Anda di halaman 1dari 99

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

HALUSINASI

A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidu tanpa stimulus yang nyata
(Keliat, 2011 dalam Zelika, 2015).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan (Sheila L Vidheak, 2001 dalam
Darmaja, 2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) (Surya,
2011 dalam Pambayung, 2015).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana pasien/pasien
mempersepsikan sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal.
Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana pasien mengalami persepsi yang
salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata ada oleh pasien.

B. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara
lain:
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara-
suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun atau panorama
yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau
menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau
yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang–kadang
terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang
dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis
dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau
feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-
faktor yang menyebabkan pasien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetik
Secara genetik, skizofrenia diturunkan melalui kromosom kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara
jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Pasien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan
kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
c. Faktor sosial budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi: lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
e. Sikap/perilaku, meliputi: merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.

D. Rentang Respon Halusinasi


Menurut Stuart and Laraia (2005) dalam Yusalia (2015), Halusinasi
merupakan salah satu respon maldaptive individual yang berbeda rentang
respon neurobiology. Ini merupakan persepsi maladaptive. Jika pasien yang
sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera
(pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) pasien
halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus
tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu
yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi.
Pasien mengalami jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus
panca indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya, rentang respon tersebut
sebagai berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif

1. Pikiran logis 1. Kadang-kadang 1. Waham


2. Persepsi akurat proses pikir 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten terganggu (distorsi 3. Sulit berespons
dengan pengalaman pikiran 4. Perilaku
4. Perilaku sesuai 2. Ilusi disorganisasi
5. Hubungan sosial 3. Menarik diri 5. Isolasi sosial
harmonis 4. Reaksi emosi
5. Perilaku tidak biasa
Sumber: Stuart and Laraia (2005) dalam Yusalia (2015)

E. Tanda dan Gejala


Menurut Azizah (2016) beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi
adalah:
1. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibir tanpa suara
3. Bicara sendiri
4. Pergerakan mata cepat
5. Diam
6. Asyik dengan pengalaman sensori
7. Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realitas rentang
perhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau menit
8. Kesukaran berhubungan dengan orang lain
9. Tidak mampu merawat diri.

Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(1998) dalam Yusalia (2015):

No Jenis halusinasi Karakteristik tanda dan gejala


1 Pendengaran Mendengar suara-suara bising, paling sering
suara kata yang jelas, berbicara dengan pasien
bahkan sampai percakapan lengkap antara dua
orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar jelas dimana pasien mendengar
perkataan bahwa pasien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang-kadang dapat
membahayakan.
2 Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya,
gambar giometris, gambar karton atau
panorama yang luas dan komplek. Penglihatan
dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau
sesuatu yang menakutkan seperti monster.
3 Penciuman Membau-bau seperti bau darah, urine, fases
umumnya bau-bau yang tidak menyenangkan.
Halusinasi penciuman biasanya sering akibat
stroke, tumor, kejang atau dernentia.
4 Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah,
urine, fases.
5 Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6 Sinestetik Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah
divera (arteri), pencernaan makanan.
7 Kinestetik Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.

F. Akibat
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006).
Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri
sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1. Data subjektif:
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data objektif
a. Wajah tegang, merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah

G. Penatalaksanaan
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), Penatalaksanaan
pada pasien halusinasi dengan cara:
1. Menciptakan lingkungan terapeutik atau hubungan saling percaya
tindakan keperawatan untuk membantu pasien mengatasi
halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya dengan
pasien. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak
asuhan dengan pasien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul
untuk membantu pasien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan pasien saat
menceritakan halusinasinya.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di
lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau
bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara
fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati
pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkan
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di
lakukan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya
secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang
di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini
dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan
dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang
data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar suara laki-laki yang mengejek.
Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan
diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya
diberitahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak
membiarkan pasien sendirian dan saran yang diberikan tidak
bertentangan.

H. Pohon Masalah
Akibat : Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Masalah Utama : Gangguan Sensori Perseptual : Halusinasi

Penyebab : Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

Ketidakefektifan koping Pasien dan Keluarga

I. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015) diskusikan dengan pasien
tentang halusinasinya meliputi :
1. Pasien
SP I
1) Identifikasi jenis halusinasi pasien
2) Identifikasi isi halusinasi pasien
3) Identifikasi waktu halusinasi pasien
4) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Identifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
6) Identifikasi respons pasien terhadap halusinasi
7) Ajarkan pasien menghardik halusinasi
8) Anjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian
SP II
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (evaluasi kemampuan
menghardik, minum obat dan bercakap)
2) Anjurkan pasien untuk meminum obat
3) Beri penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi
4) Jelaskan bagairnana cara mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal
SP III
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (evaluasi kemampuan
menghardiks dan minum obat)
2) Latih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap
dengan orang lain
3) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP IV
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (evaluasi kemampuan
menghardik, minum obat dan bercakap)
2) Latih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan pasien di rumah)
3) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
4) Berikan pujian ketika pasien mampu melakukan.
2. Keluarga
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian tanda dan gejala, dan jenis halusinasi yang
dialami pasien serta proses terjadinya
3) Jelaskan dan latih cara-cara merawat pasien halusinasi
4) Latih keluarga melakukan cara merawat pasien halusinasi secara
langsung
5) Discharge planning : jadwal aktivitas dan minum obat

J. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang.
8. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat makan
kembali.
a. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
b. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
c. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
d. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
9. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
10. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.

11. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
12. Aspek medic
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
13. Daftar masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual: halusinasi
c. Isolasi sosial: menarik diri

K. Analisa data

Data Subyektif Data Obyektif


1. Pasien mengatakan melihat atau 1. Tampak bicara dan ketawa sendiri.
mendengar sesuatu. Pasien tidak 2. Mulut seperti bicara tapi tidak
mampu mengenal tempat, waktu, keluar suara.
orang. 3. Berhenti bicara seolah mendengar
2. Pasien mengatakan merasa atau melihat sesuatu. Gerakan
kesepian. mata yang cepat.
3. Pasien mengatakan tidak dapat 4. Tidak tahan terhadap kontak yang
berhubungan sosial. lama.
4. Pasien mengatakan tidak berguna. 5. Tidak konsentrasi dan pikiran
5. Pasien mengungkapkan takut. mudah beralih saat bicara.
6. Pasien mengungkapkan apa yang 6. Tidak ada kontak mata.
dilihat dan didengar mengancam 7. Ekspresi wajah murung, sedih.
dan membuatnya takut. 8. Tampak larut dalam pikiran dan
ingatannya sendiri.
9. Kurang aktivitas.
10. Tidak komunikatif.
11. Wajah pasien tampak tegang,
merah.
12. Mata merah dan melotot.
13. Rahang mengatup.
14. Tangan mengepal.
15. Mondar mandir.

L. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang dapat ditarik dari pohon masalah tersebut adalah:
Gangguan sensori perseptual : Halusinasi

M. Intervensi

DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


KEPERAWATAN
Gangguan sensori Setelah dilakukan tindakan TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK
perseptual: Halusinasi keperawatan selama 3 x 24 jam Pasien
pasien mampu mengontrol 1. Bina hubungan saling percaya
halusinasi dengan kriteria hasil: 2. Adakan kontak sering dan singkat
1. Pasien dapat membina secara bertahap
hubungan saling percaya 3. Observasi tingkah laku pasien
2. Pasien dapat mengenal terkait halusinasinya
halusinasinya; jenis, isi, 4. Tanyakan keluhan yang dirasakan
waktu, dan frekuensi pasien
halusinasi, respon terhadap 5. Jika pasien tidak sedang
halusinasi, dan tindakan yg berhalusinasi klarifikasi tentang
sudah dilakukan adanya pengalaman halusinasi,
3. Pasien dapat menyebutkan Menurut Keliat (2011) dalam
dan mempraktekan cara Pambayun (2015) diskusikan
mengntrol halusinasi yaitu dengan pasien tentang
dengan menghardik, halusinasinya meliputi :
bercakap-cakap dengan SP I
orang lain, terlibat/ 1. Identifikasi jenis halusinasi
melakukan kegiatan, dan pasien
minum obat 2. Identifikasi isi halusinasi pasien
4. Pasien dapat dukungan 3. Identifikasi waktu halusinasi
keluarga dalam mengontrol pasien
halusinasinya 4. Identifikasi frekuensi halusinasi
5. Pasien dapat minum obat pasien
dengan bantuan minimal 5. Identifikasi situasi yang
6. Mengungkapkan halusinasi menimbulkan halusinasi
sudah hilang atau terkontrol 6. Identifikasi respons pasien
terhadap halusinasi
7. Ajarkan pasien menghardik
halusinasi
8. Anjurkan pasien memasukkan
cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian
SP II
1. Evaluasi jadwal kegiatan harian
pasien (evaluasi kemampuan
menghardik, minum obat dan
bercakap)
2. Anjurkan pasien untuk meminum
obat
3. Beri penjelasan bagaimana kerja
obat dapat mengatasi halusinasi
4. Jelaskan bagairnana cara
mengkonsumsi obat secara tepat
sehingga tujuan pengobatan
tercapai secara optimal
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (evaluasi
kemampuan menghardiks dan
minum obat)
2. Latih pasien mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengan orang lain
3. Anjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP IV
1. Evaluasi jadwal kegiatan harian
pasien (evaluasi kemampuan
menghardik, minum obat dan
bercakap)
2. Latih pasien mengendalikan
halusinasi dengan melakukan
kegiatan (kegiatan yang biasa
dilakukan pasien di rumah)
3. Anjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
4. Berikan pujian ketika pasien
mampu melakukan.
Keluarga
1. Diskusikan masalah yang
dirasakn keluarga dalam merawat
pasien
2. Jelaskan pengertian tanda dan
gejala, dan jenis halusinasi yang
dialami pasien serta proses
terjadinya
3. Jelaskan dan latih cara-cara
merawat pasien halusinasi
4. Latih keluarga melakukan cara
merawat pasien halusinasi secara
langsung
5. Discharge planning : jadwal
aktivitas dan minum obat
DAFTAR PUSTAKA

Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada


Tn. “S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
Diruang Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang.
Program Studi Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti
Indonesia Banyuwangi
Azizah, Lilik Ma’rifatul, dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Indomedia Pustaka.
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Pambayun, Ahlul H. 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan
Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11
(Larasati). RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Asuhan
Keperawatan Psikiatri Akademi Keperawatan Widya Husada Semarang.
Yusalia, Refiazka. 2015. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan
Halusinasi. www.academia.edu diakses 10 November 2020.

Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan


Jiwa Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.
LAPORAN PENDAHULUAN (LP)
HARGA DIRI RENDAH

A. Definisi
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak dapat bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri,
selainitu juga dapat mengevaluasi negative yang berkepanjangan sehingga
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa
(Herdman, 2012).
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang,
perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk.
Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah.
Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif
dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa
aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan
cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat, 2011).
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi
negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi
mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri
sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku
manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah,
keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan,
pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang di
cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
B. Etiologi
Menurut Yosep (2009) Penyebab penunjang terjadinya perubahan
dalam konsep diri sehingga seseorang mengalami harga diri rendah dibagi
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor yang memiliki harga diri meliputi pendataan orang lain,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah peran seks,
tuntutan peran kerja, harapan peran kultural.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas personal, meliputi ketidak
percayaan orang tua tekanan dari kelompok sebaya, perubahan
dalam stuktural sosial.
2. Faktor presipitasi
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi
c. Transisi Peran situasi adalah terjadi dengan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian
d. Transisi peran sehat sakit akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
sakit dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran
bentuk, penampilan, fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan
dengan tumbang normal moral dan prosedur medis keperawatan
C. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive

Akualisasi konsep Harga diri Keracunan Depersonalisasi


diri diri positif rendah identitas
Sumber : (Fajariyah, 2012)

Menurut Fajariyah (2012) respon individu terhadap konsep dirinya


sepanjang rentang respon konsep diri yaitu adaptif dan maladaptif:
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa
yang ada pada dirinya meliputi cita dirinya, ideal dirinya, harga dirinya,
penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini akan
menunjukkan bahwa individu itu akan menjadi individu yang sukses.
3. Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis,
tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan
dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri atau orang
lain, penurunan produktifitas, destruktif yang diarahkan kepada orang
lain, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah,
perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri
secara sosial, khawatir, serta menarik diri dari realitas.
4. Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan kerancuan identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitasi,
perassan hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat
ansietas yang tinggi, ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain.
5. Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana
pasien tidak dapat membedakan stimulus dari alam atau luar dirinya.
Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari
orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.

D. Tanda dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang biasa muncul pada
pasien gangguan jiwa dengan harga diri rendah:
1. Mengejek dan mengkritik diri.
2. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri.
3. Mengalami gejala fisik, misalkan: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat.
4. Menunda keputusan.
5. Sulit bergaul.
6. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas.
7. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga dan halusinasi.
8. Merusak diri: harga diri rendah menyokong pasien untuk mengakhiri
hidup.
9. Merusak atau melukai orang lain.
10. Perasaan tidak mampu.
11. Pandangan hidup yang pesimitis.
12. Tidak menerima pujian.
13. Penurunan produktivitas.
14. Penolakan tehadap kemampuan diri.
15. Kurang memperhatikan perawatan diri.
16. Berpakaian tidak rapi.
17. Berkurang selera makan.
18. Tidak berani menatap lawan bicara.
19. Lebih banyak menunduk.
20. Bicara lambat dengan nada suara lemah.
E. Akibat
Menurut Kartika (2015) harga diri rendah dapat berisiko terjadinya
isolasi sosial: menarik diri, isolasi soasial menarik diri adalah gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptif
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Dan sering dirtunjukan
dengan perilaku antara lain:
1. Data subyektif
a. Mengungkapkan enggan untuk memulai hubungan atau
pembicaraan.
b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang
lain.
c. Mengungkapkan kehawatiran terhadap penolakan oleh orang lain.
2. Data obyektif
a. Kurang spontan ketika diajak bicara.
b. Apatis.
c. Ekspresi wajah kosong.
d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal.
e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat bicara.

F. Penatalaksanaan
Menurut Eko (2014) Penatalaksanaan pasien dengan harga diri rendah
meliputi:
1. Farmakologi.
2. Terapi lain seperti terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi tingkah laku,
terapi keluarga, terapi spiritual, terapi lingkungan, terapi aktivitas
kelompok yang tujuannya adalah memperbaiki perilaku pasien dengan
harga diri rendah.
3. Terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy), ECT adalah
pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang satu atau dua
temples. Therapy kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang
listrik 4-5 joule/detik.
4. Terapi aktivitas kelompok (TAK), Terapi aktivitas kelompok dibagi
menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok simulasi, terapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Dari
empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan
dilakukan pada individu dengan ganguan konsep diri harga diri rendah
adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Terapi aktivitas
kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan
aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.
5. Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi (kembali memfungsikan) dan
perkembangan pasien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara
wajar dalam kehidupan bermasyarakat.

G. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) yaitu:

Akibat : Defisit perawatan diri

Perubahan persepsi sensori: Halusinasi

Isolasi sosial

Masalah utama : Harga Diri Rendah

Penyebab : Penurunan motivasi diri

Koping individu tidak efektif


H. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
Menurut Fajariah (2012) berikut ini merupakan strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan, yaitu:
1. Pasien
SP I
1) Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
2) Membantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan
3) Membantu pasien memilih kemampuan yang akan dilatih
4) Melatih kemampuan yang sudah dipilih
5) Menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang telah di latih dalam
rencana harian
SP II
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Anjurkan pasien untuk meminum obat
3) Melatih pasien melakukan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan
pasien
4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP III
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I s/d SP II)
2) Memilih kemampuan ketiga yang dapat dilakukan
3) Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
SP IV
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (kemampuan yang dilatih
sebelumnya)
2) Melatih kemampuan ke empat yang telah dilatih
3) Menganjurkan pasien untuk memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
2. Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang
dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga
diri rendah
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
harga diri rendah
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan pasien harga diri rendah
SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medis
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.

J. Analisa Data

Data Subjektif Data Objektif


1. Adanya ungkapan yang 1. Kontak mata kurang, sering
menegatifkan diri menunduk
2. Mengeluh tidak mampu 2. Mudah marah dan tersinggung
melakukan peran dan fungsi 3. Menarik diri
sebagaimana mestinya 4. Menghindar dari orang lain
3. Ungkapan mengkritik diri
sendiri, mengejek dan
menyalahgunakan diri sendiri
K. Diagnosa Keperawatan
Harga Diri Rendah

L. Intervensi

DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Harga Diri Rendah Setelah 2x pertemuan, pasien TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK
mampu: Pasien
1. Mengidentifikasi 1. Bina hubungan saling percaya
kemampuan dan aspek 2. Adakan kontak sering dan singkat
positif yang dimiliki, secara bertahap
2. Memiliki kemampuan 3. Observasi tingkah laku pasien
yang dapat digunakan, 4. Tanyakan keluhan yang dirasakan
3. Memilih kegiatan yang pasien
sesuai kemamampuan 5. Jika pasien dalam keadaan tenang
4. Melakukan kegiatan yang diskusikan dengan pasien tentang
sudah dipiih kegiatan yang meliputi :
5. Merencanakan kegiatan SP I
yang sudah 1. Mendiskusikan kemampuan dan
6. Pasien dapat minum obat aspek positif yang dimiliki pasien
dengan bantuan minimal 2. Membantu pasien menilai
kemampuan yang masih dapat
digunakan
3. Membantu pasien memilih
kemampuan yang akan dilatih
4. Melatih kemampuan yang sudah
dipilih
5. Menyusun jadwal pelaksanaan
kemampuan yang telah di latih
dalam rencana harian
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Anjurkan pasien untuk meminum
obat
3. Melatih pasien melakukan kegiatan
yang sesuai dengan kemampuan
pasien
4. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP III
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I
s/d SP II)
2. Memilih kemampuan ketiga yang
dapat dilakukan
3. Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (kemampuan yang
dilatih sebelumnya)
2. Melatih kemampuan ke empat
yang telah dilatih
3. Menganjurkan pasien untuk
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala harga diri rendah yang
dialami pasien beserta proses
terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat
pasien harga diri rendah
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan
cara merawat pasien dengan harga
diri rendah
2) Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
harga diri rendah
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan
lingkungan yang mendukung
perawatan pasien harga diri rendah
SP IV
1) Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
Sumber: (Fajariyah, 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Direja. A. H. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fajariyah N. 2012. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Harga Diri Rendah.


Jakarta: Trans Info Media.

Herdman, T. H. 2012. NANDA Internasional Nursing Diagnoses Definition and


Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.

Kartika Sari Wijayaningsih, S. N. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik


Keperawatan Jiwa. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic


Course). Jakarta: EGC

Prabowo, Eko. 2014. Konsep & aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. Definisi
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptif dan menggangu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(Depkes, 2000 dalam Dermawan dan Rusdi, 2013).
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan
dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif atau
mengancam (NANDA, 2018).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2010).

B. Etiologi
Menurut Purba, dkk. (2008), Dermawan dan Rusdi (2014) faktor-
faktor pasien dengan gangguan isolasi sosial sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari
masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem
keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya
menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan
tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih
tepat tentang hungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga,
pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
Tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan
terdiri dari:
1) Masa bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi
hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman
dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena
akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di
kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam
mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa
berikutnya.
2) Masa kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini
dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan
terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem
nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3) Masa praremaja dan remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi
hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan
tersebut, yang sering kali menimbulkan perasaan tertekan
maupun tergantung pada remaja.
4) Masa dewasa muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan
perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain
serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk
membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan
mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal
pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima
(mutuality).
5) Masa dewasa tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan
anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat
digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang
dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
6) Masa dewasa akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,
maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan
tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor biologic
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran
ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbic
diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor penyebab dalam gangguan
berhubungan. Ini merupakan akibat dari norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat
dan penyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma,
prilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
2. Faktor Presipitasi
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik kedudukan atau
harga diri, karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat
penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-msalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah,
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi depresi
terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat-obatan berbagai penyakit
fisik seperti infeksi, meoplasma dan gangguan keseimbangan
metabolik dapat mencetus gangguan alam perasaan
C. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri/solitude Merasa sendiri Manipulative


Otonomi Menarik diri Impulsive
Bekerjasama Tergantung Narcissism
Saling tergantung
Sumber: (Dermawan dan Rusdi, 2014)

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan maslah


yang masih dapat diterima oleh norma sosial dan budaya yang umum berlaku.
Respon ini meliputi:
1. Menyendiri/solitude: respon seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
2. Otonomi: kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan: kondisi hubungan interpersonal dimana individu mampu
untuk saling memberi dan menerima.
4. Saling tergantung (interdependen): suatu hubungan saling tergantun
antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma sosial dan budaya lingkungannya,
respon yang sering ditemukan:
1. Manipulasi: orang lain diberlakukan sebagai obyek, hubungan terpusat
pada masalah pengendalian orang lain, orientasi diri sendiri atau tujuan
bukan pada orang lain.
2. Impulsive: tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan.
3. Narkisme: harga diri rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan dan
pujian, sikap egosentris, pencemburu, marah bila orang lain tidak
mendukung.

D. Tanda dan Gejala


Menurut Dermawan dan Rusdi (2014) tanda gejala isolasi sosial
dibagi menjadi 2 Subjektif dan Objektif:
1. Subjektif
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Respon verbal kurang dan sangat singkat
d. Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
e. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
f. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
g. Pasien merasa tidak berguna
h. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
i. Pasien merasa ditolak.
2. Objektif
a. Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
b. Tidak mengikuti kegiatan
c. Banyak diam diri dikamar
d. Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
e. Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
f. Kontak mata kurang
g. Kurang spontan
h. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
i. Ekspresi wajah kurang berseri
j. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
k. Mengisolasi diri
l. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
m. Masukan makanan dan minuman terganggu
n. Retensi urin dan feses
o. Aktivitas menurun
p. Kurang energi
q. Rendah diri
r. Postur tubuh berubah

E. Akibat
Perilaku isolasi sosial: menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi
adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau
persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti melihat
bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca
indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat
disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau histerik.
Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi tanpa
adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan (pengelihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi yang paling
umum adalah halusinasi pendengaran (Keliat, 2011 dalam Zelika, 2015).

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan isolasi sosial menurut Dermawan dan
Rusdi (2014) adalah:
1. Terapi farmakologi
2. Electri Convulsive Therapi
Electri Convulsive Therapi (ECT) atau yang dikenal dengan electroshock
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien
gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis
terapinya.
3. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain
yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas
kesehatan jiwa. Terapi ini bertujuan memberi stimulus bagi pasien
dengan gangguan interpersonal.
4. Terapi lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitanya untuk
menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat
dengan stimulus psikologi seseorang yang akan berdampak pada
kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik
pada kondisi fisik maupun kondisi psikologi seseorang.

G. Pohon Masalah
Akibat : Defisit perawatan diri

Gangguan sensori persepsi :Halusinasi

Masalah utama : ISOLASI SOSIAL

Penyebab : Mekanisme koping tidak efektif

Gangguan Konsep Diri (Harga Diri Rendah)

Sumber: (Purba, dkk. 2008)


H. Standar Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
SP I
1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien, tanda dan gejala, serta
akibat isolasi sosial
2) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
3) Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain
4) Melatih pasien cara berkenalan dengan satu orang
5) Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian
SP II
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Anjurkan pasien untuk minum obat
3) Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan 2-3 orang sambil melakukan kegiatan harian
4) Membantun pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP III
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (evaluasi kemampuan
sebelumnya memperkenalkan diri, minumobat dan berinteraksi dengan
2-3 orang)
2) Melatih pasien berinteraksi dengan dua orang atau lebih
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP IV
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2) Melatih pasien berbicara sambil melakukan kegiatan social
I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan criminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan sosial budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
7. Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
8. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
9. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
10. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
11. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
12. Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
13. Daftar masalah keperawatan
a. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

J. Analisa Data

Data Subjektif Data Objektif


1. Pasien mengatakan tidak suka 1. Pasien suka melamun,
berada di rumah sakit jiwa. 2. Pasien tampak sedih,
2. Pasien mengatakan takut dengan 3. Pasien suka menyendiri.
teman-temannya.
3. Pasien mengatakan malas
bergaul dengan orang lain.
4. Pasien mengatakan tidak mau
berbicara dengan orang lain
5. Data tentang pasien biasanya
didapat dari keluarga yang
mengetahui keterbatasan pasien
(suami, istri, anak, ibu, ayah atau
teman dekat)

K. Diagnose Keperawatan
Isolasi Sosial

L. Intervensi

DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Isolasi sosial Setelah dilakukan tindakan TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK
keperawatan selama 3 x 24 Pasien
jam Pasien dapat berinteraksi 1. Bina hubungan saling percaya
dengan orang lain baik secara 2. Adakan kontak sering dan singkat
individu maupun secara secara bertahap
berkelompok dengan kriteria 3. Observasi tingkah laku pasien
hasil : 4. Tanyakan keluhan yang dirasakan
1. Pasien dapat membina pasien
hubungan saling percaya. 5. Jika pasien dalam keadaan tenang
2. Dapat menyebutkan diskusikan dengan pasien tentang
penyebab isolasi sosial. kegiatan yang meliputi :
3. Dapat menyebutkan SP I
keuntungan berhubungan 1. Mengidentifikasi penyebab isolasi
dengan orang lain. sosial pasien, tanda dan gejala,
4. Dapat menyebutkan serta akibat isolasi sosial
kerugian tidak 2. Berdiskusi dengan pasien tentang
berhubungan dengan keuntungan berinteraksi dengan
orang lain. orang lain
5. Dapat berkenalan dan 3. Berdiskusi dengan pasien tentang
bercakap-cakap dengan kerugian tidak berinteraksi
orang lain secara bertahap. dengan orang lain
6. Terlibat dalam aktivitas 4. Melatih pasien cara berkenalan
sehari-hari. dengan satu orang
7. Pasien dapat minum obat 5. Menganjurkan pasien
dengan bantuan minimal. memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang
lain dalam kegiatan harian
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Anjurkan pasien untuk minum
obat
3. Memberikan kesempatan kepada
pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan 2-3 orang
sambil melakukan kegiatan harian
4. Membantun pasien memasukkan
kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah
satu kegiatan harian.
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (evaluasi
kemampuan sebelumnya
memperkenalkan diri, minumobat
dan berinteraksi dengan 2-3
orang)
2. Melatih pasien berinteraksi
dengan dua orang atau lebih
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Melatih pasien berbicara sambil
melakukan kegiatan sosial
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., dkk, 2010. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Jiwa. CV
Trans Info Media: Jakarta

Dermawan dan Rusdi. 2014. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Dermawan, D. & Rusdi. 2013. Keperawatan jiwa: konsep dan kerangka kerja
asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

NANDA. 2018. Diagnosa Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Masalah


Psikososialdan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan


Jiwa Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri; mandi,
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri aktivitas makan sendiri; dan
aktivitas eliminasi sendiri (Herdman, 2012).
Defisit perawatan diri adalah keadaan seseorang mengalami kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan Pasien untuk mandi secara
teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah
yang timbul pada pasien gangguan jiwa (Sutejo, 2016).

B. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut Herdman (2015) jenis perawatan diri terdiri dari:
1. Defisit perawatan diri : Mandi;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri: Berpakaian;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
3. Defisit perawatan diri: Makan;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas sendiri.
4. Defisit perawatan diri: Eliminasi;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
eliminasi sendiri.
C. Etiologi
Menurut Potter dan Perry di dalam buku Sutejo (2016) penyebab
deficit perawatan diri yaitu:
1. Faktor predisposisi
a. biologis: penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan perawatan diri dan faktor herediter.
b. psikologis: faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi
dan memanjakan pasien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Kemampuan realitas turun, pasien gangguan jiwa yang kemampuan
realitas kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
c. sosial: kurang dukungan dan situasi lingkungan mempengaruhi
kemampuan dalam perawatan diri
2. Faktor presipitasi
faktor presipitasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri
adalah penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas,
lelah, yang di alami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri. terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene yaitu:
a. Citra tubuh
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersiahan diri. Perubaha fisik akibat operasi bedah, misalnya,
dapat memicu individu untuk tidak peduli terhadap kebersihannya.
b. Status sosial ekonomi
Sumber penghasilan atau sumber ekonomi mempengaruhi
jenis dan tingkat praktik keperawatan diri yang dilakukan. Perawat
harus menentukan apakah pasien dapat mencukupi perlengkapan
keperawatan diri yang penting seperti, sabun, pasta gigi, sikat gigi,
sampo. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah
penggunaan perlengkapan tersebut sesuai dengan kebiasaan social
yang diperaktikan oleh kelompok sosial pasien.
c. Pengetahuan
Pengetahuan tentang perawatan diri sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Kurangnya
pengetahuan tentang pentingnya perawatan diri dan implikasinya
bagi kesehatan dapat mempengaruhi praktik keperawatan diri.
d. Variabel kebudayaan
Kepercayaan akan nilai kebudayaan dan nilai diri
mempengaruhi perawatan diri. Orang dari latar belakang kebudayaan
yang berbeda mengikuti praktik keperawatan yang berbeda pula.
e. Kondisi fisik
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat
diri berkurang dan memperlukan bantuan. Biasanya Pasien dengan
keadaan fisik yang tidak sehat lebih memilih untuk tidak melakukan
perawatan diri.

D. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan diri Kadang perawatan diri Tidak melakukan


seimbang kadang tidak perawatan saat stress

Sumber: (Perry di dalam buku Sutejo, 2016)

E. Tanda dan Gejala


Menurut Fitria di dalam buku Mukhripah & Iskandar 2012 defisi
perawatan diri memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Mandi/Hygiene
Pasien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
2. Berpakaian/Berhias
Pasien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Pasien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
3. Makan
Pasien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
mendapatkan makanan, mengambil makanan dan memasukkan kedalam
mulut, menggambil cangkir atau gelas, serta mencerna makanan dengan
aman.
4. Eliminasi
Pasien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan kamar kecil, duduk atau bangkit dari closet, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.

F. Akibat
Dampak yang ditimbulkan dengan keadaan defisit perawatan diri
seperti pasien dikucilkan di dalam keluarga atau masyarkat sehingga terjadi
isolasi sosial dan bahkan kehilangan kemampuan dan motivasi dalam
melakukan perawatan terhadap tubuhnya.
G. Penatalaksanaan
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan pasien merawat diri
2. Membimbing dan menolong pasien merawat diri
a. Bantu pasien merawat diri
b. Ajarkan keterampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan perawatan
diri
b. Dekatkan peralatan agar mudah dijangkau oleh pasien
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman

H. Pohon Masalah
Akibat : Gangguan pemeliharaan kesehatan

Masalah utama : DEFISIT PERAWATAN DIRI

Penyebab : Kehilangan fungsi tubuh, kurangnya motifasi

(Sumber: Sutejo, 2017)

I. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


1. Pasien
SP I
1) Menjelaskan cara berhubungan saling percaya.
2) Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri (misalkan mandi).
3) Menjelaskan kebersihan yang baik.
4) Membantu pasien mempraktekkan cara kebersihan yang baik.
5) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (mandi).
2) Menjelaskan cara berdandan yang benar.
3) Membantu pasien mempraktikkan cara berdandan yang benar dan
memasukkan dalam jadwal.
4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (misalkan: mandi dan
berdandan).
2) Menjelaskan cara makan dan minum yang baik dan benar.
3) Membantu pasien mempraktikkan cara makan dan minum yang benar
dan memasukkan dalam jadwal.
4) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP IV
1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (mandi, berdandan, dan
makan).
2) Menjelaskan cara BAB dan BAK yang baik dan benar.
3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
2. Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri, dan
jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses
terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit
perawatan diri
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
defisit perawatan diri
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan pasien defisit perawatan diri
SP IV
1) Membantu keluarga cara membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

J. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan lat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Daftar masalah keperawatan
a. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
b. Isolasi Sosial
c. Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK

K. Analisa Data

Data Subjektif Data Objektif


1. Pasien mengatakan dirinya malas 1. Ketidakmampuan mandi atau
mandi karena airnya dingin,atau membersihkan diri ditandai
di RS tidak tersedia alat mandi. dengan rambut kotor, gigi kotor,
2. Pasien mengatakan dirinya malas kulit berdaki, dan berbau serta
berdandan. kuku panjang dan kotor.
3. Pasien mengatakan ingin disuapi 2. Ketidakmampuan berpakaian
makan. atau berhias ditandai dengan
4. Pasien mengatakan jarang rambut acak-acakan, pakaian
memberiskan alat kelaminya kotor dan tidak rapi, pakaian
setelah BAK maupun BAB. tidak sesuai tidak bercukur (laki-
laki) atau tidak berdandan
(wanita).
3. Ketidak mampuan makan secara
mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil
makan sendiri ,makan
berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.

4. Ketidakmampuan BAB atau


BAK secara mandiri ditandai
BAK atau BAB tidak pada
tempatnya, tidak membersihkan
diri dengan baik setelah BAB
atau BAK.

L. Diagnosa
Defisit perawatan diri

M. Intervensi

DIAGNOSA
KEPERAWATA TUJUAN INTERVENSI
N
Defisit perawatan Setelah dilakukan tindakan Tindakan Psikoterapeutik
diri keperawatan selama 3 x hari, Pasien
pasien dapat mandiri melakukan 1. Bina hubungan saling percaya
perawatan diri dengan kriteria: 2. Adakan kontak sering dan
1. Dapat berhubungan dengan singkat secara bertahap
orang lain 3. Observasi tingkah laku pasien
2. Dapat menjelaskan 4. Tanyakan keluhan yang
pentingnya kebersihan dan dirasakan pasien
kerapian 5. Jika pasien dalam keadaan
3. Menyebutkan ciri-ciri badan tenang diskusikan dengan
yang bersih dan rapi pasien tentang kegiatan yang
4. Dapat menyebutkan manfaat meliputi:
badan bersih dan rapi 6.
5. Dapat menyebutkan kerugian SP I
badan yang tidak bersih dan 1. Menjelaskan cara berhubungan
tidak rapi saling percaya.
6. Dapat mempraktikan cara 2. Menjelaskan cara menjaga
melakukan perawatan diri kebersihan diri (misalkan
dengan benar mandi).
7. Badan bersih dan rapi 3. Menjelaskan kebersihan yang
8. Badan tidak bau baik.
9. Dapat melakukan aktifitas 4. Membantu pasien
perawatan diri secara mandiri mempraktekkan cara
10. Pasien dapat minum obat kebersihan yang baik.
dengan bantuan minimal 5. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (mandi).
2. Menjelaskan cara berdandan
yang benar.
3. Membantu pasien
mempraktikkan cara
berdandan yang benar dan
memasukkan dalam jadwal.
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (misalkan: mandi
dan berdandan).
2. Menjelaskan cara makan dan
minum yang baik dan benar.
3. Membantu pasien
mempraktikkan cara makan
dan minum yang benar dan
memasukkan dalam jadwal.
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (mandi,
berdandan, dan makan).
2. Menjelaskan cara BAB dan
BAK yang baik dan benar.
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala defisit perawatan
diri, dan jenis defisit
perawatan diri yang dialami
pasien beserta proses
terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara
merawat pasien defisit
perawatan diri
SP II
1. Melatih keluarga
mempraktekkan cara merawat
pasien dengan defisit
perawatan diri
2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
pasien defisit perawatan diri
SP III
Menjelaskan tentang
pemanfaatan lingkungan yang
mendukung perawatan pasien
defisit perawatan diri
SP IV
1. Membantu keluarga cara
membuat jadwal aktivitas
dirumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung


: Refika Aditama.

Herdman, T . H., & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis KeperawatanDefinisi &


Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. 2012. NANDA Internasional Nursing Diagnoses Definition and


Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.

Sutejo. (2017). Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa:


Ganguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.

Sutejo. 2016. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru.


LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika
Sari, 2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayahkan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk
di mana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan
motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2010 dalam Damai yanti dan Iskandar,
2012).

B. Etiologi
Menurut Direja (2011), ada beberapa faktor penyebab perilaku
kekerasan seperti:
1. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut di alami oleh individu:
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
menyenangkan atau perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau sanksi
penganiayaan.
b. Perilaku reinforcement
Yang diterima saat melakukan kekerasan, dirumah atau di luar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c. Teori psikoanalitik
Menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya ego dan membuat konsep
diri yang rendah. Agresi dapat meningkatkan citra diri serta
memberikan arti dalam hidupnya.
2. Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik injuri fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus
sebagai berikut:
a. Pasien : kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal maupun eksternal.

C. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK


Pasien mampu Pasien gagal Pasien merasa Pasien Perasaan marah
mengungkapkan mencapai tidak dapat mengekspresikan dan
rasa marah tujuan kepuasan mengungkapkan secara fisik, tapi bermusuhan
tanpa saat marah dan perasaannya, masih terkontrol, yang kuat dan
menyalahkan tidak dapat tidak berdaya mendorong hilang kontrol
orang lain dan menemukan dan menyerah. orang lain disertai amuk,
memberikan alternatifnya. dengan ancaman merusak
kelegaan. lingkungan
(Sumber: Mukripah Damaiyanti, 2012)
1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam
batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif menurut Mukripah Damaiyanti (2012)
terbagai menjadi:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon Maladaptif
Menurut Mukripah Damaiyanti (2012) respon maladaptive terbagi
menjadi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
b. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari
hati
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur.
D. Tanda dan Gejala
Menurut Mukripah Damaiyanti (2012) Perawat dapat mengidentifikasi
dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kekerasan:
1. Muka merah dan tegang
2. Mata melotot atau pandangan tajam
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Wajah memerah dan tegang
6. Postur tubuh kaku
7. Pandangan tajam
8. Jalan mondar mandir

E. Akibat
Menurut Townsend dalam Kartika Sari (2015), perilaku kekerasan
dimana seeorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan, baik diri
sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan
pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku:
1. Data Subyektif
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data Obyektif :
a. Wajah tegang merah
b. Mondar mandir
c. Mata melotot, rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar banyak keringat
f. Mata merah
g. Tatapan mata tajam
h. Muka merah
F. Penatalaksanaan
Menurut Eko Prabowo (2014) ada beberapa hal yang dapat diberikan
sebagai terapi untuk pasien dengan gangguan jiwa:
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog
atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan bagi dirinya. Terapi
ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilaku adaptif (pencegahan tersier)
sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal.
4. Terapi somatik
Depkes RI menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan
yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, terapi adalah perilaku.
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

G. Pohon Masalah
Akibat : Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain

Masalah utama : Perilaku Kekerasan

Penyebab : Halusinasi

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif

Faktor Predisposisi dan Prespitasi


H. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)
Menurut Awaludin (2016) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Pasien
SP I
1) Membina hubungan saling percaya
2) Menjelaskan tanda dan gejala, akibat, penyebab, keuntungan dan
kerugian dari perilaku kekerasan
3) Latihan mengontrol emosi dengan nafas dalam
4) Anjurkan pasien untuk mempraktekan sendiri
SP II
1) Evaluasi kegiatan SP I
2) Minum obat dengan baik dan benar
3) Masukkan dalam jadwal kegiatan harian
4) Kontrak waktu untuk latihan
SP III
1) Diskusikan jadwal harian
2) Latih pasien mencegah PK dengan cara: fisik (tarik nafas dalam dan
memukul bantal)
3) Masukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP IV
1) Diskusi jadwal harian
2) Latih pasien mengntrol perilaku kekerasan dengan cara sosial
(mengendalikan rasa perilaku kekerasan)
3) Latih pasien cara menolak dan meminta yang asertif (menolak dengan
baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik)
SP V
1) Latih pasien mengntrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
2) Masukkan kedalam jadwal harian untuk latihan fiski
2. Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
PK
3) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK
2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung kepada
pasien PK
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawtan pasien PK
SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medic
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Daftar masalah keperawatan
a. Perilaku kekerasan
b. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi social
f. Berduka disfungsional
g. Penatalaksanaan regimen teurapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif

J. Analisa Data

Data Subjektif Data Objektif


1. Pasien mengatakan ingin 1. Sikap tampak kaku dan tegang
memukul orang lain 2. Agresif, agitasi
2. Pasien mengatakan ingin 3. Mengamuk
membunuh 4. Peningkatan aktivitas motoric
3. Pasien mengatakan benci semua 5. Mengepalkan tinju
orang 6. Merusak benda disekitar

K. Diagnosa
Risiko Prilaku Kekerasan
L. Intervensi

DIAGNOSA
KEPERAWATA TUJUAN INTERVENSI
N
Risiko Prilaku Selama perawatan diruangan, Tindakan Psikoterapeutik
Kekerasan pasien tidak memperlihatkan Pasien
perilaku kekerasan, dengan 1. Bina hubungan saling percaya
criteria hasil: 2. Adakan kontak sering dan
1. Dapat membina hubungan singkat secara bertahap
saling percaya 3. Observasi tingkah laku pasien
2. Dapat mengidentifikasi 4. Tanyakan keluhan yang
penyebab, tanda dan gejala, dirasakan pasien
bentuk dan akibat PK yang 5. Jika pasien dalam keadaan
sering dilakukan tenang diskusikan dengan
3. Dapat mendemonstrasikan pasien tentang kegiatan yang
cara mengontrol PK dengan meliputi:
cara : SP I
a. Fisik 1. Membina hubungan saling
b. Social dan verbal percaya
c. Spiritual 2. Menjelaskan tanda dan gejala,
d. Minum obat teratur akibat, penyebab, keuntungan
4. Dapat menyebutkan dan dan kerugian dari perilaku
mendemonstrasikan cara kekerasan
mencegah PK yang sesuai 3. Latihan mengontrol emosi
5. Dapat memelih cara dengan nafas dalam
mengontrol PK yang efektif 4. Anjurkan pasien untuk
dan sesuai mempraktekan sendiri
6. Dapat melakukan cara yang SP II
sudah dipilih untuk 1. Evaluasi kegiatan SP I
mengontrl PK 2. Minum obat dengan baik dan
7. Memasukan cara yang benar
sudah dipilih dalam kegitan 3. Masukkan dalam jadwal
harian kegiatan harian
8. Mendapat dukungan dari 4. Kontrak waktu untuk latihan
keluarga untuk mengontrol SP III
PK 1. Diskusikan jadwal harian
9. Dapat terlibat dalam 2. Latih pasien mencegah PK
kegiatan diruangan dengan cara: fisik (tarik nafas
dalam dan memukul bantal)
3. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Diskusi jadwal harian
2. Latih pasien mengntrol perilaku
kekerasan dengan cara sosial
(mengendalikan rasa perilaku
kekerasan)
3. Latih pasien cara menolak dan
meminta yang asertif (menolak
dengan baik, meminta dengan
baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik)
SP V
1. Latih pasien mengntrol perilaku
kekerasan dengan cara spiritual
2. Masukkan kedalam jadwal
harian untuk latihan fiski
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian PK,
tanda dan gejala, serta proses
terjadinya PK
3. Menjelaskan cara merawat
pasien dengan PK
SP II
1. Melatih keluarga
mempraktekkan cara merawat
pasien dengan PK
2. Melatih keluarga
mempraktikkan cara merawat
langsung kepada pasien PK
SP III
Menjelaskan tentang
pemanfaatan lingkungan yang
mendukung perawtan pasien PK
SP IV
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas dirumah
termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang

(Sumber: Awaludin, 2016)


DAFTAR PUSTAKA

Awaludin, I. N. 2016. Upaya Peningkatan Kemampuan Mengontrol Emosi


Dengan Cara Fisik Pada Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di RSJD dr.
Arif Zainudin Srakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung


: Refika Aditama.

