Anda di halaman 1dari 41

KEPERAWATAN KRITIS II

PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURAT GIGITAN BINATANG

Dosen Pembimbing :

Hepta Nur Anugrahini S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

1. Hikmatus Saniyah Arsabani (P27820118051)


2. Agung Purwaningsih (P27820118087)

III Reguler B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

KAMPUS SOETOMO SURABAYA

TAHIN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kegawatdaruratan Gigitan
Binatang”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Surabaya, 28 Agustus 2020

                                                                                     
                                                                                            

  Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang......................................................................................
1.2 RumusanMasalah.................................................................................
1.3 Tujuan..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. GIGITAN BINATANG SERANGGA
2.1 ............................................................................................................
2.2 .............................................................................................................
2.3 .............................................................................................................
2.4 .............................................................................................................
2.5 .............................................................................................................
2.6 .............................................................................................................
2.7 .............................................................................................................
2.8
B. GIGITAN BINATANG BERBISA
2.1. ............................................................................................................
2.2. ............................................................................................................
2.3. ............................................................................................................
2.4. ............................................................................................................
2.5. ............................................................................................................
2.6. ............................................................................................................
2.7. ............................................................................................................
2.8. ............................................................................................................
2.9. ............................................................................................................
2.10............................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................
3.2 Saran....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gigitan binatang dan sengatan, biasanya merupakan alat dari


binatang tersebut untuk mempertahankan diri dari lingkungan atau sesuatu
yang mengancam keselamatan jiwanya. Gigitan binatang terbagi menjadi
dua jenis, yaitu ; berbisa (beracun) dan yang tidak memiliki bisa. Pada
umumnya risiko infeksi pada gigitan binatang lebih besar daripada luka
biasa. Seseorang yang tergigit mempunya risiko terinfeksi. Pada umumnya
bila tergigit binatang, perlu mendapatkan pemeriksaan medis.

Di Indonesia, pada tahun 2013 jumlah kasus Gigitan Hewan


Penular Rabies (GHPR) sebanyak 16.258 kasus (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI,2013).
Kasus tersebut terjadi pada 11 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Tengah, Kalimantan
Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara.
Sedangkan di Provinsi Aceh sendiri, jumlah kasus gigitan hewan penular
rabies tahun 2011 dan tahun 2012 secara berturut-turut sebanyak 546
kasus dan 138 kasus (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2013).

Dalam menghadapi kasus gigitan hewan, penatalaksanaan yang tepat


dimulai dengan membersihkan area luka dengan air mengalir atau sabun,
dilanjutkan dengan pemberian cairan antiseptik kemudian menggunakan
kassa dan balutan untuk menghentikan perdarahan (Tim Bantuan Medis
Panacea, 2013, p.153). Tujuannya yaitu mengontrol perdarahan,
meminimalisir resiko infeksi dan mendapatkan penanganan medis jika
dibutuhkan (The UK’s Leading First Aid Provides, 2002). Penanganan di
fasilitas kesehatan dapat dilakukan terhadap bahaya gigitan hewan seperti,
rabies, tetanus, keracunan bisa ular dan virus Herpes B.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dibahas pada
makalah ini yaitu:
1. Apa definisi dan macam-macam gigitan binatang?
2. Bagaimana etiologi gigitan binatang (Serangga, Berbisa, dan Rabies)?
3. Bagaimana Patofisiologi gigitan binatang (Serangga, Berbisa, dan
Rabies)?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari gigitan binatang?
5. Bagaimana masa inkubasi dari gigitan rabies?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk gigitan binatang?
7. Bagaimana penatalaksanaan gigitan binatang?
8. Apa saja komplikasi dari gigitan binatang?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan gigitan binatang?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam gigitan binatang
2. Untuk mengetahui etiologi dari gigitan binatang
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi gigitan binatang
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari gigitan binatang
5. Untuk mengetahui masa inkubasi gigitan rabies
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk macam-macam
gigitan binatang
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan gigitan binatang
8. Untuk mengetahui komplikasi gigitan binatang
9. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada gigitan binatang
BAB II

KONSEP TEORI

A. GIGITAN SERANGGA
2.1. Definisi Gigitan Serangga
Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau
tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang
dikeluarkan artropoda penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan
digunakan untuk pertahanan. Gigitan serangga biasanya untuk melindungi
sarang mereka. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa
(racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin
memicu reaksi alergi kepada penderita.
Gigitan serangga seringkali menyebabkan bengkak, kemerahan, rasa
sakit (senut-senut), dan gatal-gatal. Reaksi tersebut boleh dibilang biasa,
bahkan gigitan serangga ada yang berakhir dalam beberapa jam sampai
berhari-hari. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga
dibanding orang dewasa.

2.2. Etiologi Gigitan Serangga


Secara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup
yaitu Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga
yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya
tawon atau lebah, ini merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni
dengan cara menyuntikan racun atau bisa melalui alat penyengatnya.
Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan menembus kulit
dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal.
Gigitan dari lebah, lebah raksasa (hornets), tawon, dan semut api biasanya
adalah yang paling parah. Ada 30 lebih jenis serangga tapi hanya beberapa
saja yang bisa menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelas
Arthropoda yang melakukan gigitan dan sengatan pada manusia terbagi
atas :
1) Kelas Arachnida
a. Acarina
b. Araneae (Laba-Laba)
c. Scorpionidae (Kalajengking)
2) Kelas Chilopoda dan Diplopoda
3) Kelas Insecta
a. Anoplura (Phtirus Pubis, Pediculus humanus, capitis et corporis)
b. Coleoptera (Kumbang)
c. Diptera (Nyamuk, lalat)
d. Hemiptera ( Kutu busuk, cimex)
e. Hymenoptera (Semut, Lebah, tawon)
f. Lepidoptera ( Kupu-kupu)
g. Siphonaptera ( Xenopsylla, Ctenocephalides, Pulex)

2.3. Patofisiologi Gigitan Serangga


Gigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil
pada kulit, lewat gigitan atau sengatan antigen yang akan masuk langsung
direspon oleh sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat
yang kompleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan
melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang timbul
disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan
melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan
mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam 2 kelompok :
Reaksi immediate dan reaksi delayed.
Reaksi immediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan ditandai
dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul karena adanya
toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga. Nekrosis
jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel yang
dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin yang
berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase yang
juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat
mempercepat penyebaran dari racun tersebut.
2.4. Manifestasi Klinis Gigitan Serangga
Beberapa contoh masalah serius yang diakibatkan oleh gigitan atau
serangan gigitan serangga di antaranya adalah:
1) Reaksi alergi berat (anaphylaxis)
Reaksi ini tergolong tidak biasa, namun dapat mengancam kehidupan
dan membutuhkan pertolongan darurat. Tanda-tanda atau gejalanya
adalah:
a. Terkejut (shock). Dimana ini bisa terjadi bila sistem peredaran
darah tidak mendapatkan masukan darah yang cukup untuk organ-
organ penting (vital)
b. Batuk, desahan, sesak nafas, merasa sakit di dalam mulut atau
kerongkongan/tenggorokan
c. Bengkak di bibir, lidah, telinga, kelopak mata, telapak tangan,
tapak kaki, dan selaput lendir (angioedema)
d. Pusing, mual, diare, dan nyeri pada perut
2) Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak
Reaksi racun oleh gigitan atau serangan tunggal dari serangga.
Serangga atau laba-laba yang menyebabkan hal tersebut misalnya:
a. Laba-laba janda (widow) yang berwarna hitam
b. Laba-laba pertapa (recluse) yang berwarna coklat
c. Laba-laba gembel (hobo)
d. Kalajengking
3) Reaksi racun dari serangan lebah, tawon, atau semut api
a. Seekor lebah dengan alat penyengatnya di belakang lalu mati
setelah menyengat. Lebah madu afrika, yang dinamakan lebah-
lebah pembunuh, mereka lebih agresif dari pada lebah madu
kebanyakan dan sering menyerang bersama-sama dengan jumlah
yang banyak.
b. Tawon, penyengat dan si jaket kuning (yellow jackets), dapat
menyengat berkali-kali. Si jaket kuning dapat menyebabkan
sangat banyak reaksi alergi.
c. Serangan semut api kepada seseorang dengan gigitan dari
rahangnya, kemudian memutar kepalanya dan menyengat dari
perutnya dengan alur memutar dan berkali-kali
4) Reaksi kulit yang lebar pada bagian gigitan atau serangan
5) Infeksi kulit pada bagian gigitan atau serangan
6) Penyakit serum (darah), sebuah reaksi pada pengobatan (antiserum)
digunakan untuk mengobati gigitan atau serangan serangga. Penyakit
serum menyebabkan rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan
bengkak serta diiringi gejala flu 7-14 hari setelah penggunaan anti
serum.
7) Infeksi virus. Infeksi nyamuk dapat menyebabkan virus West Nile
kepada seseorang, menyebabkan inflamasi pada otak (encephalitis)
8) Infeksi parasit. Infeksi nyamuk dapat menyebabkan menyebarnya
malaria

2.5. Penatalaksanaan Gigitan Serangga


1) Gigitan serangga reaksi ringan
a. Pindahkan ke daerah yang aman untuk menghindari serangan
b. Buang serangga atau lebah yang menyengat apabila masih
menempel pada kulit. Hal ini akan mencegah atau mengurangi
pelepasan racun.
c. Cucilah daerah gigitan dengan sabun dan air
d. Kompres dingin atau diisi dengan es batu untuk mengurangi rasa
sakit dan bengkak
e. Minum obat pereda nyeri, seperti ibuprofen atau acetaminophen
(parasetamol) untuk meringankan rasa sakit akibat gigitan serangga
atau sengatan lebah
f. Oleskan krim/salep yang mengandung hydrocortisone, lidokain
atau pramoxine. Krim lainnnya, seperti lotion calamine atau yang
mengandung oatmeal koloid atau baking soda dapat membantu
menenangkan kulit gatal.
g. Minum obat antihistamin yang mengandung diphenhydramine
(contohnya Benadryl), CTM, cetirizine dan lain-lain
2) Gigitan serangga reaksi berat
Reaksi berat/parah akibat gigitan atau sengatan serangga dapat
menimbulkan gejala lebih dari sekedar di tempat gigitan dan dapat
berkembang dengan cepat. Segera ke Dokter atau IGD jika tanda-
tanda atau gejala-gejala berikut terjadi:
a. Kesulitan bernafas
b. Pembengkakan pada bibir atau tenggorakan
c. Pingsan
d. Pusing
e. Kebingungan
f. Detak jantung cepat
g. Mual, muntah dan kram

Contoh penatalaksanaan jika terkena gigitan serangga


1) Nyamuk
a. Kurangi populasi nyamuk di sekitar rumah dengan menggunakan
penolak serangga dan pakaian pelindung, hilangkan atau amankan
genangan air tempat nyamuk berkembang biak.
b. Gunakan antihistamin oral dan losion untuk meringankan gatal dari
gigitan nyamuk.
c. Gunakan minyak kayu putih untuk mencegah digigit nyamuk.
d. Kenakan pakaian berwarna terang, karena nyamuk lebih tertarik pada
warna gelap.
e. Pakailah permetrin yang mengandung obat nyamuk untuk pakaian,
sepatu, peralatan berkemah dan tempat tidur jaring.
f. Kenakan topi lebar atau baju yang bisa melindungi kepala dan leher
dari gigitan nyamuk. Kalau Anda berada di daerah dengan populasi
nyamuk yang signifikan, pertimbangkan memakai kelambu untuk
menutupi tempat tidur.
2) Kalajengking
a. Cuci luka dengan sabun dan air.
b. Beri kompres dingin pada daerah yang terkena untuk mengurangi
rasa sakit dan memperlambat penyebaran racun itu. Hal ini paling
efektif dalam dua jam pertama setelah sengatan terjadi.
c. Cobalah untuk tetap tenang sehingga racun menyebar lebih lambat.
d. Jangan mengonsumsi makanan atau cairan karena sengatan bisa
menyebabkan pembengkakan tenggorokan dan kesulitan menelan.
e. Gunakan penghilang rasa sakit seperti obat anti inflamasi untuk
membantu meringankan ketidaknyamanan. Sebaiknya hindari
menggunakan obat nyeri karena bisa menekan pernapasan.
f. Kalajengking cenderung menghindari kontak dengan manusia. Untuk
mencegah terjadinya kontak tidak disengaja, bersihkan rumah dan
sekitar dari sampah kayu, papan, batu, batu bata dan benda-benda
lain bisa menjadi tempat persembunyian yang baik bagi
kalajengking, pangkas rumput dan cabang pohon yang menggantung
ke atap, tutup rekahan di tembok, selalu gunakan alas kaki bila
berjalan ke luar rumah, kocok dan periksa sepatu sebelum
memakainya.
g. Bila Anda menemukan seekor kalajengking dan ingin
membuangnya, gunakan penjepit untuk memindahkannya ke lokasi
yang lebih aman.
3) Laba-laba

Jika digigit laba-laba pertapa coklat atau janda hitam:

a. Bersihkan luka. Gunakan sabun dan air untuk membersihkan luka


dan kulit di sekitar gigitan.
b. Perlambat penyebaran racun. Jika gigitan pada lengan atau kaki, ikat
perban di atas gigitan dan meninggikan anggota tubuh itu. Pastikan
perban tidak begitu ketat karena dapat memotong sirkulasi di lengan
atau kaki.
c. Gunakan kain dingin di tempat gigitan. Tempelkan kain yang
dibasahi dengan air dingin atau diisi dengan es.
d. Cari bantuan medis segera. Pengobatan untuk gigitan seekor janda
hitam mungkin memerlukan obat anti racun, sedangkan untuk gigitan
pertapa coklat mungkin diperlukan berbagai obat.
4) Lebah:
a. Untuk reaksi ringan, lepaskan sengat yang menusuk kulit secepat
mungkin, hanya dibutuhkan beberapa detik untuk semua racun
masuk ke tubuh. Bila sulit, keluarkan sengat dengan ujung kartu
kredit atau kuku, atau menggunakan pinset. Hindari meremas
kantung racun yang menempel karena dapat melepaskan racun lebih
banyak lagi. Cuci daerah yang disengat dengan sabun dan air.
Tempelkan kompres dingin untuk mengurangi rasa sakit dan
meringankan pembengkakan.
b. Untuk reaksi berat lepaskan alat penyengat sesegera mungkin, cuci
dengan sabun dan air, kompres dingin, oleskan krim hidrokortison
atau losion calamine untuk mengurangi kemerahan, gatal atau
pembengkakan. Jika gatal atau bengkak sangat mengganggu,
gunakan antihistamin oral yang mengandung diphenhydramine atau
klorfeniramin. Hindari menggaruk daerah yang disengat karena
malah memperburuk gatal dan bengkak dan meningkatkan risiko
infeksi.
c. Untuk serangan anafilaksis, segara panggil tim medis atau bawa ke
instalasi gawat darurat secepat mungkin.

2.6. Komplikasi Gigitan Serangga


1) Folikulitis , peradangan yang terjadi pada folikel rambut atau tempat
rambut tumbuh yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri.
2) Selulitis adalah infeksi umum pada kulit dan jaringan lunak di bawah
kulit.
3) Limfangitis, peradangan (pembengkakan) pada pembuluh limfatik.
2.7. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GIGITAN SERANGGA
1) Pengkajian
Pada sengatan serangga biasanya ditemukan gejala yairu
Mendesah, sesak nafas, tenggorokan sakit atau susah berbicara, pingsan
atau lemah, infeksi, kemerahan, bengkak, nyeri, gatal-gatal di sekitar
area yang terkena gigitan

2) Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses toksikasi
b. Syok berhubungan dengan tidak adekuatnya peredaran darah ke
jaringan
c. Rasa gatal, bengkak dan bintik – bintik merah berhubungan dengan
proses inflamasi
d. Gangguan Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin 

3) Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan proses toksikasi
Tujuan : Meredakan nyeri
Intervensi :
1. Sengat kalau masih ada dicabut dengan pinset
Rasional : Mengeluarkan sengat serangga yang masih tertinggal
2. Berikan kompres dingin
Rasional : Meredakan nyeri dan mengurangi bengkak
3. Lakukan tehnik distraksi relaksasi
Rasional : Mengurangi nyeri
4. Kolaborasi dalam pemberian antihistamin seperti diphenhidramin
(Benadryl) dalam bentuk krim/salep atau pil, losion Calamine
Rasional : Mengurangi gatal – gatal
b. Syok berhubungan dengan tidak adekuatnya peredaran darah ke
jaringan
Tujuan : Menangani penyebab, Memperbaiki suplai darah ke
jaringan
Intervensi :
1. Atasi setiap penyebab shock yang mungkin dapat di
atasi(perdarahan luar)
Rasional: Mengurangi keparahan
2. Pasien dibaringkan kepala lebih rendah.
Rasional: Kepala lebih rendah supaya pasien tidak hilang
kesadaran
3. Kaki di tinggikan dan di topang
Rasional: Meningkatkan suplai darah ke otak
4. Longgarkan pakaian yang ketat atau pakaian yang menghalangi
Rasional: Sirkulasi tidak terganggu
5. Periksa dan catat pernapasan nadi dan tingkat reaksi tiap 10 menit
Rasional: Mengetahui tingkat perkembangan pasien
c. Rasa gatal, bengkak dan bintik – bintik merah berhubungan dengan
proses inflamasi
Tujuan : Mencegah peradangan akut
Intervensi :
1. Pasang tourniket pada daerah di atas gigitan
Rasional: Mencegah tersebarnya racun ke seluruh tubuh
2. Bersihkan area yang terkena gigitan dengan sabun dan air untuk
menghilangkan partikel yang terkontaminasi oleh serangga
Rasional: Untuk menghindari terkontaminasi lebih lanjut pada
luka
3. Kolaborasi dalam pemberian antihistamin dan serum Anti Bisa
Ular (ABU) polivalen i.v dan disekitar luka. ATS dan penisilin
procain 900.000 IU
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi
B. GIGITAN BINATANG BERBISA
2.1. Definisi Gigitan Berbisa
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Daya
toksin bias ular tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulakan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia.
Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap terhadap suatu organ ;
beberapa mempunyai efak pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien
dapat membebaskan bebarapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan
keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif
yang bertujuan melumpuhkan mangsanya; sering kali mengandung factor
letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator; racun
bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan.

2.2. Etiologi Gigitan Berbisa


Gigitan ular yang berbisa, yang terdapat 3 famili ular yang berbisa,
yaitu Elapidae, Hidropidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan
perubahan local, seperti edema dan perdarahan. Banyak bisa yang
menimbulkan perubahan local, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan
yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi
dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam. Daya toksik bisa ular yang telah
diketahui ada 2 macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah ( hematoxic )
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stoma lecethine ( dinding sel darah merah ), sehingga
sel darah merah menjadi hancur ( hemolysis ) dan keluar menembus
pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan.
b. Bisa ular yang bersifat saraf ( neurotoxic )
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan sel saraf mati
dengan tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam.

2.3. Patofisiologi Gigitan Berbisa

Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan


protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung
dari spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap
perubahan temperatur. (Gold BS, 2002) Secara mikroskop elektron dapat
terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga
menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular
dapat berikatan dengan bpada tubuh korban. (Dart RC & Barrish RA,
2002).

Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah


mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat
di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada
rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung
pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang
dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas
yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah
jumlah bisa yang akan dikeluarkan. Semua metode injeksi venom ke dalam
korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai
mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada
bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari
bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-
ase. Mangsa gigitan ular jenis Elapidae, biasanya akan mengalami
pendarahan kesan daripada luka yang berlaku pada saluran darah dan
pencairan darah merah yang mana darah sukar untuk membeku.
Gambar 2.1 Ciri–ciri ular tidak berbisa & Ular Tidak berbisa

Gambar 2.2 Bekas Gigitan Ular

 SIFAT BISA ULAR :


Bisa ular mengandung toksin yang berasal dari air liur. Bisa tersebut
bersifat:
a. Neurotoksin: berakibat pada sistem saraf dan otak. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot
pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran
menurun sampai dengan koma.
b. Haemotoksin: berakibat pada jantung dan pembuluh darah dan bersifat
hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau
menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan
itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom
pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal
ginjal.
c. Myotoksin: mengakibatkan efek pada jaringan otot. Myoglobulinuria
yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
d. Cytotoksin: Bekerja pada lokasi gigitan dengan melepaskan histamin
dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.

2.4. Manifestasi klinis Gigitan Berbisa


Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua
gigitan ular.
1. Gejala lokal:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Pendarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis (peradangan / pembagkakan pembuluh limfatik)
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis (kematian sel)

Gambar 2.3 Gejala Lokal Gigitan Ular


2. Gejala sistemik:
a. Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk,
lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae) : gangguan penglihatan, pusing,
pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjungtiva (chemosis).
c. Pendarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae) :
Pendarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi
(termasuk pendarahan yang terus-menerus dari bekas gigitan
(fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian
(oldrus mene parttly-healed wounds), pendarahan sistemik
spontan – dari gusi, epitaksis, pendarahan intrakranial
(meningism, berasal dari pendarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh pendarahan cerebral), hemoptisis,
perdarahan perektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam,
perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjungtiva), kulit (peteki, purpura, perdarahan
diskoid, echimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapide, Russel Viper) : Mengantuk, parestesia,
abnormalitas pengucapan dan pembahuan, potosis,oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersyarafi
nervus cranialais, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan
melalui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot
pernafasan dan flasid generalisata.
e. Destruksi Otot Skeletal (Sea Snake, beberapa spesies kraits,
bungarus niger and
f. Candidus, western Russell’s viper Daboia russelli) : Nyeri seluruh
tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, miolobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
g. Sistem Perkemihan : Nyeri pungggung bawah, hematuria,
hemoglobinria, mioglobinuria, oligoria atau anuria, tanda dan
gejala uremia (pernafasan asidosis, hiccup, mual, nyeri pleura, dll)
h. Gejala Endokrin : Insufisiensi hipofisis atau kelenjar adrenal
yang disebabkan infrakhipofisis anterior. Pada fase akut : Syok,
hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah
gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder,
kehilangan libido, aminoria, atrofi testis, hipotyroidsm.

Bagan 2.1 Proses Masuknya Bisa Ular ke Dalam Tubuh

2.5. Pemeriksaan Penunjang Gigitan Berbisa


1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Hemoglobin (Hb): dapat menurun akibat adanya perdarahan
(Normal:13,2-17,3 g/dL).
b. Leukosit : dapat meningkat ataupun menurun karena terjadinya infeksi
dalam tubuh ( Normal : 3,8 – 10,6 g/dL ).
c. Trombosit : untuk mengetahui zat pembekuan darah (Normal : 150-
400 g/dL )
d. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin
e. Fibrinogen : untuk mengetahui adanya kelainan pembekuan darah,
mengetahui adanya resiko pembekuan darah dan mengetahui adanya
gangguan fungsi hati
f. Uji faal Hepar : untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan pada
faal hati atau sel hati.
g. Pemeriksaan urin untuk mengetahui apakah terjadi hematuria,
glikosuria dan proteinuria
2. Pemeriksaan Radiologis :
a. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
b. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

2.6. Penatalaksanaan Gigitan Berbisa


Gejala Klinis :
Gejala klinis yang timbul akibat terkena gigitan ular adalah pusing,
haus terus-menerus, sakit kepala bahkan sampai pingsan, penglihatan
kabur/ tidak jelas, demam, rasa sakitberlebih, jantung berdetak cepat, syok,
sulit bernapas, otot kejang, otot kehilangan koordinasi, otot lemah, mual,
muntah, lokasi gigitan terjadi perdarahan, terdapat tanda gigitan, bercak-
bercak pada kulit lokasi gigitan, kesemutan , berkeringat.
Penatalaksanaan :
A. Pertolongan dirumah
Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman kerumah
sakit. Apabila penanganan medis tersedia dalam Beberapa jam, satu-
satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi (membuat tidak
bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau
menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke
dalam aliran darah dan getah bening ; pertimbangkan pressure-
immobilisation pada gigitan Elapidae ; hindari gangguan terhadap luka
gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal. Setelah itu Korban harus segera dibawa ke rumah
sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin.
Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa.
B. Penatalaksanaan kegawatdaruratan
1. Airway. Pada airway perlu diketahui bahwa salah satu sifat dari bisa
ular adalah neurotoksik. Dimana akan berakibat pada saraf perifer
atau sentral, sehingga terjadi paralise otot lurik. Lumpuh pada otot
muka, bibir, lidah, dan saluran pernapasan, gangguan pernafasan,
kardiovaskuler terganggu dan penurunan kesadaran. Korban dengan
kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan
sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas.
2. Breathing. Pada breathing akan terjadi gangguan pernapasan karena
pada bisa ular akan berdampak pada kelumpuhan otot-otot saluran
pernapasan sehingga pola pernapasan pasien terganggu dan berikan
oksigen
3. Circulation. Pada circulation terjadi perdarahan akibat sifat bisa ular
yang bersifat haemolytik. Dimana zat dan enzim yang toksik
dihasilkan bisa akan menyebabkan lisis pada sel darah merah
sehingga terjadi perdarahan. Ditandai dengan luka patukan terus
berdarah, haematom, hematuria, hematemesis 0an gagal ginjal,
perdarahan addme, hipotensi. Cairan parenteral dapat digunakan
untuk penatalksanaan hipotensi. Jika vasopresin digunakan untuk
penanganan hipotensi penggunaan harus dalam jangka pendek.
C. Penatalaksanaan medis
1. Membersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
2. Untuk efek lokal diannjurkan imobilisasi menggunakan perban katun
elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di
sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki
sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan
perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan
terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan
torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan
pelepasan torniket dapat menyebankan efek sistemik yang leih berat.
3. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan jalan nafas ; penatalaksanaan fungsi pernafasan ;
penatalaksanaan sirkulasi ; penatalaksanaan resusitasi perlu
dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan
shock , shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi
yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban,
hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal
dan komplikasi nekrosis lokal.
4. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah
mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
5. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
6. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut
cepat mati / panik.
7. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri
atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat
dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang
mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini
hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang
luas .

2.7. Komplikasi Gigitan Berbisa


1. Syok hipovolemik : Suatu keadaan akut dimana tubuh kehilangan
cairan tubuh, cairan ini dapat berupa darah, plasma, dan elektrolit.
2. Edema paru : Suatu kondisi yang ditandai dengan gejala sulit bernafas
akibat terjadi penumpukan cairan didalam kantong paru- paru.
3. Kematian
4. Gagal napas
2.8. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GIGITAN ULAR
1) Pengkajian
Pada gigitan ular dapat ditemukan data : Tampak kebiruan,
Pingsan, Lumpuh, Sesak nafas, syok hipovolemik, nyeri kepala, mual
dan muntah, nyeri perut, diare, keluarnya darah terus menerus dari
tempat gigitan, flaccid paralysis, Miotoksisitas
2) Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses toksikasi
b. Syok berhubungan dengan tidak adekuatnya peredaran darah ke
jaringan
c. Rasa gatal, bengkak dan bintik – bintik merah berhubungan dengan
proses inflamasi
d. Gangguan Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin
e. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada
hipotalamus
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan
tubuh tak adekuat

3) INTERVENSI
a. Nyeri berhubungan dengan proses toksikasi
Tujuan : Meredakan nyeri
Intervensi:
1. Sengat kalau masih ada dicabut dengan pinset
Rasional : mengeluarkan sengat serangga yang masih tertinggal
2. Berikan kompres dingin
Rasional : meredakan nyeri dan mengurangi bengkak
3. Lakukan tehnik distraksi relaksasi
Rasional : mengurangi nyeri
4. Kolaborasi dalam pemberian antihistamin seperti diphenhidramin
(Benadryl) dalam bentuk krim/salep atau pil, losion Calamine
Rasional : mengurangi gatal
b. Syok berhubungan dengan tidak adekuatnya peredaran darah ke
jaringan
Tujuan : Menangani penyebab, Memperbaiki suplai darah ke
jaringan
Intervensi:
1. Atasi setiap penyebab shock yang mungkin dapat di atasi
(perdarahan luar)
Rasional: Mengurangi keparahan
2. Pasien dibaringkan kepala lebih rendah
Rasional: Kepala lebih rendah supaya pasien tidak hilang
kesadaran
3. Kaki di tinggikan dan di topang
Rasional: Meningkatkan suplai darah ke otak 
4. Longgarkan pakaian yang ketat atau pakaian yang menghalangi
Rasional: Sirkulasi tidak terganggu
5. Periksa dan catat pernapasan nadi dan tingkat reaksi tiap 10 menit
Rasional: Mengetahui tingkat perkembangan pasien
c. Bintik merah berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Mencegah peradangan akut
Intervensi:
1. Pasang tourniket pada daerah di atas gigitan
Rasional: Mencegah tersebarnya racun ke seluruh tubuh
2. Bersihkan area yang terkena gigitan dengan sabun dan air untuk
menghilangkan partikel yangterkontaminasi oleh serangga
(seperti nyamuk).
Rasional: Untuk menghindari terkontaminasi lebih lanjut pada
luka
3. Kolaborasi dalam pemberian antihistamin dan serum Anti Bisa
Ular (ABU) polivalen i.v dandisekitar luka. ATS dan penisilin
procain 900.000 IU
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi
C. GIGITAN RABIES
2.1. Definisi Gigitan Rabies
Rabies / penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang disebabkan
oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan
berdarah panas dan manusia. Rabies merupakan kelompok penyakit
zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia
dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality
Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang
terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan. Hewan penular
rabies yaitu anjing, kucing, kera, musang.

2.2. Etiologi Gigitan Rabies


Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga
Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga
Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak
bersegmen.
Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai
perantara penularan. Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai
letak geografis. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu
ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (Lonjong). Virus tersusun dari Ribonukleokapsid dibagian
tengah, memiliki membran selubung (Amplop) dibagian luarnya yang pada
permukaannya terdapat tonjolan (Spikes) yang jumlahnya dari 500 buah.
Pada membran selubung (Amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.
Virus berukuran panjang 18 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran
9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka terhadap sinar ultraviolet,
zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol, dan klorofrom. Virus dapat
bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 60 C
virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku
(freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama beberapa tahun
Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara
lain rakun (Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika
Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat
rabies yang masih tinggi.
.
2.3. Patofisiologi Gigitan Rabies
Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia
melaui gigitan dan kadang melalui jilatan. Secara patogenesis, setelah virus
rabies masuk lewat gigitan, selama seminggu virus akan tetap tinggal pada
tempat masuk dan disekitrnya.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus rabies akan menghindari
penghancuran oleh sistem imunitas tubuh melalui pengikatannya pada
sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini memasuki saraf perifer. Masan
inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut
dengan sistem saraf pusat. Ketika virus telah mencapai otak,maka ia akan
memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron,
terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-
neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf
eferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian,
virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan
berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah.
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat
gigitan hewan yang mengandung virus dalam salivanya. Kulit yang utuh
tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan tetapi jilatan hewan yang terinfeksi
dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau terluka. Virus juga dapat masuk
melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata,
mulut, anus, alat genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum
pernah dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan
pada manusia.

2.4. Masa Inkubasi Gigitan Rabies


Masa inkubasi rabies pada anjing 10-15 hari, dan pada hewan lain 3-
6 minggu, kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa
inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu
atau selama beberapa tahun (Mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih
cepat pada anak-anak daripada dewasa. Kasus rabies manusia dengan
periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi
jarang terjadi.
Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status imun, istrain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat. Masa
inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke
otak, pada gigitan di kaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di
tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-
kira 30 hari.

2.5. Manifestasi Klinis Gigitan Rabies


Manifestasi klinis yang dapat terjadi pada manusia yang terkena
gigitan dari hewan rabies yaitu :
a. Stadium Prodormal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri
ditenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Biasanya terasa nyeri di daerah bekas gigitan, paraesthesia,
panas, gugup, dan ancietas. Kemudian disusul dengan gejala cemas,
dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meninggi dengan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi.
Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya,
yang sangat khas pada stadium ini adalah adanya macam-macam fobi,
yang sangat terkenal adalah hidrofobi.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala eksitasi,
melainkan paresis otot-otot yang bersifat progesif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala
paresis otot-otot pernafasan.

2.6. Penatalaksanaan Gigitan Rabies


Penatalaksanaan umum jika terkena gigitan binatang rabies :
1) Tindakan Pengobatan
a. Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka
seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian
tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan
pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan
lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies.
Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar)
diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut
mungkin saja terinfeksi rabies.
b. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka
gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan
sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka
telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan
imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin
rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
c. Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin
rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7,
14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya
bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1%
yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi.
d. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita
rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan
diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
e. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam
3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan
nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun
kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi
beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang
perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-
paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin
rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan
gejala-gejala rabies.
2) Pencegahan
Ada dua cara pencegahan rabies yaitu:
a. Penanganan Luka
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang
terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang
pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang
adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin.
Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang
beresiko tinggi tertular rabies.
b. Vaksinasi
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum
terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh,
vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang beresiko tinggi
terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
1. Dokter hewan
2. Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang
terinfeksi
3. Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di
daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan
4. Para penjelajah gua kelelawar
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi
kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi
terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster
vaksinasi setiap 2 tahun.

Penatalaksanaan jika terkena gigitan beberapa binatang rabies :


1. Kucing
Gejala Klinis : Pembengkakan, mual , muntah , tekanan darah menurun,
berkeringat, jantung berdetak tidak beraturan, kejang-kejang.
Penatalaksanaan :
a. Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang luka bekas gigitan,
menggunakan handscoon ketika memegang luka bila ada.
b. Mencuci daerah gigitan dengan sabun dan air hangat selama 5 menit.
Kemudian oleskan dengan krim antibiotik untuk mencegah infeksi.
Menutup luka gigitan dengan kassa steril.
c. Jika luka gigitan dalam, tekan luka dengan kain handuk bersih untuk
menghentikan perdarahan. Kemudian siram luka dengan air selama
10 menit dan segera bawa ke rumah sakit.
Pertolongan Lanjutan :
Saat di IGD hal yang perlu diperhatikan adalah :
Pemeriksaan
Debridement ( menghapus jaringan devitalisasi, partikulat dan
pembekuan yang dapat menjadi sumber infeksi )
Irrigation
Penutupan ( luka gigitan kucing dilakukan penutupan primer
tertunda ).
Terapi obat yang diberikan :
Antibiotik ( amoksilin 500 mg + klavulanat 125 mg, jika IM penisilin
prokain + PO amoksilin + klavulanat )
Imunisasi tetanus toxoid
2. Anjing
Gejala klinis :
a. Stadium Prodormal : Gejala-gejala awal berupa demam, malaise,
mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris : Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai
kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala
cemas dan reaksi yang berlebih terhadap rangsangan sensorik.
c. Stadium Eksitasi : Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meninggi
dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil
dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai
puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini adalah adanya
macam-macam fobi, yang sangat terkenal adalah hidrofobi.
d. Stadium Paralis : Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam
stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala
eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progesif. Hal ini
karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan
gejala paresis otot-otot pernafasan
Penatalaksanan :
a. Yang pertama dan paling penting adalah penanganan luka gigitan
untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk lewat luka
gigitan. Cara yang efektif adalah dengan membersihkan luka dengan
sabun atau detergen selama 10-15 menit kemudian cuci luka dengan
air (sebaiknya air mengalir) . Lalu keringkan 0engan kain dan beri
antiseptik seperti betadine atau alkohol 70%. Segera bawa ke pusat
pelayanan kesehatan. Di pusat pelayanan kesehatan, pencucian luka
akan kembali dilakukan. Biasanya memakai larutan perhidrol yang
dicampur dengan betadine kemudian dibilas dengan larutan fisiologis
macam NaCl.
b. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi.
Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi).
c. Kemudian pencegahan berikutnya adalah proteksi imunologi dengan
pemberian vaksin anti rabies (VAR ) terutama pada kasus yang
memiliki resiko untuk tertular rabies. Vaksin diberikan sebanyak 4
kali yaitu hari ke 0 (2 kali pemberian sekaligus), lalu hari ke 7 dan
hari ke21. Dosisnya 0,5 ml baik pada anak-anak maupun dewasa.
d. Pada luka yang lebih berat dimana terdapat lebih dari satu gigitan dan
dalam sebaiknya dikombinasi dengan pemberian serum anti rabies
SAR yang disuntikkan di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya
disuntikkan intra muskuler.
e. Selain itu harus dipertimbangkan pemberian vaksin anti tetanus,
antibiotika untuk pencegahan infeksi dan pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri

2.7. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN RABIES


1) Pengkajian
a. Status Pernafasan : Peningkatan pernapasan, takikardi, peningkatan
suhu (37,9º C), menggigil.
b. Status Nutrisi : Kesulitan dalam menelan makanan, berapa berat
badan pasien, mual dan muntah, porsi makanan dihabiskan, status
gizi.
c. Status Neurosensori : Adanya tanda-tanda inflamasi
d. Keamanan : Kejang, Kelemahan
e. Integritas Ego : Klien merasa cemas, Klien kurang paham tentang
penyakitnya
2) Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
b. Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks
menelan
c. Demam berhubungan dengan viremia
d. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi
e. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
f. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
3) Intervensi Keperawatan
a. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan
tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada
gangguan,
Kriteria hasil : Pasien bernafas tanpa ada gangguan
Intervensi:
1. Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
Rasional : Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi
pasien.
2. Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2
Rasional : O2 membantu pasien dalam bernafas.
3. Beri posisi yang nyaman.
Rasional: Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam
bernafas.
b. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks
menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi,
Kriteria hasil : Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan
porsi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi:
1. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami
pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan pasien
3. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan
meningkatkan asupan makanan.
4. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.
5. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap
hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
6. Kaloborasi pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program
dokter.
7. Rasional: Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan
muntah dan diharapkan nutrisi pasien meningkat.
8. Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien
c. Demam berhubungan dengan viremia Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan demam pasien teratasi,
Kriteria hasil : Suhu tubuh kembali normal (36 – 370C).
Intervensi:
1. Kaji saat timbulnya demam
Rasional : Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
2. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
Rasional : Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui
keadaan umum pasien.
3. Berikan kompres hangat
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan
dan mempercepat Penurunan suhu badan.
4. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program
dokter.
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan
suhu tinggi.
d. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang
penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat
kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,
Kriteria hasil : Cemas berkurang
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan keluarga.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara
apa yang akan digunakan.
2. Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
Rasional : Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan
mengurangi kecemasan keluarga.
3. Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.
Rasional : Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa
cemas keluarga Pasien.
e. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan. Setelah
diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami
cedera,
Kriteria hasil : Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
Intervensi:
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus.
Rasional : Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai
penyebaran virus.
2. Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di
ruang yang tenang dan nyaman.
Rasional : Tempat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi
stimuli atau ransangan yang dapat menimbulkan kejang.
3. Anjurkan klien istirahat.
Rasional : Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
4. Lindungi klien pada saat kejang dengan longgarakan pakaian,
posisi miring ke satu sisi, jauhkan klien dari alat yang dapat
melukainya, kencangkan pengaman tempat tidur, lakukan suction
bila banyak secret.
Rasional : Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya
cedera fisik.
5. Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya
sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala
lainnya yang timbul.
Rasional : Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan
berikutnya,
6. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi
keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang.
Rasional : Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan
penyakitnya dan gambaran status umum pasien.
7. Observasi efek samping dan keefektifan obat.
Rasional : Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng
untuk tindakan lanjut.
8. Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama
jantung.
Rasional : Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan
dan kelainan irama jantung.
9. Kerja sama dengan tim : pemberian obat antikonvulsan dosis
tinggi, pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin,
phenobarbital), pemberian oksigen tambahan, pemberian cairan
parenteral, pembuatan CT scan. Rasional : untuk mengantisipasi
kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat antikonvulsan
baik berupa bolus, syringe pump.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka setelah diberikan
tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda
infeksi.
Kriteria Hasil: Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti:
Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.
Intervensi:
1. Kaji tanda – tanda infeksi.
Rasional : Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi
dan untuk menentukan tindakan keperawatan berikutnya.
2. Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
Rasional : Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui
keadaan umum pasien.
3. Ajarkan teknik aseptik pada pasien.
Rasional : Meminimalisasi terjadinya infeksi.
4. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien..
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
5. Lakukan perawatan luka yang steril.
Rasional : Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya
infeksi.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau
tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang
dikeluarkan artropoda penyerang. Prevalensinya sama antara pria dan
wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena gigitan serangga
dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga,
seperti di perkebunan, persawahan, dan lain-lain. Secara sederhana gigitan
dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan
Non Venomous (tidak beracun).
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Daya toksin bias ular tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulakan beberapa reaksi toksik yang berbeda
pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap terhadap
suatu organ ; beberapa mempunyai efak pada hampir setiap organ.
Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh virus rabies. Rabies disebabkan oleh virus rabies
yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Penyakit ini
bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus
rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan misalnya oleh anjing,
kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing
gila.
3.2. Saran
Untuk masyarakat :
1. Untuk selalu berhati-hati saat berada di tempat yang semestinya
2. Bila terdapat seseorang yang tergigit sebaiknya beri pertolongan
terdahulu baru menelpon pihak Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Habif TP,ed.Clinical Dermatology: A. Color Guide To Diagnosis and therapy.


4th ed. Edinburgh; Mosby; 2004.p.531-36

Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta :
EGC ; 2000 p. 174-175

Wiryadi Be. Prurigo. In : Djuanda Adhi: Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin 3th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2005.p.272-275

Habif TP,ed.Clinical Dermatology: A. Color Guide To Diagnosis and therapy.


4th ed. Edinburgh; Mosby; 2004.p.531-36 

Muryani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta:


Tim/Trans Info Media

Sumitro, A. 2009. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Tim/Trans


Info Media

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2011. Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Ball, J. 1999. Pediactric Nursing Caring For Children. Singapura: A Simon &
Schuster Company.

Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current


Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The
South East Asia Region.

Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,


Pathmeswaran A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature
Analysis and Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and
Deaths. PLoS Med 5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218

Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan


Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30
Maret 2012)

Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104

Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :


http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite

Hafid, Abdul, dkk. 2006. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana. Buku ajar ilmu
bedah. Edisi revisi, EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai