Anda di halaman 1dari 137

KAJIAN TEORI MUNASABAH

DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN

(Tela’ah atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai SAlah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S. Ag)

OLEH:

M. SARIFUDIN

NIM: 215 13 001

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017
iv
v
vi
MOTTO

ُ‫خ ْي ُس ُم ْم َم ْه تَ َعيَّ َم ْاىقُسْ أَنَ َو َعي َّ َمه‬


~ Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur‟an dan
mengajarkannya~
(HR. Bukhari)

vii
PERSEMBAHAN
‫يــــــــم‬
ِ ‫َّح‬
ِ ‫ــــــــه اىس‬
ِ ‫ْــــــــم اىيَّــــــــ ِه اىسَّحْ َم‬
ِ ‫ِتس‬

Dengan penuh ketulusan hati dan segenap rasa syukur kepada Allah Swt.,

skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Ibu Umi Nafisah/Umarsih dan Bapak Sumari (Alm) serta Bapak Ihwan yang

telah mendidik, membimbing, memberikan kasih sayang, dan do‟a dan

segalanya yang menjadi perantaraku untuk memperoleh tujuan hidupku, ilmu,

iman, amal shalih, dan ridho Allah Swt.

2. Ibu Sri Ambarwati dan Bapak Hanafi yang telah mendukung, memotivasi,

mendo‟akan, dan membantu banyak hal yang berkaitan dengan perkuliahan,

sehingga dengan Ridho Allah penulis bisa menyelesaikan studi S1 dengan

baik dan tepat pada waktunya.

3. Adik-adikku tercinta, Iska Setiarini, Hidayatul Umami, Nainul Muna yang

selalu mendo‟akan, mendukung, dan membantu.

4. Keluarga besar dan saudara-saudara penulis di manapun berada yang selalu

mendo‟akan, mendukung, dan membantu.

5. Dr. Hasani Ahmad Said. M.Pd. yang telah membimbing penulis sehingga bisa

mendapatkan judul skripsi ini.

6. Orang-orang yang selalu mewarnai hidup penulis, sehingga penulis bisa

hidup tumbuh dan berkembang dalam kebaikan dan ketaatan, antara lain: Mr.

Walyono, S.Pd.I., CT., CM., Ibu Juariyah, Bapak Hidayatullah DAHA, Ibu

H. dr. Supartinah, Sp. THT., Ahmad Fikri Sabiq, S.Pd.I., Muhammad

viii
Maghfurin, Nur Afandi, Suyadi, Bapak Sujatmiko, Bu Arna, Pak Rozak, Ibu

Latifah.

7. Keluarga besar Public Speaking Class (PSC); Bapak Walyono, Pak Azis,

Ihsan, Solehan, Inas, dan semuanya saja.

8. Teman-teman KKN 2017 POSKO 40 Desa Kalangan yang telah membantu

dan mendukung; Adam, Ali, Riza, Lia, Nisa, Nabila, Iva, Dewi.

ix
KATA PENGANTAR
‫يــــــــم‬
ِ ‫َّح‬
ِ ‫ــــــــه اىس‬
ِ ‫ــــــــم اىيَّــــــــ ِه اىسَّحْ َم‬
ِ ‫تِ ْس‬

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Munasabah dalam

Penafsiran Al-Qur‟an (Tela‟ah atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-

Mishbah)”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw.,

keluarga, sahabat, dan umatnya.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

Penulis menyadari bahwa kemampuan yang penulis miliki sangatlah

terbatas, sehingga dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.

Arahan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah membantu terselesainya

skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati

penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Dr. Beny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab

dan Humaniora.

3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir.

4. Bapak Dr. Muh. Irfan Helmy, Lc. MA., selaku Dosen Pembimbing

Akademik.

x
xi
ABSTRAK
M. Sarifudin, 2017. “Kajian Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Tela‟ah
atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah)”. Skripsi. Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang
Kuswaya, M.Ag.
Kata Kunci: Munasabah, Tafsir Al-Qur‟an.
Adanya perbedaan pendapat diantara ulama tentang Munasabah dalam
penafsiran Al-Qur‟an, ada yang setuju dan tidak. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk mengkaji teori Munasabah dan tela‟ah terhadap surah Ar-Rahman
dalam Tafsir Al-Mishbah. Selain itu juga penulis ingin meneliti sejauh mana
validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah dalam tafsirnya.
Dengan analisis (1) Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam
ilmu Al-Qur‟an? (2) Bagaimana ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-
Mishbah? (3) Bagaimana penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman
dalam Tafsir Al-Mishbah? (4) Bagaimana penerapan Munasabah antara surah Ar-
Rahman dengan surah sebelum dan sesudahnya?. Untuk menjawab permasalahan
di atas, maka penulis mengkaji kitab Tafsir Al-Mishbah dan buku-buku yang
mengkaji tentang Munasabah untuk mengetahui definisi Munasabah dan
kedudukannya, mengetahui ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah,
mengetahui penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-
Mishbah, dan mengetahui penerapan Munasabah antara surah Ar-Rahman dengan
surah sebelum dan sesudahnya.
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian studi pustaka yang dilakukan
dengan menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan,
dengan metode library research dan literature yang dilakukan dengan
mengumpulkan sumber data primer berupa Kitab Tafsir Al-Mishbah karya M.
Quraish Shihab dan sumber data sekunder yang berupa buku-buku yang mengkaji
tentang Munasabah. Adapun tekhnik analisis data yang dilakukan ada tiga tahap
yaitu; metode deduktif yang dilakukan dengan menganalisis bab II kajian
Munasabah dalam pandangan umum, bab III ragam kajian Munasabah dalam
kitab Tafsir Al-Mishbah, dan bab IV penerapan Munasabah antarayat dan
antarsurah Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, kemudian metode Conten
Analysis dan Reflektif Thinking dengan menganalisis isi untuk mengetahui
tingakat validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah.
Adapun hasil dari penelitian yaitu: (1) Munasabah secara bahasa artinya
kedekatan, secara istilah adalah adanya hubungan antarayat dan antarsurah.
Munasabah memiliki kedudukan yang penting dalam „Ulumul Qur‟an wa Tafsir.
(2) Tafsir Al-Mishbah memiliki 6 spesifikasi Munasabah ayat dan 8 spesifikasi
Munasabah surah. (3) Penerapan Munasabah ayat dalam surah Ar-Rahman ada 5
spesifikasi. (4) Penerapan Munasabah surah dalam surah Ar-Rahman ada 6
spsifikasi.

xii
DAFTAR ISI

SAMPUL................................................................................................................ i

LEMBAR BERLOGO........................................................................................... ii

JUDUL.................................................................................................................. iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... iv

PENGESAHAN KELULUSAN............................................................................ v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................ vi

MOTTO............................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN............................................................................................... viii

KATA PENGANTAR........................................................................................... x

ABSTRAK........................................................................................................... xii

DAFTAR ISI....................................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................ xvii

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah...................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian..................................................................................... 6
E. Penegasan Istilah........................................................................................ 7
F. Fokus Penelitian......................................................................................... 9
G. Metode Penelitian..................................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan............................................................................... 12

xiii
BAB II PERAN MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN AL-
QUR‟AN……………………………………………………………….……..... 14

A. Munasabah dalam Kajian Al-Qur‟an....................................................... 14


B. Melacak Tradisi Awal Munasabah.......................................................... 26
C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuan Al-Qur‟an dari Klasik Hingga
Pramodern................................................................................................ 40
D. Munasabah dalam Tinjauan Ilmuwan Al-Qur‟an
Kontemporer............................................................................................ 43
E. Menyoal Munasabah: Respon Terhadap Kritik Ilmuwan Barat dan
Orientalis.................................................................................................. 50

BAB III MODEL MUNASABAH AL-QUR‟AN DALAM TAFSIR AL-


MISHBAH............................................................................................................ 57

A. Metode Menyingkap Munasabah Al-Qur‟an........................................... 57


B. Urgensi, Fungsi, dan Kegunaan Memahami Ilmu Munasabah serta Upaya
Pengembangannya................................................................................... 60
C. Karakteristik Munasabah dan Jenis-Jenisnya dalam Tafsir Al-
Mishbah.................................................................................................... 65
D. Pola dan Pendekatan................................................................................ 70
E. Ragam Kajian Munasabah dalam Tafsir Al-
Mishbah.................................................................................................... 71

BAB IV TELA‟AH PENERAPAN MUNASABAH SURAH AR-RAHMAN


DALAM TAFSIR AL-MISHBAH......................................................................... 73

A. Munasabah Ayat...................................................................................... 73
B. Munasabah Surah..................................................................................... 96

BAB V PENUTUP.............................................................................................. 106

A. Kesimpulan............................................................................................ 106
B. Saran....................................................................................................... 107

xiv
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP PENULIS

xv
DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Pustaka
2. Riwayat Hidup Penulis
3. Foto Profil M. Quraish Shihab
4. Cover Kitab Tafsir Al-Mishbah
5. Nota Pembimbing Skripsi
6. Lembar Konsultasi

xvi
xvii
xviii
xix
xx
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai kitab
hidayah atau kitab petunjuk kehidupan manusia. Di samping itu, kitab suci
Al-Qur‟an juga berfungsi sebagai kitab mukjizat yang memperlihatkan bahwa
Al-Qur‟an bukan ucapan Nabi Muhammad Saw., bukan ucapan dari Malaikat
Jibril, dan bukan pula ucapan makhluk lainnya. Al-Qur‟an adalah kalamullah
atau firman Allah yang merupakan citra diri-Nya, karena kalam merupakan
salah satu sifat-Nya diantara sifat-sifat-Nya yang lain. Jika Al-Qur‟an
merupakan kitab mukjizat, mukjizatnya berbeda dengan mukjizat-mukjizat
yang lain yang pernah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa
perbedaan antara mukjizat Al-Qur‟an dan mukjizat nabi-nabi terdahulu.
Karena kemukjizatan nabi-nabi terdahulu bersifat hissi atau sesuatu yang bisa
dideteksi oleh panca indra. Sedangkan mukjizat Al-Qur‟an bersifat
ma‟nawiyah atau tidak bisa dideteksi oleh pancaindra, tetapi oleh perasaan,
akal, pikiran, dan perenungan yang mendalam. Mukjizat Al-Qur‟an tidak
pernah lekang oleh waktu, karena bersifat ma‟nawiyah. Dengan kata lain,
mukjizat ma‟nawiyah lebih hebat daripada mukjizat hissiyyah. Allah
menjadikan mukjizat akhir zaman sebagai mukjizat yang ma‟nawiyah.
Karena perjalanan kehidupan manusia semenjak Nabi Adam As. Sampai Nabi
Muhammad Saw. Sudah sedemikian lama dan berbagai eksperimen
kehidupan telah dijalani oleh umat manusia.1
Seperti diketahui bahwa kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟an tidak

diceritakan secara runtut kecuali pada kisah Nabi Yusuf As. Kisah dalam Al-

1
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. xi-xxi

1
Qur‟an tidak diceritakan secara terperinci, karena umat manusia dituntut

untuk memikirkan dan mempelajari hikmah yang dapat diambil dari cerita-

cerita tersebut. Inilah salah satu indikator Al-Qur‟an mengajak pembacanya

menjadi dewasa, walaupun hanya berupa ungkapan yang ringkas, tetapi

mengandung makna yang dalam.

Al-Qur‟an merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang paling


besar, sehingga para ulama dari masa lalu sampai kini terus berusaha mencari
letak kemukjizatannya. Orang-orang Arab menekuni sastra berusaha mencari
mukjizat Al-Qur‟an dari ungkapan dan redaksinya. Sehingga lahirlah
ilmuwan dalam bidang bAlaghah, seperti Al-Rummani (w. 3884 H/994 M),
Al-Khaththabi (w. 388H/998M), Al-Jurjani, Al-Baqillani (w. 403 H/1013 M),
serta Al-Sakkaki (w. 626 H/1226 M). Selain itu mukjizat Al-Qur‟an dapat
dilihat dari sisi isinya yang mengetengahkan kehebatan syari‟at islam dan
hukum-hukum yang diberlakukan, seperti dalam bentuk ibadah, mu‟amAlah,
munakahah, dan jinayah. Al-Qur‟an dikenal juga dengan mukjiizat Al-
Ghaibi, yaitu terungkapnya hal-hal yang ghaib; mukjizat Al-wa‟d dan Al-
wa‟id, yaitu janji dan ancaman yang selalu terbukti sepanjang sejarah
kehidupan umat manusia; mukjizat „ilmi atau ilmu pengetahuan yang
mengemukakan kecocokan antara penemuan modern dan apa yang
diisyaratkan Al-Qur‟an. Muncul juga mukjizat yang bersifat „adadi, yaitu
bilangan yang ada dalam Al-Qur‟an, baik yang berkaitan dengan jumlah
huruf, kalimat, maupun ayat yang menunjukkan keseimbangan jumlah satu
kalimat dengan kalimat yang menjadi lawannya atau bentuk-bentuk istimewa
lainnya.2
Harus diakui bahwa Munasabah dalam Al-Qur‟an tidak ada

penjelasannya dari Nabi Saw. dan para sahabat. Oleh karena itu, ilmu

2
Ibid., hlm. xii-xiii.

2
Munasabah dikategorikan sebagai ilmu yang tidak wajib dipelajari. Jika

Munasabah wajib dipelajari, harus ada penjelasan dari Nabi.3

Diantara ulama dari zaman klasik sampai zaman pra-modern banyak

perbedaan pendapat terhadap unsur Munasabah dalam Al-Qur‟an, yang

merupakan salah satu cabang Ilmu Al-Qur‟an. Banyak diantara mereka yang

sependapat terhadap Ilmu Munasabah, walaupun disisi lain ada beberapa

ulama yang bertentangan. Diantara ulama yang bertentangan antara lain;

Mahmud Syaltut (w. 1963), Ma‟ruf Dualibi, dan Imam Asy-Syaukani (w.

1834 M), Asy-Syathibi (w. 790 H/1968 H).

Ma‟ruf Dualibi, mengataan,”Maka termasuk usaha yang tidak perlu


dilakukan adAlah mencari-cari hubungan diantara ayat-ayat dan surah-surah
Al-Qur‟an. sebagaimana hAlnya adaikata urusan itu mengenai hak-hak dan
kewajiban misAlnya. Sebenarnya yang dicari itu hanyAlah hubungan atas
dasar uatu atau beberapa prinsip”. Hal ini diperjelas oleh Asy-Syathibi
dalam Kitab Al-Muwafaq, menyatakan bahwa Al-Qur‟an dalam berbagai ayat
yang ditampilkan hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip
(mabda‟) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada
tempatya bila orang bersikeras memaksakan diri mencari korelasi antara ayat
dengan ayat dan surah dengan surah yang bersifat tafshil. Dalam tafsirnya
Fath Al-Qodir, mengkritik Al-Biqa‟i (w. 885 H) yang memperbanyak kajian
Munasabah.4 Al-Syaukani juga mengatakan bahwa ilmu Munasabah adalah
ilmu yang dipaksakan dan tidak pantas dimasukkan ke dalam kajian sastra
arab. Apalagi dimasukkan ke dalam Al-Qur‟an yang mengandung nilai sastra
yang sangat tinggi. Ilmu Munasabah termasuk ke dalam ilmu tasfsir bi Al-
ra‟yi, sedangkan penafsiran Al-Qur‟an dengan metode bi Al-ra‟yi tidak

3
Ibid.
4
Usman, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 169.

3
diperbolehkan. Dengan kata lain, mencari-cari Munasabah adalah kegiatan
yang menghabiskan waktu dan tidak menghasilkan manfaat.5
Sedangkan ulama yang peduli dan setuju terhadap unsur Munasabah
dalam Al-Qur‟an antara lain:6
1. Al-Thabari (w. 310 H).
2. Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H).
3. Al-Razi (w. 606 H).
4. Al-Harrali Abu Al-Hasan (w. 637 H).
5. Al-Gharnathi, Ahmad bin Ibrahim Al-Zubair, Abu Ja‟far (w. 708 H) dalam
kitab Al-Burhan fi Munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur‟an.
6. Al-Biqa‟i (w. 885 H) dalam kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-
Suwar yag diringkas dalam kitab DilAlah Al-Burhan Al-Qawim „Ala Tanasub
Al-Qur‟an Al-Azhim.
7. Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab Tanasuq Al-Darur fi Tanasub Al-Suwar
yang diringkas dalam kitab Asrar Al-Tanziil dan kitabnya yang lain adalah
Marashid Al-MathAli fi Tanasub Al-Maqashid wa Al-MathAli‟.
8. Syekh Sajaqli Zadah Al-Mursyi (w. 115 H), pengarang kitab Nahr Al-Najat fi
Bayan Munasabat Umm Al-Kitab.

Mereka menganggap bahwa dengan mengetahui Munasabah akan

sangat membantu dalam memahami kandungan Al-Qur‟an. Al-Biqa‟i

menukil dari gurunya tentang kegunaan ilmu Munasabah, sebagai berikut:

Secara globAl, untuk mengetahui ilmu Munasabah pada Al-Qur‟an


adAlah engkau melihat terlebih dahulu tujuan umum dari satu surah,
kemudian engkau perhatikan unsur-unsur yang terlihat dalam
menggolongkan tujuan umum tersebut dengan dilihat dari kedekatan dan
unsur-unsur tersebut. Jika engkau telah melakukannya, engkau akan

5
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. xv.
6
Ibid., hlm. xiv.

4
mengetahui susunan dan urutan satu ayat. Oleh karena itu, ilmu Munasabah
adAlah ilmu yang sangat baik. Hubungan antara ilmu ini dan ilmu tafsir
bagaikan hubungan antara ilmu bAlaghah dan ilmu nahwu.7

Karena dilandasi adanya perbedaan pendapat di atas, penulis

tertantang dan termotivasi untuk mengkaji teori Munasabah sekaligus

penerapannya dalam penafsiran Al-Qur‟an. Kali ini penulis akan menela‟ah

surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah kaitannya dengan ilmu

Munasabah. Karena M. Quraish Shihab juga merupakan salah satu ulama

tafsir kontemporer yang setuju terhadap unsur Munasabah dalam penafsiran

Al-Qur‟an. Di sini penulis juga ingin meneliti sejauh mana validitas atau

ketepatan M. Quraish Shihab dalam menerapkan ilmu Munasabah dalam

kitab tafsirnya. Sehingga nantinya tahu seberapa besar manfaat unsur

Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an, yang nantinya berdampak pada

kemudahan umat manusia dalam memahami makna dan kandungan Al-

Qur‟an. Untuk mencapai hasil yang maksimal, akan disisipi beberapa kitab

tafsir sebagai pembanding. Selain itu pengambilan surah Ar-Rahman,

dikarenakan di dalam surah itu ada ayat yang terulang sejumlah 31 kali, tentu

ini berpengaruh terhadap penerapan unsur Munasabah Al-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah

Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis merumuskan

pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, antara lain:

7
Ibid., hlm. xvi.

5
1. Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam Ilmu Al-

Qur‟an?

2. Bagaimana ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah?

3. Bagaimana penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam

Tafsir Al-Mishbah?

4. Bagaimana penerapan Munasabah, antara surah Ar-Rahman dengan surah

sebelum dan sesudahnya?

C. Tujuan Penelitian

Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat

ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

Untuk mengetahui ragam Munasabah surah dalam Tafsir Al-Mishbah.

1. Untuk mengetahui definisi Munasabah dan kedudukannya dalam Ilmu Al-

Qur‟an.

2. Untuk mengetahui ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah.

3. Untuk mengetahui penerapan Munasabah ayat, surah Ar-Rahman dalam

Tafsir Al-Mishbah.

4. Untuk mengetahui penerapan Munasabah, antara surah Ar-Rahman

dengan surah sebelum dan sesudahnya.

6
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap Ilmu Munasabah,

yang kemudian bisa dikembangkan para mufassir di kalangan akademik

maupun non akademik.

b. Menambah khasanah tentang Munasabah dalam surah Ar-Rahman.

c. Bagi para calon Sarjana dalam bidang Al-Qur‟an, bisa sebagai wacana

dan referensi dalam penulisan Karya Ilmiah di masa mendatang dan

dikembangkan dalam dunia akademik.

d. Bagi masyarakat muslim secara umum, bisa sebagai ilmu dan wacana

yang bisa dikembangkan dalam majelis-majelis Al-Qur‟an.

2. Manfaat Praktis

Memberikan peran positif, sebagai pertimbangan dalam berfikir

dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat digunakan sebagai

berikut:

a. Bermanfaat bagi civitas akademika dan sekitarnya untuk menerapkan

segala perintah dan larangan serta peringatan Allah Swt dalam surah

Ar-Rahman di kehidupan sehari-sehari.

b. Bermanfaat bagi masyarakat umum untuk menerapkan segala perintah

dan larangan serta peringatan Allah Swt. dalam surah Ar-Rahman di

kehidupan sehari-hari.

7
c. Masyarakat menjadi tahu serta paham, bahwa dalam mempelajari Al-

Qur‟an ada sisi terkecil dan bahkan sering terabaikan, tapi begitu besar

manfaatnya, yaitu Ilmu Munasabah.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul

penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat

dalam judul ini, antara lain:

1. Kajian adalah menyelidiki atau meneliti sesuatu dengan proses tahapan

mengetahui, memahami, dan menyimpulkan secara objektif dan kritis.

2. Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang

saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis

mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan

menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan

fenomena alamiah.

3. Munasabah secara bahasa, berasal dari bahasa arab dari kata (‫ مناسبة‬- ‫يناسب‬
‫ )ناسب‬Kata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujaradnya ‫( نسب‬nasaba)
yang berarti hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Ahmad bin Faris
bin Zakariya, V, 1967: 423). Kata nasab juga dapat berarti keturunan,
sebab keturunan itu adalah adanya hubungan antara orang tua dengan
anak-anaknya. Munasabah berarti muqarabah (‫ )مقاربة‬atau kedekatan dan
kemiripan. Hal ini tentunya antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan
tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada

8
sebagian saja.8 Atau ‫ة – يَ ْىسُةُ – وَ َسثا ً – وِ ْسثَةً) اى َّس ُج َو‬
َ ‫ )وَ َس‬yang berarti
menyebutkan asal laki-laki.9
)ُ‫ َذ َمس وَ َسثَه‬: ‫ة – وَ َسثا ً – َووِ ْسثَةً – اى َّس ُج ُو‬
َ ‫ )وَ َس‬yang berarti menyebutkan nasabnya
(keturunannya).10
Munasabah secara istilah adalah adanya kecocokan, kepantasan,
dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah, atau
Munasabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam
Al-Qur‟an, baik pada surah maupun pada ayat-ayatnya yang
menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lain.11
4. Penafsiran asli katanya tafsir, secara etimologi berasal dari kata Al-fasru

yang artinya menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedaangkan menurut

istilah, yaitu menjelaskan makna-makna Al-Qur‟an Al-Karim.12

5. Al-Qur‟an secara etimologi adalah masdar dari qara‟a yang berarti tAla
(membaca) atau jama‟a (mengumpulkan). Masdar qara‟a untuk tAla
bermakna isim maf‟ul (obyek) yang artinya bacaan. Adapun untuk kata
jama‟a bermakna isim fa‟il (subyek) artinya yang mengumpulkan, karena
dalam al-Qur‟an terkumpul berbagai berita dan hukum.13 Jadi Al-Qur‟an
menurut bahasa dapat berarti himpunan, kumpulan, dan bacaan.14
Al-Qur‟an menurut istilah adalah, antara lain:
- Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
- Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.
- Dinukilkan secara mutawatir.
- Membacanya bernilai ibadah.

8
Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: Lokus, 2012), hlm. 39.
9
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2007), Hlm. 449.
10
A.w. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 1404H/1984M), hlm. 1509.
11
Ibid.
12
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan Dasar-
dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014), hlm. 40.
13
Ibid., hlm. 5.
14
Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: Lokus, 2012), hlm. 2.

9
- Tertulis dalam mushaf, diawali dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah Al-Nas.15
6. Tela‟ah, kata tela‟ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

artinya menyelidiki, meneliti, mengakaji, menilik, memeriksa.

7. Surah adalah kumpulan dari beberapa ayat sebagaimana termaktub dalam

standar Mushaf Utsmani.

8. Ar-Rahman adalah salah satu surah dalam Al-Qur‟an yang memiliki

makna Maha Pengasih. Ar-Rahman adalah salah satu Asma‟ul Husna yang

dimiliki Allah Swt. Surah Ar-Rahman merupakan surah madaniyah, surah

ke 55, juz ke 27, dan terdiri dari 78 ayat.

9. Al-Mishbah adalah nama kitab tafsir karya M. Quraish Shihab.

F. Fokus Penelitian

Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an penting untuk dikaji dalam

berbagai sudut pandang dan teori. Meskipun tidak semua ulama sepakat

adanya munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an. Maka dengan ini penulis

mencoba memisahkan dan mengkodifikasikan mana ulama yang setuju dan

tidak beserta alasannya. Salah satu yang sepakat dengan adanya munasabah

dalam penafsiran Al-Qur‟an, adalah M. Quraish Shihab. Secara umum kitab

Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab memiliki dua ragam Munasabah.

Pertama, Munasabah ayat yang ditelisik melalui enam spesifikasi, yaitu

Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan

fashilah (penutupnya), antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata

15
Ibid., hlm. 3.

10
dalam satu ayat, antara kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat

terakhir, dalam satu surah. Kedua, Munasabah surah yang ditelisik melalui

delapan spesifikasi, yaitu Munasabah antara surah dan surah sebelumnya,

antara awal surah dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan akhir surah

sebelumnya, antara tema surah dan nama surah, antara penutup surah dan

uraian awal surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya dalam satu

surah, antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih Al-suwar

(Pembuka Surah) dan isi surah. Penelitian ini difokuskan pada tela‟ah dan

analisis munasabah surah Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah.

G. Penelitian Terdahulu

Dari sekian banyak ulama maupun para ahli di bidang „Ulumul

Qur‟an wa Tafsir hanya Hasani Ahmad Said dalam bukunya yang berjudul

Diskursus Munasabah dalam Tafir Al-Mishbah. Karya beliau relevan dengan

tema penelitian penulis kali ini. Maka penulis di sini mencoba untuk

mengembangkan lebih dalam dan spesifik lagi dari penelitian yang dilakukan

Hasani Ahmad Said, yaitu dengan pendekatan kajian teori munasabah

perspektif Tafsir Al-Mishbah dalam surah Ar-Rahman. Di sini penulis tidak

hanya mengkaji, tapi juga melakukan analisis dan tela‟ah secara intens.

11
H. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk sampai

pada tujuan penelitian, teknik tersebut meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian Pustaka (library research).

Karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka.

Dimana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah berbagai tulisan yang relevan dengan judul yang penulis angkat.

Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:

a. Data yang bersumber dari teks Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟an dan

Surah Ar-Rahman dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish

Shihab, atau disebut sebagai data primer (utama).

b. Data yang bersumber dari buku-buku atau karya tulis lainnya yang

berkaitan dengan pembahasan judul yang penulis angkat, sebagai data

pendukung dan pelengkap serta memperjelas sumber data primer, atau

disebut sebagai data sekunder (kedua/pendukung).

2. Pendekatan Penelitian

Untuk mendapatkan data dan hasil yang maksimal dan tepat, maka

penelitian ini dikaji menggunakan pendekatan ilmu Munasabah dan

sejarah, yang kemudian dikaitkan dengan tema-tema kontekstual.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis

menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi, yaitu mencari

12
data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan,

transkip, surah kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda,

jurnal, dan sebagainya.

Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara

membaca, menela‟ah, dan mengkaji kitab-kitab tafsir, terutama tafsir surah

Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah dan buku-buku lainnya yang

berkaitan dengan tema pembahasan. Kemudian hasil dari data itu dianalisis

untuk mendapatkan pengetahuan dan konsep Munasabah dalam penafsiran

surah Ar-Rahman perspektif Tafsir Al-Mishbah.

4. Metode analisis

Karena penelitian ini jenis penelitian kuAlitatif literature, maka

metode analisis yang penulis gunakan adalah metode Analisis Isi (content

anAlysis).

I. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini ditulis secara anAlitis-narasi, dan sistematika

dalam penyusunannya sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang; latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II: Peran Munasabah sebagai instrumen penafsiran Al-Qur‟an.

Pada bab ini dijabarkan tentang; Munasabah dalam kajian Al-Qur‟an,

Melacak tradisi awal Munasabah, Munasabah perspektif Pakar Ilmuan Al-

13
Qur‟an dari klasik hingga pramodern, Munasabah dalam tinjauan Ilmuwan

Al-Qur‟an kontemporer, menyoal Munasabah: respons terhadap kritik

Ilmuwan Barat dan Orientalis.

Bab III: Bentuk Munasabah Al-Qur‟an surah Ar-Rahman dalam

Tafsir Al-Mishbah. Pada bab ini dijabarkan tentang; metode menyingkap

Munasabah Al-Qur‟an, urgensi, fungsi, dan kegunaan memahami ilmu

Munasabah serta upaya pengembangannya, karakteristik Munasabah dan

jenis-jenisnya dalam Tafsir Al-Mishbah, analisis perbandingan terhadap pola

dan pendekatan, ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah.

Bab IV: Penerapan dan tela‟ah Munasabah surah Ar-Rahman dalam

Tafsir Al-Mishbah. Pertama, Munasabah ayat meliputi: Munasabah antarayat

dalam satu surah, Munasabah antara kelompok ayat dalam surah, Munasabah

antara ayat dan penutupnya (fashilah), Munasabah antarkalimat dalam ayat,

Munasabah antarkata dalam satu ayat. Kedua, Munasabah surah meliputi:

Munasabah antara Fawatih Al-Suwar (Pembuka Surah) dan akhir surah

(Penutup Surah), Munasabah antara tema surah dan nama surah, Munasabah

antara fawatih al-suwar dan isi surah, Munasabah antara awal surah dan

penutup surah sebelumnya, Munasabah antara suatu surah dan surah

sebelumnya, Munasabah antara suatu surah dan surah setelahnya, Munasabah

antara awal surah dan akhir surah.

Bab V: Penutup. Pada bab ini akan disimpulkan penulis berdasarkan

pemaparan pada bab-bab sebelumnya, dan saran-saran atau kalimat penutup

yang sekiranya dianggap penting, dan daftar pustaka.

14
BAB II

PERAN MUNASABAH SEBAGAI

INSTRUMEN PENAFSIRAN AL-QUR’AN

A. Munasabah dalam Al-Qur’an

1. Pengertian Munasabah

Secara etimologis Al-Munasabah (‫ )اىمىاسثة‬berasal dari mashdar an-


nasabu (‫ )اىىسة‬berarti Al-qarabah (‫)اىقساتة‬. Orang Arab mengatakan fulan
yunasibu fulanan, fahuwa nasibuhu maksudnya qaribuhu. Kata qaraba
sendiri berarti dekat. Orang yang berasal dari nasab yang sama disebut
qarabah (kerabat) Karena kedekatannya. Dari kata nasab itulah dibentuk
menjadi Al-Munasabah (‫ )اىمىاسثة‬dalam arti Al-Muqarabah (‫)اىمقازتة‬,
kedekatan satu sama lain. oleh sebab itu Al-Munasabah adalah sesuatu
yang masuk akal, jika dikemukakan kepada akal diterima. Mencari
kedekatan antara dua hal adalah mencari hubungan atau kaitan antara
keduanya seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaan, dan
hubungan-hubungan lain yang bisa ditemukan antara dua hal.16
Secara terminologis yang dimaksud dengan Munasabah adalah
menyesuaikan dan mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat
atau kelompok ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik
dengan yang sebelumnya maupun sesudahnya. Termasuk mencari kaitan
antara ayat yang berada pada akhir sebuah surah dengan ayat yang berada
pada awal surah berikutnya atau antara satu surah dengan surah
sesudahnya atau sebelumnya. Secara sederhana Manna‟ al-Qaththan
mendefinisikan, Munasabah adAlah bentuk hubungan antara satu kAlimat

16
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,,
hlm. 207.

15
dengan kAlimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat
lain dalam satu kelompok ayat, antara satu surah dengan surah lain.17
Kajian tentang Munasabah berawal dari kenyataan bahwa

sistematika urutan ayat-ayat atau surah-surah Al-Qur‟an sebagaimana

terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada

kronologis turunnya. Meskipun demikian, setiap kali ayat turun, Nabi

memberi tahu tempat ayat-ayat itu dari segi sistematika urutannya dengan

ayat-ayat atau surah-surah yang lainnya sambil memerintah sahabatnya

untuk menulisnya. Dalam Al-Qur‟an, ada beberapa indikasi yang

mempunyai sinyal kuat yang menunjukkan bahwa Al-Qur‟an adalah satu

kesatuan yang memiliki keserasian (Munasabah), yaitu pada (QS. Al-Nisa‟

(4) : 82), (QS. Hud (11) : 1), (QS. Al-Zumar (39) : 23).

Menurut Al-Qurthubi, Surah Al-Nisa‟ ayat 82 tersebut menjelaskan


bahwa salah satu mukjizat Al-Qur‟an adalah tidak ada pertentangan sedikit
pun dari sisi hubungan antara ayat-ayat dan surah-surahnya. Rifa‟ah Fauzi
(w. 1873) juga mengatakan bahwa Al-Qur‟an memiliki kemukjizatan
berupa hubungan antara bagian-bagiannya. Surah bertalian dengan surah
sebelum ataupun sesudahnya, ayat bertalian dengan ayat sebelum ataupun
ayat sesudahnya, serta ada keterkaitan makna dan tema, sehingga terjadi
penyempurnaan. Semua itu terjadi lebih dari satu tema, dalam satu ayat
atau satu surah, seperti tergambar dalam surah Al-Nisa‟ di atas.18
Al-Zamakhsyari (w. 538 H) memberikan penjelasan mengenai
Surah Hud ayat 1 dengan mengumpamakan Al-Qur‟an susunannya laksana
sebuah bangunan yang kokoh. Sementara itu Surah Al-Zumar ayat 23
dipahami bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dibandingkan dengan

17
Ibid., hlm. 208.
18
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 2.

16
Al-Qur‟an. dalam hal ini, Al-Zarkasyi (w. 1985 M) berkata,”sAlah satu
ciri perkataan yang baik adAlah adanya hubungan antara satu bagian dan
bagian lain sehingga tidak ada kAlimat yang terbuang”.19
Az-Zarkasyi memberi contoh Munasabah antara pembukaan suatu
surah dengan akhir surah sebelumnya. Misalnya surah Al-An‟am dimulai
َ ْ‫ت َو ْاألَز‬
dengan ‫ض‬ َ َ‫( ْاى َح ْم ُد هللِ اىَّ ِري َخي‬SegAla puji bagi Allah yang telah
َ ‫ق اى َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
menciptakan langit dan bumi) sangat sesuai dengan ayat akhir surah Al-

ِ ْ‫ت َو ْاألَز‬
Ma‟idah sebelumnya ‫ض‬ ُ ‫( ِهللِ ُم ْي‬Kepunyaan Allah lah kerajaan
ِ ‫ل اى َّس َما َوا‬
langit dan bumi). Contoh lain pembukaan surah Al-Baqarah dengan ‫اىــم‬
ُ‫ل ْاى ِنتَاب‬
َ ِ‫} َذى‬1{ (Alif lam mim. Kitab Allah) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa) menunjuk kepada ash-shirath pada
surah Al-Fatihah ‫( ا ْه ِدوَااىصِّ َساطَ ْاى ُم ْستَقِي َم‬Tunjukilah kami jAlan yang lurus)
seolah-olah tatkala mereka meminta diberi petunjuk jalan yang lurus,
langsung dijawab, petunjuk menuju jalan yang lurus seperti yang kamu
minta itu adalah Al-Kitab (Al-Qur‟an ).20 Contoh lain dalam (QS. Al-
Baqarah (2) : 195). Bahwa Apakah ada kaitan langsung antara perintah
berinfak (Dan belanjakanlah harta bendamu di jAlan Allah) dengan
larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat
tersebut berdiri sendiri? Kalau kita renungkan lebih mendalam tentu akan
ditemukan kaitan logis antara dua bagian isi ayat tersebut. Apabila umat
islam, karena kikir atau kurangnya kesadaran akan pentingnya peran serta
aktif setiap orang dalam pendanaan semua amal usaha dan perjuangan
umat, tidak mau menyumbangkan sebagian harta bendanya untuk
perjuangan, maka tentu saja perjuangan itu tidak akan berhasil. Apabila
perjuangan tidak berhasil, dampak negatifnya juga akan dirasakan oleh
umat itu sendiri. Umat Islam akan tetap miskin, tertinggal dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kalah bersaing dengan umat-
umat lain, dan pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan mereka akan
19
Ibid.
20
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2,
hlm. 208.

17
dijajah, sekalipun tidak lagi dalam bentuk penjajahan fisik, tapi ekonomi,
politik, dan budaya. Hal itu berarti umat islam yang tidak mau berinfak
sengaja menghancurkan diri mereka sendiri.21

Maka bukan termasuk Munasabah apabila yang dicari adalah


hubungan antara satu ayat dengan ayat lain yang tidak berdekatan, karena
hal itu masuk kategori tafsir Al-ayah bi Al-ayah seperti surah Al-An‟am
ayat 82 ditafsirkan oleh Surah Luqman ayat 13. Tatkala mendengar Surah
Al-An‟am 82, sebagian sahabat merasa berat dan tidak sanggup menjadi
orang yang beriman, karena siapakah diantara mereka yang tidak pernah
melakukan kezaliman, paling tidak atas dirinya sendiri. Lalu Nabi
menjelaskan bahwa kezaliman yang dimaksud dalam ayat tersebut,
bukanlah seperti yang dipahami mereka, tetapi seperti yang dimaksudkan
oleh hamba Allah yang soleh yaitu Luqman,” sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adAlah benar-benar kezAliman yang besar”.
Demikianlah penjelasan Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, at-Tirmidzi, dan lain melalui sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas‟ud.22

Jadi secara garis besar Munasabah didapat atau ditemukan dengan

cara penalaran saja, bukan dengan periwayatan. Dengan demikian diterima

atau tidaknya penalaran tersebut tergantung tingkat logikanya, semakin

logis tentu akan semakin dapat diterima. Ada ayat-ayat yang mudah

dipahami hubungannya satu sama lain, tetapi tidak sedikit pula yang perlu

pendalaman, sehingga baru tampak Munasabahnya. Bagi sebagian orang,

bisa saja antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu kelompok

dengan kelompok ayat yang lain atau antara satu kelompok ayat dengan

21
Ilyas, Yunahar, Cakrawala Al-Qur‟an Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek kehidupan
(Yogyakarta: Itqan Publishing, 2011), hlm. 200.
22
Ibid., hlm. 210.

18
kelompok ayat yang berdekatan tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi

bagi ulama yang mendalaminya akan melihat hubungannya.

1. Macam-Macam Munasabah

a. Munasabah antara Satu kalimat dengan Kalimat Sebelumnya dalam

Satu Ayat

Munasabah jenis ini mencari hubungan atau kaitan antara satu

kalimat sebelumnya dalam satu ayat. Contohnya bisa dilihat pada

contoh Munasabah di penjelasan sebelumnya dalam QS. Al-Baqarah

(2) : 195.23

b. Munasabah antara Satu Ayat dengan Ayat Sesudahnya

Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu ayat dengan


ayat sesudahnya. Misalnya hubungan antara Surah Al-Isra‟ ayat 1 dan
2. Apa hubungan antara peristiwa Isra‟ Nabi Muhammad SAW yang
disebutkan pada ayat pertama dengan berikutnya Kitab Taurah kepada
Nabi Musa AS pada ayat yang kedua? Menurut M. Quraish Shihab,
ayat pertama menyebutkan anugerah Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW yang mengisra‟kan beliau dari Mesir ke negeri yang
diberkahi pula, yaitu Palestina tetapi memakan waktu yang lama.
Penyebutan Nabi Musa juga mempunyai kaitan yang sangat jelas
dengan peristiwa Isra‟ Mi‟raj, karena beliau yang berulang-ulang
mengusulkan agar Nabi Muhammad SAW memohon keringanan atas
kewajiban sholat 50 kali sehari semalam.24
c. Munasabah antara Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat

Sebelumnya

23
Ibid.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2001), vol 7, hlm. 407.

19
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu kelompok
ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Misalnya Surah Al-Baqarah
ayat 1-20 tentang beberapa kategori manusia ditinjau dari segi
keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa,
yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek Iman,
Islam, dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang
kafir, yaitu orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat
selanjutnya 8-20 berbicara tentang orang-orang munafiq, yang di luar
mengaku beriman, tetapi di dalam mengingkari Allah SWT.25

d. Munasabah antara Awal Surah dengan Akhir Surah Sebelumnya

Surah Al-Hadid dengan akhir Surah Al-Waqi‟ah. Allah

berfirman: Munasabah jenis ini mencari hubungan antara awal surah

dengan akhir surah sebelumnya, misalnya (QS. Waqi‟ah (56) : 96)

dengan (QS. Al-Hadid (57) : 1).

Surah Al-Waqi‟ah pada bagian awal lalu menguraikan tentang

kepastian kiamat dan pembagian manusia menjadi tiga golongan yang

disertai balasannya. Selanjutnya, surah ini ditutup dengan menyatakan

kesungguhan Al-haq Al-yaqin, yaitu keyakinan yang disertai hak atau

keyakinan yang sangat benar. Dengan demikian, maka bertasbihlah,

yaitu tingkatkan upayamu dengan mensucikan diri (menyebut) nama

Tuhanmu sebagai pemelihara dan pembimbingmu Yang Maha Besar.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa uraian penutup surah sangat

serasi dengan uraian awalnya.

25
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,,
hlm. 213.

20
e. Munasabah antara Satu Surah dengan Surah lainnya

Munasabah jenis ini mencari hubungan antara nama satu surah


dengan nama surah sebelum dan sesudahnya, hubungan antara
kandungan satu surah dengan surah berikutnya, hubungan antara akhir
surah dengan awal surah berikutnya. Salah satu contohnya adalah
Munasabah antara Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah dari segi
nama. Di antara isi penting Surah Al-Fatihah adalah tentang Tauhid,
baik dari segi rububiyah, mulkiyah maupun ilahiyah-Nya. Dengan
doktrin Tauhid, seseorang dilarang menuhankan apa dan siapa pun
selain Allah SWT termasuk menuhankan Al-Baqarah sebagaimana
yang dilakukan oleh Bani Israil di bawah inisiatif as-Samiri. Guna
melakukan pembinaan dan mempertahankan tauhid secara konsekuen
diperlukan pembinaan dalam keluarga. Dan salah satu keluarga yang
menjadi teladan adalah keluarga „imran (Ali Imran). Salah satu sebab
penting keberhasilan sebuah keluarga adalah peran kaum perempuan
(An-Nisa‟) terutama Ibu. Sebuah keluarga tentu memerlukan kecukupan
ekonomi terutama untuk makan dan minum. Makanan dan minuman
yang dibutuhkan tentu saja makanan yang halal lagi baik dan bergizi
seperti diisyaratkan dalam Surah Al-Ma‟idah yang berarti hidangan
makanan.26
2. Bentuk-bentuk Munasabah

a. Zhahir Al-Irtibath

Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat


berikutnya atau satu ayat dengan ayat berikutnya tampak nyata.
Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa berupa ta‟kid
(penegasan), tafsir (penjelasan), i‟tiradh (bantahan), atau tasydid
(penekanan) terhadap kalimat atau ayat yang pertama. Satu bagian
ayat tergantung dengan bagian sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu
ayat tergantung dengan ayat sesudahnya, juga tidak bisa dipisahkan.

26
Ibid., hlm. 214-215.

21
Kalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkan bisa
menimbulkan pemahaman yang keliru.27 Misalnya ayat 4 surah Al-
Ma‟un:
b. Khafiy Al-Irtibath

Adakalanya hubungan antara suatu kalimat dengan kalimat


berikutnya atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak tampak
nyata. Masing-masing berdiri sendiri, tidak tergantung dengan kalimat
atau ayat sesudahnya. Kesempurnaan makna kalimat pertama atau
ayat pertama tidak tergantung dengan kalimat atau ayat berikutnya.
Kalau dipisahkan maknanya tetap sempurna. Irtibath jenis ini hanya
dapat diketahui setelah dikaji dan didalami dengan baik. Ada dua
bentuk irtibath yang tidak tampak ini. Pertama, Irtibath Ma‟thufah,
dan kedua, Irtibath Ghairu Ma‟thufah, masing-masing akan dijelaskan
sebagai berikut:

1) Irtibath Ma‟thufah

Irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat


menggunakan huruf „athaf. Bagian kedua bisa berupa nazhir
(bandingan) dan syarik (mitra) dari bagian sebelumnya dan bisa
juga berupa Al-Madhahah (lawan katanya). Untuk nazhir
(bandingan) dan syarik (mitra). Seperti dalam Al-Qur‟an surat.
Al-Hadid (57) ayat 4. Kata kerja ‫( ييج‬masuk) dalam ayat ayat
tersebut adalah bandingan atau nazir dari kata kerja ‫( يخسج‬keluar).
Begitu juga kata kerja ‫( يىزه‬turun) adalah bandingan dari kata
kerja ‫( يعسج‬naik). Tampak dalam ayat di atas bagaimana kaitan
antara kalimat apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
keluar daripadanya; dan kaitan antara apa yang turun dari langit

27
Ibid., hlm. 215.

22
dan apa yang naik kepada-Nya, sehingga kalimatnya menjadi
sangat serasi.28
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jAlan Allah),
maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembAlikan.
(QS. Al-Baqarah (2) : 245)
Kata kerja ‫( يقثط‬menyempitkan) dalam ayat di atas adalah
bandingan atau nazir dari kata kerja ‫( يثصط‬melapangkan). Tanpak
dalam ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat Allah
menyempitkan dengan kalimat melapangkan (rezki). Sehingga
kalimatnya menjadi sangat serasi.29
Sedangkan untuk Al-Madhahah (lawan katanya) dapat
dilihat contohnya pada ayat-ayat yang menyebut rahmah setelah
azab, raghbah (dorongan melakukan sesuatu) setelah ruhbah
(ancaman untuk tidak melakukan sesuatu). Sudah menjadi
kebiasaan Al-Qur‟an, setelah menyebut hukum tertentu Al-Qur‟an
menyebut sesudahnya janji pahala dan ancaman dosa agar
menjadi pendorong untuk melaksanakan hukum yang disebutkan
sebelumnya. Kemudian menyebut ayat-ayat tauhid (mengesakan
Allah SWT) agar manusia mengetahui keagungan Allah Yang
Maha Memerintah dan Maha Melarang. Contoh-contoh
Munasabah jenis ini banyak terdapat dalam surah Al-Baqarah,
An-Nisa‟, dan Al-Maidah.30 Salah satu contohnya adalah setelah
menjelaskan panjang lebar hukum waris dam Surah An-Nisa‟ ayat
7-12, lalu Allah menyampaikan janji dan ancaman pada ayat 13

28
Ibid., hlm. 217.
29
Ibid., hlm. 217-218.
30
Ibid., 218.

23
dan 14. Ada juga jenis irtibath ma‟thufah yang lebih sulit
diketahui kecuali dengan melakukan penelitian lebih mendalam.31
2) Irtibath Ghairu Ma‟thufah

Jika irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat

atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak menggunakan

huruf „athaf maka dalam hal ini untuk mencari Munasabahnya

harus dicari qarain maknawiyah, petunjuk-petunjuk yang didapat

dari pengertian maknanya. Petunjuk-petunjuk maknawiyah yang

bisa digunakan antara lain adalah:

a) At-Tanzir

Dicari bandingan (nazhir) antara satu ayat dengan ayat


lainnya, misalnya dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 5. Ayat ini
menjelaskan bagaimana para sahabat pasukan perang Badar
berselisih pendapat tentang pembagian harta rampasan perang.
Kemudian pembagian harta harta rampasan perang itu
diserahkan kepada Rasulullah SAW sekalipun mereka tidak
menyukainya. Allah SWT menyuruh mereka bertaqwa dan
memperbaiki hubungan sesama mereka serta taat kepada
Allah SWT jika mereka benar-benar beriman. Lalu dijelaskan
sifat-sifat orang beriman dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 4.
Bahwa keadaan itu, yaitu ketidaksukaan mereka tatkala
pembagian harta rampasan perang itu diserahkn kepada
Rasulullah SAW sama dengan ketidaksukaan sebagian
meraka waktu Allah memerintahkan kepada Nabi untuk
keluar dari rumah beliau memimpin pasukan untuk menceah
kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan.32

31
Ibid., hlm. 220.
32
Ibid., hlm. 222.

24
b) Al-Madhadhah

Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk


mencari Munasabah antara ayat yang tidak ada huruf
„athafnya adalah dengan mencari sisi lawannya. Contohnya
ayat 6 Surah Al-Baqarah. Di awal surah disebutkan tentang
Kitab Suci Al-Qur‟an, dan sikap orang-orang beriman yang
mendapat petunjuk dari Allah SWT. Setelah itu dijelaskan
sikap yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang yang kafir
yang mengingkarinya.33
c) Al-Istidhrad

Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat

dilihat dari sisi istithrad, seperti QS. Al-A‟araf (7) : 26.

Ayat ini merupakan penjelasan lebih lanjut (istithrad)

dari ayat sebelumnya. Bahwa diceritakan bagaimana Adam

dan Hawa setelah tergoda oleh Syaithan terbuka aurat

keduanya, lalu berusaha menutupinya dengan daun-daun

surga. Dalam ayat 26 ini dijelaskan tiga fungsi pakaian yaitu

untuk menutup aurat, untuk perhiasan, dan untuk

menunjukkan ketaqwaan.

d) At-TakhAllush

Mirip dengan istithrad adalah takhAllush, yaitu

perpindahan dari pembicaraan semula kepada pembicaraan

lain tanpa dirasakan oleh pembaca, karena begitu dekatnya isi

pembicaraan kedua dengan yang pertama. Menurut az-

33
Ibid., hlm. 222.

25
Zamakhsyari dalam buku Kuliah Ulumul Qur‟an karya

Yunahar Ilyas, bahwa contoh yang paling baik untuk

takhAllush adalah surah An-Nur ayat 35.

Ada 5 takhAllush dalam ayat ini. Setelah menjelaskan


sifat cahaya (nur) dan perumpamaanya, lalau berpindah
kepada pembicaraan tentang kaca (zujazah) dan sifatnya,
kemudian kembali pembicaraan tentang cahaya dan minyak
yang membuatnya menyala, kemudian berpindah kepada
pembicaraan tentang pohon (syajarah), kemudian berpindah
lagi kepada pembicaraan tentang sifat minyak (zait),
kemudian berpindah lagi kepada sifat cahaya (nur) yang
berlipat ganda, kemudian berpindah kepada pembicaraan
tentang nikmat-nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya.34

B. Melacak Tradisi Awal Munasabah

Diakui secara umum bahwa susunan ayat dan surah dalam Al-Qur‟an
memiliki keunikan yang luar biasa. Sesungguhnya tidak secara urutan saat
wahyu diturunkan dalam subjek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang
Maha Tahu, karena Dia sebagai pemilik kitab tersebut. Jika seseorang
bertindak sebagai editor yang menyusun kembali kata-kata buku orang lain
dan mengubah urutan kalimat, tentu akan mudah mempengaruhi seluruh
isinya. Oleh sebab itu, hasil akhir tidak dapat diberikan kepada pengarang
kerena hanya sang pencipta yang berhak mengubah kata-kata dan materi guna
menjaga hak-haknya. Demikian ungkapan M. Al-Azhami.35
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, bahwa tertib Al-Qur‟an adalah
membaca al-Qur‟an dengan berurutan disetiap bagiannya sesuai dengan yang

34
Ibid., hlm. 224.
35
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 25.

26
tertulis di mushaf-mushaf dan dihafal di dada dan para penghafalnya.
Menurutnya tertib al-Qur‟an dibagi menjadi 3, yaitu tertib kata, ayat, dan
surah.36
1. Tertib kata, yaitu setiap kata dalam ayat diletakkan pada tempatnya. Hal
ini berdasarkan nash dan ijmak. Kami tidak mengetahui ada yang berbeda
pendapat tentang wajib tertib kata ini dan haram menyelisihinya. Sehingga
Alhamdu lillahi rabbil „Alamin tidak boleh dibaca lillahil hamdu rabbil
„Alamin.
2. Tertib ayat, yaitu setiap ayat diletakkan pada tempatnya di dalam surah.
Hal ini berdasarkan nash dan ijmak. Menurut pendapat yang rajah hukum
tertib ayat ini wajib dan haram menyelisihinya. Sehingga
arrahmanirrahim mAliki yaumid din tidak boleh dibaca mAliki yaumid din
arrahmanirrahim.
3. Tertib surah, yaitu setiap surah diletakkan pada tempatnya di dalam
mushaf. Ini berdasarkan hasil ijtihad maka hukumnya tidak wajib.

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‟an terdiri dari susunan ayat dan

surah. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang

membutuhkan. Susunan ayat dan surahnya di-tartib-kan sesuai dengan yang

terdapat di lauh mahfuzh, sehingga tampak adanya persesuaian antara yang

satu dan yang lainnya.

Menurut Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani (seorang pakar


ilmu Al-Qur‟an dari Mekah) dalam buku Diskursus Munasabah Al-Qur‟an
dalam Tafsir Al-Mishbah karya Hasani Ahmad Said, bahwa berkenaan
dengan ayat dan surah dalam Al-Qur‟an, kesesuaian (Munasabah) merupakan
kaitan makna yang menghubungkan kedekatan hubungan dan kedekatan
bentuk, baik kaitan umum maupun khusus diantara ayat-ayat yang rasional

36
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan Dasar-
dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014), hlm. 31-33.

27
(„aqli), fisik (hissi), dan imajinatif (khayAli) tanpa mengupas lafal-lafal
menurut makna peristilahan bahasa ataupun pemikiran filosofis. Sebagian
besar kaitannya berkisar sebab dan akibat (musabbab), sifat dan yang disifati
(„illah wa ma‟lul), antara dua hal yang mirip (an-nazhirain), serta berhadapan
sebagai lawan (adhiddad). Misalnya, menyebut rahmat lawan dari azab,
menerangkan surga dan neraka, mengarahkan hatu nurani setelah
membangkitkan akal pikiran, dan memberikan peringatan setelah
mengutarakan ketentuan hukum. Ketentuan fitrah logika mempunyai daya
tangkap yang tajam dan lembut untuk dapat mengetahui persesuaian antara
ayat-ayat. Oleh sebab itu, segi-segi yang samar dan memerlukan penjelasan
tidak banyak lagi, kecuali kaitan yang ada dalam surah-surah.37

Satu di antara cabang dari „Ulum Al-Qur‟an yang membahas


persesuaian itu adalah ilmu Munasabah. Timbulnya ilmu Munasabah ini
bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah
Al-Qur‟an sebagaimana yang terdapat dalam mushaf sekarang (Mushaf
Utsmani atau yang lebih dikenAl dengan mushaf Il-Imam), tidak didasarkan
fakta kronologis. Bahwa turunnya ayat atau surah Al-Qur‟an tidak diawali
dengan surah Al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari surah
Al-„Alaq. Selanjutnya, surah yang kedua turun adalah Surah Al-Muddatsir,
sementara Surah kedua dalam mushaf yang sekarang digunakan adalah Surah
Al-Baqarah. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan kajian Munasabah
dalam konteks „ulumul Qur‟an.38

Menurut Al-Syarahbani, sebagaimana dikutip Al-Suyuthi bahwa


orang yang pertama mengenalkan studi Munasabah dalam menafsirkan Al-
Qur‟an adalah Abu Bakar Abu Al-Qasim Al-Naisaburi (w. 324 H). Namun
saat ini kitab tafsir An-Naisaburi yang dimaksud menurut Al-Dzahbi, sukar
dijumpai. Besarnya perhatian Al-Naisaburi terhadap Munasabah tampak dari

37
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 27.
38
Ibid.

28
kali Al-Naisaburi duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur‟an
kepadanya, ia berkata, mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan
apa rahasia diletakkan di samping surah ini? jadi beliau mengkritik para
ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.39

An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam tafsir


waktu itu. Ia mempunyai kemampuan untuk menyingkap kesesuaian, baik
antara ayat maupun atar surah, terlepas dari segi tepat atau tidaknya serta sisi
pro dan kontra terhadap apa yang ia cetuskan. Satu hal yang jelas, ia dianggap
sebagai penggagas ilmu Munasabah. Secara khusus Amir Faishal Fath
memetakan abad, tokoh, dan karya-karya yang membuktikan adanya
Munasabah, keterkaitan, kedekatan, kesatuan Al-Qur‟an yang komprehensif
sebagaimana berikut:40

Abad Tokoh Karya


II Ma‟mar bin Al-Mutsanna Majaz Al-Qur‟an
Al-Farra‟ (w. 207 H) Ma‟an Al-Qur‟an
- Nazhm Al-Qur‟an
- Al-Bayan wa Al-
III Al-Jahiz (w. 255 H)
Tibyan

Ta‟wil Musykil Al-


Ibnu Qutaibah (w. 276 H)
Qur‟an
Al-Nukah fi I‟jaz Al-
IV Al-Rummani (w. 386 H)
Qur‟an
Al-Kaththabi Bayan I‟jaz Al-Qur‟an
V Al-Baqilani (w. 403 H/1013 M) I‟jaz Al-Qur‟an

39
Ibid., hlm. 28.
40
Fath, Amir Faisal, The Unity of Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Kautsar, 2010), hlm. 40-41.

29
- DAla‟il Al-Qur‟an
- Al-Muqtadab fi syarh
Kitab Al-Wasith fi I‟jaz
Al-Qur‟an
Al-Jurjani (w. 471 H) - Asrar Al-BAlaghah
- DAla‟il Al-I‟jaz
- RisAlah Al-Syafiyyah
fi I‟jaz

VI Ibnu Athiyah (w. 545 H) Al-Mihrar Al-Wajiz


Al-Syifa‟ bi Ta‟rif
Qadhi Iyadh (w. 544)
Huquq Al-Musthafa
Al-Zamakhsyari (w. 538 H) Al-Kasyaf
Nihayah Al-I‟jaz fi
VII Imam Al-Razi (w. 606 H)
Dirasah Al-I‟jaz
Ibnu Al-Qoyim Al-Jauziyah (w. Al-Tibyan fi Aqsam Al-
VIII
571) Qur‟an
Nazhm Al-Durar fi
IX Burhanuddin Al-Biqa‟i(w. 885 H) Tanasub Al-Ayat wa
Al-Suwar
Tanasuq Al-Durar di
X Al-Suyuthi (w. 991 H)
Tanasub Al-Suwar
Irsyad Al-„Aql Al-
Abu Al-Su‟ud (w. 982 H) SAlam ila Mazaya Al-
Qur‟an Al-Azhim
Ruh Al-Ma‟ani fi
Tafsir Al-Qur‟an Al-
XIII Syihabuddin Mahmud Al-Alusi
Azhim wa Al-Sab‟ Al-
Matsani
XIV Muhammad Abduh (w. 1323 H) Tafsir Juz „Ama
Rasyid Ridha (w. 1354 H) Tafsir Al-Qur‟an Al-

30
Hakim
Ila Al-Qur‟an Al-
Mahmud Syaltut (w. 1963 H)
Karim
XV Sa‟id Hawwa Al-Asas fi Al-Tafsir

Dalam perkembangannya, Munasabah meningkat menjadi salah satu


disiplin dari ilmu Al-Qur‟an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun
Munasabah secara khusus. Diantara kitab yang khusus dan berbicara tentang
Munasabah adalah Al-Burhan fi Munasabah Tartib Al-Qur‟an susunan Ibnu
bin Ahmad bin Ibrahim Al-Andalusi (w. 807 H). Menurut pengarang Tafsir
An-Nur, penulisan yang paling baik mengupas masalah Munasabah adalah
Burhanuddin Al-Biqa‟i dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Al-Adurar fi
Tanasub Al-„Ayat wa Al-Suwar.41

Dalam wacana kitab-kitab induk (ummahat Al-kutub) dalam kajian


„Ulum Al-Qur‟an. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi „Ulum
Al-Qur‟an membahas satu bab khusus yang diberi judul Fi Munasabah Al-
Ayat sebelum membahas kajian tentang ayat-ayat mutasyabihat. Muhammad
Badruddin Al-Zarkasyi mengkaji soal Munasabah dalam kitab Al-Burhan fi
„Ulum Al-Qur‟an dalam satu bahasan khusus yang bertajuk ma‟rifah Al-
Munasabah bain Al-ayat. Kajian Munasabah ini ditulis setelah membahas
asbab Al-nuzul. Subhi al-Shalih dalam Kitab Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an
memasukkan pembahasan Munasabah ke dalam bagian ilmu asbab Al-nuzul,
tidak ke dalam satu subbab kajian tersendiri. Manna‟ Al-qathan dalam kitab
Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an yang menulis lebih awal ketimbang Subhi Al-
Shalih tetap menempatkan Munasabah dalam bahasan tersendiri yang ia
masukkan ke dalam bab asbab Al-nuzul. Sebaliknya, Sa‟id Ramadhan Al-

41
Ashshiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 95.

31
Buthi tidak membahas Munasabah dalam kitabnya yang berjudul Min Rawa‟
Al-Qur‟an. M. Quraish Shihab dalam bukunya Sejarah dan „Ulum Al-Qur‟an
memasukkan kajian Munasabah dalam bahasan pokok-pokok kajian „Ulum
Al-Qur‟an.42

Pada tataran praktisnya, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para
mufassir mengenai pengistilahan Munasabah. Fakhruddin Ar-Razi
menggunakan istilah ta‟Alluq sebagai sinonim Munasabah. Hal ini terlihat
ketika ia menafsirkan Surah Hud (11) ayat 16-17. Ia menulis sebagai berikut:
ketahuilah bahwa pertAlian (ta‟Alluq) antara ayat ini dan ayat sebelumnya
jelas, yaitu apakah orang-orang kafir itu sama dengan orang yang
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya; sama dengan orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang itu tidaklah
memperoleh di akhirat kecuali neraka.43

Kemudian ulama‟ yang lain seperti Sayyid Quthb (w. 1966 M) dalam
Tafsir fi ZhilAl Al-Qur‟an menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti
istilah Munasabah. Seperti ketika beliau menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat
188. Rasyid Ridho (w. 1935 M) menggunakan istilah Al-ittishAl dan Al-ta‟lil.
Hal ini terlihat ketika menafsirkan Surah Al-Ma‟idah ayat 30. Al-Alusi (w.
1854 M) menggunakan istilah tartib ketika menafsirkan kaitan surah maryam
dan thaha.44
Wacana ilmu Munasabah erat kaitannya dengan latar belakang
diskursus kedudukan tartib Al-Mushaf (penyusunan surah-surah dalam
mushaf Al-Qur‟an). Polemik yang mengemuka sebagaimana telah diulas di
awal adalah apakah penyusunannya berdasar pada taqifi atau ijtihadi. Jika
penyusunannya berdasarkan petunjuk Nabi atau yang lebih dikenal dengan
tauqifi, atau penyusunannya berdasarkan wahyu. Maka penyusunannya tidak

42
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 31.
43
Ibid.
44
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilal Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Ihya‟ Al-Tijari Al-Arabiyyah,
1386), hlm. 99.

32
serampangan, tetapi mengandung nilai-nilai filosofi atau hikmah yang sangat
dalam, melebihi karya susunan yang dibuat manusia biasa. Oleh sebab itu,
pertanyaannya menjadi, apakah perlu Munasabah dalam penafisiran Al-
Qur‟an?45 Dalam bahasan tartib Al-ayat wa Al-suwar, tauqifi yang dimaksud
di atas adalah hanya dalam hal ayat, bukan pada bahasan surah. Hal ini
sebagaimana Khalid Utsman Al-Sabt menulis dalam Kitab Kaidah berikut:
Susunan tauqifi terdapat pada ayat, bukan (pada bahasan) surah.

Kalau melihat kaidah di atas, tidak ada jalan untuk berijtihad lagi
dalam hal tauqifi susunan ayat, tetapi masih terbuka pintu ijtihad untuk tartib
fi Al-suwar. Penyusunan tartib Al-Mushaf yang bukan berdasarkan kronologi
turunnya (tartib Al-nuzul) pada hakikatnya mendorong untuk mengkaji
susunan setiap surah yang ada pada mushaf. Setiap sesuatu yang telah
tersusun mempunyai alasan mengapa susunanya seperti itu atau apakah
susunannya sudah memiliki hubungan yang serasi antara satu dan lainnya.
Ukuran yang digunakan untuk menilai apakah serasi atau tidak adalah melalui
kemampuan pengungkapan bahasa sebagai citra rasa kemampuan yang
dimiliki oleh manusia.46
Perbedaan akademik yang terjadi di kalangan para ulama terdapat

pada hal tartib Al-Mushaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para

sahabat (ijtihadi)? Kalau demikian, adanya Munasabah itu penting karena

penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat, dan

petunjuk Nabi SAW (tauqifi). Kalau tauqifi, tidak perlu adanya Munasabah

karena peristiwa yang terjadi saling berlainan. Al-Qur‟an juga diturunkan dan

diberi hikmah secara tauqifi. Dengan kata lain, Al-Qur‟an turun atas petunjuk

dan kehendak Allah.

45
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 34.
46
Ibid., hlm. 35.

33
Pendapat pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa surah-surah
Al-Qur‟an disusun berdasarkan tauqifi. Sudah merupakan kepastian dari
Rasulullah membaca berbagai surah menurut susunan ayatnya masing-masing
di dalam shalat atau khutbah Jum‟ah yang disaksikan para sahabatnya.
Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang nenyatakan bahwa susunan
dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari
Nabi sendiri. Dengan demikian, dalam mendukung pendapat pertama, hal ini
tidak mungkin apabila sahabat Nabi menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda
dengan bacaan Rasulullah SAW. hal ini merupakan kepastian yang tidak
dapat diragukan kebenarannya (mutawatir).47
Susunan dan urutan surah pun berdasarkan kehendak dan petunjuk
Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan
surah Al-Qur‟an. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan
sebaliknya. Dengan kata lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan
surah Al-Qur‟an disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad
mereka sendiri. Lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa beberapa surah disusun urutannya menurut kehendak dan
petunjuk Rasulullah SAW. Pendukung pendapat ini adalah Abu Ja‟far bin
Nuhas (w. 338 H), Al-Kirmani, Ibnu Al-Hashar (w. 611 H), Abu Bakr Al-
Anbari (271-328 H), dan Al-Baghawi (w. 286 H). Landasan pendapat
pertama ini adalah berdasarkan hadis Rasulullah SAW bersabda:48
Saya diberikan tempat Taurat dalam Al-Sab‟a Al-ThiwAl, tempat

Zabur dalam surah Al-Mi‟un, tempat Injil dalam surah Al-Matsani dan

diberikan keutamaan dalam surah Al-Mufashad. (HR. Ahmad)

Pendapat kedua, dinyatakan bahwa susunan dan tertib surah


berdasarkan atas ijtihadi. Ada tiga alasan yang melatarbelakangi pendapat ini,
yaitu: pertama, mushaf pada catatan Al-Qur‟an tidaklah sama. Kedua,
sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur‟an berbeda dengan tertib

47
Ibid., hlm. 36.
48
Ibid.

34
surah yang terdapat dalam Al-Qur‟an. ketiga, adanya perbedaan pendapat
mengenai tertib surah ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas.
Selain itu, alasan lain yang mengemukakan bahwa susunan surah sebagai
ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah
mendengar Nabi membaca berbeda dengan tartib Al-Mushaf yang sekarang
dan tentang adanya catatan mushaf sahabat yang mutawatir. Di samping itu,
tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu
hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur‟an. oleh karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tartib Al-Mushaf sahabat sangat besar. Para
sahabat pun telah sepakat bahwa susuna ayat adalah tauqifi. Ulama yang
mendukung pendapat kedua ini, antara lain Imam Malik, Abu Bakr Al-Thib
Al-Baqilani, Al-Zarkasyi, dan Al-Suyuthi.49
Salah satu Hadis yang mendukung pendapat ini adalah larangan
menulis sesuatu yang datang dari Nabi. Abu sa‟id Al-Khudhuri meriwayatkan
dari Rasulullah SAW. beliau bersabda, “Janganlah kAlian menulis (hadis)
dariku. Dan barang siapa menulis dariku selain Al-Qur‟an, maka hendaknya
ia menghapusnya.” (HR. Muslim)50
Pendapat ketiga, serupa dengan pendapat pertama yang menyatakan
bahwa kecuali Surah Al-Anfal dan Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama
Salaf yang urutan surahnya bervariasi. Pendukung pendapat ketiga ini,
diantaranya Al-Qadhi Abu Muhammad bin Athiyyah (w. 498 H), Al-Baihaqi,
dan Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H). Pendapat Al-Baihaqi terlihat dalam
karyanya, Al-MakhAl. Ia berpendapat bahwa Al-Qur‟an pada masa Nabi telah
tersusun surah-surah dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushaf,
kecuali surah Al-Anfal dan Bara‟ah.51
Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga, secara efektif penulis
akan menjelaskan sejarah pemeliharaan Al-Qur‟an yang mengalami lima
tahapan; pertama, tahap pencatatan pada masa Nabi; kedua, tahap
49
Ibid., hlm. 39.
50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 42.

35
penghimpunan pada masa Abu Bakar (w. 634 M); ketiga, tahap penggandaan
pada masa Utsman bin Affan (w. 656 M); keempat, tahap percetakan; kelima,
tahap pengajaran diberbagai dunia islam.52
Menurut analisis penulis setelah mengkaji dan menela‟ah realitas

dalam sejarah, ternyata pada masa Abu Bakar setelah terbentuk panitia

penghimpunan Al-Qur‟an, terungkap bahwa Zaid bin Tsabit (w. 665 M) dan

panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari Surah At-

Taubah/Bara‟ah. Keterangan ini bisa ditela‟ah dari hadis yang menyangkut

penghimpunan Al-Qur‟an pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq sebagai

berikut:

Dari Ubaid bin Al-Sabbaq ra., sesungguhnya Zaid bin Tsabit ra.
Berkata,”Abu Bakar datang kepadaku di medan ahli Yamamah. Ketika itu
Umar berada di sampingnya.” Abu Bakar kemudian berkata,”sesungguhnya
Umar mendatangiku, kemudian ia berkata,”sesungguhnya peperangan pada
hari Yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya) qurra‟
dibeberapa medan perang (lainnya) sehingga banyak ayat hilang
(karenanya) dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan
kepadamu supaya mengumpulkan Al-Qur‟an.‟ Abu Bakar bertanya kepada
Umar,‟Mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah SAW?‟ Umar menjawab,‟Demi Allah! Ini adAlah perbuatan
baik.‟oleh sebab itu tidak henti-hentinya Umar menjumpai (mendesak) aku
sampai Allah melapangkan hatiku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan
aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.‟ Abu
Bakar berkata,‟Sesungguhnya kamu (Zaid) adAlah seorang pemuda yang
cerdas. Kami tidak menuduh berperasangka buruk kepadamu dan
sesungguhnya kamu adAlah penulis wahyu Al-Qur‟an untuk Rasulullah SAW.
oleh sebab itu, pelajarilah Al-Qur‟an kemudian kumpulkan.” Zaid kemudian

52
Ibid., hlm. 43.

36
berkata,”Demi Allah, seandainya mereka membebani aku untuk
memindahkan gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku
daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Al-
Qur‟an.” Aku menanyakan kepada Abu Bakar,”Mengapa engkau melakukan
sesuatu yang tidak diperintahkan Rasulullah SAW?” Abu Bakar
menjawab,”Demi Allah, itu adAlah perbuatan baik. Oleh karena itu, Abu
Bakar tidak henti-hentinya berulang kAli mendesak aku sampai Allah
melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar ra.
Dan Umar ra. Aku lAlu mempelajari Al-Qur‟an dan mengumpulkan dari
pelepah kurma, batu-batu, serta hafAlan para sahabat sampai aku mendapat
catatan akhir Surah Al-Taubah pada Abu Huzaimah Al-Anshari. Aku tidak
menemukannya pada seorang pun selain ia, yaitu ayat: Sungguh, telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu Alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang
beriman. Maka jika mereka berpAling (dari keimanan), maka katakanlah
(Muhammad),”Cukupkanlah Allah bagiku; tidak ada tuhan (singgasana)
yang agung.” (QS. Al-Taubah (9) : 128-129) sementara dalam hadits lain
berikut ini: Suhuf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia wafat, kemudia
disimpan Umar bin Al-Khaththab selama masa hayatnya, kemudian
disimpan oleh Hafsah binti Umar ra.” (HR. Al-Bukhari) 53
Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang

pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk mengumpulkan Al-Qur‟an

adalah Umar bin Al-Khathab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung

ditolak oleh Abu Bakar. Tercatat pula bahwa orang yang pertama kali

mengumpulkan dan menulis Al-Qur‟an adalah Zaid bin Tsabit atas komando

dari Abu Bakar.

53
Ibid., hlm. 43-44.

37
Selanjutnya, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada Surah

Bara‟ah ternyata mengundang banyak persepsi, baik dari kalangan ilmuwan

Timur maupun Barat. Hal ini bisa menjadi celah kekeliruan dan kekurangan

yang dijadikan sasaran kritik orientalis untuk mengaburkan autentisitas Al-

Qur‟an. sementara itu, upaya menjaga autentisitas Al-Qur‟an setelah

wafatnya Rasulullah SAW adalah dengan merujuk kepada para sahabat dan

tabi‟in yang ahli di bidang ini. Allah pun memberikan pertolongan dengan

memanjangkan umur sejumlah sahabat dan para ahli sebagai marji‟ (tempat

kembali, acuan). Kemudian mengenai dua ayat yang hilang ternyata

Hudzaifah (w. 656 M) memiliki catatannya. Dengan demikian, jelaslah sudah

perdebatan tentang Munasabah dan hal ini merupakan ilmu Allah yang tidak

pernah habis dikaji, sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul

kajian baru dalam pengembangan kajian „Ulum Al-Qur‟an ke depan.

Dalam analisis Al-Zarkasyi, perbedaan itu bersumber dari lafal. Satu


pihak mengatakan bahwa urutan Al-Qur‟an itu disusun berdasarkan kehendak
dan petunjuk Rasulullah, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa urutan
surah disusun berdasarkan ijtihad para sahabat. Al-Zarkasyi mengutip
pendapat Imam Malik sebagai berikut: “mereka menyusun urutan Al-Qur‟an
menurut apa yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah SAW.” sementara
itu, Imam Malik juga mengatakan: Urutan surah-surah Al-Qur‟an disusun
atas dasar ijtihad mereka sendiri. Jadi, masalah perbedaan itu kembali
kepada apakah kehendak dan petunjuk Rasulullah mengenai urutan surah itu
berupa ucapan atau hanya praktik.54
Tampaknya telah jelas bahwa urutan surah itu berdasarkan bimbingan
Rasulullah SAW (tauqifi), sebab ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi

54
Ibid., hlm. 38.

38
penyusun mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan
sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang lain
mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain yang tidak
sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga tidak dicatatkan ayat-ayat untuk
orang lain, tetapi semata untuk mereka pribadi. Oleh karena itu, ketika umat
islam sepakat menerima mushaf yang disusun oleh Khalifah Utsman bin
Affan, secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing. Di
sini mulai ada benang merah, yaitu kalau mereka yakin bahwa
penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, tentulah mereka akan tetap
berpegang pada susunan menurut catatan mereka masing-masing dan tidak
mau menerima urutan yang disusun oleh Utsman bin Affan.55
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al-Qur‟an

versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan

wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari Nabi (tauqifi).

Pola it uterus dipertahankan walaupun menyalahi pola aturan rasm Utsmani

yang telah baku, bahkan Imam Ahmad bin Hambal dan Ima Hakim

sebagaimana dikutip Farjani mengharamkan menulis Al-Qur‟an menyalahi

dari rasm Utsmani. Bagaimanapun, dalam rentang sejarah yang cukup

panjang, rasm Utsmani sudah merupakan kesepakatan mayoritas ulama.

55
Ibid.

39
C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuan Al-Qur’an dari Klasik hingga

Pramodern

Banyak diberbagai kitab tafsir, kita menemukan metode memahami


Al-Qur‟an yang berawal dari ulama terahulu. Mereka telah berusaha
memahami kandungan Al-Qur‟an, sehingga melahirkan apa yang kita kenal
dengan metode pemahaman Al-Qur‟an. kajian-kajian ini berkisar pada usaha-
usaha menemukan diantaranya nilai-nilai sastra, fiqh, kalam, sufistik-
filosofis, dan pendidikan. Selain itu juga banyak dikalangan ulama „Ulum Al-
Qur‟an dari masa klasik sampai pramodern yang melakukan kajian mendalam
dan paling fokus berkenaan dengan Munasabah Al-Qur‟an diantaranya Abu
Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H), Imam Al-Zarkasyi (745-794 H), Ibnu Ahmad
bin Ibrahim Al-Andalusi (w. 807 H), Al-Suyuthi (849-911/1455-1505 M ),
Burhanuddin Al-Biqa‟i (w. 885/1480 M), Al-Zarqani (w. 1367 H).56
Pada abad II, Al-Farra‟ dalam Ma‟ani Al-Qur‟an banyak membahas
aspek bunyi atau nada ritme susunan Al-Qur‟an dan kalimat Al-Qur‟an yang
puitis dalam bentuk tanya jawab. Selain itu, ia juga membahas tentang
hubungan potongan Al-Qur‟an dengan keselarasan bunyi dan irama huruf,
kata, kalimat, serta banyak aspek lainnya.57
Tokoh yang bisa dibilang pencetus pertama kajian Munasabah adalah

Al-Naisaburi (w. 324 H). Namun menurut Muhammad Husain Al-Dzahabi

bahwa karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling

tidak ada dua ulama klasik yang dijadikan acuan dalam pemikiran

Munasabah, yaitu Al-Zarkasyi dan Al-Biqa‟i.

Al-Zarkasyi (745-794 H) muncul jauh setelah Al-Naisaburi (w. 324


H). Kajiannya tentang Munasabah tertuang dalam kitab Al-Burhan fi „Ulum
Al-Qur‟an. Ada dua pola Munasabah yang dikenalkan olehnya, yaitu pola
Munasabah antarsurah dan pola Munasabah antarayat. Al-Zarkasyi

56
Ibid., hlm. 46.
57
Ibid.

40
berpendapat bahwa susunan surah itu tauqifi. Dalam memberikan analisis
Munasabah sususnan surah, ia mengangkat topik tentang pembuka surah
dengan akhir surah sebelunya. Misalnya, surah Al-An‟am diawali dengan Al-
hamd (pujian) bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, sementara
pada akhir surah sebelumnya, yaitu Surah Al-Ma‟idah, diakhiri dengan
mengagungkan Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Begitupun
dengan Surah Al-Hadid yang dimulai dengan tasbih memiliki korelasi dengan
Surah Al-Waqi‟ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih. Contoh lainnya
adalah Al-Zarkasyi mengetengahkan awal Surah Al-Baqarah yang berbicara
tentang tidak ada keraguan di dalam Al-Qur‟an yang mempunyai Munasabah
dengan surah sebelumnya yang memohon agar diberi petunjuk.58
Setelah memberikan penjelasan tentang Munasabah antarsurah, Al-
Zarkasyi membahas mengenai pertautan ayat. Ada tiga analisis yang
diberikan olehnya, yaitu terdapat kalimat bersambung (ma‟thufah), sisipan
(istithrad), dan perumpamaan (tamsil). Dalam menjelaskan analisis pertama
dan kedua, Al-Zarkasyi memberikan tiga ayat dari dua surah yang berbeda,
yaitu QS. Al-hadid (57): 4), serta QS. Al-Baqarah (2): 245 dan 189).59
Al-Zarkasyi memiliki kompetensi dalam ketelitian dan kepiawaian
membuat korelasi antara satu ayat dan ayat berikutnya. Ini semakin
menguatkan bahwa Al-Qur‟an memiliki hubungan yang sangat erat antara
satu dan yang lainnya.
Ulama klasik yang kedua adalah Burhanuddin Al-Biqa‟i. Ia mampu
merangkum pemikirannya mengenai Munasabah dalam Nazhm Al-Durar fi
Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Haji Khalifah memuji kitab ini dengan
mengatakan, Sungguh luar biasa! Sebelumnya tidak ada seorang pun yang
menulis tentang kesatuan Al-Qur‟an sebaik Al-Biqa‟i. Kitab ini mampu
mengupas dan mengungkap rahasia-rahasia Al-Qur‟an. Uraiannya pun
sangat bernapas dan mudah dipahami. Nazhm Al-Durar tidak bisa
disepadankan dengan karya siapa pun. Tidak ada kitab yang kualitasnya

58
Ibid., hlm. 48.
59
Ibid., hlm. 48-50.

41
mendekati kualitas kitab ini. Di dalamnya terdapat tafsir komprehensif dan
cermat terhadap Al-Qur‟an. Dalam karya ini, Al-Biqa‟i banyak menyebut
tokoh yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan ilmu
Munasabah. Hal ini berarti bahwa Al-Biqa‟i bukan orang yang pertama
memulai kajian Munasabah. Al-Biqa‟i menyebut sejumlah tokoh, diantaranya
Al-Hashimi, Al-Zarkasyi, dan Al-Razi (606 H/1210 M). Dalam pandangan
Al-Biqa‟i, ilmu Munasabah pada umumnya adalah kajian tentang hubungan
logis antara sejumlah susunan ayat atau ide sehingga diperoleh keterkaitan
satu ayat atau kandungan dengan ayat atau kandungan sebelum dan
sesudahnya.60
Tela‟ah Al-Biqa‟i dalam beberapa hal memang mayakinkan pembaca
tentang keserasian Al-Qur‟an. Selain itu, ia mampu membuktikan adanya
hubungan yang sesuai dalam sistematika Al-Qur‟an, baik dari kata demi kata
dalam ayat-ayatnya, surah demi surah, maupun antara kandungan surah dalam
Al-Qur‟an. Misalnya, ada Munasabah antara Surah Al-Fatihah sebagai surah
pertama dan Surah Al-Nas sebagai surah terakhir yang diawali dengan qul
a‟udzu. Alasannya, bukankah sebelum membaca Surah Al-Fatihah kita
diperintahkan berta‟awuz memohon perlindungan-Nya seperti dalam QS. Al-
Nahl (16): 98. Oleh sebab itu, bisa jadi Surah Al-Nas (114) yang berada di
urutan terakhir dalam mushaf, bisa juga menjadi surah pertama. Keseriusan
Al-Biqa‟i mencari titik Munasabah Al-Qur‟an terbukti setelah melakukan
penelaahan mendalam yang menghabiskan waktu lebih kurang empat belas
tahun untuk menyusun kitab Nazhm Al-Durar fi Tansub Al-Ayat wa Al-
Suwar. Tidak hanya itu, dalam pengantar tafsirnya, ia merenung berbulan-
bulan memikirkan hubungan ayat seperti ketika ia mengamati QS. Ali Imran
(3):121 dan QS. Al-Nisa‟ (4). Al-Biqa‟i menegaskan bahwa siapa yang
memahami kehalusan dan keindahan susunan kalimat yang terdapat pada
surah ini, ia akan mengetahui bahwa Al-Qur‟an adalah mukjizat dari segi

60
Ibid., hlm. 50-52.

42
kefasihan lafalnya dan kemuliaan makna yang terkandung di dalamnya; di
samping kemukjizatannya juga disebabkan oleh susunan kata dan surahnya.61

D. Munasabah dalam Tinjauan Ilmuwan Al-Qur’an Kontemporer

Ketika berbicara tentang kajian Al-Qur‟an, atau lebih spesifik lagi


pada tataran Al-Qur‟an kontemporer, terdapat tiga bidang kajian yang mesti
dibedakan, yaitu teks orisinal Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai
bentuk interpretasi atau teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang
berbeda-beda. Modernitas yang didefinisikan sebagai jalan hidup (way of life)
industrial dan urban khususnya berpihak kepada susunan konsep Barat yang
berakar pada adab XIX masehi. Sementara itu, modernism menurut Joyce
Appleby (w. 2016 M) serta Lynn dan Margaret Jacob dalam Post
Modernisme and The Crisis of Modernity sebagaimana dikutip Abu Zaid,
didefinisikan sebagai perkembangan dalam seni dan sastra yang bertujuan
menangkap esensi jalan hidup. Modernitas melahirkan sebuah periodesasi
baru sejarah (kuno, abad pertengahan, dan modern) di mana modern
mendenotasikan periode ketika akal dan ilmu pengetahuan lebih tinggi di atas
kitab suci, tradisi, dan kebiasaan. Inti modernitas adalah konsep kebebasan
bertindak.62
Dalam tradisi pemikiran islam, pergeseran seringkali dinyatakan
sebagai bentuk penyimpangan dari arus utama yang memegang hak monopoli
kebenaran. Walaupun dalam praktiknya, modern dalam term ini
sesungguhnya juga pernah terlewati pada masa klasik atau kuno. Tepatlah
kiranya Islam telah membawa modernitas kepada dunia pada abad VII,
sehingga sangat mungkin untuk menganalisis dan menjelaskan bagaimana

61
Ibid., hlm. 52.
62
Zaid, Nashr Hamid Abu, Al-Qur‟an Hermeneutika dan kekuasaan, diterjemahkan oleh
Dede Iswadim, et. All., (Bandung: RQiS, 2003), hlm. 135.
62
Ibid., hlm. 18.

43
modernitas diimplementasikan oleh kalangan muslim sepanjang abad XII.
Demikian ungkapan Abu Zaid.63
Meskipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas
kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai-nilainya bertentangan
dengan Islam atau berasal dari legislasi manusia. Oleh karena itu, menjadi
penting di sini untuk menilai dan mengurai tinjauan ilmuwan kontemporer
dalam konteks Munasabah Al-Qur‟an. Di antara sarjana kontemporer yang
mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur‟an adalah Amin Al-
Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalafullah (1895-1998), Aisyah
Abdurrahman Bintu Al-Syathi‟ (1913-1998 M), Muhammad Arkoun (1928-
2010 M), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010 M), Muhammad Abid Al-jabiri
(1936-2010 M), Hasan Hanafi (L. 1935), Muhammad Sahrur (L. 1938),
Fazlur Rahman (L. 1919-1988), Manna‟ Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-
1999M), dan Sa‟id Hawwa (1935-1985 M). Tokoh yang bisa dikatakan
pengkaji „Ulum Al-Qur‟an kontemporer ni sebagian besar memiliki berbagai
bekal metodologi baru dan mencoba mendekati Al-Qur‟an dengan kacamata
baru. Meskipun produk kajian mereka tersebut, baik setuju maupun tidak,
baik mengundang pro maupun kontra; yang jelas studi mereka terhadap Al-
Qur‟an menyegarkan dan menggairahkan kembali diskursus Islamic Studies
yang selama ini lesu atau mungkin dianggap sebagian kalangan sudah mapan
dan final.64
J.J.G. Jansen menyebutkan bahwa di Mesir dalam perkembangan
tafsir Al-Qur‟an telah diintroduksi oleh Muhammad Abduh (1949-1905 M)
dan Amin Al-Khuli (w. 1769 M). Belakangan, cara pandang Al-Khuli
terhadap tafsir banyak direalisasikan oleh istrinya yang dikenal dengan Bintu
Al-Syathi‟ yang bernama lengkap Aisyah Abdurrahman (L. 1913), seorang
pakar sastra Arab di Universitas Ain Syams, Mesir. Dalam karyanya Al-Tafsir
Al-bayani li Al-Qur‟an Al-Karim, meskipun ia hanya mengeksplorasi 14

63
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 54.
64
Ibid., hlm. 55.

44
surah pendek dalam Juz „Amma, tetapi banyak kalangan menyambut karya ini
sebagai mahakarya yang penting.65
Bintu Al-Syathi‟ sangat memperhatikan Munasabah dalam
penafsirannya. Menurutnya, Surah Al-fajr mengandung nilai moral yang
sangat tinggi serta memiliki hubungan antara ayat satu dan lainnya. Ia
membagi surah tersebut ke dalam tiga golongan ayat. Pertama, ayat 1 sampai
14 membicarakan tentang pelajaran dari kaum Ad, Tsamud, Fir‟aun yang
zalim dan korup. Kedua, ayat 15 sampai 16 menunjukkan kerusakan moral
mereka karena godaan kekayaan semata dan menunjukkan karakter sifat
syaithaniyyah. Ketiga, ayat 17 sampai 20 menyatakan bahwa kerusakan moral
menyebabkan mereka menjadi yatim, tidak memiliki solidaritas social, serta
tidak mampu membedakan mana yang dilarang dan mana yang
diperbolehkan. Selanjutnya, sebagai penutup surah dikemukakan mengenai
pengadilan Tuhan dan ganjaran di hari kiamat.66
Contoh lainnya adalah kitab Al-Asas fi Al-Tafsir. Cara pandang Sa‟id
Hawwa dalam menafsirkan ayat tentang infak yang terdapat pada QS. Al-
Baqarah (2): 254 kemudian dirangkaikan dengan ayat berikutnya (ayat kursi),
yaitu ayat 255. Ia menegaskan bahwa di antara hikmah ditempatkannya ayat
kursi setelah ayat perintah untuk berinfak adalah tida ada satu infak pun,
melainkan harus di jalan Allah dan agama yang semestinya dipilih oleh
manusia adalah agama Allah. Dengan demikian, orang yang tidak mengenal
Allah berarti ia menduga Allah tidak masuk ke dalam urusan ibadah atau,
paling tidak, syariat yang dikerjakan kurang sempurna.67
Selain Bintu Al-Syathi‟ dan Sa‟id Hawwa, ulama kontemporer yang
membahas Munasabah secara serius adalah Nashr Hamid Abu Zaid.
Ungkapannya menarik untuk disimak karena ia membandingkan antara asbab
Al-nuzul dan Munasabah. Ia mengatakan bahwa Al-nuzul berkaitan dengan
kronologis konteks sejarah, sedangkan Munasabah berkaitan dengan nilai
pertautan antara ayat dan surahnya menurut urutan teks. Maksudnya, jika
65
Ibid., hlm. 56.
66
Ibid.
67
Ibid., hlm. 57.

45
ilmu asbab Al-nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks
sejarahnya, fokus perhatian ilmu Munasabah adalah antarayat dan antarsurah,
bukan pada kronologis historis dari bagian-bagian teks, melainkan aspek
pertautan antarayat dan surah menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan
urutan bacaan sebagai lawan dari urutan turunnya.68
Catatan penting dari Abu Zaid ketika ia memahami Munasabah

antarayat dan surah adalah bahwa teks merupakan kesatuan structural yang

bagiannya saling berkaitan. Selain itu, ia menegaskan bahwa megaitkan

antarayat dan surah itu tugas mufassir. Oleh karena itu, mufassir mempunyai

peranan penting dalam menangkap cakrawala teks. Dengan kata lain,

mufassir mengungkapkan dialektika bagian-bagian teks melalui dialektika

mufassir selaku pembaca dengan teks.

Abu Zaid membagi bahasan Munasabah menjadi dua, yaitu

Munasabah antarsurah dan antarayat.

1. Munasabah Antarsurah (Al-Munasabah Bain Al-Suwar)

Contoh yang diangkat Abu Zaid ketika membahas Munasabah


antarsurah (Munasabah bai Al-suwar) adalah Surah Al-Fatihah (yang
membuka) atau induk kitab (umm Al-kitab). Surah ini mempunyai tempat
yang khusus karena merupaka pengantar dasar bagi teks. Dengan
demikian, Al-Fatihah meskipun secara tersirat harus memuat semua bagian
Al-Qur‟an, pada posisi ini surah tersebut mendapatkan kedudukan sebagi
induk kitab (umm Al-kitab). Mengenai pembahasan hal ini, Abu Zaid
mengutip Al-Zarkasy yang mengatakan bahwa induk ilmu-ilmu Al-Qur‟an
ada tiga bagian, yaitu tauhid, peringatan, dan hukum-hukum.69
Ada dua catatan dari Abu Zaid yang bertalian dengan bahasan di
atas. Pertama, ada hubungan khusus („Alaqah khashshiyyah) dan kedua,

68
Ibid.
69
Ibid., hlm. 59.

46
hubungan umum („Alaqah „ammah). Hubungan khusus lebih bersifat
stilistika-kebahasaan (uslubiyyah lughawiyyah), sementara hubungan
umum lebih berkaitan dengan isi kandungan. Hubungan stilistika-
kebahasaan ini tercemin dalam pernyataan bahwa Surah Al-Fatihah
diakhiri dengan doa ihdina Al-shirat Al-Mustaqim, shirath Alladzina
an‟amta „Alaihim ghair Al-Maghdhubi „Alaihim wa la Al-dhAllin. Doa ini
mendapatkan jawaban pada permulaan Surah Al-Baqarah, yaitu Alif lam
mim, dzAlika Al-kitabu la raiba fihi hudan li Al-Muttaqin. Berdasarkan hal
itu, dinyatakan bahwa teks tersebut adalah bersinabungan (muttashil).70
Abu Zaid menjelaskan urutan surah dalam mushaf berdasarkan
kaidah, mendahulukan hAl yang universAl sebagaimana yang terdapat
dalam Surah Al-Fatihah kemudian Surah Al-Baqarah yang menjelaskan
hukum-hukum. Sementara itu, Surah Ali Imran memuat jawaban atas
keraguan musuh terhadap hukum-hukum tersebut, sedangkan surah Al-
Nisa‟ dan Al-Ma‟idah berfungsi sebagai perincian hukum yang berkaitan
dengan berbagai bentuk hubungan. Selanjutnya, dua surah berikutnya,
yaitu Al-An‟am dan Al-A‟raf dan menjelaskan tujuan dan sasaran syariat
dari perincian hukum-hukum tersebut.71
Dari beberapa keterangan di atas, ada beberapa poin yang bisa
diambil untuk dijadikan kesimpulan. Pertama, ada munasbah antarsurah
yang tidak memerlukan interpretasi, hanya saja didasarkan pada hubungan
kebahasaan dan pengulangan (repetisi). Contohnya, Surah Al-Waqi‟ah
(56):96 yang diakhiri dengan perintah bertasbih dan Surah Al-Waqi‟ah
(56):1 yang diawali dengan tasbih. Begitu pula Surah Al-Isra‟ (17) dan Al-
Kahfi (18). Meskipun tidak seperti bentuk pertama, yaitu akhir dan awal
surah, Munasabah antara Surah Al-Isra‟ dan Al-Kahfi adalah berupa
tasbih, hanya saja tasbih dalam Surah Al-Isra‟ dalam bentuk doa. Di
samping itu, Surah Al-Isra‟ simulai dengan mahasuci (Allah), yang telah
memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari, sementara

70
Ibid.
71
Ibid., hlm. 60.

47
Surah Al-Kahfi dimulai dengan segala puju bagi Allah yang telah
menurunkan Kitab (Al-Qur‟an) kepada hamba-Nya. Dengan kata lain,
tasbih muncul mendahului tahmid sehingga diucapkan subhan Allah wa al-
hamdu li Allah. Kedua, hubungan kebahasaan semantic sebagaimana
diterangkan di atas. Ketiga, hubungan surah pendek yang kontras yang
ditemukan antara Surah Al-Ma‟un (107) dan Al-Kautsar (108) juga antara
Surah Al-Dhuha (93) dan Al-Insyirah (94).72

2. Munasabah Antarayat (Al-Munasabah Bain Al-Ayat)

Abu Zaid menegaskan bahwa pada dasarnya konsep kesatuan teks


berasal dari persoalan I‟jaz, yaitu adanya perbedaan antara pembicaraan
Allah dan pembicaraan selain-Nya. Oleh karena itu, ulama berusaha
menghindari pembicaraan tentang Munasabah yang keterkaitannya sangat
jelas. Sebagaimana Abu Zaid mengutip Al-Zarkasyi, Apabila yang kedua
terhadap yang pertama; merupakan bentuk penegasan, penafsiran, atau
bertahan dan tekanan.73
Apabila memerhatikan kata akhir (fashilah) ayat tersebut,
semuanya bermacam-macam. Fashilah pada ayat pertama lafal al-bashir
berupa huruf ra‟, ayat kedua huruf lam pada lafal wakila yang dibaca
panjang. Aspek inilah merupakan bentuk upaya pengungkapan sisi
keterkaitan antarayat yang disebut salah satu aspek I‟jaz bahwa apa yang
tampak sebagai pemisahan (fashl) antara ayat pertama dengan ayat kedua,
sebenarnya hubungan (washl). Susunan semacam inilah yang
menyebabkan muncul pergeseran ke tema tentang Nuh sebagai sosok yang
bersyukur. Penuturan tema tentang Nuh seperti ini, menyebabkan ujaran
kalimat yang satu dengan yang lainnya terkait Karen kesamaan fashilah
pada satu sisi dan sisi yang lain untuk mengisyaratkan bahwa Bani Isra‟il
yang sezaman dengan turunnya teks; semestinya meneladani Nuh. Dengan

72
Ibid., hlm. 61.
73
Ibid., hlm. 63.

48
kata lain, seperti dua hal yang sama dan serupa. Namun hubungan
keduannya terkadang berlawanan, seperti Munasabah antara rahmat yang
disebut setelah siksa atau senang setelah takut. Kebiasaan Al-Qur‟an yang
agung adalah menyebut hukum lalu menyebut janji dan ancaman. Hal itu
membangkitkan dorongan untuk mengamalkan apa yang sudah disebutkan,
kemudian menyebut ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah agar diketahui
keagungan Zat yang memerintah dan melarang.74
Menurut Abu Zaid, mencari titik Munasabah ayat antara Surah Al-
Isra‟ dan kisah Bani Isra‟il dapat diungkap melalui dua sudut. Pertama,
peristiwa isra‟ bertujuan memperlihatkan yang gaib, yaitu dengan kisah-
kisah Al-Qur‟an. Peristiwa Isra‟ merupakan penglihatan yang gaib dan
metafisika, sementara kisah merupakan berita atau penjelasan mengenai
hal-hal gaib yang historis. Kedua, ada kesamaan antara Isra‟ Muhammad
SAW pada sebagian malam dengan keluarnya Musa As.75
Selain penjelasan di atas, untuk mengungkap Munasabah pada

beberapa ayat dibutuhkan pengetahuan tentang asbab Al-nuzul dalam

rangka menyingkap maknanya. Pengetahuan ini, menurut Abu Zaid, dapat

membantu mufassir menyingkap sisi keterkaitan atau Munasabah.76

Selain pendapat di atas, di sini penulis kemukakan pula pendapat


ulama Al-Qur‟an kontemporer yang mewakili keilmuan klasik yang
bukunya tetap menjadi rujukan, termasuk Indonesia. Ia adalah Manna‟ Al-
Qaththan. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Al-Qaththan
memasukkan Munasabah dalam kajian asbab an-nuzul.77 Ia mengartikan
Munasabah (korelasi) dengan kedekatan. Dikatakan, si fulan Munasabah
dengan si fulan. Berarti si fulan mendekati dan menyerupai si fulan itu.
Sehubungan dengan itu, istilah Munasabah „illah hukum artinya sifat yang

74
Ibid., hlm. 63-64.
75
Ibid., hlm. 64-65.
76
Ibid., hlm. 65.
77
Al-Qaththan, Mana‟, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat Al-Ashr Al-
Hadits, 1983 M/1393H), hlm. 75-79.

49
berdekatan dengan hukum.78Akan tetapi yang menjadi fokus kajian
Munasabah di sini adalah Munasabah dari sisi keterkaitan antara satu
kalimat dengan yang lain, satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara
surah yang satu dengan surah yang lain.
Berikut ini beberapa contoh Munasabah yang diungkap Al-
Qaththan.79
1. Munasabah terletak pada keadaan lawan bicara, seperti yang telah
dijelaskan di bab dua pada pembahasan tentang Munasabah Dalam Al-
Qur‟an.
2. Munasabah terjadi antara satu surah dengan surah lainnya. seperti yang
telah dijelaskan di bab dua pada pembahasan tentang Munasabah
Dalam Al-Qur‟an .
3. Munasabah terjadi antara awal surah dan akhir surah. Contohnya adalah
Surah Al-Qashash. Surah ini dimulai dengan menceritakan tentang
kisah hidup Nabi Musa hingga ia mendapati dua orang laki-laki yang
berkelahi. Ia berdo‟a setelah sengaja membunuh salah seorang laki-laki
tersebut.

E. Menyoal Munasabah: Respons terhadap Kritik Ilmuwan Barat dan

Orientalis

Al-Qur‟an menyatakan dirinya sebagai kitab yang terhindar dari


keraguan (la raibafih), dijamin autentisitasnya (wa inna‟ lahu lahafizhun),
dan bahkan sampai saat ini tidak ada kitab tandingannya („Ala an ya‟tu
bimitsli hadza Al-Qur‟an la ya‟tuna bimitslih). Meskipun demikian, telah
terjadi pergeseran cara pandang di kalangan sarjana terhadap Al-Qur‟an sejak
sebelum akhir abad XIX. Huston Smith dalam The World‟s Religion
mengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah keagamaan pada
kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang Barat, selain Al-

78
Ibid., hlm. 97.
79
Ibid., hlm. 98-99.

50
Qur‟an. Apabila pada masa-masa sebelumnya Al-Qur‟an dipandang dari sisi
usul-usul, akhir-akhir ini kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang
independen. Dengan kata lain, Al-Qur‟an tidak dipandang dari sumber
kemunculannya, tetapi sebagai sebuah fakta kultural dan Al-Qur‟an itu
sendiri memang bermakna bagi masyarakat.80
Menurut Jeffery sebagaimana dikutip M. Azhami, para ilmuwan Barat
tidak sependapat bahwa susunan teks Al-Qur‟an, baik ayat maupun urahnya,
yang ada di tangan kita sekarang sama dengan apa yang terdapat pada zaman
Nabi Muhammad. Pertanyaan lain orientalis lainnya adalah mengapa tulisan-
tulisan yang terbentuk suhuf, tidak langsung disimpan sendiri oleh Nabi dan
mengapa Zaid binTsabit yang ditunjuk sebagai pencatat kodifikasi Al-Qur‟an
seolah tidak siap dengan hilangnya beberapa ayat dari Surah Bara‟ah.
Walaupun sudah diketahui bahwa peristiwa itu diabadikan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (w. 870 M) yang sudah dikenal
kredibilitasnya di bidang hadis; ini semua tidak diindahkan, bahkan dianggap
palsu oleh orientalis.81
Pada masa modern seperti sekarang ini, gerakan-gerakan itu muncul
dan hampir mirip dengan fenomena di atas, baik mengatasnamakan lembaga
maupun perorangan. Hal ini dipengaruhi oleh tren pemikiran yang sedang
berkembang dan pada umumnya datang dari pemikir Barat, di luar afiliasi
keagamaan. Pada awal pergerakan, tren besar itu muncul melalui para
orientalis secara sadar ataupun tidak. Namun, pada kenyataan sekarang, tidak
hanya muncul dari kalangan orientalis, tetapi sudah ada percikan dan cikal
bakal pemikiran orientalis yang menular kepada para sarjana muslim yang
berupaya membongkar Al-Qur‟an. Badawi dalam penelitiannya menulis ada
294 orientalis. Urutan yang paling pertama, Syekh Badawi (w. 675 M)
memasukkan nama Arthur John Arberry (w. 1969 M) dan posisi terakhir
Theodor Willem Juynboll (w. 1861 M). Beberapa nama ilmuan Barat dan
orientalis yang fokus terhadap kajian Al-Qur‟an, antara lain Theodor Noldeke
80
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 69-70.
81
Ibid., hlm. 71.

51
(1836-1930 M), Goldziher (w. 1921 M), Yosep Schat (w. 1969 M), Blachere
(w. 1973 M), Mingana, Joseph Puin (w. 1843 M), Richard Bell (w. 1952 M),
dan W. Montgomery Watt (w. 2016 M). Metodologi yang menarik dari kajian
mereka dapat dilihat sebagai balas dendam, partisan, dan keji. Oleh sebab itu,
S.Parvez Manzoor menilai orientalis sebagai sesuatu yang frontal, subversive
ketika itu, behind the lines, serangan terhadap Al-Qur‟an.82
Sebelum masa Theodor Noldeke, ada orientalis ynag bernama

Abraham Geiger (w. 1874 M). Salah satu pemikiran yang dikembangkannya

adalah tabut (lihat QS. 2: 248). Menurutnya, tabut tidak berasal dari bahasa

Arab murni, tetapi berasal dari bahasa Ibrani, yaitu jannatu dan jahannam,

rabbani, serta sabt.

Melacak kajian Al-Qur‟an di Barat telah dimulai sejak abad XII yang
juga merupakan bagian dari orientalis secara umum. W. Montgomery Watt
memetakan ada tiga kajian besar yang mereka perjuangkan. Pertama, karya
yang terarah pada kajian kitab suci. Kedua, terjemah atau alih bahasa Al-
Qur‟an. Ketiga, pemahaman Al-Qur‟an. Jika melihat betapa banyak karya
orientalis yang tersebar, ketiganya menunjukkan apa yang diperjuangkan.
Namun, jika melihat sisi banyak kajiannya, tampaknya kajian teks sekaligus
kritik teks lebih mendominasi disbanding criteria point kedua dan ketiga.
Motif mereka bermacam-macam, ada dua factor yang melatarbelakangi
ketertarikan Barat untuk mengkaji Timur, yaitu motif agama dan motif
politik.83
Hubungan antara orientalis dan dunia Timur, tentu tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan sejarah hubungan antara dunia Islam dan
Kristen sejak permulaan. Seperti diketahui bahwa hubungan diskursif dan
intelektual antara Timur dan Barat sangat diwarnai oleh konteks permusuhan
pada abad pertengahan, khususnya pada Perang Salib. Polemik itu bertujuan

82
Ibid., hlm. 72.
83
Ibid.

52
menciptakan auntisitaas dari keunggulan dengan mencitrakan Islam sebagai
peyorasi, kekeliruan, dan penyalahgunaan yang sengaja. Persentuhan
kesejarahan Barat tentang Al-Qur‟an pertama kali dilakukan dengan
menerjemahkan Al-Qur‟an ke bahasa-bahasa Barat.84
Pada mulanya agama Kristen menjadi motif utama kegiatan ini,

bahkan agamawan Kristen Protestan memandang perlu memberikan

interpretasi baru terhadap teks-teks keagamaan mereka agar sejalan dengan

perkembangan baru. Sampai kemudian mereka mengarah ke Timur dengan

mempelajari bahasa Ibrani dan Arab sehingga studi mereka mencakup

bahasa-bahasa Timur, agama, dan kebudayaan. Upaya agamawan ini

disambut baik oleh politisi yang merasa gagal dalam invasi ke Timur yang

dikenal dengan Perang Salib. Oleh sebab itu, sekin banyak agamawan

bersekutu dengan penjajah. Akan tetapi, tidak dapat dinafikan bahwa

menyebarkan agama dan menjajah bukanlah satu-satunya tujuan, melainkan

ada tujuan lain, yaitu memenuhi hasrat terhadap pengetahuan.

Pada tahun 1844, Rodinson (w. 2004 M) menelusuri sejarah


orientalisme sejak abad IV hingga pertengahan abad XX melalui Historische-
Kritische Einleitung in der Koran karya Gustav Weil (1808-1889). Asumsi
yang dikembangkan Weil adalah bahwa periodesasi Al-Qur‟an terbagi
menjadi Makkiyah awal, tengah, akhir, serta Madaniyah.85
Di atas telah disinggung tentang pandangan sarjana muslim berkaitan
dengan tertib ayat dan surah. Adapun hal menarik yang dapat diungkap di sini
adalah bagaimana pandangan sarjana Barat. W. Montgomery Watt
mengungkapkan bahwa para orientalis memusatkan perhatian pada
pertimbangan gaya Al-Qur‟an dan perbendaharaan kata. Dengan kata lain,

84
Ibid., hlm. 73.
85
Ibid., hlm. 74-75.

53
mereka menjadikan Al-Qur‟an sebagai sasaran penelitian dengan
menggunakan metode kritik sastra dan kritik sejarah modern. Sementara itu,
dalam menetapkan pembagian surah-surah Al-Qur‟an, mereka tetap
mengikuti pembagian menurut sarjana muslim.86
Beberapa penulis dari kalangan Barat dan orientalis membuat teori
miring tentang Al-Qur‟an, diantaranya Theodor Noldeke, penulis Geshichte
des Qorans. Penolakan yang lebih tegas terhadap tesis John Burton pernah
dilakukan oleh R.B. Sarjeant (w. 1993 M). Ia memberikan pernyataan dengan
ungkapan an historicAl circumstance so public (karena sejarah pewahyuan
Al-Qur‟an tidak pernah terungkap).87
Lebih lanjut, Mingana menyatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk
melakukan kritik teks terhadap Al-Qur‟an sebagaimana telah dilakukan kritik
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci
Kristen yang berbahasa yunani.88 Pernyataannya tersebut meskipun
menyesatkan, tidak serta-merta ditanggapi dengan membabi buta.89 Peneliti
menduga bahwa pernyataan tersebut keluar akibat dari kitab suci Yahudi dan
Kristen yang diyakini sudah banyak terdapat campur tangan manusia,
sebagaimana cendekiawan Kristen telah lama meragukan autentisitas Bibel.
Pernyataan di atas ternyata cukup memikat sehingga banyak diikuti oleh
orientalis belakangan lainnya.
Mingana tercatat bukan orang yang pertama kali melontarkan gagasan
semacam itu dan ia juga tidak sendirian. Pada tahun 1834, jauh sebelum
Mingana, Gustav Flugel (1802-1870 M) seorang orientalis Jerman (tepatnya
Leipzig), menerbitkan mushaf hasil renungan dan kajian filologinya yang
berjudul Corani Textu Arabicus. Setelah masa Flugel kemudian datang
Noldeke.90

86
Ibid., hlm. 75.
87
Ibid., hlm. 76.
88
Ibid.
89
Hamka, Studi Islam, (Jakarta: 1985), hlm. 12.
90
Arif, Syamsuddin, Al-Qur‟an: Orientalis dan Luxenberg, hlm 11.

54
Selain beberapa tokoh di atas, Sir William Munir (1819-1905 M)
menyusun surah berdasarkan kronologi pewahyuan Al-Qur‟an dalam
karyanya yang berjudul Life of Mohamet (1858-1861 M). Karyanya itu
dimuat dalam esai yang berjudul Sourches for the Biography of Mohamet.
Selanjutnya, ia mengungkapkan dengan lebih lengkap dalam The Coran: Its
Composition and Teaching; and the Testimony Its Bears to the Holy
Scriptures.91
Pada tahun 1937 muncul orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University, Kairo, dan menjadi guru besar di Columbia
University. Ia adalah Arthur Jeffery (w. 1959 M) yang berupaya
mendekontruksi Mushaf Utsmani dengan membuat mushaf baru. Hal ini
berdasar pada kitab Al-Mushahif karya Ibnu Abi Dawud Al-Sijastani yang ia
anggap sebagai bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan dan disebut rivAl
codices. Usaha kerasnya ini merupakan kelanjutan dari upaya Gotthelf
Bergstrasser dan Otto Pretzl yang mengumpulkan foto-foto lembaran
manuskrip Al-Qur‟an dengan membuat edisi kritis. Akan tetapi upaya mereka
gagal, karena dokumen-dokumen tersebut terbakar pada peristiwa Perang
Dunia II.92
Dari pemaparan di atas dapat diambil titik terang dan kejelasan,

bahwa sebenarnya sudah lama sekali sejak abad ke-XII kaum orientalis sudah

berusaha dan mencanangkan untuk menyerang Agama Islam dari segi

keilmuan dan ideologinya. Berawal dari keinginan kaum orientalis untuk

mengkaji Agama Islam secara mendalam, bahkan sampai ke akarnya.

Akhirnya peluang demi kesempatan sangat besar bagi kaum orientalis untuk

mengubah sebagian konten atau redaksi sebuah hadits atau ayat Al-Qur‟an.

Bisa juga menambahi ayat atau hadis yang awalnya tidak ada. Sangat jelas

91
Ibid.
92
Ibid., hlm. 79-80.

55
bahwa sisi kelemahan Umat Islam adalah dijauhkan dari dua pedoman, yaitu

Al-Qur‟an dan Al-hadis. Karena jika Umat Islam dijauhkan dari kedua

sumber pedoman dan tuntunan dalam menjalani kehidupan, maka kehancuran

dan fitnah yang terjadi tetapi ada hikmah dibalik semua yang terjadi pada

Agama Islam atas serangan kaum orientalis. Hal ini mendorong Umat Islam

untuk lebih antusias dan semangat untuk menkaji Al-Qur‟an dan Al-Hadits.

56
BAB 3

MODEL MUNASABAH AL-QUR’AN DALAM TAFSIR AL-MISHBAH

A. Metode Menyingkap Munasabah Al-Qur’an

Menurut Manna‟ Al-Qaththan, kajian menyingkap Munasabah Al-


Qur‟an antara ayat-ayat bukanlah tauqifi (sesuatu yang ditetapkan
Rasulullah), melainkan hasil ijtihad mufassir sebagai buah penghayatan
terhadap kemukjizatan Al-Qur‟an, rahasia retorika, dan segi keterangannya
yang mandiri, apabila korelasi itu maknanya halus, konteksnya harmonis, dan
asas-asas kebahasaannya sesuai korelasi (Munasabah) itu dapat diterima. Ini
bukan berarti bahwa para mufassir harus mencari kesesuaian setiap ayat.
Karena Al-Quran turun secara bertahap dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa
yang terjadi. Seorang mufassir terkadang dapat membuktikan Munasabah
antara ayat dan terkadang juga tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu
memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian. Jika demikian, kesesuaian
itu hanyalah sesuatu yang dibuat-buat dan tidak patut.93
Dalam Rasm Utsmani secara umum peletakan surah dan ayat di dalam

mushaf Al-Qur‟an tidak menurut urutan turunnya, seperti surah Al-„Alaq (96)

ayat 1-5 turun pertama kali, akan tetapi di dalam mushaf diletakkan pada

akhir-akhir mushaf. Kemudian surah Al-Baqarah yang merupakan turun di

madinah pada akhir-akhir Rasulullah menerima wahyu, tapi di dalam mushaf

diletakkan pada awal mushaf.

Mengenai hal ini, M. Quraish Shihab memberikan gambaran yang

menarik berkenaan dengan penilaian baik dan buruk suatu sitematika uraian

93
Al-Qaththan, Mana‟, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat Al-Ashr Al-
Hadits, 1983 M/1393H), hlm. 78.

57
yang berkaitan erat dengan tujuan yang ingin dicapai oleh penyusunnya.

Berikut ini perumpamaan yang diberikan:

Jika anda memiliki tiga orang saudara, kemudian seseorang bertanya


kepada Anda Siapa mereka dalam rangka mengetahui siapa yang tertua,
sewajarnya Anda menyebut si A, kemudian B, lalu C, sesuai dengan urutan
masa kelahirannya. Tetapi, jika tujuan penanya untuk mengetahui siapa yang
termuda, penyebutan nama-nama harus terbalik. Lain lagi apabila si
penanyaingin mengetahui siapa yang terpandai, atau terkaya, demikian
seterusnya. Kalau demikian, lanjut M. Quraish Shihab, sebelum melakukan
penilaian terhadap sistematika perurutan ayat-ayat Al-Qur‟an, terlebih
dahulu diketahui apa misi dan tujuan Al-Qur‟an.94
Sejumlah pertanyaan ini penting karena urutan ayat-ayat Al-Qur‟an

terkesan tidak sestematis jika diukur dengan kaca mata karya ilmiah.

Misalnya dalam Surah Al-Baqarah terdapat bahasan mengenai keharaman

makanan tertentu, ancaman terhadap orang yang menyembunyikan ilmu,

anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, berwasiat sebelum

meninggal, dan kewajiban berpuasa. Sepintas semua persoalan itu tidak

mempunyai keterkaitan antara satu dan lainnya. Hal ini dijadikan celah oleh

kalangan tertentu untuk mengkritik Al-Qur‟an. Namun, di balik itu semua,

para pengkaji Al-Qur‟an justru menemukan ilmu baru tentang urutan dan

susunan Al-Qur‟an yang terkenal dengan kajian Munasabah.

94
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 200), hlm 245.

58
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ulama terdahulu pada

umumnya menempuh satu di antara tiga cara berikut dalam menjelaskan

hubungan antara ayat:95

1. Mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok tema,


kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat
berikutnya. Misalnya Tafsir Al-Manar dan Al-Maraghi.
2. Menemukan tema sentral dari satu surah lalu mengembalikanuraian
kelompok ayat-ayat kepada tema sentral itu. Misalnya, Tafsir Mahmud
SyAlthuth.
3. Menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya dan menjelaskan
keserasiannya.

Jika ditinjau dari segi sifat, Munasabah terbagi menjadi dua. Pertama,
persesuaian yang nyata (zhahir Al-irtibath). Artinya, persesuaian antara
bagian Al-Qur‟an yang satu dan lainnya tampak jelas dan kuat karena ada
kaitan yang erat antar kalimat. Kedua, persesuaian yang samar (khafi Al-
irtibath). Artinya, persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu dan lainnya
tampak samar, bahkan antarayat.96

Pada bagian pertama, Munasabah adakalanya berupa penguat,


penafsir, penyambung, dan penjelas. Misalnya, QS. Al-Isra‟ (17): 1-2. Ayat
satu menerangkan tentang Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad, sedangkan ayat dua
menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa. Kesesuaian pada
dua ayat ini dapat dilihat dari sisi diutusnya Nabi Muhammad dan Nabi Musa.
Sementara itu pada bagian kedua, bisa dilihat dalam QS. Al-Baqarah (2): 189-
190. Pada ayat 189 menerangkan bulan tsabit (jadwal ibadah haji), sedangkan
ayat 190 menerangkan perintah memerangi orang-orang yang memerangi
islam. Meskipun antara ayat 189 dan 190 tampak tidak ada relevansinya. Jika

95
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 144.
96
Ibid.

59
ditadaburi lebih lanjut, akan didapatkan pemahaman bahwa pada waktu haji
umat Islam dilarang berperang. Namun, jika diserang, harus dibalas,
meskipun pada musim haji.97

B. Urgensi, Fungsi, dan Kegunaan Memahami Ilmu Munasabah serta

Upaya Pengembangannya

Kajian tentang Munasabah sangat diperlukan dalam penafsiran Al-

Qur‟an untuk menunjukkan keserasian antara kalimat dengan kalimat dalam

satu ayat, keserasian, keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya,

bahkan juga keserasian antara satu surah dengan surah berikutnya. Tatkala

menemukan ayat-ayat yang sepertinya tidak punya kaitan sama sekali,

sebagian orang yang tidak mengerti Munasabah akan langsung

mempertanyakan kenapa penyajian Al-Qur‟an melompat-lompat dari satu

masalah ke masalah lain, atau dari satu tema ke tema lain secara tidak

sistematis. Setelah mengetahui Munasabah, tentu orang yang terburu-buru

menilai seperti itu akan segera menarik pandangannya dan menyadari betapa

Al-Qur‟an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu saja

berbeda dengan sistematika buku-buku dan karya ilmiyah buatan manusia.

Para ahli tafsi biasanya memulai penafsirannya dengan menggunakan

asbab Al-nuzul. Sebagian dari mereka biasanya bertanya-tanya, mana yang

lebih baik apakah memulai penafsiran dengan mendahulukan asbab Al-nuzul

atau Munasabah.

97
Ibid., hlm. 144-145.

60
Menurut Asy-Suyuthi, ilmu Munasabah adalah ilmu yang sangat
penting dalam penafsiran Al-Qur‟an, tetapi hanya sedikit diantara para
mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat memerlukan
ketelitian dan kejelian. Diantara mufassir yang banyak memberikan perhatian
terhadap ilmu Munasabah adalah Imam Fakhruddin Ar-Razi. Ar-Razi
menyatakan, sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari Al-Qur‟an
tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu sama
lain. khusus tentang surah Al-Baqarah, Ar-Razi menyatakan bahwa siapa saja
yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam surah ini akan
mengetahui bahwa Al-Qur‟an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-
lafalnya dan kehebatan isinya, tetapi juga mukjizat dari segi susunan surah
dan ayat-ayatnya.98
Sehubungan dengan itu, Al-Khaththabi juga berpendapat sebagaimana
dikutip Hasani Ahmad Said, bahwa tujuan bergabungnya berbagai persoalan
di dalam satu surah adalah agar pembaca dapat memperoleh banyak petunjuk
dalam waktu yang singkat. Salah satu tujuan diungkapkannya aneka ragam
persoalan yang terdapat dalam satu surah adalah agar pembaca tidak jenuh.
Secara fitrah, manusia sering sekali mengalami kebosanan jika berhadapan
dengan persoalan yang monoton.99
Naskah teks Al-Qur‟an menurut Mushaf Utsmani tidaklah disusun
berdasarkan kronologis turunnya. Hal ini yang kemudian melahirkan satu
ilmu tersendiri yang dikenal dengan kajian Munasabah. Secara bahasa,
Munasabah berarti musyakAlah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan),
sedangkan secara istilah, Munasabah berarti pengetahuan tentang berbagai
hubungan di dalam Al-Qur‟an, baik antarayat maupun antarsurah, bukan
kronologis historis dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antarayat
dan surah menurut urutan teks.100

98
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,
hlm. 225.
99
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 149.
100
Ibid., hlm. 149-150.

61
Ulama tafsir lain seperti Al-Tabari (w. 1923 M) juga sangat
memperhatikan konteks ayat, dengan mencermati korelasi antarayat
(Munasabah), baik itu ayat sebelum dan sesudahnya, meskipun hanya
beberapa kasus ayat dalam jumlah yang sangat terbatas, tidak semua ayat:
HuwAllazi yusawwirukum fi Al-arhami kaifa yasya.101
Sementara itu, istilah kesatuan Al-Qur‟an muncul dalam kajian Al-
Qur‟an kontemporer, terutama ketika para ahli tafsir memfokuskan kajian
pada topik yang mereka sebut sebagai kesatuan tematis dalam Al-Qur‟an.
Namun, tema dan prinsip-prinsip kajian itu sebenarnya telah ada sejak zaman
awal islam. Tepatnya ketika para ahli tafsir klasik melakukan penelitian yang
serius terhadap kemukjizatanAl-Qur‟an serta meneliti hubungan antara
berbagai ayat dan surah Al-Qur‟an yang kemudian dikenal dengan „ilm Al-
Munasabah fi Al-Qur‟an.102
Sehubungan dengan pembahasan ini, menurut Al-Zarkasyi seperti
yang dikutip Hasani Ahmad Said, mengatakan bahwa Ilmu Munasabah
sangat penting untuk menyingkap keistimewaan Al-Qur‟an. Karena
memperlihatkan keserasian ayat-ayat yang terkesan tidak mempunyai
keterkaitan. Oleh karena itu, sebagian pakar menegaskan hal tersebut sebagai
bagian yang inheren dengan kemukjizatan Al-Qur‟an. Al-Suyuthi bahkan
terkesan menganggap Munasabah sebagai aspek yang paling dominan dari
keistimewaan Al-Qur‟an. ketika mengidentifikasi keistimewaan Al-Qur‟an, ia
berhasil menemukan tiga belas poin dan tujuh di antaranya mengambil bentuk
Munasabah.103
Pada posisi seperti ini, mayoritas ulama berkesimpulan bahwa urutan
yang ada dalam mushaf bersifat tauqifi, yaitu proses susunan ayat dan surah
berdasarkan ketetapan wahyu melalui Nabi. Proses seperti itu diyakini bahwa
Al-Qur‟an yang semula utuh ketika berada di Lauh Mahfudzh yang kemudian
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai peristiwa yang

101
Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 38.
102
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 150.
103
Ibid.

62
melatarbelakanginya dan disusun seperti sediakala. Syekh Mushthafa Shadiq
Al-Rafi‟i (w. 1937 H) mengumpamakan susunan Al-Qur‟an laksana kesatuan
anggota tubuh yang sangat kokoh dan sempurna. Tidak ada satu huruf atau
harakat pun dalam Al-Qur‟an yang tidak dipilih dan ditempatkan dengan cara
yang menakjubkan.104
Al-Zarkasyi menilai ilmu ini didasarkan kepada keyakinan bahwa Al-
Qur‟an ibarat bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Ia
laksana kesatuan kalimat yang tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang
lain, karena berfungsi untuk menguji keshahihan struktur kalimat. Di samping
itu, ilmu ini menjadikan setiap bagian kalimat berkaitan dan saling
menyempurnakan satu sama lain. dengan kata lain, ilmu ini sangat penting.
Oleh sebab itu, kajian pertama yang harus diperhatikan menurut Al-Zarkasyi
adalah menjelaskan posisi setiap ayat apakah berhubungan, menyempurnakan
ayat yang sebelumnya, atau bersifat independen dan bagaimana hubungan
ayat yang independen tersebut dengan ayat sebelumnya.105
Rahmawati dalam karyanya yang berjudul Munasabah al-Ayat wa al-

Suwar menyimpulkan:106

a. Pengetahuan tentang Munasabah sangat urgen dalam upaya


menginterprestasikan Al-Qur‟an secara akurat. Hal ini tersebut
dikarenakan Al-Qur‟an merupakan satu kesatuan yang utuh, memiliki
ketertarikan antara satu dengan yang lainnya yang dikenal dalam ilmu Al-
Qur‟an dengan istilah Munasabah Al-ayat wa Al-suwar.
b. Perekembangan ilmu Munasabah pada awalnya dicanangkan oleh Abu
Imam Abu baker al-naisabury, akan tetapi tidak mendapat
perhatian/respon yang serius dari para pemerhati Al-Qur‟an. baru pada
perkembangan selanjutnya ada sebagian ulama yang mengkhususkan
menulis tentang Munasabah diantaranya: Abu Ja‟far Ibn Zubair (w. 708

104
Ibid., hlm. 151.
105
Hanafi, M. Mukhlis, Urgensi Memahami Ilmu Muasabah, hlm. 2.
106
Rahmawati, Munasabat al-Ayat wa al-Suwar, (Makassar: Jurnal Adabiyah Vol. XIII No.
2, 2015), hlm. 156-157.

63
H.) dengan kitabnya Al-burhan fi munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur‟an,
Ibrahim ibn Umar Al-Biqa‟i (809-885 H.) dengan kitabnya Tanasuq Al-
Durar fi Tanasub Al-Suwar, Fakhr al-Din al-Razi dalam kitabnya Tafsir
Al-Kabir (yang juga disebut dengan Mafatih al-Ghaibi), Sayyid Qutub
dalam Tafsir Fi ZilAl Al-Qur‟an, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur‟an, karya al-
Suyuthi tepatnya pada juz II, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur‟an karya Manna‟
al-Qattan, yang mengkaji ini sebagai pendamping dari kajian tentang Al-
Asbab Al-nuzul, judul yang sama karya Dr. Subhi al-Shalih yang juga
membahas Munasabah ini sebagai sub bahasan dari al-Asbab Al-nuzul, dan
sekian banyaknya kitab yang mengkaji masalah Al-Qur‟an dan susunan
Al-Qur‟an baik dari segi tartib al-nuzulnya ataupun tartib Al-Mushafnya.
Menurut Asy-Suyuthi dalam buku Kuliah Ulumul Qur‟an karya
Yunahar Ilyas, bahwa ilmu Munasabah adalah ilmu yang sangat penting
dalam penafsiran Al-Qur‟an, tetapi hanya sedikit diantara para mufassir yang
memberikan perhatiannya karena ilmu ini sangat memerlukan ketelitian dan
kejelian. Diantara mufassir yang banyak memberikan perhatian terhadap ilmu
Munasabah adalah Imam Fakhruddin Ar-Razi. Beliau menyatakan, sebagian
besar rahasia yang tersembunyi dari Al-Qur‟an tersimpan dalam persoalan
urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu sama lain. khusus tentang surah
Al-Baqarah, Ar-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan
rahasia susunan ayat-ayat dalam Surah ini akan mengetahui bahwa Al-
Qur‟an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafalnya dan kehebatan
isinya, tetapi juga mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya.107
Ada tiga arti penting dari Munasabah sebagai salah satu metode dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur‟an. pertama, dari sisi balaghah, korelasi
antara ayat dengan ayat menjadikan ayat-ayat Al-Qur‟an utuh dan indah. Bila
dipenggal maka keserasian, kehalusan, dan keindahan kalimat yang teruntai
didalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu Munasabah dapat
memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Tanpa

107
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), Cet. 2.,
hlm. 225.

64
memahami kaitan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya dalam satu
ayat, atau kaitan antara satu ayat dengan ayat berikutnya, bisa saja seorang
yang membaca Al-Qur‟an tidak dapat menangkap keutuhan makna, bahkan
dapat menimbulkan kesalahan dalam pemaknaan seperti yang sudah
dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Ketiga, ilmu Munasabah sangat
membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an,
sehingga dapat menjelaskan keutuhan makna ayat atau kelompok ayat. Juga
dapat menjelaskan keserasian antara kalimat dengan kalimat dan ayat dengan
ayat, bahkan antara surah dengan surah. Ilmu Munasabah akan sangat
membantu terutama dalam istinbath hukum.108

C. Karakteristik Munasabah dan Jenis-Jenisnya dalam Tafsir Al-Mishbah

Untuk menanggapi ayat-ayat Al-Qur‟an yang terkesan telah tersusun


sedemikian rupa dalam Mushaf Utsmani, M. Quraish Shihab
memperkenalkan tafsirnya yang banyak membahas tentang Munasabah.
Kepiawaiannya mengungkap ayat dan surah dari sisi Munasabah sudah tidak
diragukan lagi. Selain itu, ia juga menguasai ilmu tafsir dan hal ini telah
terbukti dalam disertasinya yang engangkat manuskrip (makhthuthat) karya
Ibnu Umar Al-Biqa‟iyang kental dengan Munasabah Al-Qur‟an.109
Dalam disertasi Quraish Shihab, ia memilih untuk membahas masalah
korelasi antara ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur‟an sebagai fokus
penelitiannya. Sebagai kasus, ia memilih kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub
Al-Ayat wa Al-Suwar, karangan Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i (809-885
H/1406-1480).110
M. Quraish Shihab mengatakan,“saya tertarik dengan tokoh ini
karena ia hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya.” Al-Biqa‟i juga dinilai
oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang berhasil menyusun suatu karya

108
Ibid., hlm. 225-226.
109
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 155.
110
Ibid.

65
yang sempurna dalam masalah korelasi antara ayat-ayat dan surah-surah Al-
Qur‟an. Ada juga yang menilai bahwa kitab tafsirnya merupakan ensiklopedia
engenai Munasabah Al-Qur‟an.111
Ia melanjutkan dengan menyatakan, “Mayoritas ulama masa lalu
melupakan rahasia urutan lafal, ayat-ayat, dan surah-surah. Meskipun ada Al-
Imam Fakhr Ar-Razi, ia hanya dominan pada segi ilmiah-filosofis sehingga
belum mencapai apa yang diharapkan. Selanjutnya, datang Al-Imam Abu
Ja‟far bin Al-Zabir dan Al-Imam Al-Suyuthi. Namun, keduannya terbatas
pada penjelasan Munasabah surah-surah Al-Qur‟an dan tidak menyingkap
rahasia yang ada pada urutan ayat-ayat serta hubungannya antara lafal-lafal
yang ada pada surah satu dan yang lainnya. Setelah itu datang Burhanuddin
Abu Al-Hasan Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i(809-885 H/1406-1480 M) yang
memiliki perhatian khusus dalam masalah korelasi antara ayat-ayat Al-Qur‟an
ia mengungkap rahasia urutan ayat dan lafal Al-Qur‟an secara detail dalam
karyanya yang berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar
dan dinilai sebagai ensiklopedia tentang Munasabah Al-Qur‟an .112
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa masalah korelasi antara ayat-
ayat Al-Qur‟an ini layak mendapat perhatian khusus. Ia memiliki dua alasan
mengenai hal tersebut, yaitu maraknya isu sumbang mengenai Al-Qur‟an dan
terjadinya penafsiran yang bersifat parsial. Implikasi dari model penafsiran
seperti ini telah melahirkan konflik, khususnya seperti golongan Sunni dan
Mu‟tazilah. Kedua golongan itu mempunyai kesimpulan yang bertentangan
secara ekstrem, padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada Al-
Qur‟an, bahkan pada ayat yang sama. Jadi, melalui pembahasan tentang
korelasi ayat-ayat ini akan didapatkan suat pemahaman terhadap Al-Qur‟an
sebagai keutuhan yang saling terkait.113

111
Ibid., hlm. 155-156.
112
Ibid., hlm. 156.
113
Ibid., hlm. 156.

66
Sementara itu, dalam pengantar Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish
Shihab mengemukakan enam keserasian hubungan bagian-bagian Al-Qur‟an.
Keserasian yang dimaksud adalah114
1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.
2. Keserasian kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat).
3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
4. Keserasian uraian awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya.
5. Keserasiaan penutup surah dengan uraian awal (mukadimah) surah
sesudahnya.
6. Keserasian tema surah dengan nama surah.

Adapun dalam penjelasan mengenai Munasabah yang lain, M.


Quraish Shihab menambah satu keterangan lagi, yaitu hubungan kandungan
surah dengan surah berikutnya. Keserasian yang dimaksud adalah hubungan
kata demi kata dalam satu ayat, hubungan antara kandungan ayat dan fashilah
(penutup ayat), hubungan ayat dengan ayat berikutnya, hubungan mukadimah
satu surah dengan penutupnya, hubungan penutup satu surah dengan
mukadimah surah berikutnya, serta hubungan kandungan surah dengan surah
sesudahnya.115

Menurut Muhlis M. Hanafi yang mengutip pendapat Ibrahim Syarif,


guru besar tafsir di Fakultas Dar Al-Ulum, Universitas Kairo, ulama tafsir
yang paling berhasil menerapkan esensi dan prinsip dari tafsir filologis
(ittijah adabi atau/bayani) adalah Ibrahim bi Umar Al-Biqa‟idalam karyanya
yang berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. M. Quraish
Shihab sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal lebanon ini.
Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi pada tahun 1980
ketika M. Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karyanya dalam

114
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, hlm.
xx-xxi.
115
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000), hlm 247.

67
rangka menyusun disertasi untuk meraih gelar doctor. Warna ini sangat kental
dalam tafsir M. Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.116

Sementara itu, para ahli Al-Qur‟an membagi bahasan Munasabah ke

dalam delapan model. Beberapa diantaranya cukup mahsyur.117

1. Hubungan antara satu surah dan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi
menjelaskan surah sebelumnya. Misalnya, QS. Al-Fatihah (1): 6
menyebutkan: Tnjukilah kami jalan yang lurus. Ayat ini kemudian
dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 2 yang menyebutkan: Kitab (Al-
Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.
2. Hubungan antara nama surah dan isi atau tujuan surah. Misalnya,
penamaan Surah Al-Baqarah (sapi betina) karena di dalamnya terdapat
ayat yang berbicara tentang sapi betina.
3. Hubungan antara fawatih Al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari
beberapa huruf) dan isi surah. Di sini fawatih al-suwar bisa dilacak dari
sisi kemukjizatan Al-Qur‟an dan hitungan ayat.
4. Hubungan antara ayat pertama dan ayat terakhir dalam satu surah.
Misalnya, QS. Al-Muminun (23): 1 yang dimulai dengan: sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, diserasikan dengan bagian akhir
surah yang berbunyi: sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan
beruntung. (QS. Al-Mu‟minun (23): 117).
5. Hubungan antara satu ayat dan ayat lain dalam satu surah. Misalnya, QS.
Al-Baqarah (2): 2 yang berbicara tentang orang-orang yang bertakwa
kemudian pada tiga ayat berikutnya menjelaskan tentang kriterianya.
6. Hubungan antara kalimat dan kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya, QS.
Al-Fatihah (1) ayat 1: Dengan nama Allah yang kemudian dijelaskan

116
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 157-158.
117
Qaththan, Manna‟, Mabahits fi „Ulum AL-Qur‟an, (Manshurat Al-Ashr Al-Hadits, 1973),
hlm. 97-99.

68
dengan kalimat berikutnya: Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Begitu pula dengan ayat selanjutny: Segala puji bagi Allah yang kemudian
dijelaskan dengan kalimat berikutnya: Tuhan seluruh alam.
7. Hubungan antara fashilah dan isi ayat. Misalnya, QS. Al-Ahzab (33) ayat
25: Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang
mukmin dalam peperangan yang kemudian ditutup dengan: Dan Allah
Maha Kuat, Maha Perkasa.
8. Hubungan antara penutup surah dan awal surah. Misalnya, Surah Al-
Waqi‟ah (56) ayat 96: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Maha Besar yang kemudian disambut oleh Surah Al-
Hadid (57) ayat 1-2: Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada
Allah. Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Milik-Nyalah
kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Hasani Ahmad Said dalam bukunya Diskursus Munasabah Al-Qur‟an


dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan ada jenis-jenis Munasabah yang lebih
ditonjolkan dalam Tafsir Al-Mishbah antara lain: Jenis Munasabah yang
banyak dikaji adalah Munasabah antara surah dan surah sebelumnya,
Munasabah awal uraian surah dengan akhir uraian surah, Munasabah antara
awal surah dan akhir surah sebelumnya, tema surah dengan nama atau
kandungan surah, hubungan ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu
surah, dan penutup surah dengan uraian awal surah setelahnya. Sementara itu,
kajian ayat banyak mengungkap tentang Munasabah antara kalimat dan
kalimat dalam ayat serta Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah.
Meskipun demikian, penulis tidak mengecualikan model Munasabah lainnya
yang diungkap oleh M. Quraish Shihab.118

Sehubungan dengan itu, M. Quraish Shihab tidak menempatkan


Munasabah di satu tempat tertentu. Ia menempatkannya hampir di setiap awal

118
Ibid., hlm. 160.

69
surah yang dikaitkan dengan ayat atau surah sebelumnya serta di akhir surah
yang dikaitkan dengan awal surah dan surah berikutnya. Ia terkadang juga
menempatkan Munasabah pada bagian makna global (Al-Ma‟na Al-jumAli)
dan penjelasan ayat per ayat. Penempatan Munasabah tidak di satu tempat
tertentu juga banyak dilakukan oleh para mufassir pada umumnya. Namun,
salah satu mufassir yang menempatkan Munasabah dalam satu bagian
tertentu adalah Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Shafwah Al-Tafsir.119
Begitu pula dengan Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan)
karya Departemen Agama RI yang terdiri atas sepuluh jilid, Munasabah
ditempatkan dalam satu bahasan.120

D. Pola dan Pendekatan

Al-Qur‟an yang terdiri dari atas 30 juz dan 114 surah memiliki gaya,

susunan, serta system penulisan yang berbeda dengan buku-buku pada

umumnya. Hal itu karena Al-Qur‟an merupakan kitab petunjuk dan memiliki

mukjizat.121

Adapun pola Munasabah yang ditampilkan oleh M. Quraish Shihab di


dalam tafsirnya memiliki bentuk. Pertama, pola Munasabah yang
ditampilkan tidak jauh berbeda dari apa yang dikemukakan oleh para ahli
ilmu Al-Qur‟an, seperti Al-Zarkasyi dan Al-Suyuthi. Kedua, pola Munasabah
antara suatu surah dan surah sebelumnya berkisar pada pembuka surah,
penutup surah, serta hubungan antara awal surah dan akhir surah.122

119
Ibid.
120
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, edisi yang disempurnakan, (Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2004).
121
Ibid., hlm. 161.
122
Ibid., hlm. 162.

70
Dengan penggunaan pola Munasabah seperti itu di dalam tafsirnya,

M. Quraish Shihab tentu memiliki alasan-alasan tersendiri.123

1. Ia lebih mengedepankan aspek Munasabah daripada sisi penamaan surah


(tamtsiliyyah Al-surah). Ia selalu mengaitkan suatu surah dengan akhir
ayat surah sebelumnya. Meskipun demikian, ia tidak luput menjelaskan
penamaan surah, perdebatan mengenai nama surah, dan kategorisasi surah
apakah Makkiyah atau Madaniyah.
2. M. Quraish Shihab tidak memaksakan diri untuk menguraikan setiap ayat
yang telah dikelompokkan untuk dicari sisi Munasabahnya.
3. Dengan melihat beberapa indikasi model penafsirannya, Tafsir Al-Mishbah
lebih dominan menggunakan Munasabah antarsurah, baik awal maupun di
akhir. Hal itu dilakukan karena M. Quraish Shihab tidak memaksakan diri
untuk mencari sisi Munasabah masing-masing peralihan ayat.
4. Sosok Al-Biqa‟i sangat berpengaruh terhadap cara pandang dan penerapan
Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah. Oleh sebab itu, ketika membaca
pembahasan mengenai Munasabah, Al-Biqa‟i menjadi sosok yang lekat
dengan tafsir tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti M. Quraish
Shihab menafikan mufassir lainnya.

Salah satu kelebihan Tafsir Al-Mishbah dalam mengurai Munasabah

adalah adanya penyesuaian dengan konteks yang M. Quraish Shihab alami.

Ketika sedang berada di Mesir, ia mengaitkan aspek Munasabah dengan

sosial budaya setempat. Begitu pula ketika sedang berada di Indonesia, aspek

Munasabah dikaitkan dengan sosial budaya Indonesia. Di sisi lain, ada

banyak ayat atau surah yang tidak bisa diMunasabahkan. Oleh karena itu, ia

merujuk kepada mufassir-mufassir yang sudah ada sebelumnya.

123
Ibid., hlm. 162-163.

71
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa

penerapan aspek Munasabah oleh M. Quraish Shihab tidak jauh berbeda

dengan mufassir pada masa sebelumnya, hanya saja ia lebih banyak meramu

banyak pendapat mufassir lainnya yang kemudian dikemukakan kembali

dengan perspektif yang lebih menarik.

E. Ragam Kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah

Tafsir Al-Mishbah memiliki dua tela‟ah model Munasabah. Pertama,


model Munasabah ayat yang ditelisik melalui enam spesifikasi, yaitu
Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan
fashilah (penutupnya), antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata
dalam satu ayat, antara kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat
terakhir, dalam satu surah. Kedua model Munasabah surah yang ditelisik
melalui delapan spesifikasi, yaitu Munasabah antara surah dan surah
sebelumnya, antara awal surah dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan
akhir surah sebelumnya, antara tema surah dan nama surah, antara penutup
surah dan uraian awal surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya
dalam satu surah, antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih al-
suwar dan isi surah.124
Mengungkap ragam Munasabah Al-Qur‟an, tentu sangat banyak
model dan jenisnya. Namun, yang paling populer dan umum dikenal oleh
masyarakat luas adalah Munasabah antarayat dan antarsurah. Itulah sebabnya
mengapa ilmu Munasabah ini dikenal dengan istilah Al-Munasabah bi al-ayat
wal al-suwar (Munasabah antarayat dan antarsurah). Atas dasar itu pula,
pembahasan lebih lanjut akan fokus kepada hubungan antarayat dan

124
Ibid., hlm. 164.

72
antarsurah. Meskipun demikian, tidak berarti pembahasan lainnya, seperti
hubungan antar huruf, akan dikesampingkan.125
M. Quraish Shihab mengurai tiga langkah dalam memahami
Munasabah, yaitu mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok
kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat berikutnya,
menemukan tema sentral satu surah kemudian mengembalikan uraian
kelompok ayat-ayat tersebut kepada tema sentralnya, dan menghubungkan
ayat dengan ayat sebelumnya kemudian menjelaskan keserasiannya.126

125
Ibid., hlm. 164-165.
126
Ibid., hlm. 165.

73
BAB IV

TELA’AH PENERAPAN MUNASABAH SURAH AR-RAHMAN

DALAM TAFSIR AL-MISHBAH

A. Munasabah Ayat

1. Munasabah antarayat dalam Surah

a. Ayat 1-72

Kelompok 1: Ayat 1-30

1-2 “Ar-Rahman. Dia-lah yang telah mengajarkan Al-Qur‟an.”127

Allah memulai surah ini dengan menyebut Ar-Rahman, kata ini


menunjukkan betapa agung rahmat dan nikmat serta kuasa-Nya. Sebagai
bentuk limpahan sekelumit sifat-Nya kepada jin dan manusia, agar mereka
meneladani-Nya. Dan mengundang rasa ingin tahu dan tergugah, hingga
mereka mengakui nikmat-nikmat-nikmat dan beriman kepada-Nya.
Kemudian sebagai bantahan terhadap mereka yang enggan mengakui-Nya.
Setelah menyebut nikmat-Nya, Allah mengajarkan Al-Qur‟an kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya.128

3-4 “Dia-lah yang menciptakan manusia. Mengajarkan

ekspresi.”129

Setelah mengajarkan Al-Qur‟an, Allah menciptkan manusia yang


merupakan makhluk paling berpotensi dan membutuhkan tuntunan-Nya.
Selain itu Dia juga mengajarkan ekspresi, yakni kemampuan menjelaskan
127
Ibid., hlm. 277.
128
Ibid.
129
Ibid., hlm. 278.

74
yang nampak/tidak dalam benaknya, dengan berbagai cara utamanya
dalam bercakap yang baik dan benar.130

5-6 “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan yang

sangat sempurna. dan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan keduanya

tunduk.”131

Setelah menyebutkan anugerah tuntunan agama dan potensi diri.

Kini menyebut anugerah-Nya melalui makhluk-Nya dan berada diluar diri

manusia, yakni matahari, bulan, serta tumbuhan tunduk berdasarkan

perhitungan yang sangat sempurna dan ketetapan-Nya yang tanpa cacat.132

7-9 “Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca

supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca, dan tegakkanlah

timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca

itu.”133

Setelah menyebut secara khusus dua benda angkasa, kini Allah


menyebut langit secara umum beserta benda-benda luar angkasa yang
beredar ratusan juta dan bahkan tidak terdeteksi. Karena Dia telah
menetapkan sistem dan meninggikan langit setelah tadinya langit dan bumi
merupakan satu gumpalan. Dan dia secara mantap meletakkan neraca
keadilan supaya mereka menegakkan secara sempurna. Baik menyangkut
hal yang ditimbang maupun diukur, kepada orang lain maupun diri sendiri,

130
Ibid., hlm. 278.
131
Ibid., hlm. 280.
132
Ibid., hlm. 280-281.
133
Ibid., hlm. 282.

75
sehingga saling menguntungkan. Karena jika mengurangi neraca itu, maka
neraca timbangan amal-amal kamu di akhirat akan berkurang.134

10-12 “Dan bumi diletakkan-Nya untuk makhluk; di dalamnya ada

buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan

biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum aromanya.”135

Setelah menjelaskan keadaan langit dan keseimbangannya, kini

Allah menjelaskan tentang bumi dan sekelumit keadaannya. Dia tidak

hanya menghaparkan, tetapi juga menyiapkan bahan makanan dan

kenyamanan hidup makhluk yang ada di dalamnya.136 M. Quraish Shihab

menafsirkan kata diletakkan-Nya (dihamparkan-Nya).

13 “Maka nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu

berdua ingkari?”137

Setelah yang lalu-lalu menyebut sekian banyak nikmat Allah, kini


dengan nada mengecam/menggugah, Dia berfirman: Jika demikian besar
dan banyaknya nikmat-nikmat-Nya, maka nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari?138 Ayat ini terulang sebanyak
31 kali, dan penyebutan nikmat-nikmat, penyodoran pertanyaan semacam
di atas, mengandung makna keagungan nikmat tersebut serta banyaknya
manfaat yang diraih oleh penerimanya dengan tujuan menggugahnya lebih
bersyukur atau mengecamnya. Karena jika ia tidak bersyukur, merupakan
isyarat ia melampaui batas.

134
Ibid., hlm. 283.
135
Ibid., hlm. 285.
136
Ibid., hlm. 285-286.
137
Ibid., hlm. 287.
138
Ibid.

76
14-16 “Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti

tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyAla api yang murni. Maka

nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”139

Setelah ayat-ayat yang lalu menyinggung penciptaan alam beserta

isinya, kini Allah menyebutkan secara khusus penciptaan manusia (Adam

as./jenis manusia) dari tanah kering seperti tembikar dan Iblis (sejenis Jin)

dari nyala api.140

17-18 “Tuhan kedua tempat terbit matahari dan Tuhan

(pemelihara) kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhan kamu

berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”141

Ayat ini kembali menguraikan tentang nikmat penciptaan matahari

yang diuraikan ayat 5 lalu. Bahwa Allah Tuhan Yang Esa pencurah aneka

karunia, serta Pemelihara dan Pengendali kedua tempat terbit dan

terbenam matahari pada musim panas dan dingin.142

19-21 “Dia mengAlirkan dua lautan, lAlu keduannya bertemu;

antara keduanya ada pembatas yang tidak sAling melampaui. Maka,

nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”143

139
Ibid., hlm. 289.
140
Ibid.
141
Ibid., hlm. 291.
142
Ibid.
143
Ibid., hlm. 292.

77
Setelah menyebut pemelihara dan pengendali-Nya menyangkut
matahari dan bulan, kini menguraikan tentang lautan yang secara
berdampingan mengalir secara bebas, yang satu tawar dan satunya lagi
pahit, keduannya bertemu pada permukaannya, dengan pembatas yang
Allah ciptakan supaya keduanya tidak bercampur dan saling melampaui,
serta tidak membinasakan manusia.144

22-23 “Keluar dari keduanya mutiara dan marjan. Maka, nikmat

Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”145

Setelah menyebutkan kedua laut yang tawar dan asin, kini


menyebut sekelumit dari anugerah-Nya yang dapat diperoleh dari kedua
laut tersebut. Antara lain mutiara (besar berwarna putih) dan marjan (kecil
berwarna kemerahan). Yang keduanya lahir dari pencampuran antara air
laut dan sungai/hujan. 146

24-25 “Dan milik-Nya (bahtera-bahtera) yang berlayar, lagi yang

berkembang layarnya di lautan, laksana gunung-gunung, maka nikmat

Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”147

Setelah menyebutkan nikmat-Nya yang terdapat di laut dan sungai,


kini menguraikan bahtera-bahtera yang berlayar dari kedua lautan itu yang
tentu juga merupakan anugerah-Nya, baik bermuatan atau tidak,
berkembang layarnya di lautan, dan terlihat laksana gunung-gunung yang
menjulang tinggi. Bahtera-bahtera itu merupakan milik Allah, walaupun
yang membuat manusia, karena bahan-bahan mentahnya ciptaan Allah.
Atau karena yang mengilhami manusia membuatnya, tetapi juga karena

144
Ibid.
145
Ibid., hlm. 294.
146
Ibid.
147
Ibid., hlm. 295.

78
Dia yang menciptakan dan mengendalikan hukum-hukum alam yang
memungkinkan bahtera itu berlayar.148

26-28 “Semua yang ada di dalamnya akan binasa. Dan kekAl

wajah Tuhanmu Dzul JAlal awAl Ikram. Maka, nikmat Tuhan kamu

berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”149

Setelah menguraikan kuasa Allah mencipta alam raya dan


menyiapkan segala yang dibutuhkan makhluk di dalamnya, kini Dia
menyatakan bahwa alam raya beserta isinya akan binasa (mati) dan hidup
kekal (selama-lamanya) di akhirat, dan nantinya hanya akan tinggal Allah
yang kekal abadi Pemilik keagungan dan kemuliaan.150

29-30 “Dia dimintai oleh siapa yang ada di langit dan di bumi;

setiap saat Dia dalam kesibukan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang

manakah yang kamu berdua ingkari?”151

Setelah berbicara tentang kebinasaan, kini Allah berbicara


bagaimana Dia setiap saat dan kapanpun selalu mengatur, mengendalikan,
dan memenuhi kebutuhan semua makhluk. Dia tidak pernah istirahat dan
keletihan akibat semua itu. Dia tidak butuh bantuan kepada siapa pun.
Karena salah satu bukti yang terkuat tentang kebinasaan adalah kebutuhan,
dan bukti kekekalan adalah ketidakbutuhan kepada apa pun.152

Kelompok 2 : Ayat 31-45

148
Ibid., hlm. 295-296.
149
Ibid., hlm. 296.
150
Ibid., hlm. 296-297.
151
Ibid., hlm. 300.
152
Ibid., hlm. 300-301.

79
31-32 “Kami akan berkonsentrasi terhadap kamu, wahai manusia

dan jin! Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu

berdua ingkari?”153

Setelah menegaskan kesibukan Tuhan mengendalikan alam raya


beserta isinya, kini Dia menjelaskan bahwa di akhirat nanti sudah tidak ada
pengendalian dan pemenuhan terhadap kebutuhan jin dan manusia. Karena
nanti Allah dan para malaikat akan berkonsentrasi penuh untuk melakukan
perhitungan kepada setiap manusia dan jin akibat amal-amalnya di
dunia.154

33-34 “Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup

menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah kamu tidak

dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan. Maka, nikmat Tuhan

kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”155

Setelah mengancam manusia dan jin di akhirat, kini menegaskan


bahwa mereka tidak dapat menghindar dari mempertanggungjawabkan
serta akibat-akibatnya. Allah menantang mereka kelompok jin dan
manusia yang durhaka, jika mereka sanggup keluar menembus dari segala
arah langit dan bumi, maka Dia menawarkan untuk menembus, tapi
mereka tidak dapat menembusnya kecuali dengan alat. Karena mereka
tidak memiliki kekuatan. Di dahulukannya penyebutan jin atas manusia,
karena jin memiliki kemampuan lebih besar daripada manusia dalam
mengarungi angkasa.156

153
Ibid., hlm. 305.
154
Ibid.
155
Ibid., hlm. 306.
156
Ibid., hlm. 306-307.

80
35-36 “Kepada kamu berdua, dilepaskan nyAla api dan cairan

tembaga maka kamu berdua tidak dapat menang. Maka, nikmat Tuhan

kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”157

Setelah menantang jin dan manusia untuk menembus dari segala


arah langit dan bumi, kini menggambarkan apa yang terjadi bila ada
diantara mereka yang mencoba melakukannya. Karena bila mencobanya
Dia akan melepaskan nyala api dan cairan tembaga yang panas meleleh di
neraka, maka mereka tidak dapat menyelamatkan diri darinya, karena tidak
mampu memikul sakit dan pedihnya. Jadi salah jika ayat 33 dipahami
kemampuan menembus angkasa dalam arti kehidupan dunia. Karena mulai
ayat 31-77 surah ini berbicara tentang kehidupan akhirat. M. Quraish
Shihab sedikit kurang tepat ketika menafsirkan ayat 33 dalam konteks
dunia. Walaupun di ayat selanjutnya dijelaskan. Karena hal semacam ini
menurut penulis mengurangi kekuatan Munasabahnya.158

37-40 “LAlu, apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar


seperti (kilapan) minyak. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Pada waktu itu tidak ditanya tentang
dosanya manusia dan tidak juga jin. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari?”159

Setelah menantang jin dan manusia untuk menembus dari segala


arah langit dan bumi, kini menggambarkan apa yang terjadi bila ada
diantara mereka yang mencoba melakukannya. Karena bila mencobanya
Dia akan melepaskan nyala api dan cairan tembaga yang panas meleleh di
neraka, maka mereka tidak dapat menyelamatkan diri darinya, karena tidak
mampu memikul sakit dan pedihnya. Jadi salah jika ayat 33 dipahami
kemampuan menembus angkasa dalam arti kehidupan dunia. Karena mulai
157
Ibid., hlm. 309.
158
Ibid.
159
Ibid., hlm. 310.

81
ayat 31-77 surah ini berbicara tentang kehidupan akhirat. M. Quraish
Shihab sedikit kurang tepat ketika menafsirkan ayat 33 dalam konteks
dunia. Walaupun di ayat selanjutnya dijelaskan. Karena hal semacam ini
menurut penulis mengurangi kekuatan Munasabahnya.160

41-43 “Para pendurhaka dikenAl dengan tanda-tanda mereka, lAlu

diambil ubun-ubun dan kaki mereka. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua

yang manakah yang kamu berdua ingkari? Inilah neraka Jahanam yang

didustakan oleh para pendurhaka.”161

Setelah menegaskan bahwa pendurhaka dari jenis manusia dan jin


tidak ditanyai tentang dosa masing-masing. Kini menjelaskan mengapa
demikian, sekaligus menjelaskan keadaan mereka dalam siksa. Seperti
para pendurhaka dikenal dengan tanda-tandanya, lalu dengan mudah
diambil dan dipegang ubun-ubunnya, dan dilemparkan ke neraka
jahannam seraya Dia mengecam inilah neraka jahanam yang senantiasa
didustakan oleh para pendurhaka termasuk kamu semua. Inilah balasan
untuk mereka yang durhaka, dan kelak akan terjadi.162

44-45 “Mereka berkeliling diantaranya dan di anatar air yang

mendidih yang memuncak panasnya. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua

yang manakah yang kamu berdua ingkari?”163

Setelah menjelaskan tentang akibat dan siksa untuk para


pendurhaka. Kini para pendurhaka berusaha menghibur diri, tapi ketika
merasakan panasnya neraka, mereka berkeliling bolak-balik diantara
mereka. Karena panasnya, dari kejauhan mereka air. Tapi setelah didekati,

160
Ibid., hlm. 311.
161
Ibid., hlm. 312.
162
Ibid.
163
Ibid.

82
ternyata air itu sangat panas. Kemudian mereka terpaksa kembali ke
neraka.164

Kelompok 3 : Ayat 46-61

46-6-49 “Dan bagi siapa saja yang takut akan keagungan


Tuhannya ada dua surga. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Keduanya mempunyai dahan-dahan.
Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua
ingkari?”165

Setelah menguraikan siksa yang dihadapi para pendurhaka di


akhirat. Kini sebagaimana kebiasaan Al-Qur‟an mendapingkan sesuatu
dengan lawannya/serasi. Dan ayat ini lawan dari uraian ayat sebelumnya.
Yaitu bagi hamba-Nya yang takut akan kuasa dan keagungan-Nya.
Sehingga mendorongnya untuk beramal soleh, maka ada dua surga yang
indah balasan untuknya di akhirat nanti. Yang keduanya mempunyai
dahan-dahan yang sangat rimbun dan buahnya bermacam-macam lagi
menyenangkan.166

50-53 “Di dalam keduanya ada dua buah mata air yang mengAlir.
Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua
ingkari? Di dalam keduanya terdapat segAla buah-buahan yang
berpasangan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang
kamu berdua ingkari?”167

Setelah ayat 48 menggambarkan keindahan surga dengan


kenikmatan serta pohonnya yang indah. Kini menguraikan kesempurnaan
pemandangannya; terdapat dua mata air-mata air yang sekaligus

164
Ibid., hlm. 313.
165
Ibid., hlm. 317.
166
Ibid.
167
Ibid., hlm. 319-320.

83
mendukung pertumbuhan pertumbuhan pohon itu. Keberpasangan buah-
buahan yang dimaksud adalah keadaan buah itu ada yang mentah dan
matang.168

54-55 “Mereka bertelekan di atas hamparan yang sebelah

dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dekat. Maka,

nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”169

Setelah menjelaskan keadaan surga, kini menguraikan kenikmatan


dan kesenangan yang ada di dalamnya. Mereka bertelekan dengan santai di
atas dipan yang dalam/bawah terbuat dari sutera yang murni, tebal, dan
mengkilat. Sebelah dalamnya saja terbuat dari sutera, apalagi sebelah luar
(pembungkusnya) yang tersentuh jasmani, pasti lebih indah. Kemudian di
dalamnya ada buah-buahan yang dapat dipetik dengan mudah.170

56-59 “Ada di sana wanita-wanita yang membatasi pandangannya.


Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka dan tidak
pula oleh jin. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari? Mereka itu bagaikan permata yakut dan marjan. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”171

Setelah menjelaskan keadaan pembaringan dan tempat-tempat


duduk penghuni surga, kini menjelaskan keadaan yang mendapingi mereka
di sana. Ada tempat pembaringan, wanita-wanita surgawi (bidadari) yang
menjadikan pasangan di surga bagi pria, begitu pun sebaliknya. Mereka
sopan-sopan, setia, dan masih perawan yang belum pernah disentuh oleh

168
Ibid., hlm. 320.
169
Ibid.
170
Ibid., hlm. 320-321.
171
Ibid., hlm. 321.

84
jin/manusia sebelumnya. Sampai-sampai tidak menoleh kepada selain
pasangannya.172

60-61 “Apakah balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Maka,

nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?”173

Setelah menjelaskan kenikmatan yang akan diraih oleh penghuni

surga, kini menyatakan sebab anugerah besar itu. Karena balasan untuk

yang beramal soleh adalah anugerah kebaikan dari Allah langsung.174

Kelompok 4 Ayat 62-78

62-69 “Dan selain dari keduanya ada dua surga lagi. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Kedua surga itu berwarna hijau tua. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada mata
air yang memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada buah dan kurma serta
delima. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari?”175

Setelah menguraikan keistimewaan salah satu dari tingkat/keadaan


satu macam surga, kini disebut dua surga yang lain dan lebih istimewa.
Surga itu berwarna hijau hingga tampak kehitam-hitaman. Ada dua mata
air yang selalu memancar. Ada segala jenis buah yang sangat lezat seperti
kurma dan delima.176

172
Ibid., hlm. 322.
173
Ibid., hlm. 323.
174
Ibid.
175
Ibid., hlm. 327.
176
Ibid.

85
70-71 “Di sana ada yang baik-baik lagi rupawan. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? (Mereka
itu) bermata sangat indah, hanya berada dalam kemah-kemah. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka dan tidak
pula oleh jin. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari? Mereka bertelekan pada bantAl-bantAl hijau dan
permadani-permadani indah. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari?”177

Setelah melukiskan sedikit dari keadaan surga dan kenikmatannya,


ayat di atas melukiskan pasangan-pasangan penghuninya. Ada wanita-
wanita yang baik-baik dan cantik wajahnya. Mereka bermata sangat indah
dan hanya berada dalam kemah-kemah, yaitu istana-istana surgawi
kediaman pasangan mereka. Mereka semua perawan, yang tidak pernah
disentuh oleh jin dan manusia sebelumnya. Mereka tiduran dengan santai
dengan alas bantalnya yang berwarna hijau dan permadani-permadani
indah. Dengan rahmat dan kenikmatan teragungnya, maka nikmat apa lagi
yang manusia ingkari? 178

b. Ayat 5 dan 17

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan yang sangat

sempurna.”179

Ayat-ayat ai atas menyebut anugerah-Nya melalui makhluk-Nya

dan berada di luar diri manusia. Seperti matahari, bulan beredar pada

177
Ibid., hlm.329.
178
Ibid., hlm. 330.
179
Ibid., hlm. 280.

86
porosnya dan ketetapan yang tanpa cacat.180 Kemudian ayat 17 sebagai

berikut:

“Tuhan kedua tempat terbit matahari dan Tuhan (Pemelihara)

kedua tempat terbenamnya.”181

Setelah ayat 5 menguraikan salah satu nikmat-Nya, yakni

penciptaan matahari beserta pengendaliannya. Kini ayat 17 kembali

menguraikan tentang karunia penciptaan matahari yang dikendalikan dan

dipelihara-Nya, yang terbit dan terbenam di dua tempat/waktu, yakni

musim dingin dan panas.182 Munasabah kedua ayat di atas adalah sama-

sama menyebutkan penciptaan matahari yang merupakan sama-sama

nikmat Allah.

2. Munasabah antarkelompok Ayat

Seperti yang dijabarkan pada tela‟ah Munasabah antarayat di atas.

Bahwa M. M. Quraish Shihab selain Munasabah antarayat juga

Munasabah antar kelompok dalam satu surah. Hal pengelompokkan ini

sudah biasa dipakai dalam menafsirkan semua surah dalam Al-Qur‟an.

Tentu semua ini ada maksud untuk mempermudah pembaca dalam

memahaminya.

Dalam Tafsir surah Ar-Rahman terdapat 78 ayat, para ulama

berbeda pendapat dalah hal jumlah ayat. Ada yang berpendapat 77, dan

180
Ibid.
181
Ibid., hlm. 291.
182
Ibid.

87
ada juga yang berpendapat 78. Keluar dari permasalahan ini, semua ayat

dalam surah Ar-Rahman oleh M. M. Quraish Shihab dikelompokkan

menjadi 4. (Rujuklah ke ayat 13 pada Munasabah antarayat dalam suatu

surah di halaman 87-88).

Kelompok 1, ayat 1-30, kelompok ayat ini berbicara tentang


penegasan kesibukan Tuhan mengendalikan dan memenuhi kebutuhan
semua makhluk di alam raya dalam kehidupan dunia ini. Allah
mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini,
baik manusia atau jin yang taat dan durhaka malaikat, binatang, maupun
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.183
Kelompok ini dimulai dengan salah satu sifat atau asma Al-Husna-
Nya yaitu Ar-Rahman, betapa agung dan mulia-Nya yang kemudia di akhir
kelompok ini, ayat 29-30, Allah berfirman: Dia dimintai oleh siapa yang
ada di langit dan di bumi; setiap saat Dia dalam kesibukan. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Salah satu
bukti terkuat tentang kebinasaan adalah kebutuhan, dan bukti kekekalan
adalah ketidakbutuhan kepada apa pun. Makhluk silih berganti hidup dan
mati. Semua membutuhkan Tuhan yang dpat menlanjutkan hidupnya serta
memenuhi kebutuhannya. Ayat di atas menegaskan bahwa hanya Dia
Yang Maha Kekal itu yang dapat memenuhi melakukan itu.184
Kelompok 2, ayat 31-45, berbicara tentang peringatan Tuhan
kepada manusia dan jin bahwa di hari kemudian nanti Kami bersama
malaikat-malaikat yang Kami tugaskan akan berkonsentrasi terhadap
kamu, yakni memperhatikan sepenuhnya dengan melakukan perhitungan
terhadap setiap manusia. Bertanggungjawab sepenuhnya terhadap apa
yang diperbuat/dilakukan selama di dunia. Karena dahulu Allah dan para
malaikat-Nya menguji dan masih mengurusi banyak makhluk-Nya. Akan
tetapi ketika tiba masa kekal selamanya di akhirat. Maka di awal kelompok

183
Ibid., hlm. 277.
184
Ibid., hlm. 300.

88
ayat ini, ayat 31-32, Allah berfirman: Kami akan berkonsentrasi terhadap
kamu, wahai manusia dan jin! Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari?”185
Kemudian di akhir kelompok ini, ayat 44-45, Allah berfirman:
Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang
memuncak panasnya. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Para pendurhaka yang diseret dan dilempar ke
neraka itu, sesekali berupaya menghibur diri. Ketika mereka merasakan
betapa panasnya neraka, dari kejauhan mereka melihat air. Maka mereka
berkeliling berbolak-balik berkali-kai diantaranya, yakni antara neraka,
dan di antara air yang mereka lihat dari kejauhan itu, dan kemudian
ternyata bahwa air tersebut adalah air yang mendidih yang memuncak
panasnya. Karena itu mereka meninggalkannya dan terpaksa kembali ke
neraka. Demikian dari saat ke saat teruang peristiwa itu. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?186 jadi
antara kelompok 1 dan 2 ada hubungan/kesesuaian.
Kelompok 3, ayat 46-61, berbicara tentang kenikmatan yang
diperoleh orang-orang yang taat, sebagaimana tafsir ayat 46-49, Allah
berfirman: Dan bagi siapa yang takut akan keagungan Tuhannya ada dua
surga. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu
berdua ingkari? keduanya mempunyai dahan-dahan. Maka, nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu berdua ingkari? Setelah ayat-ayat yang
lalu menguraikan siksa yang dihadapi oleh para pendurhaka –
sebagaimana kebiasaan Al-Qur‟an mendampingkan ssesuatu dengan
lawannya atau yang serasi dengannya – ayat-ayat diatas dan berikutnya
berbicara tentang kenikmatan yang diperoleh orang-orang yang taat. Ayat
di atas menyataka: Dan bagi siapa yang takut akan kuasa dan keagungan
Tuhannya sehingga mendorongnya untuk beramal soleh, tersedia untuknya
ada dua surga yang keduanya sangat indah. Maka, nikmat Tuhan kamu

185
Ibid., hlm. 305.
186
Ibid., hlm. 313.

89
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Keduanya, yakni kedua
surga itu, mempunyai dahan-dahan yang sangat rimbun dan buah-buahan
yang beraneka ragam lagi sangat menyenangkan. Maka, nikmat Tuhan
kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?187
Kemudian di akhir kelompok ini, yaitu ayat 60-61 Allah berfirman:
Apakah balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Maka, nikmat Tuhan
kamu berdua yang manakah yanag kemu berdua ingkari? setelah ayat
yang lalu menjelaskan kenikmatan yang akan diraih oleh penghuni surga,
uraian itu diakhiri dengan menyatakan sebab anugerah besar itu! Allah
berfirman: Apakah, yakni tidak ada, balasan amal-amal kebaikan kecuali
anugerah llahi yang berupa kebaikan pula. Maka, nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu berdua ingkari?188
Kelompok 4, ayat 62-78, berbicara tentang adanya surga yang lebih
istimewa dari yang telah dijelaskan pada kelompok 3, sebagaimana di ayat
62-69, Allah berfirman: “Dan selain dari keduanya ada dua surga lagi.
Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua
ingkari? Kedua surga itu berwarna hijau tua. Maka, nikmat Tuhan kamu
berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada
dua mata air yang memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada buah dan
kurma serta delima. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari?”189
Setelah kelompok yang lalu menguraikan keistimewaan salah satu
dari tingkat atau keadaan satu macam surga, kini disebut yang lain.
kemudian di ayat 62-69 yang merupakan awal kelompok ini menyatakan:
Dan selain atau pada peringkat bawah dari keduanya, yakni kedua surga
yang disebut pada ayat-ayat tang lalu, masih ada dua surga lagi. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Kedua surga itu berwarna hijau tua, sehingga Karena hijaunya tampak
187
Ibid., hlm. 317.
188
Ibid., hlm. 323.
189
Ibid., hlm. 327.

90
kehitam-hitaman. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang
kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada dua mata air yang
senantiasa memancar. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada segala jenis buah
yang sangat lezat dan tidak ketinggalan ada kurma serta delima. Maka,
nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?190
Kemudian diakhir kelompok ini, ayat 78, Allah berfirman: Maha

Melimpah kebajikan lagi Maha MAntap Tuhanmu – pemilik Al-Jalal wa

Al-Ikram. Akhirnya, surah ini ditutup dengan sekali menegaskan tentang

sifat (jalal) dan (ikram) Allah swt. Maha melimpah kebajikan lagi Maha

Mantap nama Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad, Pemilik Al-Jalal wa Al-

Ikram.191 Untuk memahami kandungan makna Al-Jalal wa Al-Ikram.

Jadi antara kelompok 1 - 4 ada hubungan atau kesesuaian, setelah

kelompok satu menjelaskan kesibukan Allah mengurus semua makhluk

yang ada di bumi dan di langit serta sekitarnya, dengan dicurahkan-Nya

rahmat yang tidak terhingga. Yang semua itu bersifat duniawi. Kemudian

masuk ke penjelasan kelompok kedua yang menjelaskan konsentrasi Allah

beserta para malaikat-Nya terhadap jin dan manusia, balasan terhadap

mereka yang durhaka dan ingkar terhadap nikmat-nikmat Allah yang

banyak itu, lalu dibalaslah mereka di akhirat dengan dimasukkan ke dalam

neraka. Kemudian masuk ke penjelasan kelompok ketiga, dengan curahan

rahmat Allah yang banyak itu, ada sebagian manusia dan jin yang taat, lalu

dimasukkanlah mereka ke dalam surga dengan berbagai kesenangan yang

190
Ibid.
191
Ibid., hlm. 331.

91
berlimpah. Kemudian masuk ke penjelasan kelompok keempat yang

berbicara kelanjutan dari kelompok ketiga, bahwa ada dua surga yang

lebih istimewa dari surga yang sebagaimana dijelaskan pada kelompok

ketiga.

3. Munasabah antara Ayat dan Penutupnya (Fashilah)

a. Ayat 1-13

“Ar-Rahman. Dia-lah yang telah mengajarkan Al-Qur‟an. Dia-


lah yang menciptakan manusia. Mengajarkan ekspresi. Matahari dan
bulan (beredar) menurut perhitungan yang sangat sempurna. dan
tumbuh-tumbuhan dan pepohonan keduanya tunduk. Dan Dia telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca supaya kamu jangan
melampaui batas dalam neraca, dan tegakkanlah timbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu, Dan bumi diletakkan-
Nya untuk makhluk; di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma
yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan
bunga-bunga yang harum aromanya. Maka nikmat Tuhan kamu berdua
yang manakah yang kamu berdua ingkari?”192
Setelah ayat 1-12 menyebut sekian banyak nikmat Allah, maka

di ayat 13 dengan nada mengecam/menggugah, Jika demikian besar

dan banyaknya nikmat Allah, maka nikmat Tuhan Pemelihara kamu

berdua, wahai manusia dan jin, yang manakah yang kamu berdua

ingkari?193

Kata (‫ )ءاآلء‬Ala adalam bentuk jama dari kata (‫ )اىي‬ilyi atau Alyi

yakni nikmat. Penggunaan kata lain karena anugerah dan nikmat itu

merupakan hal-hal yang sangat khusus yang hanya dianugerahkan oleh

192
Ibid., hlm. 277-287.
193
Ibid., hlm. 287.

92
Yang Maha Agung. Kata itu mengesankan sinar dan kecemerlangan (at-

tAla‟lu‟) dan dengan melihatnya terasa adanya kebajikan dan do‟a.

Ayat ini terulang dalam surah Ar-Rahman sebanyak 31 kali.


Pengulangan kalimat dalam satu dialog sangat dikenal oleh pengguna
bahasa. Penyebutan nikmat-nikmat, penyodoran pertanyaan semacam di
atas, mengandung makna keagungan nikmat tersebut serta banyaknya
manfaat yang diraih oleh penerima, dengan tujuan menggugahnya lebih
bersyukur, dan mengecamnya jika ia tidak bersyukur, karena itu
melampaui batas.194
Sementara ulama menyatakan bahwa ketiga puluh satu ayat

tersebut terbagi dalam empat kelompok uraian.195

b. Ayat 3-27

“Semua yang ada di dalamnya akan binasa. Dan kekAl wajah

Tuhanmu Dzul JAlal wa Ikram.”196

Setelah ayat 3-25 menguraikan kuasa Allah menciptakan alam


raya dan menyiapkan segala yang dibutuhkan makhluk bagi
kelangsungan hidup mereka, dan secara khusus disebutkan di
kehidupan dunia. Maka ayat di atas sebagai penutup ayat-ayat
sebelumnya, yangmana dalam ayat ini mengingatkan bahwa itu semua
tidak akan mengantar siapa pun menjadi kekal di bumi ini. Bahwa
semua yang ada di dunia akan binasa (mati) dan akan hidup kekal
selama-lamanya di akhirat, maka nantinya hanya tinggal Allah yang
kekal (abadi), yang memiliki keagungan dan kemuliaan.197

4. Munasabah antar Kalimat dalam Ayat

194
Ibid., hlm. 228.
195
Ibid., hlm. 228-289.
196
Ibid., hlm. 296.
197
Ibid., hlm. 296-297.

93
a. Ayat 7-9

“Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca

supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca, dan tegakkanlah

timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca

itu”198

Setelah menyebut secara khusus dua benda angkasa, kini Allah


menyebut langit secara umum beserta benda-benda luar angkasa yang
beredar ratusan juta dan bahkan tidak terdeteksi. Karena Dia telah
menetapkan sistem dan meninggikan langit setelah tadinya langit dan
bumi merupakan satu gumpalan. Dan dia secara mantap meletakkan
neraca keadilan supaya mereka menegakkan secara sempurna. Baik
menyangkut hal yang ditimbang maupun diukur, kepada orang lain
maupun diri sendiri, sehingga saling menguntungkan. Karena jika
mengurangi neraca itu, maka neraca timbangan amal-amal kamu di
akhirat akan berkurang.199
Kata neraca/timbangan pada ayat di atas diulang 3 kali,

sehingga bisa membuat kalimat yang satu dengan lainnya sesuai. Kata

neraca pertama memberikan pesan bahwa Allah meletakkan neraca,

kata kedua memberikan pesan bahwa Allah melarang melampaui batas

dalam neraca yang dipertegas dengan kata jangan, kata ketiga

memperkuat kata kedua dengan kalimat janganlah kamu mengurangi

neraca itu.

b. Ayat 33

198
Ibid., hlm. 282.
199
Ibid., hlm. 283.

94
“Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus

penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah kamu tidak dapat

menembusnya melainkan dengan kekuatan.”200

Ayat di atas menegaskan bahwa mereka tidak dapat menghindar


dari mempertanggungjawabkan serta akibat-akibatnya. Allah
menantang mereka kelompok jin dan manusia yang durhaka, jika
mereka sanggup keluar menembus dari segala arah langit dan bumi,
maka Dia menawarkan untuk menembus, tapi mereka tidak dapat
menembusnya kecuali dengan alat. Karena mereka tidak memiliki
kekuatan. Di dahulukannya penyebutan jin atas manusia, karena jin
memiliki kemampuan lebih besar daripada manusia dalam mengarungi
angkasa.201
Ayat di atas memiliki tiga kata dan makna yang sama, yaitu

tembus. Kata pertama tidak memakai kata tembus atau tembuslah, tapi

menembus. Hal ini memberikan isyarat penawaran atan tantangan dari

Allah untuk manusia dan jin. Sedangkan kata kedua sudah tidak lagi

penawaran yang memakai kata menembus, tapi isyarat perintah dengan

kata tembuslah. Dan ditutup dengan kata terakhir, yaitu menembusnya

yang memberikan isyarat bahwa sekali-kali manusia dan jin tidak dapat

menembusnya, kecuali dengan alat. Jadi antara ayat dan penutup ayat di

atas memiliki kesesuaian. Setelah melihat ayat 34-35, bahwa langit dan

bumi yang dimaksud di sini bukan konteks dunia, tapi akhirat (neraka).

Karena di ayat 34-35 menjelaskan kepayahan dan kegagalan mereka

200
Ibid., hlm. 306.
201
Ibid., hlm. 306-307.

95
(para pendurhakan) untuk menghindar diri dari siksa Allah yang amat

pedih.

5. Munasabah antar Kata dalam Satu Ayat

a. Ayat 7

“Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan

neraca.”202

Allah menyadingkan kata )‫ )اىسّمآء‬Al-sama‟ dengan kata (‫)اىميزان‬

Al-Mizan ada maksud dan kesesuaian antara dua kata tersebut.

Kata (‫ )ميزان‬mizan berarti Alat menimbang, kata ini juga bisa


dipahami dalam arti keadilan, baik dalam arti menempatkan sesuatu
pada tempatnya maupun dalam arti keseimbangan. Thair Ibn „Asyur
memahami kata mizan pada ayat ini dalam arti keadilan. Menurutnya
sebagaimana dikutip dalam Tafsir Al-Mishbah, yakni Allah
menyandingkan kata langit dengan timbangan (keadilan) untuk
mengisyaratkan betapa penting dan agung keadilan itu dengan
menisbahkannya ke arah alam yang tinggi. Yang juga merupakan alam
kebenaran dan keutamaan, dan bahwa keadilan itu turun dari langit ke
bumi atas perintah Allah.203
Kata (‫ )ميزان‬Al-Mizan pada ketiga ayat di atas terulang pada

setiap ayat, kendati makna masing-masing dapat berbeda-beda, apalagi

jia Anda memahaminya dalam arti yang sama menunjukkan betapa

pentingnya neraca keadilan dan keseimbangan dalam hidup ini.204

b. Ayat 60

202
Ibid., hlm. 282.
203
Ibid., hlm. 283.
204
Ibid., hlm. 284.

96
“Apakah balasan kebaikan kecuAli kebaikan (pula).”205

Setelah menjelaskan kenikmatan yang akan diraih oleh penghuni

surga, kini menyatakan sebab anugerah besar itu. Karena balasan untuk

yang beramal soleh adalah anugerah kebaikan dari Allah langsung.206

Sementara ulama menetapkan rumus yang berbunyi: Bila ada


satu kata yang berbentuk ma‟rifah/definite lalu kata itu diulang dalam
satu kalimat. Maka makna kata yang disebut pertama itu sama dengan
makna kata yang disebut di kali kedua. Sebaliknya jika itu berbentuk
nakirah/indefinite noun, maka yang kedua berbeda dengan yang
pertama. Menurut M. Quraish Shihab ayat di atas merupakan salah satu
pengecualian dari rumus tersebut. Di sini, kata (‫ )اإلحسان‬Al-ihsan
diulangi dua kali, namun makna kata yang sama tersebut berbeda. Yang
pertama berarti perbuatan yang baik (amal-amal soleh) dan yang kedua
berarti penganugerahan yang baik (kenikmatan surgawi).207 Jadi
kesesuaiannya adalah kata (‫)اإلحسان‬ yang kedua merupakan
sebab/hadiah/imbAlan dari kata (‫ )اإلحسان‬pertama. Kata yang pertama
wujud tindakan dari seorang hamba. Sedangkan yang kedua adalah
wujud imbalan dari Yang Maha Segala-Nya.208

B. Munasabah surah

1. Munasabah antara Fawatih Al-Suwar (Pembuka Surah) dan Akhir Surah

(Penutup Surah)

a. Ayat 1

“Ar-Rahman.”209

205
Ibid., hlm. 323.
206
Ibid.
207
Ibid.
208
Ibid.
209
Ibid., hlm. 277.

97
Awal surah Ar-Rahman dimulai dengan menyebut sifat rahmat-

Nya yang menyeluruh yaitu Ar-Rahman, yakni Allah yang

mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk dalam kehidupan dunia

ini, baik manusia atau jin yang taat dan durhaka, malaikat, binatang,

maupun tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.210

b. Ayat 78

“Maha Melimpah kebajikan lagi Maha Mantap nama Tuhanmu

Pemilik Al-JAlal wa Al-Ikram.”

Kata (‫ )تثازك‬tabaraka terambil dari kata )‫ )تسمة‬barakah yang


bermakna sesuatu yang mantap juga berarti kebajikan yang melimpah
dan beraneka ragam serta bersinambung. Keberkatan Illahi dalam arti
melimpahnya kebajikan-Nya datang dari arah yang sering kali tidak
diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau
bahkan diukur. Dari sini segala penambahan yang tidak terukur oleh
indra dinamai barakah. Demikian, ar-Raghib al-Ashfani. Dengan
demikian, kata (‫ )تثازك‬tabaraka pada hakikatnya dapat diterjemahkan
dengan Maha Melimpah kebajikan lagi Maha Mantap. Selanjutnya
rujuklah antara lain ke QS. al-Furqan (25):1, untuk memahami lebih
jauh makna keberkahan Illahi.211

Para ulama berbeda pendapat tentang kata (‫ )اسم‬ism pada ayat di


atas ada yang berpendapat bahwa kata tersebut disisipkan untuk
memberi penekanan. Penganut pendapat ini ada yang menyatakan
sisipan tersebut tidak mengandung makna kecuali penekanan semata
sehingga ayat di atas bagaikan menyatakan Maha Agung Tuhanmu; ada

210
Ibid.
211
Ibid., hlm. 331.

98
lagi yang menyatakan bahwa nama-Nya Maha Agung, dan demikian
lebih-lebih zat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ism di sini
disebutkan untuk menjadi isyarat bahwa guna menggambarkan
keagungan dan banyaknya anugerah Allah adalah sesuatu yang
mustahil. Karena itu, yang mampu dijangkau oleh manusia hanya
sebagian darinya sehingga hanya nama-Nya yang disebut di sini. Ada
juga ulama yang memahami bahwa kata ism di sini menunjuk kepada
nama-Nya yang dimungkiri oleh kaum musyrikin Mekkah, yakni Ar-
Rahman dan nama itulah yang disebut pada awal surah ini. Dengan
demikian, ayat ini bagaikan menyatakan bahwa nama Allah Ar-Rahman
itu merupakan nama yang sangat agung. Ia adalah sumber anugerah
duniawi dan ukhrawi. Penyandangnya mencurahkan rahmat kepada
seluruh makhluk-Nya, baik manusia mukmin atau kafir maupun jin,
malaikat, bahkan seluruh alam raya. Demikian bertemu akhir surah ini
yang berbicara tentang rahmat dan anugerah Allah dengan awalnya
yang menyatakan bahwa Dia adalah Ar-Rahman.212 Untuk memahami
kandungan makna Al-Jalal wa Al-Ikram.213

2. Munasabah antara Tema Surah dan Nama Surah

Penamaaan dengan Ar-Rahman telah dikenal sejak zaman Nabi

saw. nama tersebut diambil dari awal kata surah ini. Apalagi inilah satu-

satunya surah yang dimulai sesudah Basmalah dengan nama/sifat Allah,

yakni Ar-Rahman. Sementara ulama berpendapat bahwa sebab turunnya

adalah tanggapan negatif kaum musyrikin Mekkah ketika mereka

diperintahkan untuk sujud kepada Allah yang Rahman itu. Dalam QS. Al-

Furqan (25): 60 dinyatakan: Dan apabila dikatakan kepada mereka:

212
Ibid., hlm. 332.
213
Ibid., hlm. 298-300.

99
“Sujudlah kepada Ar-Rahman“ mereka menjawab: “Siapakah Ar-Rahman

itu?”214

Surah Ar-Rahman dikenal juga dengan nama „Arus Al-Qur‟an,


yang secara harfiah berarti Pengantin Al-Qur‟an. Imam al-Baihaqi
meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Segala sesuatu memiliki
pengantinnya dan pengantin Al-Qur‟an adalah surah Ar-Rahman”,
penamaan itu karena indahnya surah ini dan karena di dalamnya terulang
sekian kali ayat Fa bi ayyi Ala‟i Rabbikumatukadziban, dan diibaratkan
dengan aneka hiasan yang dipakai oleh pengantin.215 Nama Ar-Rahman di
sini memiliki makna kesementaraan.
Tema utama surah ini tentang keagungan kuasa Allah,
kesempurnaan pengaturan-Nya, serta keluasan rahmat-Nya. Itu semua
dapat dilihat melalui keluasan ilmu-Nya, yang ditunjuk oleh perincian
keajaiban makhluk-makhluk-Nya dan keserasian, serta keindahan ciptaan-
Nya yang dikemukakan pada surah ini dengan jalan mengingatkan hal-hal
tersebut kepada manusia dan jin. Dan tujuan utama surah ini adalah
menetapkan bahwa Allah swt. menyandang sifat rahmat yang tercurah
kepada semua tanpa terkecuali.216
3. Munasabah antara Fawatih Al-Suwar (Pembuka) dan Isi Surah

Allah memulai surah ini dengan menyebut Ar-Rahman, kata ini


menunjukkan betapa agung rahmat dan nikmat serta kuasa-Nya. Sebagai
bentuk limpahan sekelumit sifat-Nya kepada jin dan manusia, agar mereka
meneladani-Nya. Dan mengundang rasa ingin tahu dan tergugah, hingga
mereka mengakui nikmat-nikmat-nikmat dan beriman kepada-Nya.
Kemudian sebagai bantahan terhadap mereka yang enggan mengakui-
Nya.217

214
Ibid., hlm. 273.
215
Ibid., hlm. 273-274.
216
Ibid., hlm. 274.
217
Ibid., hlm. 277.

100
Surah ini menguraikan tentang nikmat-nikmat Allah, bermula dari
nikmat-Nya yang terbesar dan teragung, yaitu Al-Qur‟an. Thabathaba‟i
berpendapat bahwa surah ini mengandung isyarat tentang ciptaan Allah
dengan sekian banyak bagiannya di langit dan bumi. Darat dan laut,
manusia dan jin, di mana Allah mengatur semua itu dalam satu pengaturan
yang bermanfaat bagi manusia dan jin – bermanfaat untuk hidup mereka di
dunia yang akan binasa dan yang kekal abadi di akhirat.218
Jadi antara pembuka surah dan isi surah ada Munasabah yang

saling berhubungan. Di pembuka surah berbicara tentang nikmat yang

terkecil hingga nikmat teragung-Nya. Dari makhluknya, terutama Jin dan

Manusia ada yang taat dan ada pula durhaka. Dan ada balasan masing-

masing dari mereka dui akhirat nanti. Isi surah pun juga seperti apa yang

dijelaskan di pembuka surah di atas, jadi penulis sepakat jika ini termasuk

Munasabah.

4. Munasabah antara Awal Surah dan Akhir Surah Sebelumnya

Akhir surah yang lalu (Al-Qomar) ayat 54 ditutup dengan

pernyataan tentang keagungan kuasa dan kesempurnaan kodrat Allah swt.

“Di tempat yang disenagi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Kata tempat yang disenangi maksudanya adalah tempat yang penuh

kebahagiaan, yang bersih dari hiruk-pikuk dan perbuatan-perbuatan dosa.

Kodrat Allah tersebut tidaklah sempurna kecuali jila disertai dengan

rahmat yang mencakup semua makhluk.

“Ar-Rahman.”219

218
Ibid., hlm. 274.
219
Ibid., hlm. 277.

101
M. Quraish Shihab menafsirkan ada keterkaitan atau hubungan
antara awal surah Ar-Rahman dengan akhir surah Al-Qomar. Akhir surah
Al-Qomar ditutup dengan pernyataan tentang keagungan kuasa dan
kesempurnaan kodrat Allah. Itu tidaklah sempurna kecuali jika disertai
dengan rahmat yang mencakup semua makhluk. Karena itu, dalam surah
Ar-Rahman dimulai dengan menyebut sifat rahmat-Nya yang menyeluruh
yaitu Ar-Rahman, yakni Allah yang mencurahkan rahmat kepada seluruh
makhluk dalam kehidupan ini, baik manusia/jin yang taat dan durhaka,
serta malaikat, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.220
5. Munasabah antara Suatu Surah dan Surah Sebelumnya

Ada persesuaian surah Ar-Rahman dengan surah Al-Qomar adalah:

Pertama, dalam surah Ar-Rahman menjelaskan tentang keadaan

orang-orang yang mendustakan Allah dan orang-orang yang bertakwa

kepada-Nya, yang dalam surah ar-Qomar juga dijelaskan secara ijmal

(global) dalam ayat 47 dan 54, yaitu:

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam

kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.”

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-

taman dan sungai-sungai.”

Kedua, dalam surah Al-Qomar disebutkan satu persatu bencana

yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Seperti kehancuran musuh Nabi

muhammad saw. (ayat 1-8), kehancuran kaum Nabi Nuh as. (ayat 9-18),

kehancuran kaum „Ad (ayat 18-22), kehancuran kaum Samud (ayat 23-32),

kehancuran kaum Luth (ayat 23-40), kehancuran kaum Fir‟aun (ayat 41-

42). Setelah selesai menjelaskan bencana-bencana tersebut dijelaskan

220
Ibid.

102
bahwa Al-Qur‟an diturunkan kepada manusia dengan dipermudah

pemahamannya. Dalam surah Ar-Rahman dijelaskan berbagai nikmat, baik

yang bersifat keakhiratan dan nikmat keduniaan yang dilimpahkan kepada

hamba-hamba-Nya yang beriman.

Adapun nikmat yang bersifat keakhiratan terdapat pada surah Ar-

Rahman ayat 46-48:

“Dan bagi siapa yang takut akan keagungan Tuhannya ada dua

surga.”221

“Keduanya mempunyai dahan-dahan.”222

Dan nikmat yang bersifat keduniaan pada surah Ar-Rahman ayat

10-12.

“Dan bumi diletakkan-Nya untuk makhluk; di dalamnya ada buah-

buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-

bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum aromanya.”223

Ketiga, Firman Allah ar Rahmaanu „Allamal quraana adalah

sebagai jawaban atas pertanyaan: Apakah yang dilakukan raja yang Maha

Berkuasa itu? Yang terdapat pada ayat terakhir surah al-Qomar.

6. Munasabah antara Suatu Surah dan Surah Setelahnya

Persesuaian surah Ar-Rahman dengan surah al-Waqi‟ah adalah:

Pertama, pada masing-masing dua surah itu menjelaskan tentang

keadaan kiamat, surga dan neraka. Pada surah Ar-Rahman yang

menjelaskan keadaan kiamat seperti yang termaktub dalam ayat 35-37:


221
Ibid., hlm. 317.
222
Ibid.
223
Ibid., hlm. 285.

103
Kepada kamu berdua, dilepaskan nyala api dan cairan tembaga

maka kamu berdua tidak dapat menang. Maka, nikmat Tuhan kamu

berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Lalu, apabila langit

terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.224

Dan surah al-Waqi‟ah yang menjelaskan keadaan kiamat seperti

termaktub dalam ayat 4-6:

Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-

gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu

yang berterbangan.

Pada surah Ar-Rahman yang menjelaskan tentang surga ayat 48-50:

Keduanya mempunyai dahan-dahan. Maka, nikmat Tuhan kamu

berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?. Di dalam kedua surga

itu ada dua buah mata air yang memancar.225

Dan surah al-Waqi‟ah yang menjelaskan tentang surga ayat 11-12:

Mereka itulah yang dekat (kepada Allah). Berada dalam surga

kenikmatan.

Pada surah Ar-Rahman yang menjelaskan tentang keadaan neraka

termaktub dalam ayat 43:

Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang

berdosa.226

Dan surah al-Waqi‟ah yang menjelaskan tentang keadaan neraka

termaktub dalam ayat 42-43:


224
Ibid., hlm. 309-310.
225
Ibid., hlm. 317-319.
226
Ibid., hlm. 312.

104
(Mereka) Dalam siksaan angin yang sangat panas, dan air yang

mendidih, dan naungan asap yang hitam.

Kedua, Dalam surah Ar-Rahman dijelaskan tentang adzab yang

diterima oleh orang yang berdosa dan nikmat yang diperoleh oleh orang-

orang yang bertakwa kepada Allah dan perbedaan dua surga yang

diperoleh oleh sebagian orang mukmin dengan dua surga yang diperoleh

sebagian mukmin yang lain, yang termaktub dalam ayat 41-54:

Para pendurhaka dikenal dengan tanda-tanda mereka, lalu diambil


ubun-ubun dan kaki mereka. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Inilah neraka Jahanam yang
didustakan oleh para pendurhaka. Mereka berkeliling diantaranya dan di
anatar air yang mendidih yang memuncak panasnya. Maka, nikmat Tuhan
kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Dan bagi siapa
saja yang takut akan keagungan Tuhannya ada dua surga. Maka, nikmat
Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari? Keduanya
mempunyai dahan-dahan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya ada dua buah
mata air yang mengalir. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah
yang kamu berdua ingkari? Di dalam keduanya terdapat segala buah-
buahan yang berpasangan. Maka, nikmat Tuhan kamu berdua yang
manakah yang kamu berdua ingkari? Mereka bertelekan di atas hamparan
yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu
dekat.227
Dan dalam surah al-Waqi‟ah Allah membagi para mukalaf kepada

tiga golongan: ash-sabiqun, ash-habul yamin, ash-habusy syamil.

a. Ayat yang menjelaskan golongan ash-sabiqun adalah ayat 8-10:

227
Ibid., hlm. 312-320.

105
Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.

Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan

orang-orang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu

(masuk surga).

b. Ayat yang menjelaskan golongan ash-habul yamin adalah ayat 27-40:

Dan golongan kanan, Alangkah bahagianya golongan kanan


itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri. Dan pohon pisang
yang bersusun-susun (buahnya). Dan naungan yang terbentang luas.
Dan air yang tercurah. Dan buah-buahan yang banyak. Yang tidak
berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan kasur-
kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka
(bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-
gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan
mereka) untuk golongan kanan. (yaitu) segolongan besar daari orang-
orang yag terdahulu. Dan segolongan besar pula dari orang-orang
yang kemudian.
c. Ayat yang menjelaskan golongan ash-habusy symal ayat 41-44:

Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu?. Dalam (siksaan)

angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih. Dan dalam

naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.

Ketiga, dalam surah Ar-Rahman dijelaskan tentang langit yang

terbelah dan dalam surah al-Waqi‟ah dijelaskan tentang bumi yang

terguncang.

Surah Ar-Rahman dijelaskan tentang langit yang terbelah adalah

ayat 37:

106
“LAlu, apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar

seperti (kilapan) minyak.”228

Surah al-Waqi‟ah dijelaskan tentang bumi yang terguncang

adalah ayat 4:

Apabila bumi diguncangkan sedahsyat – dahsyatnya.

Karena dua surah tersebut dapat dipandang sebagai satu surah,

sebab pokok bahasannya sama. Apa yang dibicarakan pada permulaan

surah sesudahnya dibicarakan pada permulaan surah sesudahnya

dibicarakan pada surah ini. Apa yang dibicarakan pada permulaan surah

ini dibicarakan pada awal surah sebelumnya.

228
Ibid., hlm. 310.

107
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kata Munasabah dari segi bahasa artinya kedekatan, sedangkan secara

istilah adalah adanya hubungan (ayat dan ayat), (surah dan surah) yang

memiliki kecocokan (kepantasan/keserasian/kemiripan) uraiannya atau

dalam hal tertentu, hingga membentuk korelasi.

Ilmu Munasabah memiliki kedudukan yang penting dalam „Ulumul

Qur‟an wa Tafsir (Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir), karena banyak para ulama

Al-Qur‟an dan Tafsir yang mempelajari dan menerapkan serta melakukan

usaha-usaha dalam pengembangannya. Di sisi lain ada beberapa yang tidak

setuju terhadap Munasabah. Sebab Munasabah banyak manfaat yang

dapat diperoleh dan membantu mufassir dalam memahami maksud ayat.

2. Tafsir Al-Mishbah memiliki dua ragam Munasabah. Pertama, Munasabah

ayat yang ditelisik melalui enam spesifikasi, yaitu Munasabah antara ayat

dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan fashilah (penutupnya),

antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata dalam satu ayat, antara

kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat terakhir, dalam satu

surah. Kedua, Munasabah surah yang ditelisik melalui delapan spesifikasi,

yaitu Munasabah antara surah dan surah sebelumnya, antara awal surah

dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan akhir surah sebelumnya,

antara tema surah dan nama surah, antara penutup surah dan uraian awal

108
surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya dalam satu surah,

antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih Al-suwar

(Pembuka Surah) dan isi surah.

Sesuai yang penulis analisis, bahwa dalam surah Ar-Rahman

terdapat beberapa jenis Munasabah ayat dan beberapa jenis Munasabah

surah.

3. Penerapan Munasabah ayat: Pertama, Munasabah antarayat dalam satu

surah. Kedua, Munasabah antar kelompok ayat dalam satu surah. Ketiga,

Munasabah antara ayat dan penutupnya (Fashilah). Keempat, Munasabah

antarkalimat dalam ayat. Kelima, Munasabah antar kata dalam satu ayat.

4. Penerapan Munasabah dalam surah Ar-Rahman ada 6 (enam): Pertama,

Munasabah antara tema surah dan nama surah nama surah. Kedua,

Munasabah antara Fawatih al-Suwar (Pembuka Surah) dan isi surah.

Ketiga, Munasabah antara awal surah dan akhir surah. Keempat,

Munasabah antara awal surah dan akhir surah sebelumnya. Kelima,

Munasabah antara suatu surah dan surah sebelumnya. Keenam,

Munasabah atara suatu surah dan surah setelahnya.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil analisis, maka penulis

mencoba memberikan rekomendasi untuk akademisi yang akan melakukan

penelitian terkait Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an selanjutnya, antara

lain sebagai berikut:

109
1. Disarankan agar lebih mempersiapkan diri dari segi kemampuan bahasa

sebanyak-banyaknya, terutama bahasa Inggris (bahasa internasional/wajib)

dan Arab. Karena Munasabah adalah cabang tafsir/ilmu Al-Qur‟an, jadi

kitab yang menjadi rujukan atau referensi utama (data primer)

kemungkinan besar berbahasa Arab (kecuali meneliti kitab tafsir

lokal/indonesia). Kemudian referensi pendukung (data sekunder)

kemungkinan besar berbahasa inggris. Jadi kedua bahasa ini sangat

penting dan bahkan wajib. Jika kedua bahasa tersebut tidak dimiliki, maka

akan mempersulit peneliti.

2. Semakin banyak referensi, maka semakin maksimal dalam menghasilkan

karya. Jadi sebelum melakukan penelitian, disarankan supaya membaca

kitab/buku tentang Munasabah terlebih dahulu. Sehingga akan terlebih

dahulu mendapatkan pemahaman yang matang tentang definisi atau akar

dari Munasabah serta bagian-bagiannya. Hal ini akan berpengaruh

terhadap efektifitas waktu, tenaga, biaya, dan validitas hasilnya.

3. Pengambilan judul yang lebih spesifik dan mengkrucut akan

mempermudah peneliti dalam melakukan tela‟ah dan analisis serta

menghasilkan karya yang optimal dan maksimal.

4. Unsur Munasabah penting dalam penafsiran Al-Qur‟an, tapi jangan

berlebihan (mengada-ada/menempatkan sesuatu tidak pada tepatnya),

karena bisa mengikis atau bahkan bisa menghilangkan makna yang

sebenarnya.

110
DAFTAR PUSTAKA

A.w. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:


Penerbit Pustaka Progressif, 1404H/1984M).

Agama, Departemen, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,


2004).

Al-Baqillani, Al-Qadhi Abu Bakar, I‟jaz Al-Qur‟an, (Kairo: Mathba‟ah


Mushthafa Al-Bab Al-Halabi, 1370).

Al-Qaththan, Mana‟, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat Al-Ashr


Al-Hadits, 1983 M/1393H).

Al-Qiqi, Najib, Al-Mustasyriqin, (Mesir: Dar Al-Ma‟rif).

Al-Qurthubi, Imam Abu Abdullah, Al-Jami‟ Al-Ahkam Al-Qur‟an, (Damaskus:


Maktabah Ghazali).

Al-Razi, Fakhruddin, Tafsir Mafatih Al-Ghaib, (Kairo: Al-Khairiyyah, 1308 H).

Al-Shalih, Subhi, Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Ilm li Al-


Malayin, 1988).

Al-Suyuthi, Abdurrahamn bin Abi Bakr bin Muhammad Abu Al-Fadhl, Asrar
Tartib Al-Qur‟an, (Kairo: Dar Al-I‟tisham).

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan
Dasar-dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014).

Al-Zarkasyi, Muhammad Badruddin, Al-Burhan fi „Ulum Al-Qur‟an, (Kairo: Dar


Al-Ihya‟ Kutub Al-Arabiyyah, 1957).

Al-Zarqani, Manahil Al-‟irfan fi „Ulum Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1998


M).

Ashshiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-


Qur‟an Dan Tafsir, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990).

111
A. Athaillah, Sejarah Al-Qur‟an; Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Qur‟an.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Badawi, Abdurrahman, Manusia Al-Mustasyriqin, (Bairut: Dar Al-Ilm Al-


Malayin, 1993).

Baidan, Nashiruddin, Metode Penafsiran Al-Qur‟an. (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2012).

__________________, Perkembangan Tafsir di Indonesia. (Jakarta: Tiga


Serangkai, 2003).

Bakri, Oemar, Tafsir Rahmat, (Jakarta: Mutiara, 1983).

Bayt Al-Qur‟an, Teks Qur'an 30 Juz, (Jakarta: PSQ, 2016).

Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Lokus, 2012).

Dahlan, Abd, Rahman. Kaidah-Kaidah Tafsir. (Jakarta: Amzah, 2014).

Efendi, Nur, Muhammad Fathurrohman, Studi Al-Qur‟an: Memahami Wahyu


Allah Secara Lebih IntegrAl Dan Komprehensif, (Yogyakarta:Teras,
2104).

Fath, Amir Faisal, The Unity of Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010).

Fauzi, Rif‟ah, Al-Wahdah Al-Maudhu‟iyyah li Surah Al-Qur‟aniyyah, (Bairut:


Dar Al-Salam, 1986).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).

Hasan, Ahmad, Al-Furqan: Tafsir Al-Qur‟an, (Bangil: Persatuan, 1406 H).

Hawwa, Sa‟id, Al-Asas fi Al-Tafsir, (Mesir: Dar Al-Salam, 1991).

Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004).

Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013),


Cet. 2.

Juhdi, Masifuk, Pengantar Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980).

Khalifah, Haji, Kasyf Al-Zhunun‟an Asas Al Kutub wa Al-Funun, (Bairut: Dar


Al-Fikr, 1990).

112
Khalil, Munawar, Tafsir Al-Qur‟an Hidayatur Rahman, (Jakarta: Siti Sjamsiah,
1958).

Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an


Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka,
2003).

Quthan, Mana‟ul, Pembahasan Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA,


1995).

Quthb, Sayyid, Tafsir fi ZhilAl Al-Qur‟an, (Bairut: Dar Al-Ihya‟ Al-Tijari Al-
Arabiyyah, 1386 H).

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi IntelektuAl, (terj.)


Ahsin Mohammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995).

Rahmawati, Munasabat Al-Ayat wa Al-Suwar, (Makassar: Jurnal Adabiyah Vol.


XIII No. 2, 2015).

Ridho, Rasyid, Wahy Al-Muhammadi, (Kairo: Maktabah Al-Islami).

Saeed, Abdullah. Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran KontekstuAl atas


Al-Qur‟a; Interpreting the Qur‟an: Toward a Contemporary Approach.
(Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016).

Saenong, Faried F., Kesarjanaan Al-Qur‟an di Barat: Studi Bibliografis, (Jurnal


Studi Al-Qur‟an, 2, no. 2, 1996).

Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,


(Jakarta: Amzah, 2015).

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014).

Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an dalam Kesarjanaan Klasik dan


Kontemporer, (Jurnal Studi Al-Qur‟an, 1, no. 1, 2006).

_________________________, Orientalisme Al-Qur‟an: Dulu, Kini, dan Masa


Datang, dalam OrientAlisme Al-Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta:
Nawesea Press, 2007).

Shihab, M. Quraish, Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i: Ahli Tafsir yang


KontroversiAl, (Jurnal Ulumul Qur‟an, LSAF, 1, 1989).

________________, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013).

113
________________, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000).

________________, OrientAlisme, (Jurnal Studi Al-Qur‟an, 1, no. 2, 2006).

________________, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Fabets,


2005).

________________, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-


Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2008).

Streenbrink, Karel, BerdiAlog dengan Karya-Karya Kaum OrientAlis, (Jurnal


Studi Al-Qur‟an, 2, no. 2, 1996).

Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, (Kairo: Sina


Publisher, 1992).

Usman, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Teras, 2009).

W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Leiden: Edinburgh


University Press, 1994).

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa


Dzurriyyah, 2007).

______________, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1976).

Zaid, Nashr Hamid Abu, Al-Qur‟an Hermeneutika dan kekuasaan, diterjemahkan


oleh Dede Iswadim, et. All., (Bandung: RQiS, 2003).

______________, Mafhum Al-Nash Dirasah fi „Ulum Al-Qur‟an, (Kairo: Dar Al-


Ihya‟ Al-Kutub Al-Arabiyyah, 1992).

114
LAMPIRAN-LAMPIRAN

1
2
3
4
5

Anda mungkin juga menyukai