Anda di halaman 1dari 32

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri

dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dalam UU No. 20
tahun 2003 Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal,
non-formal dan informal.

1.  Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada


umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

2.  Pendidikan nonformal

a.  Pengertian

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal paling banyak terdapat
pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang
banyak terdapat di Masjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua Gereja. Selain itu,
ada juga berbagai kursus,  diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya.

b.  Sasaran

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan


pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

c.  Fungsi

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan


pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional.

d.  Jenis
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja.

Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang
ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim,
sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik.

3.  Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab. Hasil pendidikan
informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Alasan pemerintah mengagas pendidikan informal adalah:

•      Pendidikan dimulai dari keluarga

•      Informal diundangkan juga karena untuk mencapai tujuan pendidikan nasonal dimulai
dari keluarga

•      Homeschooling: pendidikan formal tapi dilaksanakan secara informal.

•      Anak harus dididik dari lahir

Pendidikan formal Pendidikan non-formal Pendidikan informal


- Tempat pembelajaran di - Tempat pembelajarannya - Tempat pembelajaran
gedung sekolah. bisa di luar gedung bisa di mana saja.

- Ada persyaratan khusus - Kadang tidak ada - Tidak ada persyaratan


untuk menjadi peserta didik. persyaratan khusus.
- Tidak berjenjang
- Kurikulumnya jelas. - Umumnya tidak memiliki
jenjang yang jelas. - Tidak ada program yang
- Materi pembelajaran direncanakan secara
bersifat akademis. - Adanya program tertentu formal
yang khusus hendak
- Proses pendidikannya ditangani. - Tidak ada materi
memakan waktu yang lama tertentu yang harus tersaji
- Bersifat praktis dan secara formal.
- Ada ujian formal khusus.
- Tidak ada ujian.
- Penyelenggara pendidikan - Pendidikannya
adalah pemerintah atau berlangsung singkat - Tidak ada lembaga
swasta. sebagai penyelenggara.
- Terkadang ada ujian
- Tenaga pengajar memiliki
klasifikasi tertentu. - Dapat dilakukan oleh
pemerintah atau swasta
- Diselenggarakan dengan
administrasi yang seragam
Perkembangan Arsitektur Tradisional di Nusantara

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas,


arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari
level makro yaitu perencanaan kota,perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke
level mikro yaitu desainbangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk
kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

Bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun,


kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di
negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek
tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam
pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya /
politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur.
Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah
berdiri sendiri.

Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah
dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin
ilmu. Pengaruh arsitektur Modern, International style dsbg membuat Arsitektur di Tanah Air
seakan tak berwarna lagi, sulit membedakan elemen-elemen tradisional yang melekat pada
hunian maupun banguna lokal pada umumnya.Entah melalui kajian yang mendalam tentang
lingkungan dan kebudayaan lokal atau tidak, yang jelas warna Arsitektur Tanah air lambat
laun tak ada beda dengan warna Arsitektur di daerah lain.

Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang  bentuk,struktur ,fungsi,ragam hias dan


cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat di pakai untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya.  Dalam rumusan arsitektur dilihat sebagai suatu
bangunan, yang selanjutnya dapat berarti sebagai suatu yang aman dari pengaruh alam seperti
hujan, panas dan lain sebagainya. Suatu bangunan sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar
terlindung dari pengaruh alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan
bangunan itu sebagai tempat untuk dapat melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-
baiknya. Adapun komponen-komponen tersebut adalah : bentuk, struktur , fungsi, ragam hias
serta cara pembuatan yang diwariskan secara turun temurun. Selain komponen tersebut yang
merupakan faktor utama untuk melihat suatu arsitektur tradisional, maka dalam inventarisasi
dan dokumentasi ini hendaknya setiap bangunan itu harus merupakan tempat yang dapat
dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dengan memberikan
pengertian ini, maka arsitektur tradisional dapat pula dikategorikan berdasarkan kepada
aktivitas yang ditampungnya.

Latar sejarah, perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta akan dapat dilihat dari latar
belakangsejarah ketiga daerah yang diambil sebagai lokasi penelitian.
Jenis-jenis bangunan , dalam bab pendahuluan telah disinggung, bahwa arsitektur tradisional
adalah suatu bangunan atau tempat tinggal ciptaan manusia yang pembuatannya diwariskan
secara turun temurun untuk melakukan aktivitas mereka. Jadi sudah barang tentu dalam hal
ini pengamatannya dalam beberapa segi perlu melepaskan diri dari arsitektur modern.
Bangunan tradisional yang kita lihat sekarang ini perkembangannya melalui suatu proses
yang panjang . Pada mulanya bangunan tradisional berfungsi sebagai suatu tempat berlindung
manusia dari gangguan binatang buas dan gangguan alam seperti panas, dingin, hujan dan
angin. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan cara hidup mereka, yaitu dari hidup
berpindah-pindah atau “nomad” sampai hidup secara menetap. Dalam sistem hidup manusia
yang berpindah-pindah, bangunan tersebut hanya berupa tempat yang berpindah-pindah,
bangunan tersebut hanya berupa tempat berlindung untuk sementara. Tetapi pada suatu saat
bangunan itu akan merupakan suatu tempat tinggal atau rumah, manakala manusia itu sudah
hidup secara mentap. Hasil produksi rupa-rupanya mempengaruhi pola hidup di suatu tempat.
Kalau hasil produksi tersebut melimpah, manusia akan mengucapkan terimakasih dan
mengadakan upacara –upacara dan doa bersama-sama. Tetapi sebaliknya, seandainya hasil
produksi tersebut gagal, mereka menganggap bahwa mereka tidak mendapat restu dan murka
dari tuhan.Rumah tempat tinggal dari masa ke masa mengalami proses perkembangan
bentuk. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan hidup yang lebih luas dan yang akhirnya
membutuhkan tempat yang lebih luas pula. Sejalan dengan ini berkembangnya pula
kebudayaan. Oleh karena itu rumah tempat tinggal juga berkembang sesuai dengan proses
terbentuknya suatu kebudayaan, yaitu dari taraf yang sederhana ke taraf yang lebih kompleks.

            Berdasarkan sejarah perkembangan  bentuk, rumah tempat tinggal dibagi menjadi 4


macam yaitu, “panggangpe”, “kampung”, “limasan” dan “joglo”. Sedang bentuk “tajug”
tidak dipakai untuk rumah tempat tinggal tetapi untuk rumah ibadah atau rumah pemujaan.
Sehubungan dengan itu dalam uraian berikut akan dikemukakan berturut-turut bentuk rumah
“panggangpe”, “kampung”, “limasan” dan “joglo”. Nama-nama bentuk tersebut sebenarnya
merupakan nama-nama atap rumah tradisional yang menyangkut sebanyak 5 macam, yaitu :

Panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan merupakan
bentuk bangunan dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan yang pertama
dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan.

Kampung, bangunan yang setingkat lebih sempurna dari “panggangpe” adalah bentuk
bangunan yang disebut “kampung”. Bangunan pokoknya terdiri atas “saka-saka” yang
berjumlah 4, 6 atau bisa juga 8 dan seterusnya.

Limasan, bentuk bangunan ini merupakan perkembangan kelanjutan bentuk bangunan yang
ada sebelumnya. Kata “limasan” ini diambil dari kata “lima-lasan” yakni pehitungan
sederhana penggunaan ukuran-ukuran :” molo” 3m dan “blandar” 5m.

Joglo lebih sempurna dari bangunan-bangunan sebelumnya. Bentuk bangunan ini mempunyai
ukuran lebih besar bila dibandingkan dengan bentuk bangunann lainnya seperti
“panggangpe”, “kampung” dan “limasan.
Susunan ruangan yang terdapat dalam rumah tradisional bergantung kepada besar kecilnya
rumah itu dan bergantung kepada kebutuhan keluarga. Jadi makin banyak anggota keluarga
itu makin banyak ruangan yang dibutuhkan.

R.Soekmono (1997) seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas
terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua
langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Menurutnya Langgam
Jawa Tengah antara lain mempunyai ciri penting sebagai berikut:

(a) bentuk bangunan tambun,

(b) atapnya berundak-undak,

(c) gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara,

(d) reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, dan

(e) letak candi di tengah halaman.

Adapun ciri candi Langgam Jawa Timur yang penting adalah:

-  bentuk bangunannya ramping,

-  atapnya merupakan perpaduan tingkatan,

 - Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala
Kala,

- reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, dan

- letak candi bagian belakang halaman (Soekmono 1997:86).


Demikian ciri-ciri penting yang dikemukakan oleh Soekmono selain ciri-ciri lainnya yang
sangat relatif sifatnya karena berkenaan dengan arah hadap bangunan dan bahan yang
digunakan. Sebagai suatu kajian awal pendapat Soekmono tersebut memang penting untuk
dijadikan dasar pijakan selanjutnya manakala hendak menelaah tentang langgam arsitektur
bangunan candi di Jawa. Sebenarnya setiap butir ciri yang telah dikemukakan oleh Soekmono
dapat dijelaskan lebih lanjut sehingga menjadi lebih tajam pengertiannya. Misalnya bentuk
bangunan tambun yang dimiliki oleh candi Langgam Jawa Tengah, kesan itu terjadi akibat
adanya bagian lantai kaki candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar,
dengan istilah lain mempunyai pradaksinapatha yang lebar. Bentuk bangunan tambun juga
terjadi akibat atap candi Langgam Jawa Tengah tidak tinggi, atapnya memang bertingkat-
tingkat, dan hanya berjumlah 3 tingkat termasuk kemuncaknya. Dibandingkan dengan candi
Langgam Jawa Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan berangsur-angsur tiap
tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya, begitupun pradaksinapathanya sempit hanya
muat untuk satu orang saja, oleh karena itu kesan bangunannya berbentuk ramping.

Arsitektur Tradisional

            Dalam kesempatan ini uraian yang di pusatkan pada system teknologi khususnya
arsitektur di nusantara sebagai salah satu manifestasi dan ekspresi kebudayaan.
Sesungguhnya perumahan (shelter) merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang
tidak mengenal waktu, tempat, dan tingkat teknologi. Sebagai salah satu manifestasi dan
ekspresi kebudayaan. Sesungguhnya perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia yang tidak mengenal waktu ,tempat, dan tingkat teknologi. Kita masih ingat betapa
nenek moyang kita yang hidup pada jaman batu telah mengembangkan system perlindungan
fisik, yaitu perumahan di goa-goa, kemudian disusul dengan penggunaan tenda-tenda tadah
angin ataupun tenda yang sifatnya sementara karena seringnya nenek moyang kita berpindah
mengikuti binatang perburuan ataupun musim panen tanaman liar. Apabila mereka sudah
mulai bercocok tanam dan menetap di perkampungan, maka perkampungan semi permanen
pun di bangun.

