Anda di halaman 1dari 137

Goosebumps #29

Darah Monster III

(Monster Blood III)

by

R.L. Stine

www.eBuku.us
1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
1

“Darah Monster! Ini berkembang lagi!” Evan Ross menatap


gumpalan hijau bergetar di halaman rumahnya. Benda itu tampak
seperti segumpal besar permen karet lengket hijau, dan lebih besar
dari bola pantai. Lebih besar dari dua bola pantai!

Gumpalan hijau itu bergetar dan berguncang seolah-olah kesulitan


bernapas.

Benda itu membuat suara mengisap menjijikkan. Lalu mulai bergerak


naik turun dengan cepat.

Evan melangkah mundur. Bagaimana benda pekat dan lengket itu


keluar dari kalengnya? ia bertanya-tanya. Siapa yang
meninggalkannya di jalanan masuk?

Siapa yang membuka kaleng itu?

Evan tahu bahwa sekali Darah Monster mulai berkembang, benda itu
tak dapat dihentikan. Ini akan berkembang dan berkembang, dan
menelan segala sesuatu di jalannya.

Evan tahu ini dari pengalaman yang menyakitkan.

Dia telah melihat gumpalan raksasa Darah Monster menelan seluruh


anak-anak. Dan ia telah melihat apa yang terjadi ketika anjingnya,
Trigger, memakan Darah Monster. Anjing cocker spaniel itu

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


berkembang, berkembang dan berkembang sampai dia cukup besar
untuk mengangkat Evan dengan giginya dan menguburnya di
halaman belakang!

Segumpal kecil dari Darah Monster telah merubah Cuddles, hamster


kecil di kelas Evan, jadi monster menggeram yang mengamuk.
Hamster raksasa - lebih besar dari gorila - meraung melalui sekolah,
menghancurkan segala sesuatu di jalannya!

Sampah ini berbahaya, pikir Evan. Ini mungkin benda hijau berlendir
yang paling berbahaya di Bumi!

Jadi bagaimana itu bisa sampai ke jalanan masuk (rumah) Evan?

Dan apa yang akan ia lakukan dengannya?

Darah Monster itu memantul dan cegukan. Benda itu membuat suara
mengisap yang lebih menjijikkan.

Saat benda itu melambung, benda itu menyedot potongan ranting-


ranting kecil dan kerikil dari jalanan masuk. Benda-benda itu terjebak
ke sisinya sejenak, sebelum tersedot ke tengah bola basah raksasa itu.

Evan mundur selangkah lagi saat bola itu perlahan-lahan mulai


bergulir.

“Oh, Tidaaak.” Suatu erangan pelan keluar dari tenggorokannya.


“Tolong. Jangaaan.”

Darah Monster itu berguling di atas jalanan masuk ke arah Evan,


menambah kecepatan saat bergerak. Evan telah melemparkan salah

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


satu sepatu rodanya di samping rumah. Benda hijau pekat dan lengket
itu menelan sepatu roda itu dengan suara Sllruuuuup keras.

Evan menelan ludah saat ia melihat sepatu roda itu menghilang ke


dalam bola memantul hijau itu.

“Aku - aku yang berikutnya!” ia terbata-bata dengan suara keras.

Tak mungkin! katanya pada dirinya sendiri. Aku mau keluar dari sini.

Dia berbalik untuk lari - dan terjatuh menggeletak di atas sepatu roda
lainnya.

“Aduh!” ia menjerit saat ia jatuh keras pada siku dan lututnya. Rasa
nyeri menimpa lengannya. Dia mendarat di kedua tulang lututnya.

Bergoyang-goyang untuk menghilangkan kesemutan, ia buru-buru


berlutut. Dia berbalik pada waktunya untuk melihat benda pekat dan
lengket menggelegak itu berguling di atasnya.

Dia membuka mulutnya untuk menjerit. Tapi jeritan itu terperangkap


di dalam dirinya saat sampah hijau berat menghantam wajahnya.

Kedua tangannya meronta-ronta liar. Kakinya menendang-nendang.

Tapi benda pekat lengket itu meliputinya. Menariknya. Menariknya


masuk

Aku - aku tak bisa bernapas! ia menyadari.

Dan, lalu, semuanya berubah jadi hijau.

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


2

“Evan - berhentilah melamun dan makan Jell-O-mu ,” omel Nyonya


Ross.

(Jell-O: kue/makanan pencuci mulut dari agar-agar buah, tepung beras


dan pastei susu, diperkenalkan oleh Kraft Food tahun 1845)

Evan menggelengkan kepalanya keras-keras. Lamunan itu terasa


begitu nyata.

Suara ibunya terdengar masih jauh.

“Evan -Cepatlah. Makan Jell-O itu. Kau akan terlambat.”

“Eh.. Ibu....” kata Evan pelan. “Bisakah Anda memberiku bantuan


yang sangat besar?”

“Bantuan apa?” tanya ibunya dengan sabar, mendorong rambut lurus


pirangnya ke belakang jadi ekor kuda.

“Bisakah kita tak usah membeli Jell-O hijau lagi? Bisakah Anda
membeli warna lain saja? Bukan yang hijau?”

Dia menatap gundukan Jell-O hijau berkilauan yang bergetar dalam


mangkuk gelas di depannya di meja dapur.

“Evan, kau aneh,” jawab Mrs Ross, memutar matanya. “Cepatlah.


Kermit mungkin bertanya-tanya di mana kau berada.”

5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Kermit mungkin sibuk meledakkan rumahnya,” jawab Evan murung.
Dia menarik sesendok Jell-O. Hal itu membuat suara mengisap kotor.

“Semua alasan bagimu untuk terburu-buru ada di sana,” kata ibunya


dengan tajam. “Kau bertanggung jawab padanya, Evan. Kau
bertanggung jawab atas sepupumu sampai ibunya pulang dari kerja.”

Evan mendorong hijau Jell-O menjauh.

“Aku tak bisa makan ini,” gumamnya. “Itu membuatku berpikir akan
Darah Monster.”

Mrs Ross membuat wajah jijik. “Jangan sebut benda berlendir itu.”

Evan turun dari bangku. Mrs Ross mendorongkan satu tangan dengan
lembut ke rambut keriting Evan yang berwarna wortel. “Ini bagus
bagimu untuk keluar membantu,” katanya lembut. “Bibi Dee benar-
benar tak bisa menyewa pengasuh anak.”

“Kermit tak butuh pengasuh anak. Dia perlu penjaga!” gerutu Evan.
“Atau mungkin pelatih. Seorang pria dengan cambuk dan kursi.
Seperti di sirkus.”

“Kermit merasa kagum padamu,” desak Mrs Ross.

“Hanya karena dia setinggi dua kaki!” seru Evan. “Aku tak percaya
dia sepupuku. Dia benar-benar kutu buku.”

“Kermit bukan kutu buku. Kermit jenius!” kata Mrs Ross. “Dia baru
delapan tahun, dan dia sudah jadi seorang ilmuwan jenius.”

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Agak jenius,” gerutu Evan. “Bu, kemarin dia melelehkan sepatuku.”

Mata biru pucat Mrs Ross melebar. “Dia apa?”

“Dia membuat salah satu ramuannya. Ramuan itu cairan kuning


cerah. Dia mengatakan akan menguatkan sepatu kets sehingga tak
akan pernah aus.”

“Dan kau biarkan dia menuangkan benda itu di sepatumu?” tuntut Ibu
Evan.

“Aku tak punya pilihan,” jawab Evan sedih. “Aku harus melakukan
semua yang Kermit inginkan. Jika aku tak mau, ia memberitahu Bibi
Dee bahwa aku berlaku kejam padanya.”

Mrs Ross menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bertanya-tanya


mengapa kau pulang bertelanjang kaki kemarin.”

“Sepatuku masih melekat di lantai ruang bawah tanah Kermit,” kata


Evan pada ibunya. “Sepatu langsung meleleh dari kakiku.”

“Yah, hati-hati di sana, oke?”

“Ya. Tentu,” jawab Evan. Ia menarik topi Atlanta Braves-nya di atas


kepalanya, melambaikan tangan kepada ibunya, dan berjalan keluar
dari pintu belakang.

Ini adalah hari musim semi yang hangat. Dua kupu-kupu Monarch
hitam dan kuning beterbangan ke taman bunga. Daun-daun baru yang
cerah di pepohonan berkilauan di bawah sinar matahari.

7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


(Kupu-kupu Monarch: kupu-kupu berukuran besar, yang sayapnya
berwarna dasar oranye bergaris hitam, biasanya terdapat di Amerika
Utara)

Evan berhenti di bagian bawah jalanan masuk dan menurunkan topi


bisbol untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia memicingkan
mata ke jalan, berharap untuk melihat temannya Andy.

Tak ada tanda-tanda keberadaannya.

Kecewa, dia menendang batu kerikil besar di sepanjang trotoar dan


mulai berjalan menuju ke rumah Kermit. Bibi Dee, ibu Kermit itu,
membayar Evan tiga dolar perjam untuk mengawasi Kermit sepulang
sekolah setiap sore. Tiga ratus dolar perjam akan jauh lebih adil!
pikirnya dengan marah.

Tapi Evan senang bisa dapat uang. Ia menabung untuk membeli


Walkman baru.

Trigger salah mengira Walkman tuanya sebagai tulang anjing.

(Walkman: pemutar audio dan video portable, pertama kali dirilis


pada tahun 1979 di Jepang oleh Sony)

Tapi Evan telah mendapatkan gaji setiap sen. Kermit itu mustahil.
Itulah satusatunya kata untuknya. Mustahil.

Dia tak ingin bermain video game. Dia tak ingin menonton TV. Dia
menolak untuk pergi keluar dan bermain bola atau melempar Frisbee.

8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Dia bahkan tak ingin menyelinap ke toko kecil di pojokan dan
mengisi batang-batang permen dan keripik kentang.

Yang dia ingin lakukan adalah tinggal di lantai bawah dalam


laboratorium gelapnya di ruang bawah tanah yang lembab dan
mencampur gelas-gelas kimia bersama-sama.

“Percobaanku,” dia menyebutnya. “Aku harus melakukan


percobaanku.”

Mungkin dia seorang jenius, pikir Evan pahit. Tapi itu tak
membuatnya menyenangkan. Dia benar-benar tak mungkin.

Evan pastinya tak menikmati pekerjaan pengawas anak sepulang


sekolahnya duduk mengawasi Kermit. Bahkan, dia beberapa kali
membayangkan di mana Kermit mencoba salah satu campuran itu
sendiri dan meleleh ke lantai bawah tanah, persis seperti sepatu Evan.

Beberapa sore (yang lalu), Andy datang bersama, dan yang membuat
pekerjaan itu sedikit lebih ringan. Andy juga berpikir Kermit itu
benar-benar aneh. Tapi setidaknya saat ia berada di sana, Evan ada
orang yang diajak bicara, seseorang yang tak ingin bicara tentang
mencampur aluminium pyrite dengan sodium chlorobenzadrate.

(pyrite: mineral (sufida besi) yang berwarna kuning pucat, sodium:


natrium, logam reaktif yang lunak, keperakan, seperti lilin, yang
termasuk ke logam alkali yang banyak terdapat dalam senyawa alam.
chlorobenzadrate: pestisida untuk tengu yang merupakan sisa dari
tomat, biasanya berwarna kuning pucat dan kadang coklat)

9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Apa masalah Kermit itu, sih? Evan bertanya-tanya saat ia
menyeberangi jalan dan berjalan melewati halaman belakang menuju
rumah Kermit. Mengapa ia pikir mencampur itu sangat
menyenangkan? Mengapa dia selalu mencampur ini dengan itu dan
itu dengan ini?

Aku bahkan tak bisa mencampur susu cokelat!

Rumah Kermit tampak dalam pandangan dua kaki ke bawah. Itu


adalah rumah putih berlantai dua dengan atap hitam miring.

Evan mempercepat langkahnya. Dia kira-kira terlambat lima belas


menit. Dia berharap Kermit tak berada dalam suatu masalah.

Dia baru saja mendorong jalannya melalui pagar rendah berduri yang
memagari halaman Kermit ketika suara serak yang dikenalinya
membuatnya membeku.

“Evan - apa yang kau lihat di halamanku?”

“Hah?” Evan langsung mengenali suara itu. Itu tetangga sebelah


rumah Kermit, seorang anak dari sekolah Evan.

Namanya Conan Barber. Tapi anak-anak di sekolah semua


memanggilnya Conan the Barbarian. Itu karena ia telah menjadi anak
terbesar paling keji di Atlanta.

Mungkin di alam semesta.

Conan duduk di atas pagar putih tinggi yang memisahkan halaman.


Mata biru dinginnya memelototi Evan.

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa yang kau lihat di halamanku?” tuntut Conan.

“Tak mungkin!” Suara Evan keluar berdecit.

“Kau melihat di halamanku. Ini pelanggaran,” tuduh Conan. Dia


melompat turun dari pagar tinggi itu. Dia besar dan sangat atletis.
Hobinya melompati anak-anak yang baru saja dia pukul di tanah.

Conan memakai kemeja abu-abu berotot dan longgar, celana jins


pudar. Ekspresinya juga sangat jahat.

“Wah. Tunggu sebentar, Conan!” protes Evan. “Aku melihat di


halaman Kermit, aku tak pernah melihat di halamanmu. Takkan
pernah!”

Conan melangkah ke arah Evan. Dia mendorongkan dadanya dan


menabrak Evan dengan keras, begitu keras sehingga ia tersandung
mundur.

Itu adalah hobi Conan lainnya. Menabrak anak-anak dengan dadanya.


Dadanya tak terasa seperti dada. Rasanya seperti truk.

“Mengapa kau tak melihat halamanku?” tuntut Conan. “Apa ada yang
salah dengan halamanku? Apa halamanku terlalu jelek? Apa itu
sebabnya kau tak pernah melihatnya?”

Evan menelan ludah. Ini mulai jadi permulaan baginya bahwa


mungkin Conan sudah gatal untuk berkelahi.

Sebelum dia bisa menjawab Conan, ia mendengar suara parau


menjawab baginya.

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ini negara bebas, Conan!”

“Oh, Tidaaak,” erang Evan, menutup matanya.

Sepupu Evan, Kermit, melangkah keluar dari belakang Evan. Dia


kecil dan kurus.

Seorang anak yang sangat pucat dengan lapisan rambut pirang putih,
dan mata hitam bundar di belakang kacamata merah besar berbingkai
plastik. Evan selalu berpikir sepupunya tampak seperti tikus putih
yang memakai kacamata.

Kermit memakai celana pendek merah besar yang turun hampir ke


pergelangan kakinya, dan kaos Braves merah-dan-hitam. Lengan-
lengan pendek menjuntai melewati siku lengannya yang kurus.

“Apa katamu?” tuntut Conan, melotot mengancam pada Kermit.

“Ini negara bebas!” ulang Kermit nyaring. “Evan bisa melihat setiap
halaman yang ia inginkan!”

Conan mengeluarkan geraman marah. Saat ia berjalan terhuyung-


huyung ke depan untuk memukul wajah Evan jadi kentang tumbuk,
Evan berpaling kepada Kermit.

“Terima kasih banyak,” katanya kepada sepupunya. “Terima kasih


untuk semua bantuanmu.”

“Kau ingin hidungmu miring ke arah mana?” tanya Conan pada Evan.
“Ke kanan atau ke kiri?”

12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
3

“Jangan lakukan itu!” jerit Kermit dengan suara parau tikusnya.

Conan mengangkat satu kepalan tinju yang besar. Dengan tangan


yang lain, ia meraih bagian depan kaos Evan. Dia memelototi Kermit.

“Mengapa tidak?” geramnya.

“Karena aku punya ini!” kata Kermit.

“Hah?” Conan melepaskan kemeja Evan. Dia menatap gelas kimia


yang Kermit angkat dengan kedua tangannya. Gelas itu setengah
penuh dengan cairan biru gelap.

Conan mendesah dan menyapukan tangan gemuk kebelakang melalui


rambutnya pirang bergelombang. Mata birunya menyipit di Kermit.
“Apa itu? Susu formula bayimu?”

“Ha-ha,” jawab Kermit sinis.

Jika Kermit tak diam, kami berdua akan mendapatkan pukulan! Evan
menyadari. Apa yang makhluk kecil ini coba lakukan?

Evan menarik-narik lengan Kermit, mencoba menariknya menjauh


dari Conan. Tapi Kermit mengabaikannya. Dia mengangkat gelas itu
dekat ke wajah Conan.

“Ini adalah Campuran Gaib,” kata Kermit. “Jika aku menuangkan


padamu, kau akan menghilang.”
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kami berdua harus menghilang! Pikir Evan panik. Dia membiarkan
matanya bergerak cepat ke halaman belakang. Mungkin aku bisa
berhasil melalui pagar itu bahwa sebelum Conan menyambarku,
pikirnya. Jika aku bisa berkeliling ke rumah berikutnya dan turun ke
jalan, aku bisa melarikan diri.

Tapi apa hal ini benar untuk meninggalkan Kermit kecil itu pada belas
kasihan Conan?

Evan mendesah. Dia tak bisa meninggalkan sepupunya seperti itu.


Meskipun Kermit pasti meminta untuk itu.

“Kau akan membuatku lenyap dengan benda itu?”tanya Conan pada


Kermit dengan sinis.

Kermit mengangguk. “Jika aku menuangkan beberapa tetes padamu,


kau akan menghilang. Sungguh. Aku mencampurnya sendiri. Ini
bekerja. Ini campuran dari Teflon dioxinate dan parasulfidine
magnesium.”

(teflon: senyawa polimer yang memiliki koefisien gesek terendah.


Digunakan sebagai pelapis anti lengket untuk panci dan peralatan
masak lainnya, Dioxtine; bahan pemutih dalam pembuatan kertas,
popok, pembalut dan yang lainnya.

Parasulfidine: senyawa an orgarnik. Magnesium: logam yang ringan,


putih keperak-perakan dan cukup kuat)

“Ya. Tentu” Gumam Conan. Dia menatap cairan dalam gelas itu.
“Apa yang membuatnya biru?”
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Pewarna makanan,” jawab Kermit. Lalu ia menurunkan suara
melengkingnya, mencoba terdengar jantan. “Sebaiknya kau pulang
sekarang, Conan. Aku tak mau harus menggunakan barang ini.”

Oh, wow! Pikir Evan, menarik topi Braves menuruni wajahnya. Aku
tak tahan untuk menonton ini. Ini menyedihkan. Benar-benar
menyedihkan. Kermit benarbenar brengsek.

“Silakan. Coba saja,” Evan mendengar Conan berkata.

Evan mengangkat topi sehingga ia bisa melihat. “Eh... Kermit...


Mungkin kita harus ke rumah sekarang,” bisiknya.

“Silakan. Buatlah aku menghilang,” tantang Conan.

“Kau benar-benar ingin aku melakukannya?” tuntut Kermit.

“Ya,” jawab Conan. “Aku ingin tak terlihat. Silakan, Kermit.


Tuangkan itu padaku. Buatlah aku menghilang. Aku menantangmu.”

Kermit mengangkat gelas di atas kemeja abu-abu yang menutupi otot


dada yang luas Conan.

“Kermit - jangan!” Evan memohon. “Jangan! Tolong jangan!”


Dengan panik Evan meraih gelas kimia itu.

Terlambat.

Kermit membalik gelas itu di atas dan membiarkan cairan biru tebal
itu tertuang ke bagian depan kaos Conan.

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
4

Dari sudut matanya, Evan melihat kupu-kupu Monarch berkibar di


atas pagar rendah itu. Aku harap aku ini kupu-kupu, pikirnya. Aku
berharap bisa mengepakkan sayap dan melayang menjauh.

Menjauh dari sini sebisaku!

Cairan biru mengalir ke bagian depan kaos berotot Conan. Ketiga


anak laki-laki menatapnya tak bersuara.

“Yah, aku tak menghilang?” Gumam Conan, menyipitkan mata curiga


pada Kermit.

Lalu kemejanya mulai menyusut.

“Hei -!” Conan berteriak marah. Dia berusaha melepas kaos menyusut
itu. Kaos itu mengecil dan mengecil.

“Kaos - kaos ini mencekikku!” jerit Conan.

“Wow!” Kermit melengking, matanya yang hitam bersinar penuh


semangat di balik kacamatanya. “Ini keren!”

Evan menatap dengan takjub saat kaos berotot itu menyusut jadi
secarik kecil kain.

Dan kemudian lenyap sepenuhnya.

Sekarang Conan berdiri di depan mereka bertelanjang dada.

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kesunyian yang mencekam jatuh di halaman belakang. Mereka
bertiga menatap dada luas Conan yang telanjang untuk beberapa saat.

Conan memecahkan kesunyian.

“Itu kaos berotot terbaikku,” katanya pada Evan dengan gigi terkatup.

“Uh-oh,” kata Evan.

®RatuBuku

“Aku suka hidungmu seperti itu,” kata Andy pada Evan. “Ini agak
miring di kedua arah sekaligus.”

“Kupikir akan kembali ke asalnya,” jawab Evan, menepuk pelan


hidungnya.

“Setidaknya rasa sakitnya berkurang banyak.” Desahnya. “Semua


luka dan memar akan lenyap juga. Pada waktunya.”

Itu adalah dua hari berikutnya. Evan duduk di seberang Andy di ruang
makan di sekolah. Dia menatap sedih pada sandwich ikan tuna yang
ibunya kemas untuknya.

Ia tak menggigitnya. Mulutnya belum bekerja dengan benar. Terus


bergerak menyamping, bukan atas dan ke bawah.

Andy menyeka sepotong salad telur dari pipinya. Dia berambut


cokelat pendek dan mata cokelat besar yang menatap ke seberang
meja pada Evan.

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy tak berpakaian seperti kebanyakan anak lain di kelas enam
kelas mereka. Dia menyukai warna-warna cerah. Warna-warna yang
benar-benar cerah.

Hari ini ia mengenakan rompi kuning di atas kaos magenta dan celan
pendek DayGlo oranye.

Ketika Andy pindah ke Atlanta pada awal tahun sekolah, beberapa


anak mengolokolok pakaian warna-warninya. Tapi mereka tak lagi
(mengolok-ngoloknya).

Sekarang semua orang setuju bahwa Andy punya gaya (sendiri). Dan
beberapa anak bahkan meniru tatapan matanya.

“Jadi apa yang terjadi setelah Conan the Barbarian memukuli


tubuhmu jadi kubis?” tanya Andy. Ia menarik segenggam keripik
kentang dari kantongnya dan mendorongnya satu per satu ke dalam
mulutnya.

Evan mengggigit beberapa kali dari potongan sandwich tuna ikannya.


Butuh waktu lama baginya untuk menelan.

“Conan membuatku berjanji tak akan melihat halaman rumahnya


lagi,” katanya kepada Andy. “Aku harus mengangkat tangan kananku
dan bersumpah. Lalu ia pulang ke rumah.”

Evan mendesah. Dia menyentuh lagi hidungnya yang sakit. “Setelah


Conan pergi, Kermit membantuku yang berjalan pincang ke
rumahnya,” lanjut Evan. “Beberapa saat kemudian, Bibi Dee pulang.”

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Lalu apa yang terjadi?” tanya Andy, mengerutkan kantong keripik
kentang yang kosong itu.

“Dia melihatku kacau,” jawab Evan. “Jadi dia bertanya apa yang
terjadi.”

Evan menggeleng dan merengut. “Dan sebelum aku bisa mengatakan


apa-apa, tikus kecil Kermit itu mengeluarkan jeritan melengking dan
berkata, 'Evan terlibat perkelahian dengan Conan.” “

“Oh, wow,” gumam Andy.

“Dan Bibi Dee berkata,” Yah, Evan, jika kau cuma terlibat dalam
perkelahian bukannya mengurus Kermit, aku harus berbicara dengan
ibumu tentang dirimu. Mungkin kau tidak cukup dewasa untuk
pekerjaan ini.”

“Oh, wow,” ulang Andy.

“Dan semuanya kesalahan si Kermit itu!” teriak Evan, memukulkan


tinjunya begitu keras di atas meja hingga kotak susunya terbalik. Susu
tumpah di atas meja, ke bagian depan celana jinsnya.

Evan begitu marah, dia bahkan tak bergerak menjauh.

“Dan kau tahu hal terburuk?” tuntut Evan. “Hal terburuk?”

“Apa?” tanya Andy.

“Kermit melakukannya dengan sengaja. Dia tahu apa reaksi campuran


biru itu. Dia tahu cairan itu akan menyusutkan kaos Conan. Kermit

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
ingin aku untuk dipukul Conan. Dia melakukan semua hal untuk
membuatku mendapat kesulitan dengan Conan.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Andy.

“Senyum itu,” kata Evan padanya.

“Hah? Senyum apa?”

“Senyum di wajah Kermit. Kau tahu senyum kecil bengkoknya di


mana dua gigi depannya menonjol? Itulah senyumnya ketika dia
membantuku kembali ke rumah.”

Andy berdesas-desus.

Evan menyelesaikan potongan sandwich ikan tuna. “Cuma itu yang


bisa kau katakan?” bentaknya.

“Apa yang bisa kukatakan?” jawab Andy. “Sepupumu, Kermit,


pesolek kecil yang aneh. Kupikir kau harus memberinya pelajaran.
Balas dia.”

“Hah?” Evan melongo. “Bagaimana aku melakukannya?”

Andy mengangkat bahu. “Aku tak tahu Mungkin kau bisa.... Eh...”

Matanya yang gelap tiba-tiba berkedip gembira. “Aku tahu! Apa dia
tak makan makanan ringan sepulang sekolah setiap hari? Kau bisa
menyelipkan beberapa Darah Monster ke dalam makanannya.”

Evan menelan ludah dan melompat berdiri. “Hei - Tak akan! Tak
akan, Andy!” teriaknya.

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Beberapa anak-anak berbalik untuk menatap Evan, terkejut oleh
teriakannya yang nyaring.

“Jangan pernah pikirkan itu!” teriak Evan, mengabaikan tatapan-


tatapan itu.

“Jangan Pernah Darah Monster!. Aku tak pernah ingin mendengar


kata-kata itu lagi!”

“Oke, oke!” teriak Andy. Dia mengangkat kedua tangan, seolah-olah


untuk melindungi dirinya dari Evan.

“Omong-omong,” kata Evan, sedikit lebih tenang, “Di mana Darah


Monster itu? Kau sembunyikan dimana? Kau tak mengambilnya
kan?”

“Yah...” jawab Andy, menurunkan matanya. Seringai iblis menyebar


di seluruh wajahnya. “Aku menaruhnya sedikit dalam sandwich ikan
tuna yang baru saja kau makan.”

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
5

Evan menjerit begitu keras, hal itu membuat dua anak jatuh dari kursi
mereka. Dua anak lainnya menjatuhkan nampan makan siang mereka.

Matanya melotot dan suaranya naik tinggi melebihi peluit guru


olahraga itu.

“Kau - kau - kau -!” ia tergagap, menyambar tenggorokannya.

Andy tertawa. Dia menunjuk kursi Evan. “Evan, duduklah. Aku cuma
bercanda.”

“Hah?”

“Kau dengar,” kata Andy. “Itu lelucon. Darah Monster ada di rumah,
aman dan terkunci.”

Evan menghela napas panjang. Dia merosot kembali ke kursi. Dia tak
peduli bahwa ia sedang duduk dalam susu yang telah
ditumpahkannya. “Annndrea,” katanya tak senang, memperpanjang
kata. “Annnndrea, itu tak lucu.”

“Tentu itu lucu,” Andy bersikeras. “Dan jangan panggil aku Andrea.
Kau tahu aku benci nama itu.”

“Andrea. Andrea. Andrea,” ulang Evan, membalas dendam untuk


lelucon buruk Andrea. Dia menyipitkan matanya keras padanya.

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kaleng baru Darah Monster yang dikirim orang tuamu dari Eropa -
itu benar-benar jauh tersembunyi?”

Andy mengangguk. “Di atas rak lemari di ruang bawah tanah. Di


jalanan belakang,” katanya. “Kaleng itu tertutup rapat. Benda itu tak
mungkin bisa keluar.”

Evan menatap tajam ke arah Andy, mengamati wajahnya.

“Jangan menatapku seperti itu!” teriak Andy. Dia mengepalkan kertas


timah sandwich dan melemparkannya ke Evan. “Aku mengatakan
yang sebenarnya. Darah Monster itu benar-benar tersembunyi. Kau
tak perlu khawatir tentang hal itu.”

Evan (jadi) santai. Dia menarik Fruit Roll-Up dari kantong makan
siangnya dan mulai membukanya. “Kau berutang padaku sekarang,”
katanya pelan.

(Fruit Roll-up: makanan ringan rasa buah, bentuknya kotak persegi


panjang tipis yang bisa digulung.)

“Maaf?”

“Kau berutang padaku karena memainkan lelucon bodoh itu,” kata


Evan.

“Oh, ya? Apa yang harus kulakukan?” tuntut Andy.

“Pergilah denganku sepulang sekolah. Ke rumah Kermit,” kata Evan.

Andy membuat wajah jijik.

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tolonglah,” tambah Evan.

“Oke,” katanya. “Kermit tak terlalu buruk saat aku di sana.”

Evan mengangkat Fruit Roll-Up lengket. “Mau ini? Aku memohon


ibuku untuk tak membeli yang berwarna hijau!”

®RatuBuku

Setelah sekolah, Evan dan Andy berjalan bersama ke rumah Kermit


itu. Ini adalah hari kelabu, terancam hujan. Udara terasa berat dan
basah, selembab musim panas.

Evan memimpin jalan di seberang jalan. Dia mulai memotong (jalan)


melalui halaman belakang - tapi berhenti.

“Ayo kita pergi ke jalan depan,” perintahnya. “Conan mungkin


nongkrong di belakang. Menunggu untuk kita.”

“Jangan katakan kita” gumam Andy. Dia memindahkan ranselnya ke


bahu yang lain. Dia menggaruk lengannya. “Aduh. Lihat ini.”

Evan menurunkan matanya ke benjolan merah besar di lengan kanan


Andy. “Apa itu? Gigitan nyamuk?”

Andy menggaruknya lagi. “Kurasa begitu. Ini gatalnya bukan main.”

“Kau tak seharusnya menggaruknya,” kata Evan padanya.

“Trim's, Dok,” jawabnya sinis. Dia menggaruk bahkan lebih keras


untuk mengganggunya.
24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hujan gerimis turun saat mereka berjalan di jalan masuk rumah
Kermit. Evan membuka pintu depan dan melangkah ke ruang tamu.
“Kermit - kau di sini?”

Tak ada jawaban. Bau asam menyerang hidung Evan. Dia menekan-
kan jari-jarinya di atas hidungnya. “Iih. Apa kau mencium bau itu?”

Andy mengangguk, wajahnya berkerut jijik. “Kupikir itu berasal dari


ruang bawah tanah.”

“Pasti itu,” gumam Evan. “Kermit pasti sudah di lab.”

“Kermit ? Hai - Kermit, apa yang kau lakukan di sana?” seru Evan.

Memegangi hidung mereka, mereka berjalan cepat menuruni tangga.


Ruang bawah tanah dibagi menjadi dua kamar. Yang kanan berdiri
ruang cuci dan tungku perapian, yang kiri ruang rekreasi dengan
laboratorium Kermit yang didirikan di sepanjang dinding belakang.

Evan bergegas melintasi lantai keramik ke laboratorium. Dia melihat


Kermit dibelakang meja lab, beberapa gelas kimia dengan cairan-
cairan berwarna di depannya. “Kermit - bau apa yang menjijikkan
itu?” tuntutnya.

Saat Evan dan Andy berlari ke meja lab, Kermit menuangkan cairan
kuning ke cairan hijau. “Uh-oh!” teriaknya, menatap campuran yang
menggelegak itu. Dari balik kacamatanya, matanya terbelalak ngeri.

“Lari!” Kermit menjerit. “Cepat Keluar!! Ini akan MELEDAK!”

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
6

Cairan itu berputar-putar dan menggelegak.

Kermit merunduk di bawah meja laboratorium.

Dengan jeritan ngeri, Evan berbalik. Meraih tangan Andy. Mulai


menariknya ke tangga. Tapi dia cuma beberapa langkah ketika ia
tersandung Dogface, anjing gembala besar Kermit.

“Ooh!” Evan merasakan angin menghantamnya saat dia jatuh dan


mendarat di atas anjing tertelungkup di lantai ubin. Dia terkesiap.
Berusaha untuk menelan semulut udara penuh.

Ruangan itu miring dan bergoyang.

“Ini akan MELEDAK!” peringatan nyaring Kermit berdering di


telinga Evan.

Dia akhirnya berhasil mengambil napas dalam-dalam. Bangkit dengan


satu lutut. Berputar kembali ke meja laboratorium. Dan melihat Andy
berdiri dengan tenang di tengah ruang rekreasi, tangannya di
pinggangnya.

“Andy - itu akan MELEDAK!” Evan tercekat.

Dia memutar matanya.

“Evan, benar-benar,” gumamnya, sambil menggeleng-gelengkan


kepalanya. “Apa kau benar-benar tertipu?”
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hah?” Evan menatap melalui Andy ke meja kaca panjang.

Kermit telah berdiri kembali. Dia bersandar dengan kedua siku di atas
meja. Dan wajahnya tersenyum. Senyum itu.

Senyuman terpelintir dengan dua gigi depan yang mencuat.


Senyuman yang lebih Evan benci dari senyuman lain di dunia.

“Ya, Evan,” ulang Kermit, meniru Andy, “kau benar-benar tertipu


akan itu?”

Dia meledak tertawa dalam (tawa) memekik-tingginya yang terdengar


seperti babi yang terjebak dalam pagar.

Evan berdiri, bergumam pelan. Dogface cegukan. Lidah anjing itu


terjulur keluar, dan ia mulai terengah-engah keras. Evan berpaling
kepada Andy. “Aku tak benar-benar tertipu hal itu,” tegasnya. “Aku
tahu itu salah satu dari lelucon bodoh Kermit, aku hanya
memperlihatkan apakah kau percaya.”

“Pastinya.” Andy memutar matanya lagi. Dia melakukan banyak


memutar mata sore ini, Evan sadar.

Evan dan Andy melangkah ke meja. Meja itu penuh dengan botol-
botol, tabungtabung kaca, gelas-gelas kimia dan toples-toples -
semuanya penuh dengan cairan berwarna.

Pada dinding di belakang meja berdiri rak buku yang tinggi. Rak-rak
itu juga penuh dengan botol dan toples dengan cairan dan bahan
kimia. Campuran Kermit.

27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku hanya terlambat beberapa menit sampai di sini,” kata Evan pada
Kermit.

“Mulai sekarang, jangan lakukan apa-apa. Tunggu saja aku.” Dia


mengendusendus udara. “Bau apa ini benar-benar kotor?”

Kermit menyeringai ke arahnya. “Aku tak menyadarinya sampai


kalian datang!” candanya.

Evan tak tertawa. “Yang benar saja,” gumamnya.

Andy menggaruk gigitan nyamuknya. “Ya. Tak ada lelucon lagi hari
ini, Kermit.”

Anjing gembala besar itu cegukan lagi. “Aku mencampur sesuatu


untuk menyembuhkan cegukan Dogface itu,” Kermit mengumumkan.

“Oh, tidak!” jawab Evan tajam. “Tak mungkin! Aku tak bisa
membiarkanmu memberikan anjingmu salah satu campuranmu untuk
diminum!”

“Ini obat cegukan yang sangat sederhana,” kata Kermit, menuangkan


cairan biru ke dalam cairan hijau. “Ini hanya maglesium harposyrate
dan polythorbital ribotussal Dengan sedikit gula agar terasa manis.”

(maglesium harposyrate dan ribotussal polythorbital: substansi ilmiah


fantastik khayalan pengarang)

“Tidak,” desak Evan. “Kau tak akan memberikan apa pun pada
Dogface untuk minum kecuali air. Itu terlalu berbahaya.”

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit tak mengacuhkannya dan terus mencampur bahan kimia dari
satu gelas kaca ke yang lain. Dia melirik Andy. “Apa yang salah
dengan lenganmu?”

“Ini gigitan nyamuk yang benar-benar besar,” kata Andy kepadanya.


“Ini gatal bukan main.”

“Coba kulihat,” desak Kermit.

Andy menatapnya curiga. “Kenapa?”

Kermit meraih tangan Andy dan menariknya lebih dekat. “Coba


kulihat,” tegasnya.

“Ini cuma gigitan nyamuk,” kata Andy.

“Aku punya sedikit sisa campuran biru menyusut,” mengumumkan


Kermit. “Benda yang kugunakan untuk menyusutkan kemeja Conan.”

“Jangan ingatkan aku,” erang Evan.

“Itu akan mengecilkan gigitan nyamukmu,” kata Kermit pada Andy.


Dia mengambil gelas kimia.

“Kau akan menuangkan benda itu di lenganku?” teriak Andy. “Aku


tak berpikir begitu!”Dia mencoba untuk melangkah pergi.

Tapi Kermit menyambar lengan Andy. Dan menuangkannya. Cairan


biru itu menyebar di gigitan nyamuk.

“Tidak! Oh, tidak!” jerit Andy.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
7

“Lenganku!” jerit Andy. “Apa yang kau lakukan padaku?”

Evan meluncur ke meja lab, hampir tersandung anjing itu lagi. Dia
meraih lengan Andy dan memeriksanya. “Itu - itu -” dia tergagap.

“Hilang!” teriak Andy. “Gigitan nyamuk itu - itu hilang!”

Evan menatap lengan Andy. Halus sempurna, kecuali beberapa


tetesan cairan biru.

“Kermit - kau jenius!” teriak Andy. “Campuran menyusutmu itu


menghilangkan bekas gigitan nyamuk!”

“Sudah kubilang,” jawab Kermit, tersenyum gembira.

“Kau bisa dapat keuntungan!” seru Andy. “Apa kau tak sadar apa
yang telah kau lakukan? Kau telah menemukan obat gigitan nyamuk
terbaik yang pernah ada!”

Kermit mengangkat gelas kimia. Dia memiringkan ke satu arah, lalu


ke arah lain.

“Tak banyak yang tersisa,” katanya pelan.

“Tapi kau bisa mencampurnya lagi - bukan?” tuntut Andy.

Kermit mengerutkan kening. “Aku tak yakin,” katanya pelan. “Kurasa


aku bisa mencampur formula baru. Tapi aku tak yakin. Aku tak

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menulis apa yang kumasukkan di dalamnya.” Dia menggaruk rambut
pirang putih dan menatap gelas kimia kosong itu, hidungnya
bergerak-gerak seperti tikus yang berpikir keras.

Dogface mengeluarkan cegukan keras lainnya. Cegukan itu diikuti


lolongan. Evan melihat bahwa anjing malang menjadi sangat tidak
senang akan cegukan. Dogface adalah seekor anjing besar - dan jadi
ia punya cegukan besar yang mengguncangkan tubuh anjing
gembalanya seperti gempa bumi.

“Lebih baik aku bekerja untuk obat cegukan,” Kermit


mengumumkan. Dia menarik beberapa toples bahan kimia dari rak
dan mulai membukanya.

“Wah. Tunggu sebentar.” Kata Evan padanya. “Sudah kubilang,


Kermit - aku tak bisa membiarkanmu memberi makan apa pun untuk
anjing itu. Bibi Dee akan membunuhku jika -.”

“Oh, biar dia coba!” sela Andy. Dia menggosok lengan halusnya.
“Kermit itu orang jenius, Evan. Kau harus biarkan orang jenius
berkarya.”

Evan memelototinya. “Kau dipihak siapa?” tuntutnya dengan berbisik


keras.

Andy tak menjawab. Dia membuka ritsleting tas oranye dan birunya
dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. “Kupikir aku akan
mengerjakan PR matematikaku sementara Kermit mencampur atas
penyembuh cegukannya.”

31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mata Kermit berbinar-binar penuh semangat di balik kacamatanya.
“Matematika? Apa kau punya masalah matematika?”

Andy mengangguk. “Ini untuk dibawa pulang ujian persamaan.


Sangat sulit.”

Kermit meletakkan tabung-tabung tes dan gelas-gelas kimia. Ia


bergegas keluar dari balik meja laboratorium. “Bolehkah aku
mengerjakan soal-soal itu untukmu, Andy?” tanyanya penuh
semangat. “Kau tahu aku suka mengerjakan soal matematika.”

Andy berkedip pada Evan dengan kedipan cepat. Evan mengerutkan


kening ke arahnya. Dia menggelengkan kepalanya.

Jadi itulah sebabnya Andy begitu baik pada Kermit! Kata Evan pada
dirinya sendiri. Itu semua tipuan. Tipuan untuk membuat Kermit agar
mengerjakan tes matematika untuknya.

Kermit tak pernah bisa menolak soal matematika. Orangtuanya harus


membelikan tumpukan dan tumpukan buku latihan matematika. Dia
bisa menghabiskan seluruh sore mengerjakan semua soal-soal dalam
buku latihan itu - untuk bersenangsenang!

Dogface cegukan. Kermit meraih soal matematika dari tangan Andy.


“Tolong biarkan aku mengerjakan persamaan-persamaan itu,”
pintanya. “Tolong ya?”

“Yah... Baiklah,” kata Andy. Dia berkedip pada Evan dengan kedipan
lainnya.

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan cemberut ke arahnya. Andy akan dapat kesulitan untuk ini,
pikirnya. Andy itu siswa matematika yang mengerikan. Ini mata
pelajarannya yang terburuk. Mrs McGrady akan jadi sangat curiga
ketika Andy menjawab semua soal dengan benar.

Namun Evan tak berkata apa-apa. Apa gunanya?

Kermit sudah menulis jawaban-jawaban di halaman, memecahkan


persamaanpersamaan itu secepat dia membacanya. Matanya menari-
nari liar. Dia terengahengah. Dan wajahnya tersenyum bahagia.

“Semua selesai,” katanya.

Wow, dia cepat! Pikir Evan. Dia menyelesaikan ujian matematika itu
dalam waktu aku akan menulis namaku di bagian atas halaman!

Kermit menyerahkan pensil dan halaman matematika kembali ke


Andy. “Trim's,” katanya. “Aku benar-benar butuh nilai matematika
yang baik dalam masa ini.”

“Penipu,” bisik Evan di telinga Andy.

“Aku cuma melakukannya untuk Kermit,” bisik Andy kembali. “Dia


senang mengerjakan soal matematika. Jadi mengapa aku tak
memberinya kesempatan?.”

“Penipu,” ulang Evan.

Dogface cegukan. Lalu ia melolong sedih. Kermit kembali ke meja


lab. Dia menuangkan cairan kuning ke cairan merah. Ramuan mulai
berasap. Lalu berubah menjadi kuning cerah.

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy menyelipkan ujian matematika itu ke dalam tasnya.

Kermit menuangkan cairan kuning itu ke gelas kimia besar. Dia


mengambil sebuah botol kecil, membalikkannya, dan mengosongkan
kristal-kristal keperakan ke gelas kimia itu.

Evan melangkah ke samping Kermit. “Kau tak bisa memberi makan


itu pada Dogface,” desak Evan. “Aku sungguh-sungguh. Aku tak
akan membiarkanmu memberikan campuran itu kepadanya.”

Kermit mengabaikannya. Dia mengaduk campuran sampai memutih.


Lalu dia menambahkan lagi bubuk yang membuatnya berubah kuning
lagi.

“Kau harus mendengarkanku, Kermit,” kata Evan. “Aku yang


bertanggung jawab, kan?”

Kermit terus mengabaikannya.

Dogface cegukan. Tubuh putih berbulu lembutnya bergetar dan


gemetar.

“Biarkan Kermit bekerja,” kata Andy pada Evan. “Dia jenius.”

“Mungkin dia jenius,” jawab Evan. “Tapi aku yang bertanggung


jawab. Sampai ibu Kermit pulang, akulah bosnya.”

Kermit menuangkan campuran itu ke dalam piring anjing (berwarna)


merah.

“Akulah bosnya,” kata Evan. “Dan bos bilang tidak.”

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit menurunkan piring anjing itu ke lantai.

“Bos bilang kau tak boleh memberi makan campuran itu pada
Dogface,” kata Evan.

“Ke sini, Nak! Ke sini, Nak!” panggil Kermit.

“Tak mungkin!” teriak Evan. “Tak mungkin anjing itu


meminumnya!”

Evan membungkuk ke mangkuk. Ia berencana untuk mengambilnya.

Tapi dia menukik terlalu keras - dan jadi tergeluncur ke bawah meja
laboratorium.

Dogface menurunkan kepalanya ke piring anjing dan mulai menjilat


campuran kuning itu.

Evan berbalik dan buru-buru menatap pada anjing itu. Mereka bertiga
semuanya sedang menunggu. . . menunggu. . . menunggu untuk
melihat apa yang akan terjadi.

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
8

Dogface menjilat mangkuk itu hingga bersih. Lalu ia menatap Kermit,


seolah-olah mengatakan, “Terima kasih.”

Kermit mengelus-elus kepala anjing besar itu. Dia merapikan bulu-


bulu putih keriting di depan mata Dogface. Bulu itu dengan cepat
jatuh tepat kembali di tempatnya. Dogface menjilat tangan Kermit.

“Lihat? Cegukannya hilang,” kata Kermit kepada Evan.

Evan menatap anjing. Dia menunggu beberapa detik lagi. “Kau


benar,” akunya. “cegukannya hilang.”

“Ini adalah campuran yang sederhana,” bual Kermit. “Hanya sedikit


tetrahydropodol dengan beberapa kristal hydradroxilate dan satu ons
megahydracyl oxyneuroat. Setiap anak kecil bisa melakukannya.”

(tetrahydropodol, hydradroxilate dan megahydracyl oxyneuroat:


substansi ilmiah fantastik khayalan pengarang)

“Jenius sekali!” seru Andy.

Evan mulai mengatakan sesuatu. Tapi Dogface menyela dengan


dengkingan keras.

Lalu, tanpa peringatan, anjing gembala yang besar itu melompat ke


depan. Dengan dengkingan melengking lainnya, Dogface mengangkat
kaki depannya yang besar dan melompat ke Kermit.

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit menjerit kaget dan terhuyung-huyung ke dinding. Botol-botol
dan toplestoples di rak-rak di belakangnya terguncang.

Dogface mulai menggonggong liar, mengeluarkan dengkingan


melengking yang bersemangat. Anjing itu melompat lagi, seolah-olah
berusaha melompat ke pelukan Kermit.

“Turun, nak! Turun!” jerit Kermit. Anjing itu melompat lagi. Rak-rak
itu terguncang. Kermit merosot ke lantai.

“Turun, nak! Turun!” jerit Kermit, menutupi kepalanya dengan kedua


tangan. “Hentikan, Dogface! Berhenti melompat!”

Anjing yang gembira itu menggunakan kepalanya untuk mendorong


lengan Kermit menjauh. Lalu ia mulai menjilati wajah Kermit yang
panik. Lalu ia mulai menggigit kaosnya.

“Berhenti! Ih! Berhenti!” Kermit berusaha menjauh. Tapi anjing besar


itu telah mengunci Kermit di lantai.

“Apa yang terjadi?” teriak Andy. “Apa yang terjadi pada anjing itu?”

“Campuran Kermit itu!” jawab Evan. Dia membungkuk pada si


anjing, meraih Dogface dengan kedua tangan, dan mencoba
menariknya menjauhi Kermit. Dogface berbalik. Dengan dengkingan
lain bernada tinggi, ia meloncat pergi, berlari dengan kecepatan penuh
melintasi ruang bawah tanah.

“Hentikan dia!” teriak Kermit. “Dia di luar kendali. Dia akan


memecahkan sesuatu!”

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
BRUUUKK PRAAANG.

Sebuah rak stoples jatuh ke lantai.

Menggonggong keras, anjing itu meloncat menjauh dari rak dan mulai
berlari dalam lingkaran yang luas, cakar besarnya berjalan kikuk di
lantai ubin. Berputarputar, seolah-olah mengejar ekornya.

“Dogface - Wah!” panggil Evan, mengejar anjing gembala ini. Anjing


itu berbalik kembali ke Andy. “Bantu aku! Kita harus
menghentikannya! Dia berbuat gila!”

Dogface menghilang ke ruang cuci.

“Dogface - kembali ke sini!” panggil Evan.

Dia menghambur ke ruang cuci tepat untuk melihat anjing itu


menabrak ke papan setrika. Papan itu terguling, bersama dengan
setumpuk pakaian yang tergeletak di atasnya. Setrika berdentang di
atas lantai yang keras.

Dogface mendengking dan memanjat keluar dari bawah pakaian


jatuh. Mengotori Evan, ekor anjing yang gemuk itu mulai bergoyang-
goyang - dan ia melompat ke seberang ruangan.

“Tidak!” pekik Evan saat anjing besar itu menjatuhkannya ke


belakang ke tanah. Dogface dengan panik menjilati wajah Evan.

Di belakangnya, Evan mendengar tawa Andy. “Terlalu banyak


energi! Dia berbuat seperti anak anjing gila!” katanya.

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dia terlalu besar untuk berpikir bahwa dia anak anjing!” ratap Evan.

Dogface mengendus marah di bawah mesin cuci. Dia menerkam


seekor semut hitam besar. Lalu ia berbalik dan melompat-lompat ke
Andy dan Evan.

“Awas!” teriak Evan.

Tapi anjing gembala yang besar terhuyung-huyung melewati mereka,


kembali ke ruang lain. Mereka membuntutinya, mengawasinya
berguling beberapa kali, menendang cakar besar berbulunya ke udara.

Lalu Dogface melompat berdiri - dan datang dengan cepat ke Kermit.

“Wah! Wah, Nak!” teriak Kermit. Dia berpaling kepada Andy. “Kau
benar. Ini benar-benar cara Dogface berbuat saat ia masih kecil.
Campuran itu memberinya terlalu banyak energi!”

Anjing gembala itu menabrak sebuah sofa tua dinding. Dia naik ke
sofa, mengendus bantal, menjelajahinya. Menggoyang-goyangkan
ekor gemuknya dengan marah.

“Dogface, kau bukan anak anjing!” teriak Evan. “Tolong dengarkan


aku! Kau terlalu besar untuk jadi anak anjing! Dogface - ayolah!”

“Awas!” jerit Andy. Anjing itu melompat dari sofa dan berlari dengan
kecepatan penuh menuju Kermit.

“Tidak! Hentikan!” teriak Kermit. Dia membungkuk di belakang meja


lab. Anjing mencoba untuk mengurangi kecepatannya. Tapi kakinya
yang besar membawanya terlalu cepat.

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dogface menabrak meja lab. Botol-botol dan gelas-gelas terbang ke
udara, lalu jatuh ke lantai. Meja itu terguling di atas Kermit. Rak-rak
jatuh dari dinding, dan semua toples, tabung dan gelas kimia jatuh ke
lantai, pecah, bergemerincing, bahan kimia tumpah di atas lantai.

“Benar-benar kacau!” teriak Evan. “Kekacauan yang sangat


mengerikan!”

Dia berbalik - dan terkesiap keras.

Bibi Dee berdiri di ambang pintu. Mulutnya melongo karena terkejut,


dan matanya hampir melotot keluar dari kepalanya.

“Apa-apan ini?” jeritnya.

“Eh... Yah...” Evan mulai.

Bagaimana ia bisa mulai menjelaskan? Dan jika ia tak menemukan


cara untuk menjelaskan, akankaj Bibi Dee percaya padanya?

Bibi Dee menekan kedua tangannya ke pinggang dan mengetuk satu


kaki di lantai.

“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan marah.

“Eh... Baik...” Evan diulang.

Kermit berbicara terlebih dahulu. Dia menunjuk menuduh pada Evan.


“Evan menggoda anjing itu!” teriaknya.

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
9

Ibu Kermit melotot marah pada Evan. “Aku membayarmu untuk


mengurus Kermit,” katanya tegas. “Bukan untuk memainkan lelucon
konyol pada anjing dan menghancurkan rumahku.”

“Tapi - tapi - tapi -” Evan tergagap.

“Evan tak melakukannya!” protes Andy protes.

Tapi kata-katanya tenggelam oleh Kermit, yang mengeluarkan


ratapan keras palsu- dan mendadak menangis.

“Aku coba menghentikan Evan!” Kermit terisak. “Aku tak ingin dia
menggoda Dogface. Tapi dia tak mau berhenti!”

Kermit bergegas ke pelukan ibunya.

“Tak apa-apa,” kata Bibi Dee menenangkan. “Tidak apa-apa, Kermit.


Aku akan memastikan Evan tak akan pernah melakukannya lagi.”

Dia menyipitkan mata dengan marah pada Evan saat Kermit terus
menangis, berpegangan pada ibunya seperti bayi.

Evan memutar matanya pada Andy. Andy menjawab dengan


mengangkat bahu.

“Evan, kau dan Andy dapat mulai membersihkan kekacauan ini,”


perintah Mrs Dee. “Kermit itu anak yang sangat sensitif. Saat kalian
memainkan lelucon seperti ini, ini sangat mengganggunya.”
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit menangis bahkan lebih keras. Ibunya menepuk-nepuk lembut
kepala. “Tak apa-apa, Kermit. Tidak apa-apa. Evan tak akan pernah
menggoda Dogface lagi,” bisiknya.

“Tapi - tapi -” Evan tergagap.

Bagaimana bisa Kermit berakting semacam itu? Bagaimana dia bisa


dengan sengaja memasukkan Evan ke dalam masalah? Kekacauan ini
bukan salah Evan. Itu salah Kermit!

“Aku benar-benar tak berpikir -” Andy mulai.

Tapi Bibi Dee mengangkat tangan menyuruhnya diam. “Cukup


bersihkan kekacauan ini - oke?”

Dia berbalik ke Evan. “Aku tak akan memberitahu ibumu tentang hal
ini, Evan,” katanya, menepuk-nepuk kepala masih Kermit.

“Terima kasih,” gumam Evan.

“Aku akan memberimu satu kesempatan lagi,” lanjutnya. “Kau


sebenarnya tak layak mendapatkannya. Jika kau bukan keponakanku,
aku akan membuatmu membayar untuk semua kerusakan. Dan aku
akan mendapatkan orang lain untuk mengurus Kermit.”

“Evan buruk,” gumam Kermit, mencopot kacamatanya dan menyeka


air mata pipinya. “Evan benar-benar buruk.”

Benar-benar tikus kecil! Pikir Evan. Tapi dia tetap diam, matanya
diturunkan ke lantai.

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kermit, ayo kita bersihkan dirimu,” kata Bibi Dee, membawanya ke
tangga.

“Kalau begitu kita harus memandikan anjing itu.”

Dia berbalik kembali ke Evan dan menunjukkan jari padanya. “Satu


kesempatan lagi,” ia memperingatkan. “Satu kesempatan lagi.”

Di sudut, Dogface mengeluarkan cegukan keras. “Lihat bagaimana


kau telah membuat kesal anjing itu?” kata Ibu Kermit pada Evan.
“Kau telah membuat Dogface yang malang itu cegukan!”

“Tapi - tapi -” Evan tergagap lagi.

Saat Evan berusaha untuk menemukan kata-kata untuk membela diri,


Kermit dan ibunya menghilang menaiki tangga.

®RatuBuku

Dua jam kemudian, Andy dan Evan yang kelelahan (berjalan) menuju
ke rumah. “Benar-benar kacau,” keluh Evan. “Lihat aku. Aku
terselimuti bahan kimia.”

“Dua jam,” gumam Andy. “Dua jam untuk membersihkan ruang


bawah tanah. Dan Dogface berdiri di sana mengawasi kita, cegukan
sepanjang waktu.”

“Kermit benar-benar penjilat kecil,” kata Evan, menendang batu di


trotoar.

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy menggeleng getir. “Apa kau punya sepupu lagi seperti dia?”

“Tidak,” jawab Evan. “Kermit satu-satunya dari jenis itu.”

“Dia benar-benar pembohong kecil,” kata Andy.

“Hei - kau tertipu olehnya,” tuduh Evan. “Kau bilang dia seorang
jenius, ingat? Kau sangat senang bahwa dia mengerjakan soal
matematikamu, kau pikir dia itu hebat.”

Andy memindahkan tasnya ke bahu yang lain. Senyuman melintas di


wajahnya.

“Aku lupa semua tentang soal matematika itu,” katanya. “Kermit


mungkin penjilat kecil - tetapi ia juga jenius. Aku akan mendapatkan
nilai A dalam matematika!” Dia bersorak bahagia.

“Pemenang tak pernah menipu, dan penipu tak pernah menang,”


gumam Evan.

Andy mendorongnya main-main. “Apa kau yang menyusun (kata-kata


itu)? Itu sangat menarik.”

“Yang benar saja,” geram Evan. Dia berbalik dan berjalan di jalanan
masuk(rumahnya) tanpa mengucapkan selamat tinggal.

®RatuBuku

Dua malam kemudian Andy menelponnya. “Sepupumu Kermit benar-


benar makhluk yang mengerikan!”

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia berteriak begitu keras, Evan harus memegang telepon jauhdari
telinganya.

“Apa kau tahu apa yang dia lakukan? Apa kau tahu apa yang dia
lakukan?” jerit Andy.

“Tidak. Apa?” tanya Evan dengan pelan.

“Dia salah melakukan semua persamaan matematika,” teriak Andy.

“Maaf?” Evan tak yakin ia mendengarnya dengan benar. “Jenius itu


salah semua?”

“Maksudnya!” kata Andy. “Dia salah (mengerti) pada maksudnya. Ia


menjawab semuanya. Dia bahkan tak membaca soalnya. Ia cuma
menulis jawaban bodoh itu.”

“Tapi kenapa?” tuntut Evan.

“Kenapa? Kenapa? Karena dia itu Kermit!” jerit Andy.

Evan menelan ludah. Andy yang malang, pikirnya. Sekarang dia akan
gagal dalam matematika.

“Buruk sekali, tipuan yang busuk!” teriak Andy di telepon. “Mrs


McGrady memanggilku ke mejanya dan memintaku untuk
menjelaskan jawabanku. Dia bertanya padaku bagaimana mungkin
aku bisa begitu benar-benar keliru pada setiap persamaan tunggal.”

Andy mendesah pahit. “Tentu saja aku tak bisa menjawab. Aku hanya
berdiri di sana melongo. Kupikir aku meneteskan air liur di mejanya!”

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Setelah kita meninggalkan rumahnya, Kermit mungkin tertawa
sampai kepalanya copot,” kata Evan.

“Berandalan itu punya rasa humor yang memuakkan,” keluh Andy.


“Kita harus balas dendam, Evan. Kita benar-benar harus balas
dendam.”

“Ya. Kita harus balas dendam.” Evan setuju.

“Kita harus mengeluarkan Darah Monster,” desak Andy. “Kita harus


menggunakan Darah Monster untuk balas dendam.”

“Ya. Kita harus mengeluarkannya.” Evan setuju.

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
10

Evan menelepon Andy kembali nanti malam itu.

“Aku berubah pikiran,” katanya. “Aku tak ingin menggunakan Darah


Monster.”

“Apa masalahmu?” tuntut Andy. “Kermit layak untuk itu. Kau tahu
itu.”

“Darah Monster itu terlalu berbahaya,” kata Evan padanya. “Darah itu
merubah Cuddles hamster itu jadi monster raksasa yang meraung.
Aku tak ingin mengubah Kermit menjadi monster raksasa yang
meraung.”

“Aku juga!” seru Andy. “Aku tak ingin memberi makan kepadanya,
Evan. Aku hanya ingin menyelipkan sedikit ke dalam salah satu
campurannya. Dia pikir dia begitu cerdas dan dapat melakukan apa
saja. Aku ingin melihat wajah Kermit saat campuran itu jadi
mengamuk! “

Dia tertawa gembira.

Tawa yang benar-benar jahat, pikir Evan.

“Ini akan menjadi luar biasa!” seru Andy.

“Lupakan tentang itu,” desak Evan. “Aku mengalami mimpi buruk


tentang Darah Monster hampir setiap malam. Aku tak ingin melihat

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
benda itu lagi, Andy. Aku benar-benar tak ingin. Biarkan dia terkunci
- Tolonglah!”

“Tapi kau bilang kita bisa melakukannya!” Andy memohon.

“Aku membuat kesalahan,” kata Evan padanya. “Jangan


membawanya keluar dari lemari, Andy. Biarkan aman dan terkunci di
kalengnya - Oke?”

Andy tak menjawab.

“Oke?” Evan menuntut. “Oke?”

“Oke,” Andy akhirnya setuju.

®RatuBuku

“Kita akan bermain di luar hari ini, Kermit,” kata Evan tegas. “Ini hari
yang indah, dan kita akan pergi keluar dan tidak tinggal di ruangan
bawah tanah bodoh itu. Mengerti?”

Itu adalah Kamis sore cerah yang hangat. Sinar matahari keemasan
merembes turun melalui jendela yang tertutup debu di ruang bawah
tanah di dekat langitlangit.

Berdiri di belakang meja lab, mengatur tople-toples dan botol-botol


bahan kimia, Kermit menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri.

“Tak ada alasan,” tambah Andy. “Kita akan keluar bahkan jika Evan
dan aku harus menyeretmu keluar.”

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tapi aku punya campuran yang ingin kucoba,” rengek Kermit.

“Kau perlu sinar matahari,” kata Evan padanya. “Lihat betapa pucat
dirimu. Kau tampak seperti seekor tikus putih.”

Kermit memakai kaos besar berwarna zaitun di atas celana pendek


cokelat longgar. Dengan rambut pirang putihnya, mata yang seperti
manik-manik, dan gigi tonggos, dia lebih mirip seekor tikus dalam
pakaian manusia.

Dia merengut, sakit hati oleh gambaran Evan.

“Baiklah. Aku akan pergi keluar dengan kalian.” Gumamnya sedih.

“Yaaa!” sorak Andy. Ini adalah pertama kalinya Kermit setuju untuk
meninggalkan laboratorium bawah tanahnya.

“Tapi pertama-tama aku harus minum,” kata Kermit. Dia melangkah


keluar dari balik meja laboratorium dan berjalan menuju tangga ruang
bawah tanah. “Kalian ingin soda jeruk?”

“Ya. Tentu,” jawab Evan. Ia dan Andy mengikuti Kermit menaiki


tangga ke dapur.

“Aku tak percaya dia setuju untuk pergi keluar dan bermain,” bisik
Andy. “Apa kau pikir dia sakit atau apa?”

“Mungkin dia merasa buruk tentang tipuan jelek yang dilakukannya,”


bisik Evan.

Telepon dapur berdering. Evan menjawabnya. Salah sambung.

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia menutup telepon. Ia dan Andy melangkah ke meja. Andy
memakai celana jins merah muda, kaos kuning tanpa lengan, dan
sepatu bot berwarna oranye terang.

Kermit sudah menuangkan tiga gelas soda jeruk. Soda itu warnanya
sama seperti sepatu bot Andy, Evan memperhatikan. Mereka semua
meminum soda dengan cepat.

“Aku benar-benar kehausan,” kata Kermit. Evan tak memperhatikan


apapun untuk senyum aneh di wajah Kermit itu. Setelah semua,
Kermit selalu punya senyum yang aneh di wajahnya.

“Soda jeruk ini sangat manis,” komentar Andy. Dia nyengir. “Terlalu
manis! Membuat gigiku gatal!”

Kermit tertawa. “Kupikir itu bagus,” katanya.

Mereka meletakkan gelas-gelas mereka ke wastafel dan melangkah


keluar dari pintu belakang. Evan menemukan sebuah Frisbee merah di
beranda belakang. Dia melemparkannya pada Andy.

Andy berlari melintasi halaman belakang dan melemparkan Frisbee


itu kembali ke Evan. “Ayo kita main terus menjauh dari Kermit!”
teriaknya.

“Hei - tak mungkin!” protes Kermit. “Lemparkan padaku!”

Andy melemparkan Frisbee itu terbang di atas kepala Kermit ke Evan.


Kermit meraihnya dengan liar, tapi Frisbee itu melayang keluar dari

50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
jangkauannya. Frisbee itu membentur tangan Evan, namun Evan
menjatuhkannya.

Andy mulai tertawa.

“Apa yang lucu?” tuntut Evan.

Andy mengangkat bahu. “Aku tak tahu.”

Dia tertawa lagi.

Evan melemparkan Frisbee itu ke Kermit. Benda itu memantul di


dada Kermit itu.

Anak ini benar-benar tolol, pikir Evan. Ini karena dia tak pernah
bermain olahraga.

Dia tak pernah keluar dari ruang bawah tanah itu.

Andy tertawa dengan nada tinggi.

Evan mulai tertawa juga.

Kermit mengambil Frisbee. Dia mencoba untuk melemparkannya


kepada Andy, tapi Frisbee itu melayang jauh di atas kepalanya. Benda
itu menghantam sisi garasi dan memantul.

Evan dan Andy tertawa lebih keras.

Evan berlari ke garasi. Dia melontarkan lemparan dengan lengan


sejajar ke arah Andy. Andy tak berhasil menangkapnya, dan Frisbee
terbang ke pagar rendah di sisi halaman.

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy tak mengejarnya. Dia tertawa terlalu keras.

Evan tertawa bahkan lebih keras. Air mata mengalir di pipinya. Apa
yang terjadi padaku? ia bertanya-tanya, tiba-tiba merasa takut.
Mengapa aku tak bisa berhenti tertawa? Apa yang terjadi?

Kermit tersenyum pada mereka berdua. Senyum itu!

Evan tertawa bahkan lebih keras. Begitu keras, perutnya sakit.

Ada sesuatu yang salah, Evan sadar. Sesuatu yang tak beres.

“K-Kermit - mengapa kami aku-tertawa?” ia tergagap.

Andy mengusap air matanya. Dia memegangi kedua pinggangnya dan


tertawa lagi.

“Kenapa kami tertawa?” tuntut Evan.

“Aku memberi kalian campuran tertawaku,” kata Kermit pada


mereka. “Aku meletakkannya di soda jeruk.”

Evan menghentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. Andy


tertawa begitu keras, ia tersedak. Tapi ia terus tertawa. Ini tak lucu.
Ini menakutkan, pikir Evan. Tapi dia tertawa terkikik nyaring.

“Berapa - berapa lama kami akan tertawa seperti ini, Kermit?” Evan
berhasil bertanya.

“Mungkin selamanya,” jawab Kermit, sekilas (menunjukkan) senyum


lebarnya yang terkenal.

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
11

Evan menarik napas dalam-dalam dan mencoba menahannya. Tapi


ledakan tawa keluar dari dirinya begitu keras, dadanya terasa sakit.

Tawa itu memusingkan kepala, Andy mencoba menangkap Kermit.

Kermit merunduk dari jangkauan Andy dan pergi berlari menuju


pagar di belakang halaman.

Evan menggelengkan kepalanya keras-keras, mencoba


menghilangkan efek ramuan tawa. Tapi itu tak membantu. Dia
tertawa sampai air mata membasahi wajahnya.

Andy mengejar Kermit, tertawa nyaring.

Evan mengikuti, bernapas terengah-engah. Aku tak bisa bernapas, ia


menyadari. Aku tertawa begitu keras, aku tak bisa bernapas.

“K-Kermit -!” Evan tercekik. “Kau harus meng-menghentikannya!”

Suatu tawa yang tinggi meledak keluar dari tenggorokannya. “Kau


ha-harus!”

“Aku tak tahu bagaimana,” jawab Kermit dengan tenang.

Andy dan Evan tertawa menjawabnya.

“Ini mengagumkan - bukan!” kata Kermit gembira. “Campuran itu


bekerja sempurna!”

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy mencoba meraih tenggorokan Kermit.

Sekali lagi, Kermit merunduk menjauh.

Andy dan Evan tertawa agak lebih keras.

Andy mengambil Frisbee itu dan mencoba melemparkannya pada


Kermit. Tapi dia tertawa terlalu keras untuk (bisa) mengendalikannya.
Frisbee itu terbang melewati pagar.

“Hei - ambil kembali. Itu punyaku!” tuntut Kermit.

Evan dan Andy tertawa.

Suatu wajah yang akrab muncul di sisi lain pagar.

“Conan!” teriak Kermit.

Conan pertama-tama menatap Andy, lalu Evan.

“Ada apa kalian melihat-lihat halamanku?” tanyanya pada Evan.

Evan berusaha untuk menahan tawanya. Tapi ia mengeluarakan tawa


tinggi melengking.

“Bukankah aku sudah memperingatkanmu minggu lalu tentang


melihat-lihat di halamanku?” tuntut Conan.

Evan tertawa.

“Conan, kembalikan Frisbee-ku,” rengek Kermit.

Conan melompati pagar itu. Evan melihatnya membawa Frisbee di


tangan kirinya.

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Conan dengan cepat menyembunyikan Frisbee itu di belakang
punggungnya. Andy dan Evan tertawa. Andy mengusap air matanya.
Seluruh tubuhnya bergetar kata tawa.

“Kembalikan Frisbee-ku,” desak Kermit.

Conan mengabaikannya. “Apanya yang lucu?” tanyanya pada Andy


dan Evan. Dia mengepalkan tangan kanannya.

Andy terkikik.

Jika kami terus tertawa, dia akan memukul kami! Evan menyadari.
Tapi ia tak bisa menahan diri. Dia tertawa keras terbahak-bahak.

“Hei - aku mau Frisbee-ku!” rengek Kermit.

“Aku tak punya Frisbee-mu,” Conan berbohong, menahan tangan


kirinya di belakang punggungnya.

Evan menghentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa.

“Ya, kau punya itu. Di belakang punggungmu,” kata Kermit.


“Kembalikan, Conan.”

“Siapa yang akan memaksaku?” tuntut Conan dengan suara pelan


mengancam.

Evan tertawa terkikik tinggi. Andy juga tertawa.

“Mereka!” jawab Kermit pada Conan. “Mereka yang akan


memaksamu!” Ia berpaling ke Evan. “Paksa Conan mengembalikan
Frisbee-ku.”

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan menjawabnya dengan tertawa.

“Apanya yang lucu?” tanya Conan lagi.

Andy menggelen-gelengkan kepalanya. “Tak ada. Tak ada yang


lucu,” katanya tercekat. Lalu dia tertawa.

“Aku tak suka orang yang menertawakanku,” kata Conan.

Ini mengerikan! Pikir Evan. Satu tawa lagi - dan Conan bisa meledak!

Evan tertawa panjang (seperti) heyna.

(heyna: hewan mirip anjing yang hidup di beberapa bagian Afrika dan
Asia, terkenal dengan jeritannya yang seperti suara orang tertawa.
Suara tawa ini bisa terdengar hingga jarak 5 km.)

“Aku benar-benar akan jadi roket saat orang-orang menertawakanku,”


Conan memperingatkan.

Evan dan Andy tertawa lagi.

“Aku harus menyakiti orang-orang yang menertawakanku,” ancam


Conan.

Evan dan Andy tertawa menjawabnya.

Conan berpaling ke Kermit. “Mengapa mereka tertawa seperti itu?”

Kermit mengangkat bahu. “Tebakanku. Mereka pikir kau lucu.”

“Oh, benar?” teriak Conan marah, berbalik kembali kepada Evan dan
Andy. “Kalian berdua pikir aku lucu?”

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan dan Andy memegang pinggang mereka dan tertawa.

“Kembalikan Frisbee-ku!” teriak Kermit.

“Oke. Kejar ini.” Conan melemparkan Frisbee itu melewati pagar.


Frisbee itu melayang lebih dari dua meter dan menghilang dalam
rumpun semak cemara.

Kermit lari mengejarnya.

Conan memandang Evan dan Andy dengan marah. “Aku akan


menghitung sampai tiga,” geramnya. “Dan jika kalian tak berhenti
tertawa di hitungan ketiga, aku akan membuat kalian berhenti!” Dia
mengangkat kedua tinjunya untuk menunjukkan kepada mereka
bagaimana ia akan membuat mereka berhenti.

“Satu...” kata Conan.

Evan tertawa. Andy menekan tangannya ke mulut, tapi tak bisa


menghentikan tawa yang keluar.

“Dua...” hitung Conan , wajahnya penuh dengan kemarahan.

Aku harus berhenti tertawa! Kata Evan pada dirinya sendiri. Aku
dalam masalah serius di sini. Serius.

Dia membuka mulutnya, dan ledakan “Hahahahaha!” mendadak


keluar.

Andy menekankan kedua tangannya ke mulut. Tapi itu tak


menghentikan gelak dan tawa yang keluar dari hidungnya.

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit berlari-lari kecil kembali ke halaman belakang. “Aku tak bisa
menemukan Frisbee,” keluhnya. “Seseorang harus membantuku. Aku
tak bisa menemukannya di mana-mana.”

Conan berbalik ke arahnya. “Kau yakin kau tak tahu mengapa mereka
tertawa seperti itu?” tanyanya.

Kermit menggeleng. “Mereka memberitahuku bahwa mereka berpikir


kau tampak lucu,” katanya pada Conan. “Kurasa itu sebabnya mereka
tertawa.”

Aku tak percaya ini! Pikir Evan, begitu marah sehingga dia ingin
meledak. Makhluk kecil itu! Bagaimana dia bisa melakukan hal ini
kepada kami?

Conan berbalik kembali pada Andy dan Evan. “Kesempatan terakhir


untuk berhenti,” katanya. Dia mengambil napas dalam-dalam,
meregangkan dada besarnya yang kuat. “Tiga!”

Andy tertawa.

Evan tertawa bahkan lebih keras.

“Aku telah memperingatkan kalian,” geram Conan.

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
12

Andy menelepon Evan malam itu untuk melihat bagaimana


perasaannya. Evan harus menjauhkan telepon dari telinganya.
Kepalanya terlalu sakit untuk menekankan telepon padanya.

“Kurasa aku akan bertahan,” erang Evan. “Aku sudah terbiasa melihat
ke dalam cermin dan melihat tumpukan kubis dimana kepalaku harus
digunakan.”

Andy mendesah. “Sepupumu benar-benar mengerikan,” katanya.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Evan. “Berapa lama waktu yang kau


butuhkan untuk turun dari pohon?”

“Tak sampai berjam-jam,” jawab Andy pelan.

Conan telah mengatakan ia tak pernah memukul anak perempuan.


Jadi ia mengangkat Andy dan menjebaknya ke cabang pohon yang
tinggi.

“Setidaknya Conan menghentikan kita dari tawa,” kata Evan.


“Perutku masih sakit karena tertawa begitu keras.”

“Perutku juga,” kata Andy kepadanya. “Aku tak akan pernah tertawa
lagi. Tak akan. Jika seseorang menceritakan padaku lelucon paling
lucu di dunia, aku hanya akan tersenyum dan berkata, 'Sangat lucu.' “

“Aku tak percaya Kermit melakukan ini pada kita,” keluh Evan.

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku percaya,” jawab Andy datar. “Kermit akan melakukan apa saja
untuk membuat kita ke dalam masalah. Untuk itulah dia hidup -
Membuat kita dalam masalah besar.”

“Apa kau dengar tikus kecil itu tertawa sementara Conan memukulku
ke tanah?” tanya Evan.

“Aku ada di atas pohon, ingat? Aku bisa melihatnya tertawa!” kata
Andy.

Ada kesunyian yang lama di ujung lainnya. Lalu Andy berbicara


dengan suara pelan, persisnya di atas bisikan, “Evan - apa kau siap
untuk menggunakan Darah Monster pada Kermit?”

“Ya,” jawab Evan tanpa berpikir panjang tentang hal itu sedetik pun.

“Aku sudah siap.”

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
13

Sepulang sekolah sore berikutnya, Evan dan Andy menemukan


Kermit di belakang meja lab seperti biasa.

“Hai, Kermit,” panggil Evan, melemparkan tasnya ke bawah dan


melangkah ke meja.

Kermit tak melirik. Dia sibuk mengaduk bahan-bahan dalam


mangkuk besar, memakai sendok kayu yang besar.

Evan mengintip ke dalam mangkuk itu. Itu tampak seperti adonan


kue. Campuran itu tebal, liat dan lengket, dan berwarna kekuningan.

Kermit bersenandung sendiri sambil mengaduk-aduk.

Andy memakai kaos merah muda panas tanpa lengan di atas celana
pendek kuning terang dan sepatu kuning yang cocok. Dia melangkah
ke samping Evan dan mengintip ke dalam mangkuk. “Membuat kue?”
tanyanya.

Kermit mengabaikannya juga. Dia terus mengaduk dan bersenandung,


mengaduk dan bersenandung.

Akhirnya ia berhenti dan melirik Evan. “Aku memberitahu ibuku, kau


menghilangkan Frisbee-ku,” katanya, nyengir. “Dia bilang kau harus
membelikanku yang baru.”

“Hah? Aku?” pekik Evan.

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy berjalan ke samping Kermit dari meja. Dia menundukkan
kepala ke mangkuk. “Baunya lemon,” katanya. “Apa itu, Kermit? Apa
itu semacam adonan?”

“Itu salahmu Frisbee-ku hilang,” kata Kermit pada Evan,


mengabaikan pertanyaan Andy. “Ibu bilang kau penjaga anak yang
sangat buruk.”

Evan berteriak marah. Ia mengepalkan tangannya. Dia berusaha untuk


menahan dirinya dari mencekik Kermit.

Ini benar-benar perjuangan.

“Ibu ingin tahu siapa yang meminum semua soda jeruk,” lanjut
Kermit. “Kubilang padanya bahwa kau dan Andy yang
meminumnya.”

“Kermit!” Evan menjerit. “Kau memainkan tipuan yang mengerikan


pada kami kemarin! Kau meletakkan bahan kimia dalam soda jeruk
kami! Kau membuat kami tertawa dan tertawa dan tertawa - sampai
terasa sakit. Lalu kau membuat kami dalam masalah besar dengan
Conan. Apa kau beritahu ibumu tentang itu? Apa kau beritahu? Apa
kau beritahu?”

Kermit menaruh tangannya di atas telinganya. “Jangan berteriak,


Evan,” rengeknya. “Kau tahu aku punya telinga yang sangat sensitif.”

Geraman marah keluar dari tenggorokan Evan. Dia merasa akan


meledak karena marah.

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku beritahu ibuku bahwa kau berteriak padaku sepanjang waktu,”
lanjut Kermit.

“Ibu bilang kau benar-benar masih hijau. Dia mengira kau sangat
kekanakkanakan. Dia hanya membiarkanmu tetap bersamaku karena
kau sepupuku.”

Kermit mengambil sendok kayu dan mulai mengaduk campuran


adonan lagi.

Evan berbalik, mencoba mengendalikan amarahnya.

Aku senang Andy dan aku akan melakukan apa yang akan kami
lakukan, pikirnya.

Aku senang kami akan memberi Kermit sedikit ketakutan. Dia yang
memintanya.

Dia benar-benar telah memintanya. Dan sekarang dia akan


mendapatkannya.

Evan berjalan ke tasnya. Dia membukanya dan mengeluarkan


permen. “Mmmm. Choc-O-Lik Bar,” gumamnya. Dia melintasi
kembali ke meja laboratorium, membuka bungkusan permen saat dia
berjalan.

Berdiri di depan Kermit, Evan menggigit batang coklat itu. Batang


coklat itu berderak keras saat gigi Evan tenggelam ke dalamnya.
“Mmmmmm!” ia menyatakan. “Choc-O-Lik Bar ini keren.”

Batang permen itu bagian dari rencana.

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan tahu bahwa Choc-O-Lik Bar itu favorit Kermit.

Batang permen itu seharusnya mengalihkan perhatian Kermit.


Sementara Kermit menatap permen dan memohon dengan Evan
memberinya satu gigitan, Andy akan menyelipkan segumpal kecil
Darah Monster ke dalam campuran Kermit itu.

Evan membuat permen itu berderak keras, membuat bibir bersuara


saat ia mengunyah.

Kermit mendongak. Dia berhenti mengaduk adonan kekuningan.


“Apa itu benarbenar Choc-O-Lik Bar?” tanyanya.

Evan mengangguk. “Ya. Benar.”

“Favoritku,” kata Kermit.

“Aku tahu,” jawab Evan. Dia membuat gigitan berderak lagi .

Kermit menatap permen itu.

Andy berdiri di samping Kermit. Evan melihat wadah biru Darah


Monster di tangannya. Cuma melihat kaleng itu membuat Evan
menggigil.

Begitu banyak kenangan buruk. Begitu banyak mimpi buruk.

Sampah hijau di dalam kaleng itu begitu berbahaya.

“Bisakah aku mendapat sepotong Choc-O-Lik Bar?” tanya Kermit


pada Evan.

Andy mengangkat bagian atas wadah Darah Monster.


64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mungkin. Mungkin tidak,” kata Evan pada Kermit.

Andy memasukkan dua jarinya ke dalam wadah itu. Dia menarik


keluar segumpal Darah Monster hijau yang liat dan lengket.

“Tolonglah? Tolonglah?” Kermit memohon pada Evan.

Andy menjatuhkan segumpal Darah Monster ke dalam mangkuk


besar adonan Kermit. Lalu dia diam-diam menyentakkan kembali
tutupnya pada wadah dan menyelipkannya kembali ke dalam tasnya.

Evan menggigit lagi batang permen itu.

“Kau tak seharusnya makan batang permen kecuali jika kau telah
cukup berbagi dengan setiap orang,” omel Kermit.

“Kau sangat tak baik padaku,” kata Evan padanya. “Jadi aku tak akan
berbagi.”

Kermit mulai mengaduk adonan lagi. Ia menatap marah pada Evan


saat dia mengaduk. Dia tak melihat Darah Monster hijau yang diaduk
dalam adonan kuning itu. Evan menggigit Bar-O-Lik Choc. Hanya
tinggal beberapa gigitan.

“Aku akan memberitahu Ibu kalau kau (berbuat) buruk padaku,”


ancam Kermit. “Aku akan mengatakan padanya kau tak mau
berbagi.”

Evan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lihat betapa buruknya aku?


Kaulah yang tak baik padaku, Kermit. Jika kau baik padaku, aku akan
membagi semua batang permenku denganmu.”

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy mengedipkan mata pada Evan. Lalu ia menatap ke dalam
mangkuk.

Kermit mengaduk dan mengaduk.

Ekspresi Andy jadi tegang. Dia mencengkeram tepi meja dengan


kedua tangan.

Evan melihatnya menggigit bibir bawahnya.

Melihat Kermit mengaduk Darah Monster, Evan tiba-tiba punya


perasaan berat di perutnya.

Kami telah melakukan hal itu, pikirnya. Kami telah membuka kaleng
Darah Monster lagi.

Dia menatap adonan kuning dalam mangkuk itu. Adonan itu membuat
suara celepuk pelan saat Kermit mendorong sendok kayu melaluinya.

Sekarang apa? Evan bertanya-tanya.

Sekarang apa yang akan terjadi?

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
14

Kermit mengaduk adonan kuning itu. Sendok kayu besar itu


menggesek mangkuk.

Campuran adonan itu bercelepuk pelan, berjungkir balik dan berputar-


putar saat Kermit bekerja.

Andy terus menggigit bibir bawahnya, matanya terkunci pada


mangkuk. Rambut cokelatnya jatuh di wajahnya. Tapi dia tak
bergerak untuk mendorong kembali.

Evan melihat dari sisi lain meja. Jantungnya mulai berdebar-debar di


dadanya. Dia menggigit batang cokelatnya lagi.

Dia mengunyah sepelan mungkin. Dia tak ingin mengganggu Kermit.


Saat ia mengunyah, ia menatap mangkuk itu.

Ia dan Andy sedang menunggu. Menunggu untuk melihat apa yang


segumpal kecil Darah Monster akan lakukan untuk campuran Kermit
itu.

Menunggu untuk melihat tatapan ngeri di wajah Kermit.

Menunggu pembalasan karena jadi monster kecil yang buruk.

Kermit tampaknya tak memerhatikan bagaimana ruang bawah tanah


itu jadi tenang. Dogface masuk dengan lamban, terengah-engah keras,
cakar berdebam di lantai ubin.

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada yang berpaling untuk melihatnya.

Anjing itu cegukan, berbalik, dan melangkah keluar dari ruangan.

Evan menggigit potongan lain dari permen.

Kermit diaduk, bersenandung untuk dirinya sendiri. Sendok


menggores sisi mangkuk. Adonan itu menampar tepi mangkuk.

Dan tumpah.

Kermit berhenti mengaduk. “Aneh,” gumamnya.

Hati Evan berdebar-debar hingga ke tenggorokannya. “Apa yang


aneh?” tanyanya.

“Ini berkembang,” jawab Kermit, menggaruk rambut pirang putih


pirangnya.

“Lihat.”

Kermit menunjuk ke adonan kuning dengan sendok kayu. Adonan itu


bercelepuk naik di atas mangkuk.

“Ini - ini berkembang sangat cepat!” kata Kermit.

Evan melangkah lebih dekat. Andy membungkuk untuk melihat lebih


baik.

Adonan itu bangkit, berkilauan dan bergetar.

“Wow!” teriak Kermit. “Ini tak seharusnya begini. Ini seharusnya


berubah jadi lengket dan hitam!”

68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Andy mengedipkan mata pada Evan. Mata cokelatnya bersinar penuh
semangat.

Senyuman tersungging di wajahnya.

Gumpalan kuning itu bergetar naik dari atas mangkuk, sebesar bola
pantai.

Itu akan jadi seberapa besar?

“Oh, wow! Ini mengagumkan!” kata Kermit.

Adonan berpendar tinggi. Lebih lebar.

Adonan itu naik tinggi di atas mangkuk. Meluap ke sisi-sisinya.

Lebih besar. Lebih besar. Adonan itu mulai terlihat seperti sebuah
balon udara panas yang sangat besar.

“Ini lebih tinggi dariku!” kata Kermit. Suaranya telah berubah. Dia
tak terdengar bersemangat sekarang. Dia mulai terdengar ketakutan.

“Kupikir sebaiknya kita menghentikannya,” gumamnya.

“Bagaimana?” tanya Andy. Dia melangkah keluar dari balik meja


laboratorium dan bergabung Evan di sisi yang lain.

Andy tersenyum pada Evan. Dia menikmati ekspresi ketakutan di


wajah Kermit. Evan harus mengakui dia menikmatinya juga.

Bola adonan kuning itu berkilauan dan bergetar, tumbuh lebih besar
setiap detik.

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Menggelegak lebih cepat dan lebih cepat, menekan punggung Kermit
ke dinding ruang bawah tanah.

“Hei - tolong!” ia tergagap.

Senyum Andy jadi lebih lebar. “Dia ketakutan sekarang,” bisiknya ke


Evan.

Evan mengangguk. Dia tahu dia seharusnya menikmati. Ini


seharusnya balas dendam yang manis.

Tapi Evan juga takut.

Seberapa besar gumpalan kuning besar itu tumbuh? Bisakah mereka


menghentikannya? Atau itu akan berkembang dan berkembang dan
berkembang sampai memenuhi seluruh ruang bawah tanah?

“Evan - tolong aku!” teriak Kermit. “Punggungku terjebak di sini!”

Adonan itu mulai bergetar keras. Mencuat di langit-langit ruang


bawah tanah.

Evan melirik ke bawah dan menyadari ia masih memegang sebatang


permen di tangannya. Cokelatnya sudah mulai mencair.

Evan mulai menyorongkan permen ke dalam mulutnya - saat bola


adonan raksasa itu meledak dengan gemuruh yang memekakkan
telinga.

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
15

“SLRUUP!”

Evan menelan ludah saat adonan kental dan lengket itu meledak.
Kekuatan ledakan itu membuat sepotong permen melayang turun ke
tenggorokannya.

Dia mulai batuk dan tersedak.

Dengan percikan keras, gumpalan adonan lengket itu menghantam


wajahnya.

Benda pekat kuning dan lengket menyebar di rambutnya dan


menutupi matanya.

“Hei!” Evan tercekik. Dengan panik dia mengusap adonan dari


matanya, berkedip keras.

Dia bisa merasakannya di lidahnya. “Ih!” Ia meludah dan menggosok


benda lengket itu dari bibirnya. Lalu ia menarik gumpalan tebal benda
pekat dan lengket itu dari wajahnya.

“Ini menempel di rambutku!” rapat Andy.

“Tolong aku! Tolong aku!” teriakan Kermit terdengar seolah-olah


datang dari jauh.

Evan cepat melihat mengapa. Kermit terbenam di bawah tumpukan


besar bahan kuning kental dan lengket itu.
71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Menarik adonan dari rambutnya, Evan bergegas di belakang meja lab.
Dia meraih ke bawah dengan kedua tangan dan menarik Kermit dari
bawah adonan.

“Wow. Aku agak pusing!” teriak Kermit. Dia bersandar pada meja
laboratorium. Tangannya tergelincir pada bahan kuning kental dan
lengket yang menutupi meja.

“Aku tak akan pernah bisa mengeluarkannya dari rambutku!” ratap


Andy, menariknarik rambutnya dengan kedua tangan. “Tak akan!”
Dia berbalik ke Evan.

“Seharusnya itu tak meledak. Cuma jadi besar. Kurasa sesuatu dalam
adonan itu membuatnya meledak.”

Menyeka adonan dari depan kaosnya, Evan menatap ke sekeliling


ruang bawah tanah. Adonan kuning itu terciprat ke atas segala
sesuatu. Sekarang adonan itu menetes menuruni dinding, membuat
suara celepuk pelan saat membentur lantai.

“Itu ledakan yang luar biasa!” kata Kermit. Kacamatanya ditutupi


dengan bahan kuning kental dan lengket. Dia menariknya dan
memicingkan mata ke sekeliling ruangan.

Dia berpaling kepada Andy. “Apa kau memasukkan sesuatu ke dalam


mangkuk?”

“Sudahlah,” jawab Andy, masih menarik-narik gumpalan kuning


lengket itu dari rambutnya.

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit menarik lengannya. “Apa itu? Apa yang kau masukkan ke
dalam campuranku?”

“Mengapa kau ingin tahu?” tuntut Andy.

“Jadi kita bisa melakukan itu lagi!” kata Kermit gembira. “Ini sangat
mengagumkan!”

“Tak mungkin kita melakukannya lagi!” Evan mengerang.

Balas dendam mereka pada Kermit tak benar-benar berhasil, Evan


menyadari dengan pahit. Kermit seharusnya menangis sekarang. Atau
ia seharusnya gemetar ketakutan dan ngeri.

Sebaliknya, matanya menari-nari gembira dan ia tersenyum lebar.


Kami benar-benar bodoh! pikir Evan sedih. Kermit menyukai ini!

Kermit mengeluarkan lap dan membersihkan kacamatanya. “Benar-


benar kacau!” katanya, memandang sekeliling ruangan. “Evan, kau
akan berada dalam kesulitan besar saat Ibu pulang.”

Evan menelan ludah. Dia telah lupa tentang ibu Kermit. Dia telah
memberinya satu kesempatan terakhir untuk membuktikan bahwa dia
adalah seorang penjaga anak yang baik.

Sekarang ia akan pulang ke ruang bawah tanah yang berlumuran


bahan kuning kental dan lengket dari lantai ke langit-langit. Dan
Kermit pasti memberitahu semua itu kesalahan Evan.

Bibi Dee akan memberitahu semua orang di dunia mengapa ia harus


mencabut pekerjaan dariku, pikir Evan sedih.

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan aku tak pernah akan dapat pekerjaan menjaga anak lain selama
hidupku.

Selamat tinggal, Walkman, pikirnya muram. Ia tak akan pernah


mendapatkan uang untuk satu walkman pun sekarang.

“Ini salahmu!” dia membentak Andy, menunjukkan jari menuduh


padanya. Sebuah noda adonan kuning menempel di kuku jarinya.

“Salahku?” jerit Andy. “Kaulah orang yang ingin memberi Kermit


pelajaran!”

“Tapi kaulah orang yang ingin menggunakan Darah Monster!” teriak


Evan.

“Lihatlah rambutku!” ratap Andy. “Bahan kental dan lengket yang


padat. Sepertinya aku memakai helm! Ini buruk! Buruk!” Dia
mengeluarkan suatu geraman marah.

Kermit terkikik. Dia membungkuk dan mengambil segumpal adonan


kuning lengket itu. “Berpikirlah cepat!” teriaknya - dan melemparnya
pada Evan.

Bola adonan itu menghantam kaos depan Evan dan melekat di sana.
“Hentikan, Kermit!” teriaknya marah.

“Ayo kita perang adonan!” usul Kermit, nyengir. Dia meraup


segenggam benda itu.

“Tak akan! Hentikan!” teriak Evan. Dia menarik bola adonan itu dari
kaosnya. “Ini berbahaya. Kita harus membersihkannya!”

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit melemparkan gumpalan besar lainnya dari bahan kuning
kental lengket itu pada Evan.

Evan berusaha menghindar menjauh. Tapi sepatunya terpeleset


genangan besar bahan kental lengket berlendir itu, dan dia
menghantam lantai yang keras. Ia mendarat di pinggangnya dengan
suara “Ooh!” keras.

Kermit tertawa gembira. “Itu sangat mengagumkan!” katanya.


“Tembakan bagus!”

Andy bergegas dan membantu menarik Evan berdiri. “Mungkin kita


bisa menyedot semuanya,” sarannya. Dia berbalik pada Kermit. “Di
mana ibumu menyimpan penyedot debu?”

Kermit mengangkat bahu. “Aku tak tahu.”

Evan bersandar di meja laboratorium. Tangannya berada di genangan


adonan, tapi dia tak peduli.

Dia tiba-tiba merasa aneh.

Seluruh tubuhnya mulai terasa gatal. Perutnya terasa mual. Dia


menutup matanya, mencoba untuk memaksa perasaan aneh itu pergi.

Tapi rasa gatal itu semakin kuat. Dia mendengar suara siulan
melengking di telinganya. Otot-ototnya mulai terasa sakit. Dia bisa
merasakan denyut darah di pelipisnya.

“Mungkin kita bisa mengepelnya,” Evan mendengar Andy berkata.


Tapi suaranya terdengar kecil dan jauh.

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan berbalik untuk melihatnya mengambil sebuah kain pel dan
ember dari dinding ruang bawah tanah.

Embaer itu terlalu kecil, pikir Evan. Mengapa Andy ingin


menggunakan pel sekecil itu?

Ruangan itu miring - ke kanan, lalu ke kiri.

Evan berkedip keras, mencoba untuk meluruskan semuanya.

Seluruh tubuhnya berdengung, seolah-olah ada arus listrik yang


menembak melaluinya. Dia menutup matanya dan menekan kedua
tangannya pada pelipisnya yang berdenyut-denyut.

“Evan - tidakkah kau akan membantuku?” Suara Andy terdengar


begitu samar, begitu jauh. “Evan -?” Evan mendengar Andy
memanggilnya. “Evan -?”

Ketika ia membuka matanya, ia melihat Andy dan Kermit yang


sedang menatapnya. Ekspresi mereka telah berubah. Mata mereka
melotot ketakutan dan terkejut. Mulut mereka terbuka lebar.

“Apa yang terjadi?” tuntut Evan. Suaranya menggelegar melalui


ruang bawah tanah, bergema di dinding beton.

Andy dan Kermit menatapnya. Pel kecil itu jatuh dari tangan Andy
dan jatuh ke lantai.

Benar-benar pel kecil, pikir Evan lagi, menatap itu. Benar-benar


ember kecil.

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan kemudian ia menyadari bahwa Andy dan Kermit juga kecil.

“Oh!” Satu teriakan terkejut keluar dari tenggorokan Evan.

Semua orang begitu kecil. Semuanya begitu kecil.

Evan perlu waktu lama untuk mengetahui apa yang terjadi.

Tapi ketika akhirnya sadar, dia menjerit ngeri.

“Oh, tidak, tidak!” erangnya. “Aku berkembang. Aku berkembang


membesar dan membesar!”

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
16

Evan menurunkan pandangannya ke lantai. Lantai itu tampak begitu


jauh di bawah.

“Ka - kakiku -” dia tergagap.

Andy dan Kermit masih belum berkata sepatah kata pun. Mereka
menatapnya, wajah mereka tegang keheranan.

Evan menelan ludah. “Apa yang terjadi?” teriaknya. Suaranya


menggelegar melalui ruangan kecil itu.

“Aku pasti setinggi delapan kaki!”

(1 kaki: 0,3048 meter)

“Kau - kau raksasa!” kata Kermit. Dia melangkah maju dan meraih ke
lutut Evan. “Aku juga! Oke? Oke, Evan? Jadikan aku raksasa, juga!”
ia memohon.

“Yang benar saja,” gumam Evan. Dia mengangkat Kermit dengan


mudah dan menurunkannya di atas meja laboratorium.

Lalu Evan berpaling kepada Andy. “Apa yang akan kulakukan? Ini
mengerikan!”

“Jangan keras-keras!” Andy memohon, menutupi telinganya dengan


tangannya.

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tolong, Evan - cobalah untuk berbisik atau sesuatu, oke?”

“Apa yang akan kulakukan?” ulang Evan, mengabaikan


permohonannya.

Andy memaksakan tersenyum. “Cobalah untuk basket, kurasa.”

Evan mengepalkan tangannya yang besar ke dalam tinju besar. “Aku


tak dalam suasana (yang baik) untuk selera humor sakitmu, Andy,”
bentaknya.

Tubuhnya mulai menggeletar lagi. Otot-ototnya terasa sakit.

Aku tumbuh lebih besar, ia menyadari.

Tenggorokan Evan tiba-tiba merasa sangat kering. Dia menyadari


lututnya gemetar. Keduanya membuat suara gedoran keras saat
keduanya berbenturan.

Jangan panik! perintahnya pada dirinya sendiri.

Aturan pertama adalah - jangan panik.

Tapi mengapa ia tak harus panik? Kepalanya hampir mendorong ke


langit-langit ruang bawah tanah.

Kermit berdiri di atas meja laboratorium. Sepatu bot putihnya


berlumuran dengan adonan kuning. Keduanya tampak seperti sepatu
boneka kecil bagi Evan.

“Jadikan aku raksasa, juga!” Kermit memohon. “Mengapa aku tak


dapat menjadi raksasa?”

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan menatap sepupunya. Kermit benar-benar terlihat seperti seekor
tikus putih kecil sekarang.

Tubuh Evan menggeletar lebih keras. Ruangan miring dan bergoyang


lagi. “Ini salahmu, Andy!” teriaknya.

Andy mundur dinding. “Hah? Salahku?”

“Kau dan Darah Monstermu!” (suara) Evan mengguntur. “Aku - aku


menelan sebagian!”

Andy menatapnya. “Bagaimana?”

“Saat campuran Kermit meledak,” jawab Evan. “Aku meletakkan


batang permen di mulutku. Adonan itu meledak. Aku mulai tersedak.
Adonan itu menghantam wajahku. Aku ingat. Aku merasakannya di
bibirku Dan - Dan -”

“Dan Darah Monster itu di dalamnya!” Andy menyelesaikan kalimat


itu untuknya. Wajahnya penuh dengan kengerian. “Oh, Evan. Aku
minta maaf. Aku benar-benar minta maaf.”

Tapi lalu wajahnya cerah. “Darah Monster itu terpercik pada


pakaianmu juga. Itu keberuntungan. Pakaian itu berkembang
denganmu.”

Evan mendesah putus asa. “Beruntung?” teriaknya. “Kau menyebut


ini beruntung? Bagaimana jika aku terus berkembang dan tak pernah
berhenti?”

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit tetap berdiri di meja laboratorium. Dia menatap Evan.
“Maksudmu kalau aku makan beberapa adonan, aku akan berubah
jadi raksasa juga?” Dia membungkuk dan meraup segenggam adonan.

“Jangan nekat!” jerit Evan. Dia membungkuk dan menjentikkan


adonan itu keluar dari tangan Kermit dengan dua jari. Lalu ia berdiri
di atas Kermit, memelototinya mengancam. “Aku bisa meremasmu,
Kermit. Aku benar-benar bisa,” kata Evan.

“Oke, oke,” gumam Kermit, suaranya gemetar. Dia turun dari meja
dan melangkah ke belakang Andy.

Wow, pikir Evan, aku benar-benar membuat Kermit takut padaku! Ini
yang pertama. Mungkin jadi begitu besar tidak buruk semuanya!

Tubuhnya bergetar dan menggelenyar. Siulan di telinganya semakin


keras. Dia bisa merasakan dirinya tumbuh lagi.

Dia berbalik untuk melihat pada Dogface ke dalam ruangan. Anjing


gembala yang besar itu tampak seperti seekor anjing pudel mungil.

Anjing itu cegukan. Ia mengendus-endus genangan kuning adonan di


atas lantai.

“Jangan!” teriak Evan. “Jangan makan itu! Dogface - jangan!”

Dia membungkuk dan mengangkat anjing gembala itu.

Melihat manusia raksasa mengangkatnya dari lantai dengan mudah,


Dogface mendengking ngeri. Keempat kakinya meronta-ronta di

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
udara saat anjing yang ketakutan itu berusaha untuk membebaskan
diri.

Tapi Evan memeluk anjing gembala itu dengan satu tangan dan
memeganginya erat-erat.

Ketika Dogface sadar bahwa ia tak bisa melarikan diri dari raksasa
itu, dengkingan anjing ketakutan jadi rintihan-rintihan pelan.

“Bawa keluar Dogface dari sini. Kunci di luar,” perintah Evan pada
Kermit. Dia menurunkan anjing yang merintih itu ke lantai.

Kermit dengan patuh membimbing anjing itu pergi. Setengah jalan ke


tangga, ia berbalik kembali kepada Evan. “Hei, kau menyembuhkan
cegukan Dogface!”

Kurasa aku membuat cegukan itu ketakutan keluar darinya! Kata


Evan pada dirinya sendiri.

Kermit membimbing Dogface menaiki tangga. Evan berpaling kepada


Andy. “Kukatakan padamu untuk meninggalkan Darah Monster di
lemari!” teriaknya. “Sekarang lihat aku!”

Evan harus menundukkan kepalanya. Jika tidak kepalanya akan


bersentuhan dengan langit-langit.

“Siapa yang memberitahumu untuk makan benda itu?” jawab Andy.


“Mengapa kau harus makan batangan permen itu?”

“Ini adalah bagian dari rencana - ingat?” Bentak Evan marah. Dia
mendesah pahit.

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Rencana Bagus kita!”

“Kurasa ini tak bekerja terlalu baik,” Andy mengakui.

“Kurasa tidak,” gumam Evan. “Sekarang apa yang akan terjadi


padaku? Apa yang akan Ibu dan Ayah katakan?”

“Apa yang akan kau makan?” tambah Andy. “Kau mungkin harus
makan enam belas kali sehari! Dan di mana kau akan tidur? Dan
bagaimana kau bisa pergi ke sekolah? Tak ada meja cukup besar
untukmu. Dan apa yang akan kaupakai? Mereka harus membuat
kaosmu dari seprai! “

“Kau tak menghiburku,” gumam Evan murung.

Dia merasa tubuhnya gatal. Sekali lagi, ia bisa merasakan kulitnya


meregang, merasakan semua ototnya berdenyut-denyut.

“Aduh!” teriaknya saat bagian atas kepalanya membentur langit-


langit. Dia harus membungkuk untuk menggosok kepalanya.

“Evan - kau berkembang!” seru Andy.

“Aku tahu. Aku tahu,” gerutu Evan. Langit-langit ruang bawah tanah
itu setidaknya sembilan kaki tingginya. Evan harus membungkuk
untuk menjaga dari benturan langit-langit. Itu berarti dia lebih dari
sembilan kaki.

Gigilan ketakutan mengguncang tubuhnya. Dia melirik ke sekeliling


ruang bawah tanah. “Aku harus keluar dari sini!” teriaknya.

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit kembali ke ruangan. Dia berhenti dan melongo (melihat)
Evan. “Kau berkembang lebih besar!” teriaknya. “Aku berani
bertaruh beratmu300 pound!”

(1 pounds: 0,45359237 kilogram.)

“Aku tak punya waktu untuk menimbang diriku sendiri,” jawab Evan
sambil memutar matanya. “Aku harus keluar dari sini. Aku begitu
besar, aku tak bias berdiri. Aku begitu besar, aku -”

Dia berhenti. Dia merasa dirinya berkembang sedikit lagi.

“Aku terlalu besar sekarang!” teriaknya. “Aku terjebak di bawah sini.


Aku tak'mungkin bisa keluar!”

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
17

“Tetap tenang,” panggil Andy padanya.

“Tenang? Bagaimana aku bisa tetap tenang?” jerit Evan. “Aku akan
menghabiskan sisa hidupku di ruang bawah tanah ini! Aku terlalu
besar untuk tangga!”

“Ibu tak akan suka,” kata Kermit, menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Coba tangganya!” teriak Andy. “Mungkin kau bisa menyelip naik


jika kau buruburu!”

Evan berbalik ke tangga ruang bawah tanah. “Aku - aku tak berpikir
aku akan pas,” dia tergagap. Tangga itu tampak sangat sempit. Dan
Evan sekarang sangat lebar.

“Ayolah,” desak Andy. “Kami akan membantumu.”

“Kau mendorong dan aku akan menarik,” kata Kermit, berlari ke


tangga. Evan terhuyung-huyung menuju tangga. Sepatunya berdebam
keras di lantai ubin. Dia membungkukkan bahunya untuk menjaga
kepalanya dari membentur langitlangit.

“Cobalah untuk tak berkembang lebih besar!” panggil Andy,


mengikutinya dekat di belakangnya.

“Saran yang bagus!” jawab Evan sinis. “Apa kau punya saran seperti
itu lagi?”

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jangan jahat,” omel Andy. “Aku cuma berusaha untuk
membantumu.”

“Kau sudah membantuku lebih dari cukup,” gerutu Evan. Dia merasa
tubuhnya mulai gatal. Otot-ototnya mulai berdenyut-denyut.

“Tidak! Tolong - tidak!” Evan mengucapkan permohonan tanpa


suara. Aku tak ingin berkembang lagi! Evan menarik napas dalam-
dalam dan menahannya. Dia memejamkan mata eraterat dan berusaha
berkonsentrasi - berkonsentrasi untuk tak tumbuh.

“Kupikir aku baru saja melihatmu berkembang beberapa inci lagi,”


kata Andy padanya. “Sebaiknya kau bergegas, Evan.”

