Senantiasa memperdalam ilmu hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa
kepada Allah.
Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran.
Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
Bersifat kritis dan berpikir bebas kreatif.
Hal tersebut diperoleh antara lain dengan jalan :
o Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran islam yang dimilikinya
dengan penuh gairah.
o Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.
o Mengadakan tentir club untuk studi kasus ilmu jurusannya dan club studi untuk
masalah kesejahteraan dan kenegaraan.
o Selalu hadir dalam forum ilmiah.
o Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan.
o Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan
HMI.
o Mengadakan kalaqah-kalaqah perkaderan dimasjid-masjid kampus.
Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah
merupakan tujuan dalam setiap anggota HMI. Insane cita HMI adalah gambaran masa depan
HMI. Suksesnya seorang dalam HMI dalam membina dirinya untuk mencapai insane Cita HMI
berarti telah mencapai tujuan HMI.
Insane cita HMI pada suatau waktu akan merupakan “intelektual community” atau kelompok
intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan
masyarakat yang sejahtera spiritual adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur
yang diridhoi Allah S.W.T).
Wabillahittaufig wal hidayah
TAFSIR INDEPENDENSI
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
A. PENDAHULUAN
Menurut fitrahnya kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka karenanya
kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga daripada
kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dari kemerdekaan seperti diatas adalah mutlak
diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan.
Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau
generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimiliki menduduki kolompok elit dalam generasinya.
Sifat kepeloporan dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok
mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif
yang harus diperankan mahasiswa bias dilaksankan dengan baik apabila mereka dalam suasan
bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju)
sebagai cirri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat
independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 6 anggaran dasar HMI yang mengemukakan
secara tersurat bahwa HMI adalah organisasi yang bersifat independen sifat dan watak
independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahami esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis
keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni
dengan memahami status dan fungsi dari HMI
B. STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa member petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan
spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus
diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam
mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai
organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI.
Mahasisswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia
memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum
muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakata hari ini dan ke masa
depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan
sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social
control”. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari
kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan
kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap
spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh
sikap independen.
Mahasiswa setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain
yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan
masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaruan
masyarakat atau “agent of social change”. Kelompok mahasiswa dalam sikap dan watak tersebut
diatas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus
mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat
yang akan dating. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi
perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya dimasa depan maka
kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis.
Mereka dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan
yang dilandasi oleh niali-niali kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan
kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta manusia. Karenannya untuk menemukan
kebenaran demi mereka yang beradab kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus
memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran yang berorientasi pada masa
depan dengan bertolak kebenaran illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi
oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa
dan Negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalitas ajaran Islam.
Watak dan sifata mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi cirri HMI sebagai
organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah member petunjuk
akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan
agar HMI dapat melaksananka fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi
kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dankomit
dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong
dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas
seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief)
maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi
kehidupan dan negaranya.
C, SIFAT INDEPENDEN HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian
kdaer HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku
setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan
“Hakekat dan Mission” organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pilir
pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk “Independen etis HMI” sementara
watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI
akan membentuk “Independen organisatoris HMI”
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifata
yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeingianan suci dan
secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan
fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa
memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBNAHU
WATA’ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader dan
berperilaku baik “hablumminallah” maupun dalam “hablumminannas” hanya tunduk dan patuh
dengan kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader
HMI dan teraktualiasasi riil melalui, watak dan kepribadian serta sikap-sikap yang :
Nilai dasar perjuangan adalah sebuah landasarn filsofis dan ideologis sekaligus sebagai
perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar
perjuangan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada
kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan
konseptual yang diterjemahkan pada wilayah strategis dan kebijakan yang taktis atau
operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang menyertainya dan progressifitas perubahan
menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi yang tidak
mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka ida kakn tertinggal jauh
dan menjadi organisasi yang keterbelakang. Sehingga wacana perubahan adalah identik dengan
parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan
dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan
terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam
memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi
dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam perkaderan yang tentunya
berlandaskan dengan nilai-nilai yan gada dalam organisasi HMI, maka dengan itu kami mencoba
memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk
memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP).yang menjadi
rekomendasi kongres. Sebagai langkah konkrit maka dari Bakorna LPL HMI mengadakan
semiloka pendalaman NDP di Mataram, yag kemudian menghasilkan draft materi dan
pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan
draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarahlah pendalaman dan
finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim * di
cabang Makassar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan
yang radikal hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema
tambahan khususnya materi-materi landasan dan kerangka berpikir dan dasar-dasar kepercayaan.
Materi ini dianggapa penting karena secara subtansial materi ini dapat mengantarkan kita berpiki
induktif yang ukuran kebenarannya hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita
kepada tidak menyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan
ideologis organisasi yang berbasis islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini
bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa
paradigm dtermensitik dan jauh dari prinsip –prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan
pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran Islam secara logis dengan pendekatan
deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar kepercayaan adalah pertama : hakikat
penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan
pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan
prinsip-prinsip yang rasional, kedua : manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai
tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip
tentunya dalam kaca mata Qur-an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempruna
apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi spriritual. Al Qur-an melihat bahwa ukuran
kesempurnaan terletak dalam dimensi spiritual bukan fisiologis seperti yang diungkapkan oleh
pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistic. Selanjutnya penjabaran materi dari
kemerdekaan manusia dan keniscayaan universal, individu dan masyarakata, keadilan ekonomi,
keadilan social dan sains Islam mengalami perubahan pada materi yang secara subtansial adalah
turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan materi dari hakikat penciptaan dan eskatologi
dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang tentunnya dengan uraian materi yang saling
terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
Pada kesempatan ini secara khususnya Bakorna LPL HMI mengucapkan terima kasih kepada
Kanda Muhammad Anwar (cak Konyak) selaku Kabid PA PB HMI periode 2003-2005 yang
telah memberikan support penuh sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini.
Selain itu kepada Badko HMI Nusra dan HMI cabang Makasar TImur yang telah memfasilitasi
proses penulisan teks NDP, serta pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi
NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengatar dari Bakornas LPL PB HMI, mudah-mudahan kerja keras dan niat yang
tulus ini mendapatkan Ridho dan Berkah-Nya serta bermanfaat buat kader-kader HMI dalam
menata lebih jauh format pengkaderan di organisasi yang tercinta ini. Yakin Usaha Sampai
Dalam benak atau pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti
gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surge, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-
lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat
pembawa wahyu, kuda putih, gunung dan lain-lain ). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini
disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi kenyakinan atau
kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa
bisa demikian ? hal ini adalah mustahil seorang dapat menyakini atau mempercayai sesuatu atau
jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan
gagasan-gagasan sederhana yang didalamnya belum ada penilaian itu ia dapat benar atau salah.
Oleh karena seseorang tidak diperkenankan merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi,
tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu
pengetahuan – pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian ia harus melakukan sesuatu proses penilaian
terhadapa setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar
dapat dinyakini. Lantas pertanyaannya adalah apa landasan pokok kita didalam menilai seluruh
gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlkan dan pasti ? dalam
kanca perdebatan mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu pertama,
mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua mazhab emperisme dengan doktrin
emperikalnya dna ketiga mazhab skriptualisme dengan doktrin testualnya. Metafisika Islam
dalam hal ini menjadikan prima prinsipnya dan kausalitas serta metode deduktif sebagai
kerangka berpikir.
Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan
dalam menilai segala menajdikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala
sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya. Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh
bentuk landasan dan kerangka berpikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula mazhab ketiga
(skripstualisme), mereka skiptis terhadap landsan dan kerangka berpikir kedua mazhab yang lain.
Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi
dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan
berpikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman
dan teks-teks kita) itu merupakan landasan atau criteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal
ilmiah filosofi ataupun teologis.
Bagi mazhab pertama (metafisika Islam) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan
informasi-informasi yang sangat perlu upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi.
Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderawi sangatlah dibutuhkan bila
obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagaian bersifat ilmiah dan
sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya
kita mengetahui aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi obyektif) seperti alam gaib,
akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika pembahasan obyek kita
berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini
pengalaman inderawi atau eksperimen tidak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka
berpikir Islam, kedua data diatas (data pengalaman inderwai atau eksperimen dan teks-teks kitab
suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya tidak dapat
diingkari bahwa dari mazhab Metafisika Islam yang berlandasan prima principia dan hokum
obyektif kausalitas serta kerangka berpikir deduktifnya merupakan satu-satunya landasan
berpikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada
pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayankan apa
yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas obyek)
yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran. Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan
kesalahanya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya
maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian ? karena watak penilaian
adalah ingin diketahuinya “sesuatau itu (konsepsi)” apakah ia benar atau salah atau ingin
diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya jika pengetahuan dasar
tersebut bukan merupakan watak dan hokum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk
pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik dibidan ilmiah, filosofi dan teologis
menjadi runtuh dan tak bermakna.
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki
kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahuinya
secara intuitif (common sense) yang menjadi kepercayaan utama mahluk sebelum ia merespon
segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan
mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktifitas berpikir. Berpikir adalah aktifitas
khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip
pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar yang selanjutnya melahirkan
tata nilai adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. Pada hakekatnya perilaku
manusia yang tidak peduli untuk kepercayaan benar dan manusia yang berkepercayaan salah atau
dengan cara yang salah tidak akan mengiringya pada kesempuranaan. Maka mereka tidak
ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara obyektif sandi-sandi kepercayaan
dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai
sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang
mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggpai kebenaran dan kesempuranaan mutlak bukan
nisbi. Artinya ia mencari zat yang maha tinggi dan maha sempurna (Al-Haaq). Ada berbagai
macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak
(Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka mengangap bahwa alam ini terjadi dengan
sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan prima
principlanya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelelsaikan perdebatan itu dengan
penjelasan kemutlakkan Wujud(ada)-nya, dimana wujud adalah sesuatua yang jelas
keberadaannya dan tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada
sesuatu selain ada maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan
tidak memiliki keberadaan. Manusia yang terbatas tidak sempurna tergantung memerlukan
sebuah system nilai yang sempuran dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya.
System nilai tersebut harus berasal dari keadaan (zat yang maha sempurna) yang segala
atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok maha
sempurna ini menegaskan bahwa segala sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-
argumentasi rasional, terbuka dan tidak doktriner. Sehingga semua lapisan intelekual manusia
tidak ada yang sangup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menujukan
bahwa sang maha sempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) didunia ini
dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Symbol-simbol agam yang berbeda satu sama lain
tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan : semua agama itu benar, semua
agama itu salah; atau hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok maha sempurna yang sama, walau
demikian walau demikian memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka
agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada
masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab
bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurana (Al-
Haaq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan
argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang
telah terbukti secara argumentative.
Diantara berbagai dahlil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang
paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya ditentukan oleh
sosok “Tuhan” tersebut. Yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (yang diciptakan/mahluk).
Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/mahluk). Bila manusia adalah
maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera dan bergantung. Maka Tuhan
adalah zat yang maha sempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian,
tidak terindera secara material dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikia diketahuilah bahwa
manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-
Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan
denagn rasio(reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia
menyebut “DiaMahaBesar”. Sesungguhnya ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang
kebesaran-Nya. Berdasakan hal tersebut, potensial akal (Intelect) manusia dalam mengungkap
hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh mahluk diciptkan oleh-Nya sebagai
manifestasi diri-Nya (inna illahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna illahi
raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempuranaan. Kebahagiaan
mutlak. keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan yang
maha esa menimbulkan kesadaran bahwa ia maha adil mesti membimbing umat manusia tentang
cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap
mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensial dalam suatu cara perwujudkan yang
suprarasional(wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian
sprititual. Relasi konseptual tentang keMahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing mahluk
secara terus menerus dan kebutuhan abadi mahluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok
pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul). Yang merupakan hak prerogative-Nya. Rasul
adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan mahluk kepada mereka adalah
niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti
kebenaran rasul untuk manusia ditunjukan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar
biasa (mu’zijat bagi orang-orang awam) maupun bukti-bukti rasioanl (mu;zijat bagi orang
intelektual) yang musthail dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda
istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’zijat juga sebagai
bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya. Kecuali
bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa. Kepatuhan dan kenyakian manusia kepada
rasul melahirkan sikap percaya terhadap apapun yang dikatakan dan diperintahkannya.
Kenyakian tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan disebut Al-Qur’an) yang
dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Didalam kitab suci terhadap keterangan-keterangan
tentang segala sesuatau sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang
tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan
konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang
disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadat) bahwa
tidak ada (ia) Tuhan yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran
Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul
Allah (rasullullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada
kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh
dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis dan lain-lain dengan
memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat didalam kitab suci maupun dialam ini.
Konsekuensi lanjut setelah menusia melakukan pencarian ketuhanan dan kebahagiaan.
Keabadian dan kesempurnaan. Ketidakmungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal
tersebut didalam kehidupan kehidupan didunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep
tentang keberadaan hari akhirat yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam
secara besar-besaran (qiyamah/kiamat-kiamat hari agama/ yaum ai-din) sebagai konsekuensi
logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat
sejarah dan duniawi. Disana tidak ada lagi historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat
yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan
berlandaskan iman, ilmu dan amal selama didunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah
kondisi obyektif dari relasi manusia terhadap manusia Tuhan dan alam.
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting bagi keimanan Islam
adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman
kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Meningkari
kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim. Sebelum masuk kebahasan tentang
kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita
selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dari penciptaan itu Tuhan ataukan mahluk ? dan
manakah tujuannya ?. untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada
landasan-landasan metafisika Islam sehingga kosekuensi-kosekuensi yang dilahirkan dari pilihan
jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga akan
menjelaskan kepada kita bahwa tujuan dari seluruh ciptaan adalah begerak menuju sesuatu yang
sempurna dan kesempurnaan yang tertinggi adalah Tuhan maka dialah yang menjadi tujuan dari
seluruh gerak ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang menjadi awal untuk selanjutnya
kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah matu (Eskatologi). Asal dan sumber dari
kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argument-argumen
filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum
mempercayai wahyu illahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan
sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang
mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi
(Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan kahirat ini atau kehidupan sesudah mati dari
segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari
pengadilan besar, hubungan antara manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan
perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang. Argument-argumen Al-
Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan Tuhan, kebijaksanaan Tuhan.
Sepanjang kehidupan baik diduni aini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung
pada keimanan pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan mausia kan akibat-akibat dari
tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa mulai dari yang paling besar
hingga kepada yng paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu
sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidka berpikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa
kehidupan duni aini atau periode ini saja. Sebab segala itu tetap ada dan akan dimintai
pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua
tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum
sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari
kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manuisa ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan
dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek bayariah (fisiologis). Sebagai contoh cacat
fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari
aspek inslah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai
mahluk mulia atau hina
Dalam beberapa kebudayaan dan agam manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak
ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tat surya. Pandang ini didasarkan pada pandangan
plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya. Seluruh benda-benda langit
“berhikmat” bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian ? karena di situ mahluk mulia
bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran-kitaran benda-benda langit
mengililingi bumi sebagai tolak ukur kemuliaan manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains
pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para
ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi
matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai mahluk mulia bahkan dianggap tidak ada
bedanya dengan hewan adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara
mekanistis. Bahkanlebih dari itu dianggap tak ada bedanya materi, adapun jiwa bagaikan energy
yang dikeluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tiak
lagi dihargai. Maka datanglah kaum humannisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan
memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan
merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya. Tetapi bila itu tolak
ukurnya, lantas haruskan orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja
terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia ? jika berilmu pengetahuan merupakan
tolak ukurnya. Lantas apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu
tinggi abab 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yoahnes paus II, ibu
Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semuat itu termasuk
ilmu pengetahuan sepanjang peradaban kemanusiaan manusia tidak mampu mengubah dan
memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa
sesungguhnya tolak ukur kemanusiaan itu ? sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi
tentang manusia yang ada dimuka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigm (tolak
ukurnya) serta tidak ada yang lebih representif dalam memupuk psikologisnya kerah yang lebih
mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan(Allah) dipandang sebagai
sumber segala kesempurnaan dan kemuliaan. Tempat bergantung (tolak ukur)segala sesuatau.
Karena itu pula sebagimana diketahui dalam konspsi Islam, manusia ideal (insane kamil)
dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia dimuka bumi dan karenanya ditugaskan
sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rasul (QS.2.30). karena itu, ciri-ciri
kemuliaan Tuhan tergambar/termanifestasikan pad adirinya (QS.33.21) sebagai contoh real yang
terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan dimuka bumi (QS.68.4). dengan
kata lain bahwa karena nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia
dengan demiak nabi/rasul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insane kamil
(manusia sempuran) dari seluruh kualitas kemanusiaan manuisa. Tetapi walupun manusia
dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya. Pada saat yang sama bahkan lebih
rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan
tolak ukur kemuliaan kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontraksi dengannya merupakan
kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS.2:30) manusia berbeda dengan
batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak
berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang
tumbuh hanya dibawah kondisi tertentu atau sebagai binatang yang bertindak berdasarkan naluri
ilmiahnya. Ketiga mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari. Namun bagi
manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa dihadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan
hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari Tuhannya ia dapat
berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal
ideal ataupun keharusan-keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitu
pula ketiadaan kehendak atau keinginan maka ia pun memilih, orang gila(tidak berilmu) dan
pingsan (tak berkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar
bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan
mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan
universal (takdir). Keharusan-keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini
ataupun takdir tasri’I baik yang bersifat defenetif(Dzati) maupun tidak bersifat defenetif (Sifati)
bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan
scenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai
sebuah prinsip akan terbinanya system kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-
sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab
yakni Tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak illah yang maha bijak. Takdir takwini
(ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestian yang mengatasi system
penciptaan alam dan takdir tasri’i (ketetapan syariat) merupakan prinsip kemestian yang
mengatur system gerak individu, maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spiritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah scenario yang telah ditetapkan oleh Tuhan
meniscayakan ketiadaan keadilan Tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir
tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai
sebuah system yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasri’i sebagai ketetapan yang
mengatur kehidupan etik, social dan spiritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa
pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus
mendidih. Berbuat baik akan mendapat surge dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian.
Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam,
individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang
meninginkan mendidih atau beku, surge atau neraka dan karena pula meniscayakan mustahilnya
ikhtiar. Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terhadap hokum-hukum yang
pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi actual
bila terdapat adanya dan diketahui takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir
tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tiak
bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat
memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat sesuatu teknologi apapun. Bagi
mereka hukum-hukum syariat tidak diberlakukan. Dengan demikian takdir illahi itu sendiri
mengharuskan adanya ikhtiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat
dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan illahi sebagai
keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka
takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan
kebebasan, memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah
bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi
sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapat kebebasan. Sebab
bila kebebasan merupakan tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministic itu sendiri, dalam
arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan
kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan
syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir
dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan
mutlak yang mana kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individ yang lain. Sebab
definisi kebebasan itu tersebut adalah system etik yang hanya menguntunkan orang-orang kuat
dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasan itu sendiri telah
dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-oran lemah tidak
memiliki daya untuk membatasi orang-orang kuat. System ini hanya berlaku bagi individu-
individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang
lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu bukanlah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara
social dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secara
spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan
kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti untuk tidak memanfaatkan
kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas mereka menindas seketika ia berada
pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia
dan keharusan universal.
Salah satu sifat khas manusia sebagai mahluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah
bahwa ia merupakan mahluk yang diciptkan selain sebagai mahluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublime. Kedua
aspek ini mesti dipahami dan diletakan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang
pertama melahirkan perbedaan dan satunya melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah
satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaannya. Dengan kata lain bahwa
perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi antara setiap individu-
inidividu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya
masyarkat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyakarat, individu-individu haruslah memiliki
kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti saling membutuhkan pastilah tidak terjadi dan
karenannya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya
perbedaan-perbedaan diantara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, member
dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Disisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang
bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan
secara fitri membentuk sebuah keluarga. Jadi ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan
individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas
besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagaiman beberapa individu-
individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga berdasarkan proses
sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama sebagaimana sejumlah
individu berkumpul dan sepakat berkerja sama sebagai langkah terbaik dalam mencapai
tujuannya masing-masing karena itu masyarakat didefinisikan sebagai adanya kumpulan-
kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai
tujuan dan cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat.
Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat adapun kesepatakatan atau tidak
dalam mencapai cita-cita dan tujuannya idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya.
Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan system social (ikatan psikologis antara
individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa
manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa
sejati, sebagaimana senyawa alamiah. Yang disentesiskan disini adalah jiwa, pikiran cita-cita
serta hasrat. Jadi yang bersentesisk adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat
memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi
yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya tehadap
masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat
mendahului individu berarti kebebasan dan kemanusiaan telah dicabut dari manusia (individu)
itu sendiri. Walaupun manusia memiliki kaulitas-kaulitas kesucian, potensi tersebut dapat saja
teraktual secara sempuran dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusai berupa hawa
nafsu ini mulai teraktual dikala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya
dengan bumi (harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang ke dalam bentuk
yang lebih besar sebagaiman mana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat
mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian pertanggungjawaban ini
bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung
jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi yaitu : si pelaku (sebab
aktif) dan sasaran yang siapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut
terdapat dimensi ketiga, yakni sasaran atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan
tersebut dan lingkup pengaruhnay (sebab material). Maka tindakan tersebut menjadi tindakan
kolektif. Jadi masyarakat adalah hak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan
membentuk sebab material. Ini berarti, individu memilik andil besar dalam mengubah wajah
bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan
adanya sebuah system social yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan
berdasarkan tauhid (keTuhanan yang maha esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa
segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang
dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil.
Kesadaran akan sakralitas dan kesucian system tersebut memberika implikasi kehambaan
terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadarn dan pertimbangan implikasi kehambaan terhadap Tuhan.
Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan
individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam berubah dari watak hubungan antara
tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain
dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang
diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-
lain. Karena itu berdasarka fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan
ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rasul (wakil/utusan Tuhan) oleh Allah dimuka bumi (QS.2:30)
untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk memwujudkan system
social.
Keadilan menjadi sebuah konsep yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang
utamanya mereka-mereka yang mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefinisi terhadap apa yang dimaksud dengan
keadilan. Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang
proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan social dan ekonomi hanya dapat teratasi
dengan menemukan jawaban terhadap sebab-sebab terjadinya ketidakadilan social dan ekonomi
serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari
terjadinya diskrimisasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan social dan ekonomi bukanlah
merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena
empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang
berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis
dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau
kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan idologi, kandungan
batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia
yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia bahwa manusiapada dasarnya
bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak
terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu
oleh masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan
yang manjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan
social maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak,
yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya
hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan
perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan
kebebasannya secara sama dalam system kapitlasi).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan
hidupnya yang melihat penyebab terjadinya diskriminasi social dan ekonomi sehingga
terciptanya kelas-kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain
semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran
kolektif dari kesadaran-kesadaran kepemilikan pribadi ke pemilikan social (bersama). Karena itu
untuk menciptakan keadilan social dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan
suatu system social yang berfungsi mengatur atau merwat dalam hal menghilangkan kepemilikan
pribadi atas alat-alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh
anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini
diwakili oleh Negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah
dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk
melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia
untuk mencapai kualitas spriritual yang paripurna (insane kamil). Karena itu islam tidak datang
untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk,
membina dan mengarahkannya secara spriritual dengan suatu kesadaran teologis(TAUHID) dan
ekskatologis (MAAD)
Bagi islam penyebab terjadinya social dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinnya
kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat
dilihat ketika Al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu
sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan
menobatkan dirinya sebagai Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hal
in iislam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam
Al-Qur’an yang artinya : … tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatau dan tidak (pula) sebagaian kita menjadikan sebagaian yang lain sebagai tuhan selain
Allah(QS.3.64).
Adapun disisi lain penyebab terjadinya ketidakadilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan
sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya system tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu Al-
Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, injil dan
apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan
makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka(QS.5:66) atau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan
itu (Agama islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajiban khumus,
Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll) niscaya benar-benar kami akan memberikan minuman kepada
mereka air yang segar (rezeki yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut islam bahwa prinsip
dari hubungan khusus antara ketidak sesuai dengan perintah-perintah Tuhan disatu sisi dengan
kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan distribusi yang adil dengan
peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila
distribusi yang adil terlaksana. Dengan kata lain distirbsui yang adil akan mendongkrak
kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukati “berkah dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang
tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaa kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan
kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin
masyarakat. Memimpin adalah mengeakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh
hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawba social. Lebih
jauh lagi, Negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk
menciptkan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan social maupun keadilan
ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah Negara ideal sebagai dicita-citakan
bersam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistic dapat mengantar kita pada satu
kebenaran rasional idelogi (syariat) islam yang telah mengajarkan akan persaduraan, keadilan
dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap muslimin, khusunya, sampai keapda sector-
sektor produksi social ekonomi dan pembagain kekayaan. Atau hokum-hukum yang lebih
bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, sperti pemafaatan lahan
pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20%-
30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola
langsung oleh Negara, atau lembaga social dibawah control masyarakat dari Negara yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan.
Positivism misalnya merupakan hasil sebuah naturaliasi sains didunia masyarakat Eropa dan
telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki
watak atau karakter yang bersifat materialistic yaitu sains menolak hal-hal yang bersifat
metafisis, spiritual maupun mistis karenannya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat
menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai-nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi
sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sbuah bentuk keseriusan mereka
dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalism sains di dunia islam,
sehingga pengaruhnya yang negative terhadap gagasan metafisi (teologis dan ekskatologi) dan
nilai-nilai agama islam lain dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains ini inilah yang kitas
sebut sains islam. Islamisasi sains atau sains islam dapat dimulai dengan menggas untuk
meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu
pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semngat
(Spirit) islam itu sendiri, yakni teologi (tauhid), ekskatologi (Ma’ad), serta kebebasan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan
penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan
universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya
benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains in juga bersifat materialistic atau
positivistic. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntuk dengan berubah teori-teori
sebelumnya dengan ditemukan teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya
dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, atau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitu pula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang
kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut
berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau berkembang
tidak sesuai dengan sains islam. Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan
membaut klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan ontologinya, sebab ia ia
merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan ilmu ontologism
meniscayakan perbedaan pada status epistomologi. Berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat
terlihat pada epistimologi modern dengan epistimolgi yang telah dicangnkan oleh para filosof
muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri. Epistomologi bara
berbasis pada status ontology materialistic dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis.
Epistomologi ini hanya memusatkan perhatiaannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan
hanya berbagasi keapada status ontologism alam materi (obyek-obyek fisika) tetapi lebih dari itu
ia tetapkan pula bahwa selain status ontology lama matei terdapat pula objek ontology alam
mitsal (obyek matematika) dan obyek ontologi alam akal (obyek-obyek metafisika). Berdasarkan
klasifikasi sains seperti ini, sains islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai
dengan status ontologisnya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metodologi kaum irfan), untuk
mengetahui obyek-obyek nonmateri murni atau obyek-obyek metafisika dengan cara langsung,
deduksi rasional untuk mengetahui obyek metafisika secara tidak langsung maupun obyke-obyek
matematika dan induksi (observasi dan eksperimen) untuk mengetahui obyek-obeyk fisika. Sains
matematika mengkaji obyek-obyek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni
yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti teologis, kosmologi, ekskatologi. Sains
matematika mengkaji obyek-obyek atau wujud yang meskipun bersifat nonmatei namun
berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretmatika, geometri, optika, astronomic,
astrololgi, music, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji
obyke-obyek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsure-
unser (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam
klasifikasi sains islam karena status obyek-obyek metafisika merupakan realitas ontologis yang
berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana
obyek-obyek fisika merupakan obyek realitas dan terendah dari hirarki obyek ontology, maka
secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains
terendah setelah sains matematika