Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tantangan pendidikan sekarang ini berkaitan dengan arus globalisasi

dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan

teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan

perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Arus globalisasi akan

menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional

menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di

World Trade Organization (WTO), Association of Southeast Asian Nations

(ASEAN) Community, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan

ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tantangan lainnya terkait dengan pergeseran

kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi,

dan transformasi bidang pendidikan.

Tantangan masa depan di dalam bidang pendidikan menuntut

pembelajaran, khususnya pembelajaran sains lebih mengembangkan higher

order of thinking, yang selanjutnya disingkat HOT. Tantangan tersebut dapat

dinyatakan berdasarkan tingkat kemampuan peserta didik dalam memecahkan

masalah. Peserta didik sering berhasil memecahkan masalah tertentu, tetapi

gagal jika konteks masalah tersebut sedikit diubah. Hal tersebut terjadi karena

peserta didik belum terbiasa berpikir tingkat metakognitif. Hasil penelitian lain

menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya defisit penerapan strategi

metakognitif dalam pembelajaran (Baker, L. & Brown, A., 1984: 353).

1
Salah satu ranah kemampuan HOT yaitu analytical thinking. Analytical

thinking merupakan pembelajaran sains dalam meningkatkan kemampuan

bekerja secara sistematis dan logis untuk mengatasi masalah, mengidentifikasi

penyebab suatu masalah, mengantisipasi hasil yang tidak diharapkan,

mengelola isu-isu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan, serta sumber daya

yang diperlukan. Faktanya, pembelajaran masih banyak yang berorientasi pada

upaya mengembangkan dan menguji daya ingat peserta didik sehingga

kemampuan berpikir peserta didik direduksi dan sekedar dipahami sebagai

kemampuan untuk mengingat (Ratno Harsanto, 2005: 44). Selain itu,

mengakibatkan peserta didik terhambat dan tidak berdaya menghadapi

masalah-masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah secara

logis, kreatif, dan reflektif (Iwan Sugiarto, 2011: 14).

Kemampuan analytical thinking merupakan kemampuan yang penting

dikuasai untuk pembelajaran sepanjang hayat (longlife learning). Analytical

thinking seharusnya dibelajarkan kepada peserta didik agar peserta didik

memperoleh bekal untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan

hidup ke depan yang tentunya lebih kompleks. Di tingkat analitis, peserta didik

dituntut mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau

menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali

pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor

penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit.

Berdasarkan hasil observasi di SMP N 1 Jetis Bantul diketahui bahwa

kemampuan analytical thinking peserta didik masih rendah yang terlihat dari

2
perilaku peserta didik saat pembelajaran berlangsung. Ketika guru memberikan

sebuah permasalahan tertentu, peserta didik cenderung menjawab dengan

spontan dan tidak dilandasi dengan teori. Hal tersebut membuktikan bahwa

peserta didik tidak mampu membedakan sesuatu yang relevan dari bagian yang

tidak relevan dari masalah tersebut. Selain itu, peserta didik malas untuk

berpikir mencari penyelesaian masalah yang tepat dan mengaitkan penyelesaian

tersebut dengan fakta dilingkungan sekitar ataupun dengan teori yang ada.

Peserta didik juga belum mampu dalam merumuskan sebuah hipotesis dari

suatu permasalahan, masih ada beberapa peserta didik yang belum mengerti apa

yang dimaksud dengan hipotesis (dugaan sementara). Ketika guru memberikan

pertanyaan, guru harus menunjuk peserta didik yang bersangkutan untuk

menjawab. Proses pembelajaran IPA yang dilaksanakan sebatas latihan soal

secara teoritis, belum berorientasi untuk mengembangkan kemampuan

analytical thinking pada persoalan yang kontekstual. Pembelajaran masih

didominasi guru sebagai sumber informasi (teacher centered).

Hal ini diperkuat dengan hasil studi PISA dan TIMSS tentang

pengukuran prestasi IPA peserta didik. Hasil studi PISA pada tahun 2015

menunjukkan bahwa prestasi IPA peserta didik Indonesia menempati peringkat

69 dari 76 negara peserta (PISA, 2015: 5). Hasil studi TIMSS tahun 2015

menunjukkan bahwa prestasi IPA peserta didik Indonesia menempati peringkat

36 dari 49 negara peserta (TIMSS, 2015: 6). Hasil studi PISA dan TIMSS

menunjukkan bahwa peserta didik Indonesia masih dalam level dasar pada

kemampuan analytical thinking dalam pembelajaran IPA.

3
Dalam menghadapi tantangan abad 21, banyak negara telah melakukan

reformasi pada kurikulum dengan tujuan mempersiapkan peserta didik untuk

kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan di abad ke-21. Sesuai

dengan tujuan pendidikan di Indonesia, seiring perkembangan zaman

kurikulum Indonesia juga mengalami perkembangan yaitu dengan adanya

Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 adalah sebuah kurikulum yang dirancang

untuk menyiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan dimasa depan,

yaitu tuntutan globalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Pendidikan

merupakan aspek penting dalam era globalisasi. Asih Widi Wisudawati dan Eka

Sulistyowati (2015: 5) mengatakan bahwa perkembangan kurikulum di

Indonesia pada tahun 2013 untuk pembelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)

bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik dan menuntut guru

memiliki kreativitas dan pola berpikir tingkat tinggi dalam pelaksanaan proses

pembelajaran IPA di kelas.

Pada pembelajaran IPA, untuk merancang dan melaksanakan

pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan analytical thinking

tentunya tidaklah mudah. Untuk menghadapi tantangan abad 21 lebih baik guru

mempersiapkan peserta didik untuk menjadi seorang penyelidik, pemecah

masalah, berpikiran analitis, kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, untuk

pencapaian hasil belajar yang optimal diperlukan suatu pendekatan

pembelajaran. Penerapan pendekatan pembelajaran harus dapat melatih cara-

cara memperoleh informasi baru, menyeleksi dan kemudian mengolahnya,

sehingga terdapat jawaban terhadap suatu permasalahan. Untuk mencapai

4
tujuan pembelajaran tersebut pendekatan pembelajaran yang lebih efektif

digunakan adalah pendekatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Salah

satu pendekatan pembelajaran yang berbasis konstruktivisme adalah

pendekatan inkuiri.

W. Gulo (2008: 84-85) mendefinisikan inkuiri sebagai suatu rangkaian

kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan peserta didik untuk

mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga

mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Dengan melakukan kegiatan inkuiri, peserta didik mendapatkan pengalaman

belajar secara langsung dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan. Sund &

Trowbridge (1973: 71) membagi pendekatan inkuiri menjadi tiga macam, yaitu:

inkuiri terbimbing (guided inquiry), inkuiri semi terbimbing (modified free

inquiry), dan inkuiri bebas (free inquiry).

Upaya membelajarkan peserta didik dengan pendekatan inkuiri

diperlukan media pembelajaran. Media pembelajaran yang baik

menginterpretasikan konsep yang abstrak menjadi konsep yang mudah

dipahami. Media pembelajaran yang lengkap akan membantu guru dalam

mengajar, dan membantu peserta didik dalam proses belajar. Media

pembelajaran yang beredar di sekolah adalah media pembelajaran yang hanya

cover-nya saja IPA terpadu, tetapi kontennya belum menunjukkan keterpaduan.

Tentunya ketersediaan media pembelajaran IPA terpadu yang masih minim

dapat menjadi kendala berarti karena media pembelajaran diperlukan untuk

5
mendukung pencapaian kompetensi pembelajaran. Media pembelajaran yang

tersistematis untuk melatih analytical thinking peserta didik sangat jarang.

Selain itu, media pembelajaran yang memanfaatkan penggunaan ICT

sebagai tuntutan era globalisasi masih jarang diterapkan di sekolah. Penggunaan

ICT dalam proses pembelajaran sangatlah penting karena dapat meningkatkan

kualitas pembelajaran dan keterampilan ICT guru maupun peserta didik. Dalam

memanfaatkan ICT perlu diantisipasi melalui pengelolaan penggunaan ICT

secara baik sehingga bisa meminimalisir dampak negatif menjadi dampak yang

positif. Penerapan ICT dalam media pembelajaran dapat melatih cara-cara

memperoleh informasi baru, menyeleksinya dan kemudian mengolahnya,

sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.

Salah satu sub materi pembelajaran IPA di SMP yaitu Fotosintesis.

Materi ini dimuat dalam KD 3.5 yaitu memahami konsep energi, berbagai

sumber energi, dan perubahan bentuk energi dalam kehidupan sehari-hari

termasuk fotosintesis dan KD 4.5 yaitu menyajikan hasil percobaan tentang

perubahan bentuk energi, termasuk fotosintesis. Dari KD tersebut, maka setelah

dianalisis membutuhkan kegiatan yang berupa eksperimen. Sementara itu,

pembelajaran eksperimen di laboratorium diyakini sebagai suatu faktor kunci

dalam pendidikan IPA karena melalui kegiatan laboratorium maka peserta didik

dapat memahami fenomena alam dan dapat mengembangkan cara bernalar

ilmiah. Akan tetapi kegiatan laboratorium yang real berbasis hands-on dirasa

lebih banyak memakan waktu oleh sebagian guru, termasuk dalam hal

penyiapan alat dan bahan, serta harus memberikan instruksi arahan kegiatan

6
eksperimen yang baik dan benar. Dengan adanya perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi, maka virtual laboratory sebagai salah satu alternatif

cara untuk mengatasi masalah tersebut dengan mensimulasikan kegiatan

percobaan di laboratorium.

Sementara laboratorium merupakan lingkungan tradisional untuk

melakukan pembelajaran berbasis inkuiri. Beberapa penelitian mengumpulkan

bukti bahwa laboratorium virtual juga cocok untuk memenuhi tujuan

penyelidikan ilmiah tersebut. Secara khusus, mereka dianggap setidaknya sama

kondusif untuk manipulasi aktif untuk eksperimen yang dipandang sebagai

aspek penting dari pembelajaran inkuiri. Asri Widowati, dkk (2016: 7)

menyatakan bahwa di era digital ini, sudah mulai dikembangkan penerapan

inkuiri secara online (digital) dengan variasi berupa blended learning ataupun

fully online (melalui suatu kombinasi dari synchronous tools) .

Virtual laboratory sebagai suatu produk inovasi media pembelajaran

berbasis komputer dapat diterapkan di sekolah dengan teknologi informasi

dalam proses pembelajarannya. Virtual laboratory lebih murah, aman dan

cocok digunakan oleh peserta didik yang memiliki gaya belajar visual karena

peserta didik dapat mengeksplorasi virtual laboratory sesuai kecepatan dan

kebutuhannya (Dobrzanki & Honysz 2010: 197). Virtual laboratory IPA telah

digunakan sebagai simulasi percobaan pada materi yang abstrak dan sulit

dipahami untuk mengatasi kurangnya sarana, alat dan bahan di laboratorium,

mahalnya alat dan zat-zat kimia. Kegiatan percobaan yang disimulasikan

menggunakan virtual laboratory dengan bantuan komputer telah terbukti

7
kebermanfaatannya sebesar 82,81% (Sunendar, 2007 dalam Felintina Yuniarti,

Pramesti Dewi, dan R. Susanti, 2012: 29).

Virtual laboratory diharapkan dapat menstimulasi peserta didik berpikir

tentang kegiatan laboratorium real (hands on) melalui layar komputer dengan

suatu penggambaran visual dan fungsi-fungsi alat serta prosedur kerja dengan

mempergunakan teknologi multimedia modern. Virtual laboratory yang

dimaksud bukan secara total menggantikan kegiatan laboratorium secara real

tetapi sebagai media yang mendukung. Kemampuan analytical thinking

menjadi prioritas, mengingat pendekatan inkuiri juga berkaitan dengan aktivitas

minds-on dan hands-on dalam virtual laboratory hanya sebatas simulasi.

Flowers (2011: 114) menyatakan bahwa implementasi virtual laboratory dalam

pembelajaran IPA dapat mendorong pemahaman terhadap materi pelajaran,

mengajarkan critical thinking, dan meningkatkan problem solving.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 27 Februari 2016 dengan

guru IPA di SMP Negeri 1 Jetis Bantul menyatakan bahwa media pembelajaran

IPA yang ada masih kurang khususnya media pembelajaran untuk materi-

materi yang sulit dilakukan eksperimen secara nyata. Materi yang tidak mudah

untuk dilakukan pengamatan dengan menggunakan panca indera saja. Salah

satu materi pembelajaran IPA tersebut yaitu proses terjadinya fotosintesis pada

tumbuhan. Materi tersebut mencakup daun sebagai organ berlangsungnya

fotosintesis, jaringan penyusun daun, proses fotosintesis, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi proses fotosintesis. Media yang biasanya digunakan saat

pembelajaran pada materi ini yaitu melalui slide powerpoint atau meminta

8
peserta didik untuk merangkum materi yang ada pada buku peserta didik.

Pemanfaatan komputer yang ada di laboratorium komputer ataupun LCD di

laboratorium IPA dalam pembelajaran IPA masih kurang optimal.

Selain itu, jika waktu memungkinkan untuk melakukan eksperimen,

maka akan dilakukan pembuktian terjadinya proses fotosintesis yang

menghasilkan karbohidrat (Uji Sach) dan oksigen (Uji Ingenhousz). Tujuannya

untuk memperjelas pengetahuan peserta didik mengenai proses fotosintesis.

Akan tetapi berdasarkan wawancara dengan peserta didik, mereka merasa jenuh

dan kurang tertarik apabila harus memperhatikan materi yang disajikan melalui

slide powerpoint atau mengamati proses fotosintesis pada buku.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penting untuk

peneliti mengadakan penelitian mengenai “Pengembangan Virtual Laboratory

IPA Materi Fotosintesis Berbasis Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan

Kemampuan Analytical Thinking Peserta Didik Kelas VII SMP” karena sebagai

bukti empiris tentang penggunaan virtual laboratory berbasis inkuiri

terbimbing dalam mengembangkan higher order of thinking (HOT) yang

berfokus pada peningkatan kemampuan analytical thinking (berpikir analitis).

B. Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan berdasarkan latar

belakang diatas adalah sebagai berikut:

1. Salah satu dari kemampuan pembelajaran abad 21 adalah kemampuan

berpikir analitis (analytical thinking) dalam memecahkan masalah. Secara

realita, pembelajaran yang mengorientasikan pemecahan masalah secara

9
analitis (analytical thinking) di Indonesia masih tergolong rendah yang

ditunjukkan dengan peserta didik masih bergantung pada guru.

2. Pendekatan inkuiri dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung

kepada peserta didik dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan baru.

Namun pembelajaran IPA yang dilakukan di kelas masih teacher centered.

3. Media pembelajaran IPA yang ada masih kurang khususnya media

pembelajaran untuk materi Fotosintesis, padahal materi pembelajaran yang

rumit dapat disederhanakan dengan bantuan media pembelajaran.

4. Peserta didik merasa jenuh apabila penjelasan materi melalui slide

powerpoint atau dengan membaca buku. Padahal banyak media

pembelajaran lainnya yang lebih menarik untuk memperjelas pengetahuan

peserta didik mengenai Fotosintesis.

5. Materi Fotosintesis yang sifatnya abstrak, rumit, dan sulit dipahami, serta

prosesnya membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan kurangnya

sarana, alat dan bahan di laboratorium.

6. Laboratorium IPA memiliki alat-alat dan fasilitas laboratorium yang sudah

lengkap namun penggunaan alat-alat laboratorium untuk kegiatan

laboratorium masih kurang karena terbatasnya waktu.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, penelitian

ini menekankan pada pembuatan suatu produk media virtual laboratory IPA

berbasis inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan analytical

thinking peserta didik kelas VII SMP pada sub materi Fotosintesis.

10
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah tersebut,

maka rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kelayakan pengembangan produk media virtual laboratory

IPA berbasis inkuiri terbimbing yang berpotensi untuk meningkatkan

kemampuan analytical thinking peserta didik berdasarkan kriteria kualitas

media pembelajaran yang baik?

2. Bagaimana respon peserta didik terhadap media virtual laboratory IPA

berbasis inkuiri terbimbing yang dikembangkan?

3. Apakah penggunaan media virtual laboratory IPA berbasis inkuiri

terbimbing yang dihasilkan dapat meningkatkan kemampuan analytical

thinking perserta didik Kelas VII SMP pada materi Fotosisntesis?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengembangkan media virtual laboratory IPA yang layak digunakan pada

materi Fotosintesis untuk meningkatkan kemampuan analytical thinking

peserta didik berdasarkan kriteria kualitas media pembelajaran yang baik.

2. Mengetahui respon peserta didik terhadap media virtual laboratory IPA

yang dikembangkan.

3. Mengetahui peningkatan kemampuan analytical thinking perserta didik

setelah menggunakan media virtual laboratory IPA pada materi

Fotosisntesis.

11
F. Spesifikasi Produk dan Keterbatasan Pengembangan

1. Spesifikasi Produk

Produk yang dihasilkan dari penelitian pengembangan ini adalah

media virtual laboratory IPA berbasis inkuiri terbimbing untuk

meningkatkan kemampuan analytical thinking peserta didik SMP kelas VII.

Media virtual laboratory ini didesain dan dibuat dengan menggunakan

software Adobe Flash CS4. Media virtual laboratory IPA yang

dikembangkan mencakup kajian tentang fotosintesis khususnya pada

percobaan Ingenhousz.

Media virtual laboratory IPA di desain sesuai dengan fakta

dilapangan. Pada media virtual laboratory tersebut berisikan mengenai

simulasi percobaan Ingenhousz, yang disajikan berupa gambar, teks, soal,

serta rangkuman materi. Pengembangan media virtual laboratory

mengandung langkah-langkah pendekatan inkuiri dengan tipe guided

inquiry (inkuiri terbimbing) sehingga dapat meningkatkan kemampuan

analytical thinking peserta didik.

Media virtual laboratory IPA yang dikembangkan memenuhi

standar kualitas media yang baik. Standar tersebut yaitu sesuai dengan isi

dan tujuan pembelajaran, memberikan peningkatan kemampuan analytical

thinking peserta didik, mudah terbaca dan menggunakannya, tampilan

warna yang sesuai dengan fakta, dan mudah dipahami. Selain itu media

virtual laboratory IPA yang sesuai standar yaitu mudah diakses di berbagai

12
jenis komputer, simple, dan dapat digunakan oleh semua umur (secara

individu maupun kelompok-kelompok kecil).

2. Keterbatasan Pengembangan

Media virtual laboratory IPA juga mempunyai keterbatasan. Salah

satu keterbatasan media virtual laboratory IPA yaitu tidak memberikan

pengalaman di lapangan secara nyata, tetapi mengurangi keterbatasan

waktu, jika waktu terbatas untuk menyampaikan seluruh materi kepada

peserta didik hingga mereka paham. Selain itu, penggunaan media bagi

sekolahan yang terbatas dalam fasilitis jumlah komputer dan untuk peserta

didik yang tidak memiliki komputer/laptop tidak dapat menggunakannya.

G. Manfaat Penelitian

Hasil pengembangan virtual laboratory IPA berbasis inkuiri dengan

materi Fotosintesis untuk meningkatkan kemampuan analytical thinking

diharapkan mampu memberikan manfaat bagi:

1. Peserta didik

Melalui penggunaan media virtual laboratory IPA ini, kemampuan

analytical thinking peserta didik diharapkan dapat lebih ditingkatkan, serta

menjadikan IPA lebih menarik dan terasa lebih mudah sehingga dapat

memenuhi kebutuhan peserta didik untuk belajar.

2. Guru

Memberikan informasi dan masukan kepada guru dalam hal

mengembangkan media pembelajaran untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran IPA.

13
3. Sekolah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan kualitas

pembelajaran dan dapat menambah media yang membantu dalam proses

pembelajaran. Selain itu, dapat dijadikan inspirasi untuk melakukan inovasi

pembelajaran IPA pada khususnya dan pelajaran lain pada umumnya.

4. Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti mengenai media

virtual laboratory IPA sehingga dapat digunakan sebagai bekal saat

mengajar ataupun ahli media pembelajaran.

H. Definisis Operasional

Agar terhindar dari kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini,

maka definisi-definisi terkait dengan penelitian dikemukakan sebagai berikut:

1. Pengembangan

Pengembangan adalah proses untuk menghasilkan suatu produk atau

mengembangkan suatu produk. Salah satu model penelitian dan

pengembangan yaitu penelitian 4-D (four-D model). Proses pengembangan

pada model ini dilakukan melalui tahap pendefinisian, perancangan,

pengembangan, dan penyebaran.

2. Virtual Laboratory

Virtual laboratory atau bisa disebut dengan istilah laboratorium

eksperimen maya yaitu suatu lingkungan belajar berwujud simulasi

komputer dimana di dalamnya terdapat kebutuhan inti dalam eksperimen di

laboratorium ekperimen.

14
3. Pendekatan Inkuiri Terbimbing

Pendekatan inkuiri terbimbing adalah pendekatan yang

membelajarkan peserta didik tentang permasalahan melalui penyelidikan

dengan bimbingan guru. Ketercakupan aspek inkuiri terbimbing yaitu

identifikasi masalah, menyusun hipotesis, menganalisis data dan fakta,

menghubungkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah, menyusun

kesimpulan, belajar aktif, dan melakukan percobaan.

4. Kemampuan Analytical Thinking

Analytical thinking atau berpikir secara analitis adalah komponen

berpikir kritis (critical thinking) yang memberikan satu kemampuan untuk

memecahkan masalah dengan cepat dan efektif. Pemikiran analitis

melibatkan proses mengumpulkan informasi yang relevan dan

mengidentifikasi isu-isu, membandingkan kumpulan data dari sumber yang

berbeda; mengenali kemungkinan penyebab dan efek pola, dan menarik

kesimpulan yang tepat dari suatu data untuk mencapai solusi yang tepat.

15

Anda mungkin juga menyukai