Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan pasien COVID-19 bergantung pada tingkat keparahannya.

Pada pasien dengan


gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah. Pada pasien dengan penyakit berat atau risiko
pemburukan, maka perawatan di fasilitas kesehatan diperlukan.

Terapi Suportif untuk Gejala Ringan


Pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah. Pasien
disarankan untuk menggunakan masker terutama saat melakukan kontak dengan orang lain.
Beberapa terapi suportif, seperti antipiretik, antitusif, dan ekspektoran dapat digunakan untuk
meringankan gejala pasien

Antipiretik/Analgetik

Pemberian antipiretik/analgetik diberikan apabila pasien memiliki temperatur ≥38 °C, nyeri
kepala, atau mialgia. Pilihan terapi antipiretik/analgetik yang dapat diberikan ketika dibutuhkan
adalah paracetamol 500–1.000 mg PO setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis 4.000 mg/hari
atau ibuprofen 200–400 mg PO setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis 2.400 mg/hari. Pada
pasien COVID-19, penggunaan paracetamol lebih disarankan daripada ibuprofen karena
ibuprofen memiliki luaran yang lebih buruk.[6,20]

Antitusif & Ekspektoran

Pemberian antitusif dan ekspektoran berfungsi untuk menurunkan gejala batuk pada pasien
COVID-19. Apabila pasien mengalami batuk berdahak, maka pemberian ekspektoran dapat
diberikan untuk mengencerkan sputum. Pilhan antitusif yang dapat diberikan pada pasien adalah
dextromethorphan 60 mg setiap 12 jam atau 30 mg setiap 6–8 jam PO. Terapi ekspektoran yang
dapat diberikan adalah guaifenesin 200–400 mg setiap 4 jam PO, atau 600-1.200 mg setiap 12
jam PO, atau ambroxol 30–120 mg setiap 8–12 jam PO.[6,20]

Terapi Suportif untuk Gejala Berat


Pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat perlu dirawat di fasilitas kesehatan.
Pengendalian infeksi dan terapi suportif merupakan prinsip utama dalam manajemen pasien
COVID-19 dengan gejala yang berat.

Intubasi dan Ventilasi Mekanik Protektif

Intubasi endotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas hipoksemia. Tindakan ini dapat
dilakukan oleh petugas terlatih dengan memperhatikan kemungkinan transmisi airborne.
Preoksigenasi dengan fraksi oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit dapat diberikan dengan bag-
valve mask, kantong udara, high flow nasal oxygen, dan non-invasive ventilation.
Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih rendah (4–8 ml/kg berat badan) dan
tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).[1,20]

Ventilasi Noninvasif

Penggunaan high flow nasal oxygen (HFNO) atau non-invasive ventilation (NIV) digunakan saat


pasien mengalami gagal napas hipoksemia tertentu. HFNO dapat diberikan dengan aliran
oksigen 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0. Pada anak-anak, aliran oksigen umumnya hanya
mencapai 15 L/menit. NIV tidak direkomendasikan pada pasien gagal napas hipoksemia atau
penyakit virus pandemi karena bersifat aerosol dan berisiko mengalami keterlambatan
dilakukannya intubasi dan barotrauma pada parenkim paru.[1,20]

Medikamentosa
Sampai sekarang, belum terdapat terapi spesifik anti-COVID-19. Akan tetapi, beberapa agen
telah ditemukan memiliki efikasi dan sedang dalam tahap uji coba.

Remdesivir

Remdesivir merupakan agen antiviral spektrum luas yang ditemukan dapat menginhibisi


replikasi dari virus Corona pada manusia. Beberapa studi telah menunjukkan efikasi remdesivir
pada pasien COVID-19 dengan gejala sedang atau berat. Di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan
Cina, obat ini telah masuk uji coba klinis fase 3. Dosis yang disarankan untuk pasien dengan usia
lebih dari 40 kg adalah 200 mg dosis awal pada hari pertama, diikuti 100 mg sebagai dosis
pemeliharaan pada hari kedua.
Durasi optimal untuk terapi COVID-19 sampai sekarang masih belum diketahui. Akan tetapi,
pada pasien dengan kondisi berat yang membutuhkan ventilasi mekanik atau extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO), remdesivir disarankan untuk diberikan selama 10 hari. Pada
pasien yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik atau ECMO, durasi pengobatan yang
disarankan adalah 5 hari dan apabila kondisi klinis tidak membaik dapat diperpanjang sampai 5
hari dengan maksimal total 10 hari.[6,7,34]

Klorokuin/Hidroksiklorokuin

Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang telah digunakan pada


beberapa kondisi autoimun karena efek imunomodulatornya. Pada penelitian in vitro, baik
klorokuin maupun hidroksiklorokuin dilaporkan dapat menginhibisi SARS-CoV-2. Akan tetapi,
studi mengenai efikasi klorokuin dan hidroksiklorokuin sampai sekarang masih sangat terbatas
dengan hasil yang belum memiliki kepastian.
Selain itu, penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat menyebabkan efek samping berat,
seperti gangguan irama jantung dan gangguan mata berat. Oleh sebab itu, FDA tidak
menganjurkan penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai pengobatan darurat apabila
fasilitas uji klinis tidak tersedia atau tidak layak.[6,7,35]

Lopinavir-Ritonavir

Lopinavir dan ritonavir merupakan obat inhibitor protease yang digunakan pada infeksi HIV.


Beberapa studi in vitro menemukan bahwa kombinasi agen ini dapat melawan SARS-CoV 2.
Akan tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang diberikan lopinavir-
ritonavir 400/100 mg 2 kali sehari selama 14 hari tidak memiliki efek yang signifikan terhadap
perbaikan klinis maupun penurunan mortalitas, jika dibandingkan dengan terapi standar.[6,7]

Tocilizumab

Tocilizumab merupakan inhibitor interleukin-6 (IL-6) yang umum digunakan pada rheumatoid


arthritis atau systemic juvenile idiopathic arthritis. Obat ini dilaporkan dapat menurunkan
kerusakan pada jaringan paru akibat infeksi COVID-19 yang serius. Dalam panduan penanganan
COVID-19 di Cina, obat ini dianjurkan pada pasien COVID-19 gejala berat dengan peningkatan
kadar IL-6.[6,7]
Beberapa studi telah menunjukkan pemberian tocilizumab dapat meningkatkan perbaikan klinis
pada pasien. Studi lebih besar dibutuhkan untuk evaluasi efikasi dan keamanan penggunaan obat
ini.[36,37]

Vitamin C Dosis Tinggi

Studi meta analisis oleh Lin et al yang melibatkan 4 uji acak terkontrol dan 2 uji retrospektif
menyatakan bahwa vitamin C dosis tinggi (>50 mg/kg/hari) dapat secara signifikan mengurangi
angka kematian pasien dengan sepsis berat. Akan tetapi, penambahan vitamin C dosis tinggi
sebagai terapi sepsis berat tidak mengurangi lama perawatan di ICU. Hasil ini didukung hasil
meta analisis oleh Li et al yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara pemberian
vitamin C pada kasus sepsis dengan kesintasan yang lebih baik dan penggunaan durasi
vasopresor yang lebih pendek.[38,39]
Namun uji acak terkontrol berikutnya tidak menunjukkan bahwa pasien sepsis yang diberikan
vitamin C IV mengalami penurunan mortalitas.[40]
Saat ini, uji klinis mengenai penggunaan vitamin C pada kasus COVID-19 sedang berlangsung
di Cina. Uji klinis tersebut membandingkan antara kelompok plasebo dan kelompok intervensi
vitamin C dosis tinggi dengan dosis 12 gram 2 kali sehari selama 7 hari secara intravena.[39,41]

Oseltamivir

Oseltamivir merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya untuk pengobatan influenza A


dan B. Obat ini bekerja dengan menghambat neuraminidase yang terdistribusi pada permukaan
virus, sehingga mencegah penyebaran virus pada tubuh pasien. Obat ini banyak digunakan di
Cina sebagai terapi COVID-19, tetapi belum banyak bukti yang menunjukkan efektivitas obat
ini. Oseltamivir telah direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
sebagai pengobatan COVID-19 untuk pasien dengan gejala ringan sampai berat dengan dosis 75
mg/12 jam PO selama 5–7 hari.
Akan tetapi, tampaknya telah terjadi salah penafsiran pada awal pandemi bahwa oseltamivir
direkomendasikan oleh pedoman dari Amerika Serikat sebagai terapi influenza musiman,
sehingga obat ini ditujukan untuk pasien dengan gejala influenza yang secara klinis bisa saja
pasien tersebut menderita COVID-19. Saat ini, oseltamivir sudah tidak dianjurkan dalam
pedoman tersebut.[36,42]

Umifenovir

Umifenovir merupakan agen yang telah disetujui di negara Rusia dan Cina sebagai terapi dan
profilaksis influenza. Obat ini bekerja dengan menginhibisi fusi virus dengan sel inang. Efikasi
umifenovir sebagai terapi COVID-19 sampai sekarang masih sangat terbatas. Studi Wang et
al menunjukkan bahwa pengobatan umifenovir dapat meningkatkan tingkat pemulangan pasien
dengan penurunan tingkat kematian.
Namun, studi Huang et al menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup untuk
membuktikan penggunaan umifenovir dapat memperbaiki luaran klinis. Berdasarkan pedoman
penanganan COVID-19 di Indonesia, penggunaan umifenovir masih tidak disarankan karena
membutuhkan studi lebih lanjut.[36,43]

Nitazoxanide

Nitazoxanide merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk terapi diare infeksius yang
berhubungan dengan parasit dan enteritis. Beberapa studi lain juga telah menunjukkan bahwa
obat ini memiliki efek antiviral dengan mengganggu translasi seluler virus, reproduksi, dan
penyebaran virus.
Walaupun berdasarkan teori obat ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi COVID-19, studi
lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan obat ini. Obat ini juga
masih belum disetujui penggunaannya di Indonesia.[44]

Camostat Mesylate

Camostat mesylate merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya di Jepang untuk
pengobatan pankreatitis. Studi telah menunjukkan bahwa camostat mesylate dapat menginhibisi
infeksi SARS-CoV-2 dari sel paru dengan cara menghambat protease TMPRSS2 pada sel inang
yang dibutuhkan virus untuk infeksi. Sampai sekarang, belum ada studi yang menunjukkan
efikasi dan keamanan obat ini untuk pasien COVID-19, sehingga penggunaannya masih tidak
disarankan.[45,46]

Interferon Tipe I (IFN-I)

Interferon tipe I (IFN-I) merupakan salah satu sitokin yang diproduksi saat infeksi virus. IFN-I
akan dikenali oleh reseptor IFNAR pada plasma membran kebanyakan sel dan
mengaktivasi interferon-stimulated genes (ISG) yang berperan dalam mengganggu replikasi
virus dan meningkatkan imunitas adaptif. Pada studi binatang, telah ditemukan bahwa IFN-1
lebih sensitif terhadap SARS-CoV-2 daripada coronavirus lainnya. Sampai sekarang, studi
mengenai efikasi dan keamanan terapi IFN-1 pada pasien COVID-19 masih berlanjut.[47]

Azithromycin

Azithromycin merupakan antibakteri yang memiliki efek antiviral yang signifikan seperti pada
virus ebola, Zika, respiratory syncytial virus, influenza H1N1, enterovirus, dan rhinovirus.
Azithromycin dapat mengganggu masuknya virus dalam sel inang dan meningkatkan respons
imun terhadap virus. Berapa studi sudah menunjukkan efikasi azithromycin pada COVID-19.
Studi lebih lanjut mengenai azithromycin sebagai monoterapi pada pasien COVID-19 perlu
dilakukan. Berdasarkan pedoman COVID-19 di Indonesia, pemberian azithromycin dianjurkan
pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19 dengan dosis 1x500 mg PO selama 5
hari untuk kasus ringan dan 500 mg/24 jam IV atau PO selama 5–7 hari untuk kasus sedang
sampai berat.[22,23,48]

Kolkisin

Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang umum digunakan sebagai terapi gout. Obat ini
bekerja dengan mengganggu migrasi neutrofil ke daerah inflamasi dan menghentikan kompleks
inflamasi dari neutrofil dan monosit. Pada pasien COVID-19, efek ini berfungsi untuk
menurunkan inflamasi miosit kardiak. Efek kolkisin dalam menurunkan badai sitokin pada
pasien COVID-19 sampai sekarang masih diteliti lebih lanjut. Penggunaan kolkisin pada pasien
COVID-19 juga belum direkomendasikan dan menunggu studi yang lebih besar.[36]
Plasma Konvalesen

Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen memiliki luaran klinis yang lebih
baik dan dapat menurunkan tingkat kematian. Studi pemberian plasma konvalesen pada pasien
COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang sedang diteliti pada berbagai senter uji klinis di
seluruh dunia. Dosis baku yang diperlukan sampai sekarang masih belum dapat ditentukan dan
masih menunggu kepastian dari studi di berbagai negara.
Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan plasma pasien COVID-19 yang sudah sembuh
dengan metode plasmaferesis kepada pasien COVID-19 yang berat atau mengancam nyawa.[22]

Terapi Lainnya.

Penggunaan kortikosteroid, seperti dexamethasone kini telah terbukti dapat menurunkan


mortalitas pada kasus COVID-19 yang berat, yaitu pasien yang mendapatkan intubasi dan
ventilasi mekanik atau non-invasive ventilation (NIV) atau high flow nasal oxygen (HFNO).
Dexamethasone tidak diindikasikan pada kasus COVID-19 yang ringan dan hanya diberikan jika
ada indikasi tertentu.[49]
Penggunaan antibiotik juga harus diberikan sesuai kemungkinan etiologi. Pada keadaan sepsis,
antibiotik empiris dapat diberikan dalam waktu 1 jam. Pada pasien COVID-19 yang diterapi
menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), ditemukan memiliki luaran yang buruk.
Penggunaan OAINS dapat diberikan hanya jika terdapat indikasi klinis.[1,20]

Pengendalian Infeksi
Pasien suspek COVID-19 harus dirawat di kamar isolasi dengan pintu tertutup dan menggunakan
masker bedah. Tenaga kesehatan yang merawat harus dilengkapi dengan alat pelindung diri
(APD) yang memadai.[10]
Vaksinasi
Pengembangan vaksin COVID-19 menggunakan DNA, mRNA, protein rekombinan, dan vektor
adenovirus kini sedang banyak diteliti. Beberapa vaksin, seperti INO-4800, mRNA-1273, Ad5-
nCoV, LV-SMENP-DC, dan pathogen-specific aAPC sedang dalam proses uji klinis manusia
fase 1. Saat ini, di Indonesia juga sedang dilakukan penelitian fase III vaksin COVID-19 oleh
Universitas Padjadjaran bersama dengan Sinovac Biotech.[7]

Anda mungkin juga menyukai