Anda di halaman 1dari 5

Rusia memiliki metode pemroduksian dan pengolahan minyak dan gas (migas) yang berbeda dengan

negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, atau Eropa, yang biasanya digunakan di
industri migas Indonesia. Oleh karena itu, berguru migas di Rusia bak mendapatkan angin segar dalam
tata kelola migas di Indonesia. Setidaknya, itulah yang disampaikan dua mahasiswa Indonesia tamatan
Negeri Salju.

“Rusia memiliki sumber daya geologi terbanyak untuk migas di dunia. Untuk cadangan yang sudah
terbukti, Rusia memang hanya menempati posisi teratas untuk gas dan peringkat keenam untuk
minyak,” ujar Muhammad Iksan Kiat, mahasiswa Indonesia pertama yang meraih tiga ijazah merah (lulus
dengan predikat cum laude) di Rusia dan baru saja menamatkan pendidikan magister gelar ganda di
Universitas Negeri Minyak dan Gas Rusia Gubkin, Moskow.

Muhammad Iksan Kiat, mahasiswa Indonesia pertama yang meraih tiga ijazah merah (lulus dengan
predikat cum laude) di Rusia.

Panca Syurkani

Menurut perkiraannya, cadangan sumber daya geologi migas di Arktik Rusia dua kali lipat lebih banyak
daripada cadangan di negara-negara yang berada di kawasan Teluk Persia, seperti Kuwait, Bahrain, Irak,
Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Jadi, tak salah jika ia mengatakan bahwa Rusia adalah
negara yang sangat kaya akan cadangan energi.

Rusia memiliki metode yang berbeda dengan negara-negara lain dalam pemroduksian dan pengolahan
migas. Indonesia sendiri biasanya menggunakan metode-metode dari AS, Australia, atau Eropa.

“Kita selama ini menggunakan cara-cara Amerika, Australia, dan Eropa. Jadi, dengan mempelajari
metode Rusia kita bisa mendapatkan metode baru untuk diterapkan dalam bisnis migas di Indonesia,”
jelas Andi Mardianza, mahasiswa Indonesia yang juga menamatkan magisternya di Universitas Gubkin,
sewindu yang lalu.

Andi Mardianza, lulusan Universitas Gubkin Rusia yang kini bekerja sebagai Geoscientist Regional Studi
di PT Pertamina EP.

Arsip Pribadi
Hal itu diamini Iksan. Menurutnya, dengan belajar di Rusia ia bisa melihat ilmu permigasan tidak dari
sudut pandang Barat.

“Kita bisa melihat ilmu permigasan bukan dari pandangan Barat, tetapi pandangan Rusia. Kalau dari
pandangan Barat, saya bisa mempelajarinya di Indonesia, atau dari mana pun. Bahkan dari makalah-
makalah internasional pun bisa,” ujar anak sulung dari tiga bersaudara, putra pasangan Ridwan Kiat dan
Nurdjana itu.

Andi menambahkan, Rusia memiliki teori baru yang pastinya akan dibantah habis-habisan oleh negara-
negara Barat, seperti AS, misalnya. Menurut sarjana teknik geologi Institut Teknologi Bandung (ITB)
lulusan 2007 itu, dalam metode AS migas hanya berasal dari mikroorganisme yang terurai dan kemudian
berubah menjadi migas. Namun, tidak bagi Rusia — migas dapat juga dihasilkan dari reaksi kimia.

Lebih lanjut, Andi yang mengambil jurusan Geologi Perminyakan di Gubkin menjelaskan, Indonesia
sudah menekuni bisnis migas kurang lebih 50 tahun. Jadi, cara-cara yang selama ini dipakai mungkin saja
sudah jenuh. Cara-cara Rusia yang masih belum dikenal bisa menjadi peluang besar untuk memajukan
sektor migas Indonesia. Menurutnya, kita tidak akan mendapatkan hasil yang berbeda jika masih
menggunakan cara yang sama. Untuk itulah, lulusan-lulusan Rusia bisa mengembuskan angin segar
dalam tata kelola permigasan nusantara.Pada 2007, saat Andi menamatkan pendidikan sarjananya,
harga minyak dunia sedang dalam masa keemasannya. Banyak perekrutan dibuka perusahaan-
perusahaan raksasa migas asing di Indonesia. Namun, alih-alih bergabung ke bisnis “basah” itu,
Geoscientist Regional Studi di PT Pertamina EP itu malah memutuskan untuk berkuliah ke Rusia.
Alasannya, ia melihat banyak orang yang terjun ke permigasan Indonesia mengenyam pendidikan di AS,
Australia, atau Eropa. Itulah mengapa metode-metode negara itu menguasai sektor produksi dan
pengolahan migas Nusantara. Sementara, jarang sekali orang yang berguru permigasan ke Rusia,
padahal Rusia adalah salah satu negara yang unggul dalam sektor itu.

Sebenarnya, lelaki kelahiran Sumatra Selatan 36 tahun yang lalu itu mengaku hanya iseng mendaftar
beasiswa ke Rusia. Itu pun setelah diberi tahu teman kosnya, yang awalnya sangat berminat, tetapi
akhirnya batal mendaftar. Semua informasi tentang beasiswa yang dimiliki sang teman pun akhirnya
diwariskan ke Andi.

“Dulu yang sangat berminat itu teman kos saya. Namun, karena berbagai pertimbangan akhirnya dia
batal mengirimkan dokumen ke Pusat Kebudayaan Rusia (PKR). Akhirnya dia menawarkan dan
menjelaskan cara-caranya kepada saya. Ya, akhirnya saya putuskan untuk mencoba. Ditambah lagi,
seperti yang saya katakan sebelumnya, ahli migas Indonesia biasanya belajar di AS, Australia, Eropa,
atau Inggris. Acuan teori studinya American minded atau Australian minded. Saya berpikir kita tidak bisa
seperti itu. Kita harus terbuka untuk semua aliran. Jadi, saya pun iseng-iseng mencoba mendaftar.
Akhirnya, saya diterima di Gubkin,” kenang sulung dari lima bersaudara, putra pasangan Rison dan
Muslidah itu.

Berbeda dengan Andi, keinginan Iksan untuk berkuliah ke Rusia sangat menggebu-gebu. Ia bahkan
meninggalkan kuliahnya di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Indonesia (UI) setelah
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Rusia pada 2013. Sebenarnya itu adalah kedua kalinya dia
melamar beasiswa ke Rusia. Pada 2012, dia kurang beruntung sehingga akhirnya mengambil pilihan
untuk berkuliah di UI melalui jalur undangan.Iksan menghabiskan dua semester di UI, tetapi dia merasa
HI tidak sejalan dengan minat yang ditekuninya, yaitu fisika, kimia, dan matematika. Pandangannya
terbuka ketika membaca buku Blood and Oil karya Michael T. Klare. Dari buku itu ia mengetahui, bisnis
perminyakan dapat merubah tatanan dunia dan menciptakan perang di mana-mana. Menurut lelaki
yang gemar berolahraga, menyanyi, dan menulis puisi itu selama migas masih eksis sebagai energi
internasional, permintaannya masih tinggi dalam seratus hingga dua ratus tahun ke depan, negara yang
menguasai minyak bisa menjadi negara yang kaya. Itulah yang melecutnya untuk mendalami industri
migas, yang juga sejalan dengan minatnya.Selain mengetahui bahwa Rusia adalah salah satu negara
yang kaya akan sumber daya migas, Iksan juga mengaku tertarik berkuliah di Negeri Salju karena
kekagumannya akan negara itu.

“Rusia adalah negara yang sangat besar dan tentunya memiliki warisan sejarah yang luar biasa besar
pula. Luas wilayah Rusia mencapai seperdelapan daratan bumi dan lebih besar dari Pluto. Dengan
demikian, pastinya diperlukan kemampuan manajemen dan teknologi yang luar biasa untuk mengelola
wilayah sebesar itu,” jelas Wakil Ketua Perkumpulan Insinyur Perminyakan Indonesia (Wilayah Rusia)
periode 2020 – 2021 itu.

Ia juga menambahkan, sebagai negara terbesar pecahan Uni Soviet, Rusia tentu juga mewarisi banyak
hal-hal luar biasa dari Negeri Tirai Besi: Soviet menempati peringkat keenam dalam hal peraih
Penghargaan Nobel, Yuri Gagarin adalah orang pertama yang ke luar angkasa, banyak penemu adalah
orang Soviet, diantaranya penemu tabel sistem periodik Mendeleev, radio, helikotper, kereta listrik,
yang ia yakini masih terus dikembangkan hingga saat ini.

Baik Andi maupun Iksan sepakat, mempelajari metode pemroduksian dan pengolahan migas Rusia
adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari di negara lain dan dapat menjadi salah satu nilai jual yang besar
saat terjun ke sektor migas di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk melihat salju juga menjadi salah satu
pertimbangan mereka untuk menuntut ilmu di Negeri SaljuBagi Andi, pengalaman belajar di Rusia
memberikan kesempatan yang luar biasa karena bisa belajar langsung dari negara adidaya yang memiliki
kemandirian dalam ilmu pengetahuan.

“Dari segi ilmu pengetahuan, Rusia memiliki kemandirian. Dia tidak belajar dari negara lain, dan belajar
sendiri sampai maju. Jadi, kita tau negara adidaya itu seperti apa,” tegasnya.

Ia mengamini para seniornya yang mengatakan “berkuliah di Rusia layaknya mondok di pesantren” —
sebagian besar aktivitas dihabiskan hanya berkisar di asrama dan kampus. Dengan demikian, ia bisa
sangat fokus untuk belajar..Sebagai pekerja profesional yang telah tujuh tahun menggeluti permigasan,
Andi mengatakan bahwa lulusan Rusia memiliki potensi yang besar untuk berkarir di Indonesia. Ia
kembali menyinggung bahwa cara-cara Rusia masih kurang dikenal dan itulah nilai jual bagi para yang
dimiliki para lulusan Rusia.

Akan tetapi, ia menekankan, para perantau ilmu di Rusia harus benar-benar mendalami teknik yang
diterapkan Rusia dalam tata kelola migasnya, seperti memproduksi, mengolah dan mengelola sumber-
sumber energi yang masih dan akan tetap menjadi primadona di seluruh penjuru dunia hingga waktu
yang masih sangat lama itu.

"Dalami ilmunya, kuasai tekniknya, jangan hanya sekedar tahu. Harus bisa mengerjakannya! Misalnya,
dalam memproduksi migas kita harus bisa mengerjakannya, tahu alat-alat dan teknologi yang
dibutuhkan, berapa harga alat-alatnya, bagaimana proses pemroduksiannya, dan apakah bisa
diterapkan di Indonesia," tegas Andi.

Menurutnya, Indonesia masih memiliki tantangan yang besar untuk migas. Sebagai negara yang masih
mengimpor migas Indonesia terus berupaya untuk mengurangi volume impornya. Itulah mengapa
Indonesia sangat membutuhkan angin-angin segar untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Ia
menilai, untuk mendapatkan hasil yang berbeda tidak bisa menggunakan cara yang sama seperti yang
telah digunakan kurang-lebih selama lima dasawarsa belakangan ini. Itulah mengapa Indonesia
membutuhkan “angin segar” yang dibawa oleh para tamatan-tamatan jurusan migas Rusia. Ketika
seseorang menawarkan metode baru (metode Rusia) ke perusahaan migas di Indonesia, kesempatan
mereka akan lebih tinggi untuk direkrut.
"Ketika punya cara baru, lulusan Rusia memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan peluang direkrut juga
semakin besar. Akan tetapi, metode yang ditawarkan itu harus ia kuasai dan dapat diterapkan di
Indonesia," ujar suami dari Cindy Dianita dan ayah dari Fusyathir Galushkinanza (Galushkin diambil dari
nama profesor pembimbing tesis masternya di Gubkin) itu.

Anda mungkin juga menyukai