Anda di halaman 1dari 121

BAHAN AJAR

SOSIOLOGI PERTANIAN

PENYUSUN
Dr. Ir. Charles Ngangi, MS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2018
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL....................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB I ORIENTASI SOSIOLOGI .............................................. 1
BAB II PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL ............... 14
BAB II KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT ........................... 29
BAB III KELEMBAGAAN SOSIAL ............................................... 43
BAB IV STRATIFIKASI SOSIAL................................................... 55
BAB VI PENGUASAAN TANAH DAN KELEMBAGAAN ......... 75
BAB VII PARTISIPASI MASYARAKAT...................................... 92
BAB VIII GENDER DALAM PERTANIAN................................. 101
BAB IX MOBILITAS SOSIAL....................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 119
BAB I
ORIENTASI SOSIOLOGI

A. Pendahuluan
Sosiologi merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri sebab telah memenuhi segenap unsur ilmu
pengetahuan. Unsur-unsur ilmu pengetahuan dari sosiologi adalah sosiologi bersifat logis,
objektif, sistematis, andal, dirancang, akumulatif, dan empiris, teoritis, kumulatif, non etis.
Sosiologis bersifat logis artinya sosiologi disusun secara masuk akal, tidak
bertentangan dengan hukum-hukum logika sebagai pola pemikiran untuk menarik
kesimpulan. Sosiologi bersifat obyektif artinya sosiologi selalu didasarkan pada fakta dan
data yang ada tanpa ada manipulasi dari data. Sosiologi bersifat sistematis artinya sosiologi
disusun secara rapi, sesuai dengan kaidah keilmuan. Sosiologi bersifat andal artinya
sosiologi dapat dibuktikan kembali, dan untuk suatu keadaan terkendali harus menghasilkan
hasil yang sama. Sosiologi bersifat dirancang/direncanakan artinya sosiologi didesain lebih
dahulu sebelum melaksanakan aktivitas penyelidikan. Sosiologi bersifat akumulatif artinya
sosiologi merupakan ilmu yang akan selalu bertambah dan berkembang seiring dengan
perkembangan keinginan dan hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penemuan (kesimpulan, kebenaran) kemudian menggugurkan penemuan sebelumnya.
Sosiologi bersifat empiris, artinya sosiologi didasarkan pada observasi terhadap
kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. Sosiologi bersifat teoritis,
artinya sosiologi selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil penelitian.
Sosiologi bersifat kumulatif, artinya sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada
dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori lama. Sosiologi bersifat
non-ethnis, artinya sosiologi yang dibahas dan dipersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta
tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
(Tjipto Subadi, 2009:1-2)
Sedangkan ciri-ciri ilmu pengetahuan dari sosiologi menurut Soerjono Soekanto
(1986: 11) adalah :
1. Sosiologi bersifat empiris, yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan
pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat
spekulatif.
2. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk
menyusun abstraksi dari hasil-hasil penelitian.
3. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar
teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus
teori-teori lama.
4. Sosiologi bersifat non-ethis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta
tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana untuk membedakan sosiologi
dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang tergabung pula dalam ilmu-ilmu sosial?
Mengenai persoalan ini masih banyak tumpang tindih oleh karena pembedaannya tidak
tegas dan bukan hanya menyangkut perbedaan dalam isi atau objek penyelidikan, akan
tetapi juga menyangkut perbedaan tekanan pada unsur-unsur objek yang sama, atau
lebih jelasnya pendekatan yang berbeda terhadap objek yang sama. Untuk lebih
memberikan gambaran yang jelas dipersilahkan membaca secara cermat dan teliti
uraian berikut ini..

1. Pengetian Sosiologi
Sosiolog De Saint Simon, bapak perintis sosiologi (1760-1825) menjelaskan
bahwa sosiologi itu mempelajari masyarakat dalam aksi-aksinya, dalam usaha
koleksinya, baik spiritual maupun material yang mengatasi aksi-aksi para peserta
individu dan saling tembus menembus (lihat “Traite de Sociologie 1962, dari Georges
Gurvitch Jilid I hal. 32).
Mayor Polak, memberikan komentarnya terhadap pandangan Simon tersebut
bahwa definisi itu agak samar-samar bagi para pendatang baru dalam bidang sosiologi.
Maka kemudian Polak menyampaikan pandangannya tentang sosiologi yang diawali
dengan penyataannya sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
adalah suatu kompleks atau disiplin pengetahuan tentang suatu bidang realitas tertentu,
yang didasarkan pada kenyataan (fakta-fakta) dan yang disusun serta diantar-hubungkan
secara sistematis dan menurut hukum-hukum logika. Karena pengetahuan ilmiah
didasarkan pada fakta-fakta maka orang sering menamakannya “obyektif”. Pernyataan
ini kurang tepat, pada hakekatnya tidak ada pengetahuan obyektif. Hasil-hasil
pengamatan kita tentang dunia luar semuanya diolah dalam otak kita masing-masing,
jadi sifatnya subyektif. Tetapi panca indera kita adalah serupa dan tidak tunduk kepada
logika yang sama, sehingga kita dapat menemukan pengetahuan ilmiah itu “antar-
subyektif”. Untuk lebih memperdalam pemahaman kita tentang sosiologi berikut ini
penulis sajikan pengertian sosiologi dari beberapa pandangan para ahli tentang
sosiologi.
a. Bapak sosiologi adalah Auguste Comte (1789-1853). Kata sosiologi mula-mula
digunakan oleh Auguste Comte, dalam tuliasannya yang berjudul Cours de
Philosopie Positive (Positive Philosophy) tahun 1842. Sosiologi berasal dari bahasa
latin yang dari dua kata; Socius dan Logos. Secara harfiah atau etimologis kata
socius berarti teman, kawan, sahabat, sedangkan logos berarti ilmu pangetahuan.
Jadi sosiologi berarti ilmu pengetahuan tentang bagaimana berteman, berkawan,
bersahabat atau suatu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana bergaul dengan
masyarakat, dengan kata lain sosiologi mempelajari tentang masyarakat, atau ilmu
pengetahuan tentang hidup masyarakat. Secara operasional Auguste Comte
menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum
yang merupakan pula hasil terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, didasarkan
pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya,
dibentuk berdasarkan observasi dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
masyarakat serta hasilnya harus disusun secara sistematis.
b. Emile Durkheim (1858-1917) pernah menamakan sosiologi adalah ilmu tentang
lembaga-lembaga sosial, yakni pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang sudah
“tertera” yang sedikit banyak menundukkan para warga masyarakat.
c. Pitirim Sorokin (terjemahan bebas dari Sorokin, Contemporary Sociological
Theories, 1928: 760-761) menjelaskan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-
gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain
sebagainya.
d. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff dalam bukunya yang berjudul
“Sociology” Edisi Keempat, halaman 39 dijelaskan bahwa sosiologi adalah
penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya berupa organisasai
sosial.
e. J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers, dalam bukunya yang berjudul “Modern
Sociology, Systematic en Analyse, (1964: 24) dijelaskam bahwa sosiologi ilmu
pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang
bersifat stabil. (Soerjono Soekanto, 1986:15-16).
f. Pengertian sosiologi dari ilmuwan sosial lain, menjelaskan bahwa sosiologi adalah:
1) Suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat.
2) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan yakni antar hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
3) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan yakni antara hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, kelompok dengan kelompok baik formal maupun material.
4) Sosiologi adalah suatu ilmu prengetahuan yang mempelajari masyarakat
sebagai keseluruhan, yakini antar-hubungan diantra manusia dengan manusia,
manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun
material, baik statis maupun dinamis (Mayor Polak, 1979: 4-8)
Pengertian sosiologi yang lain, disampaikan juga oleh:
g. Alvin Bertrand, ia mengatakan bahwa sosiologi adalah studi tentang hubungan
antar manusia (human relationship).
h. P. J. Bouwman, juga memberikan sumbangan pemikiran tentang pengertian
sosiologi adalah ilmu masyarakat secara umum. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial (Ary H.
Gunawan, 2000: 3). Pengertian ini hampir sama dengan pengertian sosiologi yang
disampaikan oleh Soerjono Soekanto bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan sosial.
Dari beberapa definisi tentang sosiologi tersebut di atas terdapat dua hal yang
penting dalam memahami sosiologi. Pertama, masyarakat sebagai keseluruhan. Kedua,
masyarakat sebagai jaringan antar hubungan sosial. Tugas sosiologi adalah untuk
menyelami, menganalisa dan memahami jaringan-jaringan antar hubungan itu.
Penerapan teori sosiologi. Penerapan teori sosiologi dalam lingkungan
masyarakat ditunjukkan adanya hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala
sosial dengan gejala-gejala non-sosial, misalnya gejala geografis, biologis dan
sebagainya. Dan ciri umum dari pada semua jenis gejala-gejala sosial. Roucek dan
Warren (terjemahan bebas dari Roucek dan Werren, Socuology an Introduction, 1962:
3) bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok.

1) Obyek Sosiologi
Meyer F. Nimkoff, dalam M. Nata Saputra (1982: 30-31) membagi objek
sosiologi ke dalam 7 objek, yaitu: (1) faktor dalam kehidupan sosial manusia, (2)
kebudayaan, (3) sifat hakiki manusia (human nature), (4) kelakuan kolektif, (5)
persekutuan hidup, (6) lembaga sosial, dan (7) perubahan sosial (social change). Dalam
garis besarnya ada 3 pendapat tentang objek sosiologi, yaitu;
a. Objek sosiologi adalah individu (individualisme). Tokohnya George Simmel, yang
memandang masyarakat dari sudut individu; kresatuan kelompok itu asalnya
semata-mata dari kesatuan yang nyata berwujud yang terdiri dari manusia-manusia
perorangan. George Simmel menitik beratkan pada daya pengaruh mempengaruhi
antara individu-individu yang merupakan sumbar segala pembentukan kelompok.
b. Objek sosiologi adalah kelompok manusia/masyarakat (kolektivisme). Tokohnya
Ludwik Gumplowicz. Baginya masyarakat atau kelompok manusia merupakan
satu-satunya objek sosiologi. Dalam peristiwa sejarah, individu adalah pasif di
mana kehidupan kerokhaniannya ditentukan oleh kehendak masyarakat. Perhatian
Ludwik terutama dicurahkan pada perjuangan antara golongan-golongan.
c. Objek sosiologi adalah realitas sosial. Pandangan yang individualistis dan
kolektivistis tersebut di atas itu biasanya dipandang sebagai berat sebelah, karena
itu pandangan ketiga ini ingin menjauhi kelemahan itu. Pandangan ini melihat
kehidupan sosial dari sudut saling mempengaruhi dan bersikap tidak memihak
terhadap pertentangan antara kedua faham tersebut. Bahkan ada yang tidak
mengakui pertentangan yang ada antara kedua faham itu. Ada dua tokoh dalam
pandangan ini;
1) Ch. H. Cooley berpendapat sosiologi ditujukan kepada realitas sosial. Ia
mengembangkan konsepsi dari saling tergantung dan ketidak terpisahanya
individu dan masyarakat. “Diri sendiri dan masyarakat itu adalah dua anak
kembar”. Begitu pula kesadaran sosial tak terpisah dari kesadaran sendiri.
Teori Cooley berdasarkan pendapat bahwa pergaulan hidup masyarakat
merupakan suatu keseluruhan. Individu dan masyarakat tak dapat ada sendiri-
sendiri, tetapi kedua-duanya merupakan segi-segi dari suatu kenyataan. Satu
hal yang penting dari teori ini adalah pengertian tentang “primary group”
seprti keluarga, lingkungan tetangga, lingkungan sahabat dan sebagainya.
Primary group dengan hubungan face to face yang akrab, merupakan tempat
mencetak semua sikap pribadi seseorang dan sikap-sikap sosial.
2) L. Von Wiese. Ia menamakan sosiologi Beziehunglehre, yaitu ilmu pengetahuan
mengenai perhubungan antara sesama manusia, atau hubungan sosial.
Sosiologi dipandang sebagai ilmu pengetahuan empiris dan objeknya adalah
perhubungan manusia membentuk sosial. Dasar penyelidikan sosiologi adalah
hubungan sosial/proses sosial, yaitu perubahan-perubahan dalam social
distance (perubahan-perubahan dalam jarak hubungan sosial). Ia terutama
memperhatikan proses-proses sosial dari “assosiasi” (perkaitan) dan
“disasosiasi” (perpecahan). Dalam suasana sosial, ia hanya melihat proses-
proses dan rangkaian peristiwa-peristiwa yang tentunya juga melibatkan
individu.
Menurut Jabal Tarik Ibrahim (2002: 2) obyek sosiologi adalah masyarakat,
masyarakat yang dimaksud adalah hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari
hubungan antar manusia dalam masyarakat. Masyarakat (society) adalah sejumlah orang
yang bertempat tinggal hidup bersama menjadi satu kesatuan dalam sistem kehidupan
bersama. Sistem hidup bersama ini kemudian menimbulkan kebudayaan termasuk
siatem hidup itu sendiri.

B. Sejarah Lahirnya Sosiologi sebagai Suatu Ilmu


Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda
yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste
Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia
tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy,
yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat
terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan
klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan
pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun
1876. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan
teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun
kemudian. Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic
Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan
sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog. Seorang Perancis, Emile
Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya
Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi
yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan
pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia
merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang
ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori
tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The
American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American
Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan
dalam tahun 1905. Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka
kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari
bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan
masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka
melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika
terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung
artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi
dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The
Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental.
Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel
riset dan deskripsi ilmiah. Sosiologi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan
teorinya yang di dasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi. Para
sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para
sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan
dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
Sejarah lahirnya sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut;
1. Sejak tahun 1800-an ketika Auguste Comte pertama kali menggunakan kata sosiologi
dalam bukunya yang berjudul; Positive Philosophy pada tahu 1842, sosiologi kemudian
diakui sebagai ilmu pengetahuan dan Comte kemudian disebut sebagai bapak sosiologi
karena Comte-lah yang pertama mengusulkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
berdasarkan pengamatan empiris, disusun secara sistematis, dan ilmiah.
2. Kemudian pada tahun 1876, Herbert Spencer (Inggris) menerbitkan teks sosiologi
pertama.
3. Pada tahun 1883 di Amerikan, Lester F Ward menerbitkan buku yang berjudul Dynamic
Sociology.
4. Disusul sosiolog yang lain, Max Weber di Jerman, Emile Durkheim di Perancis, dan
kemudian diikuti William Graham Sumner, Charles Horton Coooley, dan Albion W
Small di Amerika Serikat.
5. Pada tahun 1890 kalangan Universitas di Amerika memunculkan sosiologi dan
menerbitkan American Journa of Sociology tahun 1895. Dalam perkembangannya
kemudian di Amerika membentuk organisasi American Sociological Association pada
tahun 1905.
6. Selanjutnya dijelaskan bahwa sejarah perkembangan sosiologi menurut Dr. P.J.
Bouman dalam Saputra (1982: 8) membagi dalam 4 fase yaitu;
(a) Fase pertama, sosiologi sebagai bagian dari pandangan filsafat umum, terutama
mengenai negara, hukum, dan moral dalam sel-sel etika atau norma keagamaan.
(b) Fase kedua, sosiologi yang berdasarkan ajaran ketentuan hukum kodrat yang
meliputi segalanya.
(c) Fase ketiga, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri tetapi dengan
metode ilmu pengetahuan lainnya.
(d) Fase keempat, sosiologi yang berdiri sendiri dengan objek, metode, dan
pembentukan pengertian sendiri.
7. Sedangkan menurut Ary. H. Gunawan (2000: 8-9) mazhab-mazhab sosiologi setelah
Comte adalah;
b. Mazhab geografi dan lingkungan, ajaran (teori) yang menghubungkan faktor
keadaan alam (lingkungan) dengan struktur serta organisasi social, lingkungan
mempengaruhi struktur dan organisasi sosial. Jadi lingkungan mempengarui
struktur serta organisasi social.
c. Mazhab organis dan Evolusioner, membandingkan masyarakat manusia dengan
organisme manusia dan beranggapan bahwa organisasi secara evolusi akan semakin
sempurna sifatnya.
d. Mazhab formil, masyarakat merupakan wadah saling hubungan (interaksi) antara
individu dengan kelompok, dan seseorang tidak mungkin menjadi pribadi yang
bermakna tanpa menjadi warga masyarakat, (4) mazhab psikologi, masyarakat
adalah proses imitasi (La societe’ c’est l’imitation), yaitu proses kejiwaan, semua
interaksi sosial dan seluruh pergaulan antar manusia, masyarakat menjadi
masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai mengimitasi manusia lain.
e. Mazhab ekonomi, Karl Marx mempergunakan metode sejarah dan filsafat untuk
membentuk suatu teori tentang perubahan perkembangan manusia menuju suatu
keadaan yang berkeadilan social.
f. Mazhab hukum, hukum itu adalah kaidah-kaidah yang memiliki sanksi dimana
berat ringannya sanksi tergantung pada sifat pelanggaran.
 Di Indonesia pada tahun 1948 ilmuwan sosial yang pertama kali mengajarkan sosiologi
adalah Soenario Kolopaking di Akademi Ilmu Politik sekarang bernama UGM.
perkembangan sosiologi di Indonesia, menurut Selo Soemardjan, sosiologi telah
dibicarakan oleh Sri Paku Buwono IV dari Surakarta dalam karyanya “Wulang Reh”
antara lain mengajarkan tata hubungan para anggota berbagai golongan dalam
intergroup relations.
9. Ki Hajar Dewantara juga telah memberikan sumbangannya kepada sosiologi dengan
konsepsi kepemimpinan, pendidikan serta kekeluargaan di Indonesia dan sekarang
dikenal dengan istilah “Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri
Handayani.
10. Sosiolog yang lain yang memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosiologi adalah
Mr. Djody Gondokoesoemo dengan bukunya yang berjudul Sosiologi Indonesia.
11. Hasan Shadily dengan bukunya Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia telah memuat
bahan-bahan sosiologi modern.
12. Drs. JBAF Mayor Polak (tamatan Universitas Leiden Belanda) telah menerbitkan buku
Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas. Selo Soemarjan dengan bukunya Social Changes In
Yogyakarta (1962) tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Yogyakarta sebagai akibat revolusi politik dan sosial pada waktu pusat revolusi masih
di Yogyakarta, dan Setangkai Bunga Sosiologi yang merupakan buku wajib beberapa
perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia.

C. Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan


“Ilmu” (Bahasa Arab) berarti “pengetahuan” Pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui seseorang dengan jalan apapun. Ilmu atau ilmu pengetahuan ialah pengetahuan
seseorang yang diperoleh dengan penelitian yang mendalam, yang diperoleh dengan
mempergunakan metode-metode ilmuah. Metode ilmiah adalah segala cara yang
dipergunakan oleh sesuatu ilmu untuk sampai kepada pembentukan ilmu menjadi suatu
kesatuan yang sistematis, organis dan logis.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sosiologi agar dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan, yang disebut LOSADA
a. Logis (masuk akal, dan tidak bertentangan dengan hokum-hukum logika sebagai pola
pemikiran menarik kesimpulan)
b. Objek yang dibahas jelas, yaitu masyarakat (struktur, unsur, proses dan perubahan
sosial).
c. Sistematis (disusun secara benar dan rapi sesuai dengan bahasa yang benar).
d. Andal (dapat dibuktikan kembali, dan untuk keadaan terkendali harus menghasilkan
hasil yang sama)
e. Dirancang atau direncanakan (datangnya ilmu tidak tiba-tiba, tetapi harus didesain lebih
dahulu sebelum melaksanakan aktivitas penelidikan)
f. Akumulatif (ilmu akan selalu bertambah dan berkembang seiring dengan perkembangan
keinginan dan hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (M Fatah Santoso,
2009: 300)
g. Menggunakan metode-metode ilmiah, yaitu :
1) Memilih masalah penelitian
2) Mempersiapkan seluruh teori dan ilmu yang berkaitan
3) Merencanakan program penelitian
4) Mengumpulkan data penelitian
5) Menganalisis data penelitian
6) Melaporkan hasil penelitian

h. Merupakan hasil penelitian yang tersusun menjadi suatu kesatuan yang bulat, sistematis,
logis, saling berhubungan.
i. Memiliki tujuan.

D. Kegunaan dan Ciri-Ciri Sosiologi


Kegunaan sosiologi dalam kehidupan sehari-hari yaitu :
a. Untuk pekerjaan sosial, seperti memberikan gambaran tentang pelbagai problem sosial,
asal usul, sumber terjadinya, prosesnya dsb.
b. Untuk pembangunan pada umumnya, yaitu dengan memberikan pengertian tentang
masyarakat secara luas, sehingga para perencana dan pelaksana pembangunan dapat
mencari pola pembangunan yang paling sesuai agar berhasil.
Sedangkan ciri-ciri sosiologi adalah sebagai berikut:
(1) Sosiologi termasuk kelompok ilmu sosial. Maksudnya sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari peristiwa/gejala sosial.
(2) Sosiologi bersifat kategoris (deskriptif), tidak normative, artinya bahwa sosiologi
membicarakan objeknya secara apa adanya.
(3) Sosiologi termasuk ilmu murni (pure science), bahwa sosiologi bukan ilmu praktis,
artinya tujuan penelitian ilmu sosiologi semata-mata demi perkembangan ilmu itu
sendiri, bukan untuk kepentingan kehidupan praktis.
(4) Sosiologi bersifat generalis (nometetis), sosiologi meneliti prinsip-prinsip umum saling
hubungan manusia, bukan ideografis, yakni meneliti secara khusus peristiwa demi
peristiwa.
(5) Sosiologi bersifat abstrak, hampir sama dengan generalis, perbedaan terletak pada
penekanannya, yaitu pada wujud kesatuan yang bersifat umum atau terpisah-pisah.
(6) Sosiologi bersifat rasional sekaligus empiris, artinya menyandarkan pada pemikiran
logika sekaligus berdasarkan fakta/kenyataan yang ada dalam masyarakat.
(7) Sosiologi merupakan ilmu yang umum (general), artinya sosiologi mempelajari gejala
umum yang ada pada setiap interaksi manusia, bukan mempelajari ilmu dengan gejala
khusus.
BAB II
PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL

PENDAHULUAN
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan
tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan
goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh
timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara
sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum.

Lalu apa yang dimaksud dengan interaksi sosial ?


Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses
komunikasi diantara orang-orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan.
Interaksi sosial akan berlangsung apabila seorang individu melakukan tindakan dan dari
tindakan tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua orang
atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi
persaingan dan pertikaian.
Interaksi sosial merupakan hubungan tersusun dalam bentuk tindakan berdasarkan norma
dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dan disinilah dapat kita amati atau rasakan
bahwa apabila sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat, interaksi tersebut akan
berlangsung secara baik, begitu pula sebaliknya, manakala interaksi sosial yang dilakukan tidak
sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat, interaksi yang terjadi kurang berlangsung
dengan baik.
Pengertian dan Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Interaksi Sosial

a. Pengertian Interaksi Sosial


Interaksi berasal dari kata inter dan aksi. Aksi (action) yang dimaksud adalah tindakan.
Tindakan oleh Max Weber diartikan sebagai perilaku yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya (the subjective meaning of action). Maksudnya adalah bahwa makna yang sebenarnya
dari suatu tindakan hanya diketahui dengan benar oleh pelakunya (aktor) sendiri. Misalnya si A,
seorang pemuda, menyanyi di kamar mandi. Apa makna tindakan A tersebut, apakah sekedar
iseng, belajar bernyanyi ataukah agar didengar oleh si B gadis tetangga yang kepadanya si A
menaruh perhatian? Orang lain, bapaknya, ibunya, kakaknya, adiknya atau tetangga si pemuda A
tadi dapat memberikan penafsirannya masing-masing berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya yang saling berbeda atas tindakan si A. Tetapi makna yang sebenarnya dari
tindakan tadi benar-benar hanya diketahui oleh si A.
Pernyataan seorang ahli sosiologi bernama Peter L. Berger bahwa dalam hidup ini
kenyataan yang sering dihadapi adalah bahwa “things are not what they seem”, bahwa
segala sesuatu sering tidak seperti yang terlihat, kiranya dapat lebih menjelaskan apa yang
dimaksud oleh Max Weber.

Apabila dilihat dari orientasinya, tindakan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) Tindakan non-sosial, yakni tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang tetapi tidak
diorientasikan kepada pihak lain. Sebagai contoh: seseorang yang sedang memandangi
potret dirinya atau seseorang berdiam diri di kamar pribadinya sambil merenungi nasibnya.
b) Tindakan sosial, yakni tindakan-tindakan yang oleh pelakunya diorientasikan kepada pihak
lain. Sebagai contoh: seseorang menyapa teman yang lewat di depan rumahnya atau seorang
murid berbicara dengan gurunya. Dilihat dari tekanannya tentang cara dan tujuan tindakan
itu dilakukan, dapat dibedakan menjadi empat macam tindakan, yaitu:
1) tindakan rasional-instrumental; yakni tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan
kesesuaian antara cara dan tujuan; dalam hal ini actor memperhitungkan efisiensi dan
efektivitas dari sejumlah pilihan tindakan. Contoh: tindakan memilih program atau jurusan di
SMU dengan mempertimbangkan bakat, minat dan cita-cita, tindakan rajin belajar supaya
lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru, bekerja keras untuk mendapatkan nafkah yang
cukup, dan sebagainya.
2) Tindakan berorientasi nilai; yakni tindakan-tindakan yang berkaitan dengan N ilai-nilai
dasar dalam masyarakat, sehingga aktor tidak lagi mempermasalahkan tujuan dari tindakan,
yang menjadi persoalan dan perhitungan aktor hanyaalah tentang cara. Contoh: tindakan-
tindakan yang bersifat religio-magis atau berdasarkan keyakinan agama tertentu.
3) Tindakan tradisional; merupakan tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan
rasional. Tindakan ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan kebiaasaan dan adat istiadat.
Contohnya: berbagai macam upacara atau tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan
kebudayaan leluhur. Agak tidak mudah membedakan tindakan tradisional dengan tindakan
yang berorientasi nilai, karena dua tindakan ini memang memiliki kesamaan, misalnya
ketidakpeduliannya tentang tujuan dari tindakan, orientasinya kepada caracara atau tahapan-
tahapan yang harus dilalui, dan sebuah tradisi biasanya dipertahankan oleh sebagian besar
warga masyarakat karena terkait dengan nilai tertentu. Namun, tetap dapat dibedakan yakni
orientasi suatu tindakan tradisional adalah pada bahwa cara tersebut dilakukan menurut cara
yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Makna dari tindakan tidak begitu dipermasahkan,
sedangkan pada tindakan berorientasi nilai makna tindakan sangat diperhatikan karena
berkait dengan nilai yang dijunjung tinggi.
4) Tindakan afektif; yakni tindakan-tindakan yang dilakukan oleh actor berdasarkan perasaan
(afeksi). Contohnya: tindakan mengamuk karena marah, meloncat-loncat kegirangan karena
perasaan senang yang berlebihan, tindakan menolak karena benci, jatuh cinta, dan
sebagainya.

Interaksi sosial dapat diberi pengertian sebagai hubungan timbal-balik yang dinamis dan saling
mempengaruhi yang terjadi di antara individu atau kelompok individu dalam masyarakat. Pola
interaksi sosial dapat berupa hubungan timbalbalik antara:
b. individu dengan individu, misalnya dua orang teman yang sedang bercakap-cakap
c. individu dengan kelompok, misalnya seorang guru yang sedang mengajar di kelas
d. kelompok dengan kelompok, misalnya interaksi yang terjadi pada sebuah pertandingan
sepakbola.
Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
g. Kontak sosial, yaitu peristiwa terjadinya hubungan, sambungan atau sentuhansosial (dapat
disertai sentuhan jasmaniah maupun tidak) antara dua orang atau lebih.
h. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan atau informasi dari satu pihak (komunikator)
ke pihak lain (komunikan) dengan menggunakan symbol simbol. Simbol dapat berupa kata-
kata, suara, gerak isyarat, benda, dsb. Proses komunikasi dinyatakan berlangsung apabila
telah terjadi pemahaman yang sama atas simbol-simbol yang digunakan, baik oleh
komunikator maupun komunikan.

Kontak dan komunikasi dapat berlangsung secara primer maupun sekunder. Yang dimaksud
kontak atau komunikasi primer adalah kontak atau komunikasi yang terjadi secara langsung
berhadap-hadapan atau tatap muka (face to face). Misalnya: dua orang atau lebih yang saling
bertemu dann berbicara dalam sebuah ruang pertemuan. Sedangkan kontak atau komunikasi
sekunder adalah kontak atau komunikasi yang terjadi dengan bantuan alat-alat komunikasi
seperti surat, telepon, e-mail, percakapan di internet, dan seterusnya (sekunder langsung),
maupun yang melalui bantuan pihak ketiga (sekunder tidak langsung).

Terjadinya interaksi sosial dapat digambarkan secara berurutan sebagai berikut:


i. ada dua orang atau lebih
j. terjadi kontak sosial di antaranya
k. terjadi komunikasi
l. terjadi reaksi atas komunikasi
m. akhirnya, terjadi aksi timbal-balik (aksi-reaksi) yang saling mempengaruhi

Faktor-faktor yang mempengaruhi Interaksi Sosial, antara lain:


1) Imitasi (peniruan)
Imitasi adalah proses sosial ayau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui
sikap, penampilan, gaya hidup, atau apa saja yang dimiliki oleh orang lain tersebut. Misalnya
seorang anak meniru kebiasaan-kebiasaan orang tuanya, baik cara berbicara atau tutur kata, cara
berjalan, cara berpakaian, dan sebagainya. Proses imitasi yang dilakukan oleh seseorang
berkembang dari lingkup keluarga kepada lingkup lingkungan yang lebih luas, seperti
lingkungan tetangga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, dan seterusnya, seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan pergaulan orang tersebut. Ruang lingkup imitasi menjadi
semakin luas seiring dengan berkembangnya media massa, terutama media audio-visual.
Proses imitasi dapat berlangung terhadap hal-hal yang positif maupun negatif, maka
pengaruhnya terhadap interaksi sosial juga dapat positif maupun negatif. Apabila imitasi
berlangsung terhadap cara-cara atau hal-hal yang positif maka akan menghasilkan interaksi
sosial yang berlangsung dalam keteraturan, sebaliknya apabila imitasi berlangsung terhadap
cara-cara atau hal-hal yang negatif, maka akan berperan besar terhadap munculnya prosesproses
interaksi sosial yang negatif.

2) Identifikasi (menyamakan ciri)


Identifikasi adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
menjadi sama (identik) dengan seseorang atau sekelompok orang lain. Identifikasi dapat
dinyatakan sebagai proses yang lebih dalam atau lebih lanjut dari imitasi. Apabila pada imitasi
orang hanya meniru cara yang dilakukan oleh orang lain, maka dalam identifikasi ini orang tidak
hanya meniru tetapi mengidentikkan dirinya dengan orang lain tersebut. Dalam identifikasi yang
terjadi tidak sekedar peniruan pola atau cara, namun melibatkan proses kejiwaan yang dalam.
Sebagai contoh: seorang pengagum tokoh besar, apakah seorang pemikir, tokoh politik,
ilmuwan, penyanyi ataupun bintang film, sebegitu berat kekaguman orang tersebut sehingga
tidak hanya pola atau gaya perilaku tokoh yang dikaguminya yang ditiru, tetapi juga pikiran-
pikiran dan nilai yang didukung sang tokoh. Bahkan, orang tersebut menyamakan dirinya dengan
sang tokoh. Dalam sosiologi orang-orang yang ditiru (dijadikan sumber imitasi atau identifikasi)
disebut sebagai role model (model peran).

3) Sugesti (diterimanya suatu sikap atau tindakan secara emosional)


Sugesti adalah rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan oleh seseorang kepada
individu lain sehingga orang yang dipengaruhi tersebut menerima pengaruh tersebut secara
emosional, tanpa berfikir lagi secara kritis dan rasional.
Sugesti dapat diberikan dari seorang individu kepada kelompok, kelompok kepada individu
ataupun kelompok terhadap kelompok. Wujud sugesti dapat bermacam-macam, dapat berupa
tindakan, sikap-perilaku, pendapat, saran, pemikrian, dan sebagainya. Contoh: iklan obat batuk
yang diperagakan oleh seorang bintang film ternama yang dengan sangat sempurna memerankan
sebagai orang yang sedang batuk dan langsung sembuh begitu meminum obat tersebut, dapat
mensugesti orang yang benar-benar sedang menderita batuk untuk membeli dan meminum obat
tersebut. Contoh lain, pernyataan seorang tokoh besar sering diterima oleh pengagumnya sebagai
kebenanaran yang diterimanya tanpa berfikir panjang lagi.
Orang yang mudah tersugesti biasanya adalah orang-orang yang dalam kondisi lemah,
tertekan, frustasi, kelompok minoritas atau berwawasan tidak luas. Orang yang mampu
memberikan sugesti adalah orang-orang yang dikagumi, diakui luas ilmu, keahlian dan
wawasannya, jumlahnya besar atau berkuasa.

4) Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan oleh
seseorang individu atau sekelompok individu kepada individu atau sekelompok individu lain dan
diterima secara rasional, kritis serta bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan sugesti,
yang membedakan adalah cara penerimaan pengaruh, dalam sugesti pengaruh diterima secara
tidak rasional, pada motivasi pengaruh diterima dengan pertimbangan akal dan pikiran yang
jernih dan kritis. Contoh seorang guru yang dikenal jujur dan berwibawa memberikan motivasi
kepada para muridnya untuk rajin belajar dan bekerja keras demi meraih prestasi.

5) Simpati (kemampuan merasakan diri dalam keadaan orang lain)


Simpati adalah suatu proses ketika seorang individu atau sekelompok individu tertarik
kepada (atau merasakan diri) dalam keadaan orang atau kelompok orang lain yang sedemikian
rupa sehingga menyentuh jiwa dan perasaannya.
Dinyatakan sedemikian rupa karena dapat jadi bagi jiwa dan perasaan orang lain keadaan
tersebut biasa-biasa saja, artinya tidak menimbulkan simpati. Karena merupakan proses
kejiwaan, berlangsungnya tidak selalu mudah dipahami secara rasional. Misalnya apa yang
menjadi alasan sehingga seorang gadis yang cantik rupa dan perilakuannya menaruh simpati
kepada seorang jejaka yang buruk rupa maupun perilakuanya.
6) Empati
Empati lebih dari simpati. Apabila pada simpati hanya melibatkan proses kejiwaan, maka
pada empati proses kejiwaan tersebut diikuti dengan proses organisma tubuh. Misalnya ketika
seseorang mendapatkan teman dekat atau saudaranya mengalami kecelakaan sehingga luka berat
atau meninggal dunia, maka orang tersebut akan ikut merasakan dan menghayati kecelakaan itu
seolah-olah terjadi pada dirinya atau diliputi perasaan kehilangan yang luar biasa sehingga
sampai menitikkan air mata.

Interaksi Sosial dalam hubungannya dengan Status dan Peran Sosial Antar-Individu
dalam Masyarakat
Status atau kedudukan sosial adalah tempat, posisi atau kedudukan individu di dalam
struktur sosial kelompok atau masyarakat. Individu yang status sosialnya berbeda akan memiliki
hak-hak, tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang berbeda pula. Untuk memudahkan
pemahaman tentang status dapat dinyatakan bahwa di dalam masyarakat ada orang-orang yang
berkedudukan tinggi, menengah dan ada pula yang berkedudukan rendah.
Kedudukan atau status tersebut ada yang diperoleh oleh seseorang sejak kelahirannya
(dinamakan ascribed statuses), misalnya: jenis kelamin, gelar kebangsawanan, gelar dalam kasta,
dan sebagainya, ada yang diperoleh melalui perjuangan atau prestasi (dinamakan achieved
statuses), misalnya: status sebagai seorang pakar, guru, dokter, wartawan, manejer perusahaan,
dan sebagainya, dan ada yang diperoleh karena pemberian atas dasar jasa yang telah diberikan
kepada masyarakat (dinamakan assigned statuses), misalnya gelar pahlawan pembangunan,
pahlawan proklamasi, pahlawan reformasi, doctor kehormatan, dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan tindakan dan interaksi sosial, ternyata dijumpai cara-cara
bertindak dan berinteraksi sosial yang berbeda di antara orang-orang yang kedudukan sosialnya
berbeda. Perbedaan-perbedaan itu tampak pada misalnya cara berbicara, tutur kata dan bahasa
yang digunakan, sikap tubuh, cara berpakaian, simbol status yang digunakan, dan sebagainya.
Status yang disandang oleh seseorang berhubungan pula dengan peran sosialnya. Yang
dimaksud dengan peran sosial adalah perilaku yang diharapkan terhadap seseorang atau
kelompok sehubungan dengan status atau kedudukan yang disandangnya. Jelasnya, ketika
seseorang menyandang status tertentu, misalnya seseorang berstatus sebagai ayah, guru, menteri
ataupun presiden, maka masyarakat akan berharap atau bahkan menuntut agar orang tersebut
berperilaku tertentu yang sesuai dengan status dan kedudukan yang disandangnya. Seorang ayah
harus bertanggung jawab atas nafkah bagi anakanak dan isterinya, seorang guru dituntut untuk
berperilaku yang dapat “digugu” dan “ditiru” oleh para muridnya, seorang menteri dituntut untuk
menguasai seluruh permasalahan di departemennya, dan seorang presiden dituntut untuk dapat
mengayomi seluruh golongan dan lapisan yang ada dalam masyarakat, ucapan dan tindakannya
harus mencerminkan budaya bangsa yang mulia.

Ada tiga macam peran sosial:


a. Peran ideal, yaitu peran yang digagas, dirumuskan atau diharapkan oleh masyarakat
terhadap orang-orang dengan status tertentu.
b. Peran dipersepsikan, yaitu peran yang dilaksanakan dalam situasi tertentu. Misalnya
seorang guru ketika mendampingi para siswanya berwidyawisata berperan seperti halnya
kakak atau teman terhadap para siswanya.
c. Peran dilaksanakan, yaitu peran yang secara nyata dilaksanakan oleh seseorang atau
sekelompok orang. Dapat terjadi peran yang dilaksanakan tidak sama dengan peran ideal.
Dalam pelaksanaan peran-peran sosialnya, seseorang dapat mengalami apa yang disebut
sebagai konflik status dan konflik peran.

Konflik status adalah pertentangan di antara status-status yang disandang oleh seseorang
ketika suatu interaksi sosial berlangsung yang disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan di
antara status-status tersebut. Hal ini dapat terjadi karena dalam kenyataannya seseorang akan
sekaligus menyandang berbagaimacam status sosial. Ketika suatu interaksi sosial berlangsung,
terdapat status aktif, yaitu status yang berfungsi ketika sebuah interaksi sosial berlangsung, dan
ada status laten, yakni status yang tidak berfungsi ketika sebuah interaksi social berlangsung.
Konflik status terjadi ketika dalam suatu interaksi sosial muncul lebih dari status aktif dan
kepentingannya berbeda. Contoh seorang polisi muda yang bertugas di jalan raya harus
memberikan sanksi kepada seorang gadis pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan
lalu-lintas, dan kebetulan gadis tersebut adalah calon isteri yang sangat dicintainya. Dalam diri
polisi muda tadi dapat terjadi konflik antara status sebagai polisi yang harus menindak pelanggar
aturan lalu-lintas dengan status sebagai calon suami yang harus melindungi.
Sedangkan yang dimaksud dengan Konflik peran adalah keadaan yang terjadi apabila
seseorang tidak dapat menjalankan peran sosialnya sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam
diri pak Polisi pada contoh di atas dapat terjadi konflik peran karena tidak dapat berperan sebagai
polisi yang berhadapan dengan pelanggar aturan lalu-lintas. Konflik peran juga dapat terjadi
ketika kita harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak hati kita.
Seorang sarjana teknik yang bekerja sebagai bengkel sepeda, atau seorang sarjana ekonomi yang
bekerja sebagai pelayan pada sebuah toko kelontong, dapat mengalami konflik peran karena
akan merasa terpaksa menjalankan pekerjaan yang menurut penilaiannya tidak sesuai dengan
status yang disandang.

Bentuk Interaksi yang mendorong terciptanya Keteraturan dan Organisasi Sosial


Mark L. Knap merinci tentang pola tahapan-tahapan di antara orang-orang yang terlibat
interaksi, baik yang mendekatkan atau yang menjauhkan. Tahap-tahap yang mendekatkan dirinci
menjadi: (1) memulai (initiating), (2) menjajaki (experimenting), (3) meningkatkan
(intensifying), (4) menyatupadukan (integrating), dan (5) mempertalikan (bonding). Peningkatan
tahapan-tahapan pendekatan diikuti dengan peningkatan komunikasi pribadi dan komunikasi
nonverbal dan meningkatnya kebersamaan dalam tindakan.
Sedangkan tahapan-tahapan interaksi yang menjauhkan atau merenggangkan, oleh Knap
dirinci sebagai berikut: (1) membeda-bedakan (differentiating), (2) membatasi (circumscribing),
(3) memacetkan (stagnating), (4) menghindari (avoiding), dan (5) memutuskan (terminating).
Latar belakang terjadinya hubungan sosial yang pada giliran berikutnya membentuk lembaga,
kelompok dan organisasi sosial pada dasarnya adalah keinginan manusia untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Maslow merinci kebutuhan hidup manusia ke dalam tuju macam, yaitu:


3) kebutuhan fisik, seperti makan, minum, istirahat, tidur, dan sebagainya
4) kebutuhan rasa aman seperti terhindar dari bahaya dan kecemasan
5) kebutuhan diterima dan kasih sayang (keluarga, teman, dan sebagainya)
6) kebutuhan untuk dihargai
7) kebutuhan perwujudan diri
8) kebutuhan untuk mengungkapkan rasa ingin tahu
9) kebutuhan untuk mengungkapkan rasa seni dan keindahan

Sebagai pembanding, berikut dikemukakan klasifikasi kebutuhan hidup manusia menurut


Peddington:
a. Kebutuhan mendasar, yakni kebutuhan yang muncul dari aspek biologis/organisme manusia
(misalnya: makanan/minuman, pelepasan dorongan seksual, buang air besar/kecil,
perlindungan dari iklim/cuaca, istirahat/tidur dan kesehatan yang baik)
5. Kebutuhan sosial, yakni kebutuhan yang terwujud dari adanya usaha manusia memenuhi
kebutuhan dasarnya dengan cara melibatkan pihak lain (berkomunikasi dengan sesama,
kegiatan bersama, pendidikan, keteraturan dan kontrol sosial)
6. Kebutuhan integratif, yakni kebutuhan yang muncul dan terpancar dari hakikat manusia
sebagai mahluk yang berfikir dan bermoral (perasaan/prinsip benarsalah, ungkapan
kebersamaan, ungkapan estetika dan keindahan, perasaan kayakinan diri, rekreasi dan
hiburan).

Pola (Bentuk Umum) Interaksi Sosial


Gillin dan Gillin membedakan interaksi sosial ke dalam dua bentuk, yaitu:
A. Bentuk interaksi sosial asosiatif, meliputi berbagai macam bentuk kerjasama, akomodasi
dan asimilasi
B. Bentuk interaksi sosial disosiatif, meliputi berbagai macam bentuk konflik, kompetisi dan
kontravensi.

Kimball Young mengemukakan bentuk-bentuk interaksi sosial sebagai berikut:


1) Oposisi, yaitu proses yang meliputi persaingan, pertikaian dan pertentangan
2) Koperasi atau kerjasama yang menghasilkan akomodasi
3) Diferensiasi, yakni kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan,
misalnya pembedaan ciri-ciri biologis, sosial, ekonomi dan kultural
Ciri-ciri interaksi sosial
Interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 Interaksi sosial dapat berpola: (1) individu dengan individu, (2) individu dengan kelompok,
dan (3) kelompok dengan kelompok
 Interaksi dapat berlangsung sebagai proses positif (asosiatif) maupun negative (disosiatif),
namun ada kecenderungan interaksi berlangsung positif.
 Hubungan dalam interaksi sosial dapat berlangsung dalam tingkat dangkal ataupun tingkat
dalam
 Interaksi sosial menghasilkan penyesuaian diri bagi para pelakunya
 Interaksi sosial berpedoman kepada kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku.

Sehubungan dengan hal ini, perlu diidentifikasi bentuk interaksi sosial yang cenderung
berlangsung positif dan berkesinambungan. Interaksi yang demikian penting artinya dalam
pembentukan lembaga, kelompok dan organisasi sosial, yaitu interaksi sosial yang memiliki ciri:
 didasarkan kepada kebutuhan yang nyata
 memperhatikan efektifitas
 memperhatikan efisiensi
 menyesuaikan diri kepada kebenaran

Lembaga, kelompok dan organisasi sosial pada dasarnya adalah bentuk-bentuk atau wujud
adanya keteraturan dan dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk
memahami tentang proses pembentukan lembaga, kelompok dan organisasi sosial perlu
memahami terlebih dahulu mengenai keteraturan sosial budaya dalam masyarakat.

Menurut para penganut teori fungsionalisme struktural, meskipun di dalam masyarakat


terdapat unsur-unsur sosial yang saling berbeda, tetapi unsur-unsur tersebut cenderung saling
menyesuaikan sehingga membentuk suatu keseimbangan (equilibrium) dalam kehidupan sosial.
Wujud nyata dari keseimbangan ini adalah keteraturan sosial, yaitu kondisi di mana cara berfikir,
berperasaan dan bertindak serta interaksi sosial di antara para warga masyarakat selaras
(konformis) dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang belaku dalam masyarakat yang
besangkutan.
Keteraturan sosial akan tercipta dalam masyarakat apabila:
2. terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas. Jika nilai dan norma dalam masyarakat
tidak jelas akan menimbulkan keadaan yang dinamakan anomie (kekacauan norma).
3. individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku
4. individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku
5. berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control)

Proses-proses Asosiatif (proses-proses yang mendorong terciptanya

Keteraturan Sosial) meliputi:


1) Akomodasi
Sebagai proses, akomodasi merupakan upaya-upaya menghindarkan, meredakan atau mengakhiri
konflik atau pertikaian. Akomodasi dapat pula berarti keadaan, yaitu keadaan di mana hubungan-
hubungan di antara unsur-unsur sosial dalam keselarasan dan keseimbangan, sehingga warga
masyarakat dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan harapan-harapan atau tujuan-
tujuan masyarakat.

Gillin dan Gillin menyatakan bahwa akomodasi merupakan istilah yang dipakai oleh para
sosiolog untuk menggambarkan keadaan yang sama dengan pengertian adaptasi yang digunakan
oleh para ahli biologi untuk menggambarkan proses penyesuaian mahluk hidup dengan
lingkungan alam di mana ia hidup.

Tujuan akomodasi:
j. Untuk mengurangi pertentangan antara orang-orang atau kelompok-kelompok akibat
perbedaan faham. Dalam hal ini akomodasi diarahkan untuk memperoleh sintesa baru dari
faham-faham yang berbeda.
k. Untuk mencegah meledaknya pertentangan untuk sementara waktu
l. Untuk memungkinkan dilangsungkannya kerjasama di antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang karena faktor psikologi atau kebudayaan menjadi terpisah satu
dari lainnya
m. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah

Bentuk-bentuk akomodasi sebagai proses menghindarkan, meredakan atau mengakhiri konflik:


c. Kompromi (pihak yang bertikai saling mengurangi tuntutan)
d. Toleransi (saling menghargai, menghormati, membiarkan di antara pihakpihak yang
sebenarnya saling berbeda)
e. Konsiliasi (usaha mempertemukan pihak-pihak yang bertikai sehingga dicapai kesepakatan
bersama)
f. Koersi (keadaan tanpa konflik karena terpaksa; akibat dari berbedanya secara tajam
kedudukan atau kekuatan di antara fihak-fihak yang berbeda, misalnya antara buruh–
majikan, orangtua-anak, pemimpin-pengikut, dan seterusnya)
g. Mediasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang netral sebagai penasehat)
h. Arbitrasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang berwenang untuk mengambil
keputusan penyelesaian)
i. Ajudikasi (penyelesaian konflik melalui proses hukum)
j. Stalemate (perang dingin, yakni keadaan seimbang tanpa konflik karena yang bertikai
memiliki kekuatan yang seimbang
k. Displacement (menghindari konflik dengan mengalihkan perhatian) )

2. Kerjasama
Kerja sama (koperasi) timbul ketika orang-orang menyadari adanya kepentingan yang
sama pada saat bersamaan, dan mempunyai pengertian bahwa kepentingan yang sama tersebut
dapat lebih mudah dicapai apabila dilakukan bersama-sama.

Motivasi bekerjasama:
(8) kesadaran menghadapi tantangan bersama
(9) menghadapi pekerjaan yang memerlukan tenaga massal
(10) melaksanakan upacara keagamaan
(11) menghadapi musuh bersama
(12) memperoleh keuntungan ekonomi
(13) untuk menghindari persaingan bebas
(14) menggalang terjadinya integrasi sosial (keutuhan masyarakat)

Bentuk-bentuk kerjasama:
a) bargaining (pertukaran “barang” atau “jasa” di antara dua individu/kelompok)
b) kooptasi (penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan untuk
menghindari kegoncangan stabilitas kelompok)
c) koalisi (penggabungan dua kelompok atau lebih yang mempunyai tujuan sama)

3) Asimilasi (pemesraan/perkawinan sosial-budaya)


Asimilasi merupakan proses sosial tingkat lanjut yang ditandai oleh adanya upaya-upaya
mengurangi perbedaan serta mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses-proses mental di
antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok dengan memperhatikan kepentingan atau
tujuan bersama.

Asimilasi akan terjadi apabila:


a) dua kelompok yang berbeda kebudayaan
b) individu/warga kelompok saling bertemu dan bergaul intensif dalam waktu yang lama,
sehingga
c) terjadi kontak kebudayaan (akulturasi) yang memungkinkan dua kelompok yang berbeda itu
saling mengadopsi (meminjam) unsur-unsur kebudayaan

d) cara hidup dan kebudayaan dua kelompok itu saling menyesuaikan diri sehingga masing-
masing mengalami perubahan
e) kelompok-kelompok tersebut melebur membentuk kelompok baru dengan cara hidup dan
kebudayaan baru yang berbeda dari kelompok asal
Hal-hal yang mempermudah asimilasi:
a) toleransi
b) kesempatan yang seimbang dalam proses ekonomi
c) sikap menghargai orang asing dengan segenap kebudayaannya
d) sikap terbuka dari golongan yang berkuasa (elite/the rulling class)
e) persamaan unsur-unsur kebudayaan
f) perkawinan campuran (amalgamasi)

Hal-hal yang menghambat asimilasi:


a) terisolirnya suatu kelompok
b) kurangnya pengetahuan terhadap kebudayaan lain
c) adanya prasangka terhadap kebudayaan lain
d) penilaian bahwa kebudayaan kelompoknya lebih tinggi derajatnya (ethnosentrisme)
e) Loyalitas yang berlebihan kepada kelompok bawaan lahirnya (primordialisme)
f) in group feeling yang kuat
g) perbedaan warna kulit dan ciri-ciri badaniah (ras)

Karena asimilasi berkaitan dengan proses yang mendahuluinya, yakni akulturasi, maka berikut
dikemukakan beberapa hal yang berkait dengan proses akulturasi atau kontak kebudayaan itu.

Unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima:


a) Unsur kebudayaan material dan teknologi
b) Unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan
c) Unsur kebudayaan yang dampaknya tidak begitu mendalam, misalnya mode (fashion) atau
unsur kesenian

Unsur kebudayaan yang tidak mudah diterima:


a) Unsur-unsur yang berkaitan dengan nilai yang mendasari pola berfikir dan cara hidup,
misalnya: agama, ideologi atau falsafah hidup
b) Unsur kebudayaan yang telah tersosialisasi dan terinternalisasikan secara luas dan mendalam:
sistem kekerabatan (discent), makanan pokok, kebiasaan makan, dan sebagainya.
Kelompok dalam masyarakat yang mudah menerima kebudayaan baru:
a) golongan muda yang identitas diri dan kepribadiannya belum mantap
b) kelompok masyarakat yang tidak mapan atau anti kemapanan
c) kelompok masyarakat yang berada dalam tekanan, misalnya kaum minoritas
d) golongan terdidik (kelas menengah/perkotaan)
BAB III
KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT

Diakui secara umum bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam proses
pembangunan atau keberlanjutan suatu bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu sedang membentuk
watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan zamannya. Dilihat dari segi
kebudayaan, pembangunan tidak lain adalah usaha sadar untuk menciptakan kondisi hidup
manusia yang lebih baik. Menciptakan lingkungan hidup yang lebih serasi. Menciptakan
kemudahan atau fasilitas agar kehidupan itu lebih nikmat. Pembangunan adalah suatu intervensi
manusia terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan sosial
budaya.
Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan
hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan dunia, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi
perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai
budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia di dalam
masyarakatnya.
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Bahwa hakekat pembangunan Nasional
adalah pembangunam manusia Indonesia seutuhnya dan pcmbangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah tentu pendekatan dan strategi pembangunan
hendaknya menempatkan manusia scbagai pusat intcraksi kcgiatan pcmbangunan spiritual
maupun material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai
sumber daya dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa.
Menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta
integritas sosial yang tinggi. Manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Mahasa Esa.

Dewasa ini kita dihadapkan paling tidak kepada tiga masalah yang saling berkaitan, yaitu
5. Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa, dengan latar
belakang sosio budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan tersebut tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang mampu mengatasi ikata-
ikatan primordial, yaitu kesukuan dan kedaerahan.
6. Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu nampak
terjadinya pergeseran sistem nilai budaya, penyikapan yang berubah pada anggota
masyarakat tcrhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial,
yang diikuti oleh hubungan antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kclompok masyarakat.
Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat
dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita
sebagai bangsa.
7. Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, yang membawa
pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar.
Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan hanya
itensitasnya menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya bcrlangsung dengan cepat dan
luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang-kadang
menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang menumbuhkan
identitasnya sendiri sebagai bangsa.

B. Pengertian Kebudayaan
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”, yaitu bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli antropologi yang memberikan
definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang
berjudul “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda,
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan
yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun
dalam kehidupanan masyarakat.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
e. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, yang meliputi:
kebudayaan materiil (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia,
misalnya kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
Kebudayaan non-materiil (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan
diraba, misalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
f. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin
diperoleh dengan cara belajar.
g. Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat
kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan
tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan
kehidupannya. Jadi, kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari.

C. Unsur-Unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan yang ada dunia, baik yang kecil, sedang,
besar, maupun yang kompleks. Menurut konsepnya Malinowski, kebudayaan di dunia ini
mempunyai tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, system mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian .Seluruh unsur itu saling terkait antara
yang satu dengan yang lain dan tidak bisa dipisahkan.

D. Sistem Budaya dan Sistem Sosial


Sistem sosial dan sistem budaya merupakan bagian dari kerangka budaya. Ketiga sistem tersebut
secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih banyak dibahas oleh ilmu sosiologi,
sementara itu sistem budaya banyak dikaji dalam ilmu budaya.Sistem diartikan sebagai
kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem
mempunyai sepuluh ciri, yaitu:
i. fungsi,
j. satuan,
k. batasan,
l. bentuk,
m. lingkungan,
n. hubungan,
o. proses,
p. masukan,
q. keluaran, dan
r. pertukaran.

Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya a tau kultural
sistem merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat.
Gagasan tersebut tidak dalam keadaan berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dan menjadi suatu
sistem. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula
adat-istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut
pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku
manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui proses pembudayaan atau
institutionalization (pelembagaan). Dalam proses ini, individu mempelajari dan menyesuaikan
alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat,
mula-mula meniru berbagai macam ilmu n. Setelah itu menjadi pola yang mantap, dan mengatur
apa yang dimilikinya.
Sedangkan, sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Konsep struktur
sosial digunakan untuk menganalisis aktivitas sosial sehingga sistem sosial menjadi model
analisis terhadap organisasi sosial.
Konsep sistem sosial adalah alat bantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok
manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok manusia merupakan suatu
sistem. Parsons menyusun strategi untuk menganalisis fungsional yang meliputi semua sistem
sosial, termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi sosial, termasuk
masyarakat secara keseluruhan. terdapat empat unsur dalam sistem sosial, yaitu:
n. dua orang atau lebih,
o. terjadi interaksi di antara mereka,
2) interaksi yang dilakukan selalu bertujuan, dan
3) memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut, suatu sistem sosial akan dapat berfungsi apabila empat persyaratan di bawah ini
terpenuhi. Keempat persyaratan itu meliputi:
d. Adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya.
e. Mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada
tujuan-tujuannya.
f. Integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota
dalam sistem sosial.
g. Pemeliharaan pola-pola tersembunyi, merupakan konsep latent (tersembunyi) pada titik
berhentinya suatu interaksi akibat kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya
yang mungkin terlibat.

Lebih lanjut, Parson menjelaskan bahwa dalam suatu sistem sosial terdapat 10 unsur yang
membentuk kesempurnaan suatu” sistem. Kesepuluh unsur itu, yaitu:
10) keyakinan,
11) perasaan,
12) tujuan sasaran cita-cita,
13) norma,
14) kedudukan peranan,
15) tingkatan,
16) kekuasaan atau pengaruh,
17) sanksi,
18) sarana atau fasilitas, dan
19) tekanan ketegangan.

E.Makna Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, dan orang lain
menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana
ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu
karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku
manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :

7. Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan
dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);
8. Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;
9. Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum dia bisa bertindak sesuai
dengan makna barang-barang tersebut. Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas,
interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia
memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling
mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk
tindakan sendiri.

Menurut Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan
disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung.

Makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan
memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia
ditempatkan dan arah tindakannya.

F. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan
waktu.Perubahan itu bisa dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam
masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju
atau berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Menurut Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan
penting dalam struktur sosial . Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan
interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh
aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial :
8. Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur
masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam
struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
9. Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam
masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil
teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan
peminjaman kebudayaan;
10. Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial
dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran,
aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.

G. Konsep Nilai
Batasan nilai bisa mengacu pada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban
agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan perasaan dari orientasi seleksinya (Pepper, dalam Sulaeman, 1998). Rumusan di atas
apabila diperluas meliputi seluruh perkem-bangan dan kemungkinan unsur-unsur nilai, perilaku
yang sempit diperoleh dari bidang keahlian tertentu, seperti dari satu disiplin kajian ilmu. Di
bagian lain, Pepper mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang
buruk. Sementara itu, Perry (dalam Sulaeman, 1998) mengatakan bahwa nilai adalah segala
sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek.
Ketiga rumusan nilai di atas, dapat diringkas menjadi segala sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi,
pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Seseorang dalam melakukan sesuatu terlebih dahulu mempertimbangkan nilai. Dengan
kata lain, mempertimbangkan untuk melakukan pilihan tentang nilai baik dan buruk adalah suatu
keabsahan. Jika seseorang tidak melakukan pilihannya tentang nilai, maka orang lain atau
kekuatan luar akan menetapkan pilihan nilai nnluk dirinya.
Seseorang dalam melakukan pertimbangan nilai bisa bersifat subyektif dan bisa juga
bersifat objektif. Pertimbangan nilai subjektif tcnlapat dalam alam pikiran manusia dan
bergantung pada orang yang memberi pertimbangan itu. Sedangkan pertimbangan objektif
beranggapan bahwa nilai-nilai itu terdapat tingkatan-tingkatan sampai pada tingkat tertinggi,
yaitu pada nilai fundamental yang mencerminkan universalitas kondisi fisik, psikologi sosial,
menyangkut keperluan setiap manusia di mana saja.

Dalam kajian filsafat, terdapat prinsip-prinsip untuk pemilihan nilai, yaitu sebagai berikut.
2 nilai instrinsik harus mendapat prioritas pertama daripada nilai ekstrinsik. Sesuatu yang
berharga instrinsik, yaitu yang baik dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena
menghasilkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berharga secara ekstrinsik, yaitu sesuatu yang
bernilai baik karena sesuatu hal dari luar. Jika sesuatu itu merupakan sarana untuk mendapat
sesuatu yang lain. Semua benda yang bisa digunakan untuk aktivitas mem-punyai nilai
ekstrinsik.
3 nilai ini tidak harus terpisah. Suatu benda dapat bernilai instrinsik dan ekstrinsik. Contoh
pengetahuan, mempunyai nilai instrinsik baik dari dirinya sendiri dan mempunyai nilai
ekstrinsik apabila digunakan untuk kepentingan pembangunan baik di bidang ekonomi,
politik, hukum, maupun bidang-bidang yang lainnya.
4 nilai yang produktif secara permanen didahulukan daripada nilai yang produktif kurang
permanen. Beberapa nilai, seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan.
Sedangkan nilai persahabatan akan bertambah jika dipergunakan untuk membagi nilai akal
dan jiwa bersama orang lain. Oleh karena itu, nilai persahabatan harus didahulukan daripada
nilai ekonomi.

H. Sistem Nilai
Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini diakui dan
dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku. Sistem nilai ini menunjukkan
tata-tertib hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1981). Sistem nilai budaya
ini telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti
atau diubah dalam waktu yang singkat. Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok
bagi kehidupan manusia.
Sistem nilai budaya ini berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis untuk setiap
kelompok masyarakat. Mungkin saja nilai-nilai itu dapat berbeda atau bahkan bertentangan,
hanya saja orien-tasi nilai budayanya akan bersifat universal, sebagaimana Kluckhohn (1950)
sebutkan.
Menurut Kluckhohn, sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia ini, secara
universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
 Hakikat hidup manusia. Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrim. Ada
yang berusaha untuk memadamkam hidup (nirvana = meniup habis). Ada pula yang dengan
pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik (mengisi
hidup).
 Hakikat karya manusia. Setiap manusia pada hakikatnya berbeda-beda, di antaranya ada
yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau
kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
 Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan
orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
 Hakikat alam manusia. Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi
alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan
bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
 Hakikat hubungan manusia. Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia
dengan manusia, baik secara horisontal maupun secara vertikal kepada tokoh-tokoh. Ada
pula yang berpandangan individualist’s (menilai tinggi kekuatan sendiri).

Berdasarkan hasil suatu penelitian, ada tiga pandangan dasar tentang makna hidup, yaitu:
1) hidup untuk bekerja,
2) hidup untuk beramal, berbakti, dan
3) hidup untuk bersenang-senang.

Sedangkan makna kerja, yaitu:


1. untuk mencari nafkah,
2. untuk memper-tahankan hidup,
3. untuk kehormatan,
4. untuk kepuasan dan kesenangan, dan
5. untuk amal ibadah.

I. Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab
perubahan
a. Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya sendiri,misalnya perubahan
jumlah dan komposisi
b. sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang
hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
c. adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.

Dalam masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui penemuan


(discovery) dalam bentuk ciptaan baru (inovation) dan melalui proses difusi. Discovery
merupakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala
mengenai hubungan dua gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru yang
berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui penciptaan dan didasarkan atas pengkom-
binasian pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala yang dimaksud.

Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan:


Pertama, cultural lag, yaitu perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, cultural lag dapat diartikan sebagai bentuk
ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan
saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat menyesuaikan diri terhadap benda
tersebut.
Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng-gambarkan suatu praktik yang telah
kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup, dan berlaku semata-mata hanya
di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, cultural survival adalah pengertian adanya suatu
cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu hingga sekarang.
Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses pertentangan antara budaya
yang satu dengan budaya yang lain. Konflik budaya terjadi akibat terjadinya perbedaan
kepercayaan atau keyakinan antara anggota kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses guncangan kebudayaan
sebagai akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan
lainnya. Ada empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: (1) tahap inkubasi, yaitu
tahap pengenalan terhadap budaya baru, (2) tahap kritis, ditandai dengan suatu perasaan dendam;
pada saat ini terjadi korban cultural shock, (3) tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap
kedua, hidup dengan damai, dan (4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah
membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kondisi yang baru itu; sementara itu
rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.

Pengertian Kebudayaan

Menurut E.B. Taylor (1871), Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

Menurut Selo Sumarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat

Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir.

Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia


yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya,

Menurut A.L. Krober dan C. Kluckhon, bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau
penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas- luasnya.

Menurut C.A. Van Peursen mengatakan bahwa kebudayaan sebagai manifestasi kehidupan
setiap orang, dan kehidupan setiap kelompok orang-orang berlainan dengan hewan-hewan,
maka manusia tidak hidup begitu saja ditengah alam, melainkan selalu mengubah alam
Krober dan Kluckhon,kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran,
perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang
menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di
dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi dan
cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.

Unsur- Unsur Kebudayaan

Menurut Melville J. Herkovits mengajukan pendapatnya tentang unsur kebudayaan adalah


terdiri dari 4 unsur yaitu : alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuatan politik

Menurut Bronislaw Malinowski unsur kebudayaan terdiri dari sistem norma, organisasi
ekonomi, alat-alat atau lembaga ataupun petugas pendidikan dan organisasi kekuatan

Menurut C. Kluckhon ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu :Sistem religi, Sistem
organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan,Sistem mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi, Sistem teknologi dan peralatan, Bahasa, Kesenian.

Orientasi Nilai Budaya

Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai, menurut C. Kluckhon dalam karyanya
VARIATIONS IN VALUE ORIENTATION (1961) sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia,
yaitu:
f) Hakekat hidup manusia: hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern. Ada
yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula dengan pola-pola kelakuan tertentu.
g) Hakekat karya manusia: setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, untuk hidup,
kedudukan/kehormatan, gerak hidup untuk menambah karya.
h) Hakekat waktu manusia: hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, orientasi masa
lampau atau untuk masa kini.
4. Hakekat alam manusia: ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi
alam, ada juga yang harus harmonis dengan alam atau manusia menyerah kepada alam.
5. Hakekat hubungan manusia: mementingkan hubungan antar manusia baik vertikal maupun
horizontal (orientasi pada tokoh-tokoh). Ada pula berpandangan individualistis

Perubahan Kebudayaan
Terjadinya gerak perubahan kebudayaan ini disebabkan oleh :
 Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri misalnya:
perubahan jumlah dan komposisi penduduk
 Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup

Faktor Yang Mempengaruhi Diterima Atau Tidaknya Suatu Unsur Kebudayaan Baru,
Diantaranya :
 Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan
orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut
 Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh
nilai-nilai agama
 Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan
baru
 Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang
menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut
 Apabila unsur baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah
dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Kaitan Manusia Dan Kebudayaan
Proses dialektis ini tercipta melalui tiga tahap yaitu :
1. Eksternalisasi, proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun
dunianya;
2. Obyektivasi, proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang
terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia,
3. Internalisasi, proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa
manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan baik
BAB IV
KELEMBAGAAN SOSIAL

A. Pengertian Lembaga Social


Menurut Hoarton dan Hunt, lembaga social (institutation) bukanlah sebuah bangunan,
bukan kumpulan dari sekelompok orang, dan bukan sebuah organisasi. Lembaga (institutations)
adalah suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat
dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar
pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga adalah proses yang terstruktur
(tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu

Pendapat para tokoh tentang Difinisi Lembaga social :


Menurut Koentjaraningkrat : lembaga sosial adalah suatu system tatakelakuan dan hubungan
yang at kepada akatifitas social untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat.
Menurut Leopold Von Weise dan Becker : Lembaga social adalah jaringan proses hubungan
antar manusia dan antar kelompok yang berfungsi memelihara hubungan itu beserta pola-
polanya yang sesuai dengan minat kepentingan individu dan kelompoknya.
Menurut Robert Mac Iver dan C.H. Page : Lembaga sosial adalah prosedur atau tatacara yang
telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang tergabung dalam suatu kelompok
masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, Lembaga sosial adalah himpunana norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehiduppan masyarakat.

B. Tipe-Tipe Lembaga Social


1. Berdasarkan sudut perkembangan
 Cresive institution yaitu istitusi yang tidak sengaja tumbuh dari adat istiadat
masyarakat. Contoh institusi agama, pernikahan dan hak milik.
 Enacted institution yaitu institusi yang sengaja dibentuk untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Contohnya institusi pendidikan
2. Berdasarkan sudut nilai yang diterima oleh masyarakat.
 Basic institutions yaitu institusi social yang dianggap penting untuk memlihara dan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Contohnya keluarga, sekolah, Negara
dianggap sebagai institusi dasar yang pokok.
 Subsidiary institutions yaitu institusi social yang berkaitan dengan hal-hal yang
dianggap oleh masyarakat kurang penting dan berbeda di masing-masing masyarakat.

3. Berdasarkan sudut penerimaan masyarakat .


 Approved atau social sanctioned institutions yaitu institusi social yang diterima oleh
masayarakat misalnya sekolah atau perusahaan dagang.
 Unsanctioned institutions yaitu institusi yang ditolak masyarakat meskipun masyarakat
tidak mampu memberantasnya. Contoh organisasi kejahatan.

4. Berdasarkan sudut penyebarannya.


 General institutions yaitu institusi yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat.
Contohnya institusi agama.
 Restrikted institutions intitusi social yang hanya dikenal dan dianut oleh sebagian kecil
masyarakat tertentu, contoh islam, protestan, dan katolik.

5. Berdasrkan sudut fungsinya


 Operative institutions yaitu institusi yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-
cara yang diperlukan dari masyarakat yang bersangkutan. Contoh institusi ekonomi
 Regulative institutions yaitu institusi yang bertujuan mengawasi adat istiadat atau
tatakelakuan dalam masyarakat. Contoh institusi hukum dan politik seperti pengadilan
dan kejaksaan.

C. Karakteristik Lembaga Sosial


1. unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian atau konsep pranata sosial, seperti:
berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat.
2. merupakan organisasi yang relatif tetap dan tidak mudah berubah
3. merupakan organisasi yang memiliki struktur, misalya adanya status dan peran.
4. merupakan cara bertindak yang mengikat.
5.
Gillin dan Gillin mengemukakan ciri-ciri pranata sosial sebagaimana dikutip oleh Selo
Soemadjan dan Soelaiman Soemardi (1964) dan Koentjaraningrat (1979) yang ringkasannya
sebagai berikut:
1) Pranata sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan perilakuan yang terwujud
sebagai aktivitas warga masyarakat yang berpijak pada suatu “nilai tertentu” dan diatur
oleh: kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat maupun hukum.
2) Pranata sosial memiliki tingkat kekekalan relatif tertentu. Pranata sosial pada umumnya
mempunyai daya tahan tertentu sehingga tidak cepat lenyap dari kehidupan
bermasyarakat. Umur yang relatif lama itu karena seperangkat norma yang merupakan isi
suatu pranata sosial terbentuk dalam waktu yang relatif lama dan tidak mudah, juga
karena norma-norma tersebut berorientasi pada kebutuhan pokok, maka masyarakat
berupaya menjaga dan memelihara pranata sosial tersebut sebaik-baiknya, apalagi kalau
pranata tersebut berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi
3) Pranata sosial mempunyai satu atau beberapa tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan.
4) Memiliki alat-alat perlengkapan baik keras (hardware) maupun lunak (soft ware) untuk
mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan dari pranata sosial. Karena masing-masing
pranata memiliki tujuan yang berbeda-beda, maka perlengkapannyapun berbeda antara
satu pranata dengan pranata lainnya. Perlengkapan dalam pranata keluarga berbeda dari
perlengkapan pada lembaga pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama
5) Memiliki simbol atau lambang tersendiri. Lambang, di samping merupakan spesifikasi
dari suatu pranata sosial, juga sering dimaksudkan secara simbolis menggambarkan
tujuan atau fungsi dari suatu pranata. Lambang suatu pranata sosial daat berupa gambar,
tulisan, atau slogan-slogan, yang dapat merupakan representasi ataupun sekedar
menggambarkan spesifikasi dari pranata sosial yang besangkutan. Misalnya Burung
Garuda atau Bendera Merah Putih dapat merepresentasikan Indonesia, sedangkan gambar
buku dan pena merupakan gambaran dari spesifikasi suatu lembaga pendidikan.
6) Memiliki dokumen atau tradisi baik lisan maupun tertulis yang berfungsi sebagai
landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsi
D. Fungsi Lembaga Sosial
Oleh Soejono Soekarto di ungkapkan bahwa lembaga sosial memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus
bersikap atau bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul atau
berkembang di lingkungan masyarakat, termasuk yang menyangkut hubungan
pemenuhan kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan
3. Memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian
sosial, yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya.

Menurut Horton dan Hunt, fungsi lembaga sosial adalah:


1) Fungsi Manifest atau fungsi nyata, Yaitu fungsi lembaga yang disadari dan di akui oleh
seluruh masyarakat.
2) Fungsi Laten atau fungsi terselubung, Yaitu fungsi lembaga sosial yang tidak di sadari
atau bahkan tidak di kehendaki atau jika di ikuti dianggap sebagai hasil sampingan dan
biasanya tidak dapat diramalkan.

E. Tujuan Lembaga Sosial


Menurut Kontjaraningrat, tujuan lembaga sosial adalah:
1) Lembaga sosial yang memenuhi kebutuhan sosial dan kekerabatan (domestic institution)
Contoh: perkawinan, keluarga dan pengasuhan anak.
2) Lembaga sosial yang berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian
hidup, memproduksi, menimbun, dan memdistribusikan barang. Contoh: pertanian,
perikanan, perternakan, koprasi dan perdagangan.
3) Lembaga sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan pendidikan. Contohnya, SD, SMP,
SMA, perguruan tingi, tempat-tempat kursus, dan pesantren.
4) Lembaga sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manuaia (scientific
institution) Contohnya: ilmu pengetahuan, metode ilmiah, dan penelitian.
5) Lembaga sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan rohani atau batin dalam dalam
menyatakan rasa keindahan dan kreasi.
6) Lembaga sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan (religious institution), contoh: pura, mesjid, gereja, mecaru, odalan,
mekarya, tahlilan, kebaktian dan sebagainya.
7) sosial yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan untk mengatur kehidupan berkelompok
serta bernegara (political institution) contoh: pemerintahan, kepolisian, kehakiman, dan
partai politik.
8) Lemaga sosial uyang bertujuan mengurus kebutuhan jasmani manusia (somatic
institution) contoh: pemeliharaan kesehatan, kecantikan, dan kedokteran.

F. Proses Pertumbuhan Lembaga Social


Timbulnya institusi social dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :
1. Secara Tidak Terencana.
Secara tidak terencana maksudnya adalah institusi itu lahir secara bertahap dalam
kehidupan masyarakat, biasanya hal ini terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada
masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang
sangat penting. Contohnya adalah dalam kehidupan ekonomi , dimasa lalu , untuk
memperoleh suatu barang orang menggunakan system barter , namun karena dianggap
sudah tidak efisien dan menyulitkan , maka dibuatlah uang sebagai alat pembayaran
yang diakui masyarakat, hingga muncul lembaga ekonomi seperti bank dan sebagainya
2. Secara Terencana
Secara terencana maksudnya adalah institusi muncul melalui suatu proses perncanaan
yang matang yang diatur oleh seseorang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan
dan wewenang. Contohnya lembaga transmigrasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai
cara untuk mengatasi permasalahan kepadatan penduduk. Singkat kata bahwa proses
terbentuknya lembaga social berawal dari individu yang saling membutuhkan . Saling
membutuhkan ini berjalan dengan baik kemudian timbul aturan yang disebut norma
kemasyarakatan. Norma kemasyarakatan dapat berjalan baik apabila terbentuk lembaga
social.
G. Peranan Lembaga Sosial
Lembaga berkembang berangsur-angsur dari kehidupan manusia. Bila kegiatan penting
tertentu dibakukan, dirutinkan, diharapkan, dan disetujui, maka perilaku itu telah melembaga.
Pelembagaan (institutionalization) terdiri dari penetapan norma-norma yang pasti menentukan
posisi status dan fungsi peranan untuk perilaku. Seperangkat hubungan sosial melembaga apabila
sudah dikembangkan suatu sistem yang teratur tentang status dan peran, serta sistem harapan
status dan peran sudah umum dimasyarakat.
Peran yang dilembagakan adalah seperangkat harapan perilaku yang membatasi kebebasan
seseorang untuk memilih. Peran yang melembaga adalah peran yang telah dibakukan, disetujui,
dan diharapkan, biasanya dipenuhi dengan sungguh-sungguh dapat dirasakan, lepas dari siapa
orang yang mengisi peran itu.

Lembaga-Lembaga Sosial Dasar


Lembaga sosial memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat yaitu sebagai sarana
untuk mencapai tujuan dalam pemenuhan kebutuhan. Ada lima lembaga dasar yang penting
dalam masyarakat yang kompleks, yaitu lembaga keluarga, keagamaan, pemerintahan (politik),
perekonomian, dan pendidikan

1. Lembaga Keluarga
Keluarga adalah unit social yang terkecil dalam masyarakat. Dan juga institusi pertama
yang dimasuki seorang manusia ketika dilahirkan. Keluarga merupakan kelompok
terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan atau tanpa anak
(keluarga batih). Individu yang baru lahir ke dunia tidak dapat langsung terjun atau
berinteraksi ke masyarakat. Berinteraksi dengan orang-orang terdekat atau keluarga
merupakan sebuah permulaan. Terdapat pembedaan tipe keluarga, yaitu kelurga
orientasi dan prokreasi. Keluarga orientasi adalah keluarga yang di dalamnya seseorang
dilahirkan, sedangkan keluarga prokreasi adalah keluarga yang dibentuk seseorang
dengan jalan menikah dan mempunyai keturunan. Keluarga juga dibedakan lagi menjadi
kelurga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih itu
sendiri hanya terdiri dari ayah, ibu dan atau tanpa anak, sedangkan keluarga luas terdiri
dari keluarga batih ditambah nenek, kakek, paman, bibi, sepupu, dan sebagainya. Dalam
membentuk keluarga, kita harus melalui yang namanya perkawinan, yaitu pola sosial
yang disetujui dengan dua atau lebih untuk membangun keluarga. Perkawinan sendiri
terdapat dua macam, yaitu endogami dan eksogami. Endogami adalah perkawinan antara
laki-laki dan perempuan yang berasal dari satu atau dalam kelompok yang sama.
Sedangkan eksogami yaitu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari kelompok
yang berbeda atau salah salah satu mempelai berasal dari luar kelompok masyarakat
tersebut.

Proses terbentuknya Keluarga. Pada umumnya keluarga terbentuk melalui perkawinan


yang sah menurut agama, adat atau pemerintah dengan proses seperti dibawah ini :
a. Diawali dengan adnya interaksi antara pria dan wanita
b. Interaksi dilakukan berulang-ulang, lalu menjadi hubungan social yang lebih intim
sehingga terjadi proses perkawinan.
c. Setelah terjadi perkawinan, terbentuklah keturunan , kemudian terbentuklah keluarga
inti

Fungsi keluarga:
a. Fungsi Reproduksi artinya dalam keluarga anak-anak merupakan wujud dari cinta kasih
dan tanggung jawab suami istri meneruskan keturunannya.
b. Fungsi sosialisasi artinya bahwa keluarga berperan dalam membentuk kepribadian anak
agar sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakatnya. Keluarga sebagai wahana
sosialisasi primer harus mampu menerapakan nilai dan norma masyarakat melalui
keteladanan orang tua
c. Fungsi afeksi artinya didalam keluarga diperlukan kehangatan rasa kasih saying dan
perhatian antar anggota keluarga yang merupakan salah satu kebutuhan manusia sebagai
makluk berpikir dan bermoral (kebutuhan integratif) apabila anak kurang atau tidak
mendapatkannya , kemungkinan ia sulit untuk dikendalikan nakal, bahkan dapat terjerumus
dalam kejahatan.
d. Fungsi ekonomi artinya bahwa keluarga terutama orang tua mempunyai kewajiban
ekonomi seluaruh keluarganya . Ibu sebagai sekretaris suami didalam keluarga harus mampu
mengolah keuangan sehingga kebutuahan dalam rumah tangganya dapat dicukupi.
e. Fungsi pengawasan social artinya bahwa setiap anggota keluarga pada dasarnya saling
melakukan control atau pengawasan karena mereka memiliki rasa tanggung jawab dalam
menjaga nama baik keluarga .
f. Fungsi proteksi (perlindungan) artinya fungsi perlindungan sangat diperlukan keluarga
terutma anak , sehigngga anak akan merasa aman hidup ditengah-tengah keluarganya. Ia
akan merasa terlindungi dari berbagai ancaman fisik mapun mental yang dating dari dalam
keluarga maupun dari luar keluarganya.
g. Fungsi pemberian status artinya bahwa melalui perkawinan seseorang akan mendapatkan
status atau kedudukan yang baru di masyarakat yaitu suami atau istri. Secara otomatis
mereka akan diperlakukan sebagai orang yang telah dewasa dan mampu bertanggung jawab
kepada diri, keluarga, anak-anak dan masyarakatnya.

2. Lembaga Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan
pendidikan, kita sebagai makhluk yang berakal akan mengetahui hal-hal yang belum
pernah diketahui. Awalnya fungsi lembaga pendidikan dijalankan sendiri oleh keluarga
mengenai pengajaran nilai, norma dan berbagai macam pengetahuan di dunia luar.
Dalam masyarakat yang masih sederhana, pengajaran hanya sebatas memberikan
pengetahuan mengenai cara bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan pokok, seperti
pengajaran mengenai cara bercocok tanam atau bagaimana meramu makanan. Seiring
dengan perkembangan zaman, keluarga mulai menyerahkan fungsi lembaga pendidikan
pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Keluarga sendiri masih
melaksanakan fungsi tersebut walaupun hanya mengenai hal-hal yang mendasar, seperti
cara makan, bertutur kata yang baik pada orang lain, karena keluarga sendiri
merupakan lembaga pendidikan informal.

Fungsi manifest pendidikan


a. membantu orang untuk mencari nafkah.
b. menolong mengembangkan potensinya demi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
c. Melestarikan kebudayaan dengan cara mengajarkannya dari generasi kegenerasi
berikutnya.
d. Merangsang partisipasi demokrasi melalui pengajaran ketrampilan berbicara dan
mengembangkan cara berpikir rasional
e. Meperkaya kehidupan dengan cara menciptakan kemungkainan untuk
berkembangnya cakrawala intelektual dan cinta rasa keindahan.
f. Meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri melalui bimbingan pribadi dan
berbagai kursus
g. Meningkatkan taraf kesehatan para pemuda bangsa melalui latihan dan olahraga.
h. Menciptakan warga Negara yang patreotik melalui pelajaran yang
menggambarkan kejayaan bangsa.
i. Membentuk kepribadian yaitu susunan unsur dan jiwa yang menentukan
perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu.

Fungsi laten lembaga pendidikan. Fungsi ini berkaitan dengan fungsi lembaga pendidikan
secara tersembunyi yaitu menciptakan atau melahirkan kedewasaan peserta didik Sedangkan
fungsi laten lembaga pendidikan adalah :
a. mengurangi pengendalian orang tua melalui pendidikan sekolah orang tua melimoahkan
tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah
b. menyediakan saranan untuk pembangkangan , Sekolah mempunyai potensi untuk
menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya
perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya
pendidikan seks dan sikap terbuka.
c. mempertahankan system kelas social . Pendidikan sekolah diharapkan dapat
mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise ,
privilese, dan status yang ada dalam masyarakat.
d. memperpanjang masa remaja . Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa
dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
3. Lembaga Ekonomi
Tujuan dan funsi lembaga ekonomi
Pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga ekonomi adalah terpenuhinya
kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup masyarakat.
Fungsinya dari lembaga ekonomi adalah :
a. memberi pedoman untuk mendapatkan bahan pangan
b. memberikan pedoman untuk melakukan pertukaran barang/barter
c. memberi pedoman tentang harga jual beli barang
d. memberi pedoman untuk menggunakan tenaga kerja
e. memberikan pedoman tentang cara pengupahan
f. memberikan pedoman tentang cara pemutusan hubungan kerja
g. memberi identitas bagi masyarakat

Struktur lembaga ekonomi


Secara sederhana, lembaga ekonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. sector agraris yang meliputi sector pertanian, seperti sawah, perladangan, perikanan, dan
pertenakan.(Gathering/pengumpulan) yaitu proses pengumpulan barang atau sumberdaya
alam dari lingkungannya.
b. sector industri ditandai dengan kegiatan produksi barang.(production)
c. sector perdagangan merupakan aktifitas penyaluran barang dari produsen ke konsumen
{Distributing) yaitu proses pembagian barang dan komonditas pada subsistem-subsistem
lainnya.

Ada beberapa unsur lembaga ekonomi :


a. Pola perilaku : efisiensi, penghematan, profesionalisme, mencari keuntungan
b. Budaya simbolis : merk dagang, hak paten, slogan , lagu komersial
c. Budaya manfaat : took, pabrik,pasar, kantor, balngko, formulir.
d. Kode spesialisasi : kontrak, lesensi, kontrak monopoli, akte perusahaan
e. Ideologi : liberalisme, tanggungjawab ,manajerial, kebebasan beryusaha, hak buruh.
4. Lembaga Agama
Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan bahwa kepercayaan serta praktik
tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral.
Sedangkan menurut Hertzler, agama sebagai suatu kompleks konsepsi, sikap-sikap dan
teknik-teknik yang oleh manusia dianut untuk dapat menafsirkan rahasia dunia semesta dan
kehidupannya, serta menyesuaikan diri kepadanya.
Lembaga agama adalah seperangkat aturan tentang hubungan manusia dengan Tuhan,
dengan manusia lainnya juga dengan lingkungannya. Manusia beragama karena merasakan
ketidakpastian menghadapi sesuatu yang tidak menentu, keterbatasan menunndukkan tantangan
dan ketidakmampuan memenuhi keinginan. Semua itu membuat manusia beragama agar
mencapai ketenteraman dalam batinnya dan memenuhi akan kebutuhan rohaninya.

Lembaga agama pun memeiliki beberapa unsur, yaitu:


1.kepercayaan agama mengenai apa yang diyakini mengenai adi kodrati.
2.simbol agama yang berupa lambang atau simbol yang menunjukkan agama tersebut.
3.praktik agama seperti halnya ritual peribadatan, seperti sholat bagi umat Islam, misa yang
dilakukan umat Kristen, dan lain sebagainya.
4.umat beragama, yaitu orang-orang yang memeluk atau pengikut agama.Pengalaman
beragama dan panggilan agama.

Fungsi lembaga agama meliputi:


1. mempersatukan komunitas dengan semangat persaudaraan.
2. peningkatan kohesi dan solidaritas sosial.
3. menerapkan ajaran yang diperkenankan agama.
4. memberikan penafsiaran-penafsiran untuk membantu menjelaskan keadaan linkungan fisik
dan sosial seseorang.

Aspek-aspek agama antara lain : doktrin, yaitu pola keyakinan yang menetukan sifat
hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam; Ritual yang melambangkan
doktrin dan yang mengingatkan manusia pada doktrin tersebut; dan seperangkat norma perilaku
yang konsisten dengan doktrin tersebut.

5. Lembaga politik
Menurut Kornblum, lembaga politik adalah seperangkat aturan-aturan dan status yang
mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang. Contoh dari lembaga utama di
bidang politik yang diajukannya ialah eksekutif, legilatif, yudikatif, mliter, keamanan nasional,
dan partai politik.
Sedangkan menurut Surbakti, lembaga politik adalah pranata yang yang memegang
monopoli penggunanaan paksaan fisik dalam suatu wilayah tertentu.

Karakteristik lembaga politik meliputi: adanya komunitas manusia yang secara sosial hidup
bersama atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, adanya asosiasi atau pemerintah yang
aktif, asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fumgsi untuk kepentingan umum, dan asosiasi
tersebut diberi kewenangan jangkauannya hanya dalam teritorial tertentu.
Fungsi-fungsi lembaga politik yaitu:
a. fungsi pemaksaan norma (enforcement norms)
b. fungsi merencanakan dan mengerahkan (planning and direction)
c. fungsi menengahi pertentangan kepentigan (arbitration of conflicting interest)
d. fungsi melindungi masyarakat dari serangan musuh dari luar.
BAB V
STRATAFIKASI SOSIAL

1. Pendahuluan

Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang
menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu tidak semata-
mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan (bisa berupa gagasan, nilai, norma,
aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam masyarakat karena mereka menganggap
bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini
akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi
bentuknya mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka
menempatkannya.
Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti Sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya : strata) yang berarti
lapisan; stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau measyarakat kedalam kelas-kelas
secara bertingkat (hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit
yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang
sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang
terhormat.
Seorang sosiolog, Pitirin A. Sorokin (1957) mengatakan bahwa sistem berlapis itu
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa
yang memiliki sesuatu yang berharga itu dalam jumlah yang sangat banyak, suatu keadaan tidak
semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit orang yang bisa, dianggap oleh masyarakat
berkedudukan tinggi atau ditempatkan pada lapisan atas masyarakat; dan mereka yang hanya
sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Atau ditempatkan pada lapisan bawah
masyarakat. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya secara langsung menunjuk
pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial
dan perbedaan pengaruh di antara anggota-anggota masyarakat.
Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk
organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat dengan kehidupan
yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan
antara pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, atau perbedaan
berdasarkan kekayaan. Seorang ahli filsafat, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa dalam tiap-
tiap negara terdapat tiga unsur ukuran kedudukan manusia dalam masyarakat, yaitu mereka yang
kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Sedangkan
pada masyarakat yang relatif kompleks dan maju tingkat kehidupannya, maka semakin kompleks
pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat itu, keadaan ini mudah untuk dimengerti karena
jumlah manusia yang semakin banyak maka kedudukan (pembagian tugas-kerja), hak-hak,
kewajiban, serta tanggung jawab sosial menjadi semakin kompleks pula.

2. Dasar Timbulnya Pelapisan Sosial


Telah kita ketahui sebelumnya bahwa dasar pokok timbulnya sistem pelapisan dalam
masyarakat itu karena adanya sistem penilaian atau penghargaan terhadap berbagai hal dalam
masyarakat tersebut; berkenaan dengan potensi, kapasitas atau kemampuan manusia yang tidak
sama satu dengan yang lain, dengan sendirinya sesuatu yang dianggap bernilai atau berharga itu
juga menjadi keadaan yang langka, orang akan senantiasa meraih penghargaan itu dengan sekuat
tenaga baik melalui persaingan bahkan tidak jarang dengan melalui konflik fisik.
Fenomena kekuasaan misalnya, hampir semua orang memiliki dorongan untuk berkuasa
baik untuk kelompok skala kecil sampai skala besar, tetapi tidak bisa semua orang bisa menjadi
penguasa; ada mekanisme pengaturan dalam masyarakat tentang kekuasaan ini, setiap
masyarakat atau bahkan kelompok pasti mempunyai ukuran tentang idealisme diberadakannya
unsur penguasaan dalam masyarakat atau kelompoknya, sekurangnya penguasa ini dianggap
sebagai simbol atau figur yang dapat memimpin, mengatur, atau mewakili aspirasi kelompok.
Tidak mungkin simbol atau figur ini di bagi rata pada setiap anggota kelompok, orang akan
mempercayakan kekuasaan ini sekurangnya pada satu orang atau bahkan beberapa orang yang
dianggap dapat memimpin orang banyak; tentang bagaimana prosesnya sehingga penguasaan itu
ada pada kelompok atau masyarakat, apakah melalui pemilihan atau melalui unsur paksaan, itu
persoalan lain.

Dalam masyarakat yang kompleks, agaknya tidak efektif lagi bila kekuasaan itu pada satu
tangan, kekuasaan pada keadaan ini mulai disebar pada individu-individu sesuai dengan
kemampuan, potensi, keterampilan dan pengalaman masing-masing; hanya tetap saja koordinasi
ada pada satu tangan.
Sekurangnya ada dua proses timbulnya pelapisan dalam masyarakat itu; pertama, terjadi
dengan sendirinya, dan ke-dua sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Proses yang pertama, pelapisan sosial itu terjadi karena tingkat umur (age stratification),
dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda; untuk masyarakat-masyarakat tertentu, ada keistimewaan dari seorang
anak sulung dimana dengan nilai-nilai sosial yang berlaku mereka mendapat prioritas dalam
pewarisan atau kekuasaan. Azas senioritas yang ada dalam sistem pelapisan ini dijumpai pula
dalam bidang pekerjaan, agaknya ada hubungan yang erat antara usia seorang karyawan dengan
pangkat atau kedudukan yang ditempatinya. Initerjadi karena dalam organisasi tersebut pada
asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka
waktu tertentu – misalnya dua tahun, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya
dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena
dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk
mengisinya ialah mereka yang dianggap paling senior.
Walaupun tidak mutlak benar, faktor kepandaian atau kecerdasan (intellegentsia) pada
umumnya masing dipakai sebagai tolok ukur untuk membedakan orang dengan orang lainnya;
dikatakan tidak mutlak benar, karena dalam penelitian modern ternyata faktor kecerdasan ini
tidak sekedar hanya bisa dibangkitkan, dikembangkan bahkan juga bisa ditingkatkan yaitu
dengan melalui latihan-latihan tertentu sehingga kedua belah bagian otak kiri dan kanan
terangsang untuk berfikir, kreatif secara benar.
Faktor kepandaian atau kecerdasan (Intellegentsia) seolah-olah memilah kelompok
sekurangnya menjadi dua, yaitu orang-orang yang dianggap mempunyai kepandaian yang lebih
dan orang-orang yang berkepandaian kurang, dalam istilah sehari-hari orang-orang yang kurang
pandai ini dikatakan sebagai orang yang ‘susah mengingat-gampang lupa’. Kepandaian disini
harus dibedakan dengan keterampilan, ada orang pandai tetapi tidak terampil, ada orang yang
terampil tetapi tidak pandai, ada orang yang tidak pandai tetapi tidak terampil dan yang paling
baik adalah orang yang pandai tetapi juga terampil.
Faktor ketidak sengajaan lainnya adalah kekerabatan, maksud kekerabatan disini adalah
kedudukan orang perorangan terhadap kedekatannya dengan sumber kekerabatan itu.
Biasanya faktor kekerabatan disini berhubungan dengan kedudukan dalam keluarga atau
menyangkut sistem pewarisan. Semakin jauh hubungan kerabatnya maka semakin kecil
kesempatan seseorang untuk menempati kedudukan tertentu dalam keluarga atau bahkan
semakin kecil pula kesempatannya untuk memperoleh seperangkat fasilitas yang diwariskan oleh
keluarganya. Tidak seluruh anggota keluarga dapat menjadi ketua adat pada salah satu keluarga
Batak Toba misalnya, selama individu tersebut tidak memiliki akses kuat dalam keluarga yang
bersangkutan, atau misalnya yang berlaku pada kelompok Dayak Iban di Kalimantan, atau
banyak lagi kelompok-kelompok yang tersebar di belahan bumi Indonesia dengan orientasi
kekerabatan yang masih kuat.
Bentuk lain dari sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya adalah gender,
fenomena ini walaupun tidak mutlak menentukan suatu pelapisan namun dalam beberapa hal
juga menunjuk pada sistem itu. Sistem pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan
kecenderungan bahwa laki-laki berhak mewarisi lebih dari perempuan; atau dalam bidang
pekerjaan, khususnya pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki
terasa lebih kental dibandingkan dengan perempuan, partisipasi perempuan dalam dunia kerja
relatif lebih terbatas; dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih
banyak terdapat di strata yang lebih rendah, dan sering menerima upah atau gaji yang lebih
rendah dari laki-laki.
Proses yang ke-dua, yaitu sistem pelapisan yang sengaja disusun untuk mengejar suatu
tujuan bersama, disamping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh, anggota
masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan
berbagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya adalah stratifikasi berdasarkan pendidikan
(educational stratification); bahwa hak dan kewajiban warga negara sering dibeda-bedakan atas
dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.
Sistem stratifikasi yang lain yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ialah
stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal
berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan antara
manager serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, buruh; antara tamtama, bintara,perwira
pertama, perwira menengah, perwira tinggi.; Kepala dinas, kepala bagian, kepala seksi, kepala
koordinator dan sebagainya.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga masyarakat
berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari.
Dalam kaitan ini kita mengenal, antara lain, perbedaan warga masyarakat berdasarkan
penghasilan dan kekayaan merekamenjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam
masyarakat kitaterdapat sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum
manusia untuk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula
warga yang seluruh kekayaan pribadinya bernilai puluhan miliar bahkan ratusan miliar rupiah.
Di kalangan petani di pedesaan, kita menjumpai beberapa perbedaan antara petani pemilik tanah,
petani penggarap dan buruh tani, yang mana masing-masing strata itu memiliki cara hidup
tersendiri sesuai dengan kedudukan (ekonomi) nya dalam masyarakat.
Seperti yang telah diuaraikansebelumnya, bahwa ada pula sistem stratifikasi sosial yang
dengan sengaja disusu unutk mengejar tujuan bersama; hal itu biasanya dilakukan terhadap
pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formil, seperti
misalnya pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata, atau perkumpulan.
Kekuasaan dan wewenang itu merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan dalam
masyarakat, unsur mana mempunyai sifat yang lain daripada uang, tanah, dan sebagainya dapat
terbagi secara bebas di antara anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat itu.

3. Tolok Ukur
kalau kita mempelajari secara umum, sistem pelapisan sosial terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu bagian lapisan atas yang terdiri dari individu-individu yang memiliki lebih hal-hal yang
bernilai atau berharga dalam masyarakat; kedudukannya ini bersifat kumulatif dalam arti mereka
yang memiliki uang banyak misalnya, akan mudah sekali untuk mendapatkan tanah, kekuasaan
atau mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-
golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tersebut adalah sebagai berikut
:
8. Ukuran kekayaan; ukuran ini dapat berupa kebendaan, barang siapa yang memiliki
kekayaan palingbanyak, orang-orang itu termasuk lapisan paling atas; kekayaan tersebut,
misalnya dapat dilihat dari tempat tinggal, besarnya tempat tinggal, kendaraan-
kendaraan, pkaian-pakaiannya yang dikenakan, kebiasaanya dalam mencukupu
kebutuhan rumah tangga, yang semuanya itu dianggap sebagai status simbol atau
lambang-lambang kedudukan seseorang yang membedakannya dengan orang
kebanyakan,
9. Ukuran kekuasaan; barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai
wewenang terbesar, maka orang atau orang-orang itu menenmpati lapisan tertinggi dalam
masyarakat.
10. Ukuran kehormatan; ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan
kekuasaan, ukuran secamam ini biasanya hidup pada bentuk-bentuk masyarakat yang
masih tradisional, orang-orang yang bersangkutan adalah individu yang dianggap atau
pernah berjasa besar dalam masyarakat; orang atau orang-orang yang paling dihormati
atau yang disegani, ada dalam lapisan atas.
11. Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat-masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan. Aka tetapi ada kalanya ukuran tersebut
menyebabkan akibat-akibat yang negatif, oleh karena kemudian ternyata bahwa bukan
mutu ilmu pengertahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya; sudah
tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut,
walau melalui mekanisme yang tidak benar.
Ukuran-ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif, oleh karena masih ada ukuran-
ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran itu adalah aspek yang
menonjol sebagai dasar timbulnya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Pada beberapa
masyarakat tradisionil di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap menduduki
lapisan tertinggi; misalnya di Jawa, kerabat dan keturunan pembuka tanahlah yang dianggap oleh
masyarakat desa sebagai kelas tertinggi dalam masyarakat. Kemudian menyusul para pemilik
tanah, walaupun mereka bukan keturunan pembuka tanah; mereka di sebut pribumi, sikep atau
kuli kenceng. Lalu menyusul mereka yang hanya mempunyai rumah atau pekarangan saja
(golongan ini di sebut kuli gundul, lindungatau indung), dan akhirnya kelompok mereka
yanghanya menumpang saja pada tanah milik orang lain.
Lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat biasa disebut sebagai ‘elite’ masyarakat, bisa
mencakup individu atau segolongan kecil yang mengendalikan masyarakat banyak; jadi disini
yang pokok adalah nilai anggotanya. Keadaan ini dapat dijumpai pada setiap masyarakat, dan
dianggap sebagai hal yang wajar, walaupun kadang-kadang tidak disukai oleh lapisan-lapisan
lainnya, apalagi bila pengendaliannya tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyartakat
umum.
Satu hal lagi berkenaan yang perlu diperhatikan dalam tolok ukur ini, bahwa ukuran-
ukuran itu memiliki keberadaan ganda, satu sisi ukuran itu bisa berdiri sendiri, danpada sisi lain
ukuran itu bisa saling melengkapi (komplementer). Dalam banyak keadaan seseorang atau
segolongan kecil tersebut bisa memiliki lebih dari satu ukuran; seorang pimpinan masyarakat,
berarti dia yang memegang kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam masyarakat, bisa juga
sebagai orang yang paling dihormati dalam masyarakat tersebu; atau bisa saja, selain dari aspek
kekuasaan dan kehormatan tadi, dia adalah seorang intelektual (ilmu pengetahuan) yang
kebetulan memiliki aset material (kekayaan) terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan
.

4. Bentuk-Bentuk Pelapisan Sosial

Dalam sosiologi, sistem pelapisan masyarakat ini sekurangnya menggambarkan dua


bentuk, yaitu stratifikasi sosial tertutup (closed stratification) dan stratifikasi sosial terbuka (open
social stratification). Menurut J. Milton Yinger (1966), secara teoritis, keterbukaan suatu sistem
stratifikasi diukur oleh mudah-tidaknya dan sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status
tertentu memperoleh status dalam strata yang lebih tinggi, setiap anggota masyarakat dapat
menduduki status yang berbeda dengan status orang tuanya, bisa lebih tinggi bisa lebih rendah;
sedangkan stratifikasi sosial yang tertutup ditandakan dengan keadaan manakala setiap anggota
masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orang tuanya.
Dalam sistem pelapisan yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka
yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan bawahnya. Pada umumnya
pelapisan terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat
untuk memperkembangkan kecakapannya, dan karena itu, maka sistem tersebut lebih sesuai
untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup.
Dalam sistem pelapisan yang tertutup, kedudukan orang-perorangan ditentukan oleh
kelahirannya; seorang Charles di negeri Inggris adalah seorang pangeran dan calon raja Inggris,
dan dia ada seperti itu karena orang tuanya adalah ratu Inggris. Dalam batas-batas tertentu,
sistem pelapisan tertutup juga ditemukan pada masyarakat Bali. Menurut kitab suci orang Bali
masyarakat terbagi dalam empat lapisan, yaitu Brahmana, Satria, Vaicya dan Sudra. Ketiga
lapisan pertama disebut ‘triwangsa’sedangkan lapisan terakhir disebut ‘jaba’ yang merupakan
lapisan dengan jumlah warga terbanyak di antaramasyarakat Bali. Keempat lapisan itu terbagi
lagi lapisan-lapisan khusus; biasanya orang-orang dapat dikenali dari kasta mana dia berasal
dilihat dari gelar yang mengikutinya, gelar-gelar mana diwariskan menurut garis keturunan laki-
laki yang sefihak patrilineal , adalah Ida Bagus sebagai gelar yang menunjukkan gelar orang
Brahmana; Tjokorda, Dewa , Ngahan, Bagus, sebagai gelar yang menunjukkan gelar orang
Satria; I Gusti, Gusti, merupakan gelar bagi orang Vaicya. Orang-orang Sudra juga memakai
gelar seperti Pande, Kbon, Pasek, dan selanjutnya yang dahulu kala berhubungan erat dengan
pekerjaan orang-orang yang memakai gelar yang bersangkutan. Walaupun gelar-gelaritu tidak
memisahkan golongan-golongan secara ketat, akan tetapi sangata pentingbagi sopan santun
pergaulan. Di samping itu hukum adat juga menetapkan hak-hak bagi si pemakai gelar, misalnya
dalam memakai tanda-tanda, perhiasan-perhiasan, pakaian tertentu dan lain-lain. Kehidupan
sistem kasta di Bali tersebut umumnya tampak jelas dalam hubungan perkawinan; terutama
seorang gadis dari suatyu kasta tertentu, pada umumnya dilarang untuk bersuamikan seseorang
dari kasta yang lebih rendah.
Dalam kenyataannya ternyata agak sukar menemukan bentuk masyarakat yang sistem
pelapisannya benar-benar tertutup ataupun benar-benar terbuka. Dalam satu penelitiannya,
Yinger memperkirakan bahwa dalam bentuk masyarakat yang paling terbuka, yaitu masyarakat
industri modern, hanya sepertiga anggota masyarakat yang statusnya lebih tinggi atau lebih
rendah dari orang tuanya, sedangkan dupertiganya adalah sama; keadaan ini sebenarnya bisa
mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang ditanam orang tua terhadap diri anak-anak mereka
masih dijadikan sebagai suatu ukuran kehidupan, mereka masih mengidentifikasikan diri
terhadap segala gagasan, sikap, dan tindakan orang tuanya, walaupun mungkin prosesnya
berlangsung tanpa secara disadari.
Kita mengenal sistem sosial yang berlaku di India adalah berdasarkan kasta, yang
mengacu pada sistem pelapisan tertutup; Seorang tokoh sosiologi India, M. N. Srinivas, (1952)
menguraikan bahwa sistem kasta di India (yang diberi nama varna) sebenarnya terdiri atas
ribuan jati, suatu kelompok endogen yang mempraktekan suatu pekerjaan tradisional dan
mempunyai otonomi tertentu dalam bidang budaya, ritual, dan hukum. Srinivas mengamati
bahwa kadangkala hubungan hipergami antar kasta dimungkinkan, walaupun itu selalu terwujud
dalam pernikahan seorang laki-laki dari kasta yang lebih tinggi dengan seorang perempuan dari
kasta lebih rendah dan tidak sebaliknya. Srinivas pun menguraikan bahwa suatu kelompok kasta
rendah sering dapat pindah status ke kasta lebih tinggi dengan jalan meniru gaya kasta yang
lebih tinggi itu, suatu proses yang oleh Srinivas disebut sebagai sanskritization , meskipun
proses ini terjadi dalam beberapa generasi. Adanya proses sanskritization ini sudah merupakan
indikasi bahwa warga kasta lebih rendah tidak selalu menerima status mereka yang rendah.

5. unsur-unsur penting dalam sistem pelapisan sosial


Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang
mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat,
adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan
unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem
sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang
mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan
masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal
balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena
keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan
individu –individu termaksud. Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang
kedudukan dan peranan ini akan dibicarakan tersendiri di bawah ini.

5.1. Kedudukan (status)

Kadang-kadang dibedakan antara pengertian-pengertian ‘kedudukan’ (status), dengan


‘kedudukan sosial’ (social status); kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang
dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok tersebut
atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam
kelompok yang lebih besar lagi. Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Kedudukan sosial tidaklah semata-mata
berarti kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok-kelompok yang berbeda,
akan tetapi kedudukan-kedudukan sosial tersebut mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam
kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Untuk lebih mudah mendapatkan pengertian, kedua
istilah tersebut di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan istilah
‘kedudukan’ (status) saja.

Kedudukan, sebagaimana lazim dipergunakan, mempunyai dua arti :


2. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu; dengan
demikian seseroang dikatakan memiliki beberapa kedudukan, oleh karena seseorang
biasanya ikut serta dalam berbagai pola-pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan
tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh.
3. Apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, kedudukan hanya merupakan kumpulan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban termaksud hanya dapat terlaksana melalui perantaraan
individu-individu, maka agak sukar untuk memisahkannya secara tegas dan kaku. Hubungan
antara individu dengan kedudukan, dapat diibaratkan sebagai hubungan pengemudi mobil
dengan tempat atau kedudukan si pengemudi dengan mesin mobil tersebut; tempat
mengemudi dengan mesin mobil tersebut; tempat mengemudi dengan segala alat untuk
menjalankan mobil adalah alat-alat tetap yang penting untuk menjalankan serta
mengendalikan mobil tersebut, pengemudi dapat berganti-ganti, yang mungkin akan dapat
menjalankannya dengan lebih baik, atau bahkan lebih buruk.

Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :


1. Ascribe status,
Yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
rohaniah dan kemampuan; kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada umumnya
ascribe status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem pelapisan yang tertutup, atau
masyarakat dimana sistem pelapisannya tergantung pada perbedaan rasil. Namun demikian,
ascribe status juga ditemukan pada bentuk-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang
terbuka; misalnya kedudukan laki-laki dalam satu keluarga, kedudukannya berbeda dengan
kedudukan istri atau anak-anaknya; ascribe status disini walaupun tidak diperoleh atasdasar
kelahiran, akan tetapi pada umumnya sang ayah atau suami adalah kepala keluarga batihnya.
Untuk menjadi kepala keluarga batih tersebut, laki-laki tidak perlu mempunyai darah bangsawan
atau kasta tertentu, sosok seorang ayah tetap saja sebagi kepala rumah tangga.

2. Achieved Status

Adalah kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha yang disengaja; kedudukan ini tidak
diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja hal mana tergantung
dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya; seseorang
yang ingin menjadi pemain bulu tangkis yang handal, tentunya harus berlatih bulu tangkis
dengan tekun, seseroang yang ingin menjadi dokter, tentunya harus belajar kedokteran.
Kecenderungan tercapainya achieved status ini bisanya ditemukan dalam bentuk-bentuk
masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka, hal ini bisa terjadi karena nilai-nilai dalam
masyarakat memungkinkan untuk berlakunya tindakan-tindakan seperti itu. Anak seorang Rudy
Hartono belum tentu akan menjadi pemain bulu tangkis yang handal, walaupun kalau hanya
untuk sekedar menjadi juara RT mungkin bisa, sedangkan orang tua Rudi Hartono mungkin
seorang pebulu tangkis tetapi prestasinya tidak sehebat anaknya.

3. Assigned Status

Satu bentuk kedudukan yang mempunyai hubungan erat dengan achieved status,yaitu kedudukan
yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau
masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa,
yang telah memperjuangkan sesuatuuntuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama
menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar
yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas
kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar
tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau
‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak
dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya
mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping
itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.
Telah kita fahami bahwa manusia itu hidup berkelompok, kalau mengacu pada teori Van
der Zanden (1979), seorang individu bisa diidentifikasikan sebagai anggota ketegori statistik,
kategori sosial, kelompok sosial, asosiasi, dan kerumunan, belum lagi bila dilihat dari aspek
kepentingan maka seorang manusia itu bisa termasuk dalam beberapa kelompok kepentingan.
Berkenaan dengan keberadaannya dalam kelompok-kelompok, maka tentu setiap orang tidak
akan luput dari kedudukan-kedudukannya baik dalam lingkup persekutuan hidup yang kecil
maupun dalam lingkup masyarakat yang lebih besar. Seorang bapak guru misalnya, selain
kedudukannya sebagai guru dia juga termasuk kategori laki-laki dewasa, dia juga adalah anak
dari kedua orang tuanya, mungkin juga selain guru dia dipercaya untuk mengelola urusan
koperasi sekolah, atau mungkin juga dia aktif sebagai pengurus PGRI, atau mungkin juga dia
sebagi ayah bagi anak-anaknya sekaligus sebagai suami dari istrinya, dan sebagainya.
Ada kalanya dari seperangkat kedudukan seseorang dalam masyarakat terjadi
pertentangan-pertentangan berkaitan dengan kedudukannya itu, keadaan mana dalam istilah
sosiologi disebut sebagai status konflik . misalnya bapak guru seperti di atas tadi, yang pada
suatu saat harus menghukum seorang siswa yang melanggar aturan sekolah, dimana siswa
tersebut adalah puteranya sendiri, atau seorang jaksa yagng harus menuntut anaknya sendiri
karena melakukan tindak pidana, atau seorang petugas pajak yang harus memungut pajak
penghasilannya sendiri. Konflik antar kedudukan-kedudukan tersebut tidak bisa dihindari
berhubung kepentingan-kepentingan individu tidak selalu sesuai atau sejalan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakatnya, sehinggasering kali sulit bagi individu tersebut untuk
mengatasinya dengan benar.
Kedudukan macam mana yang dimiliki seseorang atau kedudukan apa yang melekat
padanya, dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu, yang dalam ilmu
sosiologi dinamakan status symbol; ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian dari
hidupnya. Ada beberapa ciri tertentu yang dianggap sebagai status symbol, misalnya cara
berpakaian, pergaulan, cara-cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal,
berkendaraan, rekreasi, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang membedakannya dengan orang-
orang kebanyakan. Status symbol ini tidak hanya melekat pada golongan atau lapisan tertentu
saja, namun setiap lapisan biasanya mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Satu bentuk penghargaan yang ada dalam masyarakat modern, khususnya pada
masyarakat perkotaan di Indonesia, adalah tingkat penguasaan ilmu yaitu dalam bentuk gelar-
gelar intelektual; seseorang yang memiliki gelar kesarjanaan tertentu setidaknya telah
membuktikan bahwa yang memperolehnya telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu dalam
bidang-bidanang ilmu pengetahuan yang khusus. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa
akibat yang negatif, antara lain bahwa, yang dikejar bukanlah ilmu pengetahuannya, akan tetapi
gelar kesarjanaannya. Gelar tersebut kemudian menjadi status symbol tanpa menghiraukan
bagaimana isi yang sesungguhnya; banyak dari mereka yang merasa malu karena tidak memiliki
gelar kesarjanaan, padahal kedudukan mereka di dalam masyarakat telah terpandang; segala cara
diupayakan untuk mendapatkan gelar itu tanpa memperdulikan lagi apakah kemudian mereka
dapat mempertanggung jawabkan terhadap apa yang telah mereka upayakan itu.

5.2. Peranan (Role)


Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang
melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang
itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya
tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian
sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada kedudukan
terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.
Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa yang
diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat
kepadanya. Pentingnya peranan adalah bahwa hal itu mengatur perikelakuan seseorang, dan juga
bahwa peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-
perbuatan orang lain, sehingga dengan demikian, orang yang bersangkutan akan dapat
menyesuaikan perikelakuan sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya. Maka
hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-
peranan individu-individu dalam masyarakat. Peranan-peranan tersebut diatur oleh norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat, misalnya norma-norma kesopanan yang menuntut seseorang
untuk menyapa orang banyak dikala dia berjalan melintasinya, maka dia harus berlaku seperti
itu, atau norma kesopanan yang mengatur sikap seorang penumpang terhadap orang lanjut usia
di kendaraan umum, maka dia harus mendahulukan orang tua itu untuk duduk.

Sekurangnya suatu peranan itu mencakup tiga hal :


h. Peranan adalah meliputi norma-norma yang dihubungakan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat; peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan
yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
i. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi
j. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dikemukakan perihal fasilitas-fasilitas bagi
peranan individu (role facilities); biasanya masyarakat memberikan fasilitas-fasilitas bagi
individu agar dia dapat melaksanakan peranannya. Lembaga-lembaga masyarakat merupakan
bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk melaksanakan peranan.
Kadang-kadang struktur suatu golongan kemasyarakatan, menyebabkan fasilitas-fasilitas
tersebut bertambah; misalnya perubahan organisasi suatu sekolah yang memerlukan penambahan
guru, pegawai administrasi, penjaga sekolah dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, hal itu juga
dapat mengurangi peluang-peluang, seperti misalnya apabila terpaksa diadakan rasionalisasi
sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.
Agaknya pertentangan-pertentangan kedudukan (status conflict) membawa pengaruh
terhadap peranan ini, karena tidak jarang terjadi suatu pemisahan antara individu dengan peranan
yang sesungguhnya harus dilaksanakan (disebut sebagai role- distance) . Gejala tadi timbul
apabila seseorang merasa tertekan karena dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan
peranan yang diberikan masyarakat atau bahkan menyembunyikan dirinya, apabila dia berada
dalam lingkungan sosial yang berbeda. Lingkungan sosial atau social circle adalah kelompok
sosial dimana seseorang mendapat tempat serta kesempatan untuk melaksanakan peranannya.
Setiap peranan bertujuan agar antara individu yang melaksanakan peranan dengan orang-orang
di sekitarnya yang tersangkut atau ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan
yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah fihak. Nilai-nilai sosial
tersebut misalnya nilai keagamaan antara pemuka agama dengan pemeluk-pemeluk agama yang
bersangkutan, nilai kesehatan antara dokter dengan pasien, nilai ekonomi antara pedagang
dengan pembeli. Apabila hal itu tidak terpenuhi oleh individu yang bersangkutan, maka
terjadilah role-distance.
Pembahasan tentang berbagai macam peranan yang melekat pada individu-individu
dalam masyarakat dianggap penting karena didalamnya memuat beberapa hal, yaitu :
s. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak
dipertahankan keberlangsungannya
t. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh masyarakat
dianggap mampu untuk melaksanakannya, mereka harus terlebih dahulu dilatih dan
mempunyai motivasi tinggi untuk melaksanakannya.
u. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu yang tidak mampu
melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, oleh karena

mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan yang dianggap terlalu besar berkaitan


dengan kepentingan-kepentingan pribadinya
p. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu
masyarakat akan dapat meberikan peluang-peluang yang seimbang, bahkan sering kali
terlihat bertapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut.

6. Kelas Sosial

Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu sosial,
makna yang diberikan pada konsep tersebut berbeda-beda; meskipun konsep itu menduduki
posisi sangat penting dalam teori Karl Marx (, namun ia tidak pernah mendefinisikannya secara
tegas, yang jelas ia mengaitkannya dengan pemilikan alat produksi. Demikian juga dengan Max
Weber (1958), ia tidak membatasi konsep tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi
membeikan makna yang lebih luas, sehingga selain mencakup penguasaan atas barang meliputi
pula peluang untuk memperoleh penghasilan. Menurut Giddens (1989), peluang untuk
memperoleh pekerjaaan dan penghasilan yang dimaksud Weber tersebut ini tidak hanya berupa
penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa keterampilan dan kemampuan yang antara lain
tercermin dalam ijazah.
Peter L Berger (1978), seorang ahli sosiologi modern, menganggap sistem kelas sebagai
tipe stratifikasi yang menjadi salah satu dasar posisi-posisi yang umum dalam masyarakat
menurut ukuran-ukuran ekonomi; dari perumusannya ini tampak bahwa konsep kelas ini
dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat sehubungan dengan kriteria
kemampuannya secara ekonomi.
Apabila kita menelaah istilah kelas sebagaimana yang dipergunakan dalam teori
Marxisme, maka terdapat perbedaan prinsipil dengan pengertian umum tentang kelas yang
dipakai dalam sosiologi.
Dalam Marxisme, istilah kelas cenderung hanya digunakan dalam kerangka ekonomi
saja; walaupun dengan adanya kelas-kelas tersebut ternyata berpengaruh besar terhadap
kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, Marxisme
membagi kelas dalam masyarakat menjadi dua bentuk; pertama, kelas yang memiliki tanah dan
alat-alat produksi, dan kedua kelas yang tidak memiliki itu dan hanya memiliki tenaga untuk
disumbangkan dalam proses pruduksi.
Menurut konsep Marxisme, kelas itu senantiasa berada dalam pertentangan untuk
berebutan kekuasaan, sedangkan sosiologi lebih menekankan pada hubungan antara dan bekerja
sama tanpa pertentangan, Marxisme cenderung menekankan prediksi keterbentukan masyarakat
itu ditandai dengan hilangnya semua kelas dalam masyarakat sehingga terjadi suatu classless
society (masyarakat tanpa kelas), sedangkan menurut sosiologi bahwa kelas itu akan ada
sepanjang masa dalam tiap masyarakat yang hidup teratur.
Pada beberapa masyarakat di dunia, terdapat kelas-kelas yang tegas sekali, oleh karena
segenap anggota warga masyarakat itu memperoleh sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dilindungi oleh hukum yang berlaku disana. Warga-warga masyarakat semacam itu
seringkali mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan lapisan dalam
masyarakatnya. Kelompok ‘abdi dalem’ seperti yang ada di keraton Yogyakarta, adalah orang-
orang yang menjadi abdi raja di keraton Yogya, yang dibedakan dengan orang-orang biasa
lainnya; sebagian besar dari orang biasa atau rakyat pada umumnya menyadari bahwa ‘abdi
dalem’ ini tingkatan sosialnya lebih tinggi dari mereka, walau secara ekonomi mungkin tidak
demikian; kebanggaan dari seorang ‘abdi dalem’ bukan tentang materi, namun kebanggaannya
bahwa dia termasuk orang yang bisa mengabdikan diri kepada raja, yang tidak semua orang bisa
mencapai ini.
Apabila pengertian kelas ditinjau lebih mendalam, menurut Soerjono Soekanto (1989)
maka dalam masyarakat itu akan dijumpai beberapa kriteria yang tradisionil, yaitu :
1) Besarnya atau ukuran jumlah anggota-anggotanya
2) Kebudayaan yang sama, ang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
warganya
3) Kelanggengan
4) Tanda atau lambang yang merupakan status symbol
5) Batas-batas yang tegas (bagi kelompok itu, terhadap kelompok lain)
6) Antagonisme tertentu

Sehubungan dengan kriteria tersebut di atas, kelas menyediakan kesempatan-kesempatan


atau fasilitas-fasilitas hidup tertentu (life chances) bagi warga-warganya, yaitu misalnya
keselamatan atas hidup dan harta benda, kebebasan, standar hidup yang tinggi dan sebagainya,
yang dalam arti-arti tertentu tidak dimiliki oleh warga-warga kelas lainnya. Kecuali daripada itu,
kelas juga mempengaruhi gaya dan tingkah-laku hidup (life style) masing-masing warganya.
Oleh karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempunyai perbedaan dalam kesempatan-
kesempatan menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu misalnya, maka ada perbedaan pula
dalam apa yang telah dipelajari warga-warganya, perikelakuannya dan sebagainya. Dalam
masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, dikenal suatu pembedaan antara golongan
yang pernah mengalami pendidikan Barat (terutama pendidikan Belanda) dengan golongan yang
tidak pernah mengalaminya; tidak sembarang orang bisa mendapatkan pendidikan ini, mereka
yang bersekolah umumnya adalah orang yang terpandang dalam masyarakat, kalau tidak orang
yang secara ekonomis berkecukupan, mereka adalah para keturunan penguasa setempat atau
pegawaipemerintahan.
Kamanto Sunarto (2004) menguraikan bahwa secara ideal sistem kelas merupakan suatu
sistem stratifikasi terbuka karena status didalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi; dalam
kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri tertutup, seperti misalnya endogami
kelas. Pergaulan dan pernikahan misalnya, lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya
sama daripada dengan orang dari kelas yang lebih rendah atau lebih tinggi.

7. Upaya Masyarakat Untuk Mengurangi Ketidaksamaan


Sebagaimana kita lihat, masyarakat yang mempunyai sistem stratifikasi sosial tertutup
seolah-olah menunjang ketidaksamaan sosial sehingga tidak kondusif terhadap suatu mobilitas
sosial. Masyarakat dengan sistem yang lebih terbuka, di lain fihak, menganut azas pesamaan
sosial dan membenarkan serta menganjurkan mobilitas sosial; dalam masyarakat demikian setiap
orang akan mengharapkan perlakuan dan kesempatan yang sama tanpa memandang perbedaan
yang dibawa sejak lahir seperti perbedaan gender, usia, ras, etnik, dan agama.
Kamanto Sunarto mengisyaratkan bahwa berbagai masyarakat mungkin berbeda
pandangannya terhadap konsep kesamaan ini; pada satu sisi, ada masyarakat yang berpandangan
bahwa apa yang dapat diperoleh seseorang anggota masyarakat tergantung pada kemampuannya.
Masyarakat Amerika, merupakan masyarakat yang cenderung menekankan pada pentingnya asas
ini, setiap anggota masyarakat dianggap berhak atas kesempatan yang sama (equality of
opportunity) untuk meraih sukses melalui prestasi. Ini berarti bahwa sukses yang diraih
seseorang tergantung pada prestasinya; orang yang berprestasi dapat meraih statustiggi serta
segala imbalan yang menyertainya, sedangkan orang yang tidak berprestasi akan tetap
menduduki status rendah.
Pada sisi yanglain, ada masyarakat yang lebih menekankan pada asas yang menyatakan
bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan, meskipun asas ini sangat menonjol pada
komunisme yang berpandangan bahwa seseorang diharapkan menyumbangkan tenaganya pada
masyarakat sesuai dengan kemampuannya tetapi akan memperoleh imbalan sesuai dengan
keperluannya, namun asas bahwa pemberian imbalan dalam masyarakat perlu didasarkan pada
pemenuhan keperluan pokok anggota masyarakat pun dianut oleh banyak masyarakat yang tidak
menganut komunisme.
Beberapa masyarakat bahkan berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam
masyarakatdengan jalan membatasi perbedaan antarindividu. Usaha membatasi perbedaan
antarindividu ini sering dimulai sejak usia dini, karena disadari bahwa keluarga merupakan
sumber utama ketidaksamaan sosial. Dalam masyarakat komunis seperti di Uni Sovyet dan RRC
di masa lalu, anak-anak itu telah sejak lahir dipisahkan dari orang tuanya dan dididik bersama
dalam suatu komune tempat mereka disosialisasikan utuk menganut asas persamaan, hal serupa
dijumpai di Israel dengan sistem yang disebut kibbutz.

8. Perlunya Sistem Pelapisan Sosial Dalam Masyarakat


Manusia pada umumnya bercita-citakan agar ada perbedaaan kedudukan danperanan
dalam masyarakat, akantetapi cita-cita itu akan selalu terbentur dengan suatu kenyataan yag
berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu
dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya
sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian, masyarakat menghadapi dua persoalan,
yaitu masalah penempatan individu-individu dan mendorong mereka agar melaksanakan
kewajibannya.
Apabila misalnya semua kewajiban tersebut selalu sesuai dengan keinginan-keinginan si
individu-individu, sesuai dengan kemampuan-kemampuan individu-individu tersbut dan
seterusnya makapersoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Tetapi kenyataannya
tidaklah demikian, kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu sering memerlukan
kemampuannya dan latihan-latihan tertentu, dan pentinganya kedudukan-kedudukan dan
peranan-peranan tersebut juga tidak selalu sama. Maka tidak akan dapat dihindarkan lagi bahwa
masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar
si individu mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam
masyarakat.
Balas jasa tersebut dapat berupa insentif di bidang ekonomi, estetis atau mungkin juga
secara perlambang dan yang paling penting adalah bahwa individu-individu tersebut
mendapatkan hak-hak, yang merupakan himpunan kewenangan-kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Sering pula ditemukan hak-hak yang secara
tidak langsung berhubungan dengan kedudukan dan peranan seseorang, akan tetapi hak-hak
tersebut sedikit banyaknya merupakan pendorong bagi si individu.Hak-hak tersebut di lain fihak
juga mendorong individu-individu untuk memperoleh kedudukan-kedudukan dan peranan-
peranan tertentu dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka mau tidak mau ada sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, oleh
karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu
penempatan individu dalam tempat-tempat yangtersedia dalam dalamstruktursosial dan
mendorong agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya.
Pengisisan tempat-tempat tersebut, merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai
adengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan, karena hal itu
tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan
peranan yang dianggap tinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang
dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang maksimal.
Tidak banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian, bahkan mungkin
hanya segolongan kecil dalam masyarakat. Maka oleh sebab itu pada umumnya warga lapisan
atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle
class) dan lapisan bawah (lower class); tidak mengherankan bila sistem pelapisan sosial ini
diwujudkan dalam bentuk gambar akan selalu berbentu kerucut; semakin ke atas semakin
runcing, menandakan, semakin atas suatu lapisan semakin sedikit orang yang berkepentingan di
sana.
BAB VI
PENGUASAAN TANAH DAN KELEMBAGAAN

Perkembangan penguasaan lahan dan kelembagaan kerja penting untuk dibicarakan


berkaitan dengan (a) upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui
berbagai program pembangunan dalam rangka peningkatan produktivitas dan produksi, (B)
pemerintah juga telah berupaya memperbaiki pola distribusi pendapatan masyarakat dan
mengurangi kemiskinan, yang di dalamnya berkaitan dengan kelembagaan hubungan kerja
pertanian, dan (c) pengetahuan tentang dinamika kelembagaan kerja penting untuk mengarahkan
kebijakan yang sesuai dalam bentuk fasilitasi maupun pembinaan kelembagaan yang
dikehendaki dan dinilai lebih baik.
Kelembagaan muncul dan berkembang sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang
timbul di masyarakat. Munculnya kelembagaan dapat terjadi karena perkembangan/evolusi dari
lembaga yang telah ada sebelumnya (lembaga informal) dan atau sengaja dibentuk (lembaga
formal) seperti melalui peraturan dan lainnya. Suatu bentuk kelembagaan yang timbul di suatu
daerah tidak lepas dari kondisi sumber daya setempat, lingkungan, dan norma yang berlaku di
mayarakat (Gunawan 1989).
Kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan institusi yang sudah mengakar di
masyarakat petani, terutama pada usaha tani padi. Sistem ini mampu menjembatani kebutuhan
pemilik lahan terhadap tenaga kerja untuk mengelola lahannya dan kebutuhan terhadap lahan
garapan dari kelompok petani yang tidak memiliki lahan (landless). Kelembagaan hubungan
kerja yang berkembang di masyarakat bervariasi antarwilayah dan antarwaktu, tergantung dari
dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang. Struktur penguasaan lahan akan memengaruhi
kelembagaan hubungan kerja di masyarakat dan sebaliknya kelembagaan hubungan kerja juga
dapat memengaruhi struktur penguasaan lahan di masyarakat.
Dalam kaitan berkembangnya kelembagaan di masyarakat, Teori Induce Innovation
(Ruttan dan Hayami 1984) mengemukakan bahwa pada kondisi kelangkaan sumber daya (seperti
sumber daya alam dan sumber daya manusia) akan membimbing masyarakat untuk menciptakan
kelembagaan baru, termasuk di dalamnya kelembagaan di bidang teknologi baru. Dampak dari
bekerjanya suatu kelembagaan dapat dinilai positif dan negatif. Secara positif, perubahan
kelembagaan memberi arti dari proses yang terjadi. Contohnya, berkembangnya sewa tanah dan
sakap telah berperan positif dalam redistribusi penggarapan lahan dan pendapatan masyarakat.
Kelangkaan tenaga kerja dan berkembangnya pasar telah menumbuhkan pola tebasan. Dampak
perubahan tersebut dapat dinilai baik dan buruk tergantung siapa yang terlibat.
Tulisan ini akan mengungkapkan dinamika penguasaan lahan dan keterkaitannya dengan
kelembagaan hubungan kerja pertanian. Tulisan ini merupakan tinjauan (review) dari berbagai
hasil penelitian terutama hasil Studi Dinamika Pedesaan-Survei Agro Ekonomi (SDP-SAE)
tahun 1975-an, dan studi Panel Petani Nasional (PATANAS) yang dilakukan PSEKP sejak tahun
1980 sampai tahun 2010-an.

Sejarah Kebijakan Penguasaan Lahan


Dinamika penguasaan lahan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah di bidang
lahan, terutama dalam rangka mendukung kepentingan penguasa. Kebijakan yang diterapkan
pemerintah dengan sendirinya menentukan dinamika struktur penguasaan lahan dan
kelembagaan yang terbangun.
Pada masa feodalisme, alat produksi seperti tanah dan bahkan rakyat menjadi milik negara
sehingga tenaga kerja dan hasil produksi dikerahkan untuk kepentingan raja. Pola penguasaan
lahan yang berkembang di masyarakat tidak lepas dari kepentingan raja selaku penguasa.
Rakyat/petani hanya berstatus sebagai penggarap, buruh lepas atau berada dalam lindungan
keluarga pemilik tanah yang memperoleh tanah kesikepan. Pemilik lahan sikep juga merupakan
anak buah dari pamong desa, menggarap lahan milik pamong desa. Penguasa tanah adalah
pamong desa yang menguasai sebagian besar tanah desa sebagai upah mereka mengatur
pemerintahan melalui tanah bengkok. Pamong desa menggarap sawahnya dengan bantuan petani
sikep dan kuli menggarap. Kegiatan pengelolaan lahan/ usaha tani dominan dilakukan oleh
penggarap dengan luas lahan yang sempit. Pada kondisi demikian, kesenjangan/distribusi
penguasaan lahan terang menjadi permasalahan dan keberadaan penggarap menjadi pelaku
penting dalam sistem produksi pertanian pada masa feodalisme. Bagi petani, areal lahan sawah
merupakan sumber utama penghidupan sehingga konsentrasi penduduk umumnya berada di
sekitar daerah irigasi tersebut. Pada masa feodalisme ini, kegiatan investasi belum berkembang
karena semua fasilitas irigasi dan lumbung dibangun oleh kerajaan. Kerajaan memperoleh
surplus dari hasil produksi yang dikerjakan petani.
Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial sangat berkepentingan dengan penguasaan
lahan. Untuk itu, pemerintah kolonial bekerja sama memanfaatkan golongan feodal yang ada
untuk mengeksploitasi lahan masyarakat dengan cara memanfaatkan dan mendayagunakan
aturan yang sebelumnya diterapkan oleh raja, seperti dalam penerapan pajak, upeti, dan wajib
kerja. Untuk memudahkan manajemen pengaturan seperti dalam penarikan pajak dan wajib kerja
tersebut, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem komunal di Jawa. Dengan sistem
komunal ini, pengaturan pajak, upeti, dan wajib kerja dapat dikoordinasikan melalui tingkatan
pemerintahan yang telah terbangun.
Sejalan dengan kepentingan peningkatan produksi dari produk ekspor (nonberas),
pemerintah kolonial pada era gubernur Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa berupa
(a) kewajiban petani menanam tanaman ekspor yang dibeli pemerintah kolonial dengan harga
yang ditetapkan, (b) penyerahan tanah secara wajib kepada pemerintah kolonial untuk ditanami
tanaman ekspor, dan (c) pembayaran pajak tanah dalam bentuk natura, bukan uang. Ada dua
kepemerintahan yang berkuasa dan masing-masing berkepentingan, yaitu pemerintah kolonial
dan kerajaan. Oleh karena itu, tingkat eksploitasi pada masa tersebut sangat intensif. Dengan
kewajiban untuk menyerahkan tanah kepada pemerintah, petani hanya berperan sebagai buruh
tani di lahan sendiri yang diusahakan oleh pemerintah kolonial.
Berkembangnya paham liberalisme di negara barat juga mewarnai pola penguasaan lahan
di negara jajahannya. Sistem liberalisme yang dianut oleh pemerintah kolonial Belanda juga
diterapkan di wilayah jajahannya (Indonesia), yaitu dengan cara memberi kesempatan kepada
pihak swasta untuk ikut dalam produksi pertanian yang berorientasi ekspor. Untuk itu sektor
swasta Belanda diberi kesempatan untuk melakukan investasi di bidang perkebunan. Untuk
mendukung kepentingan tersebut, terutama untuk memberikan kepastian penguasaan lahan
dalam jangka panjang, pada tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang
Agraria (Agrarische Wet). Pada era ini, hak penguasaan tanah sesuai dengan hukum perdata
barat seperti hak milik (eigendom), hak usaha (het erfpachtsregt), hak pakai hasil (het vrucht
gebruik), hak kedudukan berkuasa (bezit), hak pengabdian tanah (erfainenst), hak numpang
karang (het regt van opsaad), dan lainnya. Sementara itu, dari hukum adat juga diberlakukan
beberapa hak atas tanah, seperti hak persekutuan atas tanah berupa hak ulayat dan hak
kekerabatan, serta hak milik perseorangan seperti hak milik, hak yasan, hak menikmati hasil, hak
garap, hak imbalan jabatan, hak wewenang beli, dan hak lainnya (Wargakusumah 1992; Wiradi
dan Makali 1984).
Pada masa kemerdekaan (Orde Lama), berbagai permasalahan agraria semakin menguat
terutama dalam distribusi lahan. Hal ini mendorong adanya upaya perombakan hukum atas tanah
(agraria) dengan keinginan untuk menerapkan kebijakan yang searah dengan UUD 1945 dan
Pancasila. Untuk itu, ditetapkan Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
dengan menempatkan hukum adat sebagai dasar utamanya. Landasan pokok dari UUPA adalah:
(a) fungsi sosial dari tanah, (b) penguasaan bersama, (c) asas nasionalisme, (d) larangan
pemilikan lahan melampaui batas, (e) pencegahan monopoli atas tanah, dan (f) pengaturan
hukum atas tanah. Dalam UUPA muncul beberapa hak atas tanah seperti hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tahan, hak memungut hasil hutan
(Pasal 4, Pasal 16 UUPA), serta hak yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang (Pasal 53), dan hak sewa tanah pertanian (Pasal 16, Pasal 53 UUPA).
Pada dasarnya UUPA disusun atas dasar sifat sosial dan menentang liberlisme sebagaimana
dituangkan dalam Pasal 6 bahwa semua hak tanah mempunyai fungsi sosial. Sifat sosial ini juga
terlihat dari adanya Perpu 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang di
dalamnya antara lain mengatur luas maksimum pemilikan lahan (Pasal 1 Ayat 2) dan luas
minimum pemilikan lahan (Pasal 8). Langkah pemerintah memberikan kesempatan pemilikan
atas tanah melalui kegiatan landreform telah dijadikan alat partai politik tertentu seperti PKI
sehingga menimbulkan kekisruhan.
Pada era Orde Baru, kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi nasional. Hal tersebut dicapai dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri,
termasuk industri pertanian. Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya yang dilakukan adalah
merangsang tumbuhnya investasi terutama sektor swasta skala besar. Sejalan dengan itu, telah
ditumbuhkan usaha skala besar (seperti perkebunan swasta skala besar). Berbeda dengan era
Orde lama yang mengarah kepada landreform, kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru
lebih mengarah ke liberalisasi, dan program landreform tidak lagi menjadi perhatian. Pemihakan
kepada sektor swasta dalam rangka merangsang investasi menjadikan lahan bukan lagi
mempunyai fungsi sosial sebagaimana diamanatkan pada Pasal 6 UUPA. Untuk merangsang
masuknya investasi asing, disusunNo. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang
memberikan izin usaha selama 30 tahun (Pasal 18) disertai kemudahan dan fasilitasi untuk
kegiatan investasi.
Berkembangnya teknologi maju, termasuk di dalamnya penerapan revolusi hijau di sektor
pertanian telah meningkatkan surplus usaha dan mendorong akumulasi penguasaan lahan dan
polarisasi sosial ekonomi dan pada akhirnya meminggirkan kelompok petani kecil dan yang
tidak berlahan. Berkembangnya komersialisasi di perdesaan melalui introduksi input baru serta
tuntutan kebutuhan yang meningkat telah mengikis ikatan komunal primordial seperti kegiatan
sambatan/gotong royong dan digantikan oleh sistem upah. Masuknya prinsip-prinsip efisiensi
telah mengubah cara pandang dan pengambilan keputusan pemilik lahan dengan mengurangi
penggunaan tenaga kerja dan menggantikannya dengan penggunaan alsintan. Prinsip sosial dari
lahan seperti yang diinginkan UUPA semakin menjauh, atau ini berarti pula UUPA sudah tidak
sesuai lagi dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat.
Pertumbuhan sektor di luar pertanian dan perkotaan telah meningkatkan kebutuhan lahan
untuk industri, perumahan, dan infrastruktur serta konversi lahan pertanian. Pertumbuhan
industri dan perumahan lebih memilih daerah yang telah memiliki infrastruktur yang baik. Hal
tersebut menyebabkan letak industri dan perumahan lebih banyak berada di sekitar kota besar
dan kawasan lahan pertanian subur. Tingkat konversi lahan pertanian subur menjadi non-
pertanian telah sampai pada tahap mengganggu eksistensi produksi pangan nasional jangka
pendek dan menengah. Meningkatnya nilaitambah pelaku usaha pertanian yang memiliki lahan
dan pelaku yang bergerak di sektor di luar pertanian telah mengakibatkan akumulasi pemilikan
lahan oleh kelompok tertentu (stratifikasi). Di sisi lain, hal tersebut juga meningkatkan jumlah
petani tidak berlahan, jumlah petani kecil (gurem), dan tanah guntai (pemilikan tanah oleh
penduduk di luar wilayah).
Pada era reformasi, kebijakan yang diterapkan semakin memperkuat kebijakan sebelumnya
(era Orde Baru) dan bahkan lebih mengarah kepada penguatan sistem liberalisasi di berbagai
bidang. Sebagai contoh di bidang investasi, melalui UU No. 25 tahun 2007 investasi asing
diberikan keleluasaan sebesar-besarnya, dengan memberikan kesamaan hak antara investasi
modal asing dan modal domestik. Beberapa kemudahan investasi yang diberikannya tersebut
adalah (Pasal 14): (a) kepastian hak, hukum, dan perlindungan, (b) informasi yang terbuka
tentang bidang usaha, (c) hak pelayanan, (d) berbagai fasilitas dan kemudahan. Di samping itu,
untuk menjamin kepastian usaha kepada investasi modal asing diberikan izin HGU selama 95
Tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun. Meskipun pada akhirnya UU No
25 tahun 2007 dbatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan kembali ke peraturan yang ada
sebelumnya, namun dari sisi kebijakan tetap saja mengacu kepada liberalisasi.
Kondisi ini menyebabkan semakin timpangnya penguasaan lahan di Indonesia. Di satu sisi
penguasaan terkonsentrasi kepada sekelompok pengusaha tertentu (perkebunan dan HTI), di sisi
lain jumlah masyarakat yang tidak punya lahan dan petani gurem meningkat. Situasi
ketimpangan lahan dan konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi dan bahkan
menunjukkan grafik yang meningkat. Tuntutan akan adanya reformasi agraria dalam bentuk
landreform tidak mampu dilaksanakan karena tuntutan kemajuan pembangunan yang
memerlukan lahan. Upaya mengendalikan laju konversi lahan pertanian subur melalui penetapan
berbagai peraturan tidak mampu dilaksanakan karena terbentur oleh konflik kepentingan
antarkelompok masyarakat dan partai politik.

Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian


Struktur Penguasaan Lahan
Dinamika penguasaan lahan dapat dilihat dari perubahan struktur pengusaan lahan
pertanian. Secara makro, dari hasil Sensus Pertanian tahun 1983–1993 menunjukkan telah terjadi
perubahan struktur penguasaan lahan oleh rumah tangga pertanian, yaitu makin bertambahnya
jumlah petani gurem dengan luas penguasaan yang makin kecil, dan di sisi lain terjadinya
pengumpulan penguasaan lahan pada sebagian kecil rumah tangga berlahan luas (Sumaryanto
dan Rusastra 2000). Semakin timpangnya struktur penguasaan lahan mengindikasikan semakin
timpangnya struktur pendapatan masyarakat pedesaan, karena petani lahan luas semakin
memperoleh nilai tambah dan akumulasi modal sehingga dapat melakukan perluasan usaha baik
pada usaha tani maupun usaha non-pertanian.
Hasil sensus tersebut juga diperkuat oleh hasil studi di tingkat mikro. Hasil studi yang
dilakukan oleh Wiradi dan Makali (1984) berdasarkan kegiatan Studi Dinamika Pedesaan (SDP)
di Jawa dan Sulawesi Selatan menunjukkan dalam tahun 1982 telah terjadi ketimpangan
pemilikan lahan 15 desa contoh, seperti ditunjukan oleh nilai indeks Gini pemilikan lahan antara
0,60–0,80 dan separuh desa contoh mempunyai nilai di atas 0,80 yang menggambarkan suatu
tingkat ketimpangan yang berat. Secara relatif, tingkat ketimpangan pemilikan lahan terjadi di
Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Ketimpangan ini ditunjang oleh kondisi di mana
sebanyak 30% rumah tangga tidak mempunyai lahan dan kurang dari 20% rumah tangga
memiliki lebih dari setengah total luas lahan desa.
Tingkat ketimpangan pemilikan lahan juga dilaporkan dari hasil-hasil studi Patanas tahun
1985-an (Nasution 1989; dan Suntoro 1989). Nilai indeks Gini pemilikan lahan sawah semua di
atas 0,5; dengan kecenderungan tingkat ketimpangan di Jawa lebih tinggi dibandingkan di
Sulawesi Selatan. Ketimpangan pemilikan lahan tersebut dipercepat oleh kegiatan pembangunan
yang menyebabkan konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian.
Hasi-hasil studi Panel Petani Nasional tahun 1995–1999 menunjukkan proporsi rumah
tangga petani yang tidak memiliki lahan meningkat. Ketimpangan pemilikan lahan juga
meningkat, dilihat dari nilai indeks Gini yang semula 0,72 menjadi 0,78 di Jawa, dan di luar
Jawa yang berkisar 0,53 menjadi 0,54 (Adyana 2000). Ketimpangan ini juga terjadi di desa
contoh di Jawa dan Sulawesi Selatan (Rachmat et al. 2000) dan Kalimantan Selatan (Suhartini,
dkk. 2000). Nilai indeks Gini pemilikan lahan di Jawa dan Kalimantan Selatan berada di atas
0,66, sementara di Sulawesi Selatan antara 0,37–0,50. Kondisi ini searah dengan meningatnya
partisipasi petani dalam usaha tani pada pascakrisis ekonomi. Kejadian fragmentasi lahan juga
terjadi di Sulawesi Selatan. Sementara di NTB dan Lampung, cenderung terjadi pemusatan
(konsilidasi) lahan. Sistem persewaan dan bagi hasil cenderung berkembang di luar Jawa, seperti
di Sulawesi Selatan dan NTB, pemilik lahan juga memperluas penguasaan lahannya melalui
persewaan dan sakap; sementara di Jawa, petani yang umumnya memiliki lahan sempit
cenderung memilih menggarap sendiri lahannya. Pada era krisis, lahan mempunyai arti yang
semakin penting bagi petani.
Ketimpangan kepemilikan lahan juga terjadi dari hasil penelitian tahun 2007–2010
(Susilawati 2010). Ketimpangan semakin besar terutama terjadi di Jawa, sementara di luar Jawa
menunjukkan kondisi sebaliknya. Di Jawa, rataan luas pemilikan lahan mengalami penurunan.
Tahun 1997–2010 rataan pemilikan lahan di jawa menurun dari 1,13 ha menjadi 1,05 ha.
Penurunan terjadi di seluruh jenis lahan yaitu lahan pekarangan, sawah, tegal, dan kebun.
Kondisi sebaliknya terjadi di luar Jawa di mana rataan luas pemilikan lahan meningkat, dari 1,74
ha pada tahun 1997 menjadi 1,79 ha pada tahun 2000. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan
lahan disebabkan beberapa faktor utama:
Pertama, adanya sistem waris bagi, di mana lahan yang diwariskan dipecah dan dibagikan
kepada ahli waris. Pola ini menyebabkan pemilikan lahan dari generasi ke generasi semakin
sempit (marjinalisasi pemilikan lahan). Pemecahan pemilikan lahan pada tingkatan luasan
tertentu dinilai tidak efisien lagi untuk diusahakan di bidang pertanian sehingga petani
cenderung menjualnya atau mengonversikannya menjadi perumahan. Kedua, pada sisi lain
terdapat pula petani kaya yang menampung/membeli lahan sempit sehingga memiliki lahan yang
luas. Petani bermodal tersebut dapat membeli dan menyewa lahan untuk kegiatan usaha tani.
Dengan nilai tambah yang diperolehnya dari usaha tani dan digunakan kembali untuk
memperluas pemilikan dan penguasaan lahannya menyebabkan akumulasi lahan. Ketiga, adanya
pemilikan lahan guntai oleh penduduk luar desa (penduduk kota), yang dengan sengaja
menanamkan modalnya dalam bentuk pemilikan lahan dan usaha pertanian di desa atau
spekulasi karena mengetahui adanya rencana pembangunan dan berharap nilai lahan meningkat
secara tajam (Susilowati et al. 2010). Kondisi tersebut dapat terjadi karena tidak
dilaksanakannya UUPA yang mengatur batas luas pemilikan dan penggarapan lahan serta aturan
lahan guntai. Dalam Perpu No 56/ 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang di
dalamnya diatur bahwa luas maksimum usaha pertanian di lahan sawah di daerah, antara 5 ha
untuk daerah sangat padat sampai 15 ha untuk daerah tidak padat.

Sistem Sewa
Sewa merupakan cara pengalihan hak garap melalui transaksi untuk waktu yang tertentu
dengan pembayaran uang tunai. Setelah habis waktu transaksi, tanah tersebut kembali kepada
pemiliknya. Transaksi ini memberi kepada si penyewa hak untuk mengolah tanah tersebut,
menanami, serta memetik hasilnya atas tanggungan sendiri dan berbuat seakan-akan sebagai hak
miliknya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh menjual atau menyewakan tanpa seizin pemilik
tanah. Supomo (1993) menyebutkan istilah sewa tanah dengan jual tahunan yaitu suatu
pengoperan hak untuk jangka waktu yang tertentu.
Nilai sewa dipengaruhi oleh mekanisme pasar lahan dan mencerminkan produktvitas lahan.
Ada bentuk hak sewa tanah menurut adat di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian
dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut “mengasi”, di
Sumatera Selatan disebut “sewa bumi”, di Kalimantan disebut “cukai”, di Ambon disebut “sewa
ewang”, dan di Bali disebut “ngupetenin”. Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian
dikenal dengan istilah “paje’”. Umumnya praktik sewa-menyewa tanah pertanian ini masih
terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing.
Dalam pasal 53 UUPA Ayat (1) dinyatakan bahwa hak sewa merupakan salah satu hak
yang bersifat sementara yang diberikan oleh UUPA. Hal ini berkaitan dengan penilaian bahwa
hak tersebut bertentangan dengan peraturan karena penyewaan tanah pertanian ini mengandung
unsur pemerasan. Oleh karena itu, pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan
melalui suatu undang-undang. Akan tetapi, undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia
UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap
diakui eksistensinya.
Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa
saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal untuk
terjadinya suatu perjanjian sewa-menyewa tanah pertanian. Ada beberapa faktor yang
mendorong terjadinya sewa antara lain: (a) adanya sistem insentif dari usaha tani yang akan
diusahakan, (b) berkembangnya sistem perkreditan melalui sewa, (c) usaha pemilik lahan untuk
membagi risiko dengan penggarap, dan (d) usaha untuk menghindari ongkos transaksi (Basu
1984).
Studi Wiradi dan Makali (1984) menunjukkan dalam periode tahun 1970–1980-an,
persewaan lahan di Jawa masih banyak dijumpai. Persewaan lahan tersebut terutama banyak
dijumpai di desa-desa yang mempunyai lahan sawah bengkok (tanah desa yang dikelola pamong
desa sebagai gaji pamong). Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan sewa berkaitan dengan
kebiasaan pamong desa untuk menyewakan sawahnya.
Dalam perkembangannya, sistem sewa semakin menyusut, hasil studi Nasution et al.
(1988) menunjukkan di beberapa desa di Jawa Timur persewaan lahan masih terjadi, namun
persewaan tersebut terjadi berkaitan dengan usaha tani tebu melalui TRI dan berkembangnya
tebu bebas. Sementara itu, studi Saleh et al. (1988) di Jawa Barat menunjukkan bahwa sistem
sewa dinilai tidak populer dan tidak disukai di Jawa Barat. Hal ini berkaitan dengan adanya
ikatan yang kuat antara petani dengan lahannya. Dalam kaitan tersebut, petani pemilik lahan di
Jawa Barat lebih menyukai sistem sakap.

Sistem Gadai
Menurut Sudiyat dalam Wiradi (1984), gadai adalah penyerahan tanah untuk menerima
sejumlah pembayaran uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas
pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Sedangkan dari aspek hukum,
Harsono (1999) mengemukakan bahwa gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai
belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut
penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik
tanah belum mampu melakukan penebusan.
Alasan utama petani menggadaikan lahannya, terutama karena adanya keperluan mendesak
seperti keperluan untuk pesta hajatan, biaya sekolah, biaya mencari keja dan lainnya. Di Jawa
Barat dijumpai tiga sistem gadai tanah, yaitu: (a) penggadai dapat terus menggarap sawah
gadainya, kemudian kedua pihak membagi hasil sawah sama seperti “menyakap” (bagi hasil),
(b) pemegang gadai mengerjakan sendiri sawah gadai, dan (c) pemegang gadai menyewakan
atau bagi hasil sawah gadai tersebut kepada pihak ketiga (Hardjono 1990). Pada umumnya
perjanjian dilakukan secara lisan antara kedua pihak tentang luas sawah dan jumlah uang gadai
dengan tidak menyebutkan masa gadainya. Pemilik sawah boleh menebus atau menjual sawah
gadai sesudah panen.
Hasil penelitian Marisa, et al. (1988) menunjukkan dalam tahun 1985-an sistem gadai
masih berkembang di desa-desa di Sumatera Barat dan lebih disukai dibandingkan sistem jual
beli lahan. Dalam pola yang ada di Sumatera Barat, pembayaran gadai lebih lazim berupa gabah
atau emas dibandingkan uang tunai. Berdasarkan hasil pengamatan di desa Patanas, sistem gadai
tanah cenderung menurun, terutama karena berkembangnya Perum Pegadaian yang menerima
gadai berbagai barang modal (nonlahan) dari masyarakat untuk digadaikan.
Sistem gadai diawali dengan perjanjian gadai antara pihak penggadai dan pemegang gadai
yang dituangkan dalam surat pernyataan, mencakup nilai gadai berupa uang (rupiah) atau padi
gabah (kuintal), masa gadai biasanya 2 tahun, dan jaminan berupa garapan sawah. Di Jawa Barat
kebanyakan penggadai memilih menggunakan uang, yang lainnya padi gabah. Nilai gadai sawah
yang berupa uang atau sekitar 100 kuintal padi gabah per 0,71 ha. Akan tetapi, sistem tersebut
biasanya tidak sama antara satu desa dengan desa lainnya.
Dengan pembatasan masa gadai 2 tahun, berarti tidak sesuai dengan ketentuan
perundangan tentang gadai tanah, tetapi didasarkan pada tradisi sistem gadai yang berlangsung
di masyarakat desa. Dalam Perpu No. 56 Tahun 1960 Pasal 7 tidak disebutkan masa gadai 2
tahun, tetapi penggadai dapat menebus setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen
sebelum 7 tahun, besarnya uang tebusan sesuai rumus Pasal 7 Ayat 2 (Soemarsono 1965). Jadi,
setelah satu tahun, dua tahun, dan seterusnya hingga sebelum 7 tahun penggadai dapat menebus
sawah gadai. Apabila sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, pemegang gadai wajib
mengembalikan sawah gadai itu kepada pemiliknya tanpa kewajiban membayar uang tebusan.

Dinamika Hubungan Kerja Pertanian


Hubungan kerja pertanian berkaitan dengan perjanjian/kesepakatan antara pemilik lahan,
penggarap, dan buruh tani, dalam penggarapan lahan dan pengupahan. Pada awalnya, kebiasaan
berburuh di masyarakat tidak dikenal. Hal ini disebabkan adanya budaya malu sebagai buruh dan
terbatasnya uang tunai, serta hubungan kerja yang berkembang di masyarakat adalah gotong
royong, sambatan, dan tukar tenaga. Sejalan dengan berkembangnya ekonomi uang, di mana
masyarakat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya, kelembagaan yang berkembang
didasarkan kepada kaidah ekonomi.
Dalam kaidah ekonomi, sistem penggarapan dan pengupahan secara umum merupakan
bagian dari sistem kontrak. Sistem kontrak tersebut meliputi: (a) kontrak tenaga kerja (wage
contract) yang dibayar dengan upah dan besaran tertentu, (b) kontrak bagi hasil (share tenancy)
di mana terjadi perjanjian bagi hasil keluaran antara pemilik dan pengontrak, (c) perjanjian sewa
dengan pembayaran natura dalam jumlah tertentu, dan (d) perjanjian sewa dengan nilai tertentu
dengan pembayaran tunai. Bentuk kontak tersebut di masyarakat dikenal dengan kerja upah
harian, kerja borongan, sakap, dan sewa (Gunawan 1989).

Sistem Sambatan/Gotong Royong


Pada sistem gotong royong/sambatan, pemilik tanah umumnya menggarap lahannya sendiri
dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dilakukan dengan sistem sambat sinambat, gotong
royong atau tukar tenaga yang tidak memerlukan uang tunai (Wiradi dan Makali 1984).
Sambatan dilakukan oleh masyarakat dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas
pekerjaaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity, yaitu siapa yang membantu
tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia akan dibantu ketika sedang
membutuhkan. Kegiatan sambatan umumnya dilakukan untuk kegiatan mengolah tanah dan
biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang memiliki lahan sempit. Dapat dikatakan
kegiatan sambatan dilakukan sebagai respons dari ketidaktersediaan modal tunai untuk
membayar tenaga kerja upahan.
Sistem sambatan/gotong royong di banyak daerah sudah menghilang, di samping karena
meningkatnya sikap komersial dan individual di antara anggota rumah tangga, ternyata sistem
gotong royong ini biayanya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem upah harian. Walaupun
sistem sambatan tidak memerlukan uang tunai sebagai upah, adanya kebiasaan disediakan
makan dalam jumlah dan kualitas yang lebih baik menjadikan sistem ini lebih mahal (Soentoro
dan Bachri S 1988).
Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran sistem gotong royong/sambatan menjadi
sistem upah. Pergeseran ini tidak terlepas dari perkembangan kondisi di mana lapangan kerja
semakin sempit dan tuntutan kebutuhan hidup makin tinggi, sehingga masyarakat/ buruh
membutuhkan uang tunai. Warga masyarakat yang dulunya murni bergotong royong menggarap
sawah, kini sawah dijadikan lapangan pekerjaan dengan bekerja sebagai buruh tani. Di luar
Jawa, munculnya buruh harian sejalan dengan berkembangnya masyarakat transmigrasi, di mana
pada desa desa yang bertetangga dengan desa trasmigran menyediakan tenaga buruh yang
dikoordinir oleh calo buruh.

Sistem Sakap/Bagi Hasil


Di Jawa, terutama pada usaha tani padi, peninggalan sistem sambatan yang masih bertahan
adalah sistem sakap panen dan sistem ceblokan. Sistem sakap adalah sistem perjanjian
penggarapan lahan sawah antara pemilik dengan buruh di mana pembayaran dilakukan dengan
sistem bagi hasil dan bawon. Sistem sakap atau bagi hasil merupakan bentuk kontrak yang masih
hidup sampai sekarang sesuai dengan kondisi yang memengaruhinya. Sistem sakap merupakan
penyerahan sementara hak garap atas tanah kepada orang lain dengan perjanjian. Perjanjian
dimaksud meliputi pembagian dalam beban biaya produksi terutama sarana produksi, curahan
tenaga kerja, dan bagi hasil antara pemilik dan penyakap/penggarap.
Pada sistem sakap, risiko kegagalan juga menjadi beban bersama antara pemilik lahan dan
penyakap. Di samping dapat mengurangi biaya upah, memudahkan pengelolaan dan faktor risiko
tersebut merupakan unsur-unsur yang menjadi pertimbangan dari pemilik tanah untuk
menyakapkan lahan sawahnya kepada penyakap (Gunawan 1989). Keputusan pemilik lahan
untuk menyakapkan lahan dipengaruhi oleh luas lahan yang dimiliki oleh rumah tangga, dan
keputusan untuk menyakapkan lahan tidak semata untuk membantu orang lain yang tidak
memiliki tanah tetapi juga didorong oleh latar belakang komersial. Telah terjadi perubahan
dalam sistem sakap di mana pada sebelum kemerdekaan, kelompok penyakap adalah kelompok
yang tidak memiliki lahan (tunakisma) namun saat ini banyak pemilik lahan yang melakukan
sakap dan sewa karena kelompok mereka yang mampu membayar sewa (White B dan Wiradi
1981)
Seiring dengan semakin tingginya nilai ekonomi lahan (land rent), kedudukan pemilik
lahan semakin kuat dalam relasi sistem bagi hasil sakap. Pemilik lahan yang lebih berkuasa
untuk memutuskan sistem bagi hasil yang akan digunakan. Sistem bagi hasil yang berkembang
di masyarakat bervariasi antarwilayah dan antarwaktu, tergantung dari nilai relatif sumber daya
lahan terhadap sumber daya manusia. Semakin tinggi nilai relatif sumber daya lahan terhadap
sumber daya manusia, bagian yang menjadi hak pemilik lahan akan semakin besar. Sebaliknya,
apabila nilai sumber daya manusia di suatu wilayah lebih tinggi, bagian yang menjadi hak
pengelola lahan (petani penggarap) semakin besar.
Pada bagian lain, semakin tingginya tekanan dan kebutuhan terhadap lahan menyebabkan
nilai lahan semakin tinggi pula. Kondisi ini menyebabkan kedudukan pemilik lahan semakin
kuat, sehingga dalam sistem bagi hasil tawar menawar dan bagian yang menjadi hak pemilik
lahan akan semakin besar. Semakin tinggi nilai relatif sumber daya lahan terhadap sumber daya
manusia, bagian yang menjadi hak pemilik lahan akan semakin besar. Sebaliknya, ketika nilai
sumber daya manusia di suatu wilayah lebih tinggi, bagian yang menjadi hak pengelola lahan
(petani penggarap) semakin besar. di lain pihak, tingkat risiko usaha tani juga cenderung
meningkat sejalan risiko bencana (iklim, hama, dan bencana alam) dan peningkatan biaya
produksi. Meningkatnya risiko usaha tani akan menyebabkan tawar-menawar penggarap lebih
besar. Sistem bagi hasil juga ditentukan oleh kesepakatan beban biaya produksi. komponen
biaya produksi mempunyai peran sendiri dalam penentuan bagi hasil sesuai dengan nilainya.
Kondisi ini mendorong ketimpangan dalam sistem bagi hasil, akumulasi modal dan pada
gilirannya akumulasi penguasaan lahan. Data BPS dan didukung banyak studi menunjukkan
ketimpangan penguasaan lahan semakin besar.
Dalam perkembangan sistem bagi hasil kita kenal istilah moropapat (bagi empat 1:3),
morotelu (bagi tiga 1:2), dan maro (bagi dua 1:1). Pola maro dan morotelu banyak dijumpai di
lahan sawah, sedangkan dan pola moropapat banyak digunakan dalam sistem bagi hasil di
wilayah lahan kering. Pada sistem maro, pemilik sawah ikut menanggung beban saprodi 50%,
dan tenaga kerja lainnya tanggungan penggarap. Pada sistem moro telu, semua saprodi dan
tenaga kerja merupakan beban dari penggarap, dan hasil produksi dibagi tiga, yaitu sepertiga
untuk pemilik, dan dua pertiga bagian penggarap. Biaya biaya lain Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan iuran air merupakan tanggungan dari pemilik. Dalam kondisi demikian, petani
pemilik hanya mendapat seperempat bagian, sedangkan petani penggarap akan mendapat tiga
per empat bagian. Sejalan dengan perubahan nilai lahan dan harga sarana produksi, pola bagi
hasil dalam usaha tani padi sawah di Jawa mengalami perkembangan dimana bagian pemilik
lahan menjadi lebih besar, yaitu dari marotelu ke maro.
Penerapan sistem bagi hasil dalam kegiatan panen dilakukan dengan penerapan bawon.
Sejalan dengan berkembangnya ekonomi uang dan alsintan panen dan pascapanen, sistem bawon
di beberapa daerah mulai menurun. Perubahan sistem pengupahan dari natura ke uang tunai
mengurangi biaya transaksi karena upah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain. Di
lain sisi, pembayaran upah dengan uang tunai memungkinkan tingkat upah dapat lebih fleksibel
tergantung kepada kekuatan pasar tenaga kerja.

Sistem Ceblokan
Sistem ceblokan merupakan sistem kontrak penggarapan lahan di mana penceblok
berkewajiban mengerjakan kegiatan tertentu yaitu tanam dan menyiang tanpa diberi upah,
namun mempunyai hak untuk memanen. Orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa izin dari
penceblok. Apabila ada buruh yang ikut memanen, buruh panen memperoleh imbalan sesuai
perjanjian dengan penceblok misalnya separuh dari upah panen yang berlaku. Petani yang
menceblokkan lahannya adalah petani yang mempunyai lahan luas.
Hasil penelitian Saleh et al. (1988) menunjukkan bahwa dalam tahun 1980-an, sistem
ceblokan di Jawa Barat menunjukkan penurunan, namun dalam tahun 2007-an sistem ini
kembali banyak dilakukan (Susilowati 2010). Proses hilang dan munculnya system ceblokan
berkaitan dengan kepentingan dari dua pihak pemilik tanah dan buruh tani, terutama berkaitan
dengan banyaknya buruh panen. Dengan sistem ceblok, pemilik tanah dapat memperoleh
jaminan tenaga kerja tanpa mengeluarkan uang tunai dan mengurangi kerugian akibat tidak
terkontrolnya tenaga buruh panen yang sangat banyak, sementara bagi buruh penceblok berarti
dapat menguasai lahan panen sehingga dapat meningkatkan perolehan pendapatannya. Upah
panen buruh penceblok cenderung menurun dari 1/4 ke 1/5 dan menjadi 1/6. Penurunan upah
bawon ini akibat persaingan baik di antara buruh panen yang semakin meningkat, juga
persaingan dengan tenaga perontok mesin (thresher) secara borongan. Penelitian Patanas di
provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1997 menunjukkan bentuk kelembagaan hubungan kerja
sambatan dan ceblokan sudah bergeser ke pola hubungan kerja komersial misalnya buruh lepas
dan buruh tetap. Pada tahun yang sama, sistem pengupahan yang sering dipakai adalah upah
harian dan upah borongan. Sedangkan sistem ceblokan dan sambatan sudah tidak ditemukan lagi
pada saat itu.

Sistem Upah Harian dan Borongan


Hubungan kerja pertanian berkembang ke arah sistem pasar melalui berkembangnya sistem
pengupahan dan kecenderungan ke istem borongan. Kecenderungan tersebut terjadi terutama
pada lahan sawah searah dengan diberlakukannya pengaturan/penggolongan waktu tanam.
Penerapan teknologi budi daya yang mengarah kepada penjadwalan waktu tanam yang ketat dan
berkembangnya penggunaan alat mekanis telah mendorong percepatan sistem pengupahan
borongan.
Bentuk hubungan kerja yang justru berkembang adalah sistem harian dan borongan, ada
kecenderungan sistem borongan berkembang lebih cepat dari upah harian. Upah Harian adalah
sistem upah yang dberikan secara harian dengan didasarkan pada jumlah hari kerja buruh tani.
Sistem pengupahan yang paling tua adalah sistem pembayaran dengan natura yaitu beras, yang
sekarang sudah tidak pernah lagi digunakan. Sistem ini sangat kaku, sangat tidak fleksibel bagi
penerima upah untuk menggunakan upah kerjanya bagi keperluan yang bukan konsumsi beras.
Upah natura kemudian menghilang digantikan dengan upah uang dan makan yang nilainya
masih setara dengan natura yang digantikan. Kelebihan dari upah harian adalah kegiatan buruh
tani terikat oleh waktu dan hasil akan mengikuti kehendak majikan, sementara keburukan dari
pengupahan sistem ini adalah buruh tani cenderung melambatkan pekerjaan untuk menghasilkan
hari kerja yang panjang.
Upah Borongan adalah pembayaran yang didasarkan pada satuan hasil kerja. Kelebihan
dalam upah borongan adalah pekerjaan cepat selesai, dan kegiatan buruh tani tidak terikat oleh
waktu. Sedangkan kelemahannya adalah hasil pekerjaan tidak seperti yang diinginkan majikan.
Sistem borongan umumnya dilakukan pada kegiatan pengolahan tanah dan panen, bahkan di
beberapa daerah sistem borongan juga dilakukan pada kegiatan tanam. Sistem upah harian
umumnya dilakukan terbatas pada kegiatan persemaian dan penyiangan. Sistem borongan oleh
pemilik lahan dinilai lebih menguntungkan karena dengan kebutuhan biaya yang sama apabila
menggnakan buruh harian, pengerjaan dapat lebih cepat selesai.
Selama ini kebanyakan sistem upah yang dipakai dalam hubungan kerja, terutama di
perdesaan yakni antara majikan atau penggarap dengan buruh hanya berdasarkan kesepakatan
secara lisan. Adapun sistem upah yang ada antara lain gotong royong, upah harian, borongan,
ceblokan/kedokan.
BAB VII
Partisipasi Masyarakat

Pengertian dan Prinsip Partisipasi Masyarakat

Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan
seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu,
seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui
berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan
dan tanggungjawab bersama.

Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat


dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya
mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang
terjadi.

Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu:

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta
dalam pengambilan keputusan;
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan
kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri;
4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu;
5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.

Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan
bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat)
secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.

Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut:


pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih
mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan
dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan
(pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah
program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan
kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip
partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif
yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique
Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:

a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan
prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa
memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai
tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan
(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-
langkah selanjutnya.
f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif
dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan
satu sama lain.
g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling
berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang
berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.

Bentuk dan Tipe Partisipasi

Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program
pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi
keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan, dan partisipasi representatif.

Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi
dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk
nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata
(abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan
sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial,
pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.

Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi


pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda adalah
partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau
perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk
pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan
partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya
kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut
dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.

Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat
atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar
pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan
pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan
dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk
berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam
setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan
bersama. Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia. Penjelasan
mengenai bentuk-bentuk partisipasi dan beberapa ahli yang mengungkapkannya dapat dilihat
dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi

Nama Pakar Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi


(Hamijoyo, 2007: 21; Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk
Chapin, 2002: 43 & Holil, memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian
1980: 81) kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
(Hamijoyo, 2007: 21; Holil, Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam
1980: 81 & Pasaribu dan bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa
Simanjutak, 2005: 11) alat-alat kerja atau perkakas.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan
Pasaribu dan Simanjutak, dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha
2005: 11) yang dapat menunjang keberhasilan suatu program.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan
Pasaribu dan Simanjutak, melalui keterampilan yang dimilikinya kepada
2005: 11) anggota masyarakat lain yang membutuhkannya.
Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan
kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
sosialnya.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi buah pikiran adalah partisipasi berupa
Pasaribu dan Simanjutak, sumbangan berupa ide, pendapat atau buah pikiran
2005: 11) konstruktif, baik untuk menyusun program maupun
untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga
untuk mewujudkannya dengan memberikan
pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan
kegiatan yang diikutinya.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi sosial, Partisipasi jenis ini diberikan oleh
Pasaribu dan Simanjutak, partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan,
2005: 11) menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga
sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam
rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
1980: 81) Masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam
rangka untuk mengambil keputusan yang terkait
dengan kepentingan bersama.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi representatif. Partisipasi yang dilakukan
1980: 81) dengan cara memberikan kepercayaan/mandat kepada
wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.

Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis, dapat ditarik sebuah


kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang diberikan masyarakat. Tipe partisipasi masyarakat
pada dasarnya dapat kita sebut juga sebagai tingkatan partisipasi yang dilakukan oleh
masyarakat. Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33) mengidentifikasikan partisipasi
masyarakat menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi
pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi melalui konsultasi,
partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan self
mobilization. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Tipe Partisipasi

No. Tipologi Karakteristik


1. Partisipasi pasif/ (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
manipulatif diberitahu apa yang sedang atau telah
terjadi;(b) Pengumuman sepihak oleh
manajemen atau pelaksana proyek tanpa
memperhatikan tanggapan masyarakat;
(c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada
kalangan profesional di luar kelompok sasaran.
2. Partisipasi dengan cara (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
memberikan informasi menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
seperti dalam kuesioner atau
sejenisnya;(b) Masyarakat tidak punya
kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi
proses penyelesaian; (c) Akurasi hasil penelitian
tidak dibahas bersama masyarakat.
3. Partisipasi melalui (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
konsultasi berkonsultasi;(b) Orang luar mendengarkan dan
membangun pandangan-pandangannya sendiri
untuk kemudian mendefinisikan permasalahan
dan pemecahannya, dengan memodifikasi
tanggapan-tanggapan masyarakat; (c) Tidak ada
peluang bagi pembuat keputusan bersama;
(d) Para profesional tidak berkewajiban
mengajukan pandangan-pandangan masyarakat
(sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4. Partisipasi untuk insentif (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
materil menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja,
demi mendapatkan makanan, upah, ganti rugi,
dan sebagainya;(b) Masyarakat tidak dilibatkan
dalam eksperimen atau proses pembelajarannya;
(c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
pada saat insentif yang disediakan/diterima habis.
5. Partisipasi fungsional (a) Masyarakat berpartisipasi dengan
membentuk kelompok untuk mencapai tujuan
yang berhubungan dengan
proyek;(b) Pembentukan kelompok (biasanya)
setelah ada keputusan-keputusan utama yang
disepakati; (c) Pada awalnya, kelompok
masyarakat ini bergantung pada pihak luar
(fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu
mandiri.
6. Partisipasi interaktif (a) Masyarakat berpartisipasi dalam analisis
bersama yang mengarah pada perencanaan
kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru
atau penguatan kelembagaan yang telah
ada;(b) Partisipasi ini cenderung melibatkan
metode inter-disiplin yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang terstruktur
dan sistematik; (c) Kelompok-kelompok
masyarakat mempunyai peran kontrol atas
keputusan-keputusan mereka, sehingga mereka
mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan
kegiatan.
7. Self mobilization (a) Masyarakat berpartisipasi dengan
mengambil inisiatif secara bebas (tidak
dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah
sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka
miliki;(b) Masyarakat mengembangkan kontak
dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang
dibutuhkan; (c) Masyarakat memegang kendali
atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Sumber: Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33)

Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan melalui
partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam apa partisipasi
masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh mana pemahaman masyarakat
terhadap suatu program sehingga ia turut berpartisipasi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu
program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada
juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia,
terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang
dalam berpartisipasi, yaitu:

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan
moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang
berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya
tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan
perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran
perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan
perempuan yang semakin baik.

3. Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat
mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi
peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan
berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan
mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan,
harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

5. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam
lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang juga dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:

1. Kepercayaan diri masyarakat;


2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat;
3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;
4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun
atas kekuatan sendiri;
5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui
sebagai/menjadi milik masyarakat;
6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena
penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat;
7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;
8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;
9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan umum masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari
unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi
partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:

1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat
dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di
luarnya;
2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan,
permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta
mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat;
3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial,
sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi
sosial;
4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat
atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan
berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.
BAB VIII
GENDER DALAM PERTANIAN

Dalam pekerjaan yang berhubungan dengan hutan, peran perempuan dalam pengumpulan
sayuran dan pandan relatif lebih tinggi. Pandan merupakan sumber mata pencarian yang penting
yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tikar di desa Anggawo. Meskipun perempuan
juga memiliki tanggung jawab dalam pengumpulan pandan dari hutan, peran utama mereka
adalah membantu laki-laki. Tanggung jawab laki-laki termasuk ekstraksi kayu, mengumpulkan
rotan dan lebah madu. Perbedaan antara persepsi laki-laki dan perempuan tidaklah terlalu
signifikan. Kami mendapatkan satu temuan menarik ketika kami membahas peran gender dalam
ekstraksi kayu. Perempuan berargumen bahwa mereka memberikan kontribusi terhadap
pekerjaan ini, namun laki-laki tidak mengakui hal tersebut. Kelompok perempuan menganggap
rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan memproduksi kayu, tetapi kelompok laki-laki tidak
memperhitungkan hal ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa walaupun perempuan
tidak terlibat secara fisik dalam produksi kayu, mereka menganggap daya pembuatan keputusan
mereka dalam hal kayu yang akan dipanen sebagai sebuah peran penting.

Lahan dan gender

Kepemilikan lahan berdasarkan gender merupakan topik diskusi yang penting dalam
rangka mengenali isu-isu persamaan dan keadilan gender dalam pengelolaan sumber daya alam.
Persepsi-persepsi berbasis gender mengenai pentingnya pemanfaatan lahan bagi mata pencarian
dan lingkungan penting untuk dikenali, karena informasi tersebut dapat menerangkan
bagaimana laki-laki dan perempuan berperan dalam pengelolaan lahan.

Kepemilikan tanah

Kepemilikan tanah per rumah tangga pada desa-desa yang disurvei rata-rata memiliki
luas sebesar 3.39 hektar dari total daerah. (Janudianto 2013). Kebun campur berbasis cokelat
adalah sistem pemanfaatan lahan yang penting bagi masyarakat di sebagian besar daerah,
dengan setiap rumah tangga memiliki lahan seluas 0.5-2,0 hektar (Tabel 12). Bercermin pada
situasi di Sulawesi Selatan, kepemilikan tanah di Sulawesi Tenggara biasanya dimiliki oleh
para suami atau laki-laki. Data dari Janudianto (2013) menunjukkan bahwa 42% dari petak-
petak lahan dimiliki oleh para suami, 42% dimiliki bersama oleh suami dan isteri, dan hanya
12% yang dimiliki oleh para isteri. Para isteri atau perempuan hanya dapat memiliki lahan
atau mencantumkan nama mereka di sertifikat tanah apabila mereka mewarisinya dari orang
tua mereka. Apabila penduduk lokal memperoleh tanah dengan jalan membelinya, maka
nama yang tercantum dalam sertifikat tanah haruslah nama suami, sang kepala rumah tangga.

Gambar 36. Status kepemilikan tanah terkini di Sulawesi Tenggara. Sumber data: Janudianto 2013
Tabel 12. Kepemilikan tanah di desa-desa yang disurvei di Sulawesi Tenggara

% Pemilik Rata-rata Siapa yang Siapa yang Siapa yang


tanah di luas tanah di memiliki tanah? memiliki hak memiliki hak
desa setiap desa (tercantum dalam untuk mewarisi untuk mengelola
sertifikat tanah) tanah? tanah

Kebun campur
Anggawo 80 2 – 4 hektar Laki-laki (bisa juga Laki-laki dan Laki-laki dan
perempuan perempuan perempuan
Simbune 95 0.5 – 2 hektar apabila mereka (pemilik)
Lawonua 25 0.5 – 2 hektar yang mewarisi
lahan)
Tasahea 95 0.5 – 5 hektar

Persepsi-persepsi lokal terhadap sistem-sistem pemanfaatan lahan dan fungsi-fungsi


mereka ditetapkan dengan penentuan skor menggunakan 100 buah kancing. Masyarakat
menentukan jumlah kancing untuk setiap pemanfaatan lahan dan fungsi-fungsi mereka yang
telah ditetapkan sebelum diskusi. Ada tiga permainan dalam kegiatan ini: pertama, anggota-
anggota masyarakat diminta untuk menimbang nilai-nilai dari pemanfaatan lahan berdasarkan
fungsi mereka dalam kaitannya dengan mata pencarian dan lingkungan, kemudian mereka
juga diminta menimbang fungsi dari setiap pemanfaatan lahan.
Serupa dengan hasil-hasil yang diperoleh di Sulawesi Selatan, fungsi dari jenis-jenis
pemanfaatan lahan seperti kebun campur, sistem sawah irigasi dan sawah ladang sebagian
besar dinilai fungsinya sebagai mata pencarian, sementara hutan dinilai untuk fungsi
lingkungannya. Baik diskusi kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan menunjukkan
pola-pola jawaban yang sama. Gambar 38 menunjukkan bahwa setiap tipologi desa juga
menampilkan pola-pola jawaban yang sama, yakni hutan dinilai tinggi untuk fungsi
lingkungannya, sistem sawah irigasi dan sawah ladang untuk fungsi mata pencarian mereka,
sementara sistem kebun campur lokal dinilai untuk fungsi mata pencarian dan
lingkungannya, meskipun fungsi mata pencarian mendapat nilai sedikit lebih tinggi dari
fungsi lingkungan.
Gambar 37. Fungsi-fungsi mata pencarian dan lingkungan dari setiap sistem pemanfaatan lahan menurut
perspektif laki-laki dan perempuan. Sumber data: DKT.

Gambar 38. Fungsi-fungsi mata pencarian dan lingkungan dari setiap sistem pemanfaatan lahan berdasarkan
tipologi-tipologi desa. Sumber data: DKT.
Fungsi mata pencarian sawah irigasi dinilai cukup tinggi. Pengamatan selama
diskusi-diskusi menunjukkan bahwa baik kelompok laki-laki maupun perempuan merasakan
kesulitan untuk menilai sistem ini dalam hal fungsi lingkungannya (Gambar 41. Persepsi).
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mereka tidak memiliki pemahaman lengkap mengenai
nilai konservasi air dan tanah serta isu-isu mengenai aturan-aturan iklim, terlihat dari
jawaban-jawaban mereka yang kadang-kadang tercampur aduk. Akan tetapi, mereka
sepenuhnya memahami hal keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan sistem sawah
irigasi, yang meskipun berisi satu tanaman utama, juga terdiri dari tumbuh-tumbuhan lain
disekelilingnya, seperti bermacam-macam jenis rumput dan pohon dan ditemukannya ternak
disekitar lahan.
Hal ini konsisten dengan temuan-temuan yang telah dibahas sebelumya, hutan selalu
mendapat nilai tertinggi dalam hal fungsi lingkungannya, baik dalam kelompok laki-laki
maupun perempuan (Gambar 38. Fungsi-fungsi mata pencarian dan lingkungan dari setiap
sistem pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi-tipologi desa. Sumber data: , Gambar 2).
Masyarakat memberikan nilai tertinggi terhadap pemanfaatan lahan untuk kebun campur
sebagai sumber penghasilan dan pemenuhan kebutuhan penghidupan, diikuti dengan sawah
irigasi (Gambar 43. Persepsi-persepsi mengenai nilai mata pencarian dari pemanfaatan lahan.
Sumber data: ) yang juga penting menurut fungsi ritual dan budayanya. Hutan merupakan
sumber utama bagi kayu bakar, namun kebun campur juga memberikan nilai pemanfaatan lahan yang
penting dengan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu bakar.

Gender dan pasar


Pasar yang dibahas pada makalah ini sebagian besar merujuk pada tingkat rumah tangga yang
berfokus pada peran para petani sebagai produsen, yang keberadaannya merupakan titik awal dalam
mata rantai pasar. Di dalam rumah tangga, laki-laki dan perempuan berperan dalam pemasaran,
dengan perempuan bertanggung jawab atas sayur-sayuran, padi dan dalam memilih komoditas yang
memiliki nilai pemasaran tinggi seperti cokelat, kemiri, cengkeh, dan kopi; sementara laki-laki
bertanggung jawab atas komoditas-komoditas kayu seperti jati, gmelina, dan rotan (Gambar 44.
Peran). Perempuan biasanya bertanggung jawab untuk memasarkan komoditas pertanian di sekitar
rumah mereka dan daerah pemukiman, sementara laki-laki memasarkan produk-produk baik yang
dihasilkan dari hutan atau pun yang berat timbangannya (seperti kayu). Para perempuan menerangkan
bahwa perdagangan kayu adalah wilayah kerja laki-laki karena mereka tidak memiliki pengetahuan
mengenai perkiraan volume kayu dan kemungkinan mereka harus melakukan perjalanan ke lapangan
atau hutan untuk melakukan transaksi. Mereka lebih bertanggung jawab terhadap pemasaran produk-
produk yang dekat dengan rumah karena pedagang-pedagang lokal biasanya datang ke rumah mereka
untuk melakukan transaksi dan memilih komoditas. Oleh karena itu, perempuan masih dapat
menjalankan tanggung jawab rumah tangga mereka sekaligus memasarkan produk-produk pertanian.

Gambar 44. Peran gender dalam pemasaran komoditas-komoditas umum. Sumber data: DKT.

Dalam melakukan transaksi dengan para pedagang lokal, baik kelompok laki-laki maupun
perempuan sependapat bahwa perempuan memiliki ketrampilan tinggi dalam negosiasi harga
bila dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi perihal kayu dan rotan, karena kurangnya
informasi mengenai fluktuasi harga dan dalam menilai harga kayu, laki-laki memiliki
kesempatan yang lebih baik dalam memperoleh harga yang bagus. Menariknya, dalam hal
kayu rotan, diskusi-diskusi kelompok di beberapa desa (Ambondia, Wanohoa, dan Simbune)
memberikan kesan bahwa perempuan mampu mendapatkan harga yang lebih tinggi dari
pada laki-laki, namun keterlibatan mereka dalam pemasaran rotan masih rendah. Akan
tetapi, sangatlah penting untuk diperhatikan bahwa meskipun perempuan memiliki
ketrampilan menawar harga yang baik, mereka masih memiliki kekurangan dalam hal
informasi fluktuasi harga. Para pedagang biasanya mengaitkan harga dengan kualitas
produk, tetapi produsen (para petani) memiliki informasi yang terbatas tentang bagaimana
memproduksi produk-produk berkualitas tinggi.
Gender dan kemiskinan
Sebuah langkah penting dalam rangka mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya
dengan usaha mengurangi kemiskinan adalah memperoleh pemahaman tentang bagaimana
penduduk menentukankan kemiskinan. Kebanyakan dari program-program pengurangan
kemiskinan menggunakan kriteria-kriteria yang dikembangkan dari indikator-indikator
umum dan standar yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi setempat. Sebuah
pertimbangan mengenai kemiskinan tidak hanya harus mencakup dimensi-dimensi
penghasilan dan pengeluaran, tetapi juga meninjau hal-hal lain yang mungkin lebih relevan
dengan konteks lokal. Selain itu, kemiskinan harus ditentukan berdasarkan kebutuhan dan
keinginan penduduk, dan tidak hanya dilihat sebagai proses pengurangan dan hubungan
antara si miskin dan si kaya.
Menetapkan kemiskinan berdasarkan persepsi-persepsi lokal merupakan tahap yang
penting dalam menentukan kriteria dan indikator lokal untuk menentukan dan merancang
intervensi-intervensi. Hal ini dapat menangkap aspek-aspek multi dimensi dari kemiskinan
dan proses-proses didalamnya. Definisi kemiskinan digunakan untuk menilai kondisi terkini
masyarakat dan menganalisa tingkat kesejahteraan mereka. Dalam diskusi-diskusi, para
petani diminta untuk menentukan kriteria yang akan mereka gunakan untuk membedakan
kondisi-kondisi kemiskinan atau kesejahteraan. Kriteria-kriteria dibawah ini dirangkum dari
diskusi-diskusi tersebut.
Penduduk yang tidak memiliki penghasilan/pekerjaan tertentu dikategorikan sangat miskin.
Ukuran minimumnya adalah penduduk memerlukan penghasilan sekitar Rp 1 juta untuk mencapai
kategori kesejahteraan terendah. Penduduk dengan penghasilan dibawah ukuran minimum tersebut
dikategorikan miskin. Sebuah pekerjaan penting untuk mengindikasikan kesejahteraan. Penduduk
tanpa pekerjaan yang menghasilkan pendapatan dianggap pemalas–kadang-kadang mereka memiliki
tanah dan sumber daya, tetapi karena mereka tidak memanfaatkannya untuk sumber pendapatan,
mereka menjadi miskin. Untuk kategori ketiga, kepemilikan tanah juga berperan dalam
mengindikasikan kesejahteraan. Penduduk dengan lahan terbatas (kurang dari 0.5 hektar)
dikategorikan miskin. Kategori yang keempat merujuk pada rumah dan aset-aset seperti kendaraan.
Penduduk dengan kondisi rumah yang memprihatinkan (dinding dari bambu, atap terbuat dari jerami
dan berlantaikan tanah) dikategorikan miskin. Terakhir, di beberapa daerah, penduduk yang tidak
memiliki sepeda motor dikategorikan miskin, meskipun mereka memiliki sebuah rumah yang bagus.
Gambar 45. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan kesejahteraan dan/atau kemiskinan
berdasarkan perspektif gender. Sumber data: DKT.

Perbedaan antara perspektif laki-laki dan perempuan dalam penentuan kriteria-kriteria


tersebut disajikan pada Gambar 46. Kriteria-kriteria kemiskinan dan/atau kesejahteraan
seperti yang dirasakan oleh masyarakat lokal per kelompok tipologi desa. Sumber data: .
Keduanya berpendapat bahwa penghasilan merupakan kriteria pertama dalam menentukan
kesejahteraan, meskipun para perempuan yang memberikan nilai lebih tinggi terhadap
kriteria ini. Para laki-laki menilai bahwa kepemilikan tanah adalah kriteria kedua dalam
menentukan kesejahteraan. Para perempuan berpendapat bahwa pekerjaan dan aset-aset lebih
penting dalam menentukan kesejahteraan, sementara kepemilikan tanah dianggap kurang
begitu penting.

Gambar 46. Kriteria-kriteria kemiskinan dan/atau kesejahteraan seperti yang dirasakan oleh masyarakat lokal
per kelompok tipologi desa. Sumber data: DKT.
Penghasilan merupakan kriteria utama dalam menentukan kesejahteraan dan
kemiskinan di setiap kelompok tipologi desa dalam daerah penelitian (Gambar 46. Kriteria-
kriteria kemiskinan dan/atau kesejahteraan seperti yang dirasakan oleh masyarakat lokal per
kelompok tipologi desa. Sumber data: ). Akan tetapi, pada Kelompok C (Tasahea),
penghasilan tidak dianggap penting dalam menentukan kemiskinan. Penduduk di desa ini
menyebutkan bahwa sebuah pekerjaan tertentu, aset-aset dan kepemilikan tanah merupakan
kriteria utama dalam menentukan kesejahteraan. Di dalam Kelompok D, kepemilikan tanah
tidak dinilai penting, tetapi penghasilan tetap dari pekerjaan tertentu merupakan hal yang
penting dalam mengindikasikan kesejahteraan, sementara penduduk yang memiliki
penghasilan yang sangat rendah dari pekerjaan seperti buruh atau tanpa pekerjaan sama
sekali disebut miskin.

Masyarakat kemudian diminta untuk menilai tingkat kondisi kemiskinan mereka dari kondisi
sebelumnya sampai dengan saat ini. Hal ini penting untuk menggambarkan bagaimana mereka
menentukan kondisi mereka berdasarkan kriteria-kriteria kemiskinan atau kesejahteraan yang mereka
tetapkan. Pola-pola kesejahteraan dari masa lampau sampai saat ini hampir sama di setiap desa, yakni
bergerak ke arah yang sama, dengan kesejahteraan yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara sebagian besar perempuan menerangkan status kesejahteraan mereka selalu meningkat,
para laki-laki di diskusi-diskusi kelompok yang sama menyatakan sebaliknya, yakni kondisi mereka
saat ini masa dibawah periode sebelumnya yang disebabkan oleh isu-isu produktifitas pertanian dan
fluktuasi harga. Faktor-faktor penyebabnya biasanya sangat spesifik di setiap daerah, namun kami
dapat merangkum faktor-faktor lain yang mempengaruhi bagaimana penduduk melihat status
kesejahteraan mereka seperti yang tercantum dibawah ini.

Penyebab alami: hama/penyakit, produksi pertanian dan perkebunan, kegagalan panen dan
bahaya-bahaya alam.

Intervensi luar: pengenalan teknologi, program-program pertanian dan perkebunan


pemerintah, listrik.
Tekanan pasar: fluktuasi harga.

Pembangunan infrastruktur: jalan-jalan beraspal menentukan kemudahan akses,


semakin mudah diaksesnya suatu tempat, semakin tinggi kesejahteraannya disebabkan
oleh pembangunan.
Isu-isu gender pada tingkat propinsi menunjukkan bahwa kesenjangan terjadi
berkaitan dengan isu-isu pembangunan. Isu-isu tersebut berhubungan dengan ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan, seperti yang ditunjukkan oleh tingkat-tingkat IPG dan IDG
yang masih dibawah standar nasional. Oleh karena itu, sebuah program terpadu harus
diimplementasikan untuk meningkatkan peran serta perempuan pada tingkat masyarakat
(dengan mempertimbangkan mereka sebagai penghasil pendapatan) serta pada tingkat meso,
sehingga mereka dapat lebih berpartisipasi dalam parlemen dan proses pembuatan keputusan
di rumah dan masyarakat.
Laki-laki dan perempuan memiliki peran-peran berbeda dalam mengelola rumah
tangga, kegiatan pertanian, dan sumber daya alam. Untuk bidang rumah tangga, produksi
pertanian, pengelolaan pemanfaatan lahan, dan pemasaran, perempuan kebanyakan
bertanggung jawab dalam tugas-tugas rumah tangga dan pemeliharaan lahan yang dekat
dengan wilayah pemukiman. Tanggung jawab laki-laki sebagian besar adalah dalam
menghasilkan pendapatan dengan bekerja di sektor publik dan bertanggung jawab penuh
dalam memelihara lahan yang terletak jauh dari wilayah pemukiman, serta dalam pekerjaan
fisik yang berat. Kedekatan antara lokasi kerja dengan pemukiman merupakan hal yang baik
bagi perempuan karena mereka dapat melakukan kerja produktif serta memenuhi tanggung
jawab rumah tangga mereka.
Hubungan antara gender dan lahan dibahas sehubungan dengan hak-hak atas tanah
dan kepemilikan tanah serta bagaimana gender mempengaruhi persepsi-persepsi terhadap
pemanfaatan lahan dan fungsinya. Mengenai hak-hak atas tanah, perempuan tampaknya masih
kurang diakui haknya sebagai pemilik tanah karena sebagian besar sertiifikat tanah masih atas nama
laki-laki. Penetapan kondisi yang lebih kondusif bagi perempuan sebagai pemilik tanah dan
dilegalisasikan dalam sertifikat tanah akan meningkatkan keadilan dalam hal hak-hak atas tanah dan
kepemilikan tanah. Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila perempuan tidak mengepalai rumah
tangga, namun bagi wanita yang merupakan kepala rumah tangga, situasi ini tidak adil. Laki-laki dan
perempuan memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam kaitannya dengan bagaimana gender
mempengaruhi persepsi-persepsi mengenai nilai pemanfaatan lahan seperti kepentingan dan fungsiny
Data di kedua propinsi dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
peran-peran penting yang berbeda dalam pengelolaan sumber daya alam. Peran-peran yang berbeda
tersebut mencerminkan kebutuhan dan minat yang berbeda dalam mengatur sumber daya. Data
menunjukkan bahwa perempuan lebih berpengetahuan luas mengenai nilai-nilai pemanfaatan lahan
yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan seperti keanekaragaman hayati, sementara laki-laki lebih
menyadari perihal konservasi atau perlindungan lingkungan. Keanekaragaman hayati dalam konteks
ini berkaitan dengan tanaman obat-obatan. Perempuan juga dikenal memiliki pengetahuan tentang
penggunaan tanaman tersebut. Oleh karena itu, memperlengkapi perempuan dengan kemampuan
untuk lebih berperan dalam pengelolaan pemanfaatan lahan akan membantu pemeliharaan
keanekaragaman hayati serta meningkatkan peran perempuan.
Mata rantai pasar di Sulawesi, khususnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, telah
memperhitungkan perempuan. Mereka memiliki posisi yang sama dalam hal pemasaran dan mereka
bertanggung jawab dalam memasarkan cokelat, cengkeh dan kopi. Akan tetapi, produsen atau
penduduk desa berada pada posisi akhir dalam mata rantai pasar dan tidak memiliki akses ke
pengetahuan tentang pasar dan informasi yang berkaitan dengan produk (seperti kualitas dan harga).
Mereka memiliki ruang yang sempit untuk memperbesar kesempatan/pendapatan mereka. Kriteria
dan indikator yang direkomendasikan untuk pemberdayaan gender:
Dalam kaitannya dengan hubungan antara lahan dan gender: Mengembangkan situasi yang
kondusif guna memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi pemilik tanah dan
dilegalisasikan dalam sertifikat tanah, khususnya bagi rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan;
Yang berkaitan dengan gender, kegiatan rumah tangga dan pertanian: Memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk lebih berperan di bidang publik, penyuluhan, bantuan teknis, kredit dan kegiatan-
kegiatan lainnya (Martini dkk 2013), yang lokasinya dirancang dekat dengan daerah-daerah kerja
perempuan di desa-desa; Yang berhubungan dengan gender dan sumber-sumber mata pencarian:
Sebuah program yang memiliki sasaran sumber mata pencarian yang disukai baik oleh laki-laki
maupun perempuan seperti kebun campur, sawah irigasi dan produksi jagung di Sulawesi Selatan;
Dalam kaitannya dengan gender dan pasar: Pengetahuan perempuan mengenai kualitas produk seperti
cokelat, kopi dan cengkeh sebaiknya ditingkatkan; hal ini akan memampukan mereka untuk aktif
dengan kemampuan menawar yang kuat bukan hanya dalam hal harga, tetapi juga dalam posisi
mereka dalam mata rantai pasar.
Gambar 32. Peran perempuan dalam kegiatan-kegiatan sistem pertanian di Sulawesi Tenggara.
Sumber data: Survei-survei rumah tangga

Gambar 33. Peran gender dalam kebun campur tradisional. Sumber data: DKT.
BAB IX

MOBILITAS SOSIAL

Dasar pemahaman Mobilitas Sosial


1. gerakan sosial vertikal yang benar-benar bebas maupun yang benar-benar
tertutup tidak berlaku bagi semua orang
2. laju mobilitas sosial vertikal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah faktor ekonomi, politik dan berbagai perbedaan pekerjaan lainnya
Pengertian Mobilitas Sosial

gerak atau perpindahan yang melibatkan seseorang atau


sekelompok orang dalam suatu kehidupan sosial atau
Mobilitas Sosial masyarakat
selalu ditujukan pada gejala gerak berpindahnya suatu status
sosial
satu ke status sosial lainnya
suatu gerak dalam struktur sosial (social structure), yaitu suatu
pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok
sosial
Tipe-tipe mobilitas sosial
1. Gerak Sosial Horisontal -obyek sosial
lainnya, dari suatu kelompok sosial satu ke kelompok sosial lainnya dalam
posisi yang sederajat
2.
kedudukan sosial yang satu ke kedudukan sosial lainnya dalam posisi yang tidak
sederajat
Gerak vertikal naik
masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan sosial
rendah ke posisi kedudukan sosial yang lehib tinggi
pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada
derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk
kelompok tersebut
Gerak vertikal menurun
turunnya kedudukan individu ke posisi atau kedudukan lain yang
lebih rendah derajatnya
turunnya derajat sekelompok individu dari suatu derajat atau posisi atau
kedudukan yang lebih tinggi ke posisi atau kedudukan yang lebih rendah
Mobilitas Antargenerasi

hidup dalam suatu garis keturunan yang menunjuk pada kedudukan (status)
sosial dari status generasi ke generasi berikutnya.
Selanjutnya mobilitas antar generasi dapat dibedakan menjadi dua macam; yaitu:
1.
beberapa generasi seperti berikut ini dan sifatnya vertikal

kakek nenek

ayah ibu

anak

jika generasi sekarang tetap menempati lapisan sosial yang sama

intergenerasi.

kakek nenek

Tuan tanah

ayah ibu

(Guru) (Guru)

anak

Pedagang kaki lima


2.

ayah ibu

petani

Anak1 Anak2 Anak3


(petani) (petani) (pengusaha)

generasi yang sama, seperti skema berikut ini

Konsekwensi Dari Mobilitas Sosial

Konflik
antara nilai dan kepentingan

Konflik antar kelas sosial


diinginkan sedangkan di sisi lain terdapat pihak yang mempertahankan
kedudukan sosial itu

Konflik antar kelas sosial antara lain;

1. reaksi negatif yang dialami warga baru suatu kelas sosial dari warga lama
2. reaksi negatif individu terhadap perlakuan masyarakat sehubungan
dengan kewlas sosial yang baru
3. reaksi negatif masyarakat terhadap kelas sosial baru

Konflik antar kelompok sosial


dibandingkan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya

Konflik antar kelompok sosial berupa;


1. Reaksi kelompok tertindas terhadap penguasa
2. Tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok sosial akibat korban
fanatisme
3. Protes suatu kelompok sosial terhadap pihak yang berwenang untuk
mendapat perlakuan yang adil

Konflik Antargenerasi
dengan generasi lainnya, sehingga tata hubungan antar generasi yang
selama ini berlaku tidak diakui lagi atau dipersoalkan oleh generasi
tertentu

Konflik antar generasi berupa:


1. Tuntutan generasi muda untuk diperlakukan secara baru,
dalam hak dan kewajiban
2. Penolakan generasi tua untuk menyesuaikan diri dengan perubahan

Penyesuaian
penyesuaian terhadap perubahan yang ada sehingga keadaan stabilitas sosial
yang baru akan tercipta

Sebab-sebab penyesuaian;

1. Perlakuan baru masyarakat terhadap kelas sosial, kelompok sosial,


atau generasi tertentu
2. Pemerintah individu atau sekelompok warga akan kedudukannya yang baru
3. Pergantian dominasi dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat
Perubahan sosial dan dampaknya bagi mobilitas sosial

No Struktur masyarakat Feodal Struktur masyarakat kapitalis


pola-pola pengkelas-kelasan sosial struktur sosial ditandai oleh
yang terdiri atas dua kelas sosial beragamnya kelas-kelas sosial,
1 yang dominan yaitu golongan golongan yang memiliki kedudukan
kelas aristokrat (bangsawan) dan sosial kerena berbagai faktor seperti
golongan rakyat jelata sebagai ekonomi, intelektual dan berbagai
golongan kelas potensi lainnya
dua

pola-pola pelapisan sosial orientasi tinggi-rendahnya kedudukan


2 didasarkan pada luas dan sosial diukur dari kepemilikan jumlah

sempitnya tanah yang dimilkinya uang sebagai modal produksi atau


modal
usaha
sifat pelapisan sosial dan
3 diferensiasi sosial adalah tertutup, stratifikasi, diferensiasi dan mobilitas
sehingga menimbulkan sifat sosial bersifat relatif terbuka
mobilitas sosial
yang tertutup juga
status sosial ditandai oleh adanya
yang lebih dominan adalah gelar-
4 gelar- gelar bangsawan dari
gelar akademik
golongan
bangsawan

Titik tekananya pada perubahan struktur masyarakat feodal yang berporos


pada pola-pola agraris ke arah struktur masyarakat kapitalis yang berporos
pada industri

Anggota masyarakat yang semula berkedudukan sebagai tuan tanah menjadi


pemilik perusahaan (borjuis) dan yang semula berkedudukan sebagai buruh
tani menjadi buruh industri (proletar)

kapitalisme dan dari kapitalisme ke sosialisme yang selalu di dominasi oelh


dualisme kelas sosial yang antagonistik

staus dan kewenangan personal, sehingga konflik terjadi karena satu sisi
merebut status dan kewenangan sedangkan di sisi lain terdapat pihak yang
mempertahankan status dan kewenangan tersebut
DAFTAR PUSTAKA

1. Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
2. Yayuk Yuliati, dkk. 2003. Sosiologi Pedesaan. Lappera Pustaka Utama. Yogyakarta.
3. Ulrich Planck. 1993. Sosiologi Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
4. Bahrein T. Sugihen. 1997. Sosiologi Pedesaan, Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
5. Jefta Leibo Sosiologi Pedesaan. Andi Offset. Yogyakarta.
6. Johnson, Doyle Paul dan Robert M.Z. Lawang. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan
Modern. PT Gramedia. Jakarta
7. William J. Goode. 2002. Sosiologi Keluarga. Bina Aksara. Jakarta
8. Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Grameddia.
Jakarta.
9. Oakley, Peter and David Marsden, 1984. Approaches to Participation in Rural
Development, International Labour Office, Geneva.
10. Ester Boserup. 1984. Peran wanita dalam perkembangan ekonomi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
11. Astrid S. Susanto. 1984. Sosiologi Pembangunan. Binacipta. Jakarta.
12. Mohamad Hasbi. Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat. 1990.
Yayasan Genta Budaya.
13. Sunarto Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. FEUI. Jakarta.
14. Koentjaraningrat. 1982. Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi
Terapan. LP3ES. Jakarta
15. Faisal Kasrino. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia.
16. Eric R. Wolf. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologi

Anda mungkin juga menyukai