SKRIPSI
Diajukan Sebagai SAlah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S. Ag)
OLEH:
M. SARIFUDIN
SALATIGA
2017
iv
v
vi
MOTTO
vii
PERSEMBAHAN
يــــــــم
ِ َّح
ِ ــــــــه اىس
ِ ْــــــــم اىيَّــــــــ ِه اىسَّحْ َم
ِ ِتس
Dengan penuh ketulusan hati dan segenap rasa syukur kepada Allah Swt.,
1. Ibu Umi Nafisah/Umarsih dan Bapak Sumari (Alm) serta Bapak Ihwan yang
2. Ibu Sri Ambarwati dan Bapak Hanafi yang telah mendukung, memotivasi,
5. Dr. Hasani Ahmad Said. M.Pd. yang telah membimbing penulis sehingga bisa
hidup tumbuh dan berkembang dalam kebaikan dan ketaatan, antara lain: Mr.
Walyono, S.Pd.I., CT., CM., Ibu Juariyah, Bapak Hidayatullah DAHA, Ibu
viii
Maghfurin, Nur Afandi, Suyadi, Bapak Sujatmiko, Bu Arna, Pak Rozak, Ibu
Latifah.
7. Keluarga besar Public Speaking Class (PSC); Bapak Walyono, Pak Azis,
dan mendukung; Adam, Ali, Riza, Lia, Nisa, Nabila, Iva, Dewi.
ix
KATA PENGANTAR
يــــــــم
ِ َّح
ِ ــــــــه اىس
ِ ــــــــم اىيَّــــــــ ِه اىسَّحْ َم
ِ تِ ْس
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
terbatas, sehingga dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.
skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati
2. Bapak Dr. Beny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab
dan Humaniora.
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir.
4. Bapak Dr. Muh. Irfan Helmy, Lc. MA., selaku Dosen Pembimbing
Akademik.
x
xi
ABSTRAK
M. Sarifudin, 2017. “Kajian Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Tela‟ah
atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah)”. Skripsi. Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang
Kuswaya, M.Ag.
Kata Kunci: Munasabah, Tafsir Al-Qur‟an.
Adanya perbedaan pendapat diantara ulama tentang Munasabah dalam
penafsiran Al-Qur‟an, ada yang setuju dan tidak. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk mengkaji teori Munasabah dan tela‟ah terhadap surah Ar-Rahman
dalam Tafsir Al-Mishbah. Selain itu juga penulis ingin meneliti sejauh mana
validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah dalam tafsirnya.
Dengan analisis (1) Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam
ilmu Al-Qur‟an? (2) Bagaimana ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-
Mishbah? (3) Bagaimana penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman
dalam Tafsir Al-Mishbah? (4) Bagaimana penerapan Munasabah antara surah Ar-
Rahman dengan surah sebelum dan sesudahnya?. Untuk menjawab permasalahan
di atas, maka penulis mengkaji kitab Tafsir Al-Mishbah dan buku-buku yang
mengkaji tentang Munasabah untuk mengetahui definisi Munasabah dan
kedudukannya, mengetahui ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah,
mengetahui penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-
Mishbah, dan mengetahui penerapan Munasabah antara surah Ar-Rahman dengan
surah sebelum dan sesudahnya.
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian studi pustaka yang dilakukan
dengan menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan,
dengan metode library research dan literature yang dilakukan dengan
mengumpulkan sumber data primer berupa Kitab Tafsir Al-Mishbah karya M.
Quraish Shihab dan sumber data sekunder yang berupa buku-buku yang mengkaji
tentang Munasabah. Adapun tekhnik analisis data yang dilakukan ada tiga tahap
yaitu; metode deduktif yang dilakukan dengan menganalisis bab II kajian
Munasabah dalam pandangan umum, bab III ragam kajian Munasabah dalam
kitab Tafsir Al-Mishbah, dan bab IV penerapan Munasabah antarayat dan
antarsurah Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, kemudian metode Conten
Analysis dan Reflektif Thinking dengan menganalisis isi untuk mengetahui
tingakat validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah.
Adapun hasil dari penelitian yaitu: (1) Munasabah secara bahasa artinya
kedekatan, secara istilah adalah adanya hubungan antarayat dan antarsurah.
Munasabah memiliki kedudukan yang penting dalam „Ulumul Qur‟an wa Tafsir.
(2) Tafsir Al-Mishbah memiliki 6 spesifikasi Munasabah ayat dan 8 spesifikasi
Munasabah surah. (3) Penerapan Munasabah ayat dalam surah Ar-Rahman ada 5
spesifikasi. (4) Penerapan Munasabah surah dalam surah Ar-Rahman ada 6
spsifikasi.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL................................................................................................................ i
LEMBAR BERLOGO........................................................................................... ii
JUDUL.................................................................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN............................................................................ v
MOTTO............................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN............................................................................................... viii
KATA PENGANTAR........................................................................................... x
ABSTRAK........................................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1
xiii
BAB II PERAN MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN AL-
QUR‟AN……………………………………………………………….……..... 14
A. Munasabah Ayat...................................................................................... 73
B. Munasabah Surah..................................................................................... 96
A. Kesimpulan............................................................................................ 106
B. Saran....................................................................................................... 107
xiv
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Pustaka
2. Riwayat Hidup Penulis
3. Foto Profil M. Quraish Shihab
4. Cover Kitab Tafsir Al-Mishbah
5. Nota Pembimbing Skripsi
6. Lembar Konsultasi
xvi
xvii
xviii
xix
xx
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai kitab
hidayah atau kitab petunjuk kehidupan manusia. Di samping itu, kitab suci
Al-Qur‟an juga berfungsi sebagai kitab mukjizat yang memperlihatkan bahwa
Al-Qur‟an bukan ucapan Nabi Muhammad Saw., bukan ucapan dari Malaikat
Jibril, dan bukan pula ucapan makhluk lainnya. Al-Qur‟an adalah kalamullah
atau firman Allah yang merupakan citra diri-Nya, karena kalam merupakan
salah satu sifat-Nya diantara sifat-sifat-Nya yang lain. Jika Al-Qur‟an
merupakan kitab mukjizat, mukjizatnya berbeda dengan mukjizat-mukjizat
yang lain yang pernah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa
perbedaan antara mukjizat Al-Qur‟an dan mukjizat nabi-nabi terdahulu.
Karena kemukjizatan nabi-nabi terdahulu bersifat hissi atau sesuatu yang bisa
dideteksi oleh panca indra. Sedangkan mukjizat Al-Qur‟an bersifat
ma‟nawiyah atau tidak bisa dideteksi oleh pancaindra, tetapi oleh perasaan,
akal, pikiran, dan perenungan yang mendalam. Mukjizat Al-Qur‟an tidak
pernah lekang oleh waktu, karena bersifat ma‟nawiyah. Dengan kata lain,
mukjizat ma‟nawiyah lebih hebat daripada mukjizat hissiyyah. Allah
menjadikan mukjizat akhir zaman sebagai mukjizat yang ma‟nawiyah.
Karena perjalanan kehidupan manusia semenjak Nabi Adam As. Sampai Nabi
Muhammad Saw. Sudah sedemikian lama dan berbagai eksperimen
kehidupan telah dijalani oleh umat manusia.1
Seperti diketahui bahwa kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟an tidak
diceritakan secara runtut kecuali pada kisah Nabi Yusuf As. Kisah dalam Al-
1
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. xi-xxi
1
Qur‟an tidak diceritakan secara terperinci, karena umat manusia dituntut
untuk memikirkan dan mempelajari hikmah yang dapat diambil dari cerita-
penjelasannya dari Nabi Saw. dan para sahabat. Oleh karena itu, ilmu
2
Ibid., hlm. xii-xiii.
2
Munasabah dikategorikan sebagai ilmu yang tidak wajib dipelajari. Jika
merupakan salah satu cabang Ilmu Al-Qur‟an. Banyak diantara mereka yang
Mahmud Syaltut (w. 1963), Ma‟ruf Dualibi, dan Imam Asy-Syaukani (w.
3
Ibid.
4
Usman, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 169.
3
diperbolehkan. Dengan kata lain, mencari-cari Munasabah adalah kegiatan
yang menghabiskan waktu dan tidak menghasilkan manfaat.5
Sedangkan ulama yang peduli dan setuju terhadap unsur Munasabah
dalam Al-Qur‟an antara lain:6
1. Al-Thabari (w. 310 H).
2. Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H).
3. Al-Razi (w. 606 H).
4. Al-Harrali Abu Al-Hasan (w. 637 H).
5. Al-Gharnathi, Ahmad bin Ibrahim Al-Zubair, Abu Ja‟far (w. 708 H) dalam
kitab Al-Burhan fi Munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur‟an.
6. Al-Biqa‟i (w. 885 H) dalam kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-
Suwar yag diringkas dalam kitab DilAlah Al-Burhan Al-Qawim „Ala Tanasub
Al-Qur‟an Al-Azhim.
7. Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab Tanasuq Al-Darur fi Tanasub Al-Suwar
yang diringkas dalam kitab Asrar Al-Tanziil dan kitabnya yang lain adalah
Marashid Al-MathAli fi Tanasub Al-Maqashid wa Al-MathAli‟.
8. Syekh Sajaqli Zadah Al-Mursyi (w. 115 H), pengarang kitab Nahr Al-Najat fi
Bayan Munasabat Umm Al-Kitab.
5
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. xv.
6
Ibid., hlm. xiv.
4
mengetahui susunan dan urutan satu ayat. Oleh karena itu, ilmu Munasabah
adAlah ilmu yang sangat baik. Hubungan antara ilmu ini dan ilmu tafsir
bagaikan hubungan antara ilmu bAlaghah dan ilmu nahwu.7
Al-Qur‟an. Di sini penulis juga ingin meneliti sejauh mana validitas atau
Qur‟an. Untuk mencapai hasil yang maksimal, akan disisipi beberapa kitab
dikarenakan di dalam surah itu ada ayat yang terulang sejumlah 31 kali, tentu
B. Rumusan Masalah
7
Ibid., hlm. xvi.
5
1. Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam Ilmu Al-
Qur‟an?
Tafsir Al-Mishbah?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat
Qur‟an.
Tafsir Al-Mishbah.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
c. Bagi para calon Sarjana dalam bidang Al-Qur‟an, bisa sebagai wacana
d. Bagi masyarakat muslim secara umum, bisa sebagai ilmu dan wacana
2. Manfaat Praktis
berikut:
segala perintah dan larangan serta peringatan Allah Swt dalam surah
kehidupan sehari-hari.
7
c. Masyarakat menjadi tahu serta paham, bahwa dalam mempelajari Al-
Qur‟an ada sisi terkecil dan bahkan sering terabaikan, tapi begitu besar
E. Penegasan Istilah
2. Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang
fenomena alamiah.
3. Munasabah secara bahasa, berasal dari bahasa arab dari kata ( مناسبة- يناسب
)ناسبKata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujaradnya ( نسبnasaba)
yang berarti hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Ahmad bin Faris
bin Zakariya, V, 1967: 423). Kata nasab juga dapat berarti keturunan,
sebab keturunan itu adalah adanya hubungan antara orang tua dengan
anak-anaknya. Munasabah berarti muqarabah ( )مقاربةatau kedekatan dan
kemiripan. Hal ini tentunya antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan
tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada
8
sebagian saja.8 Atau ة – يَ ْىسُةُ – وَ َسثا ً – وِ ْسثَةً) اى َّس ُج َو
َ )وَ َسyang berarti
menyebutkan asal laki-laki.9
)ُ َذ َمس وَ َسثَه: ة – وَ َسثا ً – َووِ ْسثَةً – اى َّس ُج ُو
َ )وَ َسyang berarti menyebutkan nasabnya
(keturunannya).10
Munasabah secara istilah adalah adanya kecocokan, kepantasan,
dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah, atau
Munasabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam
Al-Qur‟an, baik pada surah maupun pada ayat-ayatnya yang
menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lain.11
4. Penafsiran asli katanya tafsir, secara etimologi berasal dari kata Al-fasru
5. Al-Qur‟an secara etimologi adalah masdar dari qara‟a yang berarti tAla
(membaca) atau jama‟a (mengumpulkan). Masdar qara‟a untuk tAla
bermakna isim maf‟ul (obyek) yang artinya bacaan. Adapun untuk kata
jama‟a bermakna isim fa‟il (subyek) artinya yang mengumpulkan, karena
dalam al-Qur‟an terkumpul berbagai berita dan hukum.13 Jadi Al-Qur‟an
menurut bahasa dapat berarti himpunan, kumpulan, dan bacaan.14
Al-Qur‟an menurut istilah adalah, antara lain:
- Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
- Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.
- Dinukilkan secara mutawatir.
- Membacanya bernilai ibadah.
8
Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: Lokus, 2012), hlm. 39.
9
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2007), Hlm. 449.
10
A.w. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 1404H/1984M), hlm. 1509.
11
Ibid.
12
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan Dasar-
dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014), hlm. 40.
13
Ibid., hlm. 5.
14
Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: Lokus, 2012), hlm. 2.
9
- Tertulis dalam mushaf, diawali dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah Al-Nas.15
6. Tela‟ah, kata tela‟ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
makna Maha Pengasih. Ar-Rahman adalah salah satu Asma‟ul Husna yang
F. Fokus Penelitian
berbagai sudut pandang dan teori. Meskipun tidak semua ulama sepakat
tidak beserta alasannya. Salah satu yang sepakat dengan adanya munasabah
Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan
fashilah (penutupnya), antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata
15
Ibid., hlm. 3.
10
dalam satu ayat, antara kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat
terakhir, dalam satu surah. Kedua, Munasabah surah yang ditelisik melalui
antara awal surah dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan akhir surah
sebelumnya, antara tema surah dan nama surah, antara penutup surah dan
uraian awal surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya dalam satu
surah, antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih Al-suwar
(Pembuka Surah) dan isi surah. Penelitian ini difokuskan pada tela‟ah dan
G. Penelitian Terdahulu
Qur‟an wa Tafsir hanya Hasani Ahmad Said dalam bukunya yang berjudul
tema penelitian penulis kali ini. Maka penulis di sini mencoba untuk
mengembangkan lebih dalam dan spesifik lagi dari penelitian yang dilakukan
hanya mengkaji, tapi juga melakukan analisis dan tela‟ah secara intens.
11
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
adalah berbagai tulisan yang relevan dengan judul yang penulis angkat.
a. Data yang bersumber dari teks Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟an dan
b. Data yang bersumber dari buku-buku atau karya tulis lainnya yang
2. Pendekatan Penelitian
Untuk mendapatkan data dan hasil yang maksimal dan tepat, maka
12
data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan,
berkaitan dengan tema pembahasan. Kemudian hasil dari data itu dianalisis
4. Metode analisis
metode analisis yang penulis gunakan adalah metode Analisis Isi (content
anAlysis).
I. Sistematika Penulisan
13
Qur‟an dari klasik hingga pramodern, Munasabah dalam tinjauan Ilmuwan
dalam satu surah, Munasabah antara kelompok ayat dalam surah, Munasabah
(Penutup Surah), Munasabah antara tema surah dan nama surah, Munasabah
antara fawatih al-suwar dan isi surah, Munasabah antara awal surah dan
14
BAB II
1. Pengertian Munasabah
16
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,,
hlm. 207.
15
dengan kAlimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat
lain dalam satu kelompok ayat, antara satu surah dengan surah lain.17
Kajian tentang Munasabah berawal dari kenyataan bahwa
memberi tahu tempat ayat-ayat itu dari segi sistematika urutannya dengan
(4) : 82), (QS. Hud (11) : 1), (QS. Al-Zumar (39) : 23).
17
Ibid., hlm. 208.
18
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 2.
16
Al-Qur‟an. dalam hal ini, Al-Zarkasyi (w. 1985 M) berkata,”sAlah satu
ciri perkataan yang baik adAlah adanya hubungan antara satu bagian dan
bagian lain sehingga tidak ada kAlimat yang terbuang”.19
Az-Zarkasyi memberi contoh Munasabah antara pembukaan suatu
surah dengan akhir surah sebelumnya. Misalnya surah Al-An‟am dimulai
َ ْت َو ْاألَز
dengan ض َ َ( ْاى َح ْم ُد هللِ اىَّ ِري َخيSegAla puji bagi Allah yang telah
َ ق اى َّس َم
ِ اوا
menciptakan langit dan bumi) sangat sesuai dengan ayat akhir surah Al-
ِ ْت َو ْاألَز
Ma‟idah sebelumnya ض ُ ( ِهللِ ُم ْيKepunyaan Allah lah kerajaan
ِ ل اى َّس َما َوا
langit dan bumi). Contoh lain pembukaan surah Al-Baqarah dengan اىــم
ُل ْاى ِنتَاب
َ ِ} َذى1{ (Alif lam mim. Kitab Allah) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa) menunjuk kepada ash-shirath pada
surah Al-Fatihah ( ا ْه ِدوَااىصِّ َساطَ ْاى ُم ْستَقِي َمTunjukilah kami jAlan yang lurus)
seolah-olah tatkala mereka meminta diberi petunjuk jalan yang lurus,
langsung dijawab, petunjuk menuju jalan yang lurus seperti yang kamu
minta itu adalah Al-Kitab (Al-Qur‟an ).20 Contoh lain dalam (QS. Al-
Baqarah (2) : 195). Bahwa Apakah ada kaitan langsung antara perintah
berinfak (Dan belanjakanlah harta bendamu di jAlan Allah) dengan
larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat
tersebut berdiri sendiri? Kalau kita renungkan lebih mendalam tentu akan
ditemukan kaitan logis antara dua bagian isi ayat tersebut. Apabila umat
islam, karena kikir atau kurangnya kesadaran akan pentingnya peran serta
aktif setiap orang dalam pendanaan semua amal usaha dan perjuangan
umat, tidak mau menyumbangkan sebagian harta bendanya untuk
perjuangan, maka tentu saja perjuangan itu tidak akan berhasil. Apabila
perjuangan tidak berhasil, dampak negatifnya juga akan dirasakan oleh
umat itu sendiri. Umat Islam akan tetap miskin, tertinggal dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kalah bersaing dengan umat-
umat lain, dan pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan mereka akan
19
Ibid.
20
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2,
hlm. 208.
17
dijajah, sekalipun tidak lagi dalam bentuk penjajahan fisik, tapi ekonomi,
politik, dan budaya. Hal itu berarti umat islam yang tidak mau berinfak
sengaja menghancurkan diri mereka sendiri.21
logis tentu akan semakin dapat diterima. Ada ayat-ayat yang mudah
dipahami hubungannya satu sama lain, tetapi tidak sedikit pula yang perlu
bisa saja antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu kelompok
dengan kelompok ayat yang lain atau antara satu kelompok ayat dengan
21
Ilyas, Yunahar, Cakrawala Al-Qur‟an Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek kehidupan
(Yogyakarta: Itqan Publishing, 2011), hlm. 200.
22
Ibid., hlm. 210.
18
kelompok ayat yang berdekatan tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi
1. Macam-Macam Munasabah
Satu Ayat
(2) : 195.23
Sebelumnya
23
Ibid.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2001), vol 7, hlm. 407.
19
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu kelompok
ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Misalnya Surah Al-Baqarah
ayat 1-20 tentang beberapa kategori manusia ditinjau dari segi
keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa,
yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek Iman,
Islam, dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang
kafir, yaitu orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat
selanjutnya 8-20 berbicara tentang orang-orang munafiq, yang di luar
mengaku beriman, tetapi di dalam mengingkari Allah SWT.25
25
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,,
hlm. 213.
20
e. Munasabah antara Satu Surah dengan Surah lainnya
a. Zhahir Al-Irtibath
26
Ibid., hlm. 214-215.
21
Kalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkan bisa
menimbulkan pemahaman yang keliru.27 Misalnya ayat 4 surah Al-
Ma‟un:
b. Khafiy Al-Irtibath
1) Irtibath Ma‟thufah
27
Ibid., hlm. 215.
22
dan apa yang naik kepada-Nya, sehingga kalimatnya menjadi
sangat serasi.28
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jAlan Allah),
maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembAlikan.
(QS. Al-Baqarah (2) : 245)
Kata kerja ( يقثطmenyempitkan) dalam ayat di atas adalah
bandingan atau nazir dari kata kerja ( يثصطmelapangkan). Tanpak
dalam ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat Allah
menyempitkan dengan kalimat melapangkan (rezki). Sehingga
kalimatnya menjadi sangat serasi.29
Sedangkan untuk Al-Madhahah (lawan katanya) dapat
dilihat contohnya pada ayat-ayat yang menyebut rahmah setelah
azab, raghbah (dorongan melakukan sesuatu) setelah ruhbah
(ancaman untuk tidak melakukan sesuatu). Sudah menjadi
kebiasaan Al-Qur‟an, setelah menyebut hukum tertentu Al-Qur‟an
menyebut sesudahnya janji pahala dan ancaman dosa agar
menjadi pendorong untuk melaksanakan hukum yang disebutkan
sebelumnya. Kemudian menyebut ayat-ayat tauhid (mengesakan
Allah SWT) agar manusia mengetahui keagungan Allah Yang
Maha Memerintah dan Maha Melarang. Contoh-contoh
Munasabah jenis ini banyak terdapat dalam surah Al-Baqarah,
An-Nisa‟, dan Al-Maidah.30 Salah satu contohnya adalah setelah
menjelaskan panjang lebar hukum waris dam Surah An-Nisa‟ ayat
7-12, lalu Allah menyampaikan janji dan ancaman pada ayat 13
28
Ibid., hlm. 217.
29
Ibid., hlm. 217-218.
30
Ibid., 218.
23
dan 14. Ada juga jenis irtibath ma‟thufah yang lebih sulit
diketahui kecuali dengan melakukan penelitian lebih mendalam.31
2) Irtibath Ghairu Ma‟thufah
Jika irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat
a) At-Tanzir
31
Ibid., hlm. 220.
32
Ibid., hlm. 222.
24
b) Al-Madhadhah
menunjukkan ketaqwaan.
d) At-TakhAllush
33
Ibid., hlm. 222.
25
Zamakhsyari dalam buku Kuliah Ulumul Qur‟an karya
Diakui secara umum bahwa susunan ayat dan surah dalam Al-Qur‟an
memiliki keunikan yang luar biasa. Sesungguhnya tidak secara urutan saat
wahyu diturunkan dalam subjek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang
Maha Tahu, karena Dia sebagai pemilik kitab tersebut. Jika seseorang
bertindak sebagai editor yang menyusun kembali kata-kata buku orang lain
dan mengubah urutan kalimat, tentu akan mudah mempengaruhi seluruh
isinya. Oleh sebab itu, hasil akhir tidak dapat diberikan kepada pengarang
kerena hanya sang pencipta yang berhak mengubah kata-kata dan materi guna
menjaga hak-haknya. Demikian ungkapan M. Al-Azhami.35
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, bahwa tertib Al-Qur‟an adalah
membaca al-Qur‟an dengan berurutan disetiap bagiannya sesuai dengan yang
34
Ibid., hlm. 224.
35
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 25.
26
tertulis di mushaf-mushaf dan dihafal di dada dan para penghafalnya.
Menurutnya tertib al-Qur‟an dibagi menjadi 3, yaitu tertib kata, ayat, dan
surah.36
1. Tertib kata, yaitu setiap kata dalam ayat diletakkan pada tempatnya. Hal
ini berdasarkan nash dan ijmak. Kami tidak mengetahui ada yang berbeda
pendapat tentang wajib tertib kata ini dan haram menyelisihinya. Sehingga
Alhamdu lillahi rabbil „Alamin tidak boleh dibaca lillahil hamdu rabbil
„Alamin.
2. Tertib ayat, yaitu setiap ayat diletakkan pada tempatnya di dalam surah.
Hal ini berdasarkan nash dan ijmak. Menurut pendapat yang rajah hukum
tertib ayat ini wajib dan haram menyelisihinya. Sehingga
arrahmanirrahim mAliki yaumid din tidak boleh dibaca mAliki yaumid din
arrahmanirrahim.
3. Tertib surah, yaitu setiap surah diletakkan pada tempatnya di dalam
mushaf. Ini berdasarkan hasil ijtihad maka hukumnya tidak wajib.
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‟an terdiri dari susunan ayat dan
36
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan Dasar-
dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014), hlm. 31-33.
27
(„aqli), fisik (hissi), dan imajinatif (khayAli) tanpa mengupas lafal-lafal
menurut makna peristilahan bahasa ataupun pemikiran filosofis. Sebagian
besar kaitannya berkisar sebab dan akibat (musabbab), sifat dan yang disifati
(„illah wa ma‟lul), antara dua hal yang mirip (an-nazhirain), serta berhadapan
sebagai lawan (adhiddad). Misalnya, menyebut rahmat lawan dari azab,
menerangkan surga dan neraka, mengarahkan hatu nurani setelah
membangkitkan akal pikiran, dan memberikan peringatan setelah
mengutarakan ketentuan hukum. Ketentuan fitrah logika mempunyai daya
tangkap yang tajam dan lembut untuk dapat mengetahui persesuaian antara
ayat-ayat. Oleh sebab itu, segi-segi yang samar dan memerlukan penjelasan
tidak banyak lagi, kecuali kaitan yang ada dalam surah-surah.37
37
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 27.
38
Ibid.
28
kali Al-Naisaburi duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur‟an
kepadanya, ia berkata, mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan
apa rahasia diletakkan di samping surah ini? jadi beliau mengkritik para
ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.39
39
Ibid., hlm. 28.
40
Fath, Amir Faisal, The Unity of Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Kautsar, 2010), hlm. 40-41.
29
- DAla‟il Al-Qur‟an
- Al-Muqtadab fi syarh
Kitab Al-Wasith fi I‟jaz
Al-Qur‟an
Al-Jurjani (w. 471 H) - Asrar Al-BAlaghah
- DAla‟il Al-I‟jaz
- RisAlah Al-Syafiyyah
fi I‟jaz
30
Hakim
Ila Al-Qur‟an Al-
Mahmud Syaltut (w. 1963 H)
Karim
XV Sa‟id Hawwa Al-Asas fi Al-Tafsir
41
Ashshiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 95.
31
Buthi tidak membahas Munasabah dalam kitabnya yang berjudul Min Rawa‟
Al-Qur‟an. M. Quraish Shihab dalam bukunya Sejarah dan „Ulum Al-Qur‟an
memasukkan kajian Munasabah dalam bahasan pokok-pokok kajian „Ulum
Al-Qur‟an.42
Pada tataran praktisnya, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para
mufassir mengenai pengistilahan Munasabah. Fakhruddin Ar-Razi
menggunakan istilah ta‟Alluq sebagai sinonim Munasabah. Hal ini terlihat
ketika ia menafsirkan Surah Hud (11) ayat 16-17. Ia menulis sebagai berikut:
ketahuilah bahwa pertAlian (ta‟Alluq) antara ayat ini dan ayat sebelumnya
jelas, yaitu apakah orang-orang kafir itu sama dengan orang yang
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya; sama dengan orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang itu tidaklah
memperoleh di akhirat kecuali neraka.43
Kemudian ulama‟ yang lain seperti Sayyid Quthb (w. 1966 M) dalam
Tafsir fi ZhilAl Al-Qur‟an menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti
istilah Munasabah. Seperti ketika beliau menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat
188. Rasyid Ridho (w. 1935 M) menggunakan istilah Al-ittishAl dan Al-ta‟lil.
Hal ini terlihat ketika menafsirkan Surah Al-Ma‟idah ayat 30. Al-Alusi (w.
1854 M) menggunakan istilah tartib ketika menafsirkan kaitan surah maryam
dan thaha.44
Wacana ilmu Munasabah erat kaitannya dengan latar belakang
diskursus kedudukan tartib Al-Mushaf (penyusunan surah-surah dalam
mushaf Al-Qur‟an). Polemik yang mengemuka sebagaimana telah diulas di
awal adalah apakah penyusunannya berdasar pada taqifi atau ijtihadi. Jika
penyusunannya berdasarkan petunjuk Nabi atau yang lebih dikenal dengan
tauqifi, atau penyusunannya berdasarkan wahyu. Maka penyusunannya tidak
42
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 31.
43
Ibid.
44
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilal Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Ihya‟ Al-Tijari Al-Arabiyyah,
1386), hlm. 99.
32
serampangan, tetapi mengandung nilai-nilai filosofi atau hikmah yang sangat
dalam, melebihi karya susunan yang dibuat manusia biasa. Oleh sebab itu,
pertanyaannya menjadi, apakah perlu Munasabah dalam penafisiran Al-
Qur‟an?45 Dalam bahasan tartib Al-ayat wa Al-suwar, tauqifi yang dimaksud
di atas adalah hanya dalam hal ayat, bukan pada bahasan surah. Hal ini
sebagaimana Khalid Utsman Al-Sabt menulis dalam Kitab Kaidah berikut:
Susunan tauqifi terdapat pada ayat, bukan (pada bahasan) surah.
Kalau melihat kaidah di atas, tidak ada jalan untuk berijtihad lagi
dalam hal tauqifi susunan ayat, tetapi masih terbuka pintu ijtihad untuk tartib
fi Al-suwar. Penyusunan tartib Al-Mushaf yang bukan berdasarkan kronologi
turunnya (tartib Al-nuzul) pada hakikatnya mendorong untuk mengkaji
susunan setiap surah yang ada pada mushaf. Setiap sesuatu yang telah
tersusun mempunyai alasan mengapa susunanya seperti itu atau apakah
susunannya sudah memiliki hubungan yang serasi antara satu dan lainnya.
Ukuran yang digunakan untuk menilai apakah serasi atau tidak adalah melalui
kemampuan pengungkapan bahasa sebagai citra rasa kemampuan yang
dimiliki oleh manusia.46
Perbedaan akademik yang terjadi di kalangan para ulama terdapat
pada hal tartib Al-Mushaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para
petunjuk Nabi SAW (tauqifi). Kalau tauqifi, tidak perlu adanya Munasabah
karena peristiwa yang terjadi saling berlainan. Al-Qur‟an juga diturunkan dan
diberi hikmah secara tauqifi. Dengan kata lain, Al-Qur‟an turun atas petunjuk
45
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 34.
46
Ibid., hlm. 35.
33
Pendapat pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa surah-surah
Al-Qur‟an disusun berdasarkan tauqifi. Sudah merupakan kepastian dari
Rasulullah membaca berbagai surah menurut susunan ayatnya masing-masing
di dalam shalat atau khutbah Jum‟ah yang disaksikan para sahabatnya.
Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang nenyatakan bahwa susunan
dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari
Nabi sendiri. Dengan demikian, dalam mendukung pendapat pertama, hal ini
tidak mungkin apabila sahabat Nabi menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda
dengan bacaan Rasulullah SAW. hal ini merupakan kepastian yang tidak
dapat diragukan kebenarannya (mutawatir).47
Susunan dan urutan surah pun berdasarkan kehendak dan petunjuk
Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan
surah Al-Qur‟an. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan
sebaliknya. Dengan kata lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan
surah Al-Qur‟an disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad
mereka sendiri. Lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa beberapa surah disusun urutannya menurut kehendak dan
petunjuk Rasulullah SAW. Pendukung pendapat ini adalah Abu Ja‟far bin
Nuhas (w. 338 H), Al-Kirmani, Ibnu Al-Hashar (w. 611 H), Abu Bakr Al-
Anbari (271-328 H), dan Al-Baghawi (w. 286 H). Landasan pendapat
pertama ini adalah berdasarkan hadis Rasulullah SAW bersabda:48
Saya diberikan tempat Taurat dalam Al-Sab‟a Al-ThiwAl, tempat
Zabur dalam surah Al-Mi‟un, tempat Injil dalam surah Al-Matsani dan
47
Ibid., hlm. 36.
48
Ibid.
34
surah yang terdapat dalam Al-Qur‟an. ketiga, adanya perbedaan pendapat
mengenai tertib surah ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas.
Selain itu, alasan lain yang mengemukakan bahwa susunan surah sebagai
ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah
mendengar Nabi membaca berbeda dengan tartib Al-Mushaf yang sekarang
dan tentang adanya catatan mushaf sahabat yang mutawatir. Di samping itu,
tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu
hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur‟an. oleh karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tartib Al-Mushaf sahabat sangat besar. Para
sahabat pun telah sepakat bahwa susuna ayat adalah tauqifi. Ulama yang
mendukung pendapat kedua ini, antara lain Imam Malik, Abu Bakr Al-Thib
Al-Baqilani, Al-Zarkasyi, dan Al-Suyuthi.49
Salah satu Hadis yang mendukung pendapat ini adalah larangan
menulis sesuatu yang datang dari Nabi. Abu sa‟id Al-Khudhuri meriwayatkan
dari Rasulullah SAW. beliau bersabda, “Janganlah kAlian menulis (hadis)
dariku. Dan barang siapa menulis dariku selain Al-Qur‟an, maka hendaknya
ia menghapusnya.” (HR. Muslim)50
Pendapat ketiga, serupa dengan pendapat pertama yang menyatakan
bahwa kecuali Surah Al-Anfal dan Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama
Salaf yang urutan surahnya bervariasi. Pendukung pendapat ketiga ini,
diantaranya Al-Qadhi Abu Muhammad bin Athiyyah (w. 498 H), Al-Baihaqi,
dan Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H). Pendapat Al-Baihaqi terlihat dalam
karyanya, Al-MakhAl. Ia berpendapat bahwa Al-Qur‟an pada masa Nabi telah
tersusun surah-surah dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushaf,
kecuali surah Al-Anfal dan Bara‟ah.51
Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga, secara efektif penulis
akan menjelaskan sejarah pemeliharaan Al-Qur‟an yang mengalami lima
tahapan; pertama, tahap pencatatan pada masa Nabi; kedua, tahap
49
Ibid., hlm. 39.
50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 42.
35
penghimpunan pada masa Abu Bakar (w. 634 M); ketiga, tahap penggandaan
pada masa Utsman bin Affan (w. 656 M); keempat, tahap percetakan; kelima,
tahap pengajaran diberbagai dunia islam.52
Menurut analisis penulis setelah mengkaji dan menela‟ah realitas
dalam sejarah, ternyata pada masa Abu Bakar setelah terbentuk panitia
penghimpunan Al-Qur‟an, terungkap bahwa Zaid bin Tsabit (w. 665 M) dan
panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari Surah At-
berikut:
Dari Ubaid bin Al-Sabbaq ra., sesungguhnya Zaid bin Tsabit ra.
Berkata,”Abu Bakar datang kepadaku di medan ahli Yamamah. Ketika itu
Umar berada di sampingnya.” Abu Bakar kemudian berkata,”sesungguhnya
Umar mendatangiku, kemudian ia berkata,”sesungguhnya peperangan pada
hari Yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya) qurra‟
dibeberapa medan perang (lainnya) sehingga banyak ayat hilang
(karenanya) dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan
kepadamu supaya mengumpulkan Al-Qur‟an.‟ Abu Bakar bertanya kepada
Umar,‟Mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah SAW?‟ Umar menjawab,‟Demi Allah! Ini adAlah perbuatan
baik.‟oleh sebab itu tidak henti-hentinya Umar menjumpai (mendesak) aku
sampai Allah melapangkan hatiku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan
aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.‟ Abu
Bakar berkata,‟Sesungguhnya kamu (Zaid) adAlah seorang pemuda yang
cerdas. Kami tidak menuduh berperasangka buruk kepadamu dan
sesungguhnya kamu adAlah penulis wahyu Al-Qur‟an untuk Rasulullah SAW.
oleh sebab itu, pelajarilah Al-Qur‟an kemudian kumpulkan.” Zaid kemudian
52
Ibid., hlm. 43.
36
berkata,”Demi Allah, seandainya mereka membebani aku untuk
memindahkan gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku
daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Al-
Qur‟an.” Aku menanyakan kepada Abu Bakar,”Mengapa engkau melakukan
sesuatu yang tidak diperintahkan Rasulullah SAW?” Abu Bakar
menjawab,”Demi Allah, itu adAlah perbuatan baik. Oleh karena itu, Abu
Bakar tidak henti-hentinya berulang kAli mendesak aku sampai Allah
melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar ra.
Dan Umar ra. Aku lAlu mempelajari Al-Qur‟an dan mengumpulkan dari
pelepah kurma, batu-batu, serta hafAlan para sahabat sampai aku mendapat
catatan akhir Surah Al-Taubah pada Abu Huzaimah Al-Anshari. Aku tidak
menemukannya pada seorang pun selain ia, yaitu ayat: Sungguh, telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu Alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang
beriman. Maka jika mereka berpAling (dari keimanan), maka katakanlah
(Muhammad),”Cukupkanlah Allah bagiku; tidak ada tuhan (singgasana)
yang agung.” (QS. Al-Taubah (9) : 128-129) sementara dalam hadits lain
berikut ini: Suhuf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia wafat, kemudia
disimpan Umar bin Al-Khaththab selama masa hayatnya, kemudian
disimpan oleh Hafsah binti Umar ra.” (HR. Al-Bukhari) 53
Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang
adalah Umar bin Al-Khathab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung
ditolak oleh Abu Bakar. Tercatat pula bahwa orang yang pertama kali
mengumpulkan dan menulis Al-Qur‟an adalah Zaid bin Tsabit atas komando
53
Ibid., hlm. 43-44.
37
Selanjutnya, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada Surah
Timur maupun Barat. Hal ini bisa menjadi celah kekeliruan dan kekurangan
wafatnya Rasulullah SAW adalah dengan merujuk kepada para sahabat dan
tabi‟in yang ahli di bidang ini. Allah pun memberikan pertolongan dengan
memanjangkan umur sejumlah sahabat dan para ahli sebagai marji‟ (tempat
perdebatan tentang Munasabah dan hal ini merupakan ilmu Allah yang tidak
54
Ibid., hlm. 38.
38
penyusun mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan
sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang lain
mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain yang tidak
sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga tidak dicatatkan ayat-ayat untuk
orang lain, tetapi semata untuk mereka pribadi. Oleh karena itu, ketika umat
islam sepakat menerima mushaf yang disusun oleh Khalifah Utsman bin
Affan, secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing. Di
sini mulai ada benang merah, yaitu kalau mereka yakin bahwa
penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, tentulah mereka akan tetap
berpegang pada susunan menurut catatan mereka masing-masing dan tidak
mau menerima urutan yang disusun oleh Utsman bin Affan.55
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al-Qur‟an
wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari Nabi (tauqifi).
yang telah baku, bahkan Imam Ahmad bin Hambal dan Ima Hakim
55
Ibid.
39
C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuan Al-Qur’an dari Klasik hingga
Pramodern
bahwa karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling
tidak ada dua ulama klasik yang dijadikan acuan dalam pemikiran
56
Ibid., hlm. 46.
57
Ibid.
40
berpendapat bahwa susunan surah itu tauqifi. Dalam memberikan analisis
Munasabah sususnan surah, ia mengangkat topik tentang pembuka surah
dengan akhir surah sebelunya. Misalnya, surah Al-An‟am diawali dengan Al-
hamd (pujian) bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, sementara
pada akhir surah sebelumnya, yaitu Surah Al-Ma‟idah, diakhiri dengan
mengagungkan Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Begitupun
dengan Surah Al-Hadid yang dimulai dengan tasbih memiliki korelasi dengan
Surah Al-Waqi‟ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih. Contoh lainnya
adalah Al-Zarkasyi mengetengahkan awal Surah Al-Baqarah yang berbicara
tentang tidak ada keraguan di dalam Al-Qur‟an yang mempunyai Munasabah
dengan surah sebelumnya yang memohon agar diberi petunjuk.58
Setelah memberikan penjelasan tentang Munasabah antarsurah, Al-
Zarkasyi membahas mengenai pertautan ayat. Ada tiga analisis yang
diberikan olehnya, yaitu terdapat kalimat bersambung (ma‟thufah), sisipan
(istithrad), dan perumpamaan (tamsil). Dalam menjelaskan analisis pertama
dan kedua, Al-Zarkasyi memberikan tiga ayat dari dua surah yang berbeda,
yaitu QS. Al-hadid (57): 4), serta QS. Al-Baqarah (2): 245 dan 189).59
Al-Zarkasyi memiliki kompetensi dalam ketelitian dan kepiawaian
membuat korelasi antara satu ayat dan ayat berikutnya. Ini semakin
menguatkan bahwa Al-Qur‟an memiliki hubungan yang sangat erat antara
satu dan yang lainnya.
Ulama klasik yang kedua adalah Burhanuddin Al-Biqa‟i. Ia mampu
merangkum pemikirannya mengenai Munasabah dalam Nazhm Al-Durar fi
Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Haji Khalifah memuji kitab ini dengan
mengatakan, Sungguh luar biasa! Sebelumnya tidak ada seorang pun yang
menulis tentang kesatuan Al-Qur‟an sebaik Al-Biqa‟i. Kitab ini mampu
mengupas dan mengungkap rahasia-rahasia Al-Qur‟an. Uraiannya pun
sangat bernapas dan mudah dipahami. Nazhm Al-Durar tidak bisa
disepadankan dengan karya siapa pun. Tidak ada kitab yang kualitasnya
58
Ibid., hlm. 48.
59
Ibid., hlm. 48-50.
41
mendekati kualitas kitab ini. Di dalamnya terdapat tafsir komprehensif dan
cermat terhadap Al-Qur‟an. Dalam karya ini, Al-Biqa‟i banyak menyebut
tokoh yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan ilmu
Munasabah. Hal ini berarti bahwa Al-Biqa‟i bukan orang yang pertama
memulai kajian Munasabah. Al-Biqa‟i menyebut sejumlah tokoh, diantaranya
Al-Hashimi, Al-Zarkasyi, dan Al-Razi (606 H/1210 M). Dalam pandangan
Al-Biqa‟i, ilmu Munasabah pada umumnya adalah kajian tentang hubungan
logis antara sejumlah susunan ayat atau ide sehingga diperoleh keterkaitan
satu ayat atau kandungan dengan ayat atau kandungan sebelum dan
sesudahnya.60
Tela‟ah Al-Biqa‟i dalam beberapa hal memang mayakinkan pembaca
tentang keserasian Al-Qur‟an. Selain itu, ia mampu membuktikan adanya
hubungan yang sesuai dalam sistematika Al-Qur‟an, baik dari kata demi kata
dalam ayat-ayatnya, surah demi surah, maupun antara kandungan surah dalam
Al-Qur‟an. Misalnya, ada Munasabah antara Surah Al-Fatihah sebagai surah
pertama dan Surah Al-Nas sebagai surah terakhir yang diawali dengan qul
a‟udzu. Alasannya, bukankah sebelum membaca Surah Al-Fatihah kita
diperintahkan berta‟awuz memohon perlindungan-Nya seperti dalam QS. Al-
Nahl (16): 98. Oleh sebab itu, bisa jadi Surah Al-Nas (114) yang berada di
urutan terakhir dalam mushaf, bisa juga menjadi surah pertama. Keseriusan
Al-Biqa‟i mencari titik Munasabah Al-Qur‟an terbukti setelah melakukan
penelaahan mendalam yang menghabiskan waktu lebih kurang empat belas
tahun untuk menyusun kitab Nazhm Al-Durar fi Tansub Al-Ayat wa Al-
Suwar. Tidak hanya itu, dalam pengantar tafsirnya, ia merenung berbulan-
bulan memikirkan hubungan ayat seperti ketika ia mengamati QS. Ali Imran
(3):121 dan QS. Al-Nisa‟ (4). Al-Biqa‟i menegaskan bahwa siapa yang
memahami kehalusan dan keindahan susunan kalimat yang terdapat pada
surah ini, ia akan mengetahui bahwa Al-Qur‟an adalah mukjizat dari segi
60
Ibid., hlm. 50-52.
42
kefasihan lafalnya dan kemuliaan makna yang terkandung di dalamnya; di
samping kemukjizatannya juga disebabkan oleh susunan kata dan surahnya.61
61
Ibid., hlm. 52.
62
Zaid, Nashr Hamid Abu, Al-Qur‟an Hermeneutika dan kekuasaan, diterjemahkan oleh
Dede Iswadim, et. All., (Bandung: RQiS, 2003), hlm. 135.
62
Ibid., hlm. 18.
43
modernitas diimplementasikan oleh kalangan muslim sepanjang abad XII.
Demikian ungkapan Abu Zaid.63
Meskipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas
kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai-nilainya bertentangan
dengan Islam atau berasal dari legislasi manusia. Oleh karena itu, menjadi
penting di sini untuk menilai dan mengurai tinjauan ilmuwan kontemporer
dalam konteks Munasabah Al-Qur‟an. Di antara sarjana kontemporer yang
mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur‟an adalah Amin Al-
Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalafullah (1895-1998), Aisyah
Abdurrahman Bintu Al-Syathi‟ (1913-1998 M), Muhammad Arkoun (1928-
2010 M), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010 M), Muhammad Abid Al-jabiri
(1936-2010 M), Hasan Hanafi (L. 1935), Muhammad Sahrur (L. 1938),
Fazlur Rahman (L. 1919-1988), Manna‟ Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-
1999M), dan Sa‟id Hawwa (1935-1985 M). Tokoh yang bisa dikatakan
pengkaji „Ulum Al-Qur‟an kontemporer ni sebagian besar memiliki berbagai
bekal metodologi baru dan mencoba mendekati Al-Qur‟an dengan kacamata
baru. Meskipun produk kajian mereka tersebut, baik setuju maupun tidak,
baik mengundang pro maupun kontra; yang jelas studi mereka terhadap Al-
Qur‟an menyegarkan dan menggairahkan kembali diskursus Islamic Studies
yang selama ini lesu atau mungkin dianggap sebagian kalangan sudah mapan
dan final.64
J.J.G. Jansen menyebutkan bahwa di Mesir dalam perkembangan
tafsir Al-Qur‟an telah diintroduksi oleh Muhammad Abduh (1949-1905 M)
dan Amin Al-Khuli (w. 1769 M). Belakangan, cara pandang Al-Khuli
terhadap tafsir banyak direalisasikan oleh istrinya yang dikenal dengan Bintu
Al-Syathi‟ yang bernama lengkap Aisyah Abdurrahman (L. 1913), seorang
pakar sastra Arab di Universitas Ain Syams, Mesir. Dalam karyanya Al-Tafsir
Al-bayani li Al-Qur‟an Al-Karim, meskipun ia hanya mengeksplorasi 14
63
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 54.
64
Ibid., hlm. 55.
44
surah pendek dalam Juz „Amma, tetapi banyak kalangan menyambut karya ini
sebagai mahakarya yang penting.65
Bintu Al-Syathi‟ sangat memperhatikan Munasabah dalam
penafsirannya. Menurutnya, Surah Al-fajr mengandung nilai moral yang
sangat tinggi serta memiliki hubungan antara ayat satu dan lainnya. Ia
membagi surah tersebut ke dalam tiga golongan ayat. Pertama, ayat 1 sampai
14 membicarakan tentang pelajaran dari kaum Ad, Tsamud, Fir‟aun yang
zalim dan korup. Kedua, ayat 15 sampai 16 menunjukkan kerusakan moral
mereka karena godaan kekayaan semata dan menunjukkan karakter sifat
syaithaniyyah. Ketiga, ayat 17 sampai 20 menyatakan bahwa kerusakan moral
menyebabkan mereka menjadi yatim, tidak memiliki solidaritas social, serta
tidak mampu membedakan mana yang dilarang dan mana yang
diperbolehkan. Selanjutnya, sebagai penutup surah dikemukakan mengenai
pengadilan Tuhan dan ganjaran di hari kiamat.66
Contoh lainnya adalah kitab Al-Asas fi Al-Tafsir. Cara pandang Sa‟id
Hawwa dalam menafsirkan ayat tentang infak yang terdapat pada QS. Al-
Baqarah (2): 254 kemudian dirangkaikan dengan ayat berikutnya (ayat kursi),
yaitu ayat 255. Ia menegaskan bahwa di antara hikmah ditempatkannya ayat
kursi setelah ayat perintah untuk berinfak adalah tida ada satu infak pun,
melainkan harus di jalan Allah dan agama yang semestinya dipilih oleh
manusia adalah agama Allah. Dengan demikian, orang yang tidak mengenal
Allah berarti ia menduga Allah tidak masuk ke dalam urusan ibadah atau,
paling tidak, syariat yang dikerjakan kurang sempurna.67
Selain Bintu Al-Syathi‟ dan Sa‟id Hawwa, ulama kontemporer yang
membahas Munasabah secara serius adalah Nashr Hamid Abu Zaid.
Ungkapannya menarik untuk disimak karena ia membandingkan antara asbab
Al-nuzul dan Munasabah. Ia mengatakan bahwa Al-nuzul berkaitan dengan
kronologis konteks sejarah, sedangkan Munasabah berkaitan dengan nilai
pertautan antara ayat dan surahnya menurut urutan teks. Maksudnya, jika
65
Ibid., hlm. 56.
66
Ibid.
67
Ibid., hlm. 57.
45
ilmu asbab Al-nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks
sejarahnya, fokus perhatian ilmu Munasabah adalah antarayat dan antarsurah,
bukan pada kronologis historis dari bagian-bagian teks, melainkan aspek
pertautan antarayat dan surah menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan
urutan bacaan sebagai lawan dari urutan turunnya.68
Catatan penting dari Abu Zaid ketika ia memahami Munasabah
antarayat dan surah adalah bahwa teks merupakan kesatuan structural yang
antarayat dan surah itu tugas mufassir. Oleh karena itu, mufassir mempunyai
68
Ibid.
69
Ibid., hlm. 59.
46
hubungan umum („Alaqah „ammah). Hubungan khusus lebih bersifat
stilistika-kebahasaan (uslubiyyah lughawiyyah), sementara hubungan
umum lebih berkaitan dengan isi kandungan. Hubungan stilistika-
kebahasaan ini tercemin dalam pernyataan bahwa Surah Al-Fatihah
diakhiri dengan doa ihdina Al-shirat Al-Mustaqim, shirath Alladzina
an‟amta „Alaihim ghair Al-Maghdhubi „Alaihim wa la Al-dhAllin. Doa ini
mendapatkan jawaban pada permulaan Surah Al-Baqarah, yaitu Alif lam
mim, dzAlika Al-kitabu la raiba fihi hudan li Al-Muttaqin. Berdasarkan hal
itu, dinyatakan bahwa teks tersebut adalah bersinabungan (muttashil).70
Abu Zaid menjelaskan urutan surah dalam mushaf berdasarkan
kaidah, mendahulukan hAl yang universAl sebagaimana yang terdapat
dalam Surah Al-Fatihah kemudian Surah Al-Baqarah yang menjelaskan
hukum-hukum. Sementara itu, Surah Ali Imran memuat jawaban atas
keraguan musuh terhadap hukum-hukum tersebut, sedangkan surah Al-
Nisa‟ dan Al-Ma‟idah berfungsi sebagai perincian hukum yang berkaitan
dengan berbagai bentuk hubungan. Selanjutnya, dua surah berikutnya,
yaitu Al-An‟am dan Al-A‟raf dan menjelaskan tujuan dan sasaran syariat
dari perincian hukum-hukum tersebut.71
Dari beberapa keterangan di atas, ada beberapa poin yang bisa
diambil untuk dijadikan kesimpulan. Pertama, ada munasbah antarsurah
yang tidak memerlukan interpretasi, hanya saja didasarkan pada hubungan
kebahasaan dan pengulangan (repetisi). Contohnya, Surah Al-Waqi‟ah
(56):96 yang diakhiri dengan perintah bertasbih dan Surah Al-Waqi‟ah
(56):1 yang diawali dengan tasbih. Begitu pula Surah Al-Isra‟ (17) dan Al-
Kahfi (18). Meskipun tidak seperti bentuk pertama, yaitu akhir dan awal
surah, Munasabah antara Surah Al-Isra‟ dan Al-Kahfi adalah berupa
tasbih, hanya saja tasbih dalam Surah Al-Isra‟ dalam bentuk doa. Di
samping itu, Surah Al-Isra‟ simulai dengan mahasuci (Allah), yang telah
memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari, sementara
70
Ibid.
71
Ibid., hlm. 60.
47
Surah Al-Kahfi dimulai dengan segala puju bagi Allah yang telah
menurunkan Kitab (Al-Qur‟an) kepada hamba-Nya. Dengan kata lain,
tasbih muncul mendahului tahmid sehingga diucapkan subhan Allah wa al-
hamdu li Allah. Kedua, hubungan kebahasaan semantic sebagaimana
diterangkan di atas. Ketiga, hubungan surah pendek yang kontras yang
ditemukan antara Surah Al-Ma‟un (107) dan Al-Kautsar (108) juga antara
Surah Al-Dhuha (93) dan Al-Insyirah (94).72
72
Ibid., hlm. 61.
73
Ibid., hlm. 63.
48
kata lain, seperti dua hal yang sama dan serupa. Namun hubungan
keduannya terkadang berlawanan, seperti Munasabah antara rahmat yang
disebut setelah siksa atau senang setelah takut. Kebiasaan Al-Qur‟an yang
agung adalah menyebut hukum lalu menyebut janji dan ancaman. Hal itu
membangkitkan dorongan untuk mengamalkan apa yang sudah disebutkan,
kemudian menyebut ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah agar diketahui
keagungan Zat yang memerintah dan melarang.74
Menurut Abu Zaid, mencari titik Munasabah ayat antara Surah Al-
Isra‟ dan kisah Bani Isra‟il dapat diungkap melalui dua sudut. Pertama,
peristiwa isra‟ bertujuan memperlihatkan yang gaib, yaitu dengan kisah-
kisah Al-Qur‟an. Peristiwa Isra‟ merupakan penglihatan yang gaib dan
metafisika, sementara kisah merupakan berita atau penjelasan mengenai
hal-hal gaib yang historis. Kedua, ada kesamaan antara Isra‟ Muhammad
SAW pada sebagian malam dengan keluarnya Musa As.75
Selain penjelasan di atas, untuk mengungkap Munasabah pada
74
Ibid., hlm. 63-64.
75
Ibid., hlm. 64-65.
76
Ibid., hlm. 65.
77
Al-Qaththan, Mana‟, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat Al-Ashr Al-
Hadits, 1983 M/1393H), hlm. 75-79.
49
berdekatan dengan hukum.78Akan tetapi yang menjadi fokus kajian
Munasabah di sini adalah Munasabah dari sisi keterkaitan antara satu
kalimat dengan yang lain, satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara
surah yang satu dengan surah yang lain.
Berikut ini beberapa contoh Munasabah yang diungkap Al-
Qaththan.79
1. Munasabah terletak pada keadaan lawan bicara, seperti yang telah
dijelaskan di bab dua pada pembahasan tentang Munasabah Dalam Al-
Qur‟an.
2. Munasabah terjadi antara satu surah dengan surah lainnya. seperti yang
telah dijelaskan di bab dua pada pembahasan tentang Munasabah
Dalam Al-Qur‟an .
3. Munasabah terjadi antara awal surah dan akhir surah. Contohnya adalah
Surah Al-Qashash. Surah ini dimulai dengan menceritakan tentang
kisah hidup Nabi Musa hingga ia mendapati dua orang laki-laki yang
berkelahi. Ia berdo‟a setelah sengaja membunuh salah seorang laki-laki
tersebut.
Orientalis
78
Ibid., hlm. 97.
79
Ibid., hlm. 98-99.
50
Qur‟an. Apabila pada masa-masa sebelumnya Al-Qur‟an dipandang dari sisi
usul-usul, akhir-akhir ini kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang
independen. Dengan kata lain, Al-Qur‟an tidak dipandang dari sumber
kemunculannya, tetapi sebagai sebuah fakta kultural dan Al-Qur‟an itu
sendiri memang bermakna bagi masyarakat.80
Menurut Jeffery sebagaimana dikutip M. Azhami, para ilmuwan Barat
tidak sependapat bahwa susunan teks Al-Qur‟an, baik ayat maupun urahnya,
yang ada di tangan kita sekarang sama dengan apa yang terdapat pada zaman
Nabi Muhammad. Pertanyaan lain orientalis lainnya adalah mengapa tulisan-
tulisan yang terbentuk suhuf, tidak langsung disimpan sendiri oleh Nabi dan
mengapa Zaid binTsabit yang ditunjuk sebagai pencatat kodifikasi Al-Qur‟an
seolah tidak siap dengan hilangnya beberapa ayat dari Surah Bara‟ah.
Walaupun sudah diketahui bahwa peristiwa itu diabadikan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (w. 870 M) yang sudah dikenal
kredibilitasnya di bidang hadis; ini semua tidak diindahkan, bahkan dianggap
palsu oleh orientalis.81
Pada masa modern seperti sekarang ini, gerakan-gerakan itu muncul
dan hampir mirip dengan fenomena di atas, baik mengatasnamakan lembaga
maupun perorangan. Hal ini dipengaruhi oleh tren pemikiran yang sedang
berkembang dan pada umumnya datang dari pemikir Barat, di luar afiliasi
keagamaan. Pada awal pergerakan, tren besar itu muncul melalui para
orientalis secara sadar ataupun tidak. Namun, pada kenyataan sekarang, tidak
hanya muncul dari kalangan orientalis, tetapi sudah ada percikan dan cikal
bakal pemikiran orientalis yang menular kepada para sarjana muslim yang
berupaya membongkar Al-Qur‟an. Badawi dalam penelitiannya menulis ada
294 orientalis. Urutan yang paling pertama, Syekh Badawi (w. 675 M)
memasukkan nama Arthur John Arberry (w. 1969 M) dan posisi terakhir
Theodor Willem Juynboll (w. 1861 M). Beberapa nama ilmuan Barat dan
orientalis yang fokus terhadap kajian Al-Qur‟an, antara lain Theodor Noldeke
80
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 69-70.
81
Ibid., hlm. 71.
51
(1836-1930 M), Goldziher (w. 1921 M), Yosep Schat (w. 1969 M), Blachere
(w. 1973 M), Mingana, Joseph Puin (w. 1843 M), Richard Bell (w. 1952 M),
dan W. Montgomery Watt (w. 2016 M). Metodologi yang menarik dari kajian
mereka dapat dilihat sebagai balas dendam, partisan, dan keji. Oleh sebab itu,
S.Parvez Manzoor menilai orientalis sebagai sesuatu yang frontal, subversive
ketika itu, behind the lines, serangan terhadap Al-Qur‟an.82
Sebelum masa Theodor Noldeke, ada orientalis ynag bernama
Abraham Geiger (w. 1874 M). Salah satu pemikiran yang dikembangkannya
adalah tabut (lihat QS. 2: 248). Menurutnya, tabut tidak berasal dari bahasa
Arab murni, tetapi berasal dari bahasa Ibrani, yaitu jannatu dan jahannam,
Melacak kajian Al-Qur‟an di Barat telah dimulai sejak abad XII yang
juga merupakan bagian dari orientalis secara umum. W. Montgomery Watt
memetakan ada tiga kajian besar yang mereka perjuangkan. Pertama, karya
yang terarah pada kajian kitab suci. Kedua, terjemah atau alih bahasa Al-
Qur‟an. Ketiga, pemahaman Al-Qur‟an. Jika melihat betapa banyak karya
orientalis yang tersebar, ketiganya menunjukkan apa yang diperjuangkan.
Namun, jika melihat sisi banyak kajiannya, tampaknya kajian teks sekaligus
kritik teks lebih mendominasi disbanding criteria point kedua dan ketiga.
Motif mereka bermacam-macam, ada dua factor yang melatarbelakangi
ketertarikan Barat untuk mengkaji Timur, yaitu motif agama dan motif
politik.83
Hubungan antara orientalis dan dunia Timur, tentu tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan sejarah hubungan antara dunia Islam dan
Kristen sejak permulaan. Seperti diketahui bahwa hubungan diskursif dan
intelektual antara Timur dan Barat sangat diwarnai oleh konteks permusuhan
pada abad pertengahan, khususnya pada Perang Salib. Polemik itu bertujuan
82
Ibid., hlm. 72.
83
Ibid.
52
menciptakan auntisitaas dari keunggulan dengan mencitrakan Islam sebagai
peyorasi, kekeliruan, dan penyalahgunaan yang sengaja. Persentuhan
kesejarahan Barat tentang Al-Qur‟an pertama kali dilakukan dengan
menerjemahkan Al-Qur‟an ke bahasa-bahasa Barat.84
Pada mulanya agama Kristen menjadi motif utama kegiatan ini,
disambut baik oleh politisi yang merasa gagal dalam invasi ke Timur yang
dikenal dengan Perang Salib. Oleh sebab itu, sekin banyak agamawan
84
Ibid., hlm. 73.
85
Ibid., hlm. 74-75.
53
mereka menjadikan Al-Qur‟an sebagai sasaran penelitian dengan
menggunakan metode kritik sastra dan kritik sejarah modern. Sementara itu,
dalam menetapkan pembagian surah-surah Al-Qur‟an, mereka tetap
mengikuti pembagian menurut sarjana muslim.86
Beberapa penulis dari kalangan Barat dan orientalis membuat teori
miring tentang Al-Qur‟an, diantaranya Theodor Noldeke, penulis Geshichte
des Qorans. Penolakan yang lebih tegas terhadap tesis John Burton pernah
dilakukan oleh R.B. Sarjeant (w. 1993 M). Ia memberikan pernyataan dengan
ungkapan an historicAl circumstance so public (karena sejarah pewahyuan
Al-Qur‟an tidak pernah terungkap).87
Lebih lanjut, Mingana menyatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk
melakukan kritik teks terhadap Al-Qur‟an sebagaimana telah dilakukan kritik
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci
Kristen yang berbahasa yunani.88 Pernyataannya tersebut meskipun
menyesatkan, tidak serta-merta ditanggapi dengan membabi buta.89 Peneliti
menduga bahwa pernyataan tersebut keluar akibat dari kitab suci Yahudi dan
Kristen yang diyakini sudah banyak terdapat campur tangan manusia,
sebagaimana cendekiawan Kristen telah lama meragukan autentisitas Bibel.
Pernyataan di atas ternyata cukup memikat sehingga banyak diikuti oleh
orientalis belakangan lainnya.
Mingana tercatat bukan orang yang pertama kali melontarkan gagasan
semacam itu dan ia juga tidak sendirian. Pada tahun 1834, jauh sebelum
Mingana, Gustav Flugel (1802-1870 M) seorang orientalis Jerman (tepatnya
Leipzig), menerbitkan mushaf hasil renungan dan kajian filologinya yang
berjudul Corani Textu Arabicus. Setelah masa Flugel kemudian datang
Noldeke.90
86
Ibid., hlm. 75.
87
Ibid., hlm. 76.
88
Ibid.
89
Hamka, Studi Islam, (Jakarta: 1985), hlm. 12.
90
Arif, Syamsuddin, Al-Qur‟an: Orientalis dan Luxenberg, hlm 11.
54
Selain beberapa tokoh di atas, Sir William Munir (1819-1905 M)
menyusun surah berdasarkan kronologi pewahyuan Al-Qur‟an dalam
karyanya yang berjudul Life of Mohamet (1858-1861 M). Karyanya itu
dimuat dalam esai yang berjudul Sourches for the Biography of Mohamet.
Selanjutnya, ia mengungkapkan dengan lebih lengkap dalam The Coran: Its
Composition and Teaching; and the Testimony Its Bears to the Holy
Scriptures.91
Pada tahun 1937 muncul orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University, Kairo, dan menjadi guru besar di Columbia
University. Ia adalah Arthur Jeffery (w. 1959 M) yang berupaya
mendekontruksi Mushaf Utsmani dengan membuat mushaf baru. Hal ini
berdasar pada kitab Al-Mushahif karya Ibnu Abi Dawud Al-Sijastani yang ia
anggap sebagai bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan dan disebut rivAl
codices. Usaha kerasnya ini merupakan kelanjutan dari upaya Gotthelf
Bergstrasser dan Otto Pretzl yang mengumpulkan foto-foto lembaran
manuskrip Al-Qur‟an dengan membuat edisi kritis. Akan tetapi upaya mereka
gagal, karena dokumen-dokumen tersebut terbakar pada peristiwa Perang
Dunia II.92
Dari pemaparan di atas dapat diambil titik terang dan kejelasan,
bahwa sebenarnya sudah lama sekali sejak abad ke-XII kaum orientalis sudah
Akhirnya peluang demi kesempatan sangat besar bagi kaum orientalis untuk
mengubah sebagian konten atau redaksi sebuah hadits atau ayat Al-Qur‟an.
Bisa juga menambahi ayat atau hadis yang awalnya tidak ada. Sangat jelas
91
Ibid.
92
Ibid., hlm. 79-80.
55
bahwa sisi kelemahan Umat Islam adalah dijauhkan dari dua pedoman, yaitu
Al-Qur‟an dan Al-hadis. Karena jika Umat Islam dijauhkan dari kedua
dan fitnah yang terjadi tetapi ada hikmah dibalik semua yang terjadi pada
Agama Islam atas serangan kaum orientalis. Hal ini mendorong Umat Islam
untuk lebih antusias dan semangat untuk menkaji Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
56
BAB 3
mushaf Al-Qur‟an tidak menurut urutan turunnya, seperti surah Al-„Alaq (96)
ayat 1-5 turun pertama kali, akan tetapi di dalam mushaf diletakkan pada
menarik berkenaan dengan penilaian baik dan buruk suatu sitematika uraian
93
Al-Qaththan, Mana‟, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat Al-Ashr Al-
Hadits, 1983 M/1393H), hlm. 78.
57
yang berkaitan erat dengan tujuan yang ingin dicapai oleh penyusunnya.
terkesan tidak sestematis jika diukur dengan kaca mata karya ilmiah.
mempunyai keterkaitan antara satu dan lainnya. Hal ini dijadikan celah oleh
para pengkaji Al-Qur‟an justru menemukan ilmu baru tentang urutan dan
94
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 200), hlm 245.
58
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ulama terdahulu pada
Jika ditinjau dari segi sifat, Munasabah terbagi menjadi dua. Pertama,
persesuaian yang nyata (zhahir Al-irtibath). Artinya, persesuaian antara
bagian Al-Qur‟an yang satu dan lainnya tampak jelas dan kuat karena ada
kaitan yang erat antar kalimat. Kedua, persesuaian yang samar (khafi Al-
irtibath). Artinya, persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu dan lainnya
tampak samar, bahkan antarayat.96
95
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 144.
96
Ibid.
59
ditadaburi lebih lanjut, akan didapatkan pemahaman bahwa pada waktu haji
umat Islam dilarang berperang. Namun, jika diserang, harus dibalas,
meskipun pada musim haji.97
Upaya Pengembangannya
satu ayat, keserasian, keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya,
bahkan juga keserasian antara satu surah dengan surah berikutnya. Tatkala
masalah ke masalah lain, atau dari satu tema ke tema lain secara tidak
menilai seperti itu akan segera menarik pandangannya dan menyadari betapa
Al-Qur‟an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu saja
atau Munasabah.
97
Ibid., hlm. 144-145.
60
Menurut Asy-Suyuthi, ilmu Munasabah adalah ilmu yang sangat
penting dalam penafsiran Al-Qur‟an, tetapi hanya sedikit diantara para
mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat memerlukan
ketelitian dan kejelian. Diantara mufassir yang banyak memberikan perhatian
terhadap ilmu Munasabah adalah Imam Fakhruddin Ar-Razi. Ar-Razi
menyatakan, sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari Al-Qur‟an
tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu sama
lain. khusus tentang surah Al-Baqarah, Ar-Razi menyatakan bahwa siapa saja
yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam surah ini akan
mengetahui bahwa Al-Qur‟an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-
lafalnya dan kehebatan isinya, tetapi juga mukjizat dari segi susunan surah
dan ayat-ayatnya.98
Sehubungan dengan itu, Al-Khaththabi juga berpendapat sebagaimana
dikutip Hasani Ahmad Said, bahwa tujuan bergabungnya berbagai persoalan
di dalam satu surah adalah agar pembaca dapat memperoleh banyak petunjuk
dalam waktu yang singkat. Salah satu tujuan diungkapkannya aneka ragam
persoalan yang terdapat dalam satu surah adalah agar pembaca tidak jenuh.
Secara fitrah, manusia sering sekali mengalami kebosanan jika berhadapan
dengan persoalan yang monoton.99
Naskah teks Al-Qur‟an menurut Mushaf Utsmani tidaklah disusun
berdasarkan kronologis turunnya. Hal ini yang kemudian melahirkan satu
ilmu tersendiri yang dikenal dengan kajian Munasabah. Secara bahasa,
Munasabah berarti musyakAlah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan),
sedangkan secara istilah, Munasabah berarti pengetahuan tentang berbagai
hubungan di dalam Al-Qur‟an, baik antarayat maupun antarsurah, bukan
kronologis historis dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antarayat
dan surah menurut urutan teks.100
98
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,
hlm. 225.
99
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 149.
100
Ibid., hlm. 149-150.
61
Ulama tafsir lain seperti Al-Tabari (w. 1923 M) juga sangat
memperhatikan konteks ayat, dengan mencermati korelasi antarayat
(Munasabah), baik itu ayat sebelum dan sesudahnya, meskipun hanya
beberapa kasus ayat dalam jumlah yang sangat terbatas, tidak semua ayat:
HuwAllazi yusawwirukum fi Al-arhami kaifa yasya.101
Sementara itu, istilah kesatuan Al-Qur‟an muncul dalam kajian Al-
Qur‟an kontemporer, terutama ketika para ahli tafsir memfokuskan kajian
pada topik yang mereka sebut sebagai kesatuan tematis dalam Al-Qur‟an.
Namun, tema dan prinsip-prinsip kajian itu sebenarnya telah ada sejak zaman
awal islam. Tepatnya ketika para ahli tafsir klasik melakukan penelitian yang
serius terhadap kemukjizatanAl-Qur‟an serta meneliti hubungan antara
berbagai ayat dan surah Al-Qur‟an yang kemudian dikenal dengan „ilm Al-
Munasabah fi Al-Qur‟an.102
Sehubungan dengan pembahasan ini, menurut Al-Zarkasyi seperti
yang dikutip Hasani Ahmad Said, mengatakan bahwa Ilmu Munasabah
sangat penting untuk menyingkap keistimewaan Al-Qur‟an. Karena
memperlihatkan keserasian ayat-ayat yang terkesan tidak mempunyai
keterkaitan. Oleh karena itu, sebagian pakar menegaskan hal tersebut sebagai
bagian yang inheren dengan kemukjizatan Al-Qur‟an. Al-Suyuthi bahkan
terkesan menganggap Munasabah sebagai aspek yang paling dominan dari
keistimewaan Al-Qur‟an. ketika mengidentifikasi keistimewaan Al-Qur‟an, ia
berhasil menemukan tiga belas poin dan tujuh di antaranya mengambil bentuk
Munasabah.103
Pada posisi seperti ini, mayoritas ulama berkesimpulan bahwa urutan
yang ada dalam mushaf bersifat tauqifi, yaitu proses susunan ayat dan surah
berdasarkan ketetapan wahyu melalui Nabi. Proses seperti itu diyakini bahwa
Al-Qur‟an yang semula utuh ketika berada di Lauh Mahfudzh yang kemudian
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai peristiwa yang
101
Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 38.
102
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 150.
103
Ibid.
62
melatarbelakanginya dan disusun seperti sediakala. Syekh Mushthafa Shadiq
Al-Rafi‟i (w. 1937 H) mengumpamakan susunan Al-Qur‟an laksana kesatuan
anggota tubuh yang sangat kokoh dan sempurna. Tidak ada satu huruf atau
harakat pun dalam Al-Qur‟an yang tidak dipilih dan ditempatkan dengan cara
yang menakjubkan.104
Al-Zarkasyi menilai ilmu ini didasarkan kepada keyakinan bahwa Al-
Qur‟an ibarat bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Ia
laksana kesatuan kalimat yang tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang
lain, karena berfungsi untuk menguji keshahihan struktur kalimat. Di samping
itu, ilmu ini menjadikan setiap bagian kalimat berkaitan dan saling
menyempurnakan satu sama lain. dengan kata lain, ilmu ini sangat penting.
Oleh sebab itu, kajian pertama yang harus diperhatikan menurut Al-Zarkasyi
adalah menjelaskan posisi setiap ayat apakah berhubungan, menyempurnakan
ayat yang sebelumnya, atau bersifat independen dan bagaimana hubungan
ayat yang independen tersebut dengan ayat sebelumnya.105
Rahmawati dalam karyanya yang berjudul Munasabah al-Ayat wa al-
Suwar menyimpulkan:106
104
Ibid., hlm. 151.
105
Hanafi, M. Mukhlis, Urgensi Memahami Ilmu Muasabah, hlm. 2.
106
Rahmawati, Munasabat al-Ayat wa al-Suwar, (Makassar: Jurnal Adabiyah Vol. XIII No.
2, 2015), hlm. 156-157.
63
H.) dengan kitabnya Al-burhan fi munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur‟an,
Ibrahim ibn Umar Al-Biqa‟i (809-885 H.) dengan kitabnya Tanasuq Al-
Durar fi Tanasub Al-Suwar, Fakhr al-Din al-Razi dalam kitabnya Tafsir
Al-Kabir (yang juga disebut dengan Mafatih al-Ghaibi), Sayyid Qutub
dalam Tafsir Fi ZilAl Al-Qur‟an, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur‟an, karya al-
Suyuthi tepatnya pada juz II, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur‟an karya Manna‟
al-Qattan, yang mengkaji ini sebagai pendamping dari kajian tentang Al-
Asbab Al-nuzul, judul yang sama karya Dr. Subhi al-Shalih yang juga
membahas Munasabah ini sebagai sub bahasan dari al-Asbab Al-nuzul, dan
sekian banyaknya kitab yang mengkaji masalah Al-Qur‟an dan susunan
Al-Qur‟an baik dari segi tartib al-nuzulnya ataupun tartib Al-Mushafnya.
Menurut Asy-Suyuthi dalam buku Kuliah Ulumul Qur‟an karya
Yunahar Ilyas, bahwa ilmu Munasabah adalah ilmu yang sangat penting
dalam penafsiran Al-Qur‟an, tetapi hanya sedikit diantara para mufassir yang
memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat memerlukan ketelitian dan
kejelian. Diantara mufassir yang banyak memberikan perhatian terhadap ilmu
Munasabah adalah Imam Fakhruddin Ar-Razi. Beliau menyatakan, sebagian
besar rahasia yang tersembunyi dari Al-Qur‟an tersimpan dalam persoalan
urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu sama lain. khusus tentang surah
Al-Baqarah, Ar-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan
rahasia susunan ayat-ayat dalam Surah ini akan mengetahui bahwa Al-
Qur‟an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafalnya dan kehebatan
isinya, tetapi juga mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya.107
Ada tiga arti penting dari Munasabah sebagai salah satu metode dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur‟an. pertama, dari sisi balaghah, korelasi
antara ayat dengan ayat menjadikan ayat-ayat Al-Qur‟an utuh dan indah. Bila
dipenggal maka keserasian, kehalusan, dan keindahan kalimat yang teruntai
didalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu Munasabah dapat
memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Tanpa
107
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,
hlm. 225.
64
memahami kaitan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya dalam satu
ayat, atau kaitan antara satu ayat dengan ayat berikutnya, bisa saja seorang
yang membaca Al-Qur‟an tidak dapat menangkap keutuhan makna, bahkan
dapat menimbulkan kesalahan dalam pemaknaan seperti yang sudah
dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Ketiga, ilmu Munasabah sangat
membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an,
sehingga dapat menjelaskan keutuhan makna ayat atau kelompok ayat. Juga
dapat menjelaskan keserasian antara kalimat dengan kalimat dan ayat dengan
ayat, bahkan antara surah dengan surah. Ilmu Munasabah akan sangat
membantu terutama dalam istinbath hukum.108
108
Ibid., hlm. 225-226.
109
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 155.
110
Ibid.
65
yang sempurna dalam masalah korelasi antara ayat-ayat dan surah-surah Al-
Qur‟an. Ada juga yang menilai bahwa kitab tafsirnya merupakan ensiklopedia
engenai Munasabah Al-Qur‟an.111
Ia melanjutkan dengan menyatakan, “Mayoritas ulama masa lalu
melupakan rahasia urutan lafal, ayat-ayat, dan surah-surah. Meskipun ada Al-
Imam Fakhr Ar-Razi, ia hanya dominan pada segi ilmiah-filosofis sehingga
belum mencapai apa yang diharapkan. Selanjutnya, datang Al-Imam Abu
Ja‟far bin Al-Zabir dan Al-Imam Al-Suyuthi. Namun, keduannya terbatas
pada penjelasan Munasabah surah-surah Al-Qur‟an dan tidak menyingkap
rahasia yang ada pada urutan ayat-ayat serta hubungannya antara lafal-lafal
yang ada pada surah satu dan yang lainnya. Setelah itu datang Burhanuddin
Abu Al-Hasan Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i(809-885 H/1406-1480 M) yang
memiliki perhatian khusus dalam masalah korelasi antara ayat-ayat Al-Qur‟an
ia mengungkap rahasia urutan ayat dan lafal Al-Qur‟an secara detail dalam
karyanya yang berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar
dan dinilai sebagai ensiklopedia tentang Munasabah Al-Qur‟an .112
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa masalah korelasi antara ayat-
ayat Al-Qur‟an ini layak mendapat perhatian khusus. Ia memiliki dua alasan
mengenai hal tersebut, yaitu maraknya isu sumbang mengenai Al-Qur‟an dan
terjadinya penafsiran yang bersifat parsial. Implikasi dari model penafsiran
seperti ini telah melahirkan konflik, khususnya seperti golongan Sunni dan
Mu‟tazilah. Kedua golongan itu mempunyai kesimpulan yang bertentangan
secara ekstrem, padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada Al-
Qur‟an, bahkan pada ayat yang sama. Jadi, melalui pembahasan tentang
korelasi ayat-ayat ini akan didapatkan suat pemahaman terhadap Al-Qur‟an
sebagai keutuhan yang saling terkait.113
111
Ibid., hlm. 155-156.
112
Ibid., hlm. 156.
113
Ibid., hlm. 156.
66
Sementara itu, dalam pengantar Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish
Shihab mengemukakan enam keserasian hubungan bagian-bagian Al-Qur‟an.
Keserasian yang dimaksud adalah114
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.
2. Keserasian kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat).
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
4. Keserasian uraian awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya.
5. Keserasiaan penutup surah dengan uraian awal (mukadimah) surah
sesudahnya.
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.
114
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, hlm.
xx-xxi.
115
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000), hlm 247.
67
rangka menyusun disertasi untuk meraih gelar doctor. Warna ini sangat kental
dalam tafsir M. Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.116
1. Hubungan antara satu surah dan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi
menjelaskan surah sebelumnya. Misalnya, QS. Al-Fatihah (1): 6
menyebutkan: Tnjukilah kami jalan yang lurus. Ayat ini kemudian
dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 2 yang menyebutkan: Kitab (Al-
Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.
2. Hubungan antara nama surah dan isi atau tujuan surah. Misalnya,
penamaan Surah Al-Baqarah (sapi betina) karena di dalamnya terdapat
ayat yang berbicara tentang sapi betina.
3. Hubungan antara fawatih Al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari
beberapa huruf) dan isi surah. Di sini fawatih al-suwar bisa dilacak dari
sisi kemukjizatan Al-Qur‟an dan hitungan ayat.
4. Hubungan antara ayat pertama dan ayat terakhir dalam satu surah.
Misalnya, QS. Al-Muminun (23): 1 yang dimulai dengan: sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, diserasikan dengan bagian akhir
surah yang berbunyi: sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan
beruntung. (QS. Al-Mu‟minun (23): 117).
5. Hubungan antara satu ayat dan ayat lain dalam satu surah. Misalnya, QS.
Al-Baqarah (2): 2 yang berbicara tentang orang-orang yang bertakwa
kemudian pada tiga ayat berikutnya menjelaskan tentang kriterianya.
6. Hubungan antara kalimat dan kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya, QS.
Al-Fatihah (1) ayat 1: Dengan nama Allah yang kemudian dijelaskan
116
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 157-158.
117
Qaththan, Manna‟, Mabahits fi „Ulum AL-Qur‟an, (Manshurat Al-Ashr Al-Hadits, 1973),
hlm. 97-99.
68
dengan kalimat berikutnya: Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Begitu pula dengan ayat selanjutny: Segala puji bagi Allah yang kemudian
dijelaskan dengan kalimat berikutnya: Tuhan seluruh alam.
7. Hubungan antara fashilah dan isi ayat. Misalnya, QS. Al-Ahzab (33) ayat
25: Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang
mukmin dalam peperangan yang kemudian ditutup dengan: Dan Allah
Maha Kuat, Maha Perkasa.
8. Hubungan antara penutup surah dan awal surah. Misalnya, Surah Al-
Waqi‟ah (56) ayat 96: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Maha Besar yang kemudian disambut oleh Surah Al-
Hadid (57) ayat 1-2: Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada
Allah. Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Milik-Nyalah
kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
118
Ibid., hlm. 160.
69
surah yang dikaitkan dengan ayat atau surah sebelumnya serta di akhir surah
yang dikaitkan dengan awal surah dan surah berikutnya. Ia terkadang juga
menempatkan Munasabah pada bagian makna global (Al-Ma‟na Al-jumAli)
dan penjelasan ayat per ayat. Penempatan Munasabah tidak di satu tempat
tertentu juga banyak dilakukan oleh para mufassir pada umumnya. Namun,
salah satu mufassir yang menempatkan Munasabah dalam satu bagian
tertentu adalah Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Shafwah Al-Tafsir.119
Begitu pula dengan Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan)
karya Departemen Agama RI yang terdiri atas sepuluh jilid, Munasabah
ditempatkan dalam satu bahasan.120
Al-Qur‟an yang terdiri dari atas 30 juz dan 114 surah memiliki gaya,
umumnya. Hal itu karena Al-Qur‟an merupakan kitab petunjuk dan memiliki
mukjizat.121
119
Ibid.
120
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, edisi yang disempurnakan, (Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2004).
121
Ibid., hlm. 161.
122
Ibid., hlm. 162.
70
Dengan penggunaan pola Munasabah seperti itu di dalam tafsirnya,
sosial budaya setempat. Begitu pula ketika sedang berada di Indonesia, aspek
banyak ayat atau surah yang tidak bisa diMunasabahkan. Oleh karena itu, ia
123
Ibid., hlm. 162-163.
71
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa
dengan mufassir pada masa sebelumnya, hanya saja ia lebih banyak meramu
124
Ibid., hlm. 164.
72
antarsurah. Meskipun demikian, tidak berarti pembahasan lainnya, seperti
hubungan antar huruf, akan dikesampingkan.125
M. Quraish Shihab mengurai tiga langkah dalam memahami
Munasabah, yaitu mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok
kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat berikutnya,
menemukan tema sentral satu surah kemudian mengembalikan uraian
kelompok ayat-ayat tersebut kepada tema sentralnya, dan menghubungkan
ayat dengan ayat sebelumnya kemudian menjelaskan keserasiannya.126
125
Ibid., hlm. 164-165.
126
Ibid., hlm. 165.
73
BAB IV
A. Munasabah Ayat
a. Ayat 1-72
ekspresi.”129
74
yang nampak/tidak dalam benaknya, dengan berbagai cara utamanya
dalam bercakap yang baik dan benar.130
tunduk.”131
7-9 “Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
itu.”133
130
Ibid., hlm. 278.
131
Ibid., hlm. 280.
132
Ibid., hlm. 280-281.
133
Ibid., hlm. 282.
75
sehingga saling menguntungkan. Karena jika mengurangi neraca itu, maka
neraca timbangan amal-amal kamu di akhirat akan berkurang.134
berdua ingkari?”137
134
Ibid., hlm. 283.
135
Ibid., hlm. 285.
136
Ibid., hlm. 285-286.
137
Ibid., hlm. 287.
138
Ibid.
76
14-16 “Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti
tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyAla api yang murni. Maka
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”139
as./jenis manusia) dari tanah kering seperti tembikar dan Iblis (sejenis Jin)
yang diuraikan ayat 5 lalu. Bahwa Allah Tuhan Yang Esa pencurah aneka
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”143
139
Ibid., hlm. 289.
140
Ibid.
141
Ibid., hlm. 291.
142
Ibid.
143
Ibid., hlm. 292.
77
Setelah menyebut pemelihara dan pengendali-Nya menyangkut
matahari dan bulan, kini menguraikan tentang lautan yang secara
berdampingan mengalir secara bebas, yang satu tawar dan satunya lagi
pahit, keduannya bertemu pada permukaannya, dengan pembatas yang
Allah ciptakan supaya keduanya tidak bercampur dan saling melampaui,
serta tidak membinasakan manusia.144
144
Ibid.
145
Ibid., hlm. 294.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm. 295.
78
Dia yang menciptakan dan mengendalikan hukum-hukum alam yang
memungkinkan bahtera itu berlayar.148
wajah Tuhanmu Dzul JAlal awAl Ikram. Maka, nikmat Tuhan kamu
29-30 “Dia dimintai oleh siapa yang ada di langit dan di bumi;
setiap saat Dia dalam kesibukan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
148
Ibid., hlm. 295-296.
149
Ibid., hlm. 296.
150
Ibid., hlm. 296-297.
151
Ibid., hlm. 300.
152
Ibid., hlm. 300-301.
79
31-32 “Kami akan berkonsentrasi terhadap kamu, wahai manusia
dan jin! Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari?”153
153
Ibid., hlm. 305.
154
Ibid.
155
Ibid., hlm. 306.
156
Ibid., hlm. 306-307.
80
35-36 “Kepada kamu berdua, dilepaskan nyAla api dan cairan
tembaga maka kamu berdua tidak dapat menang. Maka, nikmat Tuhan
81
ayat 31-77 surah ini berbicara tentang kehidupan akhirat. M. Quraish
Shihab sedikit kurang tepat ketika menafsirkan ayat 33 dalam konteks
dunia. Walaupun di ayat selanjutnya dijelaskan. Karena hal semacam ini
menurut penulis mengurangi kekuatan Munasabahnya.160
diambil ubun-ubun dan kaki mereka. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari? Inilah neraka Jahanam yang
160
Ibid., hlm. 311.
161
Ibid., hlm. 312.
162
Ibid.
163
Ibid.
82
ternyata air itu sangat panas. Kemudian mereka terpaksa kembali ke
neraka.164
50-53 “Di dalam keduanya ada dua buah mata air yang mengAlir.
Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua
ingkari? Di dalam keduanya terdapat segAla buah-buahan yang
berpasangan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang
kamu berdua ingkari?”167
164
Ibid., hlm. 313.
165
Ibid., hlm. 317.
166
Ibid.
167
Ibid., hlm. 319-320.
83
mendukung pertumbuhan pertumbuhan pohon itu. Keberpasangan buah-
buahan yang dimaksud adalah keadaan buah itu ada yang mentah dan
matang.168
dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dekat. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”169
168
Ibid., hlm. 320.
169
Ibid.
170
Ibid., hlm. 320-321.
171
Ibid., hlm. 321.
84
jin/manusia sebelumnya. Sampai-sampai tidak menoleh kepada selain
pasangannya.172
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”173
surga, kini menyatakan sebab anugerah besar itu. Karena balasan untuk
62-69 “Dan selain dari keduanya ada dua surga lagi. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Kedua surga itu berwarna hijau tua. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada mata
air yang memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada buah dan kurma serta
delima. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari?”175
172
Ibid., hlm. 322.
173
Ibid., hlm. 323.
174
Ibid.
175
Ibid., hlm. 327.
176
Ibid.
85
70-71 “Di sana ada yang baik-baik lagi rupawan. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? (Mereka
itu) bermata sangat indah, hanya berada dalam kemah-kemah. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka dan tidak
pula oleh jin. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari? Mereka bertelekan pada bantAl-bantAl hijau dan
permadani-permadani indah. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari?”177
b. Ayat 5 dan 17
sempurna.”179
dan berada di luar diri manusia. Seperti matahari, bulan beredar pada
177
Ibid., hlm.329.
178
Ibid., hlm. 330.
179
Ibid., hlm. 280.
86
porosnya dan ketetapan yang tanpa cacat.180 Kemudian ayat 17 sebagai
berikut:
musim dingin dan panas.182 Munasabah kedua ayat di atas adalah sama-
nikmat Allah.
memahaminya.
berbeda pendapat dalah hal jumlah ayat. Ada yang berpendapat 77, dan
180
Ibid.
181
Ibid., hlm. 291.
182
Ibid.
87
ada juga yang berpendapat 78. Keluar dari permasalahan ini, semua ayat
183
Ibid., hlm. 277.
184
Ibid., hlm. 300.
88
ayat ini, ayat 31-32, Allah berfirman: Kami akan berkonsentrasi terhadap
kamu, wahai manusia dan jin! Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari?”185
Kemudian di akhir kelompok ini, ayat 44-45, Allah berfirman:
Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang
memuncak panasnya. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Para pendurhaka yang diseret dan dilempar ke
neraka itu, sesekali berupaya menghibur diri. Ketika mereka merasakan
betapa panasnya neraka, dari kejauhan mereka melihat air. Maka mereka
berkeliling berbolak-balik berkali-kai diantaranya, yakni antara neraka,
dan di antara air yang mereka lihat dari kejauhan itu, dan kemudian
ternyata bahwa air tersebut adalah air yang mendidih yang memuncak
panasnya. Karena itu mereka meninggalkannya dan terpaksa kembali ke
neraka. Demikian dari saat ke saat teruang peristiwa itu. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?186 jadi
antara kelompok 1 dan 2 ada hubungan/kesesuaian.
Kelompok 3, ayat 46-61, berbicara tentang kenikmatan yang
diperoleh orang-orang yang taat, sebagaimana tafsir ayat 46-49, Allah
berfirman: Dan bagi siapa yang takut akan keagungan Tuhannya ada dua
surga. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari? keduanya mempunyai dahan-dahan. Maka, nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu berdua ingkari? Setelah ayat-ayat yang
lalu menguraikan siksa yang dihadapi oleh para pendurhaka –
sebagaimana kebiasaan Al-Qur‟an mendampingkan ssesuatu dengan
lawannya atau yang serasi dengannya – ayat-ayat diatas dan berikutnya
berbicara tentang kenikmatan yang diperoleh orang-orang yang taat. Ayat
di atas menyataka: Dan bagi siapa yang takut akan kuasa dan keagungan
Tuhannya sehingga mendorongnya untuk beramal soleh, tersedia untuknya
ada dua surga yang keduanya sangat indah. Maka, nikmat Tuhan kamu
185
Ibid., hlm. 305.
186
Ibid., hlm. 313.
89
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Keduanya, yakni kedua
surga itu, mempunyai dahan-dahan yang sangat rimbun dan buah-buahan
yang beraneka ragam lagi sangat menyenangkan. Maka, nikmat Tuhan
kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?187
Kemudian di akhir kelompok ini, yaitu ayat 60-61 Allah berfirman:
Apakah balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Maka, nikmat Tuhan
kamu berdua yang manakah yanag kemu berdua ingkari? setelah ayat
yang lalu menjelaskan kenikmatan yang akan diraih oleh penghuni surga,
uraian itu diakhiri dengan menyatakan sebab anugerah besar itu! Allah
berfirman: Apakah, yakni tidak ada, balasan amal-amal kebaikan kecuali
anugerah llahi yang berupa kebaikan pula. Maka, nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu berdua ingkari?188
Kelompok 4, ayat 62-78, berbicara tentang adanya surga yang lebih
istimewa dari yang telah dijelaskan pada kelompok 3, sebagaimana di ayat
62-69, Allah berfirman: “Dan selain dari keduanya ada dua surga lagi.
Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua
ingkari? Kedua surga itu berwarna hijau tua. Maka, nikmat Tuhan kamu
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada
dua mata air yang memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada buah dan
kurma serta delima. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari?”189
Setelah kelompok yang lalu menguraikan keistimewaan salah satu
dari tingkat atau keadaan satu macam surga, kini disebut yang lain.
kemudian di ayat 62-69 yang merupakan awal kelompok ini menyatakan:
Dan selain atau pada peringkat bawah dari keduanya, yakni kedua surga
yang disebut pada ayat-ayat tang lalu, masih ada dua surga lagi. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Kedua surga itu berwarna hijau tua, sehingga Karena hijaunya tampak
187
Ibid., hlm. 317.
188
Ibid., hlm. 323.
189
Ibid., hlm. 327.
90
kehitam-hitaman. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang
kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada dua mata air yang
senantiasa memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada segala jenis buah
yang sangat lezat dan tidak ketinggalan ada kurma serta delima. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?190
Kemudian diakhir kelompok ini, ayat 78, Allah berfirman: Maha
sifat (jalal) dan (ikram) Allah swt. Maha melimpah kebajikan lagi Maha
rahmat yang tidak terhingga. Yang semua itu bersifat duniawi. Kemudian
rahmat Allah yang banyak itu, ada sebagian manusia dan jin yang taat, lalu
190
Ibid.
191
Ibid., hlm. 331.
91
berlimpah. Kemudian masuk ke penjelasan kelompok keempat yang
berbicara kelanjutan dari kelompok ketiga, bahwa ada dua surga yang
ketiga.
a. Ayat 1-13
berdua, wahai manusia dan jin, yang manakah yang kamu berdua
ingkari?193
Kata ( )ءاآلءAla adalam bentuk jama dari kata ( )اىيilyi atau Alyi
yakni nikmat. Penggunaan kata lain karena anugerah dan nikmat itu
192
Ibid., hlm. 277-287.
193
Ibid., hlm. 287.
92
Yang Maha Agung. Kata itu mengesankan sinar dan kecemerlangan (at-
b. Ayat 3-27
194
Ibid., hlm. 228.
195
Ibid., hlm. 228-289.
196
Ibid., hlm. 296.
197
Ibid., hlm. 296-297.
93
a. Ayat 7-9
itu”198
sehingga bisa membuat kalimat yang satu dengan lainnya sesuai. Kata
neraca itu.
b. Ayat 33
198
Ibid., hlm. 282.
199
Ibid., hlm. 283.
94
“Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus
tembus. Kata pertama tidak memakai kata tembus atau tembuslah, tapi
Allah untuk manusia dan jin. Sedangkan kata kedua sudah tidak lagi
yang memberikan isyarat bahwa sekali-kali manusia dan jin tidak dapat
menembusnya, kecuali dengan alat. Jadi antara ayat dan penutup ayat di
atas memiliki kesesuaian. Setelah melihat ayat 34-35, bahwa langit dan
bumi yang dimaksud di sini bukan konteks dunia, tapi akhirat (neraka).
200
Ibid., hlm. 306.
201
Ibid., hlm. 306-307.
95
(para pendurhakan) untuk menghindar diri dari siksa Allah yang amat
pedih.
a. Ayat 7
neraca.”202
b. Ayat 60
202
Ibid., hlm. 282.
203
Ibid., hlm. 283.
204
Ibid., hlm. 284.
96
“Apakah balasan kebaikan kecuAli kebaikan (pula).”205
surga, kini menyatakan sebab anugerah besar itu. Karena balasan untuk
B. Munasabah surah
(Penutup Surah)
a. Ayat 1
“Ar-Rahman.”209
205
Ibid., hlm. 323.
206
Ibid.
207
Ibid.
208
Ibid.
209
Ibid., hlm. 277.
97
Awal surah Ar-Rahman dimulai dengan menyebut sifat rahmat-
ini, baik manusia atau jin yang taat dan durhaka, malaikat, binatang,
b. Ayat 78
210
Ibid.
211
Ibid., hlm. 331.
98
lagi yang menyatakan bahwa nama-Nya Maha Agung, dan demikian
lebih-lebih zat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ism di sini
disebutkan untuk menjadi isyarat bahwa guna menggambarkan
keagungan dan banyaknya anugerah Allah adalah sesuatu yang
mustahil. Karena itu, yang mampu dijangkau oleh manusia hanya
sebagian darinya sehingga hanya nama-Nya yang disebut di sini. Ada
juga ulama yang memahami bahwa kata ism di sini menunjuk kepada
nama-Nya yang dimungkiri oleh kaum musyrikin Mekkah, yakni Ar-
Rahman dan nama itulah yang disebut pada awal surah ini. Dengan
demikian, ayat ini bagaikan menyatakan bahwa nama Allah Ar-Rahman
itu merupakan nama yang sangat agung. Ia adalah sumber anugerah
duniawi dan ukhrawi. Penyandangnya mencurahkan rahmat kepada
seluruh makhluk-Nya, baik manusia mukmin atau kafir maupun jin,
malaikat, bahkan seluruh alam raya. Demikian bertemu akhir surah ini
yang berbicara tentang rahmat dan anugerah Allah dengan awalnya
yang menyatakan bahwa Dia adalah Ar-Rahman.212 Untuk memahami
kandungan makna Al-Jalal wa Al-Ikram.213
saw. nama tersebut diambil dari awal kata surah ini. Apalagi inilah satu-
diperintahkan untuk sujud kepada Allah yang Rahman itu. Dalam QS. Al-
212
Ibid., hlm. 332.
213
Ibid., hlm. 298-300.
99
“Sujudlah kepada Ar-Rahman“ mereka menjawab: “Siapakah Ar-Rahman
itu?”214
214
Ibid., hlm. 273.
215
Ibid., hlm. 273-274.
216
Ibid., hlm. 274.
217
Ibid., hlm. 277.
100
Surah ini menguraikan tentang nikmat-nikmat Allah, bermula dari
nikmat-Nya yang terbesar dan teragung, yaitu Al-Qur‟an. Thabathaba‟i
berpendapat bahwa surah ini mengandung isyarat tentang ciptaan Allah
dengan sekian banyak bagiannya di langit dan bumi. Darat dan laut,
manusia dan jin, di mana Allah mengatur semua itu dalam satu pengaturan
yang bermanfaat bagi manusia dan jin – bermanfaat untuk hidup mereka di
dunia yang akan binasa dan yang kekal abadi di akhirat.218
Jadi antara pembuka surah dan isi surah ada Munasabah yang
Manusia ada yang taat dan ada pula durhaka. Dan ada balasan masing-
masing dari mereka dui akhirat nanti. Isi surah pun juga seperti apa yang
dijelaskan di pembuka surah di atas, jadi penulis sepakat jika ini termasuk
Munasabah.
“Ar-Rahman.”219
218
Ibid., hlm. 274.
219
Ibid., hlm. 277.
101
M. Quraish Shihab menafsirkan ada keterkaitan atau hubungan
antara awal surah Ar-Rahman dengan akhir surah Al-Qomar. Akhir surah
Al-Qomar ditutup dengan pernyataan tentang keagungan kuasa dan
kesempurnaan kodrat Allah. Itu tidaklah sempurna kecuali jika disertai
dengan rahmat yang mencakup semua makhluk. Karena itu, dalam surah
Ar-Rahman dimulai dengan menyebut sifat rahmat-Nya yang menyeluruh
yaitu Ar-Rahman, yakni Allah yang mencurahkan rahmat kepada seluruh
makhluk dalam kehidupan ini, baik manusia/jin yang taat dan durhaka,
serta malaikat, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.220
5. Munasabah antara Suatu Surah dan Surah Sebelumnya
muhammad saw. (ayat 1-8), kehancuran kaum Nabi Nuh as. (ayat 9-18),
kehancuran kaum „Ad (ayat 18-22), kehancuran kaum Samud (ayat 23-32),
kehancuran kaum Luth (ayat 23-40), kehancuran kaum Fir‟aun (ayat 41-
220
Ibid.
102
bahwa Al-Qur‟an diturunkan kepada manusia dengan dipermudah
“Dan bagi siapa yang takut akan keagungan Tuhannya ada dua
surga.”221
10-12.
buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-
sebagai jawaban atas pertanyaan: Apakah yang dilakukan raja yang Maha
103
Kepada kamu berdua, dilepaskan nyala api dan cairan tembaga
maka kamu berdua tidak dapat menang. Maka, nikmat Tuhan kamu
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Lalu, apabila langit
yang berterbangan.
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?. Di dalam kedua surga
kenikmatan.
berdosa.226
104
(Mereka) Dalam siksaan angin yang sangat panas, dan air yang
diterima oleh orang yang berdosa dan nikmat yang diperoleh oleh orang-
orang yang bertakwa kepada Allah dan perbedaan dua surga yang
diperoleh oleh sebagian orang mukmin dengan dua surga yang diperoleh
227
Ibid., hlm. 312-320.
105
Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.
(masuk surga).
angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih. Dan dalam
terguncang.
ayat 37:
106
“LAlu, apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar
adalah ayat 4:
dibicarakan pada surah ini. Apa yang dibicarakan pada permulaan surah
228
Ibid., hlm. 310.
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
istilah adalah adanya hubungan (ayat dan ayat), (surah dan surah) yang
Qur‟an wa Tafsir (Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir), karena banyak para ulama
ayat yang ditelisik melalui enam spesifikasi, yaitu Munasabah antara ayat
dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan fashilah (penutupnya),
antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata dalam satu ayat, antara
kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat terakhir, dalam satu
yaitu Munasabah antara surah dan surah sebelumnya, antara awal surah
dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan akhir surah sebelumnya,
antara tema surah dan nama surah, antara penutup surah dan uraian awal
108
surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya dalam satu surah,
antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih Al-suwar
surah.
surah. Kedua, Munasabah antar kelompok ayat dalam satu surah. Ketiga,
antarkalimat dalam ayat. Kelima, Munasabah antar kata dalam satu ayat.
Munasabah antara tema surah dan nama surah nama surah. Kedua,
B. Saran-saran
109
1. Disarankan agar lebih mempersiapkan diri dari segi kemampuan bahasa
penting dan bahkan wajib. Jika kedua bahasa tersebut tidak dimiliki, maka
sebenarnya.
110
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthi, Abdurrahamn bin Abi Bakr bin Muhammad Abu Al-Fadhl, Asrar
Tartib Al-Qur‟an, (Kairo: Dar Al-I‟tisham).
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan
Dasar-dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014).
111
A. Athaillah, Sejarah Al-Qur‟an; Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Qur‟an.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Fath, Amir Faisal, The Unity of Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010).
112
Khalil, Munawar, Tafsir Al-Qur‟an Hidayatur Rahman, (Jakarta: Siti Sjamsiah,
1958).
Quthb, Sayyid, Tafsir fi ZhilAl Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Ihya‟ Al-Tijari Al-
Arabiyyah, 1386 H).
113
________________, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000).
114
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
2
3
4
5