Anda di halaman 1dari 31

Tugas

Keperawatan Bencana
Makalah, Reveiew dan Materi
Mitigasi Bencana

DISUSUN OLEH:
Siti Nurhasanah
Perci Tamani
Dian K. Djafar
Nurain Laminullah
Febriyanto Djafar
Moh. Rival Madjoka
Ramlawati Nai
Zunaldi Paliki

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Sungguh suatu kesyukuran yang memiliki makna tersendiri, karena walaupun dalam
keadaan terdesak, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan karya tulis ini, kami mencoba membahas tentang “Mitigasi
Bencana”.
Apa yang kami lakukan dalam karya tulis ini, masih jauh yang diharapkan dan
isinya masih terdapat kesalahan – kesalahan baik dalam penulisan kata maupun dalam
menggunakan ejaan yang benar. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya
membangun, kami harapkan sehingga makalah ini menjadi sempurna.

Grorntalo, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................
1.2 Tujuan...............................................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN..............................................................................................


2.1 Jurnal................................................................................................................
2.2 Materi Tambahan Mitigasi Bencana................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................


3.1 Simpulan..........................................................................................................
3.2 Saran................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan suatu proses alam atau bukan alam yang menyebabkan korban
jiwa, harta dan mengganggu tatanan kehidupan. Tanah longsor merupakan bencana alam
geologi yang diakibatkan oleh gejala alam geologi maupun tindakan manusia dalam
mengelola lahan. Dampak dari bencana ini sangat merugikan, baik dari segi lingkungan
maupun sosial ekonomi (BNPB, 2008). Tanah longsor terjadi karena adanya gerakan tanah
sebagai akibat dari bergeraknya masa tanah atau batuan yang bergerak di sepanjang lereng
atau diluar lereng karena faktor gravitasi. Kekuatan gravitasi yang dipaksakan pada tanah-
tanah miring melebihi kekuatan memecah kesamping yang mempertahankan tanah-tanah
tersebut pada posisinya.
Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan korban jiwa
serta kerugian harta benda yang besar membutuhkan manajemen bencana yang baik.
Berdasarkan data statistik di Indonesia sampai dengan Juli 2017, korban jiwa mencapai
1.481 orang meninggal akibat bencana. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan
prioritas dan hanya datang sewaktu-waktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan
bencana. Oleh karena itu, pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan
dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta.
Ada beberapa wilayah di Jawa Tengah yang memiliki potensi bencana alam tanah
longsor, salah satunya yaitu Kabupaten Kebumen. Kebumen memiliki beberapa kecamatan
yang terletak di dataran tinggi dan sering mengalami bencana alam tanah longsor, antara
lain Sadang, Wadas Lingtang dan Sampang. Bencana tanah longsor terjadi pada wilayah
dengan dataran tinggi, dan terjadi setelah terjadi hujan lebat. Hal ini terjadi karena struktur
tanah yang kurang padat dan mulai banyak pemukiman rumah serta proses penyerapan air
oleh tumbuhan atau pohon yang kurang optimal.
Pada bulan Juni 2016 lalu, tepatnya tanggal 18-19 terjadi tanah longsor akibat hujan
lebat selama 10 jam di Sampang Kecamatan Sempor. Beberapa desa yang terkena tanah
longsor yaitu Desa Sampang (tepatnya dukuh semampir) dan Wagirpandan. Setidaknya ada
3 rumah terbawa longsor dan 6 orang tertimbun.
Warga masyarakat mempunyai peran penting dalam tiga aspek tersebut. Pada keadaan
bencana belum terjadi, peran masyarakat sangat penting terutama dalam tahap mitigasi.
Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan- tindakan untuk
mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi,
termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat
bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode
bangunan, desain rekayasa, dan kontruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur
ataupun bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai dan lain-lain (Suzanne, et al,
2009). Selain itu, upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural,
diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi
bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan
memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

Wilayah di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana
alam, bencana non alam maupun bencana sosial. Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan dan tanah longsor. Bencana non alam antara lain kebakaran hutan yang disebabkan
oleh manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, epidemik dan wabah penyakit.
Bencana sosial meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat
(Depkes RI, 2007, p.1).

Bencana merupakan gangguan serius yang berdampak pada masyarakat sehingga


mengakibatkan kerugian bagi nyawa manusia, material maupun lingkungan yang melebihi
kemampuan masyarakat dalam menanggulanginya (Al Khalaileh, Bond, Beckstrand, & Al-
Talafha, 2010, p.665). Kejadian bencana di wilayah Indonesia berdasarkan data dalam
Pusat Krisis Kesehatan bencana alam adalah kategori bencana yang paling sering terjadi
yaitu mencapai 53%, bencana non alam 38% sedangkan bencana sosial 9% (Depkes RI,
2015, p.21).
Provinsi Aceh merupakan Provinsi yang menimbulkan kematian korban akibat bencana
gempa dan tsunami tertinggi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 SR
(Skala Richter). Sehingga, Bencana Tsunami telah menjadi bencana yang berskala
Internasional dengan jumlah korban yang meninggal sebesar 130.736 jiwa (United Nations,
Management, & Agency, 2005, p.8).
Dampak yang ditimbulkan akibat bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh tahun
2004, menempatkan wilayah Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan lempeng
bagian sebelah timur hingga utara dan sebelah barat hingga selatan kota yang menyebabkan
lokasi tersebut berada pada daerah rawan terhadap tsunami (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Aceh, 2017, p.1).
Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) terletak ditengah-tengah Kota Banda Aceh yang
merupakan Ibukota Provinsi Aceh dengan letak geografisnya berada pada ketinggian rata-
rata 0,80 meter diatas permukaan laut dan lokasi rumah sakit yang rawan akan bencana.
Sehingga, memerlukan kesiapsiagaan yang baik apabila sewaktu- waktu terjadi bencana
yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
RSIA adalah salah satu rumah sakit yang telah terakreditasi Paripurna dengan tipe
B di Kota Banda Aceh Tahun 2018, sehingga mendapat pengakuan dari pemerintah
bahwa semua prosedur yang diterapkan sudah sesuai dengan kebijakan maupun standar
dari Kementerian Kesehatan dalam segi sarana maupun prasarana yang dimiliki rumah
sakit tersebut.
Menurut data yang peneliti dapatkan dalam sumber literatur Badan Layanan
Umum Rumah Sakit Ibu dan Anak tahun 2017, indikator mutu pelayanan area
manajemen sarana dan prasarana menyebutkan pengadaan suplay serta obat-obatan
penting bagi pasien mengalami kekosongan 25 kali dalam September 2017, sehingga
membuktikan rumah sakit mengalami defisit sumber daya obat-obatan. Namun, pada
tahun 2015 rumah sakit sudah memiliki program manajemen sarana dan prasarana
penunjang dalam mengelola manajemen mutu yang baik dibuktikan dengan diadakan
program peningkatan sarana dan prasarana, seperti program pengadaan suplay alat
kesehatan. Selain itu, hal ini membuktikan bahwa rumah sakit sedang melakukan
perbaikan dalam konteks pengelolaan sarana maupun prasarana hingga saat ini yang
bertujuan agar masalah tersebut tidak terjadi kembali. Menurut informasi yang peneliti
dapatkan bahwa rumah sakit juga bekerja sama dengan Pemerintah Daerah,Dinas
Kesehatan, RSU dr, Zainoel Abidin, dan unsur-unsur Dinas Kesehatan Provinsi yang
bertujuan untuk meningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (RSIA, 2018)
Perawat sebagai tenaga kesehatan harus selalu siap dalam keadaan darurat,
diakibatkan bencana selalu bisa terjadi kapan saja. Kesiapsiagaan perawat sebelum
bencana meruapkansalah satu kunci
keberhasilan dalam mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana
seperti tingginya angka mortalitas korban. Tujuan dalam kesiapsiagaan adalah memiliki
kemampuan dalam melaksanakan kegiatan tanggap darurat sebelum bencana terjadi (LIPI
& UNESCO/ISDR, 2006, p.6)
Hasil penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit terkait dengan kesiapsiagaan
bencana melaporkan, 474 responden dengan karakteristik perawat pelaksana
menggambarkan saat ini kesiapsiagaan bencana dalam kategori lemah. Penilaian yang
dilakukan berdasarkan kesiapsiagaan perawat menunjukkan hanya 11% yang pernah
berpartisipasi secara nyata dalam drill bencana (Al Khalaileh et al., 2010, p.1).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu bertujuan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan tentang upaya penanganan darurat diperlukan beberapa komponene penting
seperti sumber daya penunjang dan kerja sama lintas sektor (Kemenkes RI, 2016).
Ketersediaan sumber daya logistik sangat menentukan keberhasilan penanggulangan
kesehatan baik morbiditas maupun mortalitas akibat bencana meliputi obat- obatan,
peralatan keperawatan, peralatan operasi/pembedahan dan pendukungnya (Pan American
Health Organization, 2001, p.9).
Selain itu, pentingnya dilakukan koordinasi dalam kerja sama lintas sektor yang
digunakan untuk menyelamatkan korban semaksimal mungkin guna menekan angka
morbiditas dan mortalitas di lapangan dengan melibatkan pihak setempat (Depkes RI,
2002, p.2).
1.2 Tujuan
1.     Mahasiswa mampu mengetahui tentang Mitigasi Bencana.
2.     Mahasiswa mampu mengetahui tentang Manajemen Penanggulangan Bencana
3.      Mahasiswa mampu mengetahui tentang konsep dan Struktur serta Infrastruktur dalam
Mitigasi Bencana
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 JURNAL
2.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Masyarakat
dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor
Bencana merupakan suatu proses alam atau bukan alam yang
menyebabkan korban jiwa, harta dan mengganggu tatanan kehidupan. Tanah
longsor merupakan bencana alam geologi yang diakibatkan oleh gejala alam
geologi maupun tindakan manusia dalam mengelola lahan. Dampak dari bencana
ini sangat merugikan, baik dari segi lingkungan maupun sosial ekonomi (BNPB,
2008).
Tanah longsor terjadi karena adanya gerakan tanah sebagai akibat dari
bergeraknya masa tanah atau batuan yang bergerak di sepanjang lereng atau diluar
lereng karena faktor gravitasi. Kekuatan gravitasi yang dipaksakan pada tanah-tanah
miring melebihi kekuatan memecah kesamping yang mempertahankan tanah-tanah
tersebut pada posisinya [8].
Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan
korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar membutuhkan manajemen
bencana yang baik. Berdasarkan data statistik di Indonesia sampai dengan Juli
2017, korban jiwa mencapai 1.481 orang meninggal akibat bencana. Selama ini,
manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktu-waktu
saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan bencana. Oleh karena itu,
pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh
seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta [2].
Ada beberapa wilayah di Jawa Tengah yang memiliki potensi bencana alam
tanah longsor, salah satunya yaitu Kabupaten Kebumen. Kebumen memiliki
beberapa kecamatan yang terletak di dataran tinggi dan sering mengalami bencana
alam tanah longsor, antara lain Sadang, Wadas Lingtang dan Sampang. Bencana
tanah longsor terjadi pada wilayah dengan dataran tinggi, dan terjadi setelah terjadi
hujan lebat. Hal ini terjadi karena struktur tanah yang kurang padat dan mulai
banyak pemukiman rumah serta proses penyerapan air oleh tumbuhan atau pohon
yang kurang optimal [2].
Pada bulan Juni 2016 lalu, tepatnya tanggal 18-19 terjadi tanah longsor akibat
hujan lebat selama 10 jam di Sampang Kecamatan Sempor. Beberapa desa yang
terkena tanah longsor yaitu Desa Sampang (tepatnya dukuh semampir) dan
Wagirpandan. Setidaknya ada 3 rumah terbawa longsor dan 6 orang tertimbun.
Warga masyarakat mempunyai peran penting dalam tiga aspek tersebut. Pada
keadaan bencana belum terjadi, peran masyarakat sangat penting terutama dalam
tahap mitigasi. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan
tindakan- tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang
dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan
pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan kontruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun bangunan penahan longsor, penahan dinding
pantai dan lain-lain (Suzanne, et al, 2009). Selain itu, upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui
melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah [1].
Pada tanggal 18 Juni 2016 pukul 17.00 WIB terjadi hujan lebat di Kebumen,
khususnya wilayah Sempor. Hal tersebut menyebabkan tanah longsor, lebih
tepatnya di Dusun Semampir. Enam orang tertimbun karena bencana tanah
longsor tersebut. Longsor tersebut juga mengakibatkan tiga rumah warga rata
dengan tanah dan dua rumah roboh. Pasca proses evakuasi korban bencana tanah
longsor, kami mencoba untuk melakukan observasi dan wawancara kepada
beberapa warga masyarakat sekitar Dusun Semampir. Salah satunya adalah ketua
RT 3 Dusun Semampir yang menyampaikan bahwa belum ada tindakan dan
persiapan yang dilakukan baik oleh warga masyarakat sendiri maupun pemerintah
untuk antisipasi ketika musim hujan datang agar bencana alam tanah longsor itu
tidak terjadi.
Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang gambaran pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi
bencana alam tanah longsor di Desa Sampang Kecamatan Sempor Kabupaten
Kebumen.

1. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik observasional. Pada
penelitian ini mengidentifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan
terhadap tingkat pengetahuan warga masyarakat desa sampang terkait mitigasi
bencana. Adapun proses identifikasi dilakukan kepada warga yang terkena dampak
langsung bencana tanah longsor di desa sampang kecamatan sempor kabupaten
kebumen.
Pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh yaitu teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel
dalam penelitian ini adalah Warga Desa Sampang RT 3 RW 1 sebanyak 48.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Umur dengan Tingkat Pengetahuan Warga Masyarakat tentang
Mitigasi
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi koefisien kontingensi didapatkan
hasil p=0.001, hal ini berarti umur memiliki hubungan terhadap tingkat
pendidikan dengan nilai r=0.605 yang berarti memiliki kekuatan korelasi kuat.
Rata-rata umur warga adalah mereka yang masih dalam usia produktif yaitu 26-
35 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pangesti (2012),
bahwa pada usia produktif merupakan usia yang paling berperan dan memiliki
aktivitas yang padat serta memiliki kemampuan kognitif yang baik. Sehingga,
pada usia ini memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Firmansyah (2014), menggunakan 92
responden yang diambil di wilayah rawan bencana didapatkan hasil bahwa usia
responden dalam rentang 20-45 tahun memiliki tingkat pengetahuan paling baik
tentang mitigasi bencana. Hal ini juga sejalan dengan Indiantoro (2009), bahwa
umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
beberapa tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih
matang dalam berpikir dan bekerja. Hal ini juga berpengaruh terhadap kognitif
seseorang. Kemudian, dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang lebih dewasa
akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup kedewasaannya.
Usia seseorang juga mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin baik. Pada
usia 20-35 tahun, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan
kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya
menyesuaikan diri menuju usia tua. Selain itu, mereka akan lebih banyak
menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual,
pemecahan masalah dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada
penurunan pada usia ini [5].

Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Pengetahuan Warga


Masyarakat tentang Mitigasi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jenis kelamin tidak memiliki
hubungan dengan tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi
bencana alam tanah longsor dengan nilai p=0.787. Perbedaan jenis kelamin
mungkin membentuk persepsi yang berbeda sehingga mempengaruhi sikap dan
pengetahuan yang berbeda juga antara laki-laki dan perempuan. Hal ini memang
menjadi perdebatan apakah laki-laki dan perempuan berbeda dalam bagaimana
jalan mereka membuat keputusan etis dan kognitif [10].
Pendekatan sosial jenis kelamin dan literature dari Gillgan (1982) dalam Carter (2011),
laki-laki dan perempuan mengevaluasi dilema etis secara berbeda. Berdasarkan
pendekatan tersebut, pria lebih cenderung untuk melakukan perilaku kurang etis sebab
mereka akan fokus pada kesuksesan secara kompetitif dan cenderung mengabaikan
aturan demi kesuksesan. Hal ini tidak berbanding lurus dengan kemampuan kognitif
seseorang. Sedangkan, perempuan lebih berorientasi pada tugas dan kurang kompetitif.
Beberapa literatur juga belum ada yang menjelaskan bahwa laki-laki atau
perempuan memiliki tingkat pengetahuan atau secara kognitif yang berbeda.
Realita yang ada, perempuan memang lebih rajin, tekun dan teliti ketika diberi
tugas atau mengerjakan sesuatu, tetapi hal ini tidak menjelaskan dan
menunjukkan bahwa dengan sikap seperti itu maka perempuan memiliki tingkat
pengetahuan atau kognitif lebih baik.
Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan Warga Masyarakat
tentang Mitigasi
Hasil uji bivariat menggunakan uji koefisien kontingensi didapatkan nilai
p=0.008, yang berarti bahwa pendidikan memiliki hubungan dengan tingkat
pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor.
Data pendidikan yang didapatkan pada penelitian ini sebagian besar sudah
menempuh jalur Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 45.8% dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sebesar 8,4%, jika diakumuasikan menjadi 54.2%.
Mereka yang pernah menempuh jenjang pendidikan dengan level lebih tinggi
memiliki pengalaman dan wawasan lebih luas, yang akan berdampak kepada
kognitif seseorang.
Menurut Carter (2011), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
akan semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
pengalaman yang dimiliki, dalam hal ini khususnya
pengetahuan tentang mitigasi bencana alam. Seseorang yang memiliki pengalaman
yang luas akan berdampak pada kognitifnya.
Pendidikan merupakan faktor yang semakin penting dalam kehidupan sehari-
hari. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi persepsi seseorang tentang
kognitif. Seseorang yang berpendidikan tinggi juga memiliki penalara yan
tinggi pula. Menurut Eberhardt et al (2007), melakukan penelitian terhadap
74 responden dengan latarbelakang pendidikan yang berbeda dan dihubungkan
dengan tingkat pengetahuan. Hasilnya adalah mereka yang memiliki
pendidikan dengan level lebih tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang
lebih luas dan pengalaman yang banyak. Hal ini juga berpengaruh terhadap
kemampuan kognitif seseorang.
Hubungan Pekerjaan dengan Tingkat Pengetahuan Warga Masyarakat
tentang Mitigasi
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pekerjaan memiliki pengaruh
terhadap tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana
(p=0.000). Petani merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak ada di Desa
Sampang Kecamatan Sempor, hal ini sesuai dengan lokasi wilayah dimana
terdapat banyak sawah. Selain petani, pekerjaan warga Desa Sampang adalah
pedagang, dan sebagian lagi wiraswastas serta tidak bekerja [4].
Penelitian yang dilakukan oleh Pangesti (2012), menjelaskan bahwa pekerjaan
seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan pengelaman seseorang.
Penjelasan mengapa pekerjaan berpengaruh terhadap seseorang adalah ketika pekerjaan
tersebut lebih sering menggunakan otak daripada menggunakan otot. Kinerja dan
kemampuan otak seseorang dalam menyimpan (daya ingat) bertambah atau meningkat
ketika sering digunakan, hal ini berbanding lurus ketika pekerjaan seseorang lebih
banyak menggunakan otak daripada otot.
Penjelasan lain yang mendukung adalah kemampuan otak atau kognitif
seseorang akan bertambah ketika sering digunakan untuk beraktifitas dan
mengerjakan sesuatu dalam bentuk teka-teki atau penalaran. Adapun realita yang
ada untuk variabel pekerjaan warga masyarakat Desa Sampang yang paling
banyak adalah petani. Jika melihat kuantitas atau jumlah responden sama antara
pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang dimiliki. Hal ini yang membuat
hubungan dan hasil secara statistik bahwa pekerjaan memiliki pengaruh terhadap
tingkat pengetahuan [13].
Selain itu, beberapa penyuluhan yang pernah didapatkan oleh warga Desa
Sampang yang diberikan oleh mahasiswa, tenaga kesehatan dan pemerintah
dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) lebih sering
diikuti oleh warga yang memiliki pekerjaan petani. Hal ini dibuktikan dari
pernyataan beberapa perangkat desa ketika kegiatan penyuluhan itu berlangsung.

Faktor paling dominan yang mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Warga


Masyarakat tentang Mitigasi
Hasil uji statistik multivariat menggunakan uji regresi logistik didapatkan
bahwa variabel independen yaitu umur yang paling dominan berpengaruh
terhadap tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana [9].
Nilai probabilitas tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana
alam tanah longsor dapat diketahui dengan menggunakan persamaan diatas. Seseorang
dengan usia 26-35 tahun, maka kemungkinan memiliki tingkat pengetahuan baik
sebesar 74,8%. Sedangkan, seseorang dengan usia kurang dari 26 tahun dan lebih dari
35 tahun kemungkinan memiliki tingkat pengetahuan baik sebesar 35,2%.
Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa usia seseorang pada masa produkti
memiliki tingkat pengetahuan atau kognitif yang paling baik. Selain itu, pada usia
tersebut juga seseorang memiliki pengalaman dan kemampuan yang luas untuk
beraktifitas yang tentunya akan menunjang pengetahuannya dalam segala hal [12].
Hasil penelitian juga didapatkan jumlah warga masyarakat Desa Sampang pada
saat ini lebih banyak yang usia produktif. Sehingga hal ini juga mempengaruhi hasil
secara statistik. Usia seseorang mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola
pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin baik
[11].
Pada usia 20-35 tahun, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan
kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya
menyesuaikan diri menuju usia tua. Selain itu, mereka akan lebih banyak
menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan
masalah dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia
ini [5].
Hal ini juga sejalan dengan Indiantoro (2009), bahwa umur adalah usia individu
yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa tahun. Semakin cukup
umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
Hal ini juga berpengaruh terhadap kognitif seseorang. Kemudian, dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang
yang belum cukup kedewasaannya.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan dan
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sampang Kecamatan Sempor *Terlampir
Pada tabel 4.1 yang berisi distribusi frekuensi variabel terikat dan variabel
bebas bisa dilihat bahwa usia produktif paling banyak daripada rentang usia yang
lain, yaitu kisaran 26-35 tahun. Hal ini menunjukkan pada usia tersebut
seseorang paling banyak beraktifitas dan paling berperan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, jika dilihat dari jenis kelamin, secara data statistik jumlah
perempuan lebih banyak 2 kali lipat jumlah laki.
Pada tingkat pendidikan, sebagian responden sudah pernah merasakan sekolah
sampai dengan tahap Sekolah Menengah Pertama atau SMP (45.8%). Sedangkan
sebagian besar pekerjaan yaitu sebagai petani (54.2%), hal ini karena melihat
wilayah sekitar sempor lebih banyak dataran tinggi dan sawah. Tingkat
pendidikan menunjukkan baik terhadap mitigasi bencana alam tanah longsor.
Beberapa sosialisasi dan penyuluhan sudah pernah dilakukan oleh tenaga medis
seperti dari puskesmas dan informasi dari bidan desa ketika kegiatan posyandu,
baik posyandu balita maupun lansia.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan,


Pekerjaan dan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa
Sampang Kecamatan Sempor

n %
1. Usia
- 18 – 25 tahun 10 20.8
18 37.5
- 26 – 35 tahun
13 27.1
- 36 – 45 tahun 4 8.3
- 46 – 55 tahun 3 6.3
- > 55 tahun 17 35.4
2. Jenis Kelamin 31 64.6
- Laki-laki 8 16.7
- Perempuan
3. Pendidikan
- Tidak sekolah
- Lulus SD 14 29.2
- Lulus SMP 22 45.8
- Lulus SMA 4 8.3
4. Pekerjaan
- Tidak bekerja 6 12.5
- Petani 26 54.2
- Pedagang 14 29.2
- Wiraswasta 2 4.2
5. Tingkat Pendidikan
- Baik 23 47.9
- Cukup 20 41.7
- Kurang 5 10.4
Tabel 2. Uji Korelasi Variabel Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan
dengan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sampang Kecamatan Sempor
*Terlampir

Tingkat Pendidikan Total r p


Baik Cukup Kurang
18-25
tahu
n 26- 3 7 0 10
35 13 5 0 18
Usia tahu 7 5 1 13 0.60 0.00
n 36- 0 2 2 4 3 1
45 0 1 2 3
tahu
n 46-
55
tahun
> 55 tahun
Jenis Laki-laki 7 8 2 17 0.09 0.78
Kelami Perempuan 16 12 3 31 9 7
n
Tidak
sekolah 1 3 4 8
Pendidikan Lulus SD 8 6 0 14 0.51 0.00
Lulus 12 9 1 22 5 8
SMP 2 2 0 4
Lulus
SMA
Tidak 0 2 4 6
bekerja 12 14 0 26
Pekerjaan Petani 10 4 0 14 0.63 0.00
Pedagan 1 0 1 2 4 0
g
Wiraswast
a
Pada tabel 4.2 menyajikan uji korelasi menggunakan koefisien kontingensi.
Hasilnya didapatkan bawah variabel yang memiliki hubungan yaitu usia (p=0.001),
pendidikan (p=0.008) dan pekerjaan (p=0.000) terhadap tingkat pengetahuan warga
masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor, sedangkan jenis kelamin
tidak memiliki hubungan (p=0.787).
Tabel 3. Uji Multivariat tentang Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor pada
Masyarakat Desa Sampang Kecamatan Sempor *Terlampir
Koefisien S.E Wald Nilai RR I 95%
K
Min Maks
Usia 0.3 4.35 3.2
26-
35 tahun 2.203 06 5 0.35 24 0.04 15.8
Konstan 0.707 0.2 0.61 0.41 0.2 5
ta 33 1 72

Berdasarkan hasil uji multivariat menggunakan uji regresi logistik, variabel umur
merupakan variabel paling dominan yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor di Dukuh Semampir Desa
Sampang Kecamatan Sempor, dengan kekuatan hubungan resiko relative (RR)
sebesar 3.224. Hal ini berarti bahwa seorang dengan umur 26-35 tahun memiliki
tingkat pengetahuan tentang mitigasi bencana alam tanah longsor 3 kali lipat lebih
baik daripada yang memiliki umur kurang 26 tahun atau lebih dari 35 tahun.
Aplikasi persamaan regresi logistic adalah untuk memprediksi tingkat pengetahuan
masyarakat tentang mitigas bencana alam tanah longsor. Contoh kasus yaitu
seseorang dengan usia 26-35 tahun, maka kemungkinan memiliki tingkat
pengetahuan baik sebesar 74,8%. Sedangkan, seseorang dengan usia kurang dari 26
tahun dan lebih dari 35 tahun kemungkinan memiliki tingkat pengetahuan baik
sebesar 35,2%.
Tabel 4. Uji Nilai Kalibrasi menggunakan Hosmer and Lemeshow Test *Terlampir
Step Chisquare df Sig
1 5.901 8 0.658

Uji ini digunakan untuk menilai kualitas persamaan yang diperoleh berdasarkan
parameter kalibrasi. Nilai p pada uji Hosmer and Lemeshow Test adalah sebesar
0.658. Hal ini berarti bahwa persamaan yang diperoleh mempunyai kalibrasi yang
baik.
Tabel 5. Uji Nilai Deskriminan menggunakan Area Under the Curve
*Terlampir
Area Std. Error Asymp Sig IK 95%
Lower Upper
0.830 0.018 0.001 0.096 0.363
Nilai diskriminasi dapat diketahui dengan melihat nilai Area Under the Curve atau AUC.
Nilai AUC sebesar 83%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa intrepretasi AUC kuat secara
statistik.

2.2 MATERI TAMBAHAN MITIGASI BENCANA


2.2.1 PENGERTIAN
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, melalui
pembangunan secara fisik, maupun peningkatan kemampuan masyarakat serta penyadaran
dalam menghadapi ancaman bencana ( UU nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana ).
2.2.2 EMPAT HAL PENTING DALAM MITIGASI BENCANA
1. tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap bencana
2. sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi
bencana, karena bermukin di daerah rawan bencana.
3. mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan
diri jika bencana timbul dan
4. pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
2.2.3 JENIS – JENIS MITIGASI BENCANA
1. bencana struktural
Mitigasi truktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui
pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti
pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas hunung berapi,
bangunan yang bersifat tahan gempa ataupun early warning sistem yang digunakan untuk
memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
2. bencana non struktural
Mitigasi non struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya tersebut
di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatau peraturan.
Undang-undang penanggulangan bencana (UUPB) adalah upaya non struktural di bidang
kebijakan dari mitigasi ini contoh lainnya adalah pembuatan tataruang kota, capacitybuilding
masyarakat,
2.2.4 TUJUAN UTAMA (ULTIMATE GOAL)
dari mitigasi bencana adalah sebagai berikut:
1. mengurangi resiki/dampak yang ditimbulkan bencana khususnya bagi penduduk, seperti
korban jiwa (kematian ), kerugian ekonomi ( economi costs) dan kerusakan sumberdaya
alam.
2. sebagai landasan ( pedoman ) untuk perencanaan pembangunan. Untuk perencanaan
pembangunan.
3. meningkatkan pengetahuan masyarakat ( public awareness ) dalam menghadapi serta
mengurangi dampak / resiko bencana, sehingga masyarakat daapat hidup dan bekerja dengan
aman.
2.2.5 PERTIMBANGAN DALAM MENYUSUN PROGRAM MITIGASI ( khususnya
di INDONESIA )
1. mitigasi bencana harus di integrasikan dengan proses pembangunan
2. fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan, tenaga kerja,
perumahan dan kebutuhan dasar lainnya.
3. sinkron terhadap kondisi sosial, budaya setra ekonomi setempat.
4. dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
membuat keputusan, menolong dirisendiri dan membangun diri sendiri
5. menggukanan sumber daya dan daya lokal ( sesuai prinsip desentralisasi )
2.2.6 MENEJEMEN MITIGASI BENCANA
1. penguatan institusi penangana bencana.
2. meningkatkan kemampuan tanggap darurat.
3. meningkatkan kepedulian dan kesiapan masysrakat dalam masalah-masalah yang
berhubungan dengan resiko bencana
4. meningkatakan keamanan terhadap bencana pada sistem infrastruktur dan utilitas.
5. meningkatakan keamanan terhadap bencana pada bangunan strategis dan penting
6. meningkatkan keamanan terhadap bencana daerah perumahan dan fasilitas umum.
7. meningkatakan keamanan terhadap bencana pada bangunan industri
8. meningkatakan keamanan terhadap bencana pada bangunan sekolah dan anak-anak
sekolah
9. memperhatikan keamanan terhadap bencana dan kaidah-kaidah bangunan tahan gempa
dan tsunami
10. meningkatkan pengetahuan para akhi mengenai fenomena bencana, kerentanan terhadap
bencana dan teknik-teknik mitigasi.
11. memasukkan prosedur kajian resiko bencana kedalam perencanaan tataruang/tataguna
lahan.
12. meningkatkan kemampuan pemulihan masyarakat dalam jangka panjang stelah terjadi
bencana.
2.2.7 LANGKAH –LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN BILA TERJADI
SUATU BENCANA ADALAH :
1. respon ( tanggap darurat )
2. bantuan darurat
3. pemulihan
4. rehabilitasi
5. rekonstruksi
2. 3 jurnal lanjutan
2.3.1 KESIAPSIAGAAN SUMBER DAYA DAN KERJA SAMA DALAM
SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU PADA
MANAJEMEN BENCANA
Wilayah di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik
bencana alam, bencana non alam maupun bencana sosial. Bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Bencana non alam antara lain kebakaran hutan
yang disebabkan oleh manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, epidemik
dan wabah penyakit. Bencana sosial meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat (Depkes RI, 2007, p.1).
Bencana merupakan gangguan serius yang berdampak pada masyarakat sehingga
mengakibatkan kerugian bagi nyawa manusia, material maupun lingkungan yang melebihi
kemampuan masyarakat dalam menanggulanginya (Al Khalaileh, Bond, Beckstrand, &
Al-Talafha, 2010, p.665).
Kejadian bencana di wilayah Indonesia berdasarkan data dalam Pusat Krisis
Kesehatan bencana alam adalah kategori bencana yang paling sering terjadi yaitu
mencapai 53%, bencana non alam 38% sedangkan bencana sosial 9% (Depkes RI, 2015,
p.21).
Provinsi Aceh merupakan Provinsi yang menimbulkan kematian korban akibat
bencana gempa dan tsunami tertinggi pada tanggal 26 Desember 2004 dengan kekuatan
9,0 SR (Skala Richter). Sehingga, Bencana Tsunami telah menjadi bencana yang berskala
Internasional dengan jumlah korban yang meninggal sebesar 130.736 jiwa (United
Nations, Management, & Agency, 2005, p.8).
Dampak yang ditimbulkan akibat bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh tahun
2004, menempatkan wilayah Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan lempeng
bagian sebelah timur hingga utara dan sebelah barat hingga selatan kota yang
menyebabkan lokasi tersebut berada pada daerah rawan terhadap tsunami (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Aceh, 2017, p.1).
Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) terletak ditengah-tengah Kota Banda Aceh yang
merupakan Ibukota Provinsi Aceh dengan letak geografisnya berada pada ketinggian
rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut dan lokasi rumah sakit yang rawan akan
bencana. Sehingga, memerlukan kesiapsiagaan yang baik apabila sewaktu- waktu terjadi
bencana yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
RSIA adalah salah satu rumah sakit yang telah terakreditasi Paripurna dengan tipe B
di Kota Banda Aceh Tahun 2018, sehingga mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa
semua prosedur yang diterapkan sudah sesuai dengan kebijakan maupun standar dari
Kementerian Kesehatan dalam segi sarana maupun prasarana yang dimiliki rumah sakit
tersebut.
Menurut data yang peneliti dapatkan dalam sumber literatur Badan Layanan Umum
Rumah Sakit Ibu dan Anak tahun 2017, indikator mutu pelayanan area manajemen
sarana dan prasarana menyebutkan pengadaan suplay serta obat-obatan penting bagi
pasien mengalami kekosongan 25 kali dalam September 2017, sehingga membuktikan
rumah sakit mengalami defisit sumber daya obat-obatan. Namun, pada tahun 2015
rumah sakit sudah memiliki program manajemen sarana dan prasarana penunjang dalam
mengelola manajemen mutu yang baik dibuktikan dengan diadakan program
peningkatan sarana dan prasarana, seperti program pengadaan suplay alat kesehatan.
Selain itu, hal ini membuktikan bahwa rumah sakit sedang melakukan perbaikan dalam
konteks pengelolaan sarana maupun prasarana hingga saat ini yang bertujuan agar
masalah tersebut tidak terjadi kembali.
Menurut informasi yang peneliti dapatkan bahwa rumah sakit juga bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan, RSU dr, Zainoel Abidin, dan unsur-unsur Dinas
Kesehatan Provinsi yang bertujuan untuk meningkatan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat (RSIA, 2018) Perawat sebagai tenaga kesehatan harus selalu siap dalam
keadaan darurat, diakibatkan bencana selalu bisa terjadi kapan saja. Kesiapsiagaan perawat
sebelum bencana merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mencegah atau
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana seperti tingginya angka mortalitas
korban. Tujuan dalam kesiapsiagaan adalah memiliki kemampuan dalam melaksanakan
kegiatan tanggap darurat sebelum bencana terjadi (LIPI & UNESCO/ISDR, 2006, p.6)
Hasil penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit terkait dengan kesiapsiagaan
bencana melaporkan, 474 responden dengan karakteristik perawat pelaksana
menggambarkan saat ini kesiapsiagaan bencana dalam kategori lemah. Penilaian yang
dilakukan berdasarkan kesiapsiagaan perawat menunjukkan hanya 11% yang pernah
berpartisipasi secara nyata dalam drill bencana (Al Khalaileh et al., 2010, p.1).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu bertujuan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan tentang upaya penanganan darurat diperlukan beberapa komponene penting
seperti sumber daya penunjang dan kerja sama lintas sektor (Kemenkes RI, 2016).
Ketersediaan sumber daya logistik sangat menentukan keberhasilan penanggulangan
kesehatan baik morbiditas maupun mortalitas akibat bencana meliputi obat- obatan,
peralatan keperawatan, peralatan operasi/pembedahan dan pendukungnya (Pan American
Health Organization, 2001, p.9).
Selain itu, pentingnya dilakukan koordinasi dalam kerja sama lintas sektor yang
digunakan untuk menyelamatkan korban semaksimal mungkin guna menekan angka
morbiditas dan mortalitas di lapangan dengan melibatkan pihak setempat (Depkes RI,
2002, p.2).
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan desain penelitian
cross sectional study. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dalam bentuk
skala dichotomous. Penelitian ini dilakukan pada 22 April – 04 Mei 2018 di Rumah
Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh. Metode pengambilan sample adalah total sampling.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Rumah Sakit Ibu dan
Anak Banda Aceh dengan jumlah keseluruhan 110 orang. Namun, Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 103 responden dengan alasan 7 orang dalam masa cuti tahunan,
cuti melahirkan, dan perawat dengan masa kerja < 1 tahun.
Analisa data terdiri dari analisa univariat. Analisa univariat digunakan untuk
melihat distribusi frekuensi dari setiap variabel.
PEMBAHASAN
Gambaran Kesiapsiagaan Sumber Daya dan Kerja Sama Dalam
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Pada Manajamen Bencana
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 2, kesiapsiagaan
perawat dalam kategori siap yaitu sebanyak 63 responden (61,2%)
Kesiapsiagaan perawat didefinisikan sebagai tindakan persiapan yang dilakukan berfokus
dalam konteks pengelolaan bencana (Pourvakhshoori, Norouzi, Ahmadi, Hosseini, dan
Khankeh (2017).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian dari Rifai dan Harnanto (2016) tentang
kesiapsiagaan perawat dan bidan dalam melaksanakan menajemen Hospital Preparedness
for Emergency and Disaster di RSUD Kota Surakarta dengan pendekatan cross sectional
study. Sampel dalam penelitian ini adalah perawat dan bidan berjumlah 30 orang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perawat dan bidan memiliki kesiapsiagaan
bencana yang baik dengan mayoritas responden menjawab siap (86,7%) dan tidak siap
(13,3%). Menurut penelitian tersebut, perawat merupakan first medical staff yang
memiliki peranan sangat penting ketika terjadi bencana di wilayah kerjanya.
Hasil penelitian ini didukung oleh Geum (2017) tentang persepsi dan kompetensi
keperawatan bencana di Korea Selatan dengan jumlah sampel 163 perawat yang bekerja di
rumah sakit tersier di Seoul, Korea. Hasil untuk tingkat kompetensi inti pada keperawatan
bencana menunjukkan bahwa persepsi dan kompetensi perawat memiliki pendidikan dan
kesiapsiagaan yang baik yaitu 3.14 dengan SD (standar deviasi) (± 0.79). Hal ini
didapatkan bahwa tingkat kesadaran dan kesiapsiagaan bencana merupakan faktor yang
mempengaruhi pentingnya pendidikan dalam keperawatan bencana. Dengan demikian,
pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi inti dan pemahaman tentang
keperawatan bencana harus dikembangkan lebih dalam.
Menurut penelitian Anam, Andarini, dan Kuswantoro (2016) tentang faktor – faktor
yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana banjir di
Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember dengan jumlah sampel 16 perawat pelaksana
menunjukkan tingkat kesiapsiagaannya berada pada kategori tinggi sebesar 50%.
Kesimpulan penelitian ini didapatkan bahwa perawat dengan masa kerja 6-10 tahun lebih
banyak memiliki kemampuan mempengaruhi terhadap kesiapsiagaan perawat. Menurut
penelitian tersebut, semakin lama kerja seseorang dalam pelayanan keperawatan dapat
menyebabkan semakin tingginya kompetensi yang dapat memepengaruhi kesiapsiagaan
perawat.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa kesiapsiagaan
perawat dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu pada manajemen bencana
di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Banda Aceh, ditinjau dari persentasenya berada pada
kategori siap (61,2%). Hal ini dapat didukung dengan mayoritas responden dengan masa
kerja 6-10 tahun (38,8%), mayoritas perawat adalah di ruang IGD yang berjumlah 22
orang sehingga seluruh perawat IGD sudah selalu siap apabila terjadi kegawatdaruratan,
dan mayorits perawat telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan/bencana sebanyak 68
orang (66%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana baik di
ruang IGD, ICU, NICU, PICU, dan Ruang Rawat Inap sudah siap untuk menangani
semua kejadian bencana yang dapat terjadi secara mendadak dan yang tidak diprediksi
sebelumnya.
Hasil observasi ruangan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, menunjukkan
bahwa di seluruh ruang rawat maupun ruang intensif atau instalasi gawat darurat di
Rumah Sakit Ibu dan Anak sudah memiliki kesiapsiagaan yang baik dalam menghadapi
bencana. Misalnya tersedianya alat-alat penunjang keperawatan dalam unit gawat darurat
sehingga dapat mempercepat waktu respon dalam kegawatdaruratan. Ditinjau dari kerja
sama lintas sektor yang dilakukan dalam penanganan bencana, rumah sakit sudah bekerja
sama dengan beberapa pihak terkait

Gambaran Sumber daya yang mendukung kesiapsiagaan dalam sistem


penanggulangan gawat darurat terpadu pada manajemen bencana
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 3, didapatkan 59 responden
(57,3%) menunjukkan bahwa sumber daya penunjang keperawatan yang mendukung
kesiapsiagaan perawat dalam kategori tidak siap.
Menurut penelitian dari Ismunandar (2013) tentang kesiapan rumah sakit umum
daerah Undata Palu dalam penanganan korban bencana menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi dan responden dalam penelitian ini adalah anggota Tim
Penanggulangan Bencana RSUD Undata Palu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesiapan fasilitas, sarana dan prasarana dalam penanganan korban bencana dalam
penunjang keperawatan pada penanganan korban bencana masih dalam kategori kurang
siap, menyangkut penanganan korban bencana baik di luar Rumah Sakit (Eksternal
Disaster) maupun yang terjadi dalam lingkup Rumah Sakit sendiri (Internal Disaster).
Fasilitas-fasilitas kesehatan sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa para korban
bencana terutama saat situasi darurat, karena itu, harus ditata dengan baik, dengan fasilitas
yang baik dan dengan tenaga keperawatan yang terlatih dalam menangani
kegawatdaruratan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Husna (2016) tentang analisis kesiapan RSUD
Pariaman dalam menghadapi bencana menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
metode wawancara, observasi dan telaah dokumen, didapatkan bahwa sarana dan
prasarana rumah sakit dalam menunjang kesiapan bencana belum mencukupi untuk
penanganan korban massal. Menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan guna
penunjang penanganan korban dalam penanganan korban untuk mencegah atau
menurunkan angka mortalitas korban
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya penunjang keperawatan
mencakup sumber daya manusia (SDM) keperawatan yang masih kurang. Menurut
Misnaniarti (2010) SDM yang tidak dikelola dengan baik juga akan menjadi ancaman
terbesar bagi pelaksanaan kebijakan, strategi, program dan prosedur apabila tidak
dikelola dengan seksama sehingga dapat menghambat program- progam yang belum
terealisasikan.
Ditinjau dari peralatan penunjang yang digunakan belum tersedia secara optimal di
ruang penyimpanan pada setiap ruang rawat maupun ruang intensif, diakibatkan
kurangnya pendistribusian alat-alat penunjang keperawatan seperti infus, spuit, dan
beberapa obat penting dari bagian farmasi rumah sakit ke ruang rawat maupun ruang
intensif. Jadi, ketika sewaktu-waktu membutuhkan alat penunjang keperawatan tertentu
harus ke bagian farmasi terlebih dahulu, Sehingga, apabila sewaktu-waktu terjadi
kegawatdaruratan pada pasien maka akan terjadi keterlambatan penatalaksanaan kepada
pasien.
Alat-alat penunjang keperawatan yang tidak tersedia mencakup peralatan resusitasi
jantung-paru di seluruh ruang rawat dan hanya tersedia di ruang IGD, ICU, NICU, dan
PICU. Hal ini, akan menambah waktu respon dalam menangani pasien apabila memiliki
pasien dengan kegawatdaruratan medik seperti pasien dengan henti nafas dan henti
jantung saat pasien di ruang rawat. Menurut peneliti, ketidaksiapan ini dapat dilihat
melalui penanganan gawat darurat sehari-hari. Apabila sumber daya penunjang tidak siap
dalam keadaan sehari-hari maka dapat diartikan tidak siap dalam menangani korban
bencana secara optimal.
Peralatan seperti suction, trolley emergency, dan peralatan perawatan luka seperti
peralatan penjahitan luka, hand scoon, dan obat antiseptik sudah tersedia diseluruh unit
pelayanan. Selanjutnya, semua peralatan medis dalam pemberian pelayanan kepada pasien
selalu diuji fungsikan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk pasien.
Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian Ernawati, Arini, & Haryono
(2017) tentang faktor faktor yang berhubungan dengan insiden keselamatan pasien di RSU
Haji Surabaya dengan jumlah responden 24 perawat pelaksana. Hasil penelitian tersebut
untuk kerja sama dengan pihak internal dan eksternal rumah sakit yang dilakukan dengan
insiden keselamatan pasien menunjukkan siap (Positif) (80,0%) dan tidak siap (negatif)
(20,0%). Hal ini didapatkan bahwa perawat yang memiliki persepsi positif terhadap kerja
sama memiliki kecenderungan menyebabkan insiden keselamatan pasien tiga kali lebih
besar dari perawat yang memiliki persepsi negatif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan (Kristiana, 2013) tentang sistem pelayanan
kesehatan pada saat tanggap darurat bencana dengan studi kasus di Kabupaten Ciamis
dengan metode penelitian kualitatif
dengan Informan dari unit pelayanan kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit) dan
lembaga (BPBD, Polres, Kodim, Dinsos, PMI, Dinas Kesehatan. Hal ini didapatkan
bahwa jejaring kerja sama di sektor kesehatan telah terjalin dengan baik. Sistem kerja
sama yang dilakukan bila timbul risiko masalah kesehatan akibat bencana (misalnya
Kejadian Luar Biasa (KLB), akan diambil alih oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dan
melakukan koordinasi dengan RSUD sebagai tempat rujukan.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti dengan beberapa perawat didapatkan bahwa
kesiapsiagaan bencana yang dilakukan rumah sakit ibu dan anak yaitu memiliki kerja
sama lintas sektor dengan pihak Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan Aceh, PSC
119 P2KK Banda Aceh, BPBD Aceh (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), LSM
atau NGO dari tahun 2006 hingga saat ini, dan fasilitas pelayanan kesehatan daerah Aceh
lainnya.
Menurut Shoaf, (2014) koordinasi dan kerja sama dalam sektor kesehatan maupun
non sektor kesahatan dan tim tanggap darurat dari lembaga pemerintahan sangat penting
untuk memenuhi kebutuhan dalam kesiapsiaagan maupun saat terjadinya bencana.
koordinasi yang terjalin dengan baik akan menimbulkan sedikit kesenjangan dan
tumpang tindih pekerjaan saat fase tanggap darurat.
Penanganan korban dengan kegawatdaruratan dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) apabila telah terbentuk
sistem koordinasi dengan melibatkan semua pihak baik lintas sektor terkait maupun lintas
program sesuai dengan masing-masing profesi terkait. Koordinasi dan kerja sama yang
baik akan menimbulkan keselarasan dalam kerjasama yang efektif dari pihak yang terlibat
penanggulangan bencana. Hal bertujuan untuk meningkatkan pendekatan yang
komplementer dan dapat mengidentifikasi cara-cara bekerja sama dengan baik dalam
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas korban akibat bencana.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana alam
tanah longsor di Desa Sampang, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen didapatkan
kesimpulan bahwa umur responden sebagian besar berada pada 26-35 tahun, jenis
kelamin lebih banyak perempuan, pendidikan sebagian besar lulus SMP, pekerjaan
sebagian besar petani, tingkat pengetahuan warga masyarakat tentang mitigasi bencana
alam tanah longsor di Desa Sampang dalam kategori baik dan umur merupakan faktor
paling dominan yang memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan warga
masyarakat tentang mitigasi bencana alam tanah longsor di Desa Sampang Kecamatan
Sempor Kabupaten Kebumen.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesiapsiagaan perawat
dalam sistem penanggulangan gawat darurat terpadu pada manajamen bencana di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh dalam kategori siap (73,8%). Sumber daya
penunjang keperawatan berdasarkan kesiapsiagaan perawat dalam sistem
penanggulangan gawat darurat terpadu pada manajemen bencana di Rumah Sakit Ibu
dan Anak Banda Aceh dalam kategori tidak siap (57,3). Selanjutnya, kerja sama lintas
sektor yang mendukung kesiapsiagaan perawat dalam sistem penanggulangan gawat
darurat terpadu pada manajemen bencana di Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh
dalam kategori siap (75,7%).
Saran yang baik bagi Institusi Pelayanan Kesehatan khususnya RSIA Banda Aceh
disarankan agar dapat meningkatkan jumlah tenaga keperawatan di setiap ruang
pelayanan keperawatan RSIA dan menyediakan peralatan untuk resusitasi jantung dan
paru di seluruh ruang rawat yang bertujuan untuk meningkatkan waktu respon dalam
penanganan korban. Selain itu, pentingnya meningkatkan pendistribusian alat-alat
penunjang keperawatan seperti infus, spuit, dan beberapa obat penting dari bagian
farmasi rumah sakit ke ruang rawat maupun ruang intensif. Ditinjau dari kerja sama
lintas sektor, diperlukan adanya pembagian tugas dalam kerja sama multi sektor secara
tertulis sehingga memudahkan dalam penangan bencana.
3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan, tentunya dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kata-kata atau penyampaian yang kurang jelas ataupun dalam
penyajiannya yang kurang lengkap, pastinya makalah ini jauh dari kata sempurna, maka
kritik dan saran sangatlah penulis harapkan untuk menjadikan pelajaran pada masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal :http://journal.ummgl.ac.id/index.php/urecol/article/download/1549/761

Jurnal 2:http://www.jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/download/8278/5157

Anda mungkin juga menyukai