Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT MODERN, POSITVISME

DAN FEOMENOLOGI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Pengatar Filsafat

Dosen Pengampu : M. Triyono Fata, M.Pd.I

Disusun Oleh:

1. Arik Fajar W.
2. Afifatun Nuha

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STIT SUNAN GIRI TRENGGALEK
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “FILSAFAT MODERN, POSITIVISME DAN FENOMENOLOGI”
dapat terselesaikan.
Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya :
1. Bapak M. Triyono M.Pd.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Pengatar
Filsafat yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam
pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian
penyusunan makalah ini.
2. Juga kami sampaikan terimakasih kepada beberapa asatidz yang telah
memberikan bimbingan kepada kami dalam menyusun inti dari makalah
ini.
3. Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan yang
telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar
kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. aamiin.

Trengalek, 25 Desember 2020

TTD

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1. Latar Belakang..................................................................................................1

2. Rumusan Masalah............................................................................................1

3. Tujuan Pembahasan.........................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................3
1. Pengertian Fenomenologi.................................................................................3

2. Tokoh Fenomenologi........................................................................................4

3. Metode Pendekatan Reduksi Fenomenologi Edmund Husserl...........................9

4. Verifikasi Filsafat Fenomenologi.....................................................................11

BAB III....................................................................................................................12
PENUTUP...............................................................................................................12
Kesimpulan........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat
merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang
murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan
dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu
menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat
digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam
kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara
sesama.
Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat bersumber dari
pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada bisa
diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas
individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara
mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung
jawabkan keabsahannya. Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah
mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki
seseorang. Dan akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang akan
dipaparkan dalam makalah ini.
Perlu kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan ilmu hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada
fenomena ini. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita eksistensi
ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi.
Fenomenologi dan hermeneutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai
perbedaan, kekuatan, dan kelemahan masing-masing.

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Fenomenologi?

1
2. Siapa tokoh-tokoh filsafat fenomenologi?
3. Bagaimana pendekatan metode reduksi Husserl?
4. Bagaimana verifikasi filsafat fenomenologi?

Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin di capai oleh pemakalah dari
makalah ini yaitu;
1. mengetahui tentang Fenomenologi.
2. mengetahui tokoh-tokoh filsafat Fenomenologi.
3. mengetahui tentang pendekatan metode reduksi Husserl.
4. Mengetahui verifikasi filsafat fenomenologi

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Fenomenologi.
Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon
berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan
bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada
1
suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
2
Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran.
Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat
yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan
terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang
terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima
oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir
secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai
subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan
pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya,
bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita
ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya
melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita.

1
Syamsul Arifin, Fenomenologi Agama, ( Pasuruan: PT.Garoeda Buana Indah, 1996 ), hlm. 1
2
Ali Maksum, Pengantar filsafat; dari Masa klasik hingga Postmodern, (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2011), 368

3
Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang
dialami manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari
pada fenomenologi. Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran
atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala
tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan
fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya
menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya
adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan
sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains,
agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua
penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri
3
dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi
berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah
pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan
diri pada kesadaran kita.

2. Tokoh Fenomenologi
a. Edmund Husserl (1859-1938)

3
Donny Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer. (Jogjakarta : Jalasutra, 2002), hlm. 21

4
4
Edmund Husserl adalah pelopor filsafat fenomenologi. Ia lahir di
Prosswitz (Moravia) pada tahun 1859. Semula ia belajar ilmu pasti di Wina,
tetapi kemudian ia berpindah studi ke filsafat. Berturut-turut ia menjabar guru
besar di Universitas Halle, Gotingen dan Freiburg. Banyak sekali buah
karyanya, akan tetapi belum semuanya diterbitkan. Diantara yang telah
diterbitkan ialah: Logische Untersuchungen, atau “Penyelidikan-penyelidikan
yang logis” (1900-1901), Ideen zu einer reinen Phanamenologie atau “Idea-idea
bagi suatu fenomenologi yang murni” (1913), Formale und transdentale Logik
atau “Logika yang formal dan transdental” (1929) dan Erfahrung und Urteil atau
“pengalaman dan Pertimbangan” (1930).
Menurut Husserl hukum-hukum logika yang memberi kepastian, yang
berlaku, tidak mungkin bersifat a posteriori, sebagai hasil pengalaman, tapi
bersifat a priori. Umpamanya asas pemikiran yang berbunyi: A tak mungkin
sekaligus A dan bukan A, artinya, tidak mungkin bahwa jikalau A adalah A,
maka A sekaligus juga bukan A. Asas pemikiran ini tetap berlaku, juga
seandainya tiada seorangpun yang memikirkannya. Hal ini sama dengan
kenyataan, bahwa 2 x 2 = 4. Juga seandainya tiada seorang pun yang
menghitungnya, patokan itu tetap berlaku, pasti. Oleh karena itu logika sejenis
5
dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku adalah sama.
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan
ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang
harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu,
harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk
kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi

4
Paul Edward (ed), The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, (New York: MacMilan Publishing Co.,
Inc and Free Press, 1972), h. 137.
5
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 141.

