A. Hasil
Bab ini menyajikan tentang gambaran asuhan keperawatan yang
dilakukan pada Tn. S dengan Cedera Kepala Sedang di RSUD Dr. Moewardi,
yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2016 mulai dari tahap pengkajian,
merumuskan diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi. Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas tentang
teori penurunan kapasitas adaptif intrakranial pada pasien cedera kepala
dengan kejadian yang ada di lapangan. Pembahasan dimulai dari konsep dasar
cedera kepala, masalah yang muncul pada klien serta evaluasi hasil asuhan
keperawatan yang telah dilakukan. Prinsip dari pembahasan ini menggunakan
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian,
perumusan diagnosa, rencana dan implementasi keperawatan, serta evaluasi
terhadap efektivitas tindakan yang telah dilakukan.
1. Biodata Pasien
Pasien bernama Tn.S usia 48 tahun, suku Jawa, agama Islam,
pendidikan terakhir SD, menikah, saat ini bekerja sebagai buruh, nomor
rekam medis 01332776, masuk Rumah Sakit tanggal 28 Maret 2016,
masuk melalui IGD atas rujukan dari Rumah Sakit Karang Anyar dirawat
di ruang ICU RSUD Dr. Moewardi dengan diagnosa medis Cedera
Kepala Sedang. Pasien tinggal di Sragen, penanggung jawab Tn.S selaku
adik pasien.
2. Pengkajian
1) Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada tanggal 28 Maret 2016 pasien akan menghadiri
pengajian namun ditengah jalan pasien mengalami kecelakaan
menggunakan sepeda motor akibat lampu motor pengendara lain
yang menyilaukan mata. Pasien berusaha menghindar dengan cara
26
27
14.00 WIB ± 600cc dalam 7 jam dan tidak ada tanda infeksi saluran
kemih. Selama di rawat di ICU pasien belum BAB.
Pola aktifitas dan latihan, pasien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS E3M4V1 (somnolen), kekuatan otot pada
ekstremitas atas dan bawah tidak dapat dikaji karena pasien
mengalami penurunan kesadaran, serta untuk pemenuhan ADL
pasien perlu bantuan total dari perawat.
Pola kognitif perseptual sensori, kesadaran pasien somnolen,
GCS E3M4V1, orientasi (waktu, tempat, dan orang) pada pasien tidak
terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran akibat
kecelakaan.
3) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Maret 2016 didapatkan data
keadaan umum lemah, kesadaran somnolen dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) E3M4V1. Tekanan darah 140/82 mmHg, HR : 92 x/menit,
MAP : 101 mmHg, RR : 20x/menit, suhu tubuh 36,5oC. Kepala
berbentuk mesocephale, terdapat luka post operasi kraniotomi
evakuasi EDH pada bagian kanan, luka sepanjang 15 cm tidak
rembes, terpasang drain 1 jalur produksi hematoserous. Pada mata,
isokor antara kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya +/+, konjungtiva
anemis, terdapat hematom palpebra pada mata kanan. Pada mulut,
mukosa bibir kering dan mengelupas, terdapat jahitan pada lidah
akibat tergigit saat kecelakaan sepeda motor, reflek menelan tidak
ada. Pada telinga, bentuk telinga simetris antara kanan dan kiri, tidak
ada battle sign dan peradangan pada mastoid. Pada leher, leher tidak
terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening, terdapat jejas pada bahu kanan akibat fraktur klavikula
1/3 tengah kanan.
Pada pengkajian Body of System didapatkan data pernapasan
(B1 : Breathing) yaitu pada hidung bentuk simetris, tidak terdapat
penumpukan sekret, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak
30
4) Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin pada tanggal
29 Maret 2016 yaitu hemoglobin 12.5 g/dL (N: 13.5-17.5),
hematokrit 38% (N: 33-45), leukosit 13.5 10^3/uL (N: 4.5-11),
trombosit 163 10^3/uL (N: 150-450), eritrosit 4.17 10^6/uL (N: 4.5-
5.9), albumin 3.7g/dL (N: 3.5-5.2), natrium 133 mmol/L (N: 136-
145), kalium 3.7 mmol/L (N: 3.3-5.1), chlorida 106 mmol/L (N: 98-
106). Pemeriksaan laboratorium hematologi hemostasis pada tanggal
29 Maret 2016 didapatkan data PT 12.4 detik (N: 10-15), APTT 26.7
detik (N: 20-40), INR 0.98.
5) Program Terapi
Terapi yang diperoleh pada tanggal 30 Maret 2016 yaitu
cairan infus Nacl 0,9 % : aminofluid / 24 jam (2:1) 60cc/jam
menggunakan infus pump, drip Manitol 100 cc/ 6 jam, Injeksi
Phenitoin 100 mg/8 jam, Semax 3x6 tetes, O2 Nasal Canul 3
liter/menit.
3. Diagnosa Keperawatan
Dari pengkajian yang telah dilakukan pada tanggal 30 Maret 2016
didapatkan data fokus : kesadaran Tn. S somnolen nilai GCS E3M4V1,
tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien gelisah dan tampak
33
memegangi kepala, hasil MSCT pada tanggal 29 Maret 2016 yaitu EDH
regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio parietal
kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri
ke kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal
kanan, SAH regio temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri,
contusio cerebri lobus frontalis kiri, hematosinus maksilaris kanan,
ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema serebri. TTV : TD 140/82
mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP : 101 mmHg. Dari data-
data tersebut didapatkan diagnosa keperawatan : “Penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala”.
4. Rencana Keperawatan
Dari diagnosa yang muncul berupa penurunan kapasitas adaptif
intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder
adanya cedera kepala pada Tn. S, maka penulis merencanakan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam yang bertujuan tidak terjadi penurunan
kapasitas adaptif intrakranial dengan kriteria hasil sebagai berikut :
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran GCS 15, status sirkulasi
yang membaik ditandai dengan tekanan darah dalam rentang normal
120/80 mmHg, tidak ada hipertensi ortostatik, tidak ada peningkatan
tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif yang membaik ditandai
dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik
kranial yang utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan
tidak ada gerakan involunter.
Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan kepada Tn.S antara
lain : kaji tingkat kesadaran dan status neurologis, monitor tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi), monitor peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, muntah proyektil, papil edema), lakukan head
up/elevasi kepala 30o-45o, hindari fleksi leher ekstrim, pertahankan suhu
34
5. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan selam 3 hari, yaitu mulai tanggal
30 Maret – 1 April 2016.
Pada diagnosa keperawatan penurunan kapasitas adaptif
intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder
adanya cedera kepala tindakan yang sudah dilakukan adalah pada tanggal
30 Maret 2016 pukul 10.30 WIB. Melakukan monitoring tingkat
kesadaran, status neurologis, dan TTV. Respon pasien dengan kesadaran
somnolen GCS E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+,
pasien gelisah dan tampak tangan memegangi kepala, hasil monitoring
TTV : TD : 140/82 mmHg, HR : 92x/menit, MAP : 101 mmHg, Suhu
36,5oC, RR : 20x/menit.
Pukul 11.00 WIB, mempertahankan head up/ elevasi kepala 30-45o,
respon yang diperoleh yaitu pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan posisi head up 30 o dengan posisi tidur berantakan akibat gelisah.
Pukul 12.30 WIB melakukan monitoring kesadaran dan TTV,
didapatkan respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1,
ukuran pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien masih
tampak gelisah, hasil TTV : TD : 156/88 mmHg, HR : 92x/menit, suhu
36.7 oC, RR : 19x/menit.
Pukul 13.00 WIB memberikan oksigen 3 liter/menit menggunakan nasal
canule, respon yang didapatkan pasien menggunakan nasal canule 3
liter/menit, RR : 20x/menit, SpO2 100%.
Pukul 14.00 WIB memberikan drip manitol 100 cc, respon yang
diperoleh yaitu pasien dengan kesadaran somnolen serta manitol masuk
sesuai advis melalui infus pump.
35
terhadap cahaya +/+, hasil monitoring TTV: TD: 160/80 mmHg, HR:
100x/menit, MAP: 106 mmHg, Suhu 37oC, RR : 19x/menit. Melakukan
tindakan kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi
phenitoin 100mg/8jam. Respon obat masuk sesuai advis secara IV
melalui selang infus, manitol masuk sesuai advis menggunakan infus
pump.
Pukul 10.00 WIB melakukan tindakan mempertahankan head up/elevasi
kepala 30o respon pasien mengalami peningkatan kesadaran dari
somnolen menjadi apatis GCS E3V4M5 dengan posisi head up 30 o.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian Semax 3x6 tetes, respon
pasien obat masuk sesuai advis dan pasien mau diberikan obat tetes di
hidung.
Pukul 13.00 WIB melakukan tindakan monitoring peningkatan tekanan
intrakranial, respon pasien tampak gelisah dan terkadang tangan masih
memegangi bagian kepala.
Pukul 14.00 WIB melakukan tindakan kolaborasi memberikan drip
manitol 100 cc/6 jam, respon manitol masuk sebanyak 100 cc sesuai
advis menggunakan infus pump.
6. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hasil
yang dicapai pada tanggal 2 April 2016 pada pukul 14.00 WIB dengan
diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan
kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala yaitu pasien
menunjukkan peningkatan kesadaran menjadi apatis dengan GCS
E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, gelisah
mulai berkurang, tangan kadang masih memegangi kepala, pasien
nyaman di posisikan head up/elevasi kepala 30o, TTV: TD 146/80
mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102 mmHg, RR: 20x/menit, suhu 37oC.
Analisa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan
dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala
37
B. Pembahasan
1. Pengkajian
Dari data pengkajian yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2016
didapatkan hasil pemeriksaan tingkat kesadaran somnolen GCS E3M4V1
menurut Tarwoto (2013) salah satu tanda dan gejala yang khas pada
peningkatan TIK adalah penurunan kesadaran akibat formatio retikularis
yang tertekan. Dimana fungsi formatio retikularis adalah sebagai
integrasi berbagai proses kortikal dan subkortikal dalam penentuan
status dan keadaan bangun dan pengaturan respon otonom serta siklus
bangun-tidur. Selain itu terdapat RAS sebagai suatu komponen
fungsional yang penting dari formatio retikularis karena berperan untuk
mempertahankan keadaan sadar apabila terjadi kerusakan pada bagian
tertentu dapat mengakibatkan koma (Price & Wilson, 2006).
Hasil pemeriksaan MSCT Brain didapatkan hasil EDH dan edema
serebri. Dimana menurut Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo (2011)
hematoma epidural adalah akumulasi darah di antara dura dan struktur
bagian dalam otak, yang biasanya disebabkan laserasi arteri ekstradural
dan merupakan kondisi kegawatdaruratan bedah saraf karena dapat
mengakibatkan herniasi serebral. Pada kondisi normal sebenarnya tidak
terdapat ruang epidural, adanya ruang epidural disebabkan akibat fraktur
pada tulang temporal parietal yang mana terjadi laserasi arteri/vena
meningea media sehingga mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara
dura dengan kranium, adanya perdarahan yang berlanjut akan memaksa
dura untuk terpisah lebih lanjut dan menyebabkan hematoma menjadi
masa yang mengisi ruang. Batticaca (2012) menyebutkan tindakan yang
38
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2015) diagnosa keperawatan untuk gangguan
koping/toleransi stres neurobehavioral pada pasien cedera kepala adalah
penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan
serebrovaskuler dan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan gangguan serebrovaskuler. Namun berdasarkan data
fokus yang didapatkan selama pengkajian tanggal 30 Maret 2016 maka
dapat ditegakkan diagnosa keperawatan berupa penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala.
Alasan pengambilan diagnosa ini didasarkan pada kesesuain
domain dan kelas dalam klasifikasi NANDA 2015. Dimana untuk
koping/toleransi stres terdapat dalam domain 9 dan untuk stres
neurobehavioral ada pada kelas 3. Selain itu bila melihat dari definisi
bahwa penurunan kapasitas adaptif intrakranial adalah mekanisme
dinamika cairan intrakranial yang normalnya melakukan kompensasi
untuk meningkatkan volume intrakranial, mengalami gangguan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) secara tidak
proporsional dalam berespons terhadap berbagai stimuli yang berbahaya
dan tidak berbahaya. Dengan 6 batasan karakteristik yang semuanya
berhubungan dengan pengukuran TIK. Kendala ditegakkannya diagnosa
ini karena tidak adanya data hasil pengukuran TIK mengingat belum
tersedianya alat pengukur TIK/ IVC di rumah sakit. Meskipun demikian
penegakkan diagnosa ini dapat didasarkan pada tanda lain yang
mengarah pada terjadinya PTIK seperti peningkatan tekanan darah dan
gelisah (Batticaca, 2012).
40
3. Rencana Keperawatan
Menurut NOC (2015) parameter keberhasilan intervensi
keperawatan pada diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera
kepala adalah pasien mengalami peningkatan kesadaran GCS 15, status
sirkulasi yang membaik ditandai dengan tekanan darah dalam rentang
normal 120/80 mmHg, tidak ada hipertensi ortostatik, tidak ada
peningkatan tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif yang membaik
ditandai dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik
kranial yang utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan
tidak ada gerakan involunter.
Perencanaan yang ditetapkan untuk mengatasi penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala adalah tidak terjadi penurunan kapasitas
adaptif intrakranial setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam dengan kriteria hasil status sirkulasi yang membaik dan tingkat
kesadaran yang membaik serta menunjukkan tanda vital dalam batas
normal.
41
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 30 Maret-1
April 2016 yaitu memonitor tingkat kesadaran dan status neurologis,
setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, hasil monitoring tingkat
kesadaran pasien didapatkan hasil yang berbeda berupa peningkatan
kesadaran dari somnolen menjadi apatis, dengan GCS E3V1M4 menjadi
E3V4M5, lebar pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+.
Tindakan kedua memonitor tanda vital didapatkan hasil setelah
dilakukan tindakan selama 3x24 jam pada pasien CKS, TTV pasien
setiap harinya mengalami perubahan namun hasil secara garis besar
didapat data pasien mengalami takikardi dan peingkatan tekanan darah.
(Tarwoto, 2013) menyebutkan bahwa perubahan tanda vital dapat
menjadi tanda dan gejala lain dari PTIK selain 3 tanda khas yang
umumnya ada pada PTIK.
Tindakan ketiga memonitor peningkatan TIK setelah dilakukan
tindakan selama 3x24 jam pasien tidak menunjukkan 3 gejala khas PTIK
seperti nyeri kepala, muntah proyektil, dan papil edema selain itu
gelisah yang semula ada sudah berkurang. (Batticaca, 2012)
menyebutkan bahwa gelisah dapat menjadi tanda awal terjadinya PTIK.
Hambatan dalam pelaksanaan tindakan ini adalah tidak adanya alat
untuk mengukur TIK seperti IVC sehingga masih manual menggunakan
tanda dan gejala saja.
44
serebri yang terjadi pada pasien dan juga digunakan sebagai terapi tahap
pertama untuk menurunkan TIK setelah cedera otak (Morton, Fontaine,
Hudak, Gallo, 2011). Respon obat masuk sesuai advis melalui slang
infus. Hambatan selama melakukan tindakan ini, pemberian manitol
dengan menggunakan infus pump terkadang kurang pengawasan
sehingga saat infus pump berbunyi dan menandakan complete terkadang
oleh orang lain masih diberikan lagi sehingga pasien mendapat 2x dosis
awal. Selain itu pemberian manitol juga mengharuskan pemantauan
input dan output urin agar seimbang, namun karena waktu jaga yang
dibagi menjadi 3 sift jadi hanya bisa memantau selama 8 jam saja.
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan time frame
3x24 jam pada diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera
kepala hasil yang dicapai pada tanggal 2 April 2016 pukul 14.00 WIB
kesadaran pasien apatis dengan GCS E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reflek
terhadap cahaya +/+, gelisah yang saat pengkajian muncul mulai
berkurang, tekanan darah 146/80 mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102
mmHg, RR : 20x/menit, suhu 36.8oC, SpO2 100%. Dapat disimpulkan
bahwa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan
dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala
teratasi sebagian karena belum seluruhnya kriteria hasil yang telah
ditetapkan tercapai. Diberikannya posisi elevasi kepala 30o efektif
memberikan pengaruh pada peningkatan kesadaran pasien dengan tidak
terjadi tanda PTIK, hal ini sesuai dengan pendapat Japardi (2004) bahwa
pemberian posisi elevasi kepala 30o mampu mengurangi PTIK dengan
meningkatkan aliran darah balik vena (venous return) sehingga dapat
mengaktifasi sistem limfatik untuk mengabsorbsi cairan dan berujung
pada kesadaran pasien yang menunjukkan peningkatan. Agar masalah
dapat teratasi time frame perlu ditambah agar peningkatan kesadaran
46