Anda di halaman 1dari 3

Untuk mengutip (to cite):

Mulyono, H. (2015, 25 November). UKG & Nasib Honorer. Harian Waspada. Opini.

UKG dan Nasib Guru Honorer


Oleh: Herri Mulyono*

Undang-undang No 14/2005 tentang guru dan dosen secara jelas mengamanatkan pembinaan dan
pengembangan profesi dan karir guru. Uji kompetensi guru (UKG) merupakan salah satu instrumen
evaluasi yang dipilih pemerintah. Seperti seringkali diberitakan bahwa pelaksanaan UKG pada
hakekatnya adalah untuk memetakan kompetensi guru. Dari hasil UKG dan instrumen evaluasi guru
lainnya, pemerintah kemudian dapat merumuskan program peningkatan kualitas guru kedepan.

Ditjen Guru dan tenaga kependidikan Kemdikbud, Sumarna Supranata menegaskan bahwa semua
guru yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) wajib mengikuti UKG,
baik secara daring (online) maupun secara konvensional (offline) (Web Kemdikbud, 12/10).
Setidaknya lebih dari 3 juta guru dan tenaga kependidikan akan mengikuti UKG tahun ini, dengan
200 jumlah paket soal untuk 200 mata pelajaran. Tiap paket soal berjumlah 120 soal dengan waktu
ujian 120 menit. Artinya, guru harus menyelesaikan satu soal dalam waktu satu menit.

Tunjangan profesi

Hasil UKG memang tidak secara langsung memutuskan lanjut atau tidaknya pemberian tunjangan
profesi guru (TPG). Dalam skema pemberian tunjangan profesi Kemdikbud, UKG merupakan salah
satu instrumen pendukung selain penilaian kinerja guru (PKG) dan pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB). Guru yang mendapatkan nilai kompetensi dan penilaian kinerja diatas standar
Kemdikbud akan mendapatkan haknya. Namun, guru yang ‘gagal’ dalam evaluasi Kemdikbud
kemudian masuk kedalam daftar ‘binaan’ melalui program PKB. Guru kategori binaan tersebut
dituntut untuk menggunakan sebagian TPG yang didapat guna meningkatkan kemampuan
profesionalnya. Dengan kata lain, hasil UKG secara tidak langsung berdampak pada jumlah
penerimaan TPG.

Bila memang hasil UKG secara tidak langsung bisa mempengaruhi TPG bagi guru PNS dan Non-PNS,
maka pertanyaannya lanjutannya adalah apakah hasil UKG juga mempengaruhi tingkat
kesejahteraan guru honorer yang tersebar di sekolah di pelosok daerah? Sebagai bekas guru
honorer, penulis melihat bahwa dalam banyak kasus guru honor memiliki performa mengajar yang
tidak kalah lebih baik dari guru PNS ataupun Non-PNS. Terlebih lagi, ada beberapa guru honorer
yang mendapatkan nilai hasil tes kompetensi yang memuaskan. Dan selayaknya, guru honorer yang
berprestasi ini, baik dalam pencapaian UKG maupun bentuk evaluasi lainnya juga mendapat
perhatian dari pemerintah.

Perlu Keadilan

Herri Mulyono – UKG & Nasib Guru Honorer


1
Ketika UKG dan seluruh instrumen evaluasi guru secara masif diberlakukan kepada guru yang
memiliki nomor NPTK dengan dalih pemetaan kompetensi guru, termasuk didalamnya guru honor.
Tak ayal, guru honor ber-NUPTK pun wajib untuk mengikut standar profesionalisme (kompetensi)
yang ditetapkan oleh pemerintah. Kewajiban standarisasi kompetensi tersebut tentunya juga diiringi
dengan pemenuhan ‘hak-hak standar’ bagi guru honor.

Peran guru honor di sekolah-sekolah negeri dan di pelosok daerah tidak dapat diabaikan, bukan
hanya dalam hal kegiatan mengajar tapi juga beragam kegiatan ekstrakurikuler lainnya di sekolah.

Sayangnya, nasib guru honor memang selalu menjadi dilema bagi dunia pendidikan, khususnya bagi
pemerintah. Di satu sisi pemerintah membutuhkan guru-guru yang dapat mengisi pos-pos
pendidikan yang tidak terjangkau oleh pemerintah. Namun disisi lain, isu sensitif terkait status dan
kesejahteraan guru-guru honor selalu menjadi mimpi buruk bagi pemerintah.

Pemerintah perlu menyadari bahwa tidak semua guru honor berambisi untuk menjadi CPNS atau
menuntut hak-hak yang setara dengan PNS. Yang banyak diinginkan sebenarnya adalah perlakuan
manusiawi berupa pemberian status yang jelas dan hak-haknya sebagai guru seperti diatur dalam
undang-undang, salah satunya TPG.

Sayangnya TPG hanya bisa diusulan bila guru berstatus honorer memegang surat keputusan
(pengangkatan) dari Walikota atau Bupati. Dan syarat ini sangat sulit dipenuhi dimana umumnya
guru honor memegang SK hanya dari Kepala Sekolah.

Tanpa adanya kejelasan atas peran, posisi dan tingkat kesejahteraan, maka guru-guru honorer
selamanya akan selalu menuntut untuk diangkat menjadi CPNS dan menjadi masalah yang
berkelanjutan.

Pemberian TPG bagi para honorer memang tidak sertamerta menyelesaikan permasalahan guru
honor dalam dunia pendidikan. Namun, penulis meyakini bahwa pemberian TPG (juga dengan
pemberian sertifikat guru profesional) kepada guru honorer (yang telah memenuhi syarat, seperti
bila hasil UKG mereka memenuhi standar pemerintah) bukan hanya menjadi titik keadilan bagi guru
honor tetapi juga salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna memberikan
keamanan sosial berupa peningkatan kesejahteraan mereka.

Gaji guru honor yang jauh dibawah upah minimum sangat tidak layak diberikan kepada mereka yang
mengemban amanah sebagai pendidik anak bangsa.

Dengan tambahan TPG selain dari maksimal 20% alokasi dana BOS untuk gaji guru honorer tentunya
akan membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga para guru honorer
pun dapat berkonsentrasi penuh dalam menjalankan tugas-tugas profesionalisme mereka sebagai
seorang guru di sekolah masing-masing, terlepas dari status honorer yang melekat pada diri mereka.
Semoga.

*Dosen FKIP UHAMKA Jakarta

Herri Mulyono – UKG & Nasib Guru Honorer


2
Herri Mulyono – UKG & Nasib Guru Honorer
3

Anda mungkin juga menyukai