Dewi , Kartika Sari. 2015. Buku Ajar Kesehatan Mental,Semarang. Press


Semarang : UPT UNDIP.

Direja. A. H. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

A. Definisi
Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada isi
pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam
hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan
perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan
alasan atau logika (Kusumawati, 2010).
Waham adalah keyakinan pasien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran pasien yang sudah kehilangan control
(Depkes RI, 2000 dalam Fitria, 2012).

B. Klasifikasi Waham
menurut Direja (2011), waham dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam yaitu:
Jenis Waham Jenis Waham
Jenis Waham Pengertian
No Pengertian Perilaku Pengertian Perilaku
Perilaku pasien
pasien pasien
1 Waham kebesaran Keyakinan secara berlebihan “Saya ini pejabat di
bahwa dirinya memiliki kementrian semarang!”
kekuatan khusus atau kelebihan “Saya punya
yang berbeda dengan orang perusahaan paling
lain, diucapkan berulang-ulang besar loh “.
tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan
2 Waham agama Keyakinan terhadap suatu “Saya adalah Tuhan
agama secara berlebihan, yang bisa menguasai
diucapkan berulang-ulang dan mengendalikan
tetapi tidak sesuai dengan semua makhluk”.
kenyataan.
3 Waham curiga Keyakinan seseorang atau “Saya tahu mereka
sekelompok orang yang mau mau menghancurkan
merugikan atau mencederai saya, karena iri dengan
dirinya, diucapkan berulang- kesuksesan saya”.
ulang tetapai tiada
4 Waham somatic Keyakinan seseorang bahwa “Saya menderita
tubuh atau sebagian tubuhnya kanker”.
terserang penyakit, diucapkan Padahal hasil
berulang-ulang tetapi tidak pemeriksaan lab tidak
sesuai dengan kenyataan. ada sel kanker pada
tubuhnya.
5 Waham nihlistik Keyakinan seseorang bahwa “ini saya berada di
dirinya sudah meninggal dunia, alam kubur ya, semua
diucapkan berulang-ulang yang ada disini adalah
tetapi tidak sesuai dengan roh-roh nya”.
kenyataan.

C. Etiologi
Menurut Direja (2011), penyebab waham dapat dibedakan dari dua
faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi
Meliputi perkembangan sosial kultural, psikologis, genetik, biokimia.
Jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan interpersonal
terganggu maka individu mengalami stress dan kecemasan.

2. Factor presipitasi
Rangsangan lingkungan yang sering menjadi pencetus terjadinya waham
yaitu pasien mengalami hubungan yang bermusuhan, terlalu lama diajak
bicara, objek yang ada dilingkungannya dan suasana sepi (isolasi).
Suasana ini dapat meningkatkan stress dan kecemasan.

D. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Pikiran kadang 1. Gangguan proses


2. Persepsi akurat menyimpang illusi pikir: Waham
3. Emosi konsisten 2. Reaksi emosional 2. Halusinasi
dengan berlebihan dan 3. Kerusakan emosi
pengalaman kurang 4. Perilaku tidak sesuai
4. Perilaku sosial 3. Perilaku tidak 5. Ketidakteraturan
5. Hubungan sosial sesuai isolasi sosial
4. Menarik diri
(Sumber: Kusumawati, 2010)

E. Tanda dan Gejala


menurut Direja (2011) tanda dan gejala waham dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa macam yaitu:
1. Pasien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai kenyataan
2. Pasien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6. Takut, sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung

F. Akibat
Pasien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai
diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.

G. Pohon Masalah
Akibat : Perilaku kekerasan

Masalah utama : WAHAM

Penyebab : Menarik diri

Harga diri rendah


(Sumber: Direja, 2011)

H. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


1. Pasien
SP I
1) Bina hubungan saling percaya dengan pasien:
2) Beri salam
3) Perkenalkan diri, tanyakan nama serta nama panggilan yang disukai.
4) Jelaskan tujuan interaksi
5) Yakinkan dia dalam keadaan aman dan perawat siap menolong dan
mendampinginya
6) Yakinkan bahwa kerahasiaan pasien akan tetap terjaga
7) Tunjukkan sikap terbuka dan jujur
8) Perhatikan kebutuhan dasar dan beri bantuan untuk memenuhinya
SP II
1) Pasien dengan kesadaran sendiri mau mentaati program terapi medik
2) Jelaskan dengan pasien/keluarga pentingnya obat bagi kesehatan
pasien
3) Diskusikan dengan pasien jenis obat, cara penggunaannya, side efek
obat serta kapan dia harus minta pertolongan apabila terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan sebagai dampak pemakaian obat
4) Jelaskan kepada pasien/keluarga bahwa pemberhentian/perubahan
dosis harus sepengetahuan dan saran dari dokter yang merawat.
SP III
1) Mengidentifikasi kemampuan positif pasien
2) Beri pujian pada penampilan pasien yang dimiliki pada masa lalu
dan saat ini.
3) Tanyakan apa yang bisa dilakukan
4) Jika pasien selalu bicara tentang wahamnya dengarkan sampai
wahamnya tidak ada
SP IV
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I s/d SP III)
2) Pilih kemampuan lain yang dapat dilakukan
3) Pilih dan latih potensi kemampuan lain yang dimiliki
4) Masukkan ke dalam jadual kegiatan pasien
2. Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham, dan jenis waham
yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara merawat pasien waham

SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
waham
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung kepada pasien
waham
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan waham
SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.

12. Daftar masalah keperawatan


a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi : verbal
c. Perubahan isi pikir : waham
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

J. Analisa Data
Data Subjek Data Objek
1. Pasien mengatakan hal-hal yang 1. Pasien tampak binggung
tidak sesuai kenyataan 2. Perubahan proses pikir: waham
2. Pasien mengatakan berulang kali

K. Diagnosa
Waham

L. Intervensi
Diagnosa
Tujuan Rencana Keperawatan
Keperawatan
Waham 1. Pasien dapat membina Pasien
hubungan saling percaya SP I
dengan perawat 1. Bina hubungan saling percaya
2. Pasien dan keluarga dapat dengan pasien:
menggunakan obat dengan 2. Beri salam
benar 3. Perkenalkan diri, tanyakan nama
3. Pasien dapat serta nama panggilan yang disukai.
mengidentifikasi perasaan 4. Jelaskan tujuan interaksi
yang muncul secara 5. Yakinkan dia dalam keadaan aman
berulang dalam pikiran dan perawat siap menolong dan
pasien. mendampinginya
4. Pasien dapat 6. Yakinkan bahwa kerahasiaan pasien
mengidentifikasi akan tetap terjaga
stressor/pencetus 7. Tunjukkan sikap terbuka dan jujur
wahamnya (Triggers 8. Perhatikan kebutuhan dasar dan beri
Factor). bantuan untuk memenuhinya
5. Pasien dapat SP II
mengidentifikasi 1. Pasien dengan kesadaran sendiri
wahamnya mau mentaati program terapi medik
6. Pasien dapat 2. Jelaskan dengan pasien/keluarga
mengidentifikasi pentingnya obat bagi kesehatan
konsekuensi dari pasien
wahamnya (2x interaksi). 3. Diskusikan dengan pasien jenis obat,
7. Pasien melakukan teknik cara penggunaannya, side efek obat
distraksi sebagai cara serta kapan dia harus minta
menghentikan pikiran yg pertolongan apabila terjadi sesuatu
terpusat pada wahamnya yang tidak diinginkan sebagai
dampak pemakaian obat
4. Jelaskan kepada pasien/keluarga
bahwa pemberhentian/perubahan
dosis harus sepengetahuan dan saran
dari dokter yang merawat.
SP III
1. Mengidentifikasi kemampuan positif
pasien
2. Beri pujian pada penampilan pasien
yang dimiliki pada masa lalu dan
saat ini.
3. Tanyakan apa yang bisa dilakukan
4. Jika pasien selalu bicara tentang
wahamnya dengarkan sampai
wahamnya tidak ada

SP IV
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I s/d
SP III)
2. Pilih kemampuan lain yang dapat
dilakukan
3. Pilih dan latih potensi kemampuan
lain yang dimiliki
4. Masukkan ke dalam jadual kegiatan
pasien
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala waham, dan jenis waham
yang dialami pasien beserta proses
terjadinya
3. Menjelaskan cara merawat pasien
waham
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan
cara merawat pasien dengan waham
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat lansung kepada pasien
waham
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan
lingkungan yang mendukung
perawatan waham

SP IV
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas dirumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herma. S. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.

Kusumawati, F. dan Hartono, Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. Definis
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa (Fitria, 2009 dalam Direja, 2011).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada
seseorang disebabkan karena stres yang tinggi dan kegagalan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Akemat, 2009 dalam
damaiyanti, 2012).
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berupaya untuk
mewujudkan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat,
percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka,
atau menyakiti diri sendiri (Yosep, 2014).

B. Klasifikasi Resiko Bunuh diri


Menurut Yosep (2011) resiko bunuh diri dapat dibagi menjadi 3
kategori, yaitu:
1. Ancaman bunuh diri: ada peringatan verbal dan non-verbal,
ancaman ini menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian,
jika tidak mendapat respon maka akan ditafsirkan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri: semua tindakan yang dilakukan individu terhadap
diri sendiri yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri: terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan,
orang yang melakukan upaya bunuh diri walaupun tidak benar-benar
ingin mati mungkin akan mati.

C. Etiologi
Menurut Damaiyanti (2012) penyebab bunuh diri dapat dilihat dari
faktor-faktor berikut:
1. Faktor predisposisi
a. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan
skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respon seorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada pasien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti
serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG)
2. Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
a. Perilaku koping
Pasien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik
faktor sosial maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka
bunuh diri.
b. Mekanisme koping
Seorang pasien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk
denial, rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternative.
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri Beresiko Destruktif diri tidak Pencederaan diri Bunuh diri
destruktif langsung
(Sumber: Yosep, 2011)

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.


Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang
terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri
seseorang.
1. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar
terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
2. Berisiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko mengalami perilaku
destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya
dapat mempertahankan diri, seperti seseorang patah semangat bekerja
ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif)
terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat
hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2012) :
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah
dan mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, pasien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalah gunakan alkohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada pasien dengan penyakit kronis atau
terminal).

F. Akibat
Resiko yang mungkin terjadi pada pasien yang mengalami krisis
bunuh diri adalah mencederai diri dan lingkungan dengan tujuan mengakhiri
hidup. Perilaku yang muncul meliputi isyarat, percobaan atau ancaman verbal
untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian perlukaan atau
nyeri pada diri sendiri (Yosep, 2014).

G. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar
pertolongan darurat di rumah sakit, dibagian penyakit dalam atau bagian
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan,
kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis.
Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan
erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri.
Bila keadaan keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat
dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnya gangguan
badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya
untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi
dapat diberikan terapi elektro konvulsi, obat-obat terutama anti depresan dan
psikoterapi (Direja, 2011).

H. Pohon Masalah
Akibat : Bunuh diri

Masalah utama : RESIKO BUNU DIRI

Penyebab : Isolasi social

HDR Kronis

(Sumber: Direja, 2011)

I. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)


1. Pasien
SP I
1) Identifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
2) Amankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
3) Lakukan kontrak treatment.
4) Ajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
SP II
1) Identifikasi aspek positif pasien.
2) Dorong pasien untuk berpikir positif terhadap diri
3) Dorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu yang
berharga.
SP III
1) Identifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien.
2) Nilai pola koping yang biasa dilakukan.
3) Identifikasi pola koping yang konstruktif.
4) Dorong pasien memilih pola koping yang konstruktif.
5) Anjurkan pasien menerapkan pola koping yang konstruktuif dalam
kegiatan harian.
SP IV
1) Buat rencana masa depan yang realistis bersama pasien.
2) Identifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis.
3) Beri dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih
masa depan.
2. Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko bunuh diri dan
perilaku bunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
SP II
1) Melatih keluarga mepraktekkan cara merawat pasien dengan resiko
bunuh diri
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri
SP III
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat
2) Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa di jangkau oleh keluarga
J. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Daftar masalah keperawatan
a. Risiko bunuh diri.
b. Bunuh diri.
c. Isolasi sosial.
d. Harga diri rendah.

K. Analisa Data
Data Sabjek Data Objek
1. pasien mengatakan tidak ada 1. pasien tampak gelisah
harapan hidup lagi 2. pasien tampak sedih
2. pasien merasa tidak berguna lagi 3. kontak mata kurang
3. pasien selalu mengatakan tentang 4. pasien nampak putus asa
kematian dirinya
4. pasien kadang menunjukkan
secara verbal tentang rencana
bunuh diri

L. diagnosa
Resiko bunuh diri

M. intervensi
Diagnose
Tujuan Rencana Keperawatan
Keperawatan
Resiko bunuh diri Setelah 3x pertemuan Pasien
1. pasien mampu SP I
mengidentifikasi benda- 1. Identifikasi benda-benda yang
benda yang dapat mampu dapat membahayakan pasien.
mengendalikan dorongan 2. Amankan benda-benda yang dapat
bunuh diri membahayakan pasien.
3. Lakukan kontrak treatment.
2. pasien mampu 4. Ajarkan cara mengendalikan
mengidentifikasi aspek dorongan bunuh diri.
positif dan mampu SP II
menghargai diri sebagai 1. Identifikasi aspek positif pasien.
individu yang berharga. 2. Dorong pasien untuk berpikir
positif terhadap diri
3. pasien mampu
3. Dorong pasien untuk menghargai
mengidentifikasi pola
diri sebagai individu yang
koping yang konstruktif
berharga.
dan mampu
SP III
menerapkannya.
1. Identifikasi pola koping yang biasa
diterapkan pasien.
4. pasien mampu membut
rencana masa depan yang 2. Nilai pola koping yang biasa
realistis dan mampu dilakukan.
melakukan kegiatan. 3. Identifikasi pola koping yang
konstruktif.
4. Dorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif.
5. Anjurkan pasien menerapkan pola
koping yang konstruktuif dalam
kegiatan harian.
SP IV
1. Buat rencana masa depan yang
realistis bersama pasien.
2. Identifikasi cara mencapai rencana
masa depan yang realistis.
3. Beri dorongan pasien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih
masa depan.
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala resiko bunuh diri dan
perilaku bunuh diri yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat
pasien resiko bunuh diri
SP II
1. Melatih keluarga mepraktekkan
cara merawat pasien dengan resiko
bunuh diri
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri
SP III
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat
2. Mendiskusikan sumber rujukan
yang bisa di jangkau oleh keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung


: Refika Aditama.

Direja. A. H. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.

Yosep, H. I., dan Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai