HALUSINASI
A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidu tanpa stimulus yang nyata
(Keliat, 2011 dalam Zelika, 2015).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan (Sheila L Vidheak, 2001 dalam
Darmaja, 2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) (Surya,
2011 dalam Pambayung, 2015).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana pasien/pasien
mempersepsikan sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal.
Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana pasien mengalami persepsi yang
salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata ada oleh pasien.
B. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara
lain:
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara-
suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun atau panorama
yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau
menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau
yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang–kadang
terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang
dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis
dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau
feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-
faktor yang menyebabkan pasien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetik
Secara genetik, skizofrenia diturunkan melalui kromosom kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara
jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Pasien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan
kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
c. Faktor sosial budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi: lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
e. Sikap/perilaku, meliputi: merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(1998) dalam Yusalia (2015):
F. Akibat
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006).
Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri
sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1. Data subjektif:
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data objektif
a. Wajah tegang, merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah
G. Penatalaksanaan
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), Penatalaksanaan
pada pasien halusinasi dengan cara:
1. Menciptakan lingkungan terapeutik atau hubungan saling percaya
tindakan keperawatan untuk membantu pasien mengatasi
halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya dengan
pasien. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak
asuhan dengan pasien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul
untuk membantu pasien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan pasien saat
menceritakan halusinasinya.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di
lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau
bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara
fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati
pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkan
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di
lakukan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya
secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang
di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini
dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan
dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang
data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar suara laki-laki yang mengejek.
Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan
diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya
diberitahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak
membiarkan pasien sendirian dan saran yang diberikan tidak
bertentangan.
H. Pohon Masalah
Akibat : Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
J. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang.
8. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat makan
kembali.
a. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
b. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
c. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
d. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
9. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
10. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
11. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
12. Aspek medic
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
13. Daftar masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual: halusinasi
c. Isolasi sosial: menarik diri
K. Analisa data
L. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang dapat ditarik dari pohon masalah tersebut adalah:
Gangguan sensori perseptual : Halusinasi
M. Intervensi
A. Definisi
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak dapat bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri,
selainitu juga dapat mengevaluasi negative yang berkepanjangan sehingga
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa
(Herdman, 2012).
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang,
perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk.
Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah.
Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif
dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa
aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan
cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat, 2011).
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi
negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi
mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri
sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku
manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah,
keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan,
pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang di
cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
B. Etiologi
Menurut Yosep (2009) Penyebab penunjang terjadinya perubahan
dalam konsep diri sehingga seseorang mengalami harga diri rendah dibagi
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor yang memiliki harga diri meliputi pendataan orang lain,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah peran seks,
tuntutan peran kerja, harapan peran kultural.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas personal, meliputi ketidak
percayaan orang tua tekanan dari kelompok sebaya, perubahan
dalam stuktural sosial.
2. Faktor presipitasi
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupannya.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi
c. Transisi Peran situasi adalah terjadi dengan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian
d. Transisi peran sehat sakit akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
sakit dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran
bentuk, penampilan, fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan
dengan tumbang normal moral dan prosedur medis keperawatan
C. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive
F. Penatalaksanaan
Menurut Eko (2014) Penatalaksanaan pasien dengan harga diri rendah
meliputi:
1. Farmakologi.
2. Terapi lain seperti terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi tingkah laku,
terapi keluarga, terapi spiritual, terapi lingkungan, terapi aktivitas
kelompok yang tujuannya adalah memperbaiki perilaku pasien dengan
harga diri rendah.
3. Terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy), ECT adalah
pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang satu atau dua
temples. Therapy kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang
listrik 4-5 joule/detik.
4. Terapi aktivitas kelompok (TAK), Terapi aktivitas kelompok dibagi
menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok simulasi, terapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Dari
empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan
dilakukan pada individu dengan ganguan konsep diri harga diri rendah
adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Terapi aktivitas
kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan
aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.
5. Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi (kembali memfungsikan) dan
perkembangan pasien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara
wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
G. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) yaitu:
Isolasi sosial
I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur pasien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medis
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
J. Analisa Data
L. Intervensi
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Harga Diri Rendah Setelah 2x pertemuan, pasien TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK
mampu: Pasien
1. Mengidentifikasi 1. Bina hubungan saling percaya
kemampuan dan aspek 2. Adakan kontak sering dan singkat
positif yang dimiliki, secara bertahap
2. Memiliki kemampuan 3. Observasi tingkah laku pasien
yang dapat digunakan, 4. Tanyakan keluhan yang dirasakan
3. Memilih kegiatan yang pasien
sesuai kemamampuan 5. Jika pasien dalam keadaan tenang
4. Melakukan kegiatan yang diskusikan dengan pasien tentang
sudah dipiih kegiatan yang meliputi :
5. Merencanakan kegiatan SP I
yang sudah 1. Mendiskusikan kemampuan dan
6. Pasien dapat minum obat aspek positif yang dimiliki pasien
dengan bantuan minimal 2. Membantu pasien menilai
kemampuan yang masih dapat
digunakan
3. Membantu pasien memilih
kemampuan yang akan dilatih
4. Melatih kemampuan yang sudah
dipilih
5. Menyusun jadwal pelaksanaan
kemampuan yang telah di latih
dalam rencana harian
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Anjurkan pasien untuk meminum
obat
3. Melatih pasien melakukan kegiatan
yang sesuai dengan kemampuan
pasien
4. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP III
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I
s/d SP II)
2. Memilih kemampuan ketiga yang
dapat dilakukan
3. Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (kemampuan yang
dilatih sebelumnya)
2. Melatih kemampuan ke empat
yang telah dilatih
3. Menganjurkan pasien untuk
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
Keluarga
SP I
1) Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala harga diri rendah yang
dialami pasien beserta proses
terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat
pasien harga diri rendah
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan
cara merawat pasien dengan harga
diri rendah
2) Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
harga diri rendah
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan
lingkungan yang mendukung
perawatan pasien harga diri rendah
SP IV
1) Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
Sumber: (Fajariyah, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. Definisi
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptif dan menggangu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(Depkes, 2000 dalam Dermawan dan Rusdi, 2013).
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan
dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif atau
mengancam (NANDA, 2018).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2010).
B. Etiologi
Menurut Purba, dkk. (2008), Dermawan dan Rusdi (2014) faktor-
faktor pasien dengan gangguan isolasi sosial sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari
masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem
keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya
menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan
tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih
tepat tentang hungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga,
pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
Tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan
terdiri dari:
1) Masa bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi
hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman
dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena
akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di
kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam
mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa
berikutnya.
2) Masa kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini
dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan
terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem
nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3) Masa praremaja dan remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi
hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan
tersebut, yang sering kali menimbulkan perasaan tertekan
maupun tergantung pada remaja.
4) Masa dewasa muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan
perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain
serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk
membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan
mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal
pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima
(mutuality).
5) Masa dewasa tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan
anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat
digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang
dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
6) Masa dewasa akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,
maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan
tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor biologic
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran
ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbic
diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor penyebab dalam gangguan
berhubungan. Ini merupakan akibat dari norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat
dan penyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma,
prilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
2. Faktor Presipitasi
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik kedudukan atau
harga diri, karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat
penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-msalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah,
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi depresi
terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat-obatan berbagai penyakit
fisik seperti infeksi, meoplasma dan gangguan keseimbangan
metabolik dapat mencetus gangguan alam perasaan
C. Rentang Respon
E. Akibat
Perilaku isolasi sosial: menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi
adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau
persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti melihat
bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca
indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat
disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau histerik.
Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi tanpa
adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan (pengelihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi yang paling
umum adalah halusinasi pendengaran (Keliat, 2011 dalam Zelika, 2015).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan isolasi sosial menurut Dermawan dan
Rusdi (2014) adalah:
1. Terapi farmakologi
2. Electri Convulsive Therapi
Electri Convulsive Therapi (ECT) atau yang dikenal dengan electroshock
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien
gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis
terapinya.
3. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain
yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas
kesehatan jiwa. Terapi ini bertujuan memberi stimulus bagi pasien
dengan gangguan interpersonal.
4. Terapi lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitanya untuk
menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat
dengan stimulus psikologi seseorang yang akan berdampak pada
kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik
pada kondisi fisik maupun kondisi psikologi seseorang.
G. Pohon Masalah
Akibat : Defisit perawatan diri
J. Analisa Data
K. Diagnose Keperawatan
Isolasi Sosial
L. Intervensi
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Isolasi sosial Setelah dilakukan tindakan TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK
keperawatan selama 3 x 24 Pasien
jam Pasien dapat berinteraksi 1. Bina hubungan saling percaya
dengan orang lain baik secara 2. Adakan kontak sering dan singkat
individu maupun secara secara bertahap
berkelompok dengan kriteria 3. Observasi tingkah laku pasien
hasil : 4. Tanyakan keluhan yang dirasakan
1. Pasien dapat membina pasien
hubungan saling percaya. 5. Jika pasien dalam keadaan tenang
2. Dapat menyebutkan diskusikan dengan pasien tentang
penyebab isolasi sosial. kegiatan yang meliputi :
3. Dapat menyebutkan SP I
keuntungan berhubungan 1. Mengidentifikasi penyebab isolasi
dengan orang lain. sosial pasien, tanda dan gejala,
4. Dapat menyebutkan serta akibat isolasi sosial
kerugian tidak 2. Berdiskusi dengan pasien tentang
berhubungan dengan keuntungan berinteraksi dengan
orang lain. orang lain
5. Dapat berkenalan dan 3. Berdiskusi dengan pasien tentang
bercakap-cakap dengan kerugian tidak berinteraksi
orang lain secara bertahap. dengan orang lain
6. Terlibat dalam aktivitas 4. Melatih pasien cara berkenalan
sehari-hari. dengan satu orang
7. Pasien dapat minum obat 5. Menganjurkan pasien
dengan bantuan minimal. memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang
lain dalam kegiatan harian
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Anjurkan pasien untuk minum
obat
3. Memberikan kesempatan kepada
pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan 2-3 orang
sambil melakukan kegiatan harian
4. Membantun pasien memasukkan
kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah
satu kegiatan harian.
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (evaluasi
kemampuan sebelumnya
memperkenalkan diri, minumobat
dan berinteraksi dengan 2-3
orang)
2. Melatih pasien berinteraksi
dengan dua orang atau lebih
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Melatih pasien berbicara sambil
melakukan kegiatan sosial
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E., dkk, 2010. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Jiwa. CV
Trans Info Media: Jakarta
Dermawan dan Rusdi. 2014. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Dermawan, D. & Rusdi. 2013. Keperawatan jiwa: konsep dan kerangka kerja
asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri; mandi,
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri aktivitas makan sendiri; dan
aktivitas eliminasi sendiri (Herdman, 2012).
Defisit perawatan diri adalah keadaan seseorang mengalami kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan Pasien untuk mandi secara
teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah
yang timbul pada pasien gangguan jiwa (Sutejo, 2016).
D. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
F. Akibat
Dampak yang ditimbulkan dengan keadaan defisit perawatan diri
seperti pasien dikucilkan di dalam keluarga atau masyarkat sehingga terjadi
isolasi sosial dan bahkan kehilangan kemampuan dan motivasi dalam
melakukan perawatan terhadap tubuhnya.
G. Penatalaksanaan
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
c. Kuatkan kemampuan pasien merawat diri
2. Membimbing dan menolong pasien merawat diri
a. Bantu pasien merawat diri
b. Ajarkan keterampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan perawatan
diri
b. Dekatkan peralatan agar mudah dijangkau oleh pasien
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman
H. Pohon Masalah
Akibat : Gangguan pemeliharaan kesehatan
J. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan lat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Daftar masalah keperawatan
a. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
b. Isolasi Sosial
c. Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
K. Analisa Data
L. Diagnosa
Defisit perawatan diri
M. Intervensi
DIAGNOSA
KEPERAWATA TUJUAN INTERVENSI
N
Defisit perawatan Setelah dilakukan tindakan Tindakan Psikoterapeutik
diri keperawatan selama 3 x hari, Pasien
pasien dapat mandiri melakukan 1. Bina hubungan saling percaya
perawatan diri dengan kriteria: 2. Adakan kontak sering dan
1. Dapat berhubungan dengan singkat secara bertahap
orang lain 3. Observasi tingkah laku pasien
2. Dapat menjelaskan 4. Tanyakan keluhan yang
pentingnya kebersihan dan dirasakan pasien
kerapian 5. Jika pasien dalam keadaan
3. Menyebutkan ciri-ciri badan tenang diskusikan dengan
yang bersih dan rapi pasien tentang kegiatan yang
4. Dapat menyebutkan manfaat meliputi:
badan bersih dan rapi 6.
5. Dapat menyebutkan kerugian SP I
badan yang tidak bersih dan 1. Menjelaskan cara berhubungan
tidak rapi saling percaya.
6. Dapat mempraktikan cara 2. Menjelaskan cara menjaga
melakukan perawatan diri kebersihan diri (misalkan
dengan benar mandi).
7. Badan bersih dan rapi 3. Menjelaskan kebersihan yang
8. Badan tidak bau baik.
9. Dapat melakukan aktifitas 4. Membantu pasien
perawatan diri secara mandiri mempraktekkan cara
10. Pasien dapat minum obat kebersihan yang baik.
dengan bantuan minimal 5. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP II
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (mandi).
2. Menjelaskan cara berdandan
yang benar.
3. Membantu pasien
mempraktikkan cara
berdandan yang benar dan
memasukkan dalam jadwal.
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (misalkan: mandi
dan berdandan).
2. Menjelaskan cara makan dan
minum yang baik dan benar.
3. Membantu pasien
mempraktikkan cara makan
dan minum yang benar dan
memasukkan dalam jadwal.
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien (mandi,
berdandan, dan makan).
2. Menjelaskan cara BAB dan
BAK yang baik dan benar.
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala defisit perawatan
diri, dan jenis defisit
perawatan diri yang dialami
pasien beserta proses
terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara
merawat pasien defisit
perawatan diri
SP II
1. Melatih keluarga
mempraktekkan cara merawat
pasien dengan defisit
perawatan diri
2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
pasien defisit perawatan diri
SP III
Menjelaskan tentang
pemanfaatan lingkungan yang
mendukung perawatan pasien
defisit perawatan diri
SP IV
1. Membantu keluarga cara
membuat jadwal aktivitas
dirumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika
Sari, 2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayahkan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk
di mana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan
motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2010 dalam Damai yanti dan Iskandar,
2012).
B. Etiologi
Menurut Direja (2011), ada beberapa faktor penyebab perilaku
kekerasan seperti:
1. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut di alami oleh individu:
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
menyenangkan atau perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau sanksi
penganiayaan.
b. Perilaku reinforcement
Yang diterima saat melakukan kekerasan, dirumah atau di luar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c. Teori psikoanalitik
Menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya ego dan membuat konsep
diri yang rendah. Agresi dapat meningkatkan citra diri serta
memberikan arti dalam hidupnya.
2. Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik injuri fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus
sebagai berikut:
a. Pasien : kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal maupun eksternal.
C. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive
E. Akibat
Menurut Townsend dalam Kartika Sari (2015), perilaku kekerasan
dimana seeorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan, baik diri
sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan
pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku:
1. Data Subyektif
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data Obyektif :
a. Wajah tegang merah
b. Mondar mandir
c. Mata melotot, rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar banyak keringat
f. Mata merah
g. Tatapan mata tajam
h. Muka merah
F. Penatalaksanaan
Menurut Eko Prabowo (2014) ada beberapa hal yang dapat diberikan
sebagai terapi untuk pasien dengan gangguan jiwa:
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog
atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan bagi dirinya. Terapi
ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilaku adaptif (pencegahan tersier)
sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal.
4. Terapi somatik
Depkes RI menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan
yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, terapi adalah perilaku.
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
G. Pohon Masalah
Akibat : Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain
Penyebab : Halusinasi
I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medic
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
12. Daftar masalah keperawatan
a. Perilaku kekerasan
b. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi social
f. Berduka disfungsional
g. Penatalaksanaan regimen teurapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif
J. Analisa Data
K. Diagnosa
Risiko Prilaku Kekerasan
L. Intervensi
DIAGNOSA
KEPERAWATA TUJUAN INTERVENSI
N
Risiko Prilaku Selama perawatan diruangan, Tindakan Psikoterapeutik
Kekerasan pasien tidak memperlihatkan Pasien
perilaku kekerasan, dengan 1. Bina hubungan saling percaya
criteria hasil: 2. Adakan kontak sering dan
1. Dapat membina hubungan singkat secara bertahap
saling percaya 3. Observasi tingkah laku pasien
2. Dapat mengidentifikasi 4. Tanyakan keluhan yang
penyebab, tanda dan gejala, dirasakan pasien
bentuk dan akibat PK yang 5. Jika pasien dalam keadaan
sering dilakukan tenang diskusikan dengan
3. Dapat mendemonstrasikan pasien tentang kegiatan yang
cara mengontrol PK dengan meliputi:
cara : SP I
a. Fisik 1. Membina hubungan saling
b. Social dan verbal percaya
c. Spiritual 2. Menjelaskan tanda dan gejala,
d. Minum obat teratur akibat, penyebab, keuntungan
4. Dapat menyebutkan dan dan kerugian dari perilaku
mendemonstrasikan cara kekerasan
mencegah PK yang sesuai 3. Latihan mengontrol emosi
5. Dapat memelih cara dengan nafas dalam
mengontrol PK yang efektif 4. Anjurkan pasien untuk
dan sesuai mempraktekan sendiri
6. Dapat melakukan cara yang SP II
sudah dipilih untuk 1. Evaluasi kegiatan SP I
mengontrl PK 2. Minum obat dengan baik dan
7. Memasukan cara yang benar
sudah dipilih dalam kegitan 3. Masukkan dalam jadwal
harian kegiatan harian
8. Mendapat dukungan dari 4. Kontrak waktu untuk latihan
keluarga untuk mengontrol SP III
PK 1. Diskusikan jadwal harian
9. Dapat terlibat dalam 2. Latih pasien mencegah PK
kegiatan diruangan dengan cara: fisik (tarik nafas
dalam dan memukul bantal)
3. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP IV
1. Diskusi jadwal harian
2. Latih pasien mengntrol perilaku
kekerasan dengan cara sosial
(mengendalikan rasa perilaku
kekerasan)
3. Latih pasien cara menolak dan
meminta yang asertif (menolak
dengan baik, meminta dengan
baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik)
SP V
1. Latih pasien mengntrol perilaku
kekerasan dengan cara spiritual
2. Masukkan kedalam jadwal
harian untuk latihan fiski
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian PK,
tanda dan gejala, serta proses
terjadinya PK
3. Menjelaskan cara merawat
pasien dengan PK
SP II
1. Melatih keluarga
mempraktekkan cara merawat
pasien dengan PK
2. Melatih keluarga
mempraktikkan cara merawat
langsung kepada pasien PK
SP III
Menjelaskan tentang
pemanfaatan lingkungan yang
mendukung perawtan pasien PK
SP IV
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas dirumah
termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Definisi
Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada isi
pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam
hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan
perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan
alasan atau logika (Kusumawati, 2010).
Waham adalah keyakinan pasien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran pasien yang sudah kehilangan control
(Depkes RI, 2000 dalam Fitria, 2012).
B. Klasifikasi Waham
menurut Direja (2011), waham dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam yaitu:
Jenis Waham Jenis Waham
Jenis Waham Pengertian
No Pengertian Perilaku Pengertian Perilaku
Perilaku pasien
pasien pasien
1 Waham kebesaran Keyakinan secara berlebihan “Saya ini pejabat di
bahwa dirinya memiliki kementrian semarang!”
kekuatan khusus atau kelebihan “Saya punya
yang berbeda dengan orang perusahaan paling
lain, diucapkan berulang-ulang besar loh “.
tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan
2 Waham agama Keyakinan terhadap suatu “Saya adalah Tuhan
agama secara berlebihan, yang bisa menguasai
diucapkan berulang-ulang dan mengendalikan
tetapi tidak sesuai dengan semua makhluk”.
kenyataan.
3 Waham curiga Keyakinan seseorang atau “Saya tahu mereka
sekelompok orang yang mau mau menghancurkan
merugikan atau mencederai saya, karena iri dengan
dirinya, diucapkan berulang- kesuksesan saya”.
ulang tetapai tiada
4 Waham somatic Keyakinan seseorang bahwa “Saya menderita
tubuh atau sebagian tubuhnya kanker”.
terserang penyakit, diucapkan Padahal hasil
berulang-ulang tetapi tidak pemeriksaan lab tidak
sesuai dengan kenyataan. ada sel kanker pada
tubuhnya.
5 Waham nihlistik Keyakinan seseorang bahwa “ini saya berada di
dirinya sudah meninggal dunia, alam kubur ya, semua
diucapkan berulang-ulang yang ada disini adalah
tetapi tidak sesuai dengan roh-roh nya”.
kenyataan.
C. Etiologi
Menurut Direja (2011), penyebab waham dapat dibedakan dari dua
faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi
Meliputi perkembangan sosial kultural, psikologis, genetik, biokimia.
Jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan interpersonal
terganggu maka individu mengalami stress dan kecemasan.
2. Factor presipitasi
Rangsangan lingkungan yang sering menjadi pencetus terjadinya waham
yaitu pasien mengalami hubungan yang bermusuhan, terlalu lama diajak
bicara, objek yang ada dilingkungannya dan suasana sepi (isolasi).
Suasana ini dapat meningkatkan stress dan kecemasan.
D. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
F. Akibat
Pasien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai
diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.
G. Pohon Masalah
Akibat : Perilaku kekerasan
SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
waham
2) Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung kepada pasien
waham
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan waham
SP IV
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
I. Asuhan Keperawatan
1. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat pasien.
2. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/pasien hal yang menyebabkan pasien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai.
3. Faktor predisposisi
Tanyakan pada pasien/keluarga, apakah pasien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
keluarga dan tindakan kriminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis,
biologis, dan social budaya.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh pasien.
5. Aspek psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri
c. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
d. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai pasien rapi atau tidak, amati pembicaraan pasien, aktivitas motorik
pasien, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan makan pasien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
b. Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
c. Mandi dan cara berpakaian pasien tampak rapi.
d. Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
e. Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum.
8. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan
stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
9. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
10. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara pasien dan disimpulkan dalam masalah.
11. Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, terapi farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
J. Analisa Data
Data Subjek Data Objek
1. Pasien mengatakan hal-hal yang 1. Pasien tampak binggung
tidak sesuai kenyataan 2. Perubahan proses pikir: waham
2. Pasien mengatakan berulang kali
K. Diagnosa
Waham
L. Intervensi
Diagnosa
Tujuan Rencana Keperawatan
Keperawatan
Waham 1. Pasien dapat membina Pasien
hubungan saling percaya SP I
dengan perawat 1. Bina hubungan saling percaya
2. Pasien dan keluarga dapat dengan pasien:
menggunakan obat dengan 2. Beri salam
benar 3. Perkenalkan diri, tanyakan nama
3. Pasien dapat serta nama panggilan yang disukai.
mengidentifikasi perasaan 4. Jelaskan tujuan interaksi
yang muncul secara 5. Yakinkan dia dalam keadaan aman
berulang dalam pikiran dan perawat siap menolong dan
pasien. mendampinginya
4. Pasien dapat 6. Yakinkan bahwa kerahasiaan pasien
mengidentifikasi akan tetap terjaga
stressor/pencetus 7. Tunjukkan sikap terbuka dan jujur
wahamnya (Triggers 8. Perhatikan kebutuhan dasar dan beri
Factor). bantuan untuk memenuhinya
5. Pasien dapat SP II
mengidentifikasi 1. Pasien dengan kesadaran sendiri
wahamnya mau mentaati program terapi medik
6. Pasien dapat 2. Jelaskan dengan pasien/keluarga
mengidentifikasi pentingnya obat bagi kesehatan
konsekuensi dari pasien
wahamnya (2x interaksi). 3. Diskusikan dengan pasien jenis obat,
7. Pasien melakukan teknik cara penggunaannya, side efek obat
distraksi sebagai cara serta kapan dia harus minta
menghentikan pikiran yg pertolongan apabila terjadi sesuatu
terpusat pada wahamnya yang tidak diinginkan sebagai
dampak pemakaian obat
4. Jelaskan kepada pasien/keluarga
bahwa pemberhentian/perubahan
dosis harus sepengetahuan dan saran
dari dokter yang merawat.
SP III
1. Mengidentifikasi kemampuan positif
pasien
2. Beri pujian pada penampilan pasien
yang dimiliki pada masa lalu dan
saat ini.
3. Tanyakan apa yang bisa dilakukan
4. Jika pasien selalu bicara tentang
wahamnya dengarkan sampai
wahamnya tidak ada
SP IV
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I s/d
SP III)
2. Pilih kemampuan lain yang dapat
dilakukan
3. Pilih dan latih potensi kemampuan
lain yang dimiliki
4. Masukkan ke dalam jadual kegiatan
pasien
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala waham, dan jenis waham
yang dialami pasien beserta proses
terjadinya
3. Menjelaskan cara merawat pasien
waham
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan
cara merawat pasien dengan waham
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat lansung kepada pasien
waham
SP III
Menjelaskan tentang pemanfaatan
lingkungan yang mendukung
perawatan waham
SP IV
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas dirumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.
A. Definis
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa (Fitria, 2009 dalam Direja, 2011).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada
seseorang disebabkan karena stres yang tinggi dan kegagalan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Akemat, 2009 dalam
damaiyanti, 2012).
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berupaya untuk
mewujudkan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat,
percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka,
atau menyakiti diri sendiri (Yosep, 2014).
C. Etiologi
Menurut Damaiyanti (2012) penyebab bunuh diri dapat dilihat dari
faktor-faktor berikut:
1. Faktor predisposisi
a. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan
skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respon seorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada pasien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti
serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG)
2. Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
a. Perilaku koping
Pasien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik
faktor sosial maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka
bunuh diri.
b. Mekanisme koping
Seorang pasien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk
denial, rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternative.
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko Destruktif diri tidak Pencederaan diri Bunuh diri
destruktif langsung
(Sumber: Yosep, 2011)
F. Akibat
Resiko yang mungkin terjadi pada pasien yang mengalami krisis
bunuh diri adalah mencederai diri dan lingkungan dengan tujuan mengakhiri
hidup. Perilaku yang muncul meliputi isyarat, percobaan atau ancaman verbal
untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian perlukaan atau
nyeri pada diri sendiri (Yosep, 2014).
G. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar
pertolongan darurat di rumah sakit, dibagian penyakit dalam atau bagian
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan,
kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis.
Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan
erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri.
Bila keadaan keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat
dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnya gangguan
badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya
untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi
dapat diberikan terapi elektro konvulsi, obat-obat terutama anti depresan dan
psikoterapi (Direja, 2011).
H. Pohon Masalah
Akibat : Bunuh diri
HDR Kronis
K. Analisa Data
Data Sabjek Data Objek
1. pasien mengatakan tidak ada 1. pasien tampak gelisah
harapan hidup lagi 2. pasien tampak sedih
2. pasien merasa tidak berguna lagi 3. kontak mata kurang
3. pasien selalu mengatakan tentang 4. pasien nampak putus asa
kematian dirinya
4. pasien kadang menunjukkan
secara verbal tentang rencana
bunuh diri
L. diagnosa
Resiko bunuh diri
M. intervensi
Diagnose
Tujuan Rencana Keperawatan
Keperawatan
Resiko bunuh diri Setelah 3x pertemuan Pasien
1. pasien mampu SP I
mengidentifikasi benda- 1. Identifikasi benda-benda yang
benda yang dapat mampu dapat membahayakan pasien.
mengendalikan dorongan 2. Amankan benda-benda yang dapat
bunuh diri membahayakan pasien.
3. Lakukan kontrak treatment.
2. pasien mampu 4. Ajarkan cara mengendalikan
mengidentifikasi aspek dorongan bunuh diri.
positif dan mampu SP II
menghargai diri sebagai 1. Identifikasi aspek positif pasien.
individu yang berharga. 2. Dorong pasien untuk berpikir
positif terhadap diri
3. pasien mampu
3. Dorong pasien untuk menghargai
mengidentifikasi pola
diri sebagai individu yang
koping yang konstruktif
berharga.
dan mampu
SP III
menerapkannya.
1. Identifikasi pola koping yang biasa
diterapkan pasien.
4. pasien mampu membut
rencana masa depan yang 2. Nilai pola koping yang biasa
realistis dan mampu dilakukan.
melakukan kegiatan. 3. Identifikasi pola koping yang
konstruktif.
4. Dorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif.
5. Anjurkan pasien menerapkan pola
koping yang konstruktuif dalam
kegiatan harian.
SP IV
1. Buat rencana masa depan yang
realistis bersama pasien.
2. Identifikasi cara mencapai rencana
masa depan yang realistis.
3. Beri dorongan pasien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih
masa depan.
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala resiko bunuh diri dan
perilaku bunuh diri yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat
pasien resiko bunuh diri
SP II
1. Melatih keluarga mepraktekkan
cara merawat pasien dengan resiko
bunuh diri
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri
SP III
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat
2. Mendiskusikan sumber rujukan
yang bisa di jangkau oleh keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, H. I., dan Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.