            Apabila diperhatikan dengan seksama, uraian tersebut menunjukkan cara berfikir


yang evolusionis. Sementara itu kita dapat pula melihatnya dari sudut pandangan fungsionis
ataupun struktualis. Akan tetapi sebaiknya kita telaah arsitektur tradisional secara
menyeluruh sehingga dapat dipahami kaitannya dengan nilai-nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan. Untuk keperluan tersebut, kita telaah arsitektur-arsitektur tradisional dengan
memperhatikan kegunaan (use), fungsi (function) , dan arti social (meaning) disamping
wujud dan gayanya.
            Kegunaan rumah khususnya bangunan tradisional itu bereneka ragam, sesuai dengan
struktur masyarakat dan kebudayaan penduduk yang bersangkutan. Akan tetapi pada
umumnya sebagai bangunan tradisional mempunyai kegunaan sebagua pelindungan fisik
terhadap dinginnya udara, panasnya matahari atau derasnya angin serta air hujan. Kalu kita
perhatikan dengan sungguh-sungguh ada rumah-rumah yang sekedar menjadi tempat-tempat
perlindungan sementara orang perlu istirahat (windscreen) pada penduduk asli Australia,
misalnya : masyarakat Arunta sebagian besar waktunya dihabiskan di alam terbuka untuk
berburu binatang reptile yang langka, meramu ataupun bercengkrama dengan sesamanya.
Sebaliknya ada pula penduduk yang memanfaatkan tempat berlindung semaksimal mungkin
untuk bekerj, beristirahat maupun menyelenggarakan pertemuan social seperti pada
kebanyakan masyarakat petani yang sudah menetap.

Setelah kemerdekaan, bangsa kita telah memilih bentuk republic bersifat demokratis. Ditilik
secara historis maka bentuk tatanan republic yang demokratis, adalah salah satu hal yang
sama sekali baru bagi bangsa Indonesi. Sejarah Indonesia sebelumnya hanya mengenal
bentuk tatanan kerajaan yang otokratis, lengkap dengan perangkat feodalnya. Oleh karena itu,
mudah dimengerti bahwa banyak terjadi kekikunan dan kesalahpahaman mengenai arti
kaidah-kaidah kehidupan yang baru ini. Banyak norma kehidupan sehari-hari harus ditukar
dengan yang baru. Terjadi kekacauan norma selama norma baru yang di terima semua pihak
belum tercipta. Timbul kerancuan budaya.

Ciri Budaya dan Arsitektur Tradisional

            Suatu karya arsitektur hamper selalu, secara disadari atau tidak, mencerminkan ciri
budaya dari kelompok manusia yang terlibat di dalam proses penciptaanya. Sekurang-
kurangnya akan tercermin di situ tata nilai yang mereka anut. Dengan demikian apabila kita
secara cermat mengamati sejumlah karya arsitektur suatu masyarakat maka lambat laun kita
pasti dapat mengenali cirri budaya masyarakat tersebut. Namun untuk dapat mengenalinya
dengan benar-benar baik kita akan perlu mengenali kondisi lain dari masyarakat tersebut.

            Sebagai contoh kita dapat mencoba menganal gejala budaya masyarakat kita sendiri
dengan mengamati karya arsitektur di sekeliling kita.

Arsitektur Perubahan Elite di Jakarta

Mengamati arsitektur ini cukup relevan karena :

-          Jakarta adalah pusat orientasi budaya Indonesia masa kini

-          Golongan elite di Indonesia sangat berperan dalam  mempengaruhi tata nilai


masyarakat karena masih kuatnya sikap feodal di masyarakat kita.
Dari pengamatan perkembangan  arsitektur sector ini terasa adnya alur kecenderungan
tertentu yaitu :

·         Perubahan mode bentuk yang relative cepat/sering. Hal ini menunjukkan belum
mantapnya kedudukan suatu ungkapan arsitektonis tertentu yang “pas” dengan hasrat dan
keinginan golongan elite tersebut. Dengan perkataan lain mereka masih mencari-cari
ungkapan yang dirasakan tepa.

·         Sikap individualistic secara konsisten tetap bertahan. Hal ini tercermin dari bentuk
disain yang sangat mengabaikan keadaan lingkungan sekitarnya dan mencerminkan tiadanya
rasa solidaritas dengan masyarakat sekelilingnya. Terungkap juga pemahamannya terhadap
kemerdekaan dan haknya sebagai individu yang merdeka.

·         Penonjolan kemewahan kini dibarengi juga oleh penonjolan cirri aristokratis. Hal ini
mengungkapkam adanya kebutuhan kuat untuk menciptakan atribut status social. Demikian
kuatnya kebutuhan atribut ini sehingga terasa fungsi utama rumah sudah tergeser bukan lagi
sebagai gua garba keluarga (fungsi primer) tetapi lebih sebagai aktualisasi diri (fungsi
sekunder).

Gejala-gejala budaya tersebut memang makin tersa kokoh di masyarakat kota Jakarta bila kita
mengamati pula bentuk kehidupan lainnya. Bila kemudian kita amati perumahan golongan
yang lebih rendah di daerah pelosok kota atau di kampung-kampung maka kita melihat juga
imitasi mode tersebut dalam skala mini atau terbata. Gejala ini  mencerminkan tingkat
kesadaran dari masyarakat golongan bawah mereka mempunyai hak untuk berbuat yang sama
dengan golongan atas. Suatu hal yang tabu dilakukan di masa lalu.

Ciri Arsitektur Tradisional

Mengingat norma, kaidah, dan tata nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan
berubah maka dalam usaha mencari identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan
baru disarankan sebagai berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak
dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional untuk
diterapkan pada bangunan baru.

Iklim merupakan factor yang tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan
lembap. Karena letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan
maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana mengakibatkan
suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang berkaitan dengan iklim yang panas
misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak terlalu landai.

Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding tidak menutup rapat ke bidang
bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi yang leluasa, hal mana mempertinggi
comfort dalam ruang.
Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap sinar matahari
langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.

Kita sering menggunakan air conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan


tepat sebenarnya tidak memerlukannya. Energy yang diperlukan untuk air conditioning cukup
besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energy, hendaknya penggunaan air
conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air habitation.

Arsitektur Perkotaan

            Pada gedung-gedung perkotaan yang disewakan (komersial) kita akan menemukan


gejala yang agak berbeda. Gedung-gedung tersebut umumnya dibangun dengan penekanan
yang kuat dalam ciri pretise. Atribut yang biasanya dikenakan bukan saja kemewahan tapi
juga atribut ke-internasionalan, kemodernan dan teknologi tinggi. Pada hal gaya internasional
jet-set ini telah mereka tinggalkan untuk bentuk rumah tinggal mereka. Nampaknya ada
gejala penerapan standar ganda bagi mereka yaitu di kantor bercitra modern-
hightechnology  tapi di rumah bercitra aristokrtis.

            Pada gedung-gedung perkantoran pemerintah terdapat cirri yang berbeda.


Kemewahan tidak terasa menonjol, meskipun di sana sini terlihat adanya keinginan untuk itu
(tapi terhalang biaya), tapi sering terasa adanya keinginan kuat untuk menampilkan citra
wibawa. Hal ini terceminkan dari bentuk yang simetris, tempat masuk utama yang ingin
megah atau penjagaan yang ditonjolkan. Gejala lain yang sering terasa menyolok  adalah
penyediaan fasilitas yang menyolok berbeda antara pejabat tinggi dengan segenap
bawahannya.

            Selain itu disediakan untuk publik selalu sangat minim, terbatas pada loby di tempat
masuk utama dan di lorong-lorong. Gejala-gejala tersebut mengungkapkan sikap aparat
pemerintahan yang berorientasi pada status penguasa dan adanya sikap yang feodalistik
antara atasan dan bawahan.

Arsitektur adalah produk dari kebudayaan

Kalau seseorang dapat menerima bahwa arsitektur adalah wadah kegiatan. Tidaklah sukar
untuk mengerti anggapan pada butir ini. Selama diikuti dengan pngertian bahwa arsitektur
adalah bagian dari kebudayaan (dan saling mempengaruhi). Kita akan lebih mudah
mengamati kejadian-kejadian di masyarakat. Kesulitan akan timbul bila di sertai dengan
pendapat bahwa arsitektur adalah “hardware” sedangkan kebudayaan adalah “software”.
            Dalam dunia computer hal  ini dapat dipahami,namun tidak di dunia bangunan.
Arsitektur dalam dunia bangunan sudah menyimpan “program-program” tertentu yang
sewaktu waktu dapat “dimainkan”. “program-prpgram ini pada saat tertentu dapat
menghasilkan penampilan yang bersuasana gembira,khusus,atau bahkan mendirikan bulu
roma”.

Arsitektur adalah “Alat Ungkap” dari Kehidupan Masyarakat

            Tersirat dalam anggapan ini adalah bahwa arsitektur juga merupakan media
komunikasi bagi masyarakatnya. Sebelum diketemukannya alat cetak, semua benda buatan
manusia menjadi “buku” untuk menitipkan pesan-pesan social. Paradigma nilai-nilai, moral,
dan lain-lain adalah pesan yang harus dimengerti oleh anggota masyarakat.

            Bangunan, sebagai benda terbesar, adalah : “buku dengan format yang ideal” bagi
penulisan semacam ini. Makin canggih sebuah masyarakat, makin sarat pula pesannya
diletakkan pada bangunannya. Kemajuan teknologi komunikasi telah membebaskan
bangunan dari beban-beban diatas. Namun juga demikian masih tetap diakui bahwa
bagaimanapunjuga bangunan merupakan media komunikasi yang efektif bagi manusia.

ARSITEKTUR SEBAGAI SENI-STRUKTUR

Pengertian arsitektur

Istilah “arsitektur” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari suku kata “arkhe’ yang berarti
“asli” dan suku kata “tekton’ yang berarti “kokoh”. Jadi dalam pengertiannya yang semula
“arsitektur” dapat diartikan sebagai sesuatu cara asli untuk membangun secara
kokoh.memang sejak manusia keluar dari gua-guanya  untuk membangun, apakah itu
rumahnya atau tempat peribadatannya, ia terus-menerus bergulat melawan kekuatan-kekuatan
alam : gaya tarik bumi, hembusan angin kencang, goncangan gempa, teriknya sinar matahari
atau dinginnya salju.

Melalui proses coba-mencoba (trial and error) selama bergenerasi terbentuklah suatu tradisi


membangun yang khas (yang asli) dengan menggunakan bahan bangunan-bangunan
yangkokoh terhadap kekuatan alam sekitarnya. Kemudian, karena kesadaran akan keindahan
merupakan naluri alami manusia, maka dalam semua tradisi membangun masuklah unsur
estetika atau unsur seni tertentu yang mewarnai ciri arsitektur pada kurun waktu tertentu.
Adakah konsekuensi logis bahwa sejak awal perkembangan peradaban manusia, seorang
arsitek merupakan tokoh masyarakat yang unik : ia adalah seorang teknorat dan seorang
seniman sekaligus, seorang perancang dan seorang ahli membangun sekaligus. Personifikasi
arsitek seperti ini mencapai puncaknya pada diri Michelangelo yang dalam zaman
renanaissance menjelmalkan sirinya sebagai : perancang, pembangunan, pelukis dan
pematung sekaligus (a.l. pada gereje St.Petrus di Roma).
Berpangkal pada pengertiannya seperti dikemukakannya diatas, arsitektur telah berkembang
sesuai dengan perkembangan lingkungannya. Di Eropa misalnya, factor-faktor kekuatan alam
tidak terlalu berpengaruh terhadap kekokohan struktur bangunan yang di bangun dengan cara
tradisional, pengertian arsitektur mengalami perubahan.unsur seni (art) yang masuknya ke
dalam pengertian arsitektur justru terjadi belakangan, masalah semakin menonjol : sebaliknya
unsur strukturnya semakin memudar. Dengan perkembangannya teknologi, termasuk
teknologi membangun, timbullah reaksi terhadap perkembangan arsitektur demikian.

Sekelompok pemikir ingin mengembalikan arsitektur ke dalam relnya yang semula dengan
menyatakan bahwa arsitektur adalah jalur insinyur dan bukan jalur seniman. Maka timbullah
pertentengan pendapat mengenai isyu ini yang tak ada habis-habisnya sampai masa kini yang
telah melanda hampir seluruh dunia  (Ecole des arts vs Ecole polytecthique di Prancis
:Harvard vs MIT  di Amerika Serikat : dan sebagainya),termasuk di Indonesia.

Di Jepang perkembangannya lain sama sekali. Lingkungan alam yang kejam dan ganas yang
setiap saat mengancam kelangsungan hidup manusia dengan gempa-gempa dahsyat yang
dapat menyerang setiap saat dan topan-topan kencang yang datang secara berkala, telah
menanamkan dampak yang kuat dalam perkembangan arsitektur adalah urusan insiyur dan
bukan urusan seniman. Architectural Institute of  Japan ( A.I.J.) adalah lembaga tertinggi di
jepang yang sampai saat ini mengurusi segala hal ikhwal mengenai bangunan. Tetepi yang
diurus bukanlah urusan seni melainkan urusan struktur.lembaga ini adalah yang menerbitkan
berbagai peraturan mengenai perencanaan bangunan tahan gempa, peraturan beton, baja, dan
segi-segi struktur lainnya.

Bagaimana sekarang di Indonesia? Seperti telah dikemukan diatas, Indonesia telah ikut
terseret ke dalam pertentangan isu apakah jalur arsitek itu jalur insinyur ataukah jalur
seniman. Hali ini dapat dimengerti mengingat para pendiri pondasi bagi perkembangan
arsitektur di Indonesia adalah orang-orang Belanda yang dengan sendirinya sangat
terpengaruh oleh perkembangan arsitektur di Eropa (karsten, MacLine Pont, Van Romondt,
Dicke,dan lain-lain) yang jelas adalah, bahwa perkembangan teknik struktur di Indonesia
relative lambat masuknya sehingga tidak sempat  berintegrasi dengan baik ke dalam
perkembangan arsitektur. Tidak mengherankan bahwa, sempat terjadi pembudayaan konsep-
konsep bentuk bangunan dari Eropa yang tidak cocok dilihat dari ketahanannya tehadap
gempa. Suatu contoh yang sangat menyolok yang kiranya sempat membekas pada arsitek-
arsitek Indonesia adalah kecenderungan yang salah untuk menggambar atau merencanakan
kolom-kolom bangunan berbentuk persegi panjang, yang seperti kita ketahui hanya
mempunyai kekuatan yang besar satu arah saja. Hali ini terjadi, karena mereka tidak sempat
diajari, bahwa gempa itu biasa terjadi dari segala arah. Andai kata pengertian struktur telah
disadarkan dengan tepat, segyogyanya kolom-kolom bangunan itu direncanakan berbentuk
bulat atau bujur sangkar (bukan persegi panjang), karena bentuk demikian mempunyai
kekuatan yang (praktis) sama ke segala arah.

Kembali kepada isu apakah arsitek itu alur insinyur ataukah jalur seniman, di Indonesia
terjadi suatu perkembangan tersendiri. Secara formal para arsitek lulusan universitas diberi
gelar “insinyur”(Ir). Secara operasional pengertian arsitektur di Indonesia dewasa ini kiranya
dapat dilukiskan sebagai berikut :
Tugas utama arsitek adalah memecahkan maslah kebutuhan manusia modern beserta
lingkungannya dengan menciptakan ruang dan bentuk yang memadai (Nuttgens, 1980:
Architecture is an expression of human experience in the creation of husable space).

Namun disadari benar, bahwa kekuaan struktur (dan segi-segi teknologi lainnya) haru ikut
terpecahkan dan ini adalah tuga para ahlu yang bersangkutan.

Arsitektur tradisional ialah suatu bangunan yang bentuk, struktur fungsi, ragam hias, dan cara
pembuatannya diwariskan secara turun menurun serta dapat dipakai untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan aktivitas kehidupan yang
ditampungnya, arsitektur tradisional dapat dikelompokan ke dalam beberapa jenis bangunan,
yakni bangunan tempat tinggal atau rumah, bangunan tempat ibadah, bangunan tempat
musyawarah, dan bangunan tempat menyimpan. Semua jenis bangunan yang termasuk ke
dalam arsitektur tradisional itu akan diinventariskan dan didokumentasikan dengan
mengingat komponen-komponen di atas. Namun karena adanya keterbatasan memperoleh
sumber mungkin saja ada satu atau beberapa unsur lainnya yang belum dapat diungkapkan.

Contoh nyata yang akan kita ambil di sini adalah daerah Jawa Barat. Bangunan-bangunan
tempat tinggal atau rumah yang terdapat di daerah penelitian memiliki nama-nama yang
beda, perbedaan antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya. Perbedaan itu
disebabkan oleh bentuk atap dan pintu rumah yang berbeda beda pada masing-masing
bangunan tempat tinggal. Di lihat dari bentuk atapnya, rumah-rumah tradisional di daerah
penelitian ternyata menunjukkan perbedaan dengan rumah-rumah tradisional yang terdapat di
daerah-daerah lain di luar Jawa Barat, seperti nampak pada Rumah Gadang di Sumatera
Barat, Aceh,Batak atau Rumah Toraja. Beberapa nama bangunan tempat tinggal, di daerah
penelitian jika dilihat dari bentuk atapnya, ialah: suhunan jolopong, tagong anjing, badak
heuay, parahu kumureb, dan jubleg nangkub. Sedangkan kalau dilihat dari pintu masuknya
dikenal pula rumah buka palayu dan buka pongpok.

Tipologi:

          Suhunan Jolopong, bentuk Jolopong memiliki dua bidang atap saja. Kedua bidang atap
ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, balikan jalur suhunan itu sendiri
merupakan rangkap dari kedua bidang atap. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar
dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah. Sedangkan pasangan sisi
lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus .

            Tagong Anjing

            Bentuk atap tagong anjing memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis
batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan atap lainnya, serta
merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi
yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan
puncaknya. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagong anjing lebih panjang
dibandingkan dengan tiang-tiang belakangnya, batang suhunan terletak di atas puncak-
puncak tiang depan.
            Badak Heuay

            Bangunan dengan atap yang sangat mirip dengan tagong anjing, perbedaannya hanya
pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung ke atas melewati batang suhunan
sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan ‘rambut’.

            Parahu Kumureb

            Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya
berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi
oleh garis-garis suhunanyang merupakan sisi bersama.

            Jubleg Nangkub

            Bentuk atap memiliki lima buah bidang atap, satu bidang berbentuk trapesium siku-
siku, satu bidang berbentuk segi tiga sama kaki, dan pada sisi lainnya tidak berbidang atap.
Pada bentuk tap terdapat dua buah batang kayu yang menhubungkan satu di antara ujung
batang suhunan kepada kedua sudut rumah, secara landai sehingga terbentuknya satu bidang
atap segi tiga.

            Julang Ngampak

            Bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang atapnya jika dilihat dari arah muka
rumahnya. Bentuk atap demikian menyerupai sayap dari burung julang yang sedang
merentang. Bentuk-bentuk demikian dapat dijumpai di daerah-daerah Garut, kuningan dan
termpat-tempat lain di Jawa Barat.

Ruangan yang terletak di bagian yang disebut ’emper’ fungsinya untuk menerima tamu. Pada
waktu dulu ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas rumah. Ruangan ‘balandongan’
yang terletak paling depan dari ruangan lain, berfungsi untuk menambah kesejukan bagi
penghuninya di dalam rumah. Ruangan yang disebut ‘pangkeng’ dipergunakan sebagai
tempat tidur. Sejenis dengan pangkeng ialah ‘jobong’ uyang dipergunakan untuk menyimpan
barang-barang atau disebut gudang. Ruangan bagian tengah disebut ‘tengah imah’ bagian ini
dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga.

Bangunan tempat ibadah

Tipologi;
Mesjid merupakan bangunan dengan denah bangunan yang berbentuk bujur sangkar. Pada
mesjid-mesjid yang lebih muda umumnya, di samping denah bujur sangkar terdapat pula
serambi-serambi di depan, kiri dan kanan. Serambi-serambi itu merupakan ruangan-ruangan
hasil penambahan kemudian. Ciri utama yang menandai bangunan mesjid adalah bentuk
atapnya yang besar dan lebar yang terletak diatas bangunan utama. Bagian inilah yang
memiliki empat tiang utama yang lazim disebut ‘saka guru’. Saka ini berfungsi untuk
menyangga seluruh gaya berat bangunan tersebut. Atap dari ruangan mesjid yang berbentuk
bujur sangakar adalah atap tumpng yang tersusun makin kre atas makin kecil. Tingkatan yang
paling atas, biasanya ditutupi dengan atap lainnya dalam bentuk limas. Bagian paling atas ini
disebut ‘momolo’. Bagian-bagian pokok daripada mesjid adalah mihrab, mimbar, dan
ruangan sembhayang,

Bangunan tempat musyawarah

Nama bangunan tempatmusyawarah atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan bale
desa. Menuruti pola rumah tinggal dengan sistem kolong, mungkin pula bangunan tersebut
tidak berdinding, sehingga memudahkan orang untuk datang berkunjung.

Bentuk-bentuk bagian:

Atap berbentuk atap jure, disebut juga atap limasan. Atap ini ditandai oleh adanya kayu kayu
jure yang menghubungkan ujung susuhunan ke arah empat sudut bangunan. Tiang-tiang
bangunan yang berbentuk segi empat berukuran masing masing segi tidak kurang dari 20cm,
tiang tiang ini berjumlah empat buah yang berfungsi menunjang rangka atas bagian atas.
Pintu bale berbentuk empat persegi panjang, kecuali pintu-pintu masuk di kanan kiri
bangunan. Pintu-pintu masuk itu merupakan pintu-pintu pendek yang tersusun dari
lempengan kayi berjarak tertentu. Tangga untuk naik ke dalam bangunan ini, terdapat di
bagian kiri dan kanan di depan pintu-pintu masuk yang terbuat dari kayu berumpak. Dinding
banngunan bagian belakang yang disebut pangkeng terbuat dari anyaman bamboo. Dinding
ini dipasang setinggi tiang-tiang bangunan dari ujung lantai ke ujung tiang. Dinding-dinding
pagar yang dipasang di bagian pinggir bangunan dan berukuran setengah badan manusia. Di
bagian bawah rangka atap, terdapat langit-langit, disebut ‘gelebeg’ terbuat dari papan-papan
kayu separti pada lantai. Lantainya terbuat dari palupuh yakni papan-papan kayu yang
disusun rapat melintang sepanjang bangunan.

Bangunan tempat menyimpan

Bangunan tempat menyimpan bagi masyarakat sunda disebut ‘leuit’. Sebutan leuit terdapat di
daerah Priangan dan Banten. Di daerah Cirebon disebiut ‘lumbung’.