“Seberapa Evan akan jadi besar?” tanya Kermit. Dia telah naik di
tengah menaiki tangga. “Apakah dia akan jadi lebih besar dari seekor
gajah?”

“Itu tak membantu, Kermit,” gumam Evan sedih. “Tolong berhenti


bertanya seperti itu - oke?”

“Jika kau jadi sebesar gajah, akankah kau memberiku tumpangan?”


pinta Kermit.

Evan melotot marah pada sepupunya. “Apa kau tahu apa yang gajah
lakukan pada tikus?” teriaknya. Evan mengangkat satu kaki dan
menurunkannya dengan bunyi berderak untuk menunjukkan kepada
Kermit apa gajah lakukan untuk tikus.

Kermit menelan ludah dan tak berkata apa-apa lagi.

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan berjalan ke tangga. Dia melirik ke atas tangga. “Aku tak berpikir
aku bisa,” katanya pada Andy. “Aku terlalu besar.”

“Cobalah,” desaknya. “Kau harus bisa, Evan.”

Evan melangkah ke anak tangga pertama. Membungkuk rendah, ia


mengangkat dirinya ke anak tangga berikutnya.

“Kau melakukannya!” teriak Kermit gembira. Dia tinggal di puncak


tangga, mengawasi gerak maju Evan dengan bersemangat.

Evan melangkah lagi. Tangga kayu berderak di bawah berat


badannya. Dia mencoba bersandar pada pegangan tangga. Tapi
pegangan itu berderak di bawah tangannya.

Dia menaiki dua anak tangga lagi. Dia sepertiga jalan ketika ia jadi
terjebak. Tubuhnya terlalu lebar untuk tangga yang sempit itu.

Kermit menarik kedua tangan Evan. Andy mendorongnya dari


belakang. Tapi mereka tak bisa membuatnya bergerak.

“Aku - aku tak bisa bergerak,” Evan tergagap. Dia merasa panik
tenggorokannya tercekat. “Aku terjepit ketat di sini. Tak mungkin aku
akan bisa keluar!.”

Lalu ia merasakan tubuhnya mulai gatal. Dan ia tahu ia berkembang


membesar.

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
18

Saat Evan berkembang, ia mendengar suara retakan.

Pada awalnya pelan. Lalu keras. Sangat dekat.

Dia menjerit saat dinding di sebelah kirinya hancur. Tubuhnya yang


berkembang telah memecahkan dinding.

Saat dinding itu retak dan jatuh, Evan menarik napas dalam-dalam
dan meluncur menaiki tangga.

“Berhasil!” serunya saat ia menyelip melalui ambang pintu.

Beberapa detik kemudian, dia keluar nendadak melalui pintu dapur,


ke halaman belakang yang diterangi matahari.

Dogface tergeletak berbaring di dekat pagar. Anjing itu melompat


berdiri saat Evan raksasa muncul. Ketakutan, Dogface menggonggong
keras, ekornya pendeknya bergoyang-goyang hebat, lalu berbalik dan
kabur dari halaman.

Kermit dan Andy mengikuti Evan ke halaman belakang, bersorak dan


berteriak, “Kau berhasil! Kau bebas!”

Evan berbalik menghadap mereka. “Tapi sekarang apa?” tanyanya.


“Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku sudah hampir setinggi
garasi. Seberapa tinggi aku akan berkembang?”

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kermit melangkah lebih dekat kepada Evan. “Lihat - Aku berdiri di
bayanganmu!” katanya.

Bayangan Evan jatuh di halaman seperti bayangan sebatang pohon.


“Kermit, yang benar saja,” gumam Evan. “Aku punya sedikit masalah
kecil di sini, kau tahu?”

“Mungkin kita harus membawamu ke dokter,” saran Andy.

“Dokter?” teriak Evan. “Apa yang bisa dokter lakukan untukku?”

“Membuatkanmu diet?” Andy bercanda.

Evan membungkuk, menyipitkan mata ke arahnya mengancam.


“Andy, aku memperingatkanmu. Satu lelucon buruk lagi, dan -.”

“Oke, oke.” Andy mengangkat tangannya seolah-olah mencoba untuk


melindungi dirinya darinya. “Maaf. Hanya mencoba untuk tetap
terang (light).”

“Evan tak ringan (light). Dia berat!.” Kermit menimpali masuk.


Idenya akan suatu lelucon.

Evan menggeram sedih. “Aku tak berpikir dokter bisa membantuku.


Maksudku, aku tak bisa masuk ke kantor dokter.”

“Tapi mungkin kalau kita membawa terus kaleng Darah Monster,


dokter bias mengetahui penawarnya,” saran Andy. “Semacam obat.”

Evan mulai untuk menjawab. Tapi suara-suara nyaring di sisi lain dari
pagar kayu tinggi di belakang halaman membuatnya berhenti.

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Hentikan itu, Conan!” pinta seorang gadis.

“Ya. Tinggalkan kami sendirian, Conan!” Evan mendengar teriakan


anak laki-laki.

Evan berjalan dengan susah payah ke pagar dan menatap ke halaman


Conan. Dia melihat Conan Barber dengan marah mengayunkan
tongkat kasti, mengayunkannya dengan keras, memaksa seorang anak
kecil dan perempuan untuk mundur ke pagar.

“Ayo kita pergi!” jerit gadis kecil itu. “Kenapa kau begitu buruk?”

Conan mengayunkan pemukul itu, membuatnya dekat pada anak laki-


laki dan perempuan itu, membuat mereka menjerit.

Evan bersandar di atas pagar. Bayangannya yang luas jatuh pada


Conan.

“Mau main bola denganku, Conan?” (suara)Evan menggelegar.

Dua anak kecil itu berputar. Mereka menatap Evan yang besar.
Mereka butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka sedang
memandangi manusia raksasa asli. Lalu mereka mulai menjerit.

Mulut Conan melongo dan suara deguk tercekik keluar dari


tenggorokannya.

“Hei, Conan, bagaimana kalau sedikit latihan memukul?” tanya Evan,


suaranya menggelegar di halaman belakang. Evan meraih di atas
pagar dan mengambil pemukul dari tangan Conan.

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Anak laki-laki dan perempuan itu lari menjerit. Mereka melesat
melewati pagar di sisi halaman Conan dan terus berlari sampai
mereka lenyap dari pandangan.

Evan mengambil tongkat pemukul dan mematahkannya jadi dua di


antara tangannya. Pemukul itu terpisah retak seperti tusuk gigi.

Conan membeku di tempat, menatap Evan tak percaya. Dia menunjuk


dengan jari gemetar. “Evan - Kau - Kau - Kau -” dia tergagap.

Evan melemparkan dua potongan pemukul yang retak itu di kaki


Conan, memaksa Conan untuk melompat menjauh.

“Kau makan Darah Monster!” tuduh Conan. “Benda hijau lengket itu
-benda yang Cuddles si hamster makan tahun lalu! Kau memakannya
- bukan!”

Evan tak ingin diingatkan tentang Cuddles si hamster. Makhluk kecil


itu berubah jadi binatang buas ganas yang besar setelah memakan
Darah Monster. Cuddles telah kembali ke ukuran hamster hanya
karena Darah Monster sudah lama dan basi.

Namun Darah Monster yang Evan telan masih baru dan segar.

Sekarang aku seekor binatang buas ganas yang besar, pikir Evan
sedih.

“Apa kau gila? Apa kau benar-benar kacau? Mengapa kau makan
Darah Monster?” tuntut Conan.

“Itu kecelakaan,” kata Evan padanya.

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Conan terus menatap ke arah Evan, tetapi ekspresi ketakutannya
memudar. Conan tiba-tiba mulai tertawa. “Aku senang itu terjadi
padamu dan bukan aku!” serunya.

“Hah? Kenapa?” tuntut Evan.

“Karena aku takut ketinggian!” jawab Conan. Dia tertawa lagi. “Aku
selalu berpikir kau adalah kutu, Evan!” kata Conan. “Tapi sekarang
kau itu kutu BESAR!”

Evan mengeluarkan geraman marah dan menerjang maju. Dia


mencoba memanjat pagar. Tapi dia tak melangkah cukup tinggi.
Pagar Conan pecah di bawah sepatu berat Evan.

“Hei -!” teriak Conan ketakutan.

Dia mencoba untuk berbalik dan lari, tapi Evan terlalu cepat baginya.

Evan meraih bagian bawah bahu Conan dan mengangkatnya dari


tanah seolah-olah ia tak punya berat.

“Lepaskan! Lepaskan aku!” jerit Conan. Dia menendang-nendangkan


lengan dan kakinya seperti bayi.

“Aku tak pernah tahu kau takut ketinggian,” kata Evan. Menahan
Conan dengan kedua tangan, ia mengangkat Conan tinggi-tinggi di
udara.

“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriak Conan. “Apa yang akan kau
lakukan?”

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ayo kita lihat apa kau tahu bagaimana caranya untuk terbang!” seru
Evan.

“Jangaaaan!” Teriakan melengking Conan naik di atas halaman. Dia


menendang dan meronta-ronta saat Evan mengangkatnya lebih tinggi
lagi. “Turunkan aku! Turunkan aku!”

“Oke,” kata Evan. “Aku akan menurunkanmu ke bawah.” Dia


meletakkan Conan di atas cabang pohon yang tinggi.

Conan berpegang erat-erat pada batang untuk menyelamatkan


hidupnya, gemetar dan menangis. “Evan - jangan tinggalkan aku di
sini! Tolong! Kukatakan padamu, aku takut ketinggian! Evan -
kembalilah! Evan!”

Dengan senyum lebar di wajahnya yang besar, Evan berpaling dari


Conan. “Itu sangat menyenangkan!” katanya kepada teman-temannya.

Conan terus menangis dan meratap di atas pohon. Evan melangkah


menuju halaman depan.

“Itu bagus!” kata Evan, masih menyeringai. “Bagus!”

“Kemana kau akan pergi?” Evan mendengar Andy memanggilnya.

“Ya! Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Kermit penuh
semangat.

“Ini agak keren!” kata Evan. Balas dendam pada Conan telah
membuat suasana hatinya lebih baik. “Ayo kita lihat apa kita bisa
bersenang-senang lagi!”

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Yaaaay!” teriak Kermit, berpacu untuk bersaing dengan Evan.

Evan menundukkan kepalanya agar tak terbentur pada sebuah cabang


pohon yang rendah. Dia mengambil beberapa langkah besar ke arah
jalan.

“Oh!” Dia berhenti dan berteriak ketika ia merasa dirinya menginjak


sesuatu. Dia mendengar retakan, lalu suara berderak di bawah
sepatunya yang besar.

Dia berbalik untuk melihat Kermit mengangkat kedua tangan ke


wajahnya. “Oh, tidak!” jerit Kermit. “Kau menggencet Andy! Evan -
kau menggencet Andy!”

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
19

Evan terkesiap dan menyentakkan kakinya.

Kermit mengeluarkan tawa bernada tingginya. “Kena kau, Evan!”

Andy datang berlari di atas dari jalanan masuk. “Itu tak lucu!”
omelnya pada Kermit. “Itu lelucon yang benar-benar bodoh, Kermit.
Kau membuat Evan ketakutan setengah mati.”

“Aku tahu!” Kermit tertawa, sangat senang dengan dirinya sendiri.

Evan mendesah lega. Dia membungkuk untuk melihat apa yang telah
ia injak. Papan luncur Conan. Papan itu tergeletak hancur dan pecah,
rata di atas rumput. Dia berbalik dengan marah pada Kermit. “Tak ada
lagi lelucon bodoh,” teriaknya.

“Atau aku akan menempatkanmu di pohon dengan Conan.”

“Oke. Oke,” gumam Kermit. “Kau pikir kau kuat hanya karena kau
begitu besar.”

Evan mengangkat jari telunjuknya. “Hati-hati, Kermit,” ia


memperingatkan. “Aku bisa merobohkanmu dengan satu jari.”

“Conan masih berteriak-teriak minta tolong di sana,” lapor Andy.

Evan tersenyum. “Ayo kita lihat siapa yang nongkrong di taman


bermain. Mungkin kita bisa mengejutkan anak-anak yang lain.”

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan menyeberangi jalan, mengambil langkah-langkah panjang yang
berat. Dia merasa seolah-olah ia berjalan di atas panggung. Ini agak
keren, katanya pada diri sendiri. Aku orang terbesar di dunia!

Dia melewati ring basket tetangga, yang berdiri di atas tiang di


pinggir jalan. Hei aku setidaknya enam kaki lebih tinggi daripada
keranjang itu! ia menyadari.

“Hei - tunggu dulu!” panggil Andy terengah-engah. “Jangan berjalan


begitu cepat!”

“Aku tak bisa membantu!” jawab Evan.

Sebuah mobil biru kecil bergerak, lalu berdecit untuk berhenti. Evan
bisa melihat seorang wanita dan dua anak-anak di dalam mobil.
Mereka semua menatap ke arahnya.

Seorang gadis kecil di sepeda berbelok di tikungan. Dia mulai


mengayuh menuju Evan. Evan melihat ekspresi terkejut di wajahnya
ketika dia melihat Evan. Gadis itu mengerem sepedanya dengan
keras, hampir terguling di atas setang. Lalu ia berbalik dan melesat
keluar dari pandangan.

Evan tertawa.

Mobil lain berdecit-decit berhenti. Saat ia mulai menyeberang jalan


lain, Evan berbalik untuk melihat siapa yang di dalam mobil. Dia tak
melihat ke mana ia pergi. Suatu derakan keras membuatnya berhenti.
Dengan napas tertahan, ia menatap ke bawah - dan melihat bahwa ia
telah menginjak sebuah mobil.
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Oh, tidak!” teriak Evan. Sepatunya telah menghancurkan bagian atas
mobil seolah-olah itu terbuat dari kertas timah.

Evan mundur ngeri. Apakah ada seseorang di dalam?

Dia berlutut untuk menatap jendela. “Terima kasih Tuhan!” teriaknya


ketika dia melihat bahwa mobil itu kosong.

“Wow!” seru Kermit, berjalan mengitari mobil hancur itu. “Pasti


beratmu setidaknya satu ton, Evan!”

Andy melangkah ke samping Evan, yang tetap berlutut. “Hati-hati,” ia


memperingatkan. “Kau harus mengawasi setiap langkah.”

Evan mengangguk setuju. “Setidaknya kupikir aku sudah berhenti


berkembang,” katanya kepada Andy.

Ketika mereka sampai taman bermain, Evan melihat beberapa anak


berteriak dan menunjuk dengan bersemangat pada pohon maple yang
tinggi di tikungan.

Apa yang terjadi? Evan bertanya-tanya. Saat dia terhuyung-huyung


mendekat, ia melihat masalahnya. Layang-layang kuning mereka
tersangkut di pohon.

“Hei - tak ada masalah!” kata Evan meledak.

Anak-anak menjerit dan berteriak kaget saat Evan melangkah


mendekati mereka.

Mereka semua mundur, wajah mereka penuh ketakutan.

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan meraihnya dengan mudah dan menarik layang-layang itu lepas
dari dahan pohon. Lalu dia membungkuk dan dengan lembut
menyerahkannya kepada anak yang terdekat.

“Hei, trims!” Sebuah senyuman tersungging di wajah berbintik-bintik


anak itu.

Anak-anak yang lain semua bersorak. Evan membungkuk.

Andy tertawa. “Kau butuh jubah merah dan celana ketat biru,”
teriaknya ke arah

Evan. “Ini Super Evan!”

“Super Evan!” teriak anak-anak ketika mereka berlari gembira dengan


layanglayang mereka.

Evan membungkuk untuk berbicara dengan Andy. “Jika aku tetap


besar seperti ini, apa kau pikir aku benar-benar bisa mendapatkan
pekerjaan sebagai pahlawan super?”

“Aku tak berpikir bayarannya sangat bagus,” sela Kermit “Dalam


buku-buku komik, kau tak pernah melihat orang-orang itu dibayar.”

Mereka menyeberangi jalan dan menuju taman bermain. Evan melirik


gedung sekolah bata merah di pojokan. Ini sangat kecil, pikirnya.

Dia tiba-tiba menyadari bahwa ia berdiri setidaknya setinggi dua


tingkat. Jika aku berjalan di sana, aku bisa melihat ke lantai dua ruang
kelas, pikirnya.

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bagaimana aku pergi ke sekolah? Evan bertanya-tanya. Aku tak bisa
masuk melalui pintu. Aku tak akan muat di ruangan Mrs McGrady
lagi.

Merasa gelombang kesedihan menggoncangnya, dia berpaling dari


gedung sekolah. Dia mendengar sorakan dan teriakan. Suatu
permainan softball sedang berlangsung pada lapangan praktek.

Evan mengenali Billy Denver, Brian Johnson dan beberapa anak


lainnya. Dia selalu harus memohon untuk bermain softball dengan
mereka. Mereka tak pernah menginginkan Evan dalam tim mereka
karena dia bukanlah pemukul yang sangat baik.

Dia berjalan di atas rumput lapangan praktek itu. Andy dan Kermit
berlari di belakangnya, berusaha untuk mengikutinya.

Brianmulai melempar bola. Tapi dia berhenti sejenak saat ia melihat


Evan. Bola jatuh dari tangannya dan jatuh ke tanah.

Pemain di kedua tim terkesiap dan berteriak-teriak. Evan melangkah


ke Brian di tempat pelempar. Mata Brian melotot ketakutan saat Evan
semakin dekat. Brian mengangkat tangannya untuk melindungi
dirinya sendiri. “Jangan sakiti aku!” pintanya.

“Hei - itu Evan!” seru Billy. “Lihat, teman-teman! Itu Evan!”

Anak-anak dari kedua tim berkumpul di sekitar, bergumam penuh


semangat, dengan gugup. Brian perlahan menurunkan tangannya dan
menatap Evan raksasa. “Wow! Itu benar-benar kau! Evan -
bagaimana kau melakukannya?”
99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa yang terjadi padamu?” teriak anak yang lain.

“Dia sudah bekerja keluar!” kata Andy pada mereka.

Anak-anak tertawa. Tawa yang sangat tegang. Andy selalu punya


lelucon untuk segala sesuatu, pikir Evan.

“Eh... Ingin bermain?” tanya Brian. “Kau bisa berada di timku.”

“Tidak. Timku!” Billy bersikeras.

“Tak mungkin. Dia di timku!” teriak Brian. “Kita sesama orang


pendek, ingat?”

“Jangan katakan pendek di dekat Evan!” Andy bercanda.

Semua orang tertawa lagi.

Billy dan Brian terus berebut tim mana yang akan mendapatkan Evan.
Evan berdiri mundur dan menikmati perdebatan itu. Dia mengambil
tongkat kayu. Itu selalu tampak begitu berat sebelumnya. Sekarang
rasanya ringan seperti pensil.

Billy memenangkan perdebatan. “Kau bisa memukul sekarang,


Evan,” katanya, menyeringai ke arahnya.

“Bagaimana aku bisa melempar padanya? Dia itu raksasa!” keluh


Brian.

“Lempar bola itu setinggi-tingginya,” saran Evan.

“Evan, apa ayah dan ibumu tahu kau tumbuh seperti ini?” tanya Billy,
berjalan ke home plate samping Evan.
100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
(home plate: base/tempat yang dibuat dari papan karet dimana
pemukul bola berdiri)

Evan menelan ludah. Dia tak pernah berpikir tentang kedua


orangtuanya. Mereka akan pulang dari bekerja segera. Mereka tak
akan senang tentang hal ini.

Bagaimana ia menyampaikan berita itu kepada mereka? ia bertanya-


tanya. Dan kemudian ia berpikir: Aku tak perlu menyampaikan berita
ini kepada mereka.

Mereka akan melihat sendiri apa yang telah terjadi!

Dia melangkah ke (home) plate dan mengayunkan pemukul ke


bahunya.

“Seandainya kita punya pemukul yang lebih besar,” gumamnya.


Pemukul itu sedikit lebih besar dari sedotan minum.

“Buat satu pukulan!” teriak Billy dari belakang backstop.

(backstop: pagar/layar di belakang home plate)

“Pukul, Evan!” kata beberapa pemain yang lain.

Lemparan pertama Brian melayang melewati pergelangan kaki Evan.

“Lebih tinggi!” kata Evan padanya. “Kau harus melemparnya lebih


tinggi.”

“Aku sedang mencoba!” Brian menggerutu. Dia menarik mundur bola


dan melemparkannya lagi.

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kali ini, bola itu terbang melewati lutut Evan.

“Sulit untuk melempar sedemikian tinggi,” keluh Brian. “Ini tak adil.”

“Buat dia keluar, Brian!” teriak anak di base pertama. “Kau dapat
melakukannya. Evan selalu strike out!.”

(strike out: pemain keluar lapangan jika tidak berhasil memukul bola
3 kali berturut-turut)

Memang benar, pikir Evan sedih. Aku biasanya strike out.

Dia mencengkeram pemukul kecil itu lebih erat, menyeimbangkannya


melewati bahunya. Dia tiba-tiba bertanya-tanya apa jadi begitu besar
akan membuat perbedaan.

Mungkin dia baru saja strike out lebih besar!

Lemparan Brian berikutnya melayang lebih tinggi. Evan


mengayunkan dengan keras. Pemukul itu memukul bola dengan
pukulan keras yang memekakkan telinga- dan membuatnya pecah jadi
dua.

Bola itu melayang naik, naik, naik. Dari taman bermain. Di atas
sekolah. Dan keluar dari pandangan, di suatu tempat di blok
berikutnya.

Sorakan dan teriakan takjub terdengar di atas lapangan.

Evan menyaksikan bola itu terbang keluar dari pandangan. Lalu ia


melompat gembira di udara dan mulai berlari ke base.

102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Home run terpanjang dalam sejarah dunia!

(home run: Pemukul yang dapat memukul dengan keras dan jauh
melebihi jarak „Out Field‟, maka dia dapat dengan mudah mencapai
semua Base hingga kembali ke Home Plate tanpa harus dikeluarkan
oleh tim yang bertahan, dan dia berhasil menyumbangkan 1 angka)

Hanya butuh empat langkah di antara base-base. Evan baru saja ke


base kedua ketika dia mendengar sirene.

Mata Evan berpaling ke jalanan pada waktunya untuk melihat dua


truk pemadam kebakaran berdecit di sekitar sudut (jalan). Truk-truk
itu berhenti tepat ke rumput taman bermain dan menderu menuju
lapangan softball, dengan sirene meraungraung.

Evan berhenti di base ketiga.

Sirene berhenti saat kedua mobil pemadam kebakaran bergulir


berhenti di sepanjang garis base pertama.

Mulut Evan melongo saat Conan Barber melompat keluar dari truk
pertama.

Beberapa petugas pemadam kebakaran berseragam hitam turun ke


tanah di belakang Conan.

“Itu dia!” teriak Conan, dengan marah menunjuk pada Evan. “Itu dia!
Tangkap dia!”

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
20

Wajah-wajah muram pemadam kebakaran mulai mengangkat selang


karet berat pemadam api dari truk. Petugas yang lain bergerak menuju
Evan, kapak-kapak tergenggam di tangan mereka mengancam.

“Itu dia!” jerit Conan. “Dia orang yang meletakkanku di pohon dan
menghancurkan pagar orangtuaku!”

“Hah?” Masih berdiri di base ketiga, Evan membeku terkejut. Apa ini
benar-benar terjadi?

Taman bermain terdengar ramai dengan teriakan kaget. Tapi suara-


suara itu tenggelam oleh sirene-sirene lagi.

Evan melihat lampu-lampu merah berkedap-kedip. Dan kemudian dua


mobil polisi hitam-putih meraung-raung di atas rumput, berdecit-decit
di belakang pemadam kebakaran. Seorang pria dan wanita datang
berlari di belakang mobil-mobil polisi.

“Itu orangnya!” kata mereka terengah-engah, menunjuk Evan. “Itu


orang yang menghancurkan mobil. Kami melihat ia melakukannya!.”

Para petugas pemadam kebakaran sibuk menghubungkan selang ke


sambungan pipa air di pinggir jalan. Polisi berseragam biru menyerbu
ke lapangan. Anak-anak kedua tim sofbol itu berkerumun di
gundukan pelempar. Mereka semua tampak bingung dan ketakutan.

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dia mencoba membunuhku!” teriak Conan kepada seorang polisi
wanita.

“Raksasa itu meletakkanku di pohon dan meninggalkanku di sana!”

“Dia menghancurkan mobil!” jerit seorang wanita.

Evan belum beranjak dari base ketiga. Dia menatap melewati


pemadam kebakaran pada Andy dan Kermit. Mereka berdiri di dekat
backstop. Wajah Kermit tersenyum bodoh lebar.

Andy menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya. Dia


meneriakkan sesuatu pada Evan. Tapi Evan tak bisa mendengarnya di
atas raungan sirene, teriakan bersemangat dan kata-kata semua orang
di taman bermain.

Beberapa petugas polisi dan pemadam kebakaran bergerombol,


berbicara dengan cepat. Mereka terus melirik Evan saat mereka
berbicara.

Apa yang akan mereka lakukan padaku? Evan bertanya-tanya,


membeku ketakutan. Haruskah aku lari? Haruskah aku coba untuk
menjelaskan?

Lebih banyak orang bergegas melintasi taman bermain. Begitu


mereka melihat Evan, ekspresi mereka berubah jadi terkejut dan
takjub. Mereka semua menatapku, Evan sadar. Mereka menunjuk ke
arahku seolah-olah aku semacam (makhluk) aneh.

Aku semacam (makhluk) aneh! ia mengakui pada dirinya sendiri.

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Petugas pemadam kebakaran membentuk suatu garis, memegang
kapak mereka setinggi pinggang. Petugas lainnya menyiapkan selang-
selang karet pemadam api, mengarahkannya ke dada Evan.

Evan mendengar sirene-sirene lagi. Mobil-mobil polisi bergulir lagi


ke taman bermain. Seorang polisi muda dengan rambut merah
bergelombang dan kumis merah melangkah kepada Evan. “Siapa -
nama - mu?” teriaknya, berbicara perlahan di setiap kata, mungkin
seolah-olah Evan tak berbicara bahasa Inggris.

“Eh... Evan. Evan Ross.,” kata Evan.

“Apa kau datang dari planet lain?” teriak petugas itu.

“Hah?” Evan tak bisa menahan diri. Dia tertawa terbahak-bahak. Dia
mendengar beberapa pemain sofbol tertawa juga.

“Aku tinggal di Atlanta,” teriaknya ke petugas. “Di pojokan. Di jalan


Brookridge.”

Beberapa petugas dan petugas pemadam kebakaran menutupi telinga


mereka. Suara Evan keluar lebih keras daripada yang ia rencanakan.

Evan melangkah ke arah mereka. Para petugas pemadam kebakaran


mengangkat selang pemadam kebakaran.

Beberapa orang lainnya menyiapkan kapak mereka.

“Dia berbahaya!” Evan mendengar teriakan Conan. “Awas! Dia


benar-benar berbahaya!” Itu membuat semua orang berteriak dan
menjerit.

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Taman bermain itu penuh dengan orang-orang. Orang-orang
lingkungan itu. Anakanak dan orang tua mereka. Mobil-mobil
berhenti dan orang-orang keluar untuk melihat mengapa orang banyak
berkumpul.

Mobil-mobil polisi lebih banyak lagi menabrak di atas rumput.


Raungan sirene mereka menambah suara yang memekakkan telinga,
teriakan-teriakan dan tangisan-tangisan, bisikan-bisikan ketakutan.

Kebisingan. Tatapan mata. Tunjukan jari.

Semuanya mulai membuat Evan pusing.

Dia merasa kakinya gemetar. Dahinya berdenyut-denyut.

Polisi telah membentuk suatu garis. Mereka mulai melingkari Evan.

Ketika mereka mendekat, Evan merasa dirinya meledak. “Aku tak


tahan lagi!” teriaknya, menaikkan tinjunya. “Hentikan! Hentikan!
Kalian semua! Pergilah! Tinggalkan aku sendiri! Aku serius!”

Hening saat sirene berhenti. Suara-suara itu terdiam.

Lalu Evan mendengar polisi berambut merah berteriak pada yang


lain: “Dia berubah jadi ganas. Kita harus merobohkannya!”

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
21

Evan tak punya waktu untuk ketakutan.

Selang-selang air bersuara meledak dan berdeguk - lalu


menembakkan keluar aliran air tebal.

Evan merunduk rendah. Menukik maju. Mencoba untuk menjauhi


dari air yang bergemuruh itu.

Kekuatan aliran air merobek tanah di sampingnya.

Evan berkelit ke sisi lain.

Wow! Kuat sekali! pikirnya, ngeri. Air itu cukup kuat untuk
menjatuhkanku!

Teriakan-teriakan ketakutan melebihi gemuruh air.

Evan meloncati melalui barisan polisi gelap berseragam - dan terus


berlari. “Jangan tembak!” jeritnya. “Jangan tembak aku! Aku bukan
dari planet lain! Aku Cuma anak laki-laki!”

Dia tak tahu apakah mereka bisa mendengarnya atau tidak. Dia
menghindar melewati beberapa penonton yang kaget. Sebuah kait dan
tangga yang panjang berdiri di jalannya. Dia berhenti. Melirik ke
belakang.

Petugas pemadam kebakaran memutar selang. Semprotan kuat


melengkung tinggi.
108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Air jatuh ke tanah tepat di belakang Evan, sekeras guntur.

Anak-anak dan orang tua berlarian ke segala arah, panik, ekspresi


ketakutan pada wajah mereka.

Evan menarik napas dalam-dalam. Menekuk lututnya. Dan melompati


truk pemadam kebakaran di jalan.

Dia mendengar teriakan-teriakan terkejut belakangnya. Dia melompat


tinggi di atas truk. Mendarat keras di sisi lain. Tersandung.
Mendapatkan keseimbangan.

Kemudian, merunduk rendah, lengannya terentang di depannya, Evan


lari.

Kakinya yang panjang membawanya pergi dengan cepat. Saat ia


sampai di jalanan, sebuah cabang pohon rendah muncul entah dari
mana. Evan menurunkan kepalanya tepat pada waktunya.

Daun-daun menggesek dahinya, tapi ia terus berlari.

Hati-hati akan cabang-cabang pohon, ia memperingatkan dirinya


sendiri. Harus ingat bahwa aku dua tingkat tingginya.

Bernapas keras, dia meloncat di seberang jalan. Matahari sore hari


turun dibalik pepohonan. Bayangan-bayangan sekarang lebih panjang
dan lebih gelap.

Bayangan Evan yang tampak sepanjang satu mil terbentang di


depannya.

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia mendengar sirene-sirene melengking naik turunnya di
belakangnya.

Mendengar teriakan-teriakan marah. Mendengar bunyi langkah-


langkah kaki, orang-orang yang mengejarnya.

Di mana aku bisa bersembunyi? tanyanya pada dirinya sendiri.


Dimana aku akan aman?

Di rumah?

Tidak. Itu tempat pertama yang akan polisi cari.

Dimana? Dimana?

Sangat sulit untuk berpikir jernih. Mereka dekat di belakangnya, dia


tahu.

Mengejarnya. Ingin merobohkannya.

Kalau saja dia bisa berhenti di suatu tempat, menutup matanya,


menutupnya semua, dan berpikir. Lalu mungkin dia bisa punya
rencana.

Tapi ia tahu ia harus terus berlari.

Kepalanya berdenyut-denyut. Dadanya sakit.

Kakinya yang panjang akan membawanya cepat-cepat menjauh dari


taman bermain. Tapi dia masih merasa kikuk, dengan sepatu kets
yang begitu jauh di bawahnya dan kepalanya begitu tinggi di
pepohonan.

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku akan bersembunyi di rumah Kermit, pikirnya.

Lalu ia dengan cepat memutuskan bahwa itu ide yang buruk juga.

“Aku tak bisa di rumah Kermit itu!” teriaknya keras. “Aku terlalu
besar!”

Lalu dia punya pikiran yang benar-benar menakutkan: “Aku tak bisa
masuk dalam rumah apapun”

Dimana aku akan tidur? ia bertanya-tanya. Dan lalu: Apakah mereka


akan membiarkanku tidur? Tak bisakah polisi melihat bahwa aku
cuma seorang anak laki-laki? Tanya Evan pada dirinya sendiri dengan
getir. Dia berbelok dan berlari melewati rumahnya.

Lampu-lampunya mati semua. Pintu tertutup. Tak ada mobil di


halaman. Orangtuanya belum pulang dari kerja.

Dia terus berlari. Berlari melewati halaman-halan. Merunduk rendah.


Mencoba untuk bersembunyi di balik semak-semak dan pagar tinggi.
Tak bisakah mereka melihat bahwa aku itu anak laki-laki? Bukan
makhluk dari planet lain? Mengapa mereka pikir aku begitu
berbahaya?

Ini semua salah Conan, Evan memutuskan. Conan membuat semua


pemadam kebakaran dan polisi itu gila dengan cerita-ceritanya yang
liar.

Cerita-ceritanya yang benar-benar liar.

Dan sekarang kemana aku bisa lari? Di mana aku bisa bersembunyi?

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jawabannya datang kepadanya saat ia mendekati rumah Kermit. Dua
pintu bawah, kebanyakan sudah dibersihkan. Dan sebuah tumpukan
besar kayu telah ditumpuk di belakang. Seseorang telah membangun
rumah di tempat parkir.

Terengah-engah, keringat mengalir di dahinya yang lebar, Evan


berbalik dan berlari di tempat parkir itu. Dia merunduk dibalik
tumpukan tinggi kayu. Dan berhenti.

Dia berlutut dan bersandar pada tumpukan kayu, berusaha untuk


bernapas. Dia menyeka keringat di dahinya dengan lengan kaosnya.

Mungkin aku akan bersembunyi di sini untuk sementara waktu,


pikirnya. Dia menurunkan tubuhnya ke posisi duduk.

Jika aku duduk dan membungkukkan bahuku, tumpukan kayu


menyembunyikanku dari jalan. Dan teduh dan dingin di baliknya. Dan
aku bisa mengawasi rumah Kermit dari sini.

Ya. Ini adalah tempat persembunyian yang baik untuk saat ini, Evan
memutuskan.

Lalu, setelah gelap, aku akan menyelinap ke rumahku dan mencoba


untuk menjelaskan kepada orang tuaku apa yang terjadi.

Dia menyandarkan punggungnya pada tumpukan kayu dan menutup


matanya. Dia baru saja mulai untuk bersantai sedikit ketika ia
mendengar suara teriakan: “Dia ketemu!”

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
22

Mata Evan jadi terbuka.

Dia mencoba bergegas berdiri. Tapi kemudian ia melihat siapa yang


telah berteriak. “Kermit!” teriaknya marah. “Kau membuatku
ketakutan setengah mati!”

Senyum mengganggu Kermit berkelebat. “Aku tahu kau akan


bersembunyi di sini, Evan,” katanya, menyeringai. “Aku sangat
cerdas.”

Kermit berbalik dan berseru, “Dia kembali ke sini aku benar!”

Beberapa detik kemudian, Andy dengan hati-hati menjulurkan kepala


di balik tumpukan kayu. Matanya mengamati Evan selama beberapa
detik. Lalu wajahnya tersenyum.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut. “Aku sangat khawatir -”

“Yah. Aku baik-baik saja - untuk sekarang,” jawab Evan pahit.

“Seluruh kota mengejarmu!” seru Kermit. “Ini benar-benar


mengagumkan! Ini seperti film!”

“Aku tak ingin berada dalam film!” omel Evan. “Film ini terlalu
menakutkan.”

“Mereka punya senjata dan segala sesuatu!” Kermit terus


bersemangat, mengabaikan keluhan Evan. “Dan apa kau melihat
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
selang-selang air itu? Sungguh menakjubkan! Mereka semua ingin
menangkapmu!”

“Mereka pikir kau alien dari luar angkasa,” tambah Andy,


menggelengkan kepala.

“Dan siapa yang mengatakan itu kepada mereka? Conan?” tanya Evan
pahit.

“Conan membuat mereka percaya kau benar-benar berbahaya,” kata


Kermit, menyeringai dengan seringai yang begitu Evan benci.

“Aku berbahaya!” kata Evan. Dia menggeram mengancam pada


Kermit. Geraman itu mengejutkan seringai di wajah Kermit.

Evan berpaling kepada Andy. “Apa yang aku lakukan? Aku tak bisa
berlari dan bersembunyi selama sisa hidupku. Mereka akan
menangkapku. Jika kalian berdua melacakku, polisi akan bisa
melacakku juga.”

Evan menghela napas panjang ketakutan. “Tak ada tempat dimana


aku bias bersembunyi. Aku terlalu besar untuk bersembunyi! Jadi apa
yang bisa kulakukan? Apa?”

Andy menggaruk lengannya. Wajahnya jadi kusut, berpikir keras.


“Yah...” Dan tiba-tiba Evan tahu persis apa yang harus dilakukan.

Melihat Andy, Evan tahu bagaimana memecahkan seluruh masalah


itu.

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
23

Evan melompat berdiri. Jantungnya mulai berdebar-debar. Untuk


pertama kalinya dalam berjam-jam, wajahnya tersenyum lebar.

“Evan - apa yang salah?” tuntut Andy. Gerakan tiba-tiba Evan telah
mengejutkannya.

“Aku tahu apa yang bisa kita lakukan!” kata Evan. “Semuanya akan
baik-baik saja!”

“Turun!” teriak Kermit. “Aku mendengar sirene. Mereka akan


melihatmu.”

Dalam kegembiraannya, Evan lupa bahwa ia lebih tinggi dari


tumpukan kayu. Dia menurunkan kembali lututnya. Bahkan berlutut,
ia jauh lebih tinggi daripada Kermit dan Andy.

Sirene meraung keras. Lebih dekat.

Evan menatap ke sekeliling. Matahari telah turun di belakang


pepohonan. Langit sekarang telah malam berwarna kelabu. Udara jadi
dingin.

“Kita harus bergegas,” kata Evan pada mereka. Dia meletakkan


tangan di bahu ramping Kermit itu. “Kermit, kau harus membantuku.”

Di balik kacamatanya, mata tikus kecil Kermit yang melotot


bersemangat. “Aku? Apa yang bisa kulakukan?”

115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Campuran biru itu,” kata Evan, berpegangan pada bahu sepupunya
itu. “Ingat campuran biru itu?”

“Yang - yang mana?” Kermit tergagap.

“Itu yang menyusutkan gigitan nyamukku!” Andy menimpali. Dia


tiba-tiba menyadari apa yang Evan pikirkan.

“Itu benar,” Evan menjelaskan pada Kermit. “Melihat Andy


menggaruk lengannya mengingatkanku. Campuran birumu yang
menyusutkan gigitan nyamuk seketika..”

“Mungkin itu bisa menyusutkan Evan, juga!” Andy seru penuh


semangat.

Kermit mengangguk, berpikir keras. “Ya. Mungkin itu bisa.”

“Aku akan menggosokkannya ke seluruh tubuhku, dan aku akan


menyusut kembali ke ukuran normalku,” kata Evan gembira.

“Itu akan bekerja! Aku tahu itu akan bekerja!” teriak Andy antusias.
Dia bersorak dan melompat-lompat. Lalu dia menarik lengan Kermit
itu. “Ayo, Kermit. Cepat! Ayo kita ke ruang bawah tanahmu. Kau
masih punya campuran biru itu, bukan?”

Kermit menyipitkan mata, mencoba mengingat-ingat. “Kurasa


begitu,” katanya kepada mereka. “Banyak barang-barang yang
hancur, ingat? Tapi kupikir aku memilikinya.”

“Ia harus punya!” teriak Evan. “Dia harus punya!”

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan berdiri. “Ayolah. Cepat.”

Mereka mendengar sirene. Keras dan dekat.

Kermit mengintip di sekitar tumpukan kayu ke jalan. “Sebuah mobil


polisi!” bisiknya. “Mereka menjelajahi blok ini.”

“Sebaiknya kau tunggu di sini,” kata Andy pada Evan.

Evan menggeleng. “Tak mungkin. Aku ikut kalian. Aku ingin dapat
campuran biru secepatnya.”

Evan menundukkan kepalanya. “Kita bisa berjalan melewati halaman


belakang. Tak seorang pun akan melihat kita.”

“Tapi, Evan -” Andy mulai protes. Ia berhenti saat Evan melangkah


menjauh dari tumpukan kayu dan mulai melompat-lompat dengan
cepat menyebrangi halaman belakang menuju rumah Kermit.

Dogface menyambut mereka di jalan masuk. Anjing gembala itu


menyalak riang, melompat pada Kermit, hampir menjatuhkannya ke
tanah.

“Ssst. Diam, Nak! Diamlah!” kata Kermit, membelai anjing, mencoba


untuk menghentikan gonggongannya. “Kita tak ingin ada yang
mendengar kita.”

Dogface menatap Evan - dan menjadi sangat tenang. Anjing itu


merosot di jalan masuk. Ini menatap curiga pada Evan, terengah-
engah, ekornya pendek yang bergoyang-goyang marah.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mata Evan melesat naik dan turun di jalan masuk. Tak ada mobil.
“Ibumu belum pulang, Kermit,” katanya.

“Dia pasti bekerja lembur,” jawab Kermit. “Itu kabar baik. Ini adalah
hari keberuntungan kita!”

Evan tertawa pahit. “Pasti. Hari Keberuntungan,” Gumamnya.

Kermit dan Andy bergegas ke pintu dapur. Evan mulai mengikuti.


Lalu dia ingat bahwa dia tak muat di dalam rumah.

“Tunggu di sana,” perintah Andy padanya. “Pastikan tak ada yang


melihatmu.”

Evan mengangguk. “Cepat - tolonglah!”

Dia melihat mereka menghilang melalui pintu. Lalu ia duduk di


belakang rumah. Dia memberi isyarat pada Dogface untuk datang
kepadanya. Dia merasa suka berpegangan pada sesuatu.

Tapi anjing besar hanya menatap kembali dan tak bergeming.

Seluruh kota sedang mencariku, pikir Evan sedih. Seluruh kota


sedang mencariku si raksasa. Tapi mereka tak pernah akan
menemukanku si raksasa. Karena dalam beberapa detik, aku akan
menyusut kembali ke ukuran normal. Lalu semuanya akan baik-baik
lagi.

Dia mengangkat matanya ke rumah. Apa yang menahan Andy dan


Kermit? Ia bertanya-tanya. Mereka tak bisa menemukan botol cairan
biru?

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia mengambil napas dalam-dalam. Jangan panik, Evan, perintahnya
pada dirinya sendiri. Mereka baru saja di rumah beberapa detik.
Mereka akan segera keluar.

Dan semuanya akan baik-baik saja.

Untuk melewatkan waktu, ia menghitung perlahan sampai sepuluh.


Lalu ia menghitung perlahan-lahan sampai sepuluh lagi.

Dia akan mulai menghitung sekali lagi saat layar pintu melayang
terbuka. Kermit melangkah keluar, membawa gelas kimia biru. Andy
mengikuti tepat di belakang.

“Ketemu!” teriak Kermit gembira.

Evan melompat. Dia mengulurkan tangan penuh semangat. “Cepat -


biarkan aku meminumnya.”

Kermit mengulurkan tangannya. Evan meraih gelas kimia itu. Gelas


kimia itu terlepas dari genggamannya. Gelas kimia itu mulai jatuh.

“Ohhh!” Evan menerang ketakutan - dan menangkap gelas kimia itu


persis sebelum membentur jalan masuk.

“Wow tangkapan bagus!” seru Kermit.

Evan kaget sekali. Dia mengambil napas dalam-dalam. Dia


menggenggam erat gelas kimia itu di tangannya. “Hampir saja,”
gumamnya. Gelas kimia itu begitu kecil di tangannya, seperti sesuatu
yang dibuat untuk sebuah rumah boneka.

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka mendengar sirene di kejauhan.

Pencarian Evan raksasa itu masih berlangsung.

“Aku - aku harap campuran ini bekerja,” kata Evan.

Dia mengangkat gelas kimia itu. Memiringkannya terbalik di atas


tangannya yang lain. Menunggu.

Dan menunggu.

Akhirnya, setetes cairan biru kecil menetes ke telapak Evan.

Tak ada lagi.

Evan mengguncang-guncang gelas kimia itu. Keras. Lebih keras.


Dengan cara ia mengguncang-guncang botol kecap saat kecapnya
macet.

Lalu ia mengangkat gelas kimia ituke matanya dan mengintip ke


dalam.

Beberapa detik kemudian, dia menghela napas panjang sedih. Dia


melemparkan botol itu dengan jijik ke rumput. “Sudah kosong,” Evan
melaporkan. “Benar-benar kosong.”

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
24

“Aku tahu tak banyak sisanya,” gumam Kermit, menggelengkan-


gelengkan kepalanya.

Botol kosong itu menggelinding ke bawah semak-semak. Dogface


berjalan mendekat dan mengendusnya.

“Aku dikutuk,” gumam Evan. Melupakan seberapa kuatnya ia, ia


menendang kerikil ke jalan dengan marah. Kerikil itu melayang ke
udara dan menghilang di atas rumah di seberang jalan.

“Hati-hati,” kata Andy. “kau bisa memecahkan jendela.”

“Siapa yang peduli?” Bentak Evan. “Hidupku hancur.”

“Tak mungkin!” teriak Kermit. “Kau akan baik-baik saja, Evan.” Ia


mulai berlari ke rumah. “Aku segera kembali!”

“Kermit, kemana kau akan pergi?” panggil Evan muram.

“Untuk mencampur ramuan yang lain!” jawab Kermit. “Bagiku ini


cuma perlu beberapa detik, Evan. aku punya semua bahan.”

Evan bisa merasakan kesedihannya lenyap. “Apa kau benar-benar


berpikir kau bisa melakukannya?” tanyanya pada sepupunya.

“Tak masalah,” jawab Kermit, memberi Evan tanda acungan jempol.


“Kurasa aku ingat apa yang kumasukkan ke dalamnya, aku akan

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mencampur lebih banyak bahan menyusut biru itu dan akan kembali
dalam sekejap.”

Kermit menghilang ke dalam rumah. “Aku juga ikut!” Andy


memanggilnya. Dia berbalik kembali kepada Evan. “Aku bisa
mencoba untuk membersihkan sebagian laboratorium sementara
Kermit mencampur cairan itu. Jika ibu Kermit pulang dan melihat
ruang bawah tanah, kau akan dalam kesulitan besar.”

Evan tertawa pelan. “Masalah besar. Sangat lucu. Annnndrea. Kau


benar-benar lucu.”

“Jangan panggil aku Andrea,” jawabnya kembali, mengabaikan


sindiran tajamnya.

Evan melihatnya buru-buru ke dalam rumah.

Dogface bosan mengendus-endus botol biru itu. Anjing gembala itu


terhuyunghuyung melintasi halaman untuk memeriksa pagar yang
Evan robohkan sebelumnya.

Evan mendesah. Aku ingin tahu apakah anjingku sendiri akan


mengenaliku sekarang? pikirnya. Trigger, anjing cocker spaniel Evan,
yang pertama kali memakan Darah Monster. Anjing itu telah tumbuh
lebih besar daripada kuda.

Aku ingin tahu apa Trigger pernah punya mimpi buruk tentang itu?
Tanya Evan pada dirinya sendiri. Dia tahu dia akan mengalami mimpi
buruk tentang hari ini untuk waktu yang lama di masa yang akan
datang.
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia melirik arlojinya. Hampir makan malam. Orang tuanya akan
segera pulang.

Dan ibu Kermit akan berhenti di jalan masuk setiap saat.

“Wow. Dia akan terkejut saat ia melihatku!” Seru Evan keras.

Dia berbalik ke rumah pada waktunya untuk melihat Kermit


melangkah keluar.

Dia membawa sebotol cairan biru segar. “Lihat? Tak masalah!” kata
Kermit.

Dengan hati-hati Evan mengambil botol itu dari tangan Kermit itu.

Andy berjalan, matanya terangkat kepada Evan. “Ayo. Gosokkan ke


seluruh tubuh,” desaknya. “Cepatlah!”

Dengan hati-hati Evan menuangkan genangan cairan biru itu ke


telapak tangannya. Lalu ia mengusapkannya ke pipinya, dahinya,
lehernya.

Dia menuangkan lebih banyak ke tangannya. Dia mengusapkan cairan


biru ke lengannya. Lalu ia mengangkat kaosnya dan mengusap
dadanya.

Tolong bekerjalah, dia berdoa diam-diam. Tolong bekerjalah.

Dia berpaling kepada Andy dan Kermit. “Ada perubahan?”

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
25

Mulut Andy melongo.

Mata Kermit melotot, dan ia mengeluarkan suara tercekat.

“Yah?” tuntut Evan penuh semangat. “Apa kalian melihat ada


perubahan? Apa kalian lihat?”

“Eh... Yah... Eh...” Kermit tergagap.

“Kau jadi biru!” teriak Andy.

“Maaf?” tuntut Evan. Dia tahu dia tak mendengar dengan benar.

“Kulitmu - kulitmu biru terang!” ratap Andy, menekan kedua


tangannya ke pipinya.

“Aku - apa?” jerit Evan. “Maksudmu - HIK -!” Suatu cegukan kuat
membuat seluruh tubuhnya berguncang.

Evan menatap tangannya.

“Tanganku - tanganku biru!” teriaknya. “HIK!”

Cegukan lainnya mendadak keluar dari mulutnya yang terbuka.


Tubuh besarnya bergetar seakan terkena gempa bumi.

Dengan panik, ia menarik kaosnya dan menatap perutnya. Perutnya


biru.

Lengannya. Dadanya. Semua biru. Biru terang.


124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“HIK!”

“Aku tak percaya!” jerit Evan. “Aku biru terang, dan - HIK - Aku
cegukan!” Dia menatap tajam pada Kermit dengan marah.

Kermit begitu ketakutan, kakinya gemetar dan lututnya benar-benar


saling berbenturan. “Aku - aku bisa memperbaikinya,” katanya
kepada Evan. “Ti-tidak ada masalah! Aku hanya salah
mencampurnya, aku akan segera kembali dengan campuran lain.”

Dia berlari ke rumah. Di layar pintu, ia berbalik kembali kepada


Evan. “Jangan ke mana-mana - Oke ?”

Evan mengeluarkan raungan marah, terganggu oleh cegukan yang


memekakkan telinga. “Ke mana aku bisa pergi?” ia menjerit sekuat-
kuatnya. “Kemana aku bisa HIK - pergi!?!”

Pintu itu terbanting di belakang Kermit.

Evan meraung lagi, mengepalkan tangan birunya dan menggoyangkan


lengan biru di atas kepalanya. Dia mondar-mandir di jalan masuk,
cegukan setiap beberapa detik.

“Cobalah untuk tenang sedikit,” kata Andy padanya. “Orang-orang


akan mendengarmu.”

“Aku - aku - HIK - tak bisa tenang!” keluh Evan. “Lihat aku!”

“Tapi para tetangga akan mendengarmu. Atau melihatmu.” Kata


Andy. “Mereka akan menelepon polisi.”

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Evan menjawab dengan cegukan yang hampir membuatnya jatuh.

Kermit berlari keluar rumah. Dia mengangkat sebotol cairan biru


untuk Evan. “Ini! Coba ini!”

“HIK!” kata Evan. Dia menggengam botol itu di tangan birunya.

Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar balik botol iti. Dengan gerakan


cepat panik, ia memercikkan cairan biru itu di seluruh tubuhnya. Di
pipinya. Dahinya. Tangan dan lengannya. Dadanya.

Dia menggulung celana jinsnya dan menggosok campuran itu ke lutut


dan kaki.

Dia melepas kaus kaki dan sepatu kets dan meratakan cairan biru itu
di atas pergelangan kaki dan kaki.

“Ini harus bekerja!” teriaknya. “Kali ini, harus bekerja!”

Andy dan Kermit menatapnya penuh semangat.

Mereka menunggu.

Evan menunggu.

Tak ada yang terjadi. Tak ada perubahan sama sekali.

Lalu Evan mulai merasakannya.

“Hei - aku kesemutan” ia mengumumkan dengan gembira.

Dia merasa kesemutan listrik yang sama yang ia rasakan sebelumnya.


Perasaan gatalnya setiap kali dia akan tumbuh lagi.

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ya!” sorak Evan. “Ya!”

Kesemutan jadi lebih tajam, lebih kuat, karena menyebar di seluruh


tubuhnya.

“Ini bekerja! Aku bisa - HIK - merasakannya!!” teriak Evan.

“Ini benar-benar bekerja! Aku kesemutan! Aku gatal! Aku bisa


merasakannya! Ini bekerja!”

“Tidak, tidak,” gumam Andy pelan.

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
26

“Hah?” Evan menyipitkan mata ke arahnya.

Kesemutan itu jadi benar-benar gatal. Dia mulai untuk menggaruk.


Tapi ia menarik kembali tangannya karena kulitnya terasa begitu
aneh.

“Itu... Tidak... Bekerja....” kata Andy sedih, suaranya gemetar.

“Yuck! Dia kelihatan kotor banget!” kata Kermit, membuat wajah


jijik.

“Hah? HIK!” jawab Evan.

Dia terkesiap ngeri saat ia menatap tangannya. “Bu-Bu-bulu!” ia


terbata-bata dengan suara melengking tinggi. Dia memeriksa
tangannya. Perutnya. Kakinya.

“Tiidaaaak!” Satu ratapan panjang dan rendah keluar dari dadanya.


Seluruh tubuhnya tertutup bulu-bulu putih halus.

“Tidaaak - HIK - oooooooo!!”

“Maafkan aku,” kata Kermit, menggelengkan kepalanya. “Aku tak


tahu apa yang kulakukan salah. Kupikir aku membuat campuran yang
benar kali ini.”

“Kau tampak seperti elang besar,” komentar Andy. “Kecuali elang


tidak biru.”
128 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“HIK!” teriak Evan.

“Dan elang tak cegukan,” tambah Andy.

Dia menatap ke arahnya dengan prihatin.

“Evan yang malang. Itu pasti benar-benar gatal. Kau sedang


mengalami hari yang benar-benar buruk.”

Dengan panik Evan menggaruk dada berbulunya. “Tidak bisa lebih


buruk dari ini,” gumamnya.

Lalu ia melihat sebuah mobil polisi berhenti di depan rumah.

129 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
27

“HIK!” teriak Evan. Dia mundur di jalan masuk dan meringkuk


rendah di dinding belakang rumah. “Polisi!” bisiknya.

Tenggorokannya tegang panik. Bulu-bulunya berdiri semua.

Apa yang harus kulakukan? tanyanya pada dirinya sendiri,


menekankan (dirinya ke) rumah, kepalanya merunduk. Haruskah aku
lari? Apa aku harus menyerahkan diri?

“Coba sekali lagi!” teriak Kermit, melompat ke dalam rumah.


“Biarkan aku mencoba mencampur sekali lagi. Kupikir aku bisa
membuatnya kali ini!.”

Pintu terbanting di belakangnya.

“Cepatlah!” panggil Andy dari jalan masuk. “Polisi - mereka keluar


dari mobilnya.”

“Berapa banyak?” bisik Evan. Bulunya gatal, tapi ia terlalu takut


untuk menggaruk.

“Dua,” jawab Andy, menatap melalui cahaya senja abu-abu di


jalanan. “Mereka terlihat agak buruk.”

Embusan dingin angin tiba-tiba mengibarkan bulu Evan. Tubuhnya


yang besar bergetar.

130 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mereka berjalan menyusuri jalan masuk,” Andy melaporkan.
“Mereka akan berada di sini dalam beberapa detik!”

“Sebaiknya aku lari,” kata Evan. Dia mengambil satu langkah


menjauh dari rumah dan hampir jatuh. Sulit untuk berjalan saat
kakimu ditutupi dengan bulu-bulu berduri yang kaku.

Seluruh tubuhnya gatal. Dia menempelkan diri ke rumah lagi. “Aku


dikutuk,” gumamnya pada dirinya sendiri.

“Mereka berhenti untuk memeriksa pintu depan,” kata Andy


kepadanya. “Kau masih punya beberapa detik.”

“Cepat, Kermit! Cepat!” Evan mendesak keras.

Dia berbalik ke pintu dapur. Tak ada tanda-tanda Kermit.

Apa Kermit mendapat campuran yang tepat kali ini? Bisakah ia


membuat campuran untuk Evan sebelum dua petugas polisi memasuki
halaman belakang?

Layar pintu terbuka. Kermit keluar mendadak. Dia tersandung di


beranda belakang. Botol biru itu hampir saja terbang.

Dia memperoleh keseimbangannya. Dia menyerahkan botol itu pada


Evan. “Semoga berhasil!” kata Kermit pada Evan. Kermit
mengangkat kedua tangan. Dia menyilangkan jari-jarinya erat pada
kedua tangan.

“Polisi datang kesini,” kata Andy. “Mereka berjalan sangat cepat


sekarang.”

131 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Botol itu gemetar di tangan Evan. Dia membaliknya. Cairan itu
menggenang dalam telapak tangan berbulunya yang besar.

Dengan panik, ia mulai menggosok di atas bulu-bulunya, di atas kulit


birunya.

Memercikkannya dengan liar. Menuangkannya ke seluruh tubuhnya.

Tolong bekerjalah! pintanya diam-diam. Tolong bekerjalah!

Dia menunggu.

Kermit menatapnya penuh harap, jari-jarinya masih terlipat.

“Mereka di sini!” Andy melaporkan dari jalan masuk.

Evan menelan ludah.

Campuran itu tak bekerja.

Dia tak berubah. Tak berubah sedikit pun.

Dua petugas berseragam gelap mendekati bagian belakang rumah.

“Halo, yang di sana,” seru salah satu dari mereka pada Andy.

132 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
28

Evan mendengar suara POP keras.

Dia menjerit kaget karena ia merasa dirinya jatuh. Jatuh ke tanah.

Dia mengulurkan tangan dan memantapkan dirinya ke rumah.

Perlu satu atau dua detik baginya untuk menyadari bahwa ia tak jatuh.
Dia telah menyusut.

Kedua perwira itu melangkah ke halaman belakang. Salah satunya


sangat tinggi.

Yang lainnya pendek dan gemuk. “Maaf mengganggu anak-anak,”


kata si jangkung. “Tapi kami mendapat telepon dari tetangga.”

“Telpon? Tentang apa?” tuntut Andy. Dia melemparkan pandangan


heran pada Evan. Dia tak menyangka melihat Evan kembali normal.

“Apa kalian melihat raksasa di lingkungan sekitar?” tanya petugas


pendek itu. Dia menyipitkan mata pada mereka, berusaha untuk
tampil jantan.

“Raksasa? Raksasa macam apa?” tanya Kermit dengan polos.

“Seorang anak raksasa,” jawab petugas pendek.

Evan, Andy, dan Kermit menggelengkan kepala pada mereka. “Dia


tak datang ke sini,” kata Andy pada mereka.

133 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak. Kami tak melihatnya,” kata Evan. Dia tak bisa menahan
senyum melintas di wajahnya. Suaranya juga kembali normal.

Petugas tinggi itu mendorong topinya kembali di kepalanya. “Nah,


jika kalian melihatnya, hati-hatilah,” ia memperingatkan. “Dia
berbahaya.”

“Dia sangat berbahaya,” tambah petugas pendek. “Hubungi kami


segera - oke?”

“Oke,” ketiga anak itu menjawab serempak.

Para petugas itu menatap halaman belakang itu terakhir kali.


Kemudian mereka berbalik dan kembali menyusuri jalan masuk ke
mobil mereka.

Begitu mereka pergi, Evan mendadak bersorak panjang bahagia.


Andy dan Kermit ikut serta, dengan gembira menepuk punggung
Evan, semuanya ber-tos.

“Aku genius atau apa?” tuntut Kermit, tersenyum dengan seringai


lebarnya.

“Atau apa!” Evan bercanda.

Mereka masih tertawa dan merayakan kembalinya Evan ke ukuran


Evan ketika ibu Kermit berhenti di jalan masuk.

Saat ia keluar dari mobilnya, ia tampak terkejut untuk menemukan


mereka di luar rumah.

134 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Maaf aku terlambat,” serunya. Dia memeluk Kermit. “Bagaimana
sore hari kalian?”

Kermit melirik Evan. Lalu ia tersenyum pada ibunya. “Oh, agak


membosankan,” katanya.

“Ya. Agak membosankan.” Ulang Andy.

“Agak membosankan,” kata Evan.

®RatuBuku

Evan tahu dia akan punya mimpi buruk tentang apa yang terjadi
padanya. Dan malam itu, ia punya satu mimpi yang benar-benar
menakutkan. Dalam mimpi itu, ia adalah anak raksasa yang dikejar
oleh tikus raksasa. Tikus-tikus itu semuanya tampak seperti Kermit.

Evan duduk dalam gelap, seluruh tubuhnya menggigil.

“Cuma mimpi buruk,” gumamnya, sambil melirik jam radionya.


Tengah malam.

“Itu cuma mimpi buruk.”

Dia duduk tegak, menyeka keringat di dahinya dengan lengan atas


bajunya. Aku butuh segelas air dingin, ia memutuskan.

Dia mulai keluar dari tempat tidur - tapi berhenti saat ia melihat
betapa tinggi curamnya ke lantai.

Ya? Apa yang terjadi? tanyanya pada dirinya sendiri.


135 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia mencoba untuk menyalakan lampu meja tempat tidur. Tapi lampu
itu menjulang tinggi di atasnya, jauh di luar jangkauannya.

Dia berdiri di atas tempat tidur. Saat matanya menyesuaikan dengan


cahaya redup, dia melihat bahwa tempat tidurnya tampaknya untuk
senantiasa meregang. Suatu gumpalan di seprai itu menggulung di
atas kepala Evan.

Aku - aku pendek! ia menyadari. Aku sependek tikus!

Kermit!

Kermit beraksi lagi! Evan berpikir pahit. Dia membuat campuran biru
menyusut itu terlalu kuat.

Aku menyusut - dan menyusut - dan menyusut. Dan sekarang aku


sekecil tikus.

“Aku akan memukul Kermit! Aku benar-benar akan memukulnya!”


teriak Evan.

Suaranya keluar sekecil cicitan tikus kecil.

Berdiri di tepi tempat tidurnya, menatap ke bawah, bawah - bermil-


mil ke bawah ke lantai, Evan mendengar suara gemuruh. Suara
terengah-engah keras yang terdengar seperti angin kuat melalui
pepohonan.

Suatu kepala besar muncul di depannya. Dua mata yang gelap.


“Jangan! Trigger! Kembalilah tidur!” pinta Evan dalam suara tikus
kecil itu. “Tidak! Triger - turunlah!”

136 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Cicitan Evan membangunkan anjing cocker spaniel itu. Evan
merasakan napas panas anjing itu menampar wajahnya.

“Ih! Napas anjing!” cicitnya.

Lalu ia merasakan gigi tajam mendekat di pinggang. Merasakan


dirinya miring ke samping. Merasakan air liur basah yang panas dari
mulut Trigger saat anjing itu mengunci Evan di antara gigi-giginya.

“Trigger - turunkan! Lepaskan aku!” Evan memohon.

Dia terpental keras sekarang. Gigi anjing itu memperketat


cengkeramannya.

“Trigger! Lepaskan aku! Ke mana kau akan membawaku?”

Melalui lorong gelap. Napas yang panas meniup di atas tubuh tak
berdaya Evan.

Ke kamar orangtuanya. Evan menatap ke atas untuk melihat ayah dan


ibunya bersiap-siap untuk tidur.

Mr Ross membungkuk anjing. “Apa yang telah kau dapat di sana,


Trigger? Apa kau menemukan tulang?”

“Eh.. Ayah? Ayah?” cicitan Evan melengking padanya. “Ayah? Ini


aku? Apa kau melihatku Yah? Eh... Kupikir kita punya sedikit
masalah!”

END

137 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai