimal bagi
kelangsungan kegiatan industri pada suatu wilayah. Dengan lokasi optimal

v
tersebut dimungkinkan kegiatan indutri dapat berada pada suatu lokasi industri
yang tepat, dan dapat berkembang dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah yang berjudul “Organisasi
Spasial Sistem Produksi Industri” ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana Analisis Weber tentang Titik Transpor Minimum ?
1.2.2 Bagaimana Kerangka Subtitusi Isard ?
1.2.3 Bagaimana Kurva Biaya Ruang dari Smith ?
1.2.4 Bagaimana Neoclassical Location Theory (Teori Lokasi Neoklassik) ?
1.2.5 Bagaimana Organisasi Spasial dari Produksi Industri ?
1.2.6 Bagaimana Organisasi Spasial Produksi Barang-barang lainnya ?
1.2.7 Bagaimana Teori Sistem Lokasi Pusat (Central Place) ?
1.2.8 Bagaimana Hierarki dan Pergerakan Konsumen ke Lokasi Pusat ?
1.2.9 Bagaimana Penempatan Pusat-pusat Kota ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah yang berjudul “Organisasi Spasial Sistem
Produksi Industri” ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Untuk mengetahui Analisis Weber tentang Titik Transpor Minimum
1.3.2 Untuk mengetahui Kerangka Subtitusi Isard
1.3.3 Untuk mengetahui Kurva Biaya Ruang dari Smith
1.3.4 Untuk mengetahui Neoclassical Location Theory (Teori Lokasi
Neoklassik)
1.3.5 Untuk mengetahui Organisasi Spasial dari Produksi Industri
1.3.6 Untuk mengetahui Organisasi Spasial Produksi Barang-barang lainnya
1.3.7 Untuk mengetahui Teori Sistem Lokasi Pusat (Central Place)
1.3.8 Untuk mengetahui Hierarki dan Pergerakan Konsumen ke Lokasi Pusat
1.3.9 Untuk mengetahui Penempatan Pusat-pusat Kota ?

vi
2. PEMBAHASAN

2.1 Analisis Weber tentang Titik Transpor Minimum


Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimalisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung
pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya
harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang
minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam
perumusan modelnya, Weber bertitik tolak pada 4 asumsi yaitu : 1) Unit telaahan
adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen
terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan
sempurna. 2) Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir, dan batu bata
tersedia di mana-mana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai. 3) Material
lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan
hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas. 4) Tenaga kerja tidak
ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa
lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas (Muzayanah, 2015).
Adanya perbedaan biaya produksi antar lokasi, maka keputusan
penempatan lokasi industri manufaktur akan ditentukan pada titik lokasi dengan
biaya transportasi terendah. Biaya transportasi ditentukan oleh dua faktor yaitu :
(1) bobot bahan baku dan bobot produk akhir yang diangkut ke pasar; dan (2)
jarak tempuh dari bahan baku dan produk yang harus dipindahkan. Kunci untuk
menentukan kelayakan suatu lokasi bagi aktivitas manufaktur adalah akumulasi
jumlah ton-mil terendah di suatu lokasi. Penentuan lokasi terbaik tergantung
pada karakter bahan baku yang digunakan yaitu : (1) Ubiquitous dari bahan,
artinya bahan baku yang tersedia dimana saja sehingga tidak ada kendala

vii
produksi, (2) Bahan baku setempat berpengaruh spesifik terhadap lokasi. Bahan
baku diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu murni terlokalisir dan gross
localized material (kehilangan bobot dalam proses manufaktur), dan (3)
Berdasarkan perhitungan Indeks Material (IM). IM dihitung dengan cara membagi
bobot bahan baku lokal yang digunakan dalam industri dengan bobot produksi
akhir. Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kecenderungan pengembangan
industri apakah lebih berorientasi pada lokasi pasar. Jika IM > 1, maka
kecenderungan lokasi industri lebih berorientasi ke lokasi bahan baku, jika IM <
1, lokasi industri cenderung berorientasi ke lokasi pasar dan jika IM = 1, lokasi
berorientasi antara bahan baku dan pasar.
Tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi,
upah tenaga kerja, dan dampak aglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah
tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental menentukan
pola lokasi dalam kerangka geografis. Dampak aglomerasi merupakan kekuatan
lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai
kegiatan dalam ruang. Menurut Weber, biaya transportasi merupakan faktor
pertama dalam menentukan lokasi, kedua faktor lainnya merupakan faktor yang
dapat memodifikasi lokasi. Biaya transportasi bertambah secara proporsional
dengan jarak. Jadi, titik terendah biaya transportasi adalah titik yang
menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil
produksi. Biaya transportasi dipengaruhi oleh berat lokasional. Berat lokasional
adalah berat total semua barang berupa input yang harus diangkut ke tempat
produksi untuk menghasilkan satu satuan output ditambah berat output yang
akan dibawa ke pasar. Berat total itu, terdiri dari satu satuan produk akhir
ditambah semua berat input yang harus diangkut ke lokasi pabrik seperti bahan
mentah, bahan setengah jadi, bahan penolong, dan lain-lain yang diperlukan
untuk menghasilkan satu satuan output.
Lokasi industri mungkin juga berlokasi di tengah-tengah, yaitu apabila
ton-mil dari 1 input atau 1 output tidak berpengaruh satu sama lain. Dengan
menggunakan poligon lokasional, pergeseran antar titik sudut poligon ditentukan
oleh IM. Melalui metode mekanik, titik transportasi minimum dapat disimulasikan
melalui kerangka verognon yang menghubungkan antar titik sudut poligon
dengan kawat. Titik dimana kawat tersebut berhenti bergerak, merupakan titik
keseimbangan (lokasi terbaik). Dengan metode Weber, maka lokasi definitif
berada di lokasi dengan penggunaan satu bahan baku saja atau kombinasi

viii
penggunaan bahan baku dan bahan ubiquitous karena sejumlah tertentu bahan
baku dapat menetralkan tarikan masing-masing sudut poligon. Dalam hal ini
Weber terlalu menekankan kepada dorongan atraktif dari bahan baku dalam
modelnya, padahal kebanyakan solusi akhir penentuan lokasi industri adalah
lokasi pasar untuk berbagai kombinasi bahan baku pasar. Seberapa jauh IM
dapat secara efisien meramal arah industri manufakturing yang telah diuji oleh
Smith (1995) yaitu bahwa kehilangan bobot bahan baku terkait dengan lokasi
dari bahan mentahnya (Gambar 2).
Konsep segitiga pembobotan Weber adalah penentuan titik lokasi
industri, dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah subtitusi biaya transportasi
dengan bahan baku, bahan baku dalam hal ini bisa ubiquitous dan lokasl. Lokasi
produksi dipilih pada tempat yang biaya angkutnya (Z) minimum. Konsep daerah
pasar menurut Weber didasarkan atas asumsi : (1) bahan baku hanya di daerah
tertentu, (2) daerah pasar di tempat lain dengan persaingan bebas, dan (3)
terdapat beberapa lokasi tenaga kerja yang tidak mobil (tidak dapat atau sulit
dipindahkan).

Gambar 1. Segitiga Pembobotan Weber (Weber’s Weight Triangle)


Minimumkan Z = w1d1 + w2d2 + w3d3; dimana d1, d2, d3 = jarak ke input M1,
input M2, dan pasar P.
Bobot Bahan Baku Lokal (WL)
Indeks Material (IM) =
Bobot Produk Akhir ( ℘ )
Jika :
IM > 1 = lokasi berorientasi pada bahan mentah
IM < 1 = berorientasi pada hasil akhir

WL+℘
Bobot Locational (L) =

Jika :

ix
WL ≥ WP, proses produksinya sangat mengurangi bobot bahan baku
WL ≤ WP, bahan baku proses produksi ada dimana-mana
WL = WP, berorientasi antara bahan baku dan pasar
Model Weber juga dikembangkan oleh Hoover dalam Tarigan (2005),
terutama terhadap asumsi biaya dengan membedakan antara biaya transportasi
(distribusi dan perantara) dengan biaya produksi. Dia mengasumsikan berbagai
kondisi, misalnya biaya transportasi yang tidak proporsional dengan jarak. Biaya
transportasi sangat terkait dengan jalur transportasi yang tersedia dan jenis
barang yang diangkut (arah dan ragam barang serta jenis angkutan).Juga faktor
kebijakan pemerintah lokal,misalnya pajak lokal dan ketentuan lainnya. Namun
demikian, pendekatan ini masih termasuk pendekatan biaya terendah dalam
kerangka ekonomi kapitalis.

2.2 Kerangka Subtitusi Isard


Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses
interaktif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan
pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang dinamis.
Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan
penggabungan dari berbagai teori dan model yang selalu berkembang yang telah
diujiterapkan. Selanjutnya dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam
sejarah perkembangannya, bongkar pasang konsep pengembangan wilayah di
Indonesia terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai
keberadaannya. Salah satunya adalah Walter Isard sebagai seorang pelopor
ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab dan akibat dari faktor-
faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan
budaya (Hariyanto dan Tukidi, 2007).
Kajian ilmu-ilmu perencanaan wilayah sebagai alat peramal dalam
pendekatan analitis dari Walter Isard mengangkat berbagai isu dan
permasalahan pembangunan wilayah mengenai development poles, growth
poles, growth centre dan sejenisnya selama tengah tahun 60-an. Pendekatannya
didasarkan pada realitas negara-negara industri Barat yang semula mungkin
penerapannya juga akan efektif juga untuk negara Dunia Ketiga (Rustiadi, 2001).
Model yang dikemukakan oleh Alfred Weber, Walter Isard, dan Leon
Moses, keterbatasan rute transportasi yang menghubungkan berbagai industri

x
dalam sebuah perekonomian memiliki peranan yang sangat penting. Model ini
meramalkan pemusatan sebuah kota saat rute transportasi yang ada terbatas,
disebut dengan “internal nodes”. Hierarki dari ukuran kota tergantung pada pola
dari nodes dan bauran industri yang ada. Industri manufaktur primer hanya
memiliki sedikit input dan biasanya terletak dekat dengan lokasi sumber daya
utama. Namun demikian, akan muncul beberapa alasan bagi industri yang
memiliki keterkaitan ke depan (hulu) dan ke belakang (hilir) yang cukup kuat
untuk ditempatkan di kota yang sama (Todaro dan Smith, 2008).
Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi industri dapat
terjadi di titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku
dengan pasar jika bahan baku setempat adalah murni sehingga terdapat dua
variabel, yaitu jarak dari pasar dan jarak dari sumber bahan baku. Hubungan
kedua variabel tersebut dapat diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang
menghubungkan antara sumber bahan baku dan pasar adalah tempat
kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan baku dan pasar yang bersifat
substitusi.

2.3 Kurva Biaya Ruang dari Smith


Teori Weber hanya melihat sisi produksi sedangkan teori Losch hanya
melihat sisi permintaan. Kedua teori itu hanya melihat dari satu sisi. Sisi produksi
hanya melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil sedangkan sisi
permintaan melihat pada penjualan maksimal yang dapat diperoleh. Kedua
pandangan itu perlu digabung, yaitu dengan mencari lokasi yang memberikan
keuntungan maksimal setelah memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos
terkecil dan lokasi yang memberikan penerimaan terbesar. Permasalahan ini
diselesaikan oleh D.M. Smith (dikutip dari Glasson, 1974) dengan mengintrodusir
konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-
rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama
maka dapat dibuat kurva average cost (per unit produksi) yang bervariasi dengan
lokasi (Muzayanah, 2015).
Di lain sisi, dapat pula dibuat kurva average revenue yang terkait dengan
lokasi. Kemudian kedua kurva itu digabung dan di mana terdapat selisih average
revenue dikurangi average cost adalah tertinggi, itulah lokasi yang memberikan
keuntungan maksimal. Lokasi yang memberikan keuntungan adalah antara A
dan B dan yang optimal adalah pada titik O. Lebih ke kiri dari titik A atau lebih ke

xi
kanan dari titik B perusahaan akan menderita kerugian. Gambar 1 menyajikan
Lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.

Gambar 1. Lokasi yang Memberikan Keuntungan Maksimal

Perlu dicatat di sini bahwa dalam dunia nyata, pilihan atas lokasi
bukanlah berbentuk garis kontinu seperti pada Gambar 1. Pilihan itu adalah
bersifat diskrit. Artinya, akan ada, pilihan beberapa lokasi dan di masing-masing
lokasi dapat dibuat pasangan antara average cost dan average revenue pads
lokasi tersebut. Di antara pasangan tersebut dapat dipilih selisih positif terbesar
apabila average revenue dikurangi average cost.
Menetapkan titik lokasi optimal bagi sebuah perusahaan menjadi lebih
sulit dikarenakan fakta bahwa produsen dapat memasarkan barangnya atau
menunjuk distributor untuk memasarkan barangnya dengan mendatangi
pengecer atau konsumen.Jadi, lokasi produsen tidak harus berada di pasar atau
di sekitamya, terlebih-lebih harga lahan sudah sangat tinggi. Di banyak tempat,
pemerintah melarang kegiatan produksi komoditas tertentu atau melampaui
volume tertentu untuk berlokasi di dalam kota, karena alasan polusi dan
kemacetan lalu lintas yang ditimbulkannya. Namun, produsen harus tetap
berlokasi tidak terlalu jauh dari pusat distribusi yang umumnya adalah kota
(kecuali untuk kegiatan yang memang harus berada di lokasi bahan baku seperti
pertambangan, pertanian, atau perikanan). Selain itu, faktor aglomerasi tetap
memegang peran yang penting, namun, dalam banyak hal lokasi aglomerasi
dengan pusat distribusi adalah sejalan (Muzayanah, 2015).
2.4 Neoclassical Location Theory (Teori Lokasi Neoklassik)
Setelah tahun 1950-an, teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi
ilmu ekonomi umum, dan diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif standar ilmu

xii
ekonomi, khususnya ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi
seiring berkembangnya cabang ilmu regional science (Santoso et al., 2012).
Teori lokasi neoklasik merupakan teori berbasis pada pendekatan
normatif. Teori normatif lebih berkenaan pada hal-hal yang diperkirakan mungkin
terjadi dengan banyak asumsi bukan didasarkan pada konisi riil (Smith, 1987
dalam Rustiadi et al., 2009).
Menurut Rustiadi et al. (2009), model sederhana dengan satu peubah
tunggal geographic distance (jarak geografis, jarak fisik) yang dikembangkan
berdasarkan mazhab neoklasik didasarkan pada asumsi-asumsi:
1) Permukaan lahan: datar dan homogeny dalam segala aspek, isotropic plain
a) Permukaan datar sempurna tanpa ada hambatan untuk setiap
pergerakan ke semua arah.
b) Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak dan hanya ada satu
system transportasi.
c) Kualitas fisik lahan homogen.
2) Penduduk
a) Pemukiman tersebar secara merata.
b) Tingkat pendapatan, tingkat permintaan dan selera terhadap barang dan
jasa homogen.
c) Produsen dan konsumen memiliki informasi yang sempurna dan
bersikap/bertindak rasional atas informasi/pengetahuan yang diperoleh.
Produsen diasumsikan berperilaku berusaha memaksimalkan keuntungan
(profit). Konsumen berlaku meminimalkan biaya/pengeluaran dalam
memenuhi konsumsinya.

2.5 Organisasi Spasial dari Produksi Industri


2.5.1 Asumsi Satu Produsen
Seorang ekonom cenderung memperhatikan dasar analisis pada suatu
titik/tempat sedangkan faktanya kajian mencangkup daerah pasar (market area).
Christaller dalam Suryani (2015), melalui central place theory mengembangkan
konsep range dan threshold. Diasumsikan suatu wilayah sebagai dataran yang
homogen dengan sebaran penduduk yang merata, di mana penduduknya
membutuhkan berbagai barang dan jasa. Kebutuhan-kebutuhan tadi memiliki
dua hal yang khas yaitu:

xiii
1. Range, jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan barang
kebutuhannya. Contoh range mebeler lebih besar daripada range susu, karena
mebeler lebih mahal daripada susu.
2. Threshold, adalah minimum jumlah penduduk yang diperlukan untuk
kelancaran dan kesinambungan suplai barang. Contohnya, toko makanan tidak
memerlukan jumlah penduduk yang banyak, sedangkan toko emas
membutuhkan jumlah penduduk yang lebih banyak atau threshold yang lebih
besar.
Untuk keberlangsungan usaha maka threshold terletak pada range
tersebut atau paling tidak sama dengan batas terjauh dari range of good.
Adapaun faktor-faktor yang menentukan range of good dan threshold value
adalah harga di pasar dan biaya perjalanan ke dan dari pasar (Rustiadi et al.,
2009).
Menurut Rustiadi et al. (2009), model ini dikembangkan untuk kasus lebih
dari satu produsen pada komuditas yang sama. Asumsi dasarnya adalah:
1) konsumen hanya membeli dengan harga termurah, yang berarti membeli
pada produsen terdekat. Solusi logis untuk memenuhi kebutuhan
produsen dan konsumen adalah suatu jaringan heksagonal wilayah pasar
berukuran seragam.
2) “threshold” dan “range” berbeda untuk setiap komuditas.
2.5.2 Asumsi Lebih dari Satu Produsen untuk Barang yang Sama
Jika terdapat banyak produsen untuk barang yang sama, maka setiap
produsen berusaha untuk menghitung lokasi yang tersedia dan daerah pasar
yang sudah dikuasai oleh produsen lain. Berdasarkan hal tersebut akan terjadi
tiga kemungkinan range of good dari setiap daerah pasar produsen yaitu: (1)
Range dari setiap barang saling bersinggungan pada batas terluarnya sehingga
tidak tidak terdapat kompetisi antar produsen tetapi ada konsumen yang tidak
terlayani, (2) terjadi tumpang tindih pada range of good dari daerah pasar
sehingga terdapat kompetisi antar produsen, dan (3) Range of good yang ideal
yaitu apabila daerah pasar yang berbentuk lingkaran diubah menjadi bentuk
heksagonal; bentuk ini merupakan jawaban dimana produsen bisa
mengoptimalkan keuntungan dan semua konsumen terlayani dengan harga yang
paling murah dengan jarak yang paling dekat (Rustiadi et al., 2009).

xiv
Gambar . Bentuk Heksagon dapat Mengisi Ruang secara Efisien
Menurut Losch dalam Santoso et al. (2012), suatu metrópolis memiliki
fungsi yang berragam dan fungsi tersebut memiliki area pasar yang dibatasi oleh
range dan thresholdnya masing-masing. Jadi tidak perlu ditentukan sebuah
hirarki pasar karena akan muncul dengan sendirinya.

Gambar . Jaringan Kota yang Dibentuk oleh Ragam Fungsi (Aktivitas) yang
berbeda
Gambar di atas menunjukkan, bahwa masing-masing fungsi membentuk
pangsa pasarnya masing-masing, yang saling bertumpang tindih dengan pangsa
pasar yang lainnya yang akhirnya membentuk suatu jaringan (Losch dalam
Santoso et al., 2012).

2.6 Organisasi Spasial Produksi Barang – Barang Lainnya


Setiap barang dan jasa mempunyai range dan treshold yang berbeda
tergantung pada tingkatannya (order good). Semakin tinggi tinkatan barang (high
order good), maka semakin besar range dan treshold-nya sehingga jaringan

xv
pasar terbentuk dari heksagonal besar sedangkan untuk barang dengan order
lebih rendah adalah kebalikannya.

2.6.1 Organisasi Spasial Berkas Barang (Bundles of Good) : Penataan


Lokasi Pusat (Central Place)
Prinsip hierarki pusat menurut Christaller k = 3
Lokasi pusat (central place) merupakan suatu tempat dimana sejumlah produsen
cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa
bagi populasi di sekitarnya. Lokasi pusat tertata dalam suatu pola yang vertikal
maupun horizontal.
Kepentingan relatif lokasi pusat tergantung pada jumlah dan order barang dan
jasa yang disediakan. Christaller (1993) berpendapat bahwa sistem lokasi pusat
membentuk suatu hierarki yang teratur. Keteraturan dan hierarki tersebut
didasarkan atas prinsip bahwa suatu tempat menyediakan tidak hanya barang
dan jasa untuk tingkatannya sendiri tetapi juga semua barang dan jasa lain yang
ordernya lebih rendah. Model Christaller mencerminkan suatu hubungan tetap
antara setiap level dalam hierarki.
Hubungan tersebut direpresentasikan dengan nilai k (konstanta) yang
menunjukkan bahwa setiap pusat mendominasi pusat lain yang ordernya lebih
rendah dari wilayah pasarnya. Menunjukkan suatu sistem penataan hierarki
menurut role of threes (sistem k-3). Misalnya pada daerah pinggiran setiap pusat
A ekuivalen dengan 2 pusat B atau 6 x 1/3 pusat C. Christaller menggunakan
prinsip pemasaran untuk menggambarkan organisasi sistem k = 3 yaitu jumlah
maksimum penawaran pada konsumen yang terdistribusi secara merata
diperoleh dari jumlah lokasi pusat minimum.
Sistem lokasi pusat ditentukan secara bertahap sesuai dengan dua prinsip dasar.
Pertama, semua hamparan disuplai barang-barang dari sejumlah pusat-pusat
tertentu. Kedua. Suatu lokasi pusat dengan range tertentu menyediakan barang
dan jasa sesuai dengan rangenya dan semua barang dan jasa dari order yang
lebih rendah. Modifikasi dari kedua prinsip tersebut akan menampilkan alternatif
penataan secara hierarki.
Pusat-pusat A (berorder tinggi) menyediakan barang-barang dengan nilai
treshold tertinggi hingga terendah yaitu meliputi barang yang hanya dihasilkan di
pusat A saja sekaligus barang yang dihasilkan di pusat B dan barang yang
dihasilkan di pusat C yang berada dalam range of good pusat A. Pusat B yang

xvi
terletak di antara pusat A menyediakan barang-barang yang dihasilkan oleh
pusat B itu sendiri dan barang-barang yang dihasilkan pusat C, sedangkan pusat
C yang terletak diantara tiga pusat B hanya menyediakan barang-barang yang
dihasilkan di pusat C itu sendiri. Antara pusat A dan pusat B terdapat barang
yang disebut Hierachycal Marginal Good karena barang tersebut berperan
menentukan level baru dalam hierarki lokasi pusat dan merupakan barang
berorder tertinggi yang disediakan oleh pusat B. Demikian juga antara pusat B
dan C, setiap level dari hierarki dicirikan oleh jarak yang sama satu sama lain.
Artinya jarak antara pusat A dan pusat B sama, antara pusat C juga sama. Jarak
antara pusat-pusat di level B lebih pendek dari jarak antara pusat-pusat di level
A. Demikian juga jarak antara pusat-pusat di level C lebih pendek daripada jarak
antara pusat-pusat di level B.
Prinsip lalu lintas Christaller k = 4 (christaller’s traffis principle k = 4)
Prinsip lalu lintas Christaller k = 4 dipilih sebagai alternatif lain dari pengaturan
sistem k = 3, karena prinsip k =3 kurang baik dalam menggambarkan jarak
tempuh, yaitu jauh karena harus memutar dan berliku. Manurut christaller traffic
principle, distribusi lokasi pusat sangat tepat jika beberapa tempat penting
terletak pada satu jalur traffic antara 2 kota penting, dimana jalur tersebut
dibangun selurus dan semurah mungkin. Tempat-tempat yang tidak terlalu
penting dapat dikesampingkan. Berdasarkan traffic principle, lokasi pusatkan
terbentuk sebagai jalur traffic yang lurus yang menyebar dari titik pusat. Prinsip
ini menghasilkan hierarki lokasi pusat dengan aturan k = 4. Pusat A ordernya
paling tinggi mendominasi lokasi pasar dari pusat-pusat yang berorder lebih
rendah yang ada dibawahnya.
Prinsip administrasi Christaller k = 7
Prinsip administrasi Christaller mengatur hierarki lokasi pusat dari sudut pandang
politik atau administrasi. Selain itu, prinsip ini mengatur bahwa seluruh pusat-
pusat order yang lebih rendah karena alasan politik dimasukkan ke dalam pusat
yang berorder tertinggi. Keenam titik pusat yang ordernya lebih rendah
sepenuhnya menjadi sub ordinat dari pusat A, sehingga titik A mendominasi
ketujuh market area di bawahnya (1 market area (pusat) + 6 sub ordinat market
area di bawahnya).

xvii
2.6.2 Pengaturan Hierarki Pusat – Pusat menurut Pendekatan Losch
August Losch membuat susunan hierarki pusat-pusat lebih fleksibel
dibandingkan Christaller. Losch berpendapat bahwa daerah pasar tidak hanya
dapat disusun menurut pengaturan 3, 4, atau 7 tetapi masih memungkinkan
terjadinya lebih banyak susunan daerah pasar dalam suatu jaringan. Sehingga
menurut Losch tidak ada alasan mengapa daerah pasar dikaitkan dengan pusat-
pusat produksi dan bersifat kaku seperti yang diungkapkan Christaller. Losch
juga menyadari bahwa model yang dikembangkannya kurang efisien karena
sulitnya mengkombinasikan jaringan daerah pasar untuk membentuk struktur
spasial yang efisien bagi produsen maupun konsumen. Dalam hal ini pusat
jaringan penting tetapi lebih diharapkan pusat mampu melayani semua wilayah
pasar atau yang dinamakan metropolis. Metropolis merupakan pusat dari seluruh
jaringan dan mempunyai order tertinggi. Selanjutnya jaringan tersebut ditata
sedemikian rupa sehingga dari titik pusat (metropolis) tersebar banyak alternatif
sektor. Menurut Losch pusat-pusat wilayah pasar dibagi menjadi sektor “kota
kaya” (city rich) dan “kota miskin (city poor). Sektor kota kaya mempunyai
karakteristik: (1) jaringan market area yang luas, dan (2) aktivitasnya banyak
sehingga ordernya lebih tinggi, sedangkan kota miskin sebaliknya.
Model pengaturan spasial pusat-pusat kota menurut Losch konsisten
terhadap unsur dasar dari organisasi manusia, yaitu prinsip usaha minimal.
Usaha tersebut dilakukan dengan cara memaksimumkan jumlah perusahaan
yang beroperasi di dalam pasar dan meminimumkan biaya transportasi secara
keseluruhan.dengan menggunakan asumsi yang sama tetapi pendekatan yang
berbeda, Christaller dan Losch menurunkan hierarki perkotaan yang berbeda.
Skema hierarki Christaller terdiri dari serangkaian tingkatan distrik dimana satu
pusat menghasilkan campuran barang-barang yang sama dengan pusat lain
pada tingkatan hierarki yang sama. Skema Losch menggambarkan kombinasi
fungsi dan posisi hierarki yang tidak sama. Skema Losch membiarkan terjadinya
spesialisasi produksi di central place sedangkan Christaller tidak, kecuali jika
tingkat hierarki dibedakan oleh barang berhirarki spesifik. Di samping itu, model
Losch juga lebih fleksibel dan lebih komprehensif dibandingkan Christaller. Ada
dua konsekuensi penting dari model landscape Losch, yaitu yang berhubungan
dengan pengaturan sektoral pada pergerakan dan yang berimplikasi terhadap
distribusi populasi.

xviii
Implikasi pertama dari pola sektoral Losch adalah pergerakan akan lebih
efisien jika dibuat saluran sepanjang jalur-jalur diskrit (mirip dengan prinsip k =
4). Dengan jalur lurus, sebanyak dan serumit apapun aktivitas pergerakan akan
menjadi lebih mudah, cepat dan murah dibanding jalur yang berliku-liku.
Akibatnya menghasilkan bentuk menyimpang dari keteraturan daerah pasar
heksagonal dan wilayah dengan land use yang sirkular. Bentuk heksagonal
berubah menjadi bentuk yang lebih sempit dan memanjang.
Implikasi kedua dari pandangan ekonomi Losch menggugurkan asumsi
awal mengenai distribusi populasi. Bukan hanya karena pendapatan penduduk
lebih tinggi di pusat-pusat kota, tetapi juga perbedaan pendapatan populasi
terjadi pada skala yang lebih besar karena pengelompokan kegiatan sektoral
dimungkinkan. Perbedaan kepadatan penduduk ini menyebabkan beragamnya
ukuran daerah pasar. Range market area dapat diukur dengan kepadatan
populasi. Misalnya, untuk melayani 100 orang konsumen, jika kepadatan
penduduk sama dengan 100 orang/km2, maka daerah pasar akan seluas 1 km 2.
Jika kepadatan hanya 10 orang/ km2, maka daerah pasarnya akan 10 x lebih
luas. Pada daerah berpopulasi tinggi terutama di dekat metropolitan, tingkat
penjualan yang tinggi bisa dicapai pada daerah pasar yang sempit. Sebaliknya
pada daerah yang kepadatan populasinya rendah tingkat penjualan hanya bisa
dicapai untuk daerah yang lebih luas, untuk melayani jumlah konsumen yang
sama.
Biaya tranportasi input dan output adalah variabel lintas ruang yang tinggi
keragamannya yang besarnya ditentukan oleh sarana/alat yang digunakan,
kontur permukaan lahan dan jenis barang yang diangkut. Hal pertama yang
mendasari teori-teori ekonomi pada umumnya yang implisit dan tidak realistis
adalah kenyataan bahwa sumberdaya material (bahan baku) tidak mungkin
mempunyai kualitas yang sama disetiap lokasi. Fakta ini menunjukkan adanya
keragaman spasial, sehingga prinsip-prinsip teori lokasi yang dikembangkan
Losch-Christaller dengan model sederhana lebih tepat guna bagi aktivitas
ekonomi tersier dan industri manufaktur yang menggunakan bahan baku yang
tersedia dimana saja (seperti air dan udara).
Menurut Rustiadi et. al (2011), perwilayahan merupakan cara atau
metode klasifikasi. Klasifikasi digunakan untuk dua manfaat yaitu (1) sebagai alat
penyederhanaan fenomena dunia nyada dan (2) sebagai alat pendeskripsian.
Klasifikasi adalah alat yang ampuh untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk

xix
di dalam menggambarkan hubungan anatara manusia dengan sumberdaya yang
dimanfaatkannya diatas permukaan bumi. Keragaman dan perbedaan
karakteristik sumberdaya serta perilaku dan cara manusia memanfaatkannya
diatas dunia dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian
spasial. Klasifikasi spasial (perwilayahan) tidak lain merupakan alat untuk
mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karakteristik fenomena
yang ada. Perbedaan klasifikasi spasial dan klasifikasi pada umunya adalah (1)
aspek spatial contiguity (kontiguitas spasial) dan (2) aspek spatial compactness.
Kontiguitas spasial memiliki pengertian bahwa tiap-tiap wilayah yang
didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu
sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus atau saling
mempengaruhi.
1. Konsep-konsep wilayah
a. Wilayah homogen
Konsep wilayah homogen lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan)
dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan (kompleksitas, varians,
ragam) antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional
(interaksi) antar wilayah-wilayahnya atau antar komponen – komponen di
dalamnya. Sumber kesamaan berupa kesamaan struktur produksi, konsumsi,
pekerjaan, topografi, iklim, perilaku, sosial, pandangan politik, tingkat pendapatan
dan lain-lainnya.
b. Wilayah nodal
Konsep wilayah nodal adalah salah satu wilayah fungsional/sistem yang
sederhana karena memandang suatu wilayah secara dikotomis (terbagi atas dua
bagian). Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah
diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti
(pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau pemukiman, sedangkan
plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland), yang mempunyai sifat-
sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Konsep wilayah nodal lebih
berfokus pada peran pengendalian/pengaruh central atau pusat (node) serta
hubungan ketergantungan pusat (nucleus) dan elemen-elemen sekelilingnya
dibandingkan soal batas wilayah. Pusat wilayah berfunsi sebagai (1) tempat
terkonsentrasinya penduduk (pemukiman), (2) pusat pelayanan terhadap daerah
hinterland, (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri dan
(4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan

xx
mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilakn suatu output
tertentu. Hinterland berfungsi sebagai (1) pemasok (produsen) bahan-bahan
mentah dan atau bahan baku, (2) pemasok tenaga kerja melalui proses
urbanisasi dan commuting (menglaju), (3) daerah pemasaran barang dan jasa
industri manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Hubungan
fungsional antara subwilayah hinterland dengan inti. Suatu wilayah yang luas
dapat mempunyai beberapa inti dengan hierarki (orde) tertentu. Sub wilayah inti
dengan hierarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah
inti dengan hierarki yang lebih rendah. Unit terkecil suatu wilayah nodal berpusat
pada satu sub wilayah inti dengan sub wilayah plasma disekelilingnya.
c. Wilayah perencanaan/pengelolaan khusus
Wilayah perencanaan/pengelolaan tidak selalu berwujud wilayah administratif
tapi berupa wolayah yang dibatasi derbadasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu
pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa
sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan/pengelolaan.
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk denngan
matriks dasar kesatuan siklus hidroorologis (sirkulasi air), sehingga DAS sebagai
suatu wilayah berdasarkan konsep ekosistem perlu dikelola dan direncanakan
secara seksama. Adanya sistem perwilayahan komoditas diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi sistem produksi dan distribusi komoditas, karena
perwilayahan komoditas pada dasarnya adalah suatu upaya memaksimalkan
“comparative advantage” setiap wilayah.
d. Wilayah administratif-politis
Wilayah administratif adalah wilayah perencanaan/pengelolaan yang memiliki
landasan yuridis-politis yang paling kuat. Konsep ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya
dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau suatu sistem kelembagaan dengan
otonomi tertentu.wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan
perencanaanya. Sering pula wilayah administratif ini disebut sebagai wilayah
otonomi yang artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan
keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-
sumberdaya didalamnya. Wilayah administratif merupakan wilayah yang dibatasi
atas dasar kenyataan bahwa wilayah tersebut berada dalam batas-batas
pengelolaan administrasi/tatanan politis tertentu.

xxi
2.7 Teori Sistem Lokasi Pusat (Central Place)
Menurut Aulia et al. (2009), teori central place pertama kali dikemukakan
oleh Christaller pada pertengahan tahun 1933 yang memodelkan perilaku ritel
secara spasial. Asumsi-asumsi yang dikemukakan antara lain :
- Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam
- Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata
- Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang
merata
- Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa.
Sedangkan prinsip yang dikemukaan oleh Christaller (1933), adalah
sebagai berikut:
- Range (jarak) adalah jarak jangkauan antara penduduk dan tempat suatu
aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. Misalnya
seseorang membeli baju di lokasi pasar tertentu, range adalah jarak antara
tempat tinggal orang tersebut dengan pasar lokasi tempat dia membeli baju.
Apabila jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang
bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke
pasar lain yang lebih dekat.
- Threshold (ambang batas) adalah jumlah minimum penduduk atau konsumen
yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau
jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau
konsumen dalam ruang (spatial population ditribution)
Dari komponen range dan threshold lahir prinsip optimalisasi pasar
(market optimizing principle). Prinsip ini menyebutkan bahwa apabila memenuhi
asumsi diatas akan terbentuk wilayah tempat pusat (central place) pada wilayah
tersebut. Wilayah pusat menyajikan kebutuan barang dan jasa bagi penduduk
sekitarnya. Apabila sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk
lingkaran bertemu dengan pusat lain yang memiliki range dan threshold tertentu
maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk daerah yang
bertampalan akan memiliki kesempatan yang relatif sama untuk pegi ke dua
pusat pasar tersebut. dalam kenyataannya, konsumen atau masyarakat tidak
selalu rasional dalam memilih barang atau komoditi yang diinginkan.
Keterbatasan sistem tempat pusat dari Christaller ini meliputi beberapa kendala
yakni:
- Jumlah penduduk

xxii
- Pola aksesibilitas
- Distribusi
Berdasarkan teori ini, terdapat dua hal mendasar yang menjadi
pertimbangan yaitu jarak dan ambang batas. Jarak adalah seberapa jauh
konsumen mau melakukan perjalanan untuk membeli barang sedangkan
ambang batas adalah permintaan minimum yang dibutuhkan bagi sebuah toko
agar dapat melangsungkan usahanya. Konsumen diasumsikan berada pada
tingkat pendapatan yang sama akan tersebar merata diseluruh wilayah sehingga
jarak adalah satu-satunya hambatan bagi konsumen dalam melakukan
perjalanan. Kombinasi antara jarak dan ambang batas akan menggambarkan
jangkauan pelayanan ritel. Bentuk jangkauan pelayanannya adalah heksagonal
sehingga model ini menggambarkan lokasi optimal bagi gerai ritel karena
mengkombinasikan antara jarak tempuh konsumen dengan skala ekonomi
optimal ritel.
Fenomena yang berkaoitan dengan sistem pusat-pusat kota yakni
hubungan antara rank-size yang dikembangkan oleh Zipfin (1949), dengan apa
yang disebut sebagai rank-size rule. Dengan mengurutkan ukuran penduduk dari
tertinggi hingga terendah dalam menata pusat-pusat kota maka akan didapatkan
urutan dari kota-kota yang benar-benar teratur dan kontinyu. Hubungan tersebut
secara formal dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut :
Pr = (Pi/rQ)
Dimana:
r = rank/ urutan kota
Pr = populasi kota urutan ke-r
Pi = populasi kota terbesar
Q = pangkat bilangan yang nilainya mendekati l
Jika ukuran populasi di plotkan terhadap tiap pusat kota, hubungan
tersebut menunjukkan slope yang menurun dari lokasi pusat ke lokasi lain
dengan hierarki semakin rendah. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa
distribusi lokasi pusat secara hierarki dapat ditentukan berdasarkan kompleksitas
fungsional. Sementara itu keberlanjutan rank-size distribusi pusat-pusat kota
ditentukan berdasarkan ukuran populasi.

2.8 Hierarki dan Pergerakan Konsumen ke Lokasi Pusat


Suatu ciri umum dari daerah-daerah modal adalah bahwa penduduk kota
tidaklah tersebarsecara merata diantaranya pusat-pusat yang sama besarnya

xxiii
tetapi tersebar diantara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda yang secara
keseluruhan membentuk suatu hirarki perkotaan (Harry, 1991).
Struktur dari hirarki pusat pelayanan pada dasarnya adalah suatu arahan
mengenai jenjang atau hirarki pusat pelayanan yang ditentukan berdasarkan
fungsi dan skala/ lingkup pelayanan yang dikembangkan pada masing-masing
pusat pelayanan. Pembentukan atau pengadaan pola pelayanan kota yang baik
dan efisien adalah mempertimbangkan pola pendistribusian pusat-pusat
pelayanan yang mencakuppenghirarkian dan mengatur penenmpatannya secara
ruang. Konsep pola pendistribusian pusat-pusat pelayanan adalah dengan
menempatkan pusat kota sebagai pusat pelayanan tertinggi, baik dilihat dari
kelengkapan fasilitas, daya layanan maupun skala pelayanannya. Disamping itu,
pusat kota berfungsi dan berperan melayani kebutuhan penduduk seluruh kota
atau bahkan dari daerah sekitarnya. Dibawah pusat kota adalah sub pusat kota
yang mempunyai hirarki yang lebih rendah dari pusat kota tetapi lebih tinggi dari
pusat lingkungan. Sub pusat ini mempunyai fungsi melayani kebutuhan
penduduk dari suatu bagian wilayah kota. Hirarki berikunya adalah pusat
lingkungan yang berfungsi melayani kebutuhan penduduk dari lingkungan kecil
dalam memeuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi, hirarki dari pusat-pusat pelayanan
tersebut adalah hirarki pertama pusat kota, hirarki kedua adalah sub pusat kota,
dan yang terakhir adalah pusat lingkungan (Sujarto, 1977).
Menurut Hartshorn (1980) dalam Setyawarman (2009), pola pergerakan
konsumen dipertimbangkan dalam penentuan lokasi pusat perbelanjaan. Pola
pergerakan konsumen menggambarkan pola perjalanan belanja. Pola
pergerakan konsumen diklasifikasikan sebagai berikut : (Hartshorn, 1980:350) :
a. Singgle purpose trip; perjalanan belanja yang diawali di satu titik dan
kembali pada titik yang sama. Rumah dijadikan titik awal dan pusat
belanja dijadikan titik yang dituju. Ini merupakan pola yang sering
dilakukan. Pertimbangan utama dalam pola ini adalah jarak, artinya pusat
belanja dengan jarak terdekatlah yang menjadi titik tujuan.
b. Multi purpose trip; perjalanan belanja dengan titik awal rumah, tetapi titik
yang dituju lebih dari satu (pusat belanja) dan keanekaragaman barang
yang dibeli lebih banyak dibandingkan dengan dengan pola singgle
purpose trip, demikian halnya dengan variabel jarak yang ditempuh relatif
lebih jauh.

xxiv
c. Combined purpose trip; perjalanan belanja sekaligus melakukan kegiatan
bepergian lain seperti perjalanan kerja, baik sebelum/sesudah kerja.

2.9 Penempatan Pusat – Pusat Kota


Menurut Klimert (2004) dalam Setyawarman (2009), pemilihan lokasi
yang tepat sangat menentukan kesuksesan ekonomi dari suatu proyek,
kombinasi terbaik dari beberapa karateristik, sebagai berikut:
a. Demographics. Beberapa indikator penting dari faktor demografi adalah
pertumbuhan populasi, tingkat pendapatan dari populasi, yang tercermin
dari variabel usia, keberagaman etnic, profil psikografi dan kondisi
aktivitas harian dan petang dari populasi.
b. Location and distance. Suatu analisis dari kondisi eksisting dan kondisi
persaingan yang akan datang adalah bagian dari setiap proses pemilihan
lokasi.
- Neigbourhood center : idealnya memiliki jarak ½ mil tergantung tujuan
dan karakter dari area pemukiman.
- Community center : memiliki cakupan area 3-5 mil dari lokasi.
- Regional center : memiliki cakupan jarak 8 mil atau lebih dari lokasi retail.
c. Shape
d. Access
- Neigbourhood center : seyogyanya memiliki akses dari jalan kolektor.
- Community center : seyogyanya dilokasikan pada akses major thorough
fares
e. Community center seyogyanya aksesibel terhadap area perdagangan.
- Regional center : seyogyanya berlokasi pada area yang mudah
diakses dari interchange point antara express ways dan freeways.
Visibility. Visibilitas yang baik dapat mempengaruhi aksesibilitas.
Pengemudi mobil di lalu lintas lokal harus dapat melihat dengan mudah
lokasi retail.
f. Size
g. Topography. Kondisi/jenis tanah dan sudut kemiringan tanah yang
berpengaruh terhadap cost capital dari proyek retail.
h. Utilities. Akses yang mudah terhadap sumber daya air, gas dan listrik.
i. Surroundings. Lokasi disekitar retail seyogyanya mempertimbangkan
aspek visual, noise dan polusi dari lalu lintas aktivitas retail berlokasi.

xxv
j. Environmental impacts
k. Zoning
l. Financial benefits to the commnunity

3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah tentang Organisasi Spasial Sistem Produksi
Industri adalah sebagai berikut :
 Walter Isard sebagai seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji

terjadinya hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama pembentuk

ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya. Kajian ilmu-

ilmu perencanaan wilayah sebagai alat peramal dalam pendekatan

analitis dari Walter Isard mengangkat berbagai isu dan permasalahan

pembangunan wilayah mengenai development poles, growth poles,

growth centre dan sejenisnya. Pendekatan Isard menggunakan asumsi

bahwa lokasi industri dapat terjadi di titik-titik sepanjang garis yang

menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar jika bahan baku

xxvi
setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu jarak dari

pasar dan jarak dari sumber bahan baku.

 Teknik atau teori yang dikemukakan oleh Smith merupakan

penggabungan metode subtitusi Isard dengan metode Isodapane Weber.

Terdapat dua tahap dalam metode kurva biaya ruang yakni memplotkan

isotim di setiap bagian supply atau titik pasar dan menjumlahkan biaya

transportasi pengumpulan bahan baku dan pengangkutan produk akhir ke

pasar. Dua konsep penting menurut Smith yaitu yang pertama, kurva

biaya ruang yang secara sederhana merupakan bagian yang

menggambarkan peta kontur biaya. Kedua, kurva biaya ruang yang

diturunkan merupakan spatial margins to profitability.

 Kriteria penentuan lokasi kawasan industri yang harus dipertimbangkan

yaitu bahan baku, tenaga kerja, biaya transportasi, dan lokasi pasar.

 Teori lokasi neoklasik merupakan teori berbasis pada pendekatan

normatif. Teori normatif lebih berkenaan pada hal-hal yang diperkirakan

mungkin terjadi dengan banyak asumsi bukan didasarkan pada konisi riil

 Organisasi Spasial dari Produksi Industri terdapat dua asumsi yaitu

asumsi satu produsen dan asumsi Lebih dari Satu Produsen untuk

Barang yang Sama. Dalam asumsi satu produsen, seorang ekonom

cenderung memperhatikan dasar analisis pada suatu titik/tempat

sedangkan faktanya kajian mencangkup daerah pasar (market area).

Sedangkan dalam kasus lebih dari satu produsen pada komuditas yang

sama, asumsi dasarnya adalah: konsumen hanya membeli dengan harga

termurah, yang berarti membeli pada produsen terdekat. Solusi logis

untuk memenuhi kebutuhan produsen dan konsumen adalah suatu

xxvii
jaringan heksagonal wilayah pasar berukuran seragam. Serta “threshold”

dan “range” berbeda untuk setiap komuditas.

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto dan Tukidi. 2007. Konsep Pengembangan Wilayah dan Penataan


Ruang Indonesia di Era Otonomi Daerah. Jurnal Geografi. 4(1): 1-10.
Harry, Markowiz. 1991. Foundation of Portofolio Theory. Journal of Finance. Vol
7(1):77-91.
Muzayanah. 2015. Terapan Teori Lokasi Industri (Contoh Kasus Pengembangan
Kawasan Industri Kragilan Kabupaten Serang). Jurnal Geografi. 13(2):
116-135.
Rustiadi, E. 2001. Perencanaan Wilayah di dalam Mengatasi Kerusakan
Lingkungan dan Disparitas antar Wilayah di Era Otonomi Daerah.
Makalah disampaikan pada Serial Diskusi Program Certification,
Environment Justice and Natural Asset yang diselenggarakan oleh
Lembaga Alam Tropika Indonesia pada tanggal 27 Juli, 2001 di Perdikan
Latin, Situ Gede, Bogor.

xxviii
Rustiadi, E.,S. Saefulhakim, dan D. R. Panuju. 2009. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Rustiadi, ernan., S. Saefulhakim dan D. R. Panuju. 2011. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Santoso, E. B., E. U. Belinda dan U. Aulia. 2012. Diktat Analisis Lokasi Dan
Keruangan (Rp09-1209). Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Setyawarman, Adityo. 2009. Pola Sebaran dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Retail Modern. Tesis. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Sujarto, D. 1977. Distribusi Fasilitas dalam Perencanaan Fisik, Lembaga
Penelitian Planologi Departemen Planologi ITB.
Suryani, Y. 2015. Teori Lokasi Dalam Penentuan Pembangunan Lokasi Pasar
Tradisional (Telaah Studi Literatur). Seminar Nasional Ekonomi
Manajemen Dan Akuntansi (Snema) Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Padang.
Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2008. Ekonomi Pembangunan (Jilid 1). Jakarta:
Penerbit Erlangga.

xxix

Anda mungkin juga menyukai