5
memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada.
Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bawah
untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada
“benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan
6
dengan kalimat zu den sachen (to the things). Kembali kepada “benda-benda”
dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara
tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi
bergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh
“benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan
hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran
biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu.
Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi
hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan
untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang
digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat
7
adalah Wesenschau (melihat secara intuitif) hakikat gejala-gejala.
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan
segala pengetahuan yang tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang
digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di
antara dua kurung. Namun yang dimaksud ialah “melupakan pengertian-
pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara
langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada
6
Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), h. 116.
7
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 113-117

6
8
sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap
fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap
netral, tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada
9
dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.”

b. Max Scheler (1874-1928)


Max Scheler adalah seorang penganut filsafat fenomenologi yang
menyebarluaskan gagasan Husserl. Ia telah meninggalkan kesan yang mendalam
sekali karena ia mempunyai cara yang asli untuk menerapkan dan
mengelompokkan gagasan-gagasan Husserl, serta mempunyai cara menguraikan
yang dijiwai oleh seluruh pribadinya.
Pada tahun 1874 ia dilahirkan di Munchen. Setelah belajar di Munchen,
Berlin. Pada tahun 1919 ia menjabat guru besar di Koln dan meninggal dunia di
Frankfurt pada tahun 1928. Banyak buku yang ditulis, sekalipun banyak sekali
metode cara pemikiran fenomenologis yang terdapat di dalam karya-karyanya,
namun, tekanannya berbeda dengan Husserl. Scheler jelas adalah seorang realis,
yang memusatkan perhatiannya kepada kenyataan dan hidup yang konkrit.
Seperti halnya dengan Husserl, filsafat Scheler juga mengalami
perkembangan. Disini hanya sebagian saja yang akan dibicarakan, yaitu bagian
filsafatnya yang menampakkan kelanjutan pemikiran Husserl. Metode
fenomenologis tentang “penilaian hakikat” oleh Scheler diterapkan di bidang teori
pengenalan, etika, filsafat kebudayaan dan keagamaan, serta bidang nilai. Jasanya
besar sekali dalam pemikiran tentang nilai ini. Dalam pendekatan fenomenologis
seperti yang dimengerti oleh Scheler, secara skematis dapat dibedakan tiga unsur
10
berikut ini;
8
Yusuf Karim, Tarikh al-Falsafat al-Hadithah, tt., h. 460.
9
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 112.
10
K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm.110

7
1. “Penghayatan” (Erleben): pengalaman intuitif yang secara langsung menuju
kepada “yang diberikan”, dengan demikiankita menghadapi disini suatu sikap
yang sama sekali aktif, bertentangan dengan bentuk-bentuk penghayatan yang
lain yang bersifat pasif belaka.
2. Perhatian kepada Washeit (Whatness; apa-nya, esensi), sambil tidak
memperhatikan segi eksistensi (ada-nya). Inilah salah satu aspek dari apa yng
ditunjukkan Husserl sebagai “reduksi transcendental”.
3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antara
esensi-esensi tadi. Hubungan itu bersifat apriori: “diberikan” dalam intuisi,
terlepas dari kenyataan. Hubungan satu sama lain antara esensi-esensi itu
dapat bersifat logis belaka maupun non-logis.

c.     Martin Heidegger (1889-1976)


Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman pada tanggal 26 Desember
1889 dan meninggal pada tanggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Ia adalah
seorang filusuf asal Jerman. Ia belajar di universitas Freiburg di bawah Edmund
Husserl, penggagas Fenomenologi, kemudian menjadi profesor disana pada
1928. Ia mempengaruhi banyak filusuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk
Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo
Strauss, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-luc nancy, dan Philippe Lacoue-
Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya secara mendalam. Selain
hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi,
hermeneutika (muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan
Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-
11
isu teologis sekarang)  dan pascamodernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat

11
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, Penj. Musnur Hery dan Damanhuri), h. 3

8
Barat dari pertanyaan-pertanyaan ontologis. Artinya, pertanyaan-pertanyaan
yang menyangkut makna keberadaan, atau apa arti bagi manusia untuk berada.
Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting
12
dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Selain tokoh fenomenologi, Martin Heidegger juga adalah tokoh
eksistensialisme, ia mengemukakan bahwa keberadaan hanya akan dapat
dijawab melalui jalan Antologi, artinya jika persoalan ini dihubungakan dengan
manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk ini adalah
fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu. Satu-
satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia.
Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia,
mengambil tepat di tengah-tengah dunia sekitar. Keberadaan manusia disebut
13
Desein. Berada artinya menempati atau mengambil tempat.

3. Metode Pendekatan Reduksi Fenomenologi Edmund Husserl


Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu
diketahui. Diantaranya:
1) Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula
nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)
2) Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
3) Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4) Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan
dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau
penyaringan yang terdiri dari :

12
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 140.
13
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 128.

9
1) Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman
dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya.
Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari
pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
Fenomena seperti disebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktik
hidup sehari-hari, kita tidk memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita
lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita
lihat adalah riil atau nyata. Akan tetapi karena yang dituju oleh
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya dan ini
hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara ontuitif, maka apa yang
kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara
harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjektivitas harus
disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan
dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita
memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran
adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut
14
fenomenologis.
2) Reduksi eidetis Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi
eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung. Segala hal
yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi kedua ini
adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eidetic, semua segi, aspek, profil
dan fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan
profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek
15
adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria
kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun
14
Juhaya. S.Praja, Aliran-aliran Filsafat…, 181
15
Juhaya. S.Praja, Aliran-aliran Filsafat…, 182

10
terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon dan konsisten.
Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai
dengan yang pertama atau yang selanjutnya. Dengan reduksi inilah kita
dapat mencapai inti atau esensi dari suatu objek.
3) Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya
sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni. Di dalam reduksi ini
yang ditempatkan di antara dua kurung adalah eksistensi dan segala
sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran
murni, agar dari objek itu akhirnya orang yang sampai kepada apa yang
16
ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi
mengenai objek atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang
menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan
ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran.
Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus
17
kesadaran sendiri. Kesadaran yang bersifat murni atau transcendental.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek


dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin
dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan
ilmu pengetahuan umum. Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut
sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari
berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan
rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum
tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Kita harus meninggalkan segala
tabir dan kembali kepada objek secara langsung.

16
Harun Handiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta; Yayasan Kanisius, 1980), hlm.144
17
Juhaya. S.Praja, Aliran-aliran Filsafat…, 183

11
4. Verifikasi Filsafat Fenomenologi
Pendekatan Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan
makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada
18
pengertiannya yang lebih luas. Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami
sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran
kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata,
yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu
metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya
seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, pra-anggapan
serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den
Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi
menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi
Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin
Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan
keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada
bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu
metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan
tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap
18
Noerhadi Magestari, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998), h.
147.

12
keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang


kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan
terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu
yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian
diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran.
2. Aliran fenomenologi mempunyai beberapa tokoh-tokoh yang menjadi acuan
dasar yang mengemukakan tentang aliran fenomenologi tersebut. Diantara
tokoh-tokohnya yaitu Edmund Husserl, max scheller, martin Heidegger, dan
Maurice merlea-ponty.

13
3. Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu
diketahui. Diantaranya: Fenomena, Pengamatan, Kesadaran dan Substansi.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau
penyaringan yang terdiri dari : Reduksi fenomenologi, Reduksi eidetis, dan
Reduksi transcendental.
4. Fenomenologi sebagai ilmu yaitu bahwa Filsafat fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

DAFTAR PUSTAKA

Aldian, Donny Gahral. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer. (Jogjakarta : Jalasutra, 2002).


Arifin, Syamsul. Fenomenologi Agama. (Pasuruan: PT.Garoeda Buana Indah, 1996 ).
Baker, Anton. Metode-Metode Filsafat. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
Edward, Paul (ed). The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5. (New York: MacMilan
Publishing Co., Inc and Free Press, 1972).
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisius, 1980).
Hammersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat. (Jakarta: PT. Gramedia, 1983).
Magestari, Noerhadi. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. (Bandung: Pusjarlit, Cet.
I, 1998).
Maksum, Ali. Pengantar filsafat; dari Masa klasik hingga Postmodern. (Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2011).

14
Palmer, Richard E. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, Penj. Musnur Hery dan Damanhuri).
Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Syadzali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 1997).

15

Anda mungkin juga menyukai