Tipologi:
Bentuk leuit ini melambangkan kemakmuran dari kesuburan setiap keluarga petani. Pada
masa lampau , ketika bangunan leuit masih terhitung banyak, ukuran kekayaan seseorang
atau keluarga dapat dilihat dari besar kecilnya leuit. Banyak leuit yang didirikan seseorang
petani, menentukan kedudukan orang tersebut dalam pandangan masyarakat. Leuit memiliki
denah segi empat atau bujur sangkar dan atapnya berbentuk perisai. Biasanya bangunan ini
lebih tinggi dari badan manusia, karena itu seseorang harus mempergunakan tangga untuk
naik ke dalam leuit.

            Bagian-bagian Leuit:

Umpak, bagian ini terletak paling bawah dari seluruh bangunan. Bagian ini terbuat dari batu
atau batu bata, bagian ini berfungsi untuk menahan pangkal daripada tiang leuit agar tidak
menancap ke dalam tanah. Tiang leuit, berupa balok kayu dari jenis yang kuat berjumlah
empat buah, fungsinya untuk menahan seluruh gaya berat bangunan. Bilik yaitu dinding yang
terbuat dari anyaman bamboo untuk menutupi ruangan leuit. Iga, yaitu papan yang dipasang
melintang di luar bilik. Fungsinya untuk menjepit bilik atau menahan bila ada tekananakibat
isi leuit yang padat. Cangkok, yaitu kayu-kayu yang dipasang mendatar di tepi bagian leuit.
Anting-anting kayu pendewk yang dipadsang melintang dengan tiang leuit, fungsinya untuk
memperkuat dan menahan atap serta tiang leuit. Cabrik yaitu penutup atap samping kanan
dan kiri. Ontob yaitu kayu untuk penutup atap ujung bawah. Ampig, yaitu kayu-kayu yang
disusun penutup bagian kiri dan kanan rangka atap bangunan. Panto leuit, yaitu bagian dari
leuit berletrak di bagian ampig berukuran krecil yang fungsinya untuk jalan keluar masuknya
padi yang akan disimpan dan dikeluasrkan. Hateup yaitu atap leuit yang terbuat dari
genteng  atau bahan lainnya. Paparan, yaitu bagian amping terletak di atas leuit, sdehingga
menyerupai para atau ruangan atas pada rumah tinggal. 

LANDASAN ARSITEKTUR INDONESIA

            Arsitektur Indonesia adalah arsitektur yang memenuhi kebutuhan manusia Indonesia.


Persoalan akan segera bergeser menuju kebutuhan akan perumusan kebutuhan manusia
Indonesia ini.Lalu siapakah yang menetapkan kebutuhan manusia Indonesia ini? Manusia
Indonesia seluruhnya, atau diwakilkan saja pada para arsitek, atau para ahli perumus
kebutuhan manusia yang sekarang ini agaknya sedang berbunga-bunganya? Para perumus
kebutuhan manusia Indonesia inilah yang biasa disebut kaum cerdik cendekiawannya, baik
yang terdiri dari kaum teknokrat maupun apa yang disebut intelektual yang sangat heterogen,
terbesar, dan sering anti struktur. Persoalan jadi : apakah perumus kebutuhan manusia
Indonesia yang diwakili oleh para cerdik cendekiawan ini sampai sekarang sudah bisa
dikatakan benar-benar mewakili kebutuhan manusia Indonesia? Karenanya, maka
pembicaraan tentang landasan kebutuhan manusia Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh
para cerdik cendekianya.

Arsitektur Hindia-Belanda
            Angka rata-rata diatas memang tidak terlalu merisaukan bagi lungkungan tadisional,
yang ekologinya masih baik dengan lahan yang longgar dan bahan bangunan yang alami.
Walau demikian, lain halnya bagi para penjajah Belanda. Gaya disesuaikan dengan iklim
topis. Plafonnya tinggi, dindingnya tebal, lubang ventilasi ditempatkan di berbagai sudut.
Pada rumah tinggal, jendela-jendela lebar berkisi diberi tritis. Yang menarik adalah
berandanya yang sangat luas, mencakup antara 25 sampai 35 persen dari luas bangunan,
sebuah konsep ruang hasil adaptasi terhadap ruang serambi pada arsitektur tadisional
Nusantara. Antara rumah induk dan dapur atau bangunan kecil dihubungkan dengan selasar-
selasar terbuka.

            Arsitek colonial atau arsitektur Hindia-Belanda ini kemudian menjadi orientasi bagi
para pedagang pribumi, santri, Cina, dan priyayi. Pada tahap selanjutnya banyak rumah sakit
dan sekolah dibanun dengan gaya serupa.

            Diantara karya-karya arsitektur tropis colonial ini, ternyata bias kita jimpai jenis
arsitektur tropis yang Indonesia. Ambilah contoh kampus ITB (Institut Teknologi Bandung)
yang dirancang Mc. Laine Pont. Yang sangat Indonesia dan berfungsi untuk social budaya
modern adalah Teater Sobokarti di Semarang. Ini dirancang oleh Thomas Karsten dengan
konsep yang dia tulis dalam sebuah artikel di JAwa pada tahun 1921. Berdenah teater
romawi, tapi seluruh ekpresi arsitekturnya adalah arsitektur Jawa dan tropis. Hat\rus diakui,
arsitek Belanda pencinta arsitektur tradisional Indonesia yang menyempal ini, ternyata sangat
serius dalam penyiasati iklim tropis.

Arsitektur Tropis Indonesia

            Sejak kemerdekaan, yang laku adalah gaya arsitektur burban Eropa tahun 20-an. Gaya
modern mulai disenagi, dijiplak tanpa imajinasi dan meremehkan iklim tropis. Arsitektur
tropis colonial pun mulai memudar. Arsitek Silaban dan kawan-kawan tampil sebagau
penyelamat dan berusaha secara konsisten sampai akhir hayatnya untuk menghadirkan
arsitektur tropis Indonesia.dari segi kenyamanan termal, beliau cukup berhasil, tapi tidak
cukup berhasil dalam mengekpresikan “Indonesia”nya, karena tetap saja merancang dengan
idiom arsitektur modern, dengan kekhasan louvre- louvre pada fadacenya.

            Era awal Orde BAru adalah cara erasemakin   memudarnya arsitektur tropis. Ia digilas
oleh arsitektur modern berAC yang dirancang tanpa AC pun seakan-akan melupakan aspek
tropis, sehingga pada suatu saat kita tersentak kaget dengan hadirnya sebuah desain, yang
dikerjakan “raksasa” Paul Rudolph, yakni gedung Wisma Dharmala di Jakarta.

            Inikah arsitektur tropis yang Indonesia? Saya berpendapat tidak. Karena seluruh
bangunan itu dirancang dengan gaya internasional, dan seluruh bangunan menggunakan
system penghawaan artificial. Lisplang betonnya yang miring barangkali memang member
citra tropis, tapi jelas belum menunjukkan “tropis Indonesia”.
Perkembangan arsitektur Indonesia dimulai pada awal abad ke-19 dengan penguasa Hindia
Belanda didirikan pusat kota Weltevreden yang bernama Batavia. Konsep kota itu sendiri
dijadikan sebagai areal perumahan dan perkantoran dengan gaya arsitektur daerah tropis. Di
areal ini juga di fasilitasi dengan taman yang mengisi jarak antara rumah, bangunan punya
banyak bukaan, memiliki atap yang curam, berlantai teraso dan berdinding bata tebal. Hal ini
berfungsi untuk menjaga suhu didalam  rumah agar tetap sejuk pada siang hari dan hangat
pada malam hari. Pada abad ke-20 didirikan pusat kota di kebayoran baru. Areal ini dijadikan
tempat satelit. Desain pembangunan kota kebayoran baru ini merupakan percampuran antara
eropa barat dan utara serta tata letak kotanya dipengaruhi dengan prinsip letak jawa namun
dipengaruhi oleh jalan raya yang lebar serta jalur hijau yang luas. Kebanyakan pembangunan
arsitektur dijakarta dimulai  setelah adanya proyek mercusuar soekarno, misalnya: hotel
indonesia, sarinah, gelora bung karno, by pass, jembatan semanggi, monas, mesjid istiqlal,
wisma nusantara, ancol, gedung DPR/MPR.

Perkembangan arsitektur di daerah-daerah

Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoriti Hindu. Agama Islam ini dibawa
oleh pedagang Arab dari Parsi dan Gujarat melalui pembauran. Kesultanan kecil Samudra
Pasai disebelah utara Sumatra menjadi bandar yang ramai pada masa itu. Berdasarkan catatan
Gastaldi (1548), seorang ahli kosmografi dan enjineer dari Italia, pelabuhan atau bandar
kesultanan Samudra ebagai yang terbaik di pulau tersebut, dan melalui proses evolusi nama,
istilah Sumatra dikenalkan pertama kali oleh orang Eropa Nicholò de’ Conti, sebelumnya
Marcopolo menyebut dengan “Samara”, kemudian Friar dan Odoric menyebut dengan
“Sumoltra”, Ibnu Battuta menyebut “Samudra”. 2 Melalui evolusi yang sama, nama Borneo
pada mulanya adalah nama sebuah pelabuhan Brunei, yang pada masa itu merupakan nama
kerajaan terpenting di Kalimantan Barat. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-
rohaniawanKristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada
mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam
didorong hubungan perdagangan di luar Nusantara; umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah
yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan penting termasuk Mataram di Jawa
Tengah, danKesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur. Peradaban Eropa,
hadir sejak abad ke-16, mula-mula dalam bentuk peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis),
kemudian Britania Raya, dan Belanda. Marcopolo menjadi orang Eropa pertama yang
bercerita tentang perjalanannya ke bandar-bandar pantai utara “Samara” pada tahun 1291.

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah Nusantara


dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan
Majapahit. Pada dekad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh
pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur
Belanda (Verenigde
Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh parlemen Belanda pada
tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernamaJakarta. VOC menjadi terlibat
dalam politik internal Jawa pada masa itu dan bertempur dalam beberapa peperangan yang
melibatkan pemimpin Mataramdan Banten. Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir dekad ke-
18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles,
pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Pada1901 pihak
Belanda melancarkan Politik Etis (Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih
besar dalam pendidikan bagi orang-orangpribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah
gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan
kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi
bagi negara Indonesia saat ini. Pada saat ini, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota-
kota dengan berbagai macam fasilitas seperti bangunan perkantoran, rumah sakit, bangunan
ibadah (masjid dan gereja) dan lain sebagainya. Penetrasi Jepang di Asia Tenggara pada
tahun 1941 disambut pada bulan yang sama dengan menerima bantuan Jepang untuk
mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda terakhir dikalahkan
Jepang pada Maret 1942.

A.2. Geografi dan Lingkungan

Nusantara beriklim tropis sesuai dengan letaknya yang melintang di sepanjang garis
khatulistiwa. Dataran Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilometer persegi terletak antara 60
garis lintang utara dan 110 garis lintang selatan serta 950 dan 1400 garis bujur timur. Dataran
ini dibagi menjadi empat satuan geografis yaitu kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi), Kepulauan Sunda Kecil (Lombok, Sumba, Sumbawa, Komodo,
Flores, Alor, Savu, dan Lembata), Kepulauan Maluku (Halmahera)

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR NUSANTARA

Ternate, Tidore, Seram dan Ambon), dan Irian Jaya beserta kepulauan Aru. Seluruh pulau di
Indonesia termasuk dalam zona iklim khatulistiwa dengan suhu yang hampir konstan serta
dipengaruhi oleh angin musim dan angin pasat. Secara geologis, Nusantara terdiri dari
bentukan vulkanik dan nonvulkanik yang saling berjalin, sehingga Indonesia merupakan
wilayah seismik paling aktif di dunia, tercatat kira-kira 500 gempa bumi setahun. Sejak akhir
tahun 2004 hingga 2006 tercatat lebih dari 1000 kali gempa bumi. Selain gempa bumi,
wilayah Nusantara juga merupakan wilayah yang rawan tsunami, berdasarkan katalog gempa
(1629 - 2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali, terakhir kali bencana
tsunami yang paling besar terjadi akhir 2004 melanda wilayah Naggroe Aceh Darussalam.
B. Nusantara dan Jaringan Asia

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan,
antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan Australia.
Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat persinggahan bagi
pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau sebaliknya. Selain kedua bangsa Asia
ini, terdapat juga pengaruh lain dari berbagai budaya hebat di dunia seperti peradaban Iberia
(Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan Belanda. Dari luas dan letak
wilayahnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara besar yang cukup berpengaruh di Asia.
Jaringan

ini telah berlangsung beratus tahun lamanya, beberapa peninggalan budaya yang nampak atas
pengaruh yang pernah singgah masih ada seperti misalnya kebudayaan India pengaruhnya
mencakup terhadap penyebaran dan perkembangan Hindu Buddha dan Islam di Indonesia
yang bisa diketahui dari tinggalan budayanya yaitu arsitektur candi dan arsitektur masjid
bergaya Moghul di Indonesia. Sama halnya dengan India, pengaruh kebudayaan China
hingga sekarang ini masih sangat besar dapat terlihat dalam berbagai sapek kehidupan;
kepercayaan, bahasa, makanan, sistem pertanian dan lain sebagainya. Kemajuan maritim di
China pada masa Dinasti Ming telah membawa pelayar-pelayar tangguh mengarungi wilayah
Nusantara. Perdagangan silang antara China dan India telah membuat Nusantara dan Asia
Tenggara menjadi tempat persinggahan setiap kali berlayar. Pertukaran budaya terjadi dengan
adanya interaksi perdagangan antara pedagang atau pelayar China dengan penduduk setempat
yang disinggahi. Terdapat banyak tinggalan sejarah yang mendapat pengaruh peradaban Cina
di Indonesia terutama pada klenteng dan bangunan pertokoan yang tersebar pada kota-kota
lama di seluruh wilayah Indonesia. Budaya Jepang pertama kali masuk ke Nusantara pada
sepertiga abad ke 20. Melalui propaganda militer ”saudara tua” Jepang dengan leluasa masuk
ke wilayah Nusantara. Penetrasi politik Jepang selama 3,5 tahun tidak banyak meninggalkan
monumen atau tinggalan bangunan bersejarah di Indonesia seperti halnya India dan Cina,
akan tetapi kemiripan pada arsitektur vernakular yang sangat dipengaruhi oleh budaya
Austronesia menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ajar ini. Sebagai salah satu
negara

besar dengan konsep arsitektur timur yang kuat pernah menduduki Nusantara maka sangat
penting untuk diketahui bagaimana sejarah perkembangan dan konsep arsitektur Jepang.

Pembahasan buku ajar ini selain menjabarkan sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia
yang mendapatkan pengaruh dari peradaban Asia (India, Cina dan Jepang) di Indonesia juga
membahas konsep dan perkembangan arsitektur di ketiga negara tersebut. Arsitektur
Nusantara, dan Arsitektur Asia : India, Cina dan Jepang mewakili pemikiran tentang
arsitektur timur.

C. Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia


Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara umum
periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian besar yaitu Zaman Hindu-Budha,
Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi. Sebenarnya terdapat
satu zaman lagi sebelum zaman Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi
pembahasan serta diskusi tentang zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang
arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.1 Perkembangan arsitektur mulai dari masa
Prasejarah Akhir yang ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul
dan Bondowoso. Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di Leuwilang, Matesih,
Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan
budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat
dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa
termasuk arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk
arsitektur kolonial dan pasca kolonial).

Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah
ada sebelum atau bersamaan dengan pembangunan candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari
berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang arsitektur
lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia
dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun.
Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan
sebagai berikut :

Arsitektur vernakular

Arsitektur klasik atau candi

Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam

Arsitektur Kolonial

Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)

Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

A. Kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara

Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8
hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran
Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana.
Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki
kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di bagian Selatan Jawa
Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat
Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha Pembangunan candi terkait
dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan Hindu di
Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang
berkuasa  ada saat itu.
Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-prasasti.
Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ni
berbentuk ‘yupa’. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang
digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan
sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang raja bernama
Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita tentang
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga bercerita tentang bangunan
suci (candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak bisa ditelusuri namanya dengan
candi yang dikenal. Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan
prasasti, terdapat pula candi-candi yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti
keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Ada juga berita tentang keberadaan
kerajaan tersebut berasal dari berita ekspedisi pada pendeta Buddha Tiongkok (Cina) ke
nusantara misalnya berita dari pendeta I-Tsing yang menyebutkan keberadaan kerajaan
Holing (Kaling), kerajaan-kerajaan di Sumatera : Tulang Bawang (Sumatera Selatan),
Melayu (Jambi), dan Sriwijaya. Dari I-Tsing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan pusat
kegiatan ilmiah agama Budha pada masa itu. Buku atau kitab kuno juga merupakan sumber
informasi keberadaan kerajaan-kerajaan di masa lampau, seperti kitab Pararaton dan juga
kitab Negarakertasari. Berikut adalah rangkuman dari berbagai sumber terhadap beberapa
prasasti dan candi peninggalan kerajaankerajaan

pada era Hindu dan Buddha atau sebelumnya.

B. Arsitektur Candi

B.1. Fungsi Candi

Kata Candi pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal
Candika, Dewi Kematian dan Permaisuri Siwa. Maka, secara harfiah Candi bisa ditafsirkan
sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman, atau bahkan sebagai makam.
1. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang raja dikubur dibawah bagian tengah candi
(peripih). Sehingga seringkali dulu candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan
memuliakan raja yang sudah meninggal. Akan tetapi, Candi dibangun bukan semata hanyalah
sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal, lebih dari
candi itu, candi juga difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa yang
dilambangkan sebagai arca. Arca

tersebut diletakan di ruang tengah candi dahulu kala hanya Pendeta yang memimpin acara
pemuajaan yang diperkenankan masuk kedalam ruang tersebut. Candi lebih diyakini sebagai
kuil atau tempat pemujaan daripada sebagai makam.

Tatanan, Bagian dan Konsep Arsitektural Candi


Secara vertikal, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian yang melambangkan
kosmologi atau kepercayaan terhadap pembagian dunia sebagai satu kesatuan alam semesta
yang sering disebut dengan ‘Triloka’ terdiri dari dunia manusia (bhurloka), dunia tengah
untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa (svarloka).
Ketiga tingkatan

ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagian kaki, badan dan kepala.
Arsitektur candi sering juga diidentikan dengan makna perlambangan Gunung Meru. Dalam
mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagat yang berfungsi
sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga. Keyakinan seolah-olah mengatakan
bahwa gunung sebagai tempat tinggal para dewa. Pada bangunan candi di Indonesia, selain
berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat di ruang dalam candi, elemen atau
bagian bangunan yang terdapat pada arsitektur candi baik candi Hindu dan Buddha yaitu
kala-mekara, peripih, stupa, ratha (mahkota), lingga dan yoni. Kala merupakan makhluk
legenda yang diciptakan Siwa untuk membunuh seorang raksasa. Kala ini diwujudkan dalam
berbagai variasi bentuk seperti mahkluk aneh tanpa rahang bawah atau hiasan dengan satu
mata. Sedangkan Mekara adalah binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung
nuri, dan ekor seperti ikan, yang semuanya merupakan lambang air dan birahi.2 Hiasan
mekara ini sering ditemukan baik pada candi Hindu dan Buddha. Biasanya patung makara
ditemukan pada gapura sebagian besar candi klasik awal, makara jarang ditemukan pada
jaman klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatra, seperti di kompleks candi Padang Lawas,
dimana didirikan perkiraan pada abad 10 mekara ini masih terus digunakan. Peripih adalah
sebuah peti batu yang digunakan awalnya sebagai tempat abu jenazah seorang raja, kemudian
pada kenyataan lain, peripih digunakan sebagai wadah untuk menaruh unsur-unsur yang
melambangkan dunia materi : emas, perak, perunggu, batu akik dan biji-bijian yang diduga
sebagai benda-benda upacara pemujaan. Di dalam peripih terdapat bagian-bagian yang diatur
dalam pola seperti mandala, sembilan atau 25 titik. 3 Stupa merupakan unsur perlambang
Buddha dengan bentuk setengah bulatan mempunyai pengertian falsafah melambangkan
“kubah syurga” (Dome og Heaven) atau melambangkan struktur kosmik yang menetap.
Biasanya diletakkan di bagian atas candi. Lingga dan yoni adalah sepasang relief atau
monumen yang terdapat pada candi Hindu Siwa. Lingga terdiri dari silinder terpadu atau
berdiri diatas dasar yang disebut yoni.

Referensi :

Jati Diri, Prof.Ir.Eko Budihardjo,M.Sc.Alukmni 1997

Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,Drs. H.J. Wibow.1998

Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat, Drs.Dasum Muanas,dkk.1998


1. Latar Belakang Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan
bangsa Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang tersebar di bentang kawasan
Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya. Arsitektur
tradisional di setiap daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai
suatu bentuk kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan
yang tetap dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap
ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.
Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian kuat mempengaruhi peri
kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, masihkan aturan-aturan yang bersumber
dari kebudayaan setempat tersebut diikuti?. Adalah suatu kondisi alamiah bahwa suatu
kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun perubahan yang
diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan menyesuaikannya
dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang. Masyarakat Kudus mungkin merupakan satu kelompok masyarakat yang
sampai saat ini masih memegang ciri kebudayaannya sebagai masyarakat pedagang santri
dalam kehidupan kesehariannya. Mata pencaharian sebagai pedagang atau pengusaha serta
kesalehannya sebagai umat muslim sangat mewarnai kehidupannya. Karakter kebudayaan
yang khas tersebut juga ditemui pada rumah tradisionalnya yang biasa disebut Joglo Pencu.
Pada saat ini rumah pencu tersebut sudah mulai jarang ditemui. Sebagian hilang karena di
dijual, sebagian berubah karena rusak atau karena mengikuti model dan material baru. Adalah
satu hal yang menarik mengetahui gambaran masyarakat Kudus dibalik kemegahan bentuk
fisik rumah tinggalnya serta perkembangannya dari masa ke masa. 2. Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas dan pengertiannya tergantung dari bidang,
tujuan bahasan atau penelitian tentang kebudayaan tersebut dilakukan. Terdapat konsep
kebudayaan yang bersifat materiel, yang dilawankan dengan kebudayaan yang bersifat idiel
atau konsep yang mencakup keduanya. A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto,
1997) secara lengkap menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah
laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang
akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat
(2005) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
didapatkannya melalui belajar. Dengan mengkaji lingkungan alam tempat tinggalnya,
menyesuaikan diri dan mencoba menarik manfaatnya. Menurut wujud atau bentuknya
kebudayaan dibagi dari yang abstrak sampai ke yang kasat. JJ. Honigman dalam
Koentjaraningrat (2005) membagi wujud kebudayaan tersebut dalam 3 bagian, yakni: Sistem
Kebudayaan (Cultural System) yang bersifat abstrak berupa nilai atau pandangan hidup,
Sistem Sosial (Sosial system) yang berupa pola kegiatan yang sifatnya lebih konkrit serta
Kebudayaan Fisik (Physical Culture) berupa peralatan, perabot dan bangunan yang sifatnya
paling konkrit. Masing-masing bentuk kebudayaan tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Pada semua kebudayaan terdapat unsur-unsur yang selalu ada yang dikategorikan dalam
tujuh unsur kebudayaan meliputi: Sistem Religi dan Upacara Keagamaan, Sistim dan
Organisasi Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem Mata
Pencaharian serta Sistem Teknologi (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2005). Unsur
budaya tersebut merujuk pada macam atau tema kebudayaan. Sifat unsur kebudayaan tersebut
universal, artinya pada kebudayaan apapun ketujuh unsur tersebut ada, hanya komposisinya
saja yang akan berbeda. Komposisi inilah yang akan memberikan karakter pada suatu
kebudayaan. 3. Perubahan Kebudayaan Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti
tetapi mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam
maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses adaptasi dan
belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih baik. Dengan
perubahan tersebut waktu dalam arti masa dan kesejarahan menjadi faktor yang perlu
diperhitungkan. Dalam perkembangannya, akibat perpindahan atau hubungan antar
masyarakat dalam berbagai kegiatan, persinggungan bahkan percampuran antara kebudayaan
satu dengan kebudayaan yang lain tidak akan terhindarkan. Proses pertemuan dua
kebudayaan yang berbeda menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi (Poerwanto,
1997). Akulturasi terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan
yang saling berbeda berhubungan langsung dan intensif sehingga kemudian menyebabkan
perubahan pola kebudayaan pada salah satu atau kedua kebudayaan tersebut (Syam, 2005).
Syam menyebutkan bahwa akulturasi lebih merupakan pengkayaan suatu kebudayaan tanpa
merubah ciri awal kebudayaan tersebut. Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan
dimana satu kebudayaan dapat menerima nilai-nilai kebudayaan yang lain dan
menjadikannya bagian dari perkembangan kebudayaannya (Park dan Burgess dalam
Poerwanto, 1997). Rapoport (1994) menyebut akulturasi ini sebagai salah satu bentuk
kebudayaan berkelanjutan (Cultural Sustainability) yang merupakan upaya suatu kebudayaan
agar dapat bertahan. Rapoport, menyatakan, walaupun suatu kebudayaan pasti berubah, yang
diharapkan adalah sebuah perkembangan, dengan tetap mempertahankan karakter dari
kebudayaan tersebut. Perubahan lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan dan tatangan
baru agar kebudayaan tersebut dapat tetap hidup. Dengan demikian ada bagian-bagian yang
tetap eksis dan menjadi ciri kuat dari kebudayaan tersebut serta ada bagian-bagian yang
berubah menyesuaikan perkembangan jaman (continuity and change). Unsur-unsur yang
tetap dipertahankan dan diturunkan antar generasi menjadi tradisi kebudayaan. 4. Arsitektur
Dalam Perubahan Kebudayaan Dalam membahas arsitektur, terdapat tiga aspek yang sangat
terkait di dalamnya, yakni contend, container dan context. Contend menyangkut isi, yakni
manusia sebagai penghuni dengan segala aktifitas dan kebudayaanya. Container menyangkut
wadah, bentuk fisik, lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia
tersebut. Context menyangkut tempat, lingkungan alam dimana wadah dan isinya berada.
Perubahan diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain. Dalam hal
perubahan budaya, bentuk perubahan lingkungan permukiman tidak berlangsung spontan dan
menyeluruh, tetapi tergantung pada kedudukan elemen lingkungan tersebut dalam sistern
budaya (sebagai core atau sebagai peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan adanya,
elemen-elemen yang tidak berubah serta ada elemen-elemen yang berubah mengikuti
perkembangan. Elemen yang tetap akan menjadi ciri khas dan pengenal dari arsitektur suatu
daerah pada skala yang luas, sementara elemen yang berubah akan menjadi farian dan
keragaman pada lingkup atau daerah yang lebih kecil. Arsitektur sebagai wujud nyata
kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana kala kebudayaan sebagai suatu sistem
keseluruhan mengalami perubahan. Bahkan sebagai bentuk kebudayaan yang kedudukannya
paling luar, arsitektur merupakan bentuk kebudayaan yang paling rentan berubah. Sebagai
bentuk adaptasi, perubahan-perubahan bentuk arsitektur tersebut akan mewakili kondisi
kebudayaan pada saat itu, yang apabila dirangkaikan akan dapat bercerita tentang sejarah
suatu kebudayaan. 5. Arsitektur Tradisional Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan
mencerminkan peradaban masyarakat setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-
nilainya tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan
arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur
tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan Vernakular Architecture,
Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006), Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive,
Local atau Folk Architecture (Papanek dalam Wiranto, 1999). Juga disebut sebagai Arsitektur
Etnik (Tjahjono,1991). Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya
sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter spesifik yang
merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat
(lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.
Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan disebut sebagai
arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam
pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat
lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah
tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan
erat manusia dan lingkungannya (man & enfironment). Jadi keragaman arsitektur tradisional
mencerminkan besarnya fariasi budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan
tempatnya. Karakter kebudayaan dan konteks lingkungannya menjadi fokus bahasan
arsitektur tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat memenuhi kebutuhan dipertahankan
dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak. Tradisi ini akan tetap dipertahankan
bila mempunyai makna, baik praktis maupun simbolis. B. KEBUDAYAAN PESISIRAN
JAWA: KUDUS 1. Kebudayaan Jawa Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari rangkaian
lebih kurang 500 kebudayaan daerah yang menyusun kebudayaan Nusantara. Wilayah
kebudayaan Jawa meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak termasuk daerah Pasundan di
Jawa Barat serta Madura di Jawa Timur. Secara umum kebudayaan Jawa dikenal sebagai
kebudayaan yang berkembang di lingkungan keraton di pedalaman Jawa yakni Keraton di
Yogyakarta dan Surakarta (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan Jawa merupakan
kebudayaan aristokratis (kerajaan) dengan latar kehidupan agraris (pertanian). Dalam aspek
religi masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sebagian besar beragama Islam Sinkretik,
yang sudah bercampur dengan agama Hindu, Budha serta kepercayaan setempat (Geertz,
1960). Pandangan Hidup orang Jawa menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan
keseimbangan. Sikap narimo, menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di
bawah alam semesta (Mulder, 1984). Masyarakat Jawa hanya mengenal dua stratifikasi
masyarakat yakni Penggede serta Wong Cilik (Castless, 1982). Dalam interaksinya,
Penggede menjadi golongan yang superior yang dilayani dan disembah oleh Wong Cilik.
Bahasa Jawa bertingkat-tingkat sebagaimana masyarakatnya. Penggunaan jenis bahasa dalam
pembicaraan tergantung pada siapa lawan bicaranya serta dalam konteks apa pembicaraan
tersebut berlangsung (Suseno, 1991). Dalam bentukan arsitektur rumah tradisional terdapat
farisasi bentuk yang dibedakan menurut atapnya. Dari yang paling sederhana, yakni:
Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug. Diantara bentuk-bentuk rumah tersebut
Joglo merupakan bentuk yang paling utama, biasa digunakan pada rumah-rumah para
bangsawan. Atap Tajug tidak diperuntukkan untuk atap rumah karena hanya digunakan untuk
makam, dan bangunan peribadatan. Dalam membangun rumahnya masyarakat Jawa banyak
melihat pada strata sosialnya. Nilai-nilai budaya Jawa seperti pembagian dua (dualitas) serta
pemusatan (sentralitas) terungkap dalam bentukan fisik serta keruangan rumah Jawa,
terutama pada rumah Jawa Tipe Joglo (Tjahjono, 1989). Kebudayaan Jawa sendiri menurut
Koentjaraningrat bukan merupakan kebudayaan yang tunggal (Koentjaraningrat, 1984).
Koentjaraningrat membagi kebudayaan Jawa menjadi beberapa wilayah kebudayaan, yaitu:
Banyumas; Bagelen; Nagarigung; Mancanagari; Sabrang Wetan dan Pesisir. Daerah Pesisir
terbagi lagi menjadi dua wilayah yaitu Pesisir Barat yang berpusat di Cirebon dan Pesisir
Timur yang berpusat di Demak (Pigeud dalam Koentjaraningrat, 1984). 2. Kebudayaan
Pesisiran Kebudayaan pesisir merupakan kebudayaan yang terdapat di kota-kota pantai utara
Jawa. Kawasan yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi aktifitas perdagangan serta
penyebaran agama Islam. Masyarakat Pesisir mepunyai karakter egaliter, terbuka dan lugas
(Thohir, 2006). Egaliter karena menganggap setiap manusia mempunyai kedudukan yang
sejajar. Terbuka dalam menyampaikan pendapat dan perasaannya, mudah akrab dan tidak
mudah curiga. Lugas, dalam berkomunikasi lebih suka langsung pada pokok
pembicaraannya, lebih mementingkan isi daripada cara menyampaikannya. Thohir
menganggap karakter ini berkaitan dengan lingkungan, agama serta mata pencahariannya.
Kebudayaan masyarakat Pesisir ini lebih berorientasi ke masjid dan pasar daripada keraton
dan sawah yang menjadi ciri kebudayaan Nagarigung. Penduduk pesisiran merupakan
masyarakat muslim yang puritan atau lebih dikenal dengan istilah santri. Mereka taat
melaksanakan shalat lima waktu serta, shalat Jun’at di masjid, cakap mengaji Al Quran, tidak
makan daging babi serta minum-minuman keras, menunaikan ibadah haji merupakan salah
satu cita-citanya (Koentjaraningrat, 1984). Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah
pedagang ataupun pengusaha, terutama barang kerajinan, pakaian, palawija serta rokok.
Mereka adalah pengusaha dan pedagang yang rajin, ulet, pekerja keras serta ahli dalam
bidangnya. Para pedagang pesisir ini mempunyai orientasi ke luar. Mereka merantau dari
kota ke kota untuk menjajakan barang dagangannya untuk waktu yang cukup lama. Sekalipun
begitu mereka mempunyai ikatan kelompok dan ikatan terhadap daerah asal yang sangat
kuat. Di perantauan mereka tinggal mengelompok dalam kampung yang penghuninya berasal
dari daerah yang sama (Geertz, 1977) dan setiap saat-saat tertentu mereka akan pulang ke
kampung halamannya. 3. Kebudayaan Pesisiran di Kudus : Masyarakat Pedagang Santri Pada
daerah Pesisir Timur bagian Barat dalam sejarahnya terdapat tiga kota yang cukup terkenal,
yakni Demak, Jepara serta Kudus. Demak merupakan pusat kekuasaan kerajaan Demak
Bintoro, Jepara merupakan kota pelabuhan penting bagi kerajaan Demak sementara Kudus
merupakan kota pemasok hasil bumi untuk Demak dan Jepara yang didatangkan dari
pedalaman (Graaf, 1985). Kudus merupakan salah satu pusat kebudayaan Pesisiran di bagian
Barat atau Pesisiran Kilen (Koentjaraningrat, 1984) sekalipun Kudus tidak terletak di daerah
pantai dan bukan kota pelabuhan. a. Sejarah Perkembangan Kota Sejarah kota Kudus banyak
dikaitkan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa serta sejarah tentang
Walisongo. Ja’far Shodiq (yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus), salah seorang
Walisongo yang menjadi penghulu di Demak, diperintahkan oleh penguasa Demak untuk
menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam, 1977). Kudus kemudian berkembang menjadi
pusat kegiatan agama Islam. Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun 1550
dan berakhir ketika kerajaan Mataram Islam menguasai hampir seluruh daerah-daerah di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak abad 18 Kudus berada dibawah kekuasaan Belanda dan
dijadikan daerah setingkat Kabupaten. Pada abad 19 Kudus mengalami perkembangan sosial
ekonomi pesat karena meningkatnya produksi pertanian. Daerah Kudus Kulon berkembang
menjadi daerah permukiman saudagar-saudagar hasil bumi yang kaya. Perkembangan ini
meningkat tajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 – awal abad 20).
Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil
(awal abad 20 – 1970). Ketika keadaan kembali stabil perkembangan kota lebih mengarah ke
selatan dan Timur, sementara Kudus Kulon tidak mengalami banyak perobahan (Wikantari,
1995). b. Masyarakat Kudus Secara sosiologis kota Kudus terbagi menjadi dua yakni Kudus
kulon dan Kudus wetan yang dipisahkan oleh sungai (kali Gelis). Kudus-kulon adalah kota
lama yang di konotasikan dengan kekunoan, kekolotan, ketertutupan tetapi juga kesalehan
serta kemakmuran. Sedangkan Kudus-wetan dikenal sebagai daerah perkembangan yang
lebih modern, lebih heterogen serta daerah yang sekuler. Masyarakat Kudus-kulon dikenal
sebagai masyarkat religius, kehidupan keagamaannya mendominasi kehidupan sehari-hari, di
sisi lain dikenal sebagai pedagang yang gigih pekerja keras dan terampil. Diantara mereka
dikenal ungkapan "Jigang" yang berarti Ngaji (membaca Al Quran) dan Dagang
(Perdagangan). Ngaji adalah aktivitas keagamaan yang merupakan pencerminan keta’atan
seorang muslim dalam menjalankan perintah agama, sedangkan dagang adalah kegiatan
duniawi yang. merupakan upaya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Kegiatan
duniawi dan ukhrowi harus dijalankan secara seimbang agar tercapai kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Keuletan, kecerdikan dan kerja keras sebagai pedagang menyebabkan
masyarakat Kudus-kulon berhasil dalam bidang perekonomian. Ketika perdagangan beras
dan polowijo mencapai puncak kejayaannya, masyarakat Kudus-kulon berkembang menjadi
masyarakat yang makmur, terlebih lagi pada masa keemasan industri dan perdagangan rokok.
Kemakmuran ini diwujudkan dengan menunaikan ibadah Haji, membangun masjid
lingkungan serta dalam penampilan bangunan rumah tinggalnya. Pada masa itu rumah bukan
hanya sarana untuk memertuhi kebutuhan fisik saja, tetapi berkembang menjadi sarana
menampilkan aktualisasi diri dari masyarakat pedagang santri, golongan menengah Jawa
yang kurang mendapatkan tempat dalam tatanan sosial masyarakat Jawa (Castles,1967). c.
Lingkungan Permukiman Kota lama Kudus atau Kudus-kulon adalah wilayah kota yang
merupakan embrio perkembangan kota Kudus. Wilayah kota lama meliputi daerah-daerah di
sebelah barat sungai Gelis, meliputi desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan,
Sunggingan, Janggalan, Damaran serta Kajeksan. Secara fisik kawasan pusat Kota lama
mempunyai keunikan dibandingkan daerah-daerah lain. Kawasan ini merupakan kawasan
permukiman dengan kepadatan bangunan yang tinggi. Jalan-jalan di lingkungan kota lama
dibedakan menjadi jalan besar yang bersifat umum serta jalan lingkungan yang lebih prifat.
Jalan-jalan di dalam lingkungan pemukiman berupa lorong-lorong sempit yang berliku-liku.
Jalan lingkungan ada yang mengarah utara-selatan yang menyusur di antara pekarangan-
pekarangan rumah (disebut lorong) serta jalan yang mengarah barat-timur yang seringkali
melintas pekarangan (disebut jalan pintas). Jalan yang sempit berliku-liku menunjukkan jalan
tersebut terbentuk setelah permukiman berdiri dan merupakan jalan pintas menuju ke pusat-
pusat lingkungan. Pusat kawasan terdapat pada masjid Menara yang merupakan masjid jami’,
sedangkan pada lingkungan permukiman banyak terdapat masjid lingkungan yang merupakan
pusat aktivitas masyarakat di sekitamya. Masjid lingkungan digunakan untuk melaksanakan
ibadah sehari-hari (shalat lima wktu dan shalat sunnah yang lain) oleh masyarakat di
sekitarnya. Masjid menara digunakan selain digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari bagi
masyarakat di sekitar masjid juga kegiatan peribadatan yang skalanya lebih besar. Sebagai
pusat lingkungan masjid tidak hanya digunakan untuk kegiatan peribadatan dan pendidikan
keagamaan, namun juga sebagai tempat kegiatan sosial. Pola permukiman secara umum
dibedakan menjadi dua, yakni pola rumah-rumah deret serta pola rumah-rumah tunggal. Pola
rumah-rumah deret terdiri dari kelompok bangunan yang berderet rapat dari Barat ke Timur,
antara rumah satu dan lain dalam satu kelompok tidak terdapat batas yang jelas. Pola kedua
yakni permukiman dengan rumah-rumah tunggal ditandai dengan letak rumah yang berdiri
sendiri dengan batas pekarangan yang jelas. d. Rumah Tradisional Kudus Rumah tradisional
Kudus merupakan kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan
melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama,
yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru di sebelah depan serta pawon di samping Dalem.
Di tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka (pelataran),
sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur (Pekiwan) serta Sisir. Regol
terletak disisi samping halaman. Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan untuk
tidur serta kegiatan yang sifatnya prifat. Di dalanya terdapat Gedongan, yakni sentong tengah
Kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat upacara pernikahan
digunakan sebagai kamar pengantin. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu,
terletak di depan Dalem. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (disebut
pawon ageng) serta tempat memasak pada bagian belakang (pawon alit), ruangan ini paling
sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi terletak di sebelah
depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama. Merupakan ruang ruang serfis, digunakan
untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los
memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat penyimpanan
(gudang) atau ruang serba guna. C. KAJIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL KUDUS
DALAM PERUBAHAN KEBUDAYAAN Mengkaji perkembangan arsitektur dalam
perubahan kebudayaan dengan studi kasus Kudus kulon akan merujuk pada interpretasi
terhadap sejarah kebudayaan masyarakat Kudus dikaitkan dengan perkembangan arsitektur,
khususnya rumah tradisionalnya. Apa yang diungkapkan berikut adalah satu interpretasi atau
pendapat yang sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Tujuan yang lebih
utama adalah untuk memberikan gambaran bahwa perubahan pada kebudayaan akan
tercermin pada perubahan arsitektur, mengingat arsitektur merupakan artefak dari
kebudayaan. 1. Periode Sebelum Islam, Sampai Akhir Abad 15 Kondisi geografis Kudus
pada saat itu terletak di dataran lembah dengan gunung Muria di sisi utara dan daerah rawa-
rawa di sisi selatan. Daerah ini diperkirakan merupakan sisa-sisa kanal atau selat yang pernah
memisahkan pulau Muria dengan pulau Jawa. Kemungkinan telah terdapat permukiman kecil
disebut Tajug yang dihuni masyarakat penganut agama Hindu ditepi sungai Gelis dengan
matapencaharian sebagai petani (Wikantari, 1994). Disamping agama Hindu, kepercayaan
asli setempat (dinamisme dan animisme) masih dipegang teguh. Kelompok permukiman
penganut hindu terdiri dari rumah-rumah penduduk dan kemungkinan terdapat asrama
(mandala) serta tempat ibadah (kuil). Rumah-rumah kemungkinan berbentuk kampung atau
limasan dengan material bambu atau kayu. Konstruksi rumah berbentuk panggung untuk
mengatasi kondisi alam berawa-rawa. Atap bangunan menggunakan rumbia, yang merupakan
bahan bangunan yang mudah didapatkan di sekitarnya. Bangunan peribadatan dibangun
dengan menggunakan bahan yang lebih awet, teknik membangun yang lebih rumit serta
ornamentasi pada bangunan yang merepresentasikan kemuliaan dan keabadian. Material
utama menggunakan batu bata (tanah liat yang dibakar) yang disusun berlapis tanpa pengikat
semen. 2. Periode Pengembangan Agama Islam, Awal – Pertengahan Abad 16 Sebelum
kedatangan Ja’far Shodiq telah datang terlebih dahulu The Ling Sing, penyiar agama Islam
dari Yunan (China) yang selain menyebarkan agama Islam juga mengajarkan ketrampilan
mengukir atau menyungging pada masyarakat. Ja’far Shodiq datang kemudian dengan
pengikut-pengikutnya ke Kudus untuk menyebarkan agama Islam, mengembangkan
permukiman baru serta mulai memperkenalkan ketrampilan berdagang. Penyebaran agama
Islam dilakukan secara persuasif serta menghormati keyakinan yang sudah ada lebih dahulu.
Ja’far Shodiq membangun masjid Al Manaar, membagi-bagikan tanah pada pengikutnya dan
mendirikan kota. Pengaruh Cina serta Timur Tengah masuk dalam kebudayaan masyarakat,
disamping Hindu dan Jawa. Demikian juga struktur masyarakat berkembang dengan tatanan
yang lebih kompleks. Masjid yang awalnya kecil kemungkinan dibangun di bekas tempat
peribadatan Hindu, atau dengan mempergunakan pengetahuan membangun tempat ibadah
Hindu yang disesuaikan untuk Masjid. Diversifikasi bentuk bangunan bangunan mulai di
kenal untuk merepresentasikan fungsi atau penghuninya. Atap bangunan peribadatan
berbentuk tajuk, bangunan untuk petinggi atau penguasa berbentuk limas dan Kampung
untuk masyarakat umum. Penggunaan material kayu jati untuk bangunan penting. Ukiran
atau ornamentasi mulai dikenal sebagai elemen penghias bangunan penting. Rumah biasa
mungkin tetap menggunakan bahan bambu serta beratap kampung dari bahan rumbia. Pusat
Kota berupa pelataran terbuka diletakkan berebelahan dengan sungai. Pelataran ini sekaligus
digunakan sebagai pasar. Di sisi barat terdapat Masjid yang menghadap pelataran tersebut. Di
sisi selatan masjid terdapat Pendopo yang diperkirakan merupakan bangsal istama,
kemungkinan lain istana atau rumah Sunan Kudus terdapat di sisi utara kawasan dengan
masjid pribadinya, Langgar Dalem. Dengan membagi-bagikan tanah disekitarnya pada
pengikutnya, Sunan Kudus sudah meletakkan dasar-dasar tata kota Kudus. 3. Periode
Kekuasaan Mataram Islam, Awal Abad 17 – Akhir Abad 18 Dengan jatuhnya kekuasaan
Demak ke Pajang dan kemudian Mataram, kekuasaan kerajaan bandar berpindah ke selatan,
ke kerajaan agraris yang veodal, saat itu Kudus berkembang menjadi pemasok beras dan
palawija dari pedalaman ke bandar Demak, Jepara serta tempat-tempat lain. Perdagangan
keliling lambat laun menjadi mata pencaharian penting masyarakat Kudus dan memberikan
peningkatan sosial ekonomi pada masyarakat, menjadi kelopok masyarakat yang makmur dan
mandiri. Orientasi masyarakat Kudus waktu itu banyak ditujukan ke Nagarigung sebagai
ibukota kerajaan. Kemampuan ekonomi hasil perdagangan diwujudkan dengan pembangunan
rumah-rumah dari bahan yang lebih baik, kayu jati. Bentuk Joglo yang menjadi lambang
kebangsawanan menjadi bentuk yang disukai untuk menaikkan derajat sosial. Tata ruang
rumah mengalami penyederhanaan dengan hanya meliputi Dalem serta pawon. Tata ruang
rumah yang ringkas ini kemungkinan ada hubungannya dengan perkembangan peduduk kota
yang mulai padat, terutama di sekitar pusat Kawasan (Masjid Menara). Arah selatan yang
menjadi orientasi rumah tetap dipatuhi, sehingga menimbulkan pola rumah berderet pada
kapling-kapling yang mulai ramai. 4. Periode Kekuasaan Kolonial Belanda, Abad 18 Pada
masa kekuasaan kolonial belanda, Kudus dijadikan wilayah pemerintahan setingkat
kabupaten dan pejabat-pejabat pemerintah lansung diangkat oleh Belanda. Hubungan dengan
Nagarigung menjadi terputus dan penguasa-penguasa Kudus menjadi semacam raja. Belanda
memindahkan pusat kota ke sebelah Barat kali Gelis dan kota lama dibiarkan tetap dalam
kondisi tradisionalnya. Perdagangan keliling semakin ditekuni masyarakat kota lama Kudus.
Demikian pula dengan kehidupan keagamaannya. Menguatnya perekonomian masyarakat
menummbuhkan tuntutan aktualisasi diri pada masyarakat Kudus. Sayang tuntutan tersebut
tidak mendapat respon yang positif. Pergesekan dengan pemerintah Belanda, masyarakat
Jawa sendiri serta orang China mulai sering terjadi. Ikatan diantara masyarakat semakin kuat
karena karakteristik kelompok masyarakat tersebut. Pengaruh kolonial Belanda dan eropa
tercermin pada penggunaan elemen-elemen non kayu yang mulai mewarnai rumah Kudus.
Unsur keamanan mulai diperhatikan masyarakat dengan membangun pagar-pagar halaman.
Ketertutupan terhadap masyarakat luar serta ikatan kelompok yang berkembang diwujudkan
dengan adanya dinding-dinding pembatas. Masyarakat mengembangkan kehidupannya
dibalik tembok pembatas. Bentuk rumah berkembang menyesuaikan tradisi masyarakat.
Emperan rumah mulai ditutup dan diperbesar untk menerima tamu. 5. Periode Kejayaan
Sosial Ekonomi, Abad 19 – Awal Abad 20 Menjelang akhir abad 19 kota Kudus mengalami
peningkatan kemakmuran berkat melimpahnya hasil pertanian daerah sekitarnya, terutarna.
beras, polowijo dan gula jawa. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang
pedagang Kudus. Aktivitas perdagangan mengharuskan mereka menjelajah sampai di tempat
tempat yang jauh (biasa disebut belayar) yang memakan waktu berminggu minggu sampai
berbulan¬-bulan. Setelah berkeliling dan sukses mereka kemudian kembali (berlabuh) atau
menetap di suatu kota. Sementara para suami berlayar, kaurn wanita Kudus melakukan
kegiatan kerajinan rumah tangga atau berdagang kecil kecilan. Hasil kerajinan rumah tangga
berupa batik, bordir dan tenun ikut menjadi mata dagangan dari suami suami mereka. Pada
paruh pertama abad 20 Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokok kreteknya. Industri yang
semula merupakan kerajinan rumah tangga berkernbang menjadi industri besar 13).
Kemajuan perdagangan dan industri pribumi menarik kalangan masyarakat Cina untuk
beramai ramai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini mernicu pertentangan antar
etnis yang sengit dan berlarut larut 14). Perkembangan ini lebih dipertajam ketika industri
rokok berkembang (akhir abad 19 awal abad 20). Perkembangan ini menyebabkan
kepercayaan diri yang besar dari masyarakat Kudus berkembang. Mereka membangun strata
sosial sendiri menjadi kaum borjuis. Tuntutan aktualisasi diri menjadi semakin kuat melawan
perlakuan masyarakat luar yang dianggap kurang menghargai. Jalan jalan kereta api di
dibangun untuk mengantisipasi perkembangan industri gula dan produksi beras. Daerah
Kudus kulon berkembang menjadi daerah permukiman saudagar saudagar hasil bumi yang
kaya dari hasil perdagangan. Rumah-rumah besar dibangun dengan bentuk Joglo yang
dimodifikasi. Brunjung atau bagian atas dari atap Joglo dibuat lebih tinggi, dikenal sebagai
Joglo Pencu. Ornamentasi semakin rumit dan halus serta menghiasi hampir seluruh
permukaan dinding rumah, terutama ruang Jogosatru dan Gedongan. Elemen-elemen khusus
yang hanya di temui di Rumah tradisional Kudus memperkuat karakter rumah. Musholla-
musholla mulai banyak didirikan untuk mendekatkan dengan rumah. Sumur dan kamar mandi
mungkin sudah dibuat di depan rumah sejak awalnya. Untuk mempermudah kegiatan ibadah
yang perlu bersuci sebelum ke masjid atau musholla. Bangsal didirikan di depan rumah untuk
menampung barang dagangan atau untuk tempat kerja produksi Rokok. Gudang gudang dan
pabrik rokok banyak didirikan di Kudus kulon. 6. Periode Surutnya Kejayaan Sosial
Ekonomi, Awal Abad 20 – Tahun 1970an Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi
politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 1970). Banyak perusahaan yang
bangkrut dan gudang gudang terbengkalai. Industri Rokok yang pernah mengantarkan sosial
ekonomi ke puncak kejayaan beralih ke tangan orang-orang China yang mengembangkannya
menjadi Industri raksasa dengan dukungan pemerintah. Bagi masyarakat Kudus sendiri
industri rokok tidak pernah bangkit kembali. Hanya beberapa keluarga keturunan pengusaha
rokok besar yang masih meneruskan usahanya dalam skala kecil. Surutnya perekonomian
membawa dampak pada kehidupan masyarakat, namun tidak pernah menghilangkan
semangat perdagangan dan usaha mandiri masyarakat. Rumah-rumah Kudus mulai menjadi
obyek yang bermasalah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu tidak lagi mampu
mendukung keberadaan rumah-rumah tradisional Kudus. Demikian juga dengan ketersediaan
material kayu jati yang semakin langka. Elemen-elemen bangunan yang rusak mulai diganti
dengan elemen yang lebih murah dan awet. Jumlah penghuni yang berkembang juga mulai
merubah fungsi-fungsi awal dari ruangan yang ada. Namun secara keseluruhan bangunan
tidak mengalami perubahan. Bangunan bangunan baru yang didirikan tidak lagi menerapkan
bangunan tradisional karena alasan kepraktisan serta biaya. 7. Masyarakat Kudus Kulon Saat
Sekarang Akhirnya ketika keadaan lebih stabil penataan perkembangan kota mulai dilakukan
Kudus berkembang menjadi kota industri kecil. Perluasan kota mengarah ke selatan dan
timur, sementara kota lama tidak mengalami banyak perubahan. Pada sisi kehidupan sosial
masyarakat. Kegiatan industri rokok sudah mulai di tinggalkan. Beberapa industri kecil
rumahan seperti jamu sempat berkembang sebentar diantara masyarakat. Industri yang terus
bertahan adalah industri Konfeksi. Pada tahun-tahun terakhir mulai bermunculan industri
kerajinan ukir untuk perabot serta elemen bangunan, walaupun jumlahnya tidak terlalu
banyak dan letaknya tersebar di wilayah Kota Kudus (Wikantari, 2001) dan yang sampai
sekarang terus berkembang dengan pesat adalah industri bordir. Ketika masa kemakmuran
berlalu, banyak rumah rumah dan fasilitas-fasilitas perekonomian yang kemudian
terbengkalai. Perselisihan yang terjadi diantara keluarga keturunan pemilik rumah, kesulitan
ekonomi serta rumitnya perawatan rumah seringkali berakhir dengan dijualnya rumah rumah
tersebut. Di sisi lain keunikan dan kemewahan rumah Kudus sangat menarik minat orang-
orang di luar Kudus, bahkan luar negeri untuk memilikinya. Akibatnya dari tahun ke tahun
jumlah rumah tradisional terus berkurang. Tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah melakukan inventarisasi dan hanya menemukan 33
rumah adat kudus dan 68 rumah diseluruh kota Kudus. Berkurangnya rumah tradisional
Kudus juga disebabkan karena sifat kayu yang tidak tahan terhadap cuaca dan waktu
dibandingkan dengan material batu atau beton. Kecuali yang selalu dirawat dengan seksama,
rumah-rumah tradisional yang sudah lewat seratus tahun sudah mulai lapuk dan rusak. Dalam
perkembangannya kemudian rumah rumah di daerah ini banyak mengalami perubahan
perubahan baik dalam hal penggunaan bahan bangunan maupun dalam corak arsitektur
bangunannya. Ada yang hanya berubah sedikit pada elemen-elemen bangunannya, berubah
satu unit bangunan yang hilang dan digantikan bangunan baru atau yang berubah sama sekali,
walaupun ada pula yang masih tetap berusaha untuk tetap mempertahankannya.
Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus serta bentukan rumah tinggalnya secara
ringkas dapat dilihat pada tabel di bawah: D. PENUTUP Rentetan peristiwa dalam
kesejarahan masyarakat Kudus kulon membawa perkembangan perubahan dalam kebudayaan
masyarakat Kudus. Akulturasi dari berbagai kebudayaan (kebudayaan lokal, Hindu, Islam,
Cina, Kolonial, Eropa) mewarnai kebudayaan Kudus sampai saat ini. Perkembangan dari
masa kemasa tersebut tercermin pada perkembangan artefaknya, yakni rumah traisional
Kudus. Dari gambaran morfologi rumah tradsional Kudus dalam perkembangan
kesejarahannya dapat dilihat bagaimana rumah tradisional sampai pada bentuk seperti
sekarang. Sebagaimana dikatakan Rapoport, Oliver, Nash, Tjahjono, bahwa suatu
kebudayaan yang bentuknya tercermin dalam arsitektur akan selalu berubah atau
berkembang. Selama nilai nilai yang dipatuhi masih dianggap berguna serta cocok dalam
menghadapi tantang kehidupan, maka nilai-nilai tersebut masih akan lestari atau lentur
berubah dengan tetap mempertahankan karakteristik intinya. 

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai