SOSIOLOGI PERTANIAN
PENYUSUN
Dr. Ir. Charles Ngangi, MS
Halaman
HALAMAN SAMPUL....................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB I ORIENTASI SOSIOLOGI .............................................. 1
BAB II PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL ............... 14
BAB II KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT ........................... 29
BAB III KELEMBAGAAN SOSIAL ............................................... 43
BAB IV STRATIFIKASI SOSIAL................................................... 55
BAB VI PENGUASAAN TANAH DAN KELEMBAGAAN ......... 75
BAB VII PARTISIPASI MASYARAKAT...................................... 92
BAB VIII GENDER DALAM PERTANIAN................................. 101
BAB IX MOBILITAS SOSIAL....................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 119
BAB I
ORIENTASI SOSIOLOGI
A. Pendahuluan
Sosiologi merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri sebab telah memenuhi segenap unsur ilmu
pengetahuan. Unsur-unsur ilmu pengetahuan dari sosiologi adalah sosiologi bersifat logis,
objektif, sistematis, andal, dirancang, akumulatif, dan empiris, teoritis, kumulatif, non etis.
Sosiologis bersifat logis artinya sosiologi disusun secara masuk akal, tidak
bertentangan dengan hukum-hukum logika sebagai pola pemikiran untuk menarik
kesimpulan. Sosiologi bersifat obyektif artinya sosiologi selalu didasarkan pada fakta dan
data yang ada tanpa ada manipulasi dari data. Sosiologi bersifat sistematis artinya sosiologi
disusun secara rapi, sesuai dengan kaidah keilmuan. Sosiologi bersifat andal artinya
sosiologi dapat dibuktikan kembali, dan untuk suatu keadaan terkendali harus menghasilkan
hasil yang sama. Sosiologi bersifat dirancang/direncanakan artinya sosiologi didesain lebih
dahulu sebelum melaksanakan aktivitas penyelidikan. Sosiologi bersifat akumulatif artinya
sosiologi merupakan ilmu yang akan selalu bertambah dan berkembang seiring dengan
perkembangan keinginan dan hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penemuan (kesimpulan, kebenaran) kemudian menggugurkan penemuan sebelumnya.
Sosiologi bersifat empiris, artinya sosiologi didasarkan pada observasi terhadap
kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. Sosiologi bersifat teoritis,
artinya sosiologi selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil penelitian.
Sosiologi bersifat kumulatif, artinya sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada
dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori lama. Sosiologi bersifat
non-ethnis, artinya sosiologi yang dibahas dan dipersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta
tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
(Tjipto Subadi, 2009:1-2)
Sedangkan ciri-ciri ilmu pengetahuan dari sosiologi menurut Soerjono Soekanto
(1986: 11) adalah :
1. Sosiologi bersifat empiris, yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan
pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat
spekulatif.
2. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk
menyusun abstraksi dari hasil-hasil penelitian.
3. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar
teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus
teori-teori lama.
4. Sosiologi bersifat non-ethis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta
tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana untuk membedakan sosiologi
dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang tergabung pula dalam ilmu-ilmu sosial?
Mengenai persoalan ini masih banyak tumpang tindih oleh karena pembedaannya tidak
tegas dan bukan hanya menyangkut perbedaan dalam isi atau objek penyelidikan, akan
tetapi juga menyangkut perbedaan tekanan pada unsur-unsur objek yang sama, atau
lebih jelasnya pendekatan yang berbeda terhadap objek yang sama. Untuk lebih
memberikan gambaran yang jelas dipersilahkan membaca secara cermat dan teliti
uraian berikut ini..
1. Pengetian Sosiologi
Sosiolog De Saint Simon, bapak perintis sosiologi (1760-1825) menjelaskan
bahwa sosiologi itu mempelajari masyarakat dalam aksi-aksinya, dalam usaha
koleksinya, baik spiritual maupun material yang mengatasi aksi-aksi para peserta
individu dan saling tembus menembus (lihat “Traite de Sociologie 1962, dari Georges
Gurvitch Jilid I hal. 32).
Mayor Polak, memberikan komentarnya terhadap pandangan Simon tersebut
bahwa definisi itu agak samar-samar bagi para pendatang baru dalam bidang sosiologi.
Maka kemudian Polak menyampaikan pandangannya tentang sosiologi yang diawali
dengan penyataannya sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
adalah suatu kompleks atau disiplin pengetahuan tentang suatu bidang realitas tertentu,
yang didasarkan pada kenyataan (fakta-fakta) dan yang disusun serta diantar-hubungkan
secara sistematis dan menurut hukum-hukum logika. Karena pengetahuan ilmiah
didasarkan pada fakta-fakta maka orang sering menamakannya “obyektif”. Pernyataan
ini kurang tepat, pada hakekatnya tidak ada pengetahuan obyektif. Hasil-hasil
pengamatan kita tentang dunia luar semuanya diolah dalam otak kita masing-masing,
jadi sifatnya subyektif. Tetapi panca indera kita adalah serupa dan tidak tunduk kepada
logika yang sama, sehingga kita dapat menemukan pengetahuan ilmiah itu “antar-
subyektif”. Untuk lebih memperdalam pemahaman kita tentang sosiologi berikut ini
penulis sajikan pengertian sosiologi dari beberapa pandangan para ahli tentang
sosiologi.
a. Bapak sosiologi adalah Auguste Comte (1789-1853). Kata sosiologi mula-mula
digunakan oleh Auguste Comte, dalam tuliasannya yang berjudul Cours de
Philosopie Positive (Positive Philosophy) tahun 1842. Sosiologi berasal dari bahasa
latin yang dari dua kata; Socius dan Logos. Secara harfiah atau etimologis kata
socius berarti teman, kawan, sahabat, sedangkan logos berarti ilmu pangetahuan.
Jadi sosiologi berarti ilmu pengetahuan tentang bagaimana berteman, berkawan,
bersahabat atau suatu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana bergaul dengan
masyarakat, dengan kata lain sosiologi mempelajari tentang masyarakat, atau ilmu
pengetahuan tentang hidup masyarakat. Secara operasional Auguste Comte
menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum
yang merupakan pula hasil terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, didasarkan
pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya,
dibentuk berdasarkan observasi dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
masyarakat serta hasilnya harus disusun secara sistematis.
b. Emile Durkheim (1858-1917) pernah menamakan sosiologi adalah ilmu tentang
lembaga-lembaga sosial, yakni pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang sudah
“tertera” yang sedikit banyak menundukkan para warga masyarakat.
c. Pitirim Sorokin (terjemahan bebas dari Sorokin, Contemporary Sociological
Theories, 1928: 760-761) menjelaskan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-
gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain
sebagainya.
d. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff dalam bukunya yang berjudul
“Sociology” Edisi Keempat, halaman 39 dijelaskan bahwa sosiologi adalah
penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya berupa organisasai
sosial.
e. J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers, dalam bukunya yang berjudul “Modern
Sociology, Systematic en Analyse, (1964: 24) dijelaskam bahwa sosiologi ilmu
pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang
bersifat stabil. (Soerjono Soekanto, 1986:15-16).
f. Pengertian sosiologi dari ilmuwan sosial lain, menjelaskan bahwa sosiologi adalah:
1) Suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat.
2) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan yakni antar hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
3) Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan yakni antara hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, kelompok dengan kelompok baik formal maupun material.
4) Sosiologi adalah suatu ilmu prengetahuan yang mempelajari masyarakat
sebagai keseluruhan, yakini antar-hubungan diantra manusia dengan manusia,
manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun
material, baik statis maupun dinamis (Mayor Polak, 1979: 4-8)
Pengertian sosiologi yang lain, disampaikan juga oleh:
g. Alvin Bertrand, ia mengatakan bahwa sosiologi adalah studi tentang hubungan
antar manusia (human relationship).
h. P. J. Bouwman, juga memberikan sumbangan pemikiran tentang pengertian
sosiologi adalah ilmu masyarakat secara umum. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial (Ary H.
Gunawan, 2000: 3). Pengertian ini hampir sama dengan pengertian sosiologi yang
disampaikan oleh Soerjono Soekanto bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan sosial.
Dari beberapa definisi tentang sosiologi tersebut di atas terdapat dua hal yang
penting dalam memahami sosiologi. Pertama, masyarakat sebagai keseluruhan. Kedua,
masyarakat sebagai jaringan antar hubungan sosial. Tugas sosiologi adalah untuk
menyelami, menganalisa dan memahami jaringan-jaringan antar hubungan itu.
Penerapan teori sosiologi. Penerapan teori sosiologi dalam lingkungan
masyarakat ditunjukkan adanya hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala
sosial dengan gejala-gejala non-sosial, misalnya gejala geografis, biologis dan
sebagainya. Dan ciri umum dari pada semua jenis gejala-gejala sosial. Roucek dan
Warren (terjemahan bebas dari Roucek dan Werren, Socuology an Introduction, 1962:
3) bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok.
1) Obyek Sosiologi
Meyer F. Nimkoff, dalam M. Nata Saputra (1982: 30-31) membagi objek
sosiologi ke dalam 7 objek, yaitu: (1) faktor dalam kehidupan sosial manusia, (2)
kebudayaan, (3) sifat hakiki manusia (human nature), (4) kelakuan kolektif, (5)
persekutuan hidup, (6) lembaga sosial, dan (7) perubahan sosial (social change). Dalam
garis besarnya ada 3 pendapat tentang objek sosiologi, yaitu;
a. Objek sosiologi adalah individu (individualisme). Tokohnya George Simmel, yang
memandang masyarakat dari sudut individu; kresatuan kelompok itu asalnya
semata-mata dari kesatuan yang nyata berwujud yang terdiri dari manusia-manusia
perorangan. George Simmel menitik beratkan pada daya pengaruh mempengaruhi
antara individu-individu yang merupakan sumbar segala pembentukan kelompok.
b. Objek sosiologi adalah kelompok manusia/masyarakat (kolektivisme). Tokohnya
Ludwik Gumplowicz. Baginya masyarakat atau kelompok manusia merupakan
satu-satunya objek sosiologi. Dalam peristiwa sejarah, individu adalah pasif di
mana kehidupan kerokhaniannya ditentukan oleh kehendak masyarakat. Perhatian
Ludwik terutama dicurahkan pada perjuangan antara golongan-golongan.
c. Objek sosiologi adalah realitas sosial. Pandangan yang individualistis dan
kolektivistis tersebut di atas itu biasanya dipandang sebagai berat sebelah, karena
itu pandangan ketiga ini ingin menjauhi kelemahan itu. Pandangan ini melihat
kehidupan sosial dari sudut saling mempengaruhi dan bersikap tidak memihak
terhadap pertentangan antara kedua faham tersebut. Bahkan ada yang tidak
mengakui pertentangan yang ada antara kedua faham itu. Ada dua tokoh dalam
pandangan ini;
1) Ch. H. Cooley berpendapat sosiologi ditujukan kepada realitas sosial. Ia
mengembangkan konsepsi dari saling tergantung dan ketidak terpisahanya
individu dan masyarakat. “Diri sendiri dan masyarakat itu adalah dua anak
kembar”. Begitu pula kesadaran sosial tak terpisah dari kesadaran sendiri.
Teori Cooley berdasarkan pendapat bahwa pergaulan hidup masyarakat
merupakan suatu keseluruhan. Individu dan masyarakat tak dapat ada sendiri-
sendiri, tetapi kedua-duanya merupakan segi-segi dari suatu kenyataan. Satu
hal yang penting dari teori ini adalah pengertian tentang “primary group”
seprti keluarga, lingkungan tetangga, lingkungan sahabat dan sebagainya.
Primary group dengan hubungan face to face yang akrab, merupakan tempat
mencetak semua sikap pribadi seseorang dan sikap-sikap sosial.
2) L. Von Wiese. Ia menamakan sosiologi Beziehunglehre, yaitu ilmu pengetahuan
mengenai perhubungan antara sesama manusia, atau hubungan sosial.
Sosiologi dipandang sebagai ilmu pengetahuan empiris dan objeknya adalah
perhubungan manusia membentuk sosial. Dasar penyelidikan sosiologi adalah
hubungan sosial/proses sosial, yaitu perubahan-perubahan dalam social
distance (perubahan-perubahan dalam jarak hubungan sosial). Ia terutama
memperhatikan proses-proses sosial dari “assosiasi” (perkaitan) dan
“disasosiasi” (perpecahan). Dalam suasana sosial, ia hanya melihat proses-
proses dan rangkaian peristiwa-peristiwa yang tentunya juga melibatkan
individu.
Menurut Jabal Tarik Ibrahim (2002: 2) obyek sosiologi adalah masyarakat,
masyarakat yang dimaksud adalah hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari
hubungan antar manusia dalam masyarakat. Masyarakat (society) adalah sejumlah orang
yang bertempat tinggal hidup bersama menjadi satu kesatuan dalam sistem kehidupan
bersama. Sistem hidup bersama ini kemudian menimbulkan kebudayaan termasuk
siatem hidup itu sendiri.
h. Merupakan hasil penelitian yang tersusun menjadi suatu kesatuan yang bulat, sistematis,
logis, saling berhubungan.
i. Memiliki tujuan.
PENDAHULUAN
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan
tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan
goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh
timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara
sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum.
Apabila dilihat dari orientasinya, tindakan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) Tindakan non-sosial, yakni tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang tetapi tidak
diorientasikan kepada pihak lain. Sebagai contoh: seseorang yang sedang memandangi
potret dirinya atau seseorang berdiam diri di kamar pribadinya sambil merenungi nasibnya.
b) Tindakan sosial, yakni tindakan-tindakan yang oleh pelakunya diorientasikan kepada pihak
lain. Sebagai contoh: seseorang menyapa teman yang lewat di depan rumahnya atau seorang
murid berbicara dengan gurunya. Dilihat dari tekanannya tentang cara dan tujuan tindakan
itu dilakukan, dapat dibedakan menjadi empat macam tindakan, yaitu:
1) tindakan rasional-instrumental; yakni tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan
kesesuaian antara cara dan tujuan; dalam hal ini actor memperhitungkan efisiensi dan
efektivitas dari sejumlah pilihan tindakan. Contoh: tindakan memilih program atau jurusan di
SMU dengan mempertimbangkan bakat, minat dan cita-cita, tindakan rajin belajar supaya
lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru, bekerja keras untuk mendapatkan nafkah yang
cukup, dan sebagainya.
2) Tindakan berorientasi nilai; yakni tindakan-tindakan yang berkaitan dengan N ilai-nilai
dasar dalam masyarakat, sehingga aktor tidak lagi mempermasalahkan tujuan dari tindakan,
yang menjadi persoalan dan perhitungan aktor hanyaalah tentang cara. Contoh: tindakan-
tindakan yang bersifat religio-magis atau berdasarkan keyakinan agama tertentu.
3) Tindakan tradisional; merupakan tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan
rasional. Tindakan ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan kebiaasaan dan adat istiadat.
Contohnya: berbagai macam upacara atau tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan
kebudayaan leluhur. Agak tidak mudah membedakan tindakan tradisional dengan tindakan
yang berorientasi nilai, karena dua tindakan ini memang memiliki kesamaan, misalnya
ketidakpeduliannya tentang tujuan dari tindakan, orientasinya kepada caracara atau tahapan-
tahapan yang harus dilalui, dan sebuah tradisi biasanya dipertahankan oleh sebagian besar
warga masyarakat karena terkait dengan nilai tertentu. Namun, tetap dapat dibedakan yakni
orientasi suatu tindakan tradisional adalah pada bahwa cara tersebut dilakukan menurut cara
yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Makna dari tindakan tidak begitu dipermasahkan,
sedangkan pada tindakan berorientasi nilai makna tindakan sangat diperhatikan karena
berkait dengan nilai yang dijunjung tinggi.
4) Tindakan afektif; yakni tindakan-tindakan yang dilakukan oleh actor berdasarkan perasaan
(afeksi). Contohnya: tindakan mengamuk karena marah, meloncat-loncat kegirangan karena
perasaan senang yang berlebihan, tindakan menolak karena benci, jatuh cinta, dan
sebagainya.
Interaksi sosial dapat diberi pengertian sebagai hubungan timbal-balik yang dinamis dan saling
mempengaruhi yang terjadi di antara individu atau kelompok individu dalam masyarakat. Pola
interaksi sosial dapat berupa hubungan timbalbalik antara:
b. individu dengan individu, misalnya dua orang teman yang sedang bercakap-cakap
c. individu dengan kelompok, misalnya seorang guru yang sedang mengajar di kelas
d. kelompok dengan kelompok, misalnya interaksi yang terjadi pada sebuah pertandingan
sepakbola.
Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
g. Kontak sosial, yaitu peristiwa terjadinya hubungan, sambungan atau sentuhansosial (dapat
disertai sentuhan jasmaniah maupun tidak) antara dua orang atau lebih.
h. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan atau informasi dari satu pihak (komunikator)
ke pihak lain (komunikan) dengan menggunakan symbol simbol. Simbol dapat berupa kata-
kata, suara, gerak isyarat, benda, dsb. Proses komunikasi dinyatakan berlangsung apabila
telah terjadi pemahaman yang sama atas simbol-simbol yang digunakan, baik oleh
komunikator maupun komunikan.
Kontak dan komunikasi dapat berlangsung secara primer maupun sekunder. Yang dimaksud
kontak atau komunikasi primer adalah kontak atau komunikasi yang terjadi secara langsung
berhadap-hadapan atau tatap muka (face to face). Misalnya: dua orang atau lebih yang saling
bertemu dann berbicara dalam sebuah ruang pertemuan. Sedangkan kontak atau komunikasi
sekunder adalah kontak atau komunikasi yang terjadi dengan bantuan alat-alat komunikasi
seperti surat, telepon, e-mail, percakapan di internet, dan seterusnya (sekunder langsung),
maupun yang melalui bantuan pihak ketiga (sekunder tidak langsung).
4) Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan oleh
seseorang individu atau sekelompok individu kepada individu atau sekelompok individu lain dan
diterima secara rasional, kritis serta bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan sugesti,
yang membedakan adalah cara penerimaan pengaruh, dalam sugesti pengaruh diterima secara
tidak rasional, pada motivasi pengaruh diterima dengan pertimbangan akal dan pikiran yang
jernih dan kritis. Contoh seorang guru yang dikenal jujur dan berwibawa memberikan motivasi
kepada para muridnya untuk rajin belajar dan bekerja keras demi meraih prestasi.
Interaksi Sosial dalam hubungannya dengan Status dan Peran Sosial Antar-Individu
dalam Masyarakat
Status atau kedudukan sosial adalah tempat, posisi atau kedudukan individu di dalam
struktur sosial kelompok atau masyarakat. Individu yang status sosialnya berbeda akan memiliki
hak-hak, tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang berbeda pula. Untuk memudahkan
pemahaman tentang status dapat dinyatakan bahwa di dalam masyarakat ada orang-orang yang
berkedudukan tinggi, menengah dan ada pula yang berkedudukan rendah.
Kedudukan atau status tersebut ada yang diperoleh oleh seseorang sejak kelahirannya
(dinamakan ascribed statuses), misalnya: jenis kelamin, gelar kebangsawanan, gelar dalam kasta,
dan sebagainya, ada yang diperoleh melalui perjuangan atau prestasi (dinamakan achieved
statuses), misalnya: status sebagai seorang pakar, guru, dokter, wartawan, manejer perusahaan,
dan sebagainya, dan ada yang diperoleh karena pemberian atas dasar jasa yang telah diberikan
kepada masyarakat (dinamakan assigned statuses), misalnya gelar pahlawan pembangunan,
pahlawan proklamasi, pahlawan reformasi, doctor kehormatan, dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan tindakan dan interaksi sosial, ternyata dijumpai cara-cara
bertindak dan berinteraksi sosial yang berbeda di antara orang-orang yang kedudukan sosialnya
berbeda. Perbedaan-perbedaan itu tampak pada misalnya cara berbicara, tutur kata dan bahasa
yang digunakan, sikap tubuh, cara berpakaian, simbol status yang digunakan, dan sebagainya.
Status yang disandang oleh seseorang berhubungan pula dengan peran sosialnya. Yang
dimaksud dengan peran sosial adalah perilaku yang diharapkan terhadap seseorang atau
kelompok sehubungan dengan status atau kedudukan yang disandangnya. Jelasnya, ketika
seseorang menyandang status tertentu, misalnya seseorang berstatus sebagai ayah, guru, menteri
ataupun presiden, maka masyarakat akan berharap atau bahkan menuntut agar orang tersebut
berperilaku tertentu yang sesuai dengan status dan kedudukan yang disandangnya. Seorang ayah
harus bertanggung jawab atas nafkah bagi anakanak dan isterinya, seorang guru dituntut untuk
berperilaku yang dapat “digugu” dan “ditiru” oleh para muridnya, seorang menteri dituntut untuk
menguasai seluruh permasalahan di departemennya, dan seorang presiden dituntut untuk dapat
mengayomi seluruh golongan dan lapisan yang ada dalam masyarakat, ucapan dan tindakannya
harus mencerminkan budaya bangsa yang mulia.
Konflik status adalah pertentangan di antara status-status yang disandang oleh seseorang
ketika suatu interaksi sosial berlangsung yang disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan di
antara status-status tersebut. Hal ini dapat terjadi karena dalam kenyataannya seseorang akan
sekaligus menyandang berbagaimacam status sosial. Ketika suatu interaksi sosial berlangsung,
terdapat status aktif, yaitu status yang berfungsi ketika sebuah interaksi sosial berlangsung, dan
ada status laten, yakni status yang tidak berfungsi ketika sebuah interaksi social berlangsung.
Konflik status terjadi ketika dalam suatu interaksi sosial muncul lebih dari status aktif dan
kepentingannya berbeda. Contoh seorang polisi muda yang bertugas di jalan raya harus
memberikan sanksi kepada seorang gadis pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan
lalu-lintas, dan kebetulan gadis tersebut adalah calon isteri yang sangat dicintainya. Dalam diri
polisi muda tadi dapat terjadi konflik antara status sebagai polisi yang harus menindak pelanggar
aturan lalu-lintas dengan status sebagai calon suami yang harus melindungi.
Sedangkan yang dimaksud dengan Konflik peran adalah keadaan yang terjadi apabila
seseorang tidak dapat menjalankan peran sosialnya sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam
diri pak Polisi pada contoh di atas dapat terjadi konflik peran karena tidak dapat berperan sebagai
polisi yang berhadapan dengan pelanggar aturan lalu-lintas. Konflik peran juga dapat terjadi
ketika kita harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak hati kita.
Seorang sarjana teknik yang bekerja sebagai bengkel sepeda, atau seorang sarjana ekonomi yang
bekerja sebagai pelayan pada sebuah toko kelontong, dapat mengalami konflik peran karena
akan merasa terpaksa menjalankan pekerjaan yang menurut penilaiannya tidak sesuai dengan
status yang disandang.
Sehubungan dengan hal ini, perlu diidentifikasi bentuk interaksi sosial yang cenderung
berlangsung positif dan berkesinambungan. Interaksi yang demikian penting artinya dalam
pembentukan lembaga, kelompok dan organisasi sosial, yaitu interaksi sosial yang memiliki ciri:
didasarkan kepada kebutuhan yang nyata
memperhatikan efektifitas
memperhatikan efisiensi
menyesuaikan diri kepada kebenaran
Lembaga, kelompok dan organisasi sosial pada dasarnya adalah bentuk-bentuk atau wujud
adanya keteraturan dan dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk
memahami tentang proses pembentukan lembaga, kelompok dan organisasi sosial perlu
memahami terlebih dahulu mengenai keteraturan sosial budaya dalam masyarakat.
Gillin dan Gillin menyatakan bahwa akomodasi merupakan istilah yang dipakai oleh para
sosiolog untuk menggambarkan keadaan yang sama dengan pengertian adaptasi yang digunakan
oleh para ahli biologi untuk menggambarkan proses penyesuaian mahluk hidup dengan
lingkungan alam di mana ia hidup.
Tujuan akomodasi:
j. Untuk mengurangi pertentangan antara orang-orang atau kelompok-kelompok akibat
perbedaan faham. Dalam hal ini akomodasi diarahkan untuk memperoleh sintesa baru dari
faham-faham yang berbeda.
k. Untuk mencegah meledaknya pertentangan untuk sementara waktu
l. Untuk memungkinkan dilangsungkannya kerjasama di antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang karena faktor psikologi atau kebudayaan menjadi terpisah satu
dari lainnya
m. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah
2. Kerjasama
Kerja sama (koperasi) timbul ketika orang-orang menyadari adanya kepentingan yang
sama pada saat bersamaan, dan mempunyai pengertian bahwa kepentingan yang sama tersebut
dapat lebih mudah dicapai apabila dilakukan bersama-sama.
Motivasi bekerjasama:
(8) kesadaran menghadapi tantangan bersama
(9) menghadapi pekerjaan yang memerlukan tenaga massal
(10) melaksanakan upacara keagamaan
(11) menghadapi musuh bersama
(12) memperoleh keuntungan ekonomi
(13) untuk menghindari persaingan bebas
(14) menggalang terjadinya integrasi sosial (keutuhan masyarakat)
Bentuk-bentuk kerjasama:
a) bargaining (pertukaran “barang” atau “jasa” di antara dua individu/kelompok)
b) kooptasi (penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan untuk
menghindari kegoncangan stabilitas kelompok)
c) koalisi (penggabungan dua kelompok atau lebih yang mempunyai tujuan sama)
d) cara hidup dan kebudayaan dua kelompok itu saling menyesuaikan diri sehingga masing-
masing mengalami perubahan
e) kelompok-kelompok tersebut melebur membentuk kelompok baru dengan cara hidup dan
kebudayaan baru yang berbeda dari kelompok asal
Hal-hal yang mempermudah asimilasi:
a) toleransi
b) kesempatan yang seimbang dalam proses ekonomi
c) sikap menghargai orang asing dengan segenap kebudayaannya
d) sikap terbuka dari golongan yang berkuasa (elite/the rulling class)
e) persamaan unsur-unsur kebudayaan
f) perkawinan campuran (amalgamasi)
Karena asimilasi berkaitan dengan proses yang mendahuluinya, yakni akulturasi, maka berikut
dikemukakan beberapa hal yang berkait dengan proses akulturasi atau kontak kebudayaan itu.
Diakui secara umum bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam proses
pembangunan atau keberlanjutan suatu bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu sedang membentuk
watak dan kepribadiannya yang lebih serasi dengan tantangan zamannya. Dilihat dari segi
kebudayaan, pembangunan tidak lain adalah usaha sadar untuk menciptakan kondisi hidup
manusia yang lebih baik. Menciptakan lingkungan hidup yang lebih serasi. Menciptakan
kemudahan atau fasilitas agar kehidupan itu lebih nikmat. Pembangunan adalah suatu intervensi
manusia terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan sosial
budaya.
Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan
hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan dunia, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi
perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Terjadilah pergeseran sistem nilai
budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia di dalam
masyarakatnya.
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Bahwa hakekat pembangunan Nasional
adalah pembangunam manusia Indonesia seutuhnya dan pcmbangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah tentu pendekatan dan strategi pembangunan
hendaknya menempatkan manusia scbagai pusat intcraksi kcgiatan pcmbangunan spiritual
maupun material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai
sumber daya dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa.
Menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta
integritas sosial yang tinggi. Manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Mahasa Esa.
Dewasa ini kita dihadapkan paling tidak kepada tiga masalah yang saling berkaitan, yaitu
5. Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa, dengan latar
belakang sosio budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan tersebut tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang mampu mengatasi ikata-
ikatan primordial, yaitu kesukuan dan kedaerahan.
6. Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu nampak
terjadinya pergeseran sistem nilai budaya, penyikapan yang berubah pada anggota
masyarakat tcrhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial,
yang diikuti oleh hubungan antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kclompok masyarakat.
Sementara itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat
dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan kita
sebagai bangsa.
7. Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, yang membawa
pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari luar.
Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan hanya
itensitasnya menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya bcrlangsung dengan cepat dan
luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang-kadang
menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang menumbuhkan
identitasnya sendiri sebagai bangsa.
B. Pengertian Kebudayaan
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”, yaitu bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli antropologi yang memberikan
definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang
berjudul “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda,
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan
yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun
dalam kehidupanan masyarakat.
Secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
e. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, yang meliputi:
kebudayaan materiil (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia,
misalnya kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
Kebudayaan non-materiil (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan
diraba, misalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
f. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin
diperoleh dengan cara belajar.
g. Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat
kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan
tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan
kehidupannya. Jadi, kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Unsur-Unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan yang ada dunia, baik yang kecil, sedang,
besar, maupun yang kompleks. Menurut konsepnya Malinowski, kebudayaan di dunia ini
mempunyai tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, system mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian .Seluruh unsur itu saling terkait antara
yang satu dengan yang lain dan tidak bisa dipisahkan.
Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya a tau kultural
sistem merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat.
Gagasan tersebut tidak dalam keadaan berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dan menjadi suatu
sistem. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula
adat-istiadat. Adat-istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut
pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku
manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui proses pembudayaan atau
institutionalization (pelembagaan). Dalam proses ini, individu mempelajari dan menyesuaikan
alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat,
mula-mula meniru berbagai macam ilmu n. Setelah itu menjadi pola yang mantap, dan mengatur
apa yang dimilikinya.
Sedangkan, sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Konsep struktur
sosial digunakan untuk menganalisis aktivitas sosial sehingga sistem sosial menjadi model
analisis terhadap organisasi sosial.
Konsep sistem sosial adalah alat bantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok
manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok manusia merupakan suatu
sistem. Parsons menyusun strategi untuk menganalisis fungsional yang meliputi semua sistem
sosial, termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi sosial, termasuk
masyarakat secara keseluruhan. terdapat empat unsur dalam sistem sosial, yaitu:
n. dua orang atau lebih,
o. terjadi interaksi di antara mereka,
2) interaksi yang dilakukan selalu bertujuan, dan
3) memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut, suatu sistem sosial akan dapat berfungsi apabila empat persyaratan di bawah ini
terpenuhi. Keempat persyaratan itu meliputi:
d. Adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya.
e. Mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada
tujuan-tujuannya.
f. Integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota
dalam sistem sosial.
g. Pemeliharaan pola-pola tersembunyi, merupakan konsep latent (tersembunyi) pada titik
berhentinya suatu interaksi akibat kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya
yang mungkin terlibat.
Lebih lanjut, Parson menjelaskan bahwa dalam suatu sistem sosial terdapat 10 unsur yang
membentuk kesempurnaan suatu” sistem. Kesepuluh unsur itu, yaitu:
10) keyakinan,
11) perasaan,
12) tujuan sasaran cita-cita,
13) norma,
14) kedudukan peranan,
15) tingkatan,
16) kekuasaan atau pengaruh,
17) sanksi,
18) sarana atau fasilitas, dan
19) tekanan ketegangan.
E.Makna Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, dan orang lain
menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana
ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu
karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku
manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :
7. Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan
dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);
8. Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;
9. Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum dia bisa bertindak sesuai
dengan makna barang-barang tersebut. Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas,
interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia
memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling
mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk
tindakan sendiri.
Menurut Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan
disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung.
Makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan
memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia
ditempatkan dan arah tindakannya.
F. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan
waktu.Perubahan itu bisa dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam
masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju
atau berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Menurut Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan
penting dalam struktur sosial . Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan
interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh
aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial :
8. Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur
masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam
struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
9. Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam
masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil
teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan
peminjaman kebudayaan;
10. Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial
dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran,
aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.
G. Konsep Nilai
Batasan nilai bisa mengacu pada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban
agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan perasaan dari orientasi seleksinya (Pepper, dalam Sulaeman, 1998). Rumusan di atas
apabila diperluas meliputi seluruh perkem-bangan dan kemungkinan unsur-unsur nilai, perilaku
yang sempit diperoleh dari bidang keahlian tertentu, seperti dari satu disiplin kajian ilmu. Di
bagian lain, Pepper mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang
buruk. Sementara itu, Perry (dalam Sulaeman, 1998) mengatakan bahwa nilai adalah segala
sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek.
Ketiga rumusan nilai di atas, dapat diringkas menjadi segala sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi,
pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Seseorang dalam melakukan sesuatu terlebih dahulu mempertimbangkan nilai. Dengan
kata lain, mempertimbangkan untuk melakukan pilihan tentang nilai baik dan buruk adalah suatu
keabsahan. Jika seseorang tidak melakukan pilihannya tentang nilai, maka orang lain atau
kekuatan luar akan menetapkan pilihan nilai nnluk dirinya.
Seseorang dalam melakukan pertimbangan nilai bisa bersifat subyektif dan bisa juga
bersifat objektif. Pertimbangan nilai subjektif tcnlapat dalam alam pikiran manusia dan
bergantung pada orang yang memberi pertimbangan itu. Sedangkan pertimbangan objektif
beranggapan bahwa nilai-nilai itu terdapat tingkatan-tingkatan sampai pada tingkat tertinggi,
yaitu pada nilai fundamental yang mencerminkan universalitas kondisi fisik, psikologi sosial,
menyangkut keperluan setiap manusia di mana saja.
Dalam kajian filsafat, terdapat prinsip-prinsip untuk pemilihan nilai, yaitu sebagai berikut.
2 nilai instrinsik harus mendapat prioritas pertama daripada nilai ekstrinsik. Sesuatu yang
berharga instrinsik, yaitu yang baik dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena
menghasilkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berharga secara ekstrinsik, yaitu sesuatu yang
bernilai baik karena sesuatu hal dari luar. Jika sesuatu itu merupakan sarana untuk mendapat
sesuatu yang lain. Semua benda yang bisa digunakan untuk aktivitas mem-punyai nilai
ekstrinsik.
3 nilai ini tidak harus terpisah. Suatu benda dapat bernilai instrinsik dan ekstrinsik. Contoh
pengetahuan, mempunyai nilai instrinsik baik dari dirinya sendiri dan mempunyai nilai
ekstrinsik apabila digunakan untuk kepentingan pembangunan baik di bidang ekonomi,
politik, hukum, maupun bidang-bidang yang lainnya.
4 nilai yang produktif secara permanen didahulukan daripada nilai yang produktif kurang
permanen. Beberapa nilai, seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan.
Sedangkan nilai persahabatan akan bertambah jika dipergunakan untuk membagi nilai akal
dan jiwa bersama orang lain. Oleh karena itu, nilai persahabatan harus didahulukan daripada
nilai ekonomi.
H. Sistem Nilai
Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini diakui dan
dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku. Sistem nilai ini menunjukkan
tata-tertib hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1981). Sistem nilai budaya
ini telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti
atau diubah dalam waktu yang singkat. Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok
bagi kehidupan manusia.
Sistem nilai budaya ini berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis untuk setiap
kelompok masyarakat. Mungkin saja nilai-nilai itu dapat berbeda atau bahkan bertentangan,
hanya saja orien-tasi nilai budayanya akan bersifat universal, sebagaimana Kluckhohn (1950)
sebutkan.
Menurut Kluckhohn, sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia ini, secara
universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
Hakikat hidup manusia. Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrim. Ada
yang berusaha untuk memadamkam hidup (nirvana = meniup habis). Ada pula yang dengan
pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik (mengisi
hidup).
Hakikat karya manusia. Setiap manusia pada hakikatnya berbeda-beda, di antaranya ada
yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau
kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan
orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
Hakikat alam manusia. Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi
alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan
bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
Hakikat hubungan manusia. Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia
dengan manusia, baik secara horisontal maupun secara vertikal kepada tokoh-tokoh. Ada
pula yang berpandangan individualist’s (menilai tinggi kekuatan sendiri).
Berdasarkan hasil suatu penelitian, ada tiga pandangan dasar tentang makna hidup, yaitu:
1) hidup untuk bekerja,
2) hidup untuk beramal, berbakti, dan
3) hidup untuk bersenang-senang.
I. Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab
perubahan
a. Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya sendiri,misalnya perubahan
jumlah dan komposisi
b. sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang
hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
c. adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.
Pengertian Kebudayaan
Menurut E.B. Taylor (1871), Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
Menurut Selo Sumarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir.
Menurut A.L. Krober dan C. Kluckhon, bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau
penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas- luasnya.
Menurut C.A. Van Peursen mengatakan bahwa kebudayaan sebagai manifestasi kehidupan
setiap orang, dan kehidupan setiap kelompok orang-orang berlainan dengan hewan-hewan,
maka manusia tidak hidup begitu saja ditengah alam, melainkan selalu mengubah alam
Krober dan Kluckhon,kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran,
perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang
menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di
dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi dan
cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.
Menurut Bronislaw Malinowski unsur kebudayaan terdiri dari sistem norma, organisasi
ekonomi, alat-alat atau lembaga ataupun petugas pendidikan dan organisasi kekuatan
Menurut C. Kluckhon ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu :Sistem religi, Sistem
organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan,Sistem mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi, Sistem teknologi dan peralatan, Bahasa, Kesenian.
Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai, menurut C. Kluckhon dalam karyanya
VARIATIONS IN VALUE ORIENTATION (1961) sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia,
yaitu:
f) Hakekat hidup manusia: hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern. Ada
yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula dengan pola-pola kelakuan tertentu.
g) Hakekat karya manusia: setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, untuk hidup,
kedudukan/kehormatan, gerak hidup untuk menambah karya.
h) Hakekat waktu manusia: hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, orientasi masa
lampau atau untuk masa kini.
4. Hakekat alam manusia: ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi
alam, ada juga yang harus harmonis dengan alam atau manusia menyerah kepada alam.
5. Hakekat hubungan manusia: mementingkan hubungan antar manusia baik vertikal maupun
horizontal (orientasi pada tokoh-tokoh). Ada pula berpandangan individualistis
Perubahan Kebudayaan
Terjadinya gerak perubahan kebudayaan ini disebabkan oleh :
Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri misalnya:
perubahan jumlah dan komposisi penduduk
Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup
Faktor Yang Mempengaruhi Diterima Atau Tidaknya Suatu Unsur Kebudayaan Baru,
Diantaranya :
Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan
orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut
Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh
nilai-nilai agama
Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan
baru
Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang
menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut
Apabila unsur baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah
dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Kaitan Manusia Dan Kebudayaan
Proses dialektis ini tercipta melalui tiga tahap yaitu :
1. Eksternalisasi, proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun
dunianya;
2. Obyektivasi, proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang
terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia,
3. Internalisasi, proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa
manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan baik
BAB IV
KELEMBAGAAN SOSIAL
1. Lembaga Keluarga
Keluarga adalah unit social yang terkecil dalam masyarakat. Dan juga institusi pertama
yang dimasuki seorang manusia ketika dilahirkan. Keluarga merupakan kelompok
terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan atau tanpa anak
(keluarga batih). Individu yang baru lahir ke dunia tidak dapat langsung terjun atau
berinteraksi ke masyarakat. Berinteraksi dengan orang-orang terdekat atau keluarga
merupakan sebuah permulaan. Terdapat pembedaan tipe keluarga, yaitu kelurga
orientasi dan prokreasi. Keluarga orientasi adalah keluarga yang di dalamnya seseorang
dilahirkan, sedangkan keluarga prokreasi adalah keluarga yang dibentuk seseorang
dengan jalan menikah dan mempunyai keturunan. Keluarga juga dibedakan lagi menjadi
kelurga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih itu
sendiri hanya terdiri dari ayah, ibu dan atau tanpa anak, sedangkan keluarga luas terdiri
dari keluarga batih ditambah nenek, kakek, paman, bibi, sepupu, dan sebagainya. Dalam
membentuk keluarga, kita harus melalui yang namanya perkawinan, yaitu pola sosial
yang disetujui dengan dua atau lebih untuk membangun keluarga. Perkawinan sendiri
terdapat dua macam, yaitu endogami dan eksogami. Endogami adalah perkawinan antara
laki-laki dan perempuan yang berasal dari satu atau dalam kelompok yang sama.
Sedangkan eksogami yaitu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari kelompok
yang berbeda atau salah salah satu mempelai berasal dari luar kelompok masyarakat
tersebut.
Fungsi keluarga:
a. Fungsi Reproduksi artinya dalam keluarga anak-anak merupakan wujud dari cinta kasih
dan tanggung jawab suami istri meneruskan keturunannya.
b. Fungsi sosialisasi artinya bahwa keluarga berperan dalam membentuk kepribadian anak
agar sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakatnya. Keluarga sebagai wahana
sosialisasi primer harus mampu menerapakan nilai dan norma masyarakat melalui
keteladanan orang tua
c. Fungsi afeksi artinya didalam keluarga diperlukan kehangatan rasa kasih saying dan
perhatian antar anggota keluarga yang merupakan salah satu kebutuhan manusia sebagai
makluk berpikir dan bermoral (kebutuhan integratif) apabila anak kurang atau tidak
mendapatkannya , kemungkinan ia sulit untuk dikendalikan nakal, bahkan dapat terjerumus
dalam kejahatan.
d. Fungsi ekonomi artinya bahwa keluarga terutama orang tua mempunyai kewajiban
ekonomi seluaruh keluarganya . Ibu sebagai sekretaris suami didalam keluarga harus mampu
mengolah keuangan sehingga kebutuahan dalam rumah tangganya dapat dicukupi.
e. Fungsi pengawasan social artinya bahwa setiap anggota keluarga pada dasarnya saling
melakukan control atau pengawasan karena mereka memiliki rasa tanggung jawab dalam
menjaga nama baik keluarga .
f. Fungsi proteksi (perlindungan) artinya fungsi perlindungan sangat diperlukan keluarga
terutma anak , sehigngga anak akan merasa aman hidup ditengah-tengah keluarganya. Ia
akan merasa terlindungi dari berbagai ancaman fisik mapun mental yang dating dari dalam
keluarga maupun dari luar keluarganya.
g. Fungsi pemberian status artinya bahwa melalui perkawinan seseorang akan mendapatkan
status atau kedudukan yang baru di masyarakat yaitu suami atau istri. Secara otomatis
mereka akan diperlakukan sebagai orang yang telah dewasa dan mampu bertanggung jawab
kepada diri, keluarga, anak-anak dan masyarakatnya.
2. Lembaga Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan
pendidikan, kita sebagai makhluk yang berakal akan mengetahui hal-hal yang belum
pernah diketahui. Awalnya fungsi lembaga pendidikan dijalankan sendiri oleh keluarga
mengenai pengajaran nilai, norma dan berbagai macam pengetahuan di dunia luar.
Dalam masyarakat yang masih sederhana, pengajaran hanya sebatas memberikan
pengetahuan mengenai cara bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan pokok, seperti
pengajaran mengenai cara bercocok tanam atau bagaimana meramu makanan. Seiring
dengan perkembangan zaman, keluarga mulai menyerahkan fungsi lembaga pendidikan
pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Keluarga sendiri masih
melaksanakan fungsi tersebut walaupun hanya mengenai hal-hal yang mendasar, seperti
cara makan, bertutur kata yang baik pada orang lain, karena keluarga sendiri
merupakan lembaga pendidikan informal.
Fungsi laten lembaga pendidikan. Fungsi ini berkaitan dengan fungsi lembaga pendidikan
secara tersembunyi yaitu menciptakan atau melahirkan kedewasaan peserta didik Sedangkan
fungsi laten lembaga pendidikan adalah :
a. mengurangi pengendalian orang tua melalui pendidikan sekolah orang tua melimoahkan
tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah
b. menyediakan saranan untuk pembangkangan , Sekolah mempunyai potensi untuk
menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya
perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya
pendidikan seks dan sikap terbuka.
c. mempertahankan system kelas social . Pendidikan sekolah diharapkan dapat
mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise ,
privilese, dan status yang ada dalam masyarakat.
d. memperpanjang masa remaja . Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa
dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
3. Lembaga Ekonomi
Tujuan dan funsi lembaga ekonomi
Pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga ekonomi adalah terpenuhinya
kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup masyarakat.
Fungsinya dari lembaga ekonomi adalah :
a. memberi pedoman untuk mendapatkan bahan pangan
b. memberikan pedoman untuk melakukan pertukaran barang/barter
c. memberi pedoman tentang harga jual beli barang
d. memberi pedoman untuk menggunakan tenaga kerja
e. memberikan pedoman tentang cara pengupahan
f. memberikan pedoman tentang cara pemutusan hubungan kerja
g. memberi identitas bagi masyarakat
Aspek-aspek agama antara lain : doktrin, yaitu pola keyakinan yang menetukan sifat
hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam; Ritual yang melambangkan
doktrin dan yang mengingatkan manusia pada doktrin tersebut; dan seperangkat norma perilaku
yang konsisten dengan doktrin tersebut.
5. Lembaga politik
Menurut Kornblum, lembaga politik adalah seperangkat aturan-aturan dan status yang
mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang. Contoh dari lembaga utama di
bidang politik yang diajukannya ialah eksekutif, legilatif, yudikatif, mliter, keamanan nasional,
dan partai politik.
Sedangkan menurut Surbakti, lembaga politik adalah pranata yang yang memegang
monopoli penggunanaan paksaan fisik dalam suatu wilayah tertentu.
Karakteristik lembaga politik meliputi: adanya komunitas manusia yang secara sosial hidup
bersama atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, adanya asosiasi atau pemerintah yang
aktif, asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fumgsi untuk kepentingan umum, dan asosiasi
tersebut diberi kewenangan jangkauannya hanya dalam teritorial tertentu.
Fungsi-fungsi lembaga politik yaitu:
a. fungsi pemaksaan norma (enforcement norms)
b. fungsi merencanakan dan mengerahkan (planning and direction)
c. fungsi menengahi pertentangan kepentigan (arbitration of conflicting interest)
d. fungsi melindungi masyarakat dari serangan musuh dari luar.
BAB V
STRATAFIKASI SOSIAL
1. Pendahuluan
Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang
menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu tidak semata-
mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan (bisa berupa gagasan, nilai, norma,
aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam masyarakat karena mereka menganggap
bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini
akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi
bentuknya mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka
menempatkannya.
Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti Sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya : strata) yang berarti
lapisan; stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau measyarakat kedalam kelas-kelas
secara bertingkat (hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit
yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang
sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang
terhormat.
Seorang sosiolog, Pitirin A. Sorokin (1957) mengatakan bahwa sistem berlapis itu
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa
yang memiliki sesuatu yang berharga itu dalam jumlah yang sangat banyak, suatu keadaan tidak
semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit orang yang bisa, dianggap oleh masyarakat
berkedudukan tinggi atau ditempatkan pada lapisan atas masyarakat; dan mereka yang hanya
sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Atau ditempatkan pada lapisan bawah
masyarakat. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya secara langsung menunjuk
pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial
dan perbedaan pengaruh di antara anggota-anggota masyarakat.
Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk
organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat dengan kehidupan
yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan
antara pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, atau perbedaan
berdasarkan kekayaan. Seorang ahli filsafat, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa dalam tiap-
tiap negara terdapat tiga unsur ukuran kedudukan manusia dalam masyarakat, yaitu mereka yang
kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Sedangkan
pada masyarakat yang relatif kompleks dan maju tingkat kehidupannya, maka semakin kompleks
pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat itu, keadaan ini mudah untuk dimengerti karena
jumlah manusia yang semakin banyak maka kedudukan (pembagian tugas-kerja), hak-hak,
kewajiban, serta tanggung jawab sosial menjadi semakin kompleks pula.
Dalam masyarakat yang kompleks, agaknya tidak efektif lagi bila kekuasaan itu pada satu
tangan, kekuasaan pada keadaan ini mulai disebar pada individu-individu sesuai dengan
kemampuan, potensi, keterampilan dan pengalaman masing-masing; hanya tetap saja koordinasi
ada pada satu tangan.
Sekurangnya ada dua proses timbulnya pelapisan dalam masyarakat itu; pertama, terjadi
dengan sendirinya, dan ke-dua sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.
Proses yang pertama, pelapisan sosial itu terjadi karena tingkat umur (age stratification),
dalam sistem ini masing-masing anggota menurut klasifikasi umur mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda; untuk masyarakat-masyarakat tertentu, ada keistimewaan dari seorang
anak sulung dimana dengan nilai-nilai sosial yang berlaku mereka mendapat prioritas dalam
pewarisan atau kekuasaan. Azas senioritas yang ada dalam sistem pelapisan ini dijumpai pula
dalam bidang pekerjaan, agaknya ada hubungan yang erat antara usia seorang karyawan dengan
pangkat atau kedudukan yang ditempatinya. Initerjadi karena dalam organisasi tersebut pada
asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka
waktu tertentu – misalnya dua tahun, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya
dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena
dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk
mengisinya ialah mereka yang dianggap paling senior.
Walaupun tidak mutlak benar, faktor kepandaian atau kecerdasan (intellegentsia) pada
umumnya masing dipakai sebagai tolok ukur untuk membedakan orang dengan orang lainnya;
dikatakan tidak mutlak benar, karena dalam penelitian modern ternyata faktor kecerdasan ini
tidak sekedar hanya bisa dibangkitkan, dikembangkan bahkan juga bisa ditingkatkan yaitu
dengan melalui latihan-latihan tertentu sehingga kedua belah bagian otak kiri dan kanan
terangsang untuk berfikir, kreatif secara benar.
Faktor kepandaian atau kecerdasan (Intellegentsia) seolah-olah memilah kelompok
sekurangnya menjadi dua, yaitu orang-orang yang dianggap mempunyai kepandaian yang lebih
dan orang-orang yang berkepandaian kurang, dalam istilah sehari-hari orang-orang yang kurang
pandai ini dikatakan sebagai orang yang ‘susah mengingat-gampang lupa’. Kepandaian disini
harus dibedakan dengan keterampilan, ada orang pandai tetapi tidak terampil, ada orang yang
terampil tetapi tidak pandai, ada orang yang tidak pandai tetapi tidak terampil dan yang paling
baik adalah orang yang pandai tetapi juga terampil.
Faktor ketidak sengajaan lainnya adalah kekerabatan, maksud kekerabatan disini adalah
kedudukan orang perorangan terhadap kedekatannya dengan sumber kekerabatan itu.
Biasanya faktor kekerabatan disini berhubungan dengan kedudukan dalam keluarga atau
menyangkut sistem pewarisan. Semakin jauh hubungan kerabatnya maka semakin kecil
kesempatan seseorang untuk menempati kedudukan tertentu dalam keluarga atau bahkan
semakin kecil pula kesempatannya untuk memperoleh seperangkat fasilitas yang diwariskan oleh
keluarganya. Tidak seluruh anggota keluarga dapat menjadi ketua adat pada salah satu keluarga
Batak Toba misalnya, selama individu tersebut tidak memiliki akses kuat dalam keluarga yang
bersangkutan, atau misalnya yang berlaku pada kelompok Dayak Iban di Kalimantan, atau
banyak lagi kelompok-kelompok yang tersebar di belahan bumi Indonesia dengan orientasi
kekerabatan yang masih kuat.
Bentuk lain dari sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya adalah gender,
fenomena ini walaupun tidak mutlak menentukan suatu pelapisan namun dalam beberapa hal
juga menunjuk pada sistem itu. Sistem pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan
kecenderungan bahwa laki-laki berhak mewarisi lebih dari perempuan; atau dalam bidang
pekerjaan, khususnya pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki
terasa lebih kental dibandingkan dengan perempuan, partisipasi perempuan dalam dunia kerja
relatif lebih terbatas; dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih
banyak terdapat di strata yang lebih rendah, dan sering menerima upah atau gaji yang lebih
rendah dari laki-laki.
Proses yang ke-dua, yaitu sistem pelapisan yang sengaja disusun untuk mengejar suatu
tujuan bersama, disamping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh, anggota
masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan
berbagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya adalah stratifikasi berdasarkan pendidikan
(educational stratification); bahwa hak dan kewajiban warga negara sering dibeda-bedakan atas
dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.
Sistem stratifikasi yang lain yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ialah
stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal
berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan antara
manager serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, buruh; antara tamtama, bintara,perwira
pertama, perwira menengah, perwira tinggi.; Kepala dinas, kepala bagian, kepala seksi, kepala
koordinator dan sebagainya.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga masyarakat
berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari.
Dalam kaitan ini kita mengenal, antara lain, perbedaan warga masyarakat berdasarkan
penghasilan dan kekayaan merekamenjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam
masyarakat kitaterdapat sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum
manusia untuk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula
warga yang seluruh kekayaan pribadinya bernilai puluhan miliar bahkan ratusan miliar rupiah.
Di kalangan petani di pedesaan, kita menjumpai beberapa perbedaan antara petani pemilik tanah,
petani penggarap dan buruh tani, yang mana masing-masing strata itu memiliki cara hidup
tersendiri sesuai dengan kedudukan (ekonomi) nya dalam masyarakat.
Seperti yang telah diuaraikansebelumnya, bahwa ada pula sistem stratifikasi sosial yang
dengan sengaja disusu unutk mengejar tujuan bersama; hal itu biasanya dilakukan terhadap
pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formil, seperti
misalnya pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata, atau perkumpulan.
Kekuasaan dan wewenang itu merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan dalam
masyarakat, unsur mana mempunyai sifat yang lain daripada uang, tanah, dan sebagainya dapat
terbagi secara bebas di antara anggota suatu masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat itu.
3. Tolok Ukur
kalau kita mempelajari secara umum, sistem pelapisan sosial terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu bagian lapisan atas yang terdiri dari individu-individu yang memiliki lebih hal-hal yang
bernilai atau berharga dalam masyarakat; kedudukannya ini bersifat kumulatif dalam arti mereka
yang memiliki uang banyak misalnya, akan mudah sekali untuk mendapatkan tanah, kekuasaan
atau mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-
golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tersebut adalah sebagai berikut
:
8. Ukuran kekayaan; ukuran ini dapat berupa kebendaan, barang siapa yang memiliki
kekayaan palingbanyak, orang-orang itu termasuk lapisan paling atas; kekayaan tersebut,
misalnya dapat dilihat dari tempat tinggal, besarnya tempat tinggal, kendaraan-
kendaraan, pkaian-pakaiannya yang dikenakan, kebiasaanya dalam mencukupu
kebutuhan rumah tangga, yang semuanya itu dianggap sebagai status simbol atau
lambang-lambang kedudukan seseorang yang membedakannya dengan orang
kebanyakan,
9. Ukuran kekuasaan; barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai
wewenang terbesar, maka orang atau orang-orang itu menenmpati lapisan tertinggi dalam
masyarakat.
10. Ukuran kehormatan; ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan
kekuasaan, ukuran secamam ini biasanya hidup pada bentuk-bentuk masyarakat yang
masih tradisional, orang-orang yang bersangkutan adalah individu yang dianggap atau
pernah berjasa besar dalam masyarakat; orang atau orang-orang yang paling dihormati
atau yang disegani, ada dalam lapisan atas.
11. Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat-masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan. Aka tetapi ada kalanya ukuran tersebut
menyebabkan akibat-akibat yang negatif, oleh karena kemudian ternyata bahwa bukan
mutu ilmu pengertahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya; sudah
tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut,
walau melalui mekanisme yang tidak benar.
Ukuran-ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif, oleh karena masih ada ukuran-
ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran itu adalah aspek yang
menonjol sebagai dasar timbulnya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Pada beberapa
masyarakat tradisionil di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap menduduki
lapisan tertinggi; misalnya di Jawa, kerabat dan keturunan pembuka tanahlah yang dianggap oleh
masyarakat desa sebagai kelas tertinggi dalam masyarakat. Kemudian menyusul para pemilik
tanah, walaupun mereka bukan keturunan pembuka tanah; mereka di sebut pribumi, sikep atau
kuli kenceng. Lalu menyusul mereka yang hanya mempunyai rumah atau pekarangan saja
(golongan ini di sebut kuli gundul, lindungatau indung), dan akhirnya kelompok mereka
yanghanya menumpang saja pada tanah milik orang lain.
Lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat biasa disebut sebagai ‘elite’ masyarakat, bisa
mencakup individu atau segolongan kecil yang mengendalikan masyarakat banyak; jadi disini
yang pokok adalah nilai anggotanya. Keadaan ini dapat dijumpai pada setiap masyarakat, dan
dianggap sebagai hal yang wajar, walaupun kadang-kadang tidak disukai oleh lapisan-lapisan
lainnya, apalagi bila pengendaliannya tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyartakat
umum.
Satu hal lagi berkenaan yang perlu diperhatikan dalam tolok ukur ini, bahwa ukuran-
ukuran itu memiliki keberadaan ganda, satu sisi ukuran itu bisa berdiri sendiri, danpada sisi lain
ukuran itu bisa saling melengkapi (komplementer). Dalam banyak keadaan seseorang atau
segolongan kecil tersebut bisa memiliki lebih dari satu ukuran; seorang pimpinan masyarakat,
berarti dia yang memegang kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam masyarakat, bisa juga
sebagai orang yang paling dihormati dalam masyarakat tersebu; atau bisa saja, selain dari aspek
kekuasaan dan kehormatan tadi, dia adalah seorang intelektual (ilmu pengetahuan) yang
kebetulan memiliki aset material (kekayaan) terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan
.
2. Achieved Status
Adalah kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha yang disengaja; kedudukan ini tidak
diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja hal mana tergantung
dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya; seseorang
yang ingin menjadi pemain bulu tangkis yang handal, tentunya harus berlatih bulu tangkis
dengan tekun, seseroang yang ingin menjadi dokter, tentunya harus belajar kedokteran.
Kecenderungan tercapainya achieved status ini bisanya ditemukan dalam bentuk-bentuk
masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka, hal ini bisa terjadi karena nilai-nilai dalam
masyarakat memungkinkan untuk berlakunya tindakan-tindakan seperti itu. Anak seorang Rudy
Hartono belum tentu akan menjadi pemain bulu tangkis yang handal, walaupun kalau hanya
untuk sekedar menjadi juara RT mungkin bisa, sedangkan orang tua Rudi Hartono mungkin
seorang pebulu tangkis tetapi prestasinya tidak sehebat anaknya.
3. Assigned Status
Satu bentuk kedudukan yang mempunyai hubungan erat dengan achieved status,yaitu kedudukan
yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau
masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa,
yang telah memperjuangkan sesuatuuntuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama
menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar
yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas
kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar
tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau
‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak
dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya
mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping
itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.
Telah kita fahami bahwa manusia itu hidup berkelompok, kalau mengacu pada teori Van
der Zanden (1979), seorang individu bisa diidentifikasikan sebagai anggota ketegori statistik,
kategori sosial, kelompok sosial, asosiasi, dan kerumunan, belum lagi bila dilihat dari aspek
kepentingan maka seorang manusia itu bisa termasuk dalam beberapa kelompok kepentingan.
Berkenaan dengan keberadaannya dalam kelompok-kelompok, maka tentu setiap orang tidak
akan luput dari kedudukan-kedudukannya baik dalam lingkup persekutuan hidup yang kecil
maupun dalam lingkup masyarakat yang lebih besar. Seorang bapak guru misalnya, selain
kedudukannya sebagai guru dia juga termasuk kategori laki-laki dewasa, dia juga adalah anak
dari kedua orang tuanya, mungkin juga selain guru dia dipercaya untuk mengelola urusan
koperasi sekolah, atau mungkin juga dia aktif sebagai pengurus PGRI, atau mungkin juga dia
sebagi ayah bagi anak-anaknya sekaligus sebagai suami dari istrinya, dan sebagainya.
Ada kalanya dari seperangkat kedudukan seseorang dalam masyarakat terjadi
pertentangan-pertentangan berkaitan dengan kedudukannya itu, keadaan mana dalam istilah
sosiologi disebut sebagai status konflik . misalnya bapak guru seperti di atas tadi, yang pada
suatu saat harus menghukum seorang siswa yang melanggar aturan sekolah, dimana siswa
tersebut adalah puteranya sendiri, atau seorang jaksa yagng harus menuntut anaknya sendiri
karena melakukan tindak pidana, atau seorang petugas pajak yang harus memungut pajak
penghasilannya sendiri. Konflik antar kedudukan-kedudukan tersebut tidak bisa dihindari
berhubung kepentingan-kepentingan individu tidak selalu sesuai atau sejalan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakatnya, sehinggasering kali sulit bagi individu tersebut untuk
mengatasinya dengan benar.
Kedudukan macam mana yang dimiliki seseorang atau kedudukan apa yang melekat
padanya, dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu, yang dalam ilmu
sosiologi dinamakan status symbol; ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian dari
hidupnya. Ada beberapa ciri tertentu yang dianggap sebagai status symbol, misalnya cara
berpakaian, pergaulan, cara-cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal,
berkendaraan, rekreasi, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang membedakannya dengan orang-
orang kebanyakan. Status symbol ini tidak hanya melekat pada golongan atau lapisan tertentu
saja, namun setiap lapisan biasanya mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Satu bentuk penghargaan yang ada dalam masyarakat modern, khususnya pada
masyarakat perkotaan di Indonesia, adalah tingkat penguasaan ilmu yaitu dalam bentuk gelar-
gelar intelektual; seseorang yang memiliki gelar kesarjanaan tertentu setidaknya telah
membuktikan bahwa yang memperolehnya telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu dalam
bidang-bidanang ilmu pengetahuan yang khusus. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa
akibat yang negatif, antara lain bahwa, yang dikejar bukanlah ilmu pengetahuannya, akan tetapi
gelar kesarjanaannya. Gelar tersebut kemudian menjadi status symbol tanpa menghiraukan
bagaimana isi yang sesungguhnya; banyak dari mereka yang merasa malu karena tidak memiliki
gelar kesarjanaan, padahal kedudukan mereka di dalam masyarakat telah terpandang; segala cara
diupayakan untuk mendapatkan gelar itu tanpa memperdulikan lagi apakah kemudian mereka
dapat mempertanggung jawabkan terhadap apa yang telah mereka upayakan itu.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dikemukakan perihal fasilitas-fasilitas bagi
peranan individu (role facilities); biasanya masyarakat memberikan fasilitas-fasilitas bagi
individu agar dia dapat melaksanakan peranannya. Lembaga-lembaga masyarakat merupakan
bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk melaksanakan peranan.
Kadang-kadang struktur suatu golongan kemasyarakatan, menyebabkan fasilitas-fasilitas
tersebut bertambah; misalnya perubahan organisasi suatu sekolah yang memerlukan penambahan
guru, pegawai administrasi, penjaga sekolah dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, hal itu juga
dapat mengurangi peluang-peluang, seperti misalnya apabila terpaksa diadakan rasionalisasi
sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.
Agaknya pertentangan-pertentangan kedudukan (status conflict) membawa pengaruh
terhadap peranan ini, karena tidak jarang terjadi suatu pemisahan antara individu dengan peranan
yang sesungguhnya harus dilaksanakan (disebut sebagai role- distance) . Gejala tadi timbul
apabila seseorang merasa tertekan karena dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan
peranan yang diberikan masyarakat atau bahkan menyembunyikan dirinya, apabila dia berada
dalam lingkungan sosial yang berbeda. Lingkungan sosial atau social circle adalah kelompok
sosial dimana seseorang mendapat tempat serta kesempatan untuk melaksanakan peranannya.
Setiap peranan bertujuan agar antara individu yang melaksanakan peranan dengan orang-orang
di sekitarnya yang tersangkut atau ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan
yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah fihak. Nilai-nilai sosial
tersebut misalnya nilai keagamaan antara pemuka agama dengan pemeluk-pemeluk agama yang
bersangkutan, nilai kesehatan antara dokter dengan pasien, nilai ekonomi antara pedagang
dengan pembeli. Apabila hal itu tidak terpenuhi oleh individu yang bersangkutan, maka
terjadilah role-distance.
Pembahasan tentang berbagai macam peranan yang melekat pada individu-individu
dalam masyarakat dianggap penting karena didalamnya memuat beberapa hal, yaitu :
s. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak
dipertahankan keberlangsungannya
t. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh masyarakat
dianggap mampu untuk melaksanakannya, mereka harus terlebih dahulu dilatih dan
mempunyai motivasi tinggi untuk melaksanakannya.
u. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu yang tidak mampu
melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, oleh karena
6. Kelas Sosial
Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu sosial,
makna yang diberikan pada konsep tersebut berbeda-beda; meskipun konsep itu menduduki
posisi sangat penting dalam teori Karl Marx (, namun ia tidak pernah mendefinisikannya secara
tegas, yang jelas ia mengaitkannya dengan pemilikan alat produksi. Demikian juga dengan Max
Weber (1958), ia tidak membatasi konsep tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi
membeikan makna yang lebih luas, sehingga selain mencakup penguasaan atas barang meliputi
pula peluang untuk memperoleh penghasilan. Menurut Giddens (1989), peluang untuk
memperoleh pekerjaaan dan penghasilan yang dimaksud Weber tersebut ini tidak hanya berupa
penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa keterampilan dan kemampuan yang antara lain
tercermin dalam ijazah.
Peter L Berger (1978), seorang ahli sosiologi modern, menganggap sistem kelas sebagai
tipe stratifikasi yang menjadi salah satu dasar posisi-posisi yang umum dalam masyarakat
menurut ukuran-ukuran ekonomi; dari perumusannya ini tampak bahwa konsep kelas ini
dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat sehubungan dengan kriteria
kemampuannya secara ekonomi.
Apabila kita menelaah istilah kelas sebagaimana yang dipergunakan dalam teori
Marxisme, maka terdapat perbedaan prinsipil dengan pengertian umum tentang kelas yang
dipakai dalam sosiologi.
Dalam Marxisme, istilah kelas cenderung hanya digunakan dalam kerangka ekonomi
saja; walaupun dengan adanya kelas-kelas tersebut ternyata berpengaruh besar terhadap
kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, Marxisme
membagi kelas dalam masyarakat menjadi dua bentuk; pertama, kelas yang memiliki tanah dan
alat-alat produksi, dan kedua kelas yang tidak memiliki itu dan hanya memiliki tenaga untuk
disumbangkan dalam proses pruduksi.
Menurut konsep Marxisme, kelas itu senantiasa berada dalam pertentangan untuk
berebutan kekuasaan, sedangkan sosiologi lebih menekankan pada hubungan antara dan bekerja
sama tanpa pertentangan, Marxisme cenderung menekankan prediksi keterbentukan masyarakat
itu ditandai dengan hilangnya semua kelas dalam masyarakat sehingga terjadi suatu classless
society (masyarakat tanpa kelas), sedangkan menurut sosiologi bahwa kelas itu akan ada
sepanjang masa dalam tiap masyarakat yang hidup teratur.
Pada beberapa masyarakat di dunia, terdapat kelas-kelas yang tegas sekali, oleh karena
segenap anggota warga masyarakat itu memperoleh sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dilindungi oleh hukum yang berlaku disana. Warga-warga masyarakat semacam itu
seringkali mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan lapisan dalam
masyarakatnya. Kelompok ‘abdi dalem’ seperti yang ada di keraton Yogyakarta, adalah orang-
orang yang menjadi abdi raja di keraton Yogya, yang dibedakan dengan orang-orang biasa
lainnya; sebagian besar dari orang biasa atau rakyat pada umumnya menyadari bahwa ‘abdi
dalem’ ini tingkatan sosialnya lebih tinggi dari mereka, walau secara ekonomi mungkin tidak
demikian; kebanggaan dari seorang ‘abdi dalem’ bukan tentang materi, namun kebanggaannya
bahwa dia termasuk orang yang bisa mengabdikan diri kepada raja, yang tidak semua orang bisa
mencapai ini.
Apabila pengertian kelas ditinjau lebih mendalam, menurut Soerjono Soekanto (1989)
maka dalam masyarakat itu akan dijumpai beberapa kriteria yang tradisionil, yaitu :
1) Besarnya atau ukuran jumlah anggota-anggotanya
2) Kebudayaan yang sama, ang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
warganya
3) Kelanggengan
4) Tanda atau lambang yang merupakan status symbol
5) Batas-batas yang tegas (bagi kelompok itu, terhadap kelompok lain)
6) Antagonisme tertentu
Sistem Sewa
Sewa merupakan cara pengalihan hak garap melalui transaksi untuk waktu yang tertentu
dengan pembayaran uang tunai. Setelah habis waktu transaksi, tanah tersebut kembali kepada
pemiliknya. Transaksi ini memberi kepada si penyewa hak untuk mengolah tanah tersebut,
menanami, serta memetik hasilnya atas tanggungan sendiri dan berbuat seakan-akan sebagai hak
miliknya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh menjual atau menyewakan tanpa seizin pemilik
tanah. Supomo (1993) menyebutkan istilah sewa tanah dengan jual tahunan yaitu suatu
pengoperan hak untuk jangka waktu yang tertentu.
Nilai sewa dipengaruhi oleh mekanisme pasar lahan dan mencerminkan produktvitas lahan.
Ada bentuk hak sewa tanah menurut adat di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian
dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut “mengasi”, di
Sumatera Selatan disebut “sewa bumi”, di Kalimantan disebut “cukai”, di Ambon disebut “sewa
ewang”, dan di Bali disebut “ngupetenin”. Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian
dikenal dengan istilah “paje’”. Umumnya praktik sewa-menyewa tanah pertanian ini masih
terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing.
Dalam pasal 53 UUPA Ayat (1) dinyatakan bahwa hak sewa merupakan salah satu hak
yang bersifat sementara yang diberikan oleh UUPA. Hal ini berkaitan dengan penilaian bahwa
hak tersebut bertentangan dengan peraturan karena penyewaan tanah pertanian ini mengandung
unsur pemerasan. Oleh karena itu, pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan
melalui suatu undang-undang. Akan tetapi, undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia
UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap
diakui eksistensinya.
Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa
saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal untuk
terjadinya suatu perjanjian sewa-menyewa tanah pertanian. Ada beberapa faktor yang
mendorong terjadinya sewa antara lain: (a) adanya sistem insentif dari usaha tani yang akan
diusahakan, (b) berkembangnya sistem perkreditan melalui sewa, (c) usaha pemilik lahan untuk
membagi risiko dengan penggarap, dan (d) usaha untuk menghindari ongkos transaksi (Basu
1984).
Studi Wiradi dan Makali (1984) menunjukkan dalam periode tahun 1970–1980-an,
persewaan lahan di Jawa masih banyak dijumpai. Persewaan lahan tersebut terutama banyak
dijumpai di desa-desa yang mempunyai lahan sawah bengkok (tanah desa yang dikelola pamong
desa sebagai gaji pamong). Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan sewa berkaitan dengan
kebiasaan pamong desa untuk menyewakan sawahnya.
Dalam perkembangannya, sistem sewa semakin menyusut, hasil studi Nasution et al.
(1988) menunjukkan di beberapa desa di Jawa Timur persewaan lahan masih terjadi, namun
persewaan tersebut terjadi berkaitan dengan usaha tani tebu melalui TRI dan berkembangnya
tebu bebas. Sementara itu, studi Saleh et al. (1988) di Jawa Barat menunjukkan bahwa sistem
sewa dinilai tidak populer dan tidak disukai di Jawa Barat. Hal ini berkaitan dengan adanya
ikatan yang kuat antara petani dengan lahannya. Dalam kaitan tersebut, petani pemilik lahan di
Jawa Barat lebih menyukai sistem sakap.
Sistem Gadai
Menurut Sudiyat dalam Wiradi (1984), gadai adalah penyerahan tanah untuk menerima
sejumlah pembayaran uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas
pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Sedangkan dari aspek hukum,
Harsono (1999) mengemukakan bahwa gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai
belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut
penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik
tanah belum mampu melakukan penebusan.
Alasan utama petani menggadaikan lahannya, terutama karena adanya keperluan mendesak
seperti keperluan untuk pesta hajatan, biaya sekolah, biaya mencari keja dan lainnya. Di Jawa
Barat dijumpai tiga sistem gadai tanah, yaitu: (a) penggadai dapat terus menggarap sawah
gadainya, kemudian kedua pihak membagi hasil sawah sama seperti “menyakap” (bagi hasil),
(b) pemegang gadai mengerjakan sendiri sawah gadai, dan (c) pemegang gadai menyewakan
atau bagi hasil sawah gadai tersebut kepada pihak ketiga (Hardjono 1990). Pada umumnya
perjanjian dilakukan secara lisan antara kedua pihak tentang luas sawah dan jumlah uang gadai
dengan tidak menyebutkan masa gadainya. Pemilik sawah boleh menebus atau menjual sawah
gadai sesudah panen.
Hasil penelitian Marisa, et al. (1988) menunjukkan dalam tahun 1985-an sistem gadai
masih berkembang di desa-desa di Sumatera Barat dan lebih disukai dibandingkan sistem jual
beli lahan. Dalam pola yang ada di Sumatera Barat, pembayaran gadai lebih lazim berupa gabah
atau emas dibandingkan uang tunai. Berdasarkan hasil pengamatan di desa Patanas, sistem gadai
tanah cenderung menurun, terutama karena berkembangnya Perum Pegadaian yang menerima
gadai berbagai barang modal (nonlahan) dari masyarakat untuk digadaikan.
Sistem gadai diawali dengan perjanjian gadai antara pihak penggadai dan pemegang gadai
yang dituangkan dalam surat pernyataan, mencakup nilai gadai berupa uang (rupiah) atau padi
gabah (kuintal), masa gadai biasanya 2 tahun, dan jaminan berupa garapan sawah. Di Jawa Barat
kebanyakan penggadai memilih menggunakan uang, yang lainnya padi gabah. Nilai gadai sawah
yang berupa uang atau sekitar 100 kuintal padi gabah per 0,71 ha. Akan tetapi, sistem tersebut
biasanya tidak sama antara satu desa dengan desa lainnya.
Dengan pembatasan masa gadai 2 tahun, berarti tidak sesuai dengan ketentuan
perundangan tentang gadai tanah, tetapi didasarkan pada tradisi sistem gadai yang berlangsung
di masyarakat desa. Dalam Perpu No. 56 Tahun 1960 Pasal 7 tidak disebutkan masa gadai 2
tahun, tetapi penggadai dapat menebus setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen
sebelum 7 tahun, besarnya uang tebusan sesuai rumus Pasal 7 Ayat 2 (Soemarsono 1965). Jadi,
setelah satu tahun, dua tahun, dan seterusnya hingga sebelum 7 tahun penggadai dapat menebus
sawah gadai. Apabila sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, pemegang gadai wajib
mengembalikan sawah gadai itu kepada pemiliknya tanpa kewajiban membayar uang tebusan.
Sistem Ceblokan
Sistem ceblokan merupakan sistem kontrak penggarapan lahan di mana penceblok
berkewajiban mengerjakan kegiatan tertentu yaitu tanam dan menyiang tanpa diberi upah,
namun mempunyai hak untuk memanen. Orang lain tidak boleh ikut memanen tanpa izin dari
penceblok. Apabila ada buruh yang ikut memanen, buruh panen memperoleh imbalan sesuai
perjanjian dengan penceblok misalnya separuh dari upah panen yang berlaku. Petani yang
menceblokkan lahannya adalah petani yang mempunyai lahan luas.
Hasil penelitian Saleh et al. (1988) menunjukkan bahwa dalam tahun 1980-an, sistem
ceblokan di Jawa Barat menunjukkan penurunan, namun dalam tahun 2007-an sistem ini
kembali banyak dilakukan (Susilowati 2010). Proses hilang dan munculnya system ceblokan
berkaitan dengan kepentingan dari dua pihak pemilik tanah dan buruh tani, terutama berkaitan
dengan banyaknya buruh panen. Dengan sistem ceblok, pemilik tanah dapat memperoleh
jaminan tenaga kerja tanpa mengeluarkan uang tunai dan mengurangi kerugian akibat tidak
terkontrolnya tenaga buruh panen yang sangat banyak, sementara bagi buruh penceblok berarti
dapat menguasai lahan panen sehingga dapat meningkatkan perolehan pendapatannya. Upah
panen buruh penceblok cenderung menurun dari 1/4 ke 1/5 dan menjadi 1/6. Penurunan upah
bawon ini akibat persaingan baik di antara buruh panen yang semakin meningkat, juga
persaingan dengan tenaga perontok mesin (thresher) secara borongan. Penelitian Patanas di
provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1997 menunjukkan bentuk kelembagaan hubungan kerja
sambatan dan ceblokan sudah bergeser ke pola hubungan kerja komersial misalnya buruh lepas
dan buruh tetap. Pada tahun yang sama, sistem pengupahan yang sering dipakai adalah upah
harian dan upah borongan. Sedangkan sistem ceblokan dan sambatan sudah tidak ditemukan lagi
pada saat itu.
Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan
seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu,
seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui
berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan
dan tanggungjawab bersama.
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta
dalam pengambilan keputusan;
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan
kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri;
4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu;
5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.
Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan
bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat)
secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.
Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan
(pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah
program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan
kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip
partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif
yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique
Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan
prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa
memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai
tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan
(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-
langkah selanjutnya.
f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif
dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan
satu sama lain.
g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling
berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang
berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program
pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi
keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan, dan partisipasi representatif.
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi
dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk
nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata
(abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan
sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial,
pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat
atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar
pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan
pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan
dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk
berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam
setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan
bersama. Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia. Penjelasan
mengenai bentuk-bentuk partisipasi dan beberapa ahli yang mengungkapkannya dapat dilihat
dalam Tabel 1.1.
Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan melalui
partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam apa partisipasi
masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh mana pemahaman masyarakat
terhadap suatu program sehingga ia turut berpartisipasi.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu
program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada
juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia,
terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang
dalam berpartisipasi, yaitu:
1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan
moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang
berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya
tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan
perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran
perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan
perempuan yang semakin baik.
3. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat
mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi
peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan
berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan
mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan,
harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam
lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang juga dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari
unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi
partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:
1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat
dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di
luarnya;
2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan,
permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta
mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat;
3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial,
sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi
sosial;
4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat
atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan
berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.
BAB VIII
GENDER DALAM PERTANIAN
Dalam pekerjaan yang berhubungan dengan hutan, peran perempuan dalam pengumpulan
sayuran dan pandan relatif lebih tinggi. Pandan merupakan sumber mata pencarian yang penting
yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tikar di desa Anggawo. Meskipun perempuan
juga memiliki tanggung jawab dalam pengumpulan pandan dari hutan, peran utama mereka
adalah membantu laki-laki. Tanggung jawab laki-laki termasuk ekstraksi kayu, mengumpulkan
rotan dan lebah madu. Perbedaan antara persepsi laki-laki dan perempuan tidaklah terlalu
signifikan. Kami mendapatkan satu temuan menarik ketika kami membahas peran gender dalam
ekstraksi kayu. Perempuan berargumen bahwa mereka memberikan kontribusi terhadap
pekerjaan ini, namun laki-laki tidak mengakui hal tersebut. Kelompok perempuan menganggap
rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan memproduksi kayu, tetapi kelompok laki-laki tidak
memperhitungkan hal ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa walaupun perempuan
tidak terlibat secara fisik dalam produksi kayu, mereka menganggap daya pembuatan keputusan
mereka dalam hal kayu yang akan dipanen sebagai sebuah peran penting.
Kepemilikan lahan berdasarkan gender merupakan topik diskusi yang penting dalam
rangka mengenali isu-isu persamaan dan keadilan gender dalam pengelolaan sumber daya alam.
Persepsi-persepsi berbasis gender mengenai pentingnya pemanfaatan lahan bagi mata pencarian
dan lingkungan penting untuk dikenali, karena informasi tersebut dapat menerangkan
bagaimana laki-laki dan perempuan berperan dalam pengelolaan lahan.
Kepemilikan tanah
Kepemilikan tanah per rumah tangga pada desa-desa yang disurvei rata-rata memiliki
luas sebesar 3.39 hektar dari total daerah. (Janudianto 2013). Kebun campur berbasis cokelat
adalah sistem pemanfaatan lahan yang penting bagi masyarakat di sebagian besar daerah,
dengan setiap rumah tangga memiliki lahan seluas 0.5-2,0 hektar (Tabel 12). Bercermin pada
situasi di Sulawesi Selatan, kepemilikan tanah di Sulawesi Tenggara biasanya dimiliki oleh
para suami atau laki-laki. Data dari Janudianto (2013) menunjukkan bahwa 42% dari petak-
petak lahan dimiliki oleh para suami, 42% dimiliki bersama oleh suami dan isteri, dan hanya
12% yang dimiliki oleh para isteri. Para isteri atau perempuan hanya dapat memiliki lahan
atau mencantumkan nama mereka di sertifikat tanah apabila mereka mewarisinya dari orang
tua mereka. Apabila penduduk lokal memperoleh tanah dengan jalan membelinya, maka
nama yang tercantum dalam sertifikat tanah haruslah nama suami, sang kepala rumah tangga.
Gambar 36. Status kepemilikan tanah terkini di Sulