Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 TUJUAN

Mahasiswa diharapkan mampu:

1. Melakukan uji disolusi menggunakan metode dayung berputar

2. Menghitung dan menentukan % zat aktif yang terdisolusi

3. Membuat grafik profil pelepasan obat

1.2 DASAR TEORI

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari


bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif
sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut
suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji
disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet,
kapsul dan salep (Martin,1993)
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut
dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat
atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada
kesanggunpannya menembeus pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik
zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel,
1989)
Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan
metode: (Effendi, 2005)
1. Metode suspensi
Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan
yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample
diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang terlarut
ditentukan dengan cara yang sesuai.
2. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya,
sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat
dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet terlebih dahulu.
Kemudian sampel ditentukan seperti pada metode suspensi.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan
bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya
konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding
terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk
obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk
sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat
aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh
kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan  pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh
sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif
biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk
sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan
menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum
adalah: (Amir, 2007).
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu
bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan
itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari
sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per
unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan
kompisisi media yang dibakukan  (Shargel, 1988).
Tes  kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa
kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan.
Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan
informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke
“batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan
kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada
kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon
klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu,
dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat
aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat.
Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan
system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid
(salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam
saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,
deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan
(Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan
mengalami dua langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990)
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal
yang tetap atau film disekitar partikel
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka
kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah  langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-
molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan
menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus
permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai
lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar
melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane
biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan
obat  yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi
tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah
cepat, atau jika obat diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam
tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung
pada kesanggupannya menembus  menembus pembatas membran.
Tetapi, jika laju disolusi  untuk suatu partikel obat lambat, misalnya
mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan ,
proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju
dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa
diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak
diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa
obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan
pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun
sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur
di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan.
Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan
melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya.
Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi
hampir seluruh produk tablet  (Martin, 1993).
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi
dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang
diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis.
Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal,
ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisika kimia yang harus
dipahami untuk mendesain system pemberian (Martin, 1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya
diabsorpsi lebih cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat,
karena tidak membutuhkan prose melarut (Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat
fisika-kimia, termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel,
kelarutan, luas permukaan, dan sifat-sifat pembasahan. Bila data
kelarutan kesetimbangan dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat
membantu mengidentifikasi daerah masalah bioavailabilitas potensial
(Lachman, 1994).
Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai
bentuk yang menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk
diabsorpsi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan atau
berikatannya obat-obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin
berupa suatu unsure yang normal dari system saluran cerna atau suatu
bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat
perlu dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat
dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap
preformulasi, tahap formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas
permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor
lainnya yaitu keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi
kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul
organic lebih mudah larut daripada anhidratnya (Ansel, 1989).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan
analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan
obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USPuntuk
persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah
berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun,
disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi
lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk
mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro
bertujuan : (Ansel, 1989).
a. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses
invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru
situasi invivo
b.  Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya
dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
c. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur
pengendalian mutu untuk produk akhir.
d. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda
dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan
ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi
dan manufaktur.
f. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
g. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara
dekat sistem  invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten
tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja,
kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem 
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari
granul-granul bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus
bilamana granul-granul telah pecah. Pada tablet yang tidak
berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi
dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil
disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah
desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel,
1989).

1.3 MONOGRAFI BAHAN

1. Aqudes ( Farmakope Indonesia edisi III, 96)


Nama resmi           : Aqua Destilata
Nama lain              : Aquadest, air suling
RM                        : H2O
Bobot jenis            : 0,997 g/ml (250C)
Pemerian               : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau;
tidakmempunyai rasa
Penyimpanan         : Dalam wadah terutup baik
Kegunaan              : Sebagai larutan uji, sebagai pelarut
2. Parasetamol
Nama resmi :  Acetaminophen
Sinonim :  Paracetamol
Rumus molekul :  C8H9NO2
Berat molekul :  151,16
Pemerian :  Berupa hablur atau serbuk hablur putih, rasa pahit,
berbau, serbuk kristal dengan sedikit rasa pahit.
Kelarutan       :  Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95 %)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dandalam 9 bagian propilenglikol
P; larut dalam larutan alkalihidroksida.
Farmakodinamik :  Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral.
Efek anti inflamasinya sangat lemah.
Farmakokinetik :  Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna
melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam
plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam.

1.4 ALAT DAN BAHAN

Alat

- Dissolution tester paddle - Spektrofotometer UV-Vis

- Spuit sampling - Vial

Bahan

- Tablet paracetamol - Buffer Phosfat pH 6,8

1.5 CARA KERJA

 Timbang bobot tablet parasetamol yang akan di disolusi


 Disolusi dilakukan menggunakan metode dayung berputar
 Letakkan medium disolusi sebanyak 900 mL ke dalam chamber disolusi,
atur suhunya 37°C, kecepatan pengadukan 50 rpm.
 Masukkan tablet ke dalam chamber yang telah berputar
 Ambil sampel pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 60 menit sebanyak 5
mL, dan diganti dengan medium disolusi yang baru sejumlah 5 mL.
 Sampel yang telah diambil, dibaca serapannya menggunakan
spektrofotometer UV – Vis pada serapan yang telah ditentukan
sebelumnya.
BAB II

HASIL

4.1. Data Hasil Pengamatan

a Hasil absorbansi baku seri dengan berbagai konsentrasi

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


10 0,540
15 0,822
20 1,152
25 1,355
30 1,831
b Hasil absorbansi sampel pada menit dan vessel yang berbeda

Absorbansi
Menit Ke-
Vessel Kiri Vessel Tengah Vessel Kanan
10 1,886 1,882 1,86
20 1,882 1,882 1,890
30 1,884 1,886 1,84
4.2. Analisis Data

a Kurva kalibrasi baku parasetamol

Kurva Kalibrasi Baku Parasetamol


2
1.8
1.6 f(x) = 0.06 x − 0.11
R² = 0.99
1.4
Absorbansi

1.2
1
0.8 Linear ()
0.6
0.4
0.2
0
5 10 15 20 25 30 35

Konsentrasi (ppm)

b Analisa data

Y = bx + a

Y = 0,0623 x – 0,11

Contoh perhitungan

Menit ke-10 vesel kiri = 1,886 Terdisolusi dalam 900 mL

Y = 0,0623 x – 0,11 = 900 x 32,0385

1,886 = 0,0623 x – 0,11 = 28834,65 mcg/mL

1,886 + 0,11 = 0,0623 x 28834,65 mcg = 288,3465 mg

1,996 = 0,0623 x % terdisolusi = (288,3465 : 500)

X = 32,0385 mcg/mL x 100 % = 57,66 %


c Hasil uji disolusi sampel tablet parasetamol

Kadar (%)
Menit Ke-
Vessel Kiri Vessel Tengah Vessel Kanan
10 57,66 % 57,56 % 57,66 %
20 57,56 % 57,56 % 57,78 %
30 57,61 % 57,66 % 57,61 %

BAB III

PEMBAHASAN
Parasetamol merupakan derivat p – aminofenol yang mempunyai sifat analgesik

antipiretik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga

efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai

sedang.

Praktikum uji disolusi tablet parasetamol bertujuan untuk mengetahui kadar dari

parasetamol, serta jumlah zat aktif yang terlarut dalam media air dengan volume, wakti dan

alat tertentu apakah memenuhi persyaratan disolusi yang tertera pada monografi. Sampel

tablet berbentuk tablet tidak bersalut dengan persyaratan dalam waktu 30 menit harus larut

kurang dari 80 % dari etiket. Pengujian disolusi tablet parasetamol dilakukan dengan

pembuatan kurva oleh larutan baku seri. Konsentrasi larutan baku induk 1000 ppm dilarutkan

menjadi beberapa larutan baku seri yaitu 10; 15, 20; 25; dan 30 ppm.

Pemilihan interval baku seri menyesuaikan absorbansi yang dapat diinterpretasikan

oleh spektrofotometer. Kurva baku menghasilkan garis linear regresi y = 0,0623x – 0,11

dengan ketelitian sebesar 98,53%. Garis linear regresi dari kiri bawah menuju ke kanan atas

menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan baku seri maka semakin besar pula

absorbansi yang dihasilkan.

Perhitungan hasil kadar tablet parasetamol yang dilakukan pada uji disolusi secara

spektrofotometri yang dilakukan terhadap 3 tablet dengan perlakuan pengambilan cuplikan

media disolusi pada menit ke 10; 20; dan 30. Ditentukan harga Ab (Absorbansi Baku)

mendekati harga absorbansi uji. Hasil kadar tablet parasetamol diperoleh sebesar 57,66;

57,56; 57,61; 57,56; 57,56; 57,66; 57,66; 57,78; dan 57,61 %. Kadar zat aktif yang terlarut

tersebut tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV,

dimana kadar tidak kurang dari Q + 5 % (Q = 80%). Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif

tablet parasetamol tidak dapat melarut dengan baik.


Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kadar tersebut antara lain tablet yang

digunakan, media, spektrofotometer, praktikan. Sampel yang digunakan yaitu tablet

parasetamol yang sudah kadaluarsa, ditinjau dari data uji kekerasan yang kurang memenuhi

persyaratan sehingga diduga tablet terlalu keras sehingga sulit untuk melarut. Media yang

digunakan yaitu air. Hal ini tidak sesuai dengan monografi yang seharusnya menggunakan

media disolusi dapar fosfat pH 5,8. Spektrofotometer yang digunakan kurang sensitif

terhadap sampel yang diuji dan perlu dikalibrasi kembali. Pada monografi tertera pengujian

spektrofotometri dengan panjang gelombang 243 nm, kemampuan spektrofotometer hanya

dalam panjang gelombang 250 nm. Faktor praktikan yang melakukan praktikum dapat

mempengaruhi hasil analisa, diduga praktikan kurang menjaga kebersihan alat sehingga

adanya pengotor dan galat yang mengganggu hasil analisa.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan praktikum uji disolusi tablet dapat disimpulkan bahwa tablet parasetamol

tersebut tidak memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi Ke Empat, dimana

persyaratan kadar uji disolusi tiap unit sediaan adalah tidak kurang dari Q + 5% (Q = 80%).
DAFTAR PUSTAKA

Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Ditjen POM . 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI,.
Roth, Hermann, J . 1988 . Analisis Farmasi . Yogyakarta : UGM-Press

Martin, Alfred . 1990 . Farmasi Fisika Edisi I . Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Jones, D. 2008. FASTtrack: Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London:


Pharmaceutical Press.

Langley, C. 2008. FASTtrack: Pharmaceutical Compounding and Dispensing. London:


Pharmaceutical Press.

Perrie, Y. 2010. FASTtrack: Pharmaceutics - Drug Delivery and Targeting. London:


Pharmaceutical Press.

Basri, S.2003. “Kamus Lengkap Kimia”. Jakarta:Rineka Cipta.

Bird, T. 1994.  Kimia Fisik untuk Universitas”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama..

Daintith, J.1994.” Kamus Lengkap Kimia”. Edisi Baru. Alih Bahasa : Suminar
Achmadi, Ph.D. Jakarta : Erlangga..

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta : Gaya Baru.

Anda mungkin juga menyukai