Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP BENCANA

1.1 Definisi Bencana

Menurut World Health Organization (WHO), bencana adalah: (1) Sebuah

gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang

menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan

yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena tersebut

untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri; (2) Situasi

atau peristiwa, yang melampaui kapasitas lokal sehingga memerlukan bantuan

eksternal pada tingkat nasional maupun internasional; (3) Sebuah istilah yang

menggambarkan suatu peristiwa yang dapat didefinisikan secara spasial dan

geografis, tetapi menuntut pengamatan untuk menghasilkan bukti. Ini menyiratkan

interaksi dari stresor eksternal dengan komunitas manusia. Istilah ini digunakan

dalam seluruh kegiatan sebagai respon untuk mengurangi terjadinya resiko

(WHO, 2014).

1.2 Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007, antara

lain: (1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2)

Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

Universitas Sumatera Utara


10

peristiwa non-alam, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan

wabah penyakit; (3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror (BNPB,

2012).

Indonesia terletak di daerah dengan tingkat aktivitas gempa bumi tinggi,

hal tersebut sebagai akibat bertemunya tiga lempeng tektonik utama dunia, yakni

Samudera India-Australia di sebelah selatan, Samudera Pasifik di sebelah timur

dan Eurasia, dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada di dalamnya.

Pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya,

yakni laut Philipina dan Carolina mengakibatkan terjadinya gempa-gempa bumi

di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga menimbulkan terjadinya

sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa

(BMKG, 2013). Menurut Tanjung dan Kamtini (2005), gempa bumi adalah

getaran di tanah yang disebabkan oleh gerakan permukaan bumi. Gempa bumi

yang kuat dapat menyebabkan kerusakan besar pada gedung, jembatan dan

bangunan lain termasuk korban jiwa.

1.3 Respon Individu Terhadap Bencana

Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat

bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap kejadian, sistem pendukung

yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan. Terdapat tiga tahapan

reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu: (1) Reaksi individu segera

Universitas Sumatera Utara


11

(24 jam pertama) setelah bencana dapat berupa tegang, cemas, panik, terpaku,

linglung, syok, tidak percaya, gembira atau euforia, tidak terlalu merasa

menderita, lelah, bingung, gelisah, menangis, menarik diri dan merasa bersalah.

Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan

memerlukan upaya pencegahan primer; (2) Minggu pertama sampai ketiga setelah

bencana. Reaksi yang diperlihatkan: ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah,

kesulitan tidur, khawatir, sangat sedih. Reaksi positif yang masih dimiliki:

berharap atau berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan

menyelamatkan, menerima bencana sebagai takdir. Kondisi ini masih termasuk

respons normal yang membutuhkan tindakan psikososial minimal; (3) Lebih dari

tiga minggu setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap dan

dimanifestasikan dengan kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut,

pesimis, menarik diri, berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi,

kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit

kepala (Keliat, Akemat, Helena, Nurhaeni, 2011).

Rice (Fahrudin, 2005 dalam Sunardi 2007) menjelaskan tiga periode

bencana secara umum, yaitu: (1) Periode impak (impact periode) biasanya

berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu diliputi

perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini berlangsung singkat;

(2) Periode penyejukan suasana (recoil periode) biasanya berlangsung beberapa

hari setelah kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai

merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka

tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti

Universitas Sumatera Utara


12

harta benda mereka yang hilang; (3) Periode post traumatik (post-trauma period)

biasanya berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung

tatkala korban bencana berjuang untuk melupakan pengalaman yang berupa

tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami. Hal

ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka lama.

2. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA

2.1 Definisi Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi yang menelaah

pelbagai perubahan intra-individual dan perubahan-perubahan inter-individual

yang terjadi di dalam perubahan intra-individual. Psikologi perkembangan

mempelajari perubahan-perubahan perilaku menurut tingkat usia dari pembuahan

sampai akhir hayat sebagai masalah hubungan antesenden (gejala yang

mendahului) dan konsekuensinya (Hurlock, 1980).

