Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Bab ini menyajikan tentang gambaran asuhan keperawatan yang
dilakukan pada Tn. S dengan Cedera Kepala Sedang di RSUD Dr. Moewardi,
yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2016 mulai dari tahap pengkajian,
merumuskan diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi. Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas tentang
teori penurunan kapasitas adaptif intrakranial pada pasien cedera kepala
dengan kejadian yang ada di lapangan. Pembahasan dimulai dari konsep dasar
cedera kepala, masalah yang muncul pada klien serta evaluasi hasil asuhan
keperawatan yang telah dilakukan. Prinsip dari pembahasan ini menggunakan
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian,
perumusan diagnosa, rencana dan implementasi keperawatan, serta evaluasi
terhadap efektivitas tindakan yang telah dilakukan.
1. Biodata Pasien
Pasien bernama Tn.S usia 48 tahun, suku Jawa, agama Islam,
pendidikan terakhir SD, menikah, saat ini bekerja sebagai buruh, nomor
rekam medis 01332776, masuk Rumah Sakit tanggal 28 Maret 2016,
masuk melalui IGD atas rujukan dari Rumah Sakit Karang Anyar dirawat
di ruang ICU RSUD Dr. Moewardi dengan diagnosa medis Cedera
Kepala Sedang. Pasien tinggal di Sragen, penanggung jawab Tn.S selaku
adik pasien.
2. Pengkajian
1) Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada tanggal 28 Maret 2016 pasien akan menghadiri
pengajian namun ditengah jalan pasien mengalami kecelakaan
menggunakan sepeda motor akibat lampu motor pengendara lain
yang menyilaukan mata. Pasien berusaha menghindar dengan cara

26
27

minggir namun pasien terjatuh terbentur aspal lalu terpental ke


semak-semak. Pasien langsung pingsan dan tidak jelas bagaimana
posisi jatuh pasien saat di tempat perkara. Pasien langsung di
bawa ke Rumah Sakit Karang Anyar dan diberikan perawatan
luka utamanya di bagian kepala. Pada pukul 20.00 WIB pasien
dirujuk ke IGD RSUD Dr. Moewardi oleh karena keterbatasan
sarana.
Pada tanggal 29 Maret 2016 pukul 01.00 WIB pasien
menjalani pemeriksaan MSCT Scan Kepala irisan aksial tanpa
kontras dengan kesan EDH regio frontotemporal kanan dan
ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio parietal kiri, menyempitkan
ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri ke kanan
sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal kanan,
SAH regio temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri,
kontusio serebri lobus frontalis kiri, hematosinus maksilaris
kanan, ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema serebri,
fraktur os zygomaticus kanan dan os temporal kanan. Kemudian
oleh dokter dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH di OK
IGD tanggal 29 Maret 2016 pada pukul 03.00 WIB sampai
dengan pukul 08.30 WIB.

Pada pukul 08.45 WIB pasien dipindah ke ruang ICU dan


segera mendapatkan bantuan pernafasan melalui ventilator
dengan mode SIMV VT 350, FiO2 50% PEEP 5cmH2O dan SpO2
100% namun ventilator hanya terpasang dalam waktu 1 jam saja
karena pasien mampu bernafas spontan. Pada saat dilakukan
pengkajian pada tanggal 30 Maret 2016 pukul 10.30 WIB
didapatkan data kesadaran pasien somnolen dengan GCS E3M4V1,
kedua pupil mata isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+,
tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien gelisah dan
tampak memegangi kepala, posisi tidur tidak beraturan, terpasang
28

restrain pada tangan kiri yang terpasang infus, selimut berantakan


karena selalu disingkirkan menggunakan kaki, pasien terpasang
infus NaCl 0,9%, NGT dan DC. TTV : TD 140/82 mmHg, HR
92x/menit, RR : 20x/menit, MAP : 101 mmHg, suhu 36,5oC.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien
mendapatkan diet cair tinggi kalori tinggi protein menggunakan
sonde sebanyak 750 cc/24 jam.
b. Riwayat Keperawatan Dahulu
Keluarga mengatakan pada tahun 2013 pasien pernah
dirawat di RSUD Dr. Moewardi karena mengalami apendisitis
dan dilakukan operasi apendiktomi. Menurut keluarga pasien
tidak memiliki riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal,
hipertensi maupun diabetes mellitus.
c. Riwayat Keperawatan Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada yang memiliki penyakit
keturunan seperti hipertensi dan diabetes mellitus serta tidak
memiliki penyakit menular seperti TBC dan HIV.
2) Pola Kesehatan Fungsional Gordon
Pola kebutuhan nutrisi, pasien sulit menelan, pasien terpasang
NGT, pengkajian ABCD : A (antropometri) : tinggi badan 165 cm,
berat badan : 60 kg (data berdasar CM), LILA : 22 cm, IMT : Berat
badan (kg)/(tinggi badan (cm)/100)2 = 60 : (165/100)2 = 22 (gizi
baik/normal), B (biochemical) : hemoglobin 12,5 gr/dL, hematokrit
38%, albumin 3,7 g/dL, C (clinical) : capilary refill time 3 detik,
mukosa bibir kering, mengelupas, dan pucat, konjungtiva anemis,
D (diit) : pasien mendapatkan nutrisi tinggi kalori tinggi protein, diit
cair, susu, 750cc/24 jam, serta mendapatkan nutrisi parenteral
aminofluid.
Pola eliminasi, pasien terpasang DC, urin berwarna kuning
jernih, volume urin tertampung dalam urinbag dari pukul 07.00-
29

14.00 WIB ± 600cc dalam 7 jam dan tidak ada tanda infeksi saluran
kemih. Selama di rawat di ICU pasien belum BAB.
Pola aktifitas dan latihan, pasien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS E3M4V1 (somnolen), kekuatan otot pada
ekstremitas atas dan bawah tidak dapat dikaji karena pasien
mengalami penurunan kesadaran, serta untuk pemenuhan ADL
pasien perlu bantuan total dari perawat.
Pola kognitif perseptual sensori, kesadaran pasien somnolen,
GCS E3M4V1, orientasi (waktu, tempat, dan orang) pada pasien tidak
terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran akibat
kecelakaan.
3) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Maret 2016 didapatkan data
keadaan umum lemah, kesadaran somnolen dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) E3M4V1. Tekanan darah 140/82 mmHg, HR : 92 x/menit,
MAP : 101 mmHg, RR : 20x/menit, suhu tubuh 36,5oC. Kepala
berbentuk mesocephale, terdapat luka post operasi kraniotomi
evakuasi EDH pada bagian kanan, luka sepanjang 15 cm tidak
rembes, terpasang drain 1 jalur produksi hematoserous. Pada mata,
isokor antara kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya +/+, konjungtiva
anemis, terdapat hematom palpebra pada mata kanan. Pada mulut,
mukosa bibir kering dan mengelupas, terdapat jahitan pada lidah
akibat tergigit saat kecelakaan sepeda motor, reflek menelan tidak
ada. Pada telinga, bentuk telinga simetris antara kanan dan kiri, tidak
ada battle sign dan peradangan pada mastoid. Pada leher, leher tidak
terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening, terdapat jejas pada bahu kanan akibat fraktur klavikula
1/3 tengah kanan.
Pada pengkajian Body of System didapatkan data pernapasan
(B1 : Breathing) yaitu pada hidung bentuk simetris, tidak terdapat
penumpukan sekret, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak
30

terdapat polip, terpasang nasal canule 3 liter/menit. Pada dada, bentuk


dada simetris yaitu penampang anterior : posterior 2:1, pergerakan
dada saat inspirasi dan ekspirasi simetris, saat dilakukan inspeksi
bentuk simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan,
bentuk datar, tidak terdapat retraksi dinding dada kanan-kiri, saat
palpasi tactile fremitus bergetar sama kuat pada dada kanan dan kiri
pada apek intercosta 1 sampai basal intercosta 6, saat perkusi terdapat
suara sonor pada apek intercosta 1 sampai basal intercosta 6, serta
saat auskultasi terdapat suara vesikuler pada apek intercosta 1 sampai
basal intercosta 6, tidak terdapat suara abnormal seperti wheezing dan
ronchi.
Pada kardiovaskuler (B2 : Blood) didapatkan data ictus cordis
tampak pada intercosta ke 5 midklavikula sinistra saat dilakukan
inspeksi, saat palpasi teraba ictus cordis di intercosta 5 pada
midklavikula sinistra, saat dilakukan perkusi terdapat suara redup
pada intercosta 2 sampai intercosta 5, sedangkan saat auskultasi
bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdapat bunyi jantung tambahan
seperti murmur dan gallop. Tekanan darah 140/82 mmHg, HR :
92x/menit, MAP : 101 mmHg, akral dingin, capillary refill time 3
detik, perifer tampak pucat, konjungtiva anemis, hemoglobin 12,5
mg/dL.
Pada persyarafan (B3 : Brain) keadaan umum lemah,
kesadaran somnolen dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E3M4V1,
pada mata tampak pupil isokor 3 mm, reflek cahaya +/+, tampak
hematom palpebra pada mata kanan. Kekuatan otot kedua ekstremitas
atas dan bawah tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan
kesadaran. Pasien hanya menarik saat dirangsang dengan nyeri,
kedua tangan terentang, dan fleksi lutut. Pengkajian refleks tendon :
tidak ada kontraksi otot bisep dan trisep, tidak ada gerakan
menyentak saat dilakukan tes refleks achilles. Refleks patologis :
Babinsky (negatif), Brudinsky (negatif), Kaku kuduk tidak terkaji.
31

Pengkajian saraf cranial : pada saraf cranial I (olfaktorius) tak


terkaji karena klien mengalami penurunan kesadaran. Para saraf
cranial II (optikus) terdapat hematom palpebra di mata kanan serta
adanya jejas pada mata kanan. Saraf cranial III (okulomotorius), IV
(troklearis), VI (abdusens) didapat data berupa lebar pupil isokor 3
mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien susah membuka mata pada
bagian kanan yang terluka, tidak terdapat fenomena mata boneka.
Saraf cranial V (trigeminus) pasien mengalami penurunan gerakan
mengunyah akibat terdapat luka jahitan pada lidah dan mengalami
penurunan kesadaran selain itu dari pemeriksaan penunjang
ditemukan fraktur os zygomaticus kanan sehingga berpengaruh pada
gerakan mengunyah. Saraf VII (fasialis) tidak tampak paralisis wajah,
tidak ada Bell’s Palsy. Saraf cranial VIII (vestibulokoklearis) tidak
terkaji. Pada saraf kranial IX (glosofaringeus) dan X (vagus) reflek
menelan tidak ada sehingga dipasang NGT untuk memenuhi asupan
nutrisi.
Pada perkemihan (B4 : Bladder) didapatkan data pasien
seorang laki-laki, terpasang kateter, alat kelamin bersih, produksi urin
±1800 ml per hari, warna kuning jernih, tidak ada darah dalam urin.
Pada pencernaan (B5 : Bowel) didapatkan saat pemeriksaan
abdomen, pada saat inspeksi datar dan tidak terdapat lesi, auskultasi
bising usus 12 x/menit, saat dipalpasi tidak terdapat nyeri tekan pada
keempat kuadran, dan saat diperkusi terdengar suara timpani pada
keempat kuadran, selama masuk hingga pasien dirawat di ICU pasien
belum BAB.
Pada tulang, otot, dan integumen (B6 : Bone) didapatkan data
terdapat jejas pada bahu kanan, terdapat fraktur klavikula 1/3 tengah
kanan, fraktur os zygomaticus kanan dan os temporal kanan,
kemampuan pergerakan ekstremitas tidak terkaji karena pasien
mengalami penurunan kesadaran.
32

4) Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin pada tanggal
29 Maret 2016 yaitu hemoglobin 12.5 g/dL (N: 13.5-17.5),
hematokrit 38% (N: 33-45), leukosit 13.5 10^3/uL (N: 4.5-11),
trombosit 163 10^3/uL (N: 150-450), eritrosit 4.17 10^6/uL (N: 4.5-
5.9), albumin 3.7g/dL (N: 3.5-5.2), natrium 133 mmol/L (N: 136-
145), kalium 3.7 mmol/L (N: 3.3-5.1), chlorida 106 mmol/L (N: 98-
106). Pemeriksaan laboratorium hematologi hemostasis pada tanggal
29 Maret 2016 didapatkan data PT 12.4 detik (N: 10-15), APTT 26.7
detik (N: 20-40), INR 0.98.

Pemeriksaan MSCT Brain tanggal 29 Maret 2016 didapatkan


hasil EDH regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm
pada regio parietal kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan
lateralisasi falx cerebri ke kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan
pneumocephal regio temporal kanan, SAH regio temporal kiri,
tentorium cerebelli dan falx cerebri, contusio cerebri lobus frontalis
kiri, hematosinus maksilaris kanan, ethmoid kanan dan sphenoid
bilateral, edema serebri, fraktur os zygomaticus kanan dan os
temporal kanan.

5) Program Terapi
Terapi yang diperoleh pada tanggal 30 Maret 2016 yaitu
cairan infus Nacl 0,9 % : aminofluid / 24 jam (2:1) 60cc/jam
menggunakan infus pump, drip Manitol 100 cc/ 6 jam, Injeksi
Phenitoin 100 mg/8 jam, Semax 3x6 tetes, O2 Nasal Canul 3
liter/menit.

3. Diagnosa Keperawatan
Dari pengkajian yang telah dilakukan pada tanggal 30 Maret 2016
didapatkan data fokus : kesadaran Tn. S somnolen nilai GCS E3M4V1,
tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien gelisah dan tampak
33

memegangi kepala, hasil MSCT pada tanggal 29 Maret 2016 yaitu EDH
regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio parietal
kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri
ke kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal
kanan, SAH regio temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri,
contusio cerebri lobus frontalis kiri, hematosinus maksilaris kanan,
ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema serebri. TTV : TD 140/82
mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP : 101 mmHg. Dari data-
data tersebut didapatkan diagnosa keperawatan : “Penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala”.

4. Rencana Keperawatan
Dari diagnosa yang muncul berupa penurunan kapasitas adaptif
intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder
adanya cedera kepala pada Tn. S, maka penulis merencanakan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam yang bertujuan tidak terjadi penurunan
kapasitas adaptif intrakranial dengan kriteria hasil sebagai berikut :
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran GCS 15, status sirkulasi
yang membaik ditandai dengan tekanan darah dalam rentang normal
120/80 mmHg, tidak ada hipertensi ortostatik, tidak ada peningkatan
tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif yang membaik ditandai
dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik
kranial yang utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan
tidak ada gerakan involunter.
Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan kepada Tn.S antara
lain : kaji tingkat kesadaran dan status neurologis, monitor tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi), monitor peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, muntah proyektil, papil edema), lakukan head
up/elevasi kepala 30o-45o, hindari fleksi leher ekstrim, pertahankan suhu
34

tubuh normal, batasi pengunjung, berikan terapi oksigen, kolaborasi


pemberian : drip manitol 100 cc/6 jam, injeksi Phenitoin 100mg/8 jam,
semax 3x6 tetes

5. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan selam 3 hari, yaitu mulai tanggal
30 Maret – 1 April 2016.
Pada diagnosa keperawatan penurunan kapasitas adaptif
intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder
adanya cedera kepala tindakan yang sudah dilakukan adalah pada tanggal
30 Maret 2016 pukul 10.30 WIB. Melakukan monitoring tingkat
kesadaran, status neurologis, dan TTV. Respon pasien dengan kesadaran
somnolen GCS E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+,
pasien gelisah dan tampak tangan memegangi kepala, hasil monitoring
TTV : TD : 140/82 mmHg, HR : 92x/menit, MAP : 101 mmHg, Suhu
36,5oC, RR : 20x/menit.
Pukul 11.00 WIB, mempertahankan head up/ elevasi kepala 30-45o,
respon yang diperoleh yaitu pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan posisi head up 30 o dengan posisi tidur berantakan akibat gelisah.
Pukul 12.30 WIB melakukan monitoring kesadaran dan TTV,
didapatkan respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1,
ukuran pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien masih
tampak gelisah, hasil TTV : TD : 156/88 mmHg, HR : 92x/menit, suhu
36.7 oC, RR : 19x/menit.
Pukul 13.00 WIB memberikan oksigen 3 liter/menit menggunakan nasal
canule, respon yang didapatkan pasien menggunakan nasal canule 3
liter/menit, RR : 20x/menit, SpO2 100%.
Pukul 14.00 WIB memberikan drip manitol 100 cc, respon yang
diperoleh yaitu pasien dengan kesadaran somnolen serta manitol masuk
sesuai advis melalui infus pump.
35

Pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 08.00 WIB melakukan


monitoring tingkat kesadaran dan status neurologis serta TTV. Respon
pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1, pupil isokor 3 mm,
reaksi pupil +/+, hasil monitoring TTV : TD : 146/86 mmHg, RR
18x/menit, HR : 93x/menit, MAP : 106 mmHg, suhu 36.8 oC. Melakukan
kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin
100mg/8jam. Respon obat masuk sesuai advis secara IV melalui selang
infus sedangkan manitol masuk sesuai advis dengan menggunakan infus
pump.
Pada pukul 10.00 WIB, melakukan tindakan mempertahankan head
up/elevasi kepala 30o, respon yang di dapat terkadang setelah diposisikan
pasien kembali dengan posisinya semula yang tidak beraturan sehingga
kepala merosot. Memonitor peningkatan tekanan intrakranial, respon
pasien tampak gelisah, posisi tidur tidak beraturan dengan tangan selalu
memegang kepala dan sempat mencabut NGT. Melakukan tindakan
kolaborasi pemberian semax 3x6 tetes pada hidung. Respon obat semax
masuk melalui hidung sebanyak 6 tetes pada kedua hidung.
Pada pukul 12.30 WIB, melakukan monitoring tingkat kesadaran dan
status neurologis, monitoring TTV. Respon pasien dengan kesadaran
somnolen GCS E3M4V1 dengan pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap
cahaya +/+. Hasil TTV : TD : 156/86 mmHg, HR : 92x/menit, MAP: 109
mmHg, RR : 25x/menit, Suhu 37oC.
Pukul 13.00 WIB, memberikan terapi oksigen dengan menggunakan
nasal canule 3 liter/menit, respon pasien terpasang nasal canule 3
liter/menit, RR 20x/menit, dan pasien tampak lebih nyaman, SpO2
100%.
Pada pukul 14.00 WIB, melakukan kolaborasi pemberian manitol 100
cc/6 jam respon manitol masuk sesuai advis menggunakan infus pump.
Tanggal 1 April 2016 pukul 08.00 WIB. Melakukan monitoring
tingkat kesadaran dan status neurologis, serta TTV. Respon pasien
dengan kesadaran apatis GCS E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil
36

terhadap cahaya +/+, hasil monitoring TTV: TD: 160/80 mmHg, HR:
100x/menit, MAP: 106 mmHg, Suhu 37oC, RR : 19x/menit. Melakukan
tindakan kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi
phenitoin 100mg/8jam. Respon obat masuk sesuai advis secara IV
melalui selang infus, manitol masuk sesuai advis menggunakan infus
pump.
Pukul 10.00 WIB melakukan tindakan mempertahankan head up/elevasi
kepala 30o respon pasien mengalami peningkatan kesadaran dari
somnolen menjadi apatis GCS E3V4M5 dengan posisi head up 30 o.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian Semax 3x6 tetes, respon
pasien obat masuk sesuai advis dan pasien mau diberikan obat tetes di
hidung.
Pukul 13.00 WIB melakukan tindakan monitoring peningkatan tekanan
intrakranial, respon pasien tampak gelisah dan terkadang tangan masih
memegangi bagian kepala.
Pukul 14.00 WIB melakukan tindakan kolaborasi memberikan drip
manitol 100 cc/6 jam, respon manitol masuk sebanyak 100 cc sesuai
advis menggunakan infus pump.

6. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hasil
yang dicapai pada tanggal 2 April 2016 pada pukul 14.00 WIB dengan
diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan
kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala yaitu pasien
menunjukkan peningkatan kesadaran menjadi apatis dengan GCS
E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, gelisah
mulai berkurang, tangan kadang masih memegangi kepala, pasien
nyaman di posisikan head up/elevasi kepala 30o, TTV: TD 146/80
mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102 mmHg, RR: 20x/menit, suhu 37oC.
Analisa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan
dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala
37

teratasi sebagian dan rencana keperawatan selanjutnya yaitu monitoring


tingkat kesadaran dan status neurologis, TTV, tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial, pertahankan head up/elevasi kepala
30o, terapi oksigen, serta kolaborasi : manitol 100 cc/6 jam, phenitoin
100 mg/8 jam, semax 3x6 tetes.

B. Pembahasan
1. Pengkajian
Dari data pengkajian yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2016
didapatkan hasil pemeriksaan tingkat kesadaran somnolen GCS E3M4V1
menurut Tarwoto (2013) salah satu tanda dan gejala yang khas pada
peningkatan TIK adalah penurunan kesadaran akibat formatio retikularis
yang tertekan. Dimana fungsi formatio retikularis adalah sebagai
integrasi berbagai proses kortikal dan subkortikal dalam penentuan
status dan keadaan bangun dan pengaturan respon otonom serta siklus
bangun-tidur. Selain itu terdapat RAS sebagai suatu komponen
fungsional yang penting dari formatio retikularis karena berperan untuk
mempertahankan keadaan sadar apabila terjadi kerusakan pada bagian
tertentu dapat mengakibatkan koma (Price & Wilson, 2006).
Hasil pemeriksaan MSCT Brain didapatkan hasil EDH dan edema
serebri. Dimana menurut Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo (2011)
hematoma epidural adalah akumulasi darah di antara dura dan struktur
bagian dalam otak, yang biasanya disebabkan laserasi arteri ekstradural
dan merupakan kondisi kegawatdaruratan bedah saraf karena dapat
mengakibatkan herniasi serebral. Pada kondisi normal sebenarnya tidak
terdapat ruang epidural, adanya ruang epidural disebabkan akibat fraktur
pada tulang temporal parietal yang mana terjadi laserasi arteri/vena
meningea media sehingga mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara
dura dengan kranium, adanya perdarahan yang berlanjut akan memaksa
dura untuk terpisah lebih lanjut dan menyebabkan hematoma menjadi
masa yang mengisi ruang. Batticaca (2012) menyebutkan tindakan yang
38

dapat dilakukan terdiri atas membuat lubang pada tulang tengkorak


(burr), mengangkat bekuan, dan mengontrol titik bekuan.
Sedangkan adanya edema serebri sejalan dengan pernyataan dari
Baratawidjaja dan Rengganis (2009) bahwa cedera kepala memicu
pelepasan mediator seluler anafilatoksin C3a dan C5a yang menimbulkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Menurut Robbins,
Cotran, & Kumar (2007) bahwa cedera kepala dapat menyebabkan
edema akibat perubahan vaskuler berupa meningkatnya permeabilitas
disebabkan adanya vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang bertambah
meningkatkan tekanan hidrostatik intravaskuler dan pergerakan cairan
dari kapiler menuju interstisium. Selain itu tampak pada pemeriksaan
MSCT ditemukan EDH pada regio frontotemporal kanan ini menandakan
bahwa terjadi gangguan pada lobus frontalis dimana menurut Sherwood
(2011) lobus frontalis berperan dalam tiga fungsi utama yaitu aktivitas
motorik volunter, kemampuan berbicara, dan elaborasi pikiran, bila
dilihat dari nilai GCS saat dilakukan pengkajian E3M4V1 jelas bahwa
nilai motorik dan verbal pasien jauh dari skor tertinggi karena pada lobus
frontalis merupakan korteks motorik primer dimana otot-otot yang
penting untuk berbicara terutama otot bibir dan lidah sangat tinggi
tingkat kontrol motoriknya dibandingkan badan, lengan dan ekstremitas
bawah selain itu pada lobus frontalis terdapat suatu area Broca yang
berfungsi untuk mengontrol bicara, jadi pasien masih mampu berespon
saat dilakukan pengkajian GCS pada point motorik dibandingan poin
verbal yang tidak berespon sama sekali.
Hasil pengkajian tanggal 30 Maret 2016 di ICU. Didapat data
kesadaran klien somnolen dengan GCS E3M4V1. Vital sign : TD : 140/82
mmHg, MAP : 101 mmHg, HR : 92x/menit, dan suhu 36,5oC. Menurut
Rosjidi dan Nurhidayat (2009) salah satu tanda peningkatan tekanan
intrakranial adalah terjadinya perubahan tekanan darah dan denyut nadi.
Pada awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil namun selanjutnya
karena penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah.
39

Sedangkan menurut Hisam (2013) tekanan darah yang sangat tinggi


dapat memperburuk edema serebri sebaliknya tekanan darah terlalu
rendah akan mengakibatkan iskemia otak yang pada akhirnya juga
menyebabkan edema dan peningkatan tekanan intrakranial.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2015) diagnosa keperawatan untuk gangguan
koping/toleransi stres neurobehavioral pada pasien cedera kepala adalah
penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan
serebrovaskuler dan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan gangguan serebrovaskuler. Namun berdasarkan data
fokus yang didapatkan selama pengkajian tanggal 30 Maret 2016 maka
dapat ditegakkan diagnosa keperawatan berupa penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala.
Alasan pengambilan diagnosa ini didasarkan pada kesesuain
domain dan kelas dalam klasifikasi NANDA 2015. Dimana untuk
koping/toleransi stres terdapat dalam domain 9 dan untuk stres
neurobehavioral ada pada kelas 3. Selain itu bila melihat dari definisi
bahwa penurunan kapasitas adaptif intrakranial adalah mekanisme
dinamika cairan intrakranial yang normalnya melakukan kompensasi
untuk meningkatkan volume intrakranial, mengalami gangguan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) secara tidak
proporsional dalam berespons terhadap berbagai stimuli yang berbahaya
dan tidak berbahaya. Dengan 6 batasan karakteristik yang semuanya
berhubungan dengan pengukuran TIK. Kendala ditegakkannya diagnosa
ini karena tidak adanya data hasil pengukuran TIK mengingat belum
tersedianya alat pengukur TIK/ IVC di rumah sakit. Meskipun demikian
penegakkan diagnosa ini dapat didasarkan pada tanda lain yang
mengarah pada terjadinya PTIK seperti peningkatan tekanan darah dan
gelisah (Batticaca, 2012).
40

Selain itu tingkat kesadaran pasien somnolen dengan GCS


E3M4V1, tekanan darah 140/82 mmHg, HR : 92x/menit, MAP : 101
mmHg. Dari data tersebut pasien mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik, menurut Rosjidi dan Nurhidayat (2009) salah satu tanda
peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadinya perubahan tekanan
darah dan denyut nadi. Pada awal tekanan darah dan denyut nadi relatif
stabil namun selanjutnya karena penekanan ke batang otak terjadi
perubahan tekanan darah. Sedangkan menurut Hisam (2013) tekanan
darah yang sangat tinggi dapat memperburuk edema serebri sebaliknya
tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan
akhirnya juga menyebabkan edema dan peningkatan tekanan intrakranial.

3. Rencana Keperawatan
Menurut NOC (2015) parameter keberhasilan intervensi
keperawatan pada diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera
kepala adalah pasien mengalami peningkatan kesadaran GCS 15, status
sirkulasi yang membaik ditandai dengan tekanan darah dalam rentang
normal 120/80 mmHg, tidak ada hipertensi ortostatik, tidak ada
peningkatan tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif yang membaik
ditandai dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik
kranial yang utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan
tidak ada gerakan involunter.
Perencanaan yang ditetapkan untuk mengatasi penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala adalah tidak terjadi penurunan kapasitas
adaptif intrakranial setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam dengan kriteria hasil status sirkulasi yang membaik dan tingkat
kesadaran yang membaik serta menunjukkan tanda vital dalam batas
normal.
41

Untuk mencapai tujuan tersebut, intervensi yang direncanakan


menurut NIC (2015) adalah dengan monitor tingkat kesadaran dan status
neurologik. Menurut Tarwoto (2013) monitor TIK sangat penting untuk
mengetahui perkembangan neurologi, fungsi retikular aktivating sistem
dalam batang otak, tingkat kesadaran memberikan gambaran adanya
perubahan volume dan tekanan intrakranial.
Rencana tindakan kedua dengan melakukan monitor tanda-tanda
vital. Tindakan ini bertujuan untuk memantau stabilitas hemodinamik
pasien secara berkala, yang dilihat melalui tekanan darah. Tekanan arteri
rerata berhubungan dengan TIK (Price & Wilson, 2006). Selain itu
menurut Muttaqin (2008) untuk mengetahui tanda terjadinya
peningkatan TIK ditandai dengan peningkatan tensi, bradikardi,
disritmia, dan dispnea.
Tindakan ketiga yang telah direncanakan yaitu memantau
peningkatan TIK, menurut Morton, Fontaine, Hudak, Gallo (2011)
pemantauan TIK dilakukan dengan menggunakan alat seperti
intraventricel cateter (IVC) yang dapat memberikan informasi mengenai
kecenderungan herniasi serebral dan membantu perhitungan CPP selain
itu juga membantu dalam memandu penggunaan terapi yang
kemungkinan membahayakan seperti hiperventilasi dan manitol. Namun
tindakan pemantauan TIK tidak dapat dilakukan, karena tidak
tersedianya alat tersebut di RSUD Dr. Moewardi.
Rencana tindakan keempat dengan mempertahankan posisi head
up/ elevasi kepala 30o. Tindakan menaikkan posisi kepala pasien 30-45o
dengan tujuan akan mengoptimalisasi venous return (aliran balik vena)
dari kepala ke jantung yang akan dengan cepat mengaktivasi sistem
limfatik untuk mengabsorbsi kelebihan cairan, sehingga akan membantu
mengurangi peningkatan TIK (Japardi, 2004).
Tindakan kelima yang telah direncanakan pada diagnosa ini yaitu
menghindari fleksi leher ekstrim pada pasien. Tindakan tersebut
42

bertujuan untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial


(Setiawan & Maulida, 2010).
Rencana tindakan keenam adalah mempertahankan suhu tubuh
normal sebab panas merupakan refleks dari hipotalamus, peningkatan
kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang PTIK (Muttaqin, 2008).
Tindakan selanjutnya, dengan membatasi pengunjung menurut
Muttaqin (2008) memberikan suasana yang tenang dapat mengurangi
respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan
TIK dalam rentang normal.
Rencana tindakan yang kedelapan adalah memberikan terapi
oksigen. Menurut Japardi (2004) hipoksia dan hiperkapnia akan
menyebabkan vasodilatasi vaskuler dan menambah TIK.
Rencana tindakan terakhir dari diagnosa penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler
sekunder adanya cedera kepala berupa tindakan kolaborasi : pemberian
drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin 100mg/8jam, serta semax
3x6 tetes. Tindakan pemberian injeksi phenitoin bertujuan untuk
mencegah kejang karena aktivitas kejang secara signifikan
meningkatkan laju metabolik serebral dan CBF. Aktivitas ini dapat
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia (Morton, Fontaine, Hudak,
Gallo, 2011) sedangkan pemberian manitol yang merupakan diuretik
osmotik yang bekerja dengan cara memindahkan cairan ke kompartemen
vaskular, meningkatkan volume sirkulasi, serta mengurangi viskositas
darah. Manitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara
memindahkan cairan dari intraseluler ke intravaskuler karena manitol
menaikkan gradient osmotik antara otak dan darah, sehingga akan
berakibat mengurangi edema, memperbaiki aspek rheologi/kekakuan
darah dengan cara mengencerkan darah, meningkatkan cerebral blood
flow, serta oksigenasi yang berujung pada penurunan tekanan
intrakranial (Arifin & Risdianto, 2015). Manitol menurunkan kandungan
air pada jaringan otak yang edema, tetapi tidak pada jaringan yang sehat.
43

Cairan yang masuk ke intravaskuler akan mengencerkan fibrinogen dan


hemoglobin sehingga viskositas darah menurun. Manitol dapat
mengurangi kekakuan eritrosit, sehingga lebih mudah melalui pembuluh
darah kecil dan penghantaran oksigen ke jaringan otak lebih baik
(Japardi, 2004). Pemberian Semax bertujuan untuk melindungi sel otak
pada saat kondisi hipoksia dengan mengoptimalkan proses metabolisme
sel-sel otak sehingga bermanfaat untuk meningkatkan fungsi kognitif.

4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 30 Maret-1
April 2016 yaitu memonitor tingkat kesadaran dan status neurologis,
setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam, hasil monitoring tingkat
kesadaran pasien didapatkan hasil yang berbeda berupa peningkatan
kesadaran dari somnolen menjadi apatis, dengan GCS E3V1M4 menjadi
E3V4M5, lebar pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+.
Tindakan kedua memonitor tanda vital didapatkan hasil setelah
dilakukan tindakan selama 3x24 jam pada pasien CKS, TTV pasien
setiap harinya mengalami perubahan namun hasil secara garis besar
didapat data pasien mengalami takikardi dan peingkatan tekanan darah.
(Tarwoto, 2013) menyebutkan bahwa perubahan tanda vital dapat
menjadi tanda dan gejala lain dari PTIK selain 3 tanda khas yang
umumnya ada pada PTIK.
Tindakan ketiga memonitor peningkatan TIK setelah dilakukan
tindakan selama 3x24 jam pasien tidak menunjukkan 3 gejala khas PTIK
seperti nyeri kepala, muntah proyektil, dan papil edema selain itu
gelisah yang semula ada sudah berkurang. (Batticaca, 2012)
menyebutkan bahwa gelisah dapat menjadi tanda awal terjadinya PTIK.
Hambatan dalam pelaksanaan tindakan ini adalah tidak adanya alat
untuk mengukur TIK seperti IVC sehingga masih manual menggunakan
tanda dan gejala saja.
44

Tindakan keempat mempertahankan head up/elevasi kepala 30o


seperti halnya pendapat (Japardi, 2004) bahwa pemberian posisi 30o
dapat mengurangi PTIK dengan meningkatkan aliran darah balik vena
sehingga dapat mengaktifasi sistem limfatik untuk mengabsorbsi cairan
yang dapat berpengaruh pada kesadaran pasien yang menunjukkan
peningkatan. Selama tiga hari tindakan ini dilakukan, respon yang
diperoleh yaitu gelisah yang sebelumnya tampak pada pasien mulai
berkurang, kesadaran juga terjadi peningkatan dibanding sebelumnya,
sehingga posisi head up/elevasi kepala masih tetap dipertahankan.
Tindakan kelima menghindari fleksi leher ekstrim karena dapat
menurunkan arus balik vena sehingga meningkatkan volume darah otak
(Tarwoto, 2013). Respon pasien tidak pernah dalam posisi fleksi leher
karena sudah diposisikan head up/elevasi kepala 30o.
Tindakan keenam mempertahankan suhu tubuh normal (36-37,50C)
karena hipertermi dapat meningkatkan metabolisme, konsumsi oksigen,
dan aliran darah ke otak (Muttaqin, 2008). Selama 3 hari dilakukan
tindakan tidak terdapat tanda-tanda hipotermi maupun hipertemi, suhu
tubuh selalu dalam rentang normal (36-37,50C).
Tindakan ketujuh mengurangi stimulus dari rangsang luar termasuk
membatasi pengunjung. Pengaturan pembatasan pengunjung telah
menjadi regulasi di ruang ICU sehingga tidak terdapat hambatan saat
melakukan tindakan ini.
Tindakan kedelapan memberikan terapi hiperventilasi dimana
oksigen diberikan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam otak yang
terhambat oleh karena adanya gangguan serebrovaskuler akibat cedera
kepala (Muttaqin, 2008). Respon selama dirawat pasien mendapat terapi
O2 dengan menggunakan nasal canule 3 liter/menit, RR : 20x/menit,
SpO2 100%.
Tindakan terakhir melakukan kolaborasi pemberian terapi:
pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin 100mg/8jam, serta
semax 3x6 tetes. Pemberian manitol berfungsi untuk mengurangi edema
45

serebri yang terjadi pada pasien dan juga digunakan sebagai terapi tahap
pertama untuk menurunkan TIK setelah cedera otak (Morton, Fontaine,
Hudak, Gallo, 2011). Respon obat masuk sesuai advis melalui slang
infus. Hambatan selama melakukan tindakan ini, pemberian manitol
dengan menggunakan infus pump terkadang kurang pengawasan
sehingga saat infus pump berbunyi dan menandakan complete terkadang
oleh orang lain masih diberikan lagi sehingga pasien mendapat 2x dosis
awal. Selain itu pemberian manitol juga mengharuskan pemantauan
input dan output urin agar seimbang, namun karena waktu jaga yang
dibagi menjadi 3 sift jadi hanya bisa memantau selama 8 jam saja.

5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan time frame
3x24 jam pada diagnosa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera
kepala hasil yang dicapai pada tanggal 2 April 2016 pukul 14.00 WIB
kesadaran pasien apatis dengan GCS E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reflek
terhadap cahaya +/+, gelisah yang saat pengkajian muncul mulai
berkurang, tekanan darah 146/80 mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102
mmHg, RR : 20x/menit, suhu 36.8oC, SpO2 100%. Dapat disimpulkan
bahwa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan
dengan kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala
teratasi sebagian karena belum seluruhnya kriteria hasil yang telah
ditetapkan tercapai. Diberikannya posisi elevasi kepala 30o efektif
memberikan pengaruh pada peningkatan kesadaran pasien dengan tidak
terjadi tanda PTIK, hal ini sesuai dengan pendapat Japardi (2004) bahwa
pemberian posisi elevasi kepala 30o mampu mengurangi PTIK dengan
meningkatkan aliran darah balik vena (venous return) sehingga dapat
mengaktifasi sistem limfatik untuk mengabsorbsi cairan dan berujung
pada kesadaran pasien yang menunjukkan peningkatan. Agar masalah
dapat teratasi time frame perlu ditambah agar peningkatan kesadaran
46

hingga GCS 15 dapat dicapai, pemberian manitol 100cc/6jam perlu lebih


berhati-hati dan perlu dilakukan pengawasan agar pasien tidak mendapat
2x dosis awal akibat kurangnya komunikasi antar perawat. Mengingat
efek manitol yang dapat menyebabkan diuresis cairan dan elektrolit
sehingga terjadi hipotensi intravaskuler yang dapat meningkatkan
mortalitas penderita cedera kepala (Arifin & Risdianto, 2015). Idealnya
untuk mengurangi kemungkinan efek samping dan mengoptimalkan
perbandingan resiko-manfaat, pemberian manitol harus didasarkan secara
langsung pada pengukuran TIK.

Rencana tindakan selanjutnya kaji tingkat kesadaran dan status


neurologis, monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
respirasi), monitor peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala,
muntah proyektil, papil edema), lakukan head up/elevasi kepala 30 o-45o,
hindari fleksi leher ekstrim, pertahankan suhu tubuh normal, batasi
pengunjung, berikan terapi hiperventilasi, kolaborasi pemberian : injeksi
drip manitol 100 cc/6 jam, phenitoin 100mg/8 jam, semax 3x 6 tetes

Anda mungkin juga menyukai