2.2 Psikologi Perkembangan Anak

Masa anak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan dan

saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Periode

anak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu periode awal kanak-kanak

(usia pra-sekolah) yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan periode akhir kanak-

kanak (usia sekolah) dari 6-13 tahun (Hurlock, 1980). Menurut Yusuf (2011),

pengalaman yang terjadi pada masa anak mempunyai pengaruh yang kuat

terhadap perkembangan berikutnya.

Universitas Sumatera Utara


13

Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia anak, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik mengikuti pola yang dapat diramalkan meskipun sejumlah

perbedaan dapat terjadi. Selama awal masa kanak-kanak, pertumbuhan fisik

berlangsung lambat dan seimbang hingga mencapai akhir masa kanak-kanak

dimana terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum

anak menjadi matang secara seksual. Kesehatan dan gizi serta ketegangan

emosional dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang tenang tumbuh

lebih cepat dari anak yang mengalami gangguan emosional, meskipun

gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat dan tinggi.

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah berada pada

periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai

operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan daya pikir anak masih

bersifat imajinatif, berangan-angan (berkhayal) dan kemampuan untuk

menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda, gesture,

atau peristiwa) untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau

kejadian. Sedangkan pada anak usia sekolah, daya pikirnya sudah berkembang

ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget

menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir

khayal dan mulai berpikir berkaitan dengan dunia nyata.

Universitas Sumatera Utara


14

c. Perkembangan Emosi

Selama awal masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat

ketidakseimbangan karena anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan

emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Pada masa akhir kanak-

kanak, umumnya merupakan periode yang relatif tenang dan berlangsung

sampai mulainya masa puber. Anak laki-laki pada setiap umur

mengungkapkan emosinya dipandang lebih sesuai dengan jenis kelaminnya

sedangkan anak perempuan lebih banyak mengalami rasa takut, khawatir, dan

perasaan kasih sayang, yaitu emosi-emosi yang dipandang sesuai dengan

peran seksnya. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu

amarah, takut, cemburu, ingin tahu (curiosity), iri hati, gembira, sedih, dan

kasih sayang.

d. Perkembangan Kepribadian

Dengan berjalannya periode awal masa kanak-kanak, anak semakin banyak

berhubungan dengan teman sebayanya. Sikap dan cara teman-teman

memperlakukannya mulai membawa pengaruh dalam konsep diri. Pengaruh

tersebut dapat mendorong atau melawan dan bertentangan dengan pengaruh-

pengaruh dari keluarga. Pada masa akhir kanak-kanak, lingkungan sosial anak

semakin luas sehingga semakin mempengaruhi perkembangan

kepribadiannya. Akibatnya, anak harus sering kali memperbaiki konsep diri

(Hurlock, 1980).

Universitas Sumatera Utara


15

2.3 Psikologi Perkembangan Remaja

World Health Organization (WHO) memberikan definisi tentang remaja

yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria,

yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi

tersebut berbunyi sebagai berikut.

Remaja adalah suatu masa di mana: (1) Individu berkembang dari saat

pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia

mencapai kematangan seksualnya; (2) Individu mengalami perkembangan

psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (3) Terjadi

peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang

relatif lebih mandiri (Sarwono, 2010).

Rentang usia remaja berlangsung dari umur 13-18 tahun, yaitu usia matang

secara hukum. Rentang usia remaja ini dibagi lagi menjadi dua periode, yaitu awal

masa remaja (13-16 tahun) dan akhir masa remaja (17-18 tahun) (Hurlock, 1980).

Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia remaja, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa puber berakhir,

dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa awal remaja. Terdapat

penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan internal (sistem

pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin,

jaringan tubuh) lebih menonjol daripada perkembangan eksternal (tinggi,

berat, proporsi tubuh, organ seks).

Universitas Sumatera Utara


16

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif masa remaja sudah mencapai tahap

operasi formal. Remaja secara mental telah dapat berpikir logis tentang

berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih

bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan

masalah daripada berpikir konkret.

c. Perkembangan Emosi

Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” suatu masa

dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan

kelenjar. Namun, ketegangan emosi yang meninggi terutama dikarenakan

anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi

kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak kurang mempersiapkan

diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Meskipun demikian, adanya

badai dan tekanan dalam periode ini akan berkurang menjelang berakhirnya

awal masa remaja.

d. Perkembangan Sosial

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan

dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi

dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting

dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan tingginya pengaruh kelompok

sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai-

nilai dalam persahabatan, nilai-nilai dalam dukungan dan penolakan sosial,

dan nilai-nilai dalam seleksi pemimpin.

Universitas Sumatera Utara


17

e. Perkembangan Kepribadian

Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola

kepribadian yang berpengaruh pada konsep diri. Beberapa diantaranya sama

dengan kondisi pada masa anak-anak, tetapi banyak yang merupakan akibat

dari perubahan-perubahan fisik psikologis yang terjadi selama masa remaja.

Remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka

mengenai kepribadian “ideal” terhadap cara mereka menilai kepribadian

mereka sendiri. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang

ideal ini dan mereka yang tidak berhasil cenderung mengubah kepribadian

mereka (Hurlock, 1980).

3 POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

3.1 Definisi PTSD

Gangguan stres pasca trauma atau disingkat dengan trauma psikologis

merupakan istilah lain dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pada

tahun 1980, untuk pertama kalinya ciri-ciri sindroma trauma psikologis yang

dialami oleh para veteran perang Vietnam diterima sebagai suatu diagnosa oleh

American Psychiatric Association dengan sebutan Post Traumatic Stress Disorder

dan dimasukkan dalam buku pedoman gangguan mental Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM (Yule dkk., 1999; Parkinson,

2000; Nurrachman, 2002 dalam Sulistyaningsih, 2009).

Pengertian PTSD dapat dipahami dari definisi yang ditetapkan oleh

National Center for Post Traumatic Stress Disorder (NCPTSD), yaitu suatu

Universitas Sumatera Utara


18

gangguan psikiatris yang terjadi setelah dialaminya peristiwa yang mengancam

seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan militer, bencana alam, serangan

teroris, kecelakaan serius, atau serangan kekerasan lainnya seperti pemerkosaan.

Orang yang terkena gangguan PTSD sering mengalami kembali kejadian-kejadian

melalui mimpi buruk atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah

atau terasing. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lama serta bertambah berat

sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih,

2009).

Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra, 2009), Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu

pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin tidak muncul sampai

berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa

traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra, 2009). Hal serupa diungkapkan

oleh Darmono S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah

satu gangguan kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila

tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan

berkembang menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock

(2007), menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka

waktu 30 tahun.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan

kejiwaan akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang

Universitas Sumatera Utara


19

mengancam keselamatan hidup seseorang dimana gejalanya dapat berlangsung

lama dan bertambah berat, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.

3.2 Penyebab Terjadinya PTSD

Stresor atau peristiwa traumatik adalah penyebab utama dalam

perkembangan Post Traumatic Stress Disorder (Schiraldi, 2000; Sadock &

Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari bencana alam atau peristiwa yang

melibatkan peran manusia. Peristiwa yang bersumber dari bencana alam dapat

berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah longsor dan berbagai macam bencana

alam lainnya. Sedangkan peristiwa kekerasan yang melibatkan peran manusia dan

dapat menimbulkan trauma, yaitu perang, kejahatan politik, penculikan, kejahatan

kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam rumah tangga dan berbagai bentuk

kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).

Menurut Sadock & Sadock (2007), tidak semua orang akan mengalami

PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun

stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon terhadap peristiwa

traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau horor. Selain itu, perlu

mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada sebelumnya pada diri

individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan peristiwa yang dialami

individu sebelum dan sesudah trauma.

Psychodynamic factors. Ego klien telah mengalami trauma berat, sering

dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini

menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan

Universitas Sumatera Utara


20

dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan,

super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap

kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku

impulsif tidak terkendali (Yosep, 2011).

Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor psikodinamika PTSD

diantaranya, yaitu: (1) Peristiwa traumatik tersebut mengingatkan individu

terhadap peristiwa traumatis masa lalunya; (2) Ketidakmampuan untuk meregulasi

pengaruh yang disebabkan oleh trauma; (3) Somatisasi dan alexithymia mungkin

menjadi salah satu efek samping dari trauma; (4) Kurangnya kemampuan

mekanisme pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran,

disosiasi, dan rasa bersalah); (5) Keterhubungan/seberapa dekat hubungan antara

pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.

Cognitive-Behavioral factors. Dari segi kognitif, orang-orang yang

terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian

trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk

menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi

model perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam

perkembangannya. Pertama, melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa

traumatis menimbulkan respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus

(pemandangan, bau, suara, tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut

sehingga dapat memicu reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis. Kedua, terjadi

sebagai hasil pembelajaran dari kejadian trauma yang dialaminya dimana individu

Universitas Sumatera Utara


21

mengembangkan pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan

dengan trauma (Sadock & Sadock, 2007).

Biological factors. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada

beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari noradrenergic, endogenous

opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Selain itu, ditemukan

adanya peningkatan aktivitas dan respons dari sistem saraf otonom seperti

peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan gangguan tidur (Sadock &

Sadock, 2007).

3.3 Faktor Resiko PTSD

Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa

saja tidak mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian

biasa dapat menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini

disebabkan oleh adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan

mendapatkan PTSD atau tidak. Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma

masa kecil, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline,

paranoid, ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau

teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik

terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan,

persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock &

Sadock, 2007).

Universitas Sumatera Utara


22

3.4 PTSD Pada Anak dan Remaja

PTSD dapat terjadi pada anak dan remaja, tetapi kebanyakan penelitian

lebih berfokus pada orang dewasa. Dalam DSM-IV-TR, PTSD pada anak-anak

menggambarkan gejala seperti kejadian mimpi yang berulang, mimpi buruk, dan

gejala fisik seperti sakit perut dan sakit kepala (APA, 2000; Sadock & Sadock,

2007). Pada kelompok usia anak dan remaja, gejala yang ditampilkan memang

tidak selalu sama dengan orang dewasa. Cara dimana anak mengingat kembali

dan memanifestasikan perasaan mereka terkait dengan peristiwa traumatis

kemungkinan akan berbeda pada orang dewasa. Gejala PTSD sangat bervariasi

pada kalangan anak-anak dan remaja tergantung pada peristiwa traumatis itu

sendiri, tingkat keparahan, durasi, dan usia perkembangan anak pada saat trauma

(Anderson, 2005). Anak kemungkinan tidak menyadari telah mengalami gejala

PTSD, karena gejala yang dirasakan disimpulkan sebagai penyakit biasa, seperti

kehilangan nafsu makan, sering sakit kepala, perut kembung, dan sesak napas

(Idrus, 2011).

Anak-anak sering menampilkan gejala mereka melalui permainan,

gambar dan/atau cerita, atau mungkin menunjukkan kekhawatiran secara tidak

langsung terkait peristiwa tersebut dengan kecemasan dan ketakutan yang

berlebihan (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Perrin dkk., 2000 dalam

Anderson, 2005). Anak-anak dan remaja biasanya memperlihatkan perilaku

seperti impulsif dan tidak perhatian yang memiliki pengaruh negatif terhadap

prestasi akademik mereka, menarik diri dari pergaulan sosial, menggunakan

narkoba, kenakalan remaja dan menunjukkan perilaku regresif seperti enuresis,

Universitas Sumatera Utara


23

encopresis, mengisap ibu jari dan takut tidur sendirian (Sadock & Sadock, 2007;

Armsworth & Holaday, 1993 dalam Anderson, 2005). Anak-anak juga merasa

bahwa masa depannya suram, berlangsung singkat serta berkurangnya harapan

untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir serta terjadi

penurunan minat pada kegiatan/aktivitas yang sebelumnya dilakukan (APA, 2000;

Sadock & Sadock, 2007; Anderson, 2005).

Tingkat PTSD pada anak cukup tinggi akibat terpajan peristiwa yang

mengancam jiwa seperti pertempuran atau perang, penculikan, penyakit parah

atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam maupun

buatan manusia. Dalam situasi tertentu, hingga 90 persen anak-anak akan

mengembangkan gangguan tersebut. Namun pada umumnya, PTSD tidak

dianggap serius dan dianggap remeh pada anak-anak dan remaja (Sadock &

Sadock, 2007).

Faktor risiko pada anak meliputi faktor-faktor demografis (misalnya,

umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi), peristiwa kehidupan (positif dan

negatif), sosial dan budaya, komorbiditas psikiatri, dan strategi mekanisme koping

yang digunakan. Dari faktor keluarga (misalnya, psikopatologi orangtua dan

fungsional, status perkawinan, dan pendidikan) memainkan peran kunci dalam

menentukan gejala pada anak (Sadock & Sadock, 2007). Morison dan Anders

(2001), mengungkapkan bahwa reaksi/tanggapan yang ditunjukkan orang tua

maupun anggota keluarga lainnya terhadap peristiwa traumatik dapat juga

mempengaruhi terbentuknya PTSD pada anak.

Universitas Sumatera Utara


24

3.5 Kriteria Diagnosik PTSD

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder,

4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American

Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup:

A. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana

kedua hal berikut dialami:

1. Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang

mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri

sendiri atau orang lain.

2. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada

anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur

atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).

B. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui

satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya

yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan:

pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).

2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya

(catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya

isi yang dapat diketahui maksudnya).

3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang

dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak

kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).

Universitas Sumatera Utara


25

4. Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan

eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

5. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal

yang menyerupai kejadian traumatis.

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan

mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma

masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal

di bawah ini:

1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang

berhubungan dengan kejadian trauma.

2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang

dialaminya.

4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting

berkurang.

5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)

7. Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya harapan

untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir,

memiliki anak).

D. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua

atau lebih gejala di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara


26

1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya.

2. Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.

3. Sulit berkonsentrasi.

4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

5. Reaksi kaget yang berlebihan.

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

F. Gangguan/gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional

dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Spesifikasi:

Acute: Gejala berlangsung sampai 3 bulan

Cronic: Gejala berlangsung lebih dari 3 bulan

With delayed onset: gejala dimulai sedikitnya 6 bulan setelah ada stresor.

Sebagian besar literatur yang membahas PTSD pada anak-anak menyoroti

keterbatasan penggunaan kriteria DSM-IV-TR untuk mendiagnosis anak dengan

PTSD. Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya

semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memiliki

keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam

bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak

memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut

memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada orang dewasa

(Anderson, 2005). Oleh karena itu, selain menggunakan DSM-IV-TR sebagai

pedoman dalam mendiagnosis PTSD pada anak, tahap perkembangan anak juga

perlu untuk dipertimbangkan (Tumanggor, 2013).

Universitas Sumatera Utara


27

Menurut National Institute of Mental Health (NIMH, 2008), reaksi yang

diperlihatkan anak-anak terhadap trauma, yaitu:

Anak usia ≤ 5 tahun . Anak-anak dalam rentang usia ini dapat bereaksi

dengan cara: menunjukkan ekspresi wajah ketakutan, melekat terus pada orang tua

atau pengasuh (takut terpisah/sendirian), menangis, menjerit, merintih, gemetar,

tidak mau bergerak (freezing) atau kaku, timbul gejala regresif, yaitu mengalami

kemunduran perkembangan yang sudah dikuasai anak, mengisap jempol,

mengompol dan takut gelap. Reaksi anak-anak sangat dipengaruhi oleh reaksi

orang tua terhadap trauma tersebut.

Anak usia 6-11 tahun, bereaksi dengan cara: mengisolasi diri, mengalami

gangguan tidur, mimpi buruk, tingkah laku yang agresif seperti mudah marah dan

emosi yang meledak-ledak, waspada berlebihan, terjadi perubahan tingkah

laku/mood/kepribadian, perkelahian, sulit berkonsentrasi di sekolah yang dapat

berpengaruh terhadap prestasi akademik, menolak/menghindari ke sekolah,

mengeluhkan badannya terasa sakit (gejala somatik), merasa ketakutan dan

tertekan, merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik yang

dialaminya, kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain (mati rasa), post

traumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis permainan yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik), melakukan pekerjaan rumah/sekolah

dengan buruk.

Anak usia 12-18 tahun. Anak-anak dalam rentang usia ini memiliki

berbagai reaksi, seperti: flashback, menghindari stimulus yang berkaitan dengan

trauma, menggunakan narkoba, alkohol, perilaku anti-sosial, berlaku kasar dan

Universitas Sumatera Utara


28

tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku destruktif, adanya

keluhan fisik, kehilangan minat dalam melakukan aktivitas, mengalami gangguan

tidur seperti mimpi buruk atau masalah tidur lainnya, menarik diri dari pergaulan

sosial, depresi, kebingungan, keinginan untuk mengakhiri hidup, merasa bersalah

atas peristiwa yang terjadi dan memiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa

yang dialaminya.

3.6 Jenis-Jenis PTSD

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu: (1)

PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3

bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam

waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi

pelayanan kesehatan terdekat; (2) PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya

berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan

maka dapat bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari

orang tersebut; (3) PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan

gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya

baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa

traumatik itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian

traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis

lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya

(APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Ross, 1999 dalam Erwina, 2010).

Universitas Sumatera Utara


29

3.7 Penanganan PTSD

Penanganan bagi individu yang mengalami PTSD adalah psikoterapi, obat-

obatan atau kombinasi keduanya. Setiap individu berbeda, sehingga pengobatan

yang bekerja untuk satu orang mungkin tidak bekerja bagi orang lain. Beberapa

orang perlu mencoba melakukan perawatan yang berbeda untuk menemukan

mana yang dapat mengurangi gejala yang dialami (NIMH, 2008).

Psikoterapi merupakan suatu terapi “bicara” yang dilakukan oleh seorang

profesional kesehatan mental untuk mengobati penyakit mental. Psikoterapi dapat

dilakukan pada individu atau secara berkelompok yang biasanya berlangsung 6-12

minggu atau lebih. Adanya dukungan dari keluarga maupun teman terdekat

merupakan bagian penting selama terapi dilakukan. Salah satu bentuk psikoterapi

yang dianggap lebih efektif untuk mengatasi PTSD, yaitu Cognitive Behavior

Therapy (CBT) (NIMH, 2008). CBT merupakan suatu bentuk psikoterapi yang

menekankan pentingnya peran pikiran yang dapat mempengaruhi alam perasaan

dan perilaku individu (Sulystyaningsih, 2009).

Bentuk-bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu: (1) Exposure

therapy, merupakan terapi yang membantu orang menghadapi dan mengendalikan

rasa takut mereka. Bentuk terapi ini menggunakan imaginasi tentang trauma,

menulis atau mengunjungi tempat dimana peristiwa itu terjadi yang disajikan

secara hati-hati, berulang, dan terinci dalam situasi yang aman dan terkontrol; (2)

Cognitive restructuring, merupakan terapi yang membantu orang memahami

kenangan buruk. Terkadang mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang

apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD

Universitas Sumatera Utara


30

melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis; (3) Stress inoculation

training, merupakan terapi yang mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan

mengajarkan cara mengontrol ketakutan dan kecemasan yang dialami, seperti

mengajarkan teknik relaksasi (NIMH, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Catani pada tahun 2009 (dalam

Tumanggor, 2013) pada anak-anak korban tsunami di Srilangka, menyebutkan

exposure therapy dan meditation relaxation dapat dilakukan pada anak-anak

dengan latar belakang bencana yang sama. Anak-anak yang terlibat dalam

penelitian ini diajarkan dan dilatih meditasi-relaksasi dengan teknik pernapasan.

Meditasi-relaksasi ini dapat dipraktekkan di rumah dengan dukungan orang tua.

Exposure therapy, merupakan bentuk terapi yang dilakukan dengan cara meminta

anak-anak menuliskan tentang bencana yang dialami untuk mengeksplorasi lebih

lanjut tentang perasaan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari

70% anak-anak dapat pulih kembali.

Studi lain yang dilakukan oleh Catani dkk. dan didukung oleh studi yang

dilakukan oleh Van Der Oord dkk. pada tahun 2009 (dalam Tumanggor, 2013),

mengamati 23 anak usia 8-18 tahun yang mengalami peristiwa traumatik berat

menggunakan Cognitive Behavioural Writing Therapy (CBWT). Anak-anak

diminta untuk menuliskan sesuatu dan orang tua mereka mengamati perilaku anak

tersebut di rumah. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan depresi

setelah pengobatan selama enam bulan dan gejala PTSD dapat diminimalkan.

Namun, alat ini mungkin tidak sesuai untuk anak-anak prasekolah karena

keterbatasan dalam baca tulis, untuk itu pada anak prasekolah dapat digunakan

Universitas Sumatera Utara


31

pedoman National Collaborating Centre for Mental Health (2005). Pedoman ini

memberikan tuntutan ke dalam kerangka intervensi psikologis melalui metode

bermain dan menggambar untuk membantu anak-anak berfokus pada apa yang

terjadi dan bagaimana perasaan mereka (Tumanggor, 2013).

Pilihan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengobati anak-anak

dengan PTSD, yaitu: mengajarkan strategi atau cara mengontrol kecemasan

misalnya, relaksasi pernapasan, bermain peran, pendidikan dan beberapa teknik

distraksi. Penelitian oleh Carrion dkk. tahun 2002 dan Scheeringa tahun 2006

(dalam Tumanggor, 2013), menyarankan psikoterapi juga diberikan untuk anak-

anak yang tidak memenuhi kriteria PTSD, namun mengindikasikan atau

menunjukkan adanya gangguan dan penurunan fungsional. Hal ini penting untuk

mencegah anak-anak mengembangkan gangguan tersebut menjadi lebih berat.

Untuk pengobatan atau psikofarmaka, menurut Sadock & Sadock (2007)

dan NIMH (2008) ada beberapa jenis pengobatan yang dapat digunakan untuk

penderita PTSD, yaitu: (1) Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti

Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), dianggap sebagai pengobatan lini

pertama yang efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD. Kedua obat ini

merupakan anti-depresan yang juga digunakan untuk mengobati depresi. Efek

samping yang mungkin ditimbulkan seperti sakit kepala, mual, sulit tidur dan

agitasi; (2) Imipramin (Tofranil) dan Amitriptyline (Evavil), merupakan anti-

drepesant trisilik untuk pengobatan PTSD. Namun anti-depresan ini tidak

merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping dibandingkan

dengan anti-depresan lainnya; (3) Obat-obatan lain yang dapat digunakan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


32

monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) (seperti Phenelzine [Nardil]), Trazodone

(Dsyrel), dan anti-convulsants (seperti Carbamazepine [Tegretol], Valproate

[Depakene]).

3.8 Diagnosa Keperawatan untuk PTSD

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul akibat PTSD menurut

Yosep (2011) dan Wilkinson (2005), yaitu: sindrom pasca trauma, ansietas,

ketidakberdayaan, potensial membahayakan diri/orang lain, inefective koping,

berduka.

Tindakan keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2005), yaitu:

(1) Behavior management: membantu klien mengurangi perilaku kasar atau

tindakan memutilasi diri sendiri; (2) Coping enhancement: membantu pasien

untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan yang dirasakan, atau ancaman yang

mengganggu untuk memenuhi tuntutan hidup dan peran; (3) Counseling:

menggunakan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan,

masalah atau perasaan pasien, dan juga pada orang yang berarti bagi klien untuk

meningkatkan koping, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal; (4)

Financial resources assistance: membantu individu dan keluarga untuk mengelola

keuangan sehingga memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan klien; (5) Impuls

control training: membantu pasien untuk mengatasi perilaku impulsif melalui

penerapan strategi pemecahan masalah untuk situasi sosial dan interpersonal; (6)

Security enhancement: meningkatkan rasa keamanan fisik dan psikologis klien;

(7) Support system enhancement: fasilitasi dukungan kepada klien melalui

keluarga, teman dan komunitas.

Universitas Sumatera Utara


33

Menurut Yosep (2011), tindakan keperawatan pada klien dengan PTSD,

antara lain: diskusikan persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas,

bantu klien mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus bagaimana

kopingnya, anjurkan klien untuk membuat tulisan tentang perasaannya, faktor

yang mencetuskan, perilaku yang berkaitan, bantu klien untuk mengidentifikasi

faktor jika mulai terjadi perasaan tidak berdaya dan hilangnya pengendalian diri,

gali tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stres (napas dalam,

berhitung sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang), tingkatkan keterlibatan

dalam program latihan/aktivitas dan olahraga, evaluasi adanya destruktif diri atau

perilaku bunuh diri, izinkan klien mengekspresikan perasaan secara bebas, dan

identifikasi orang-orang yang dapat mendukung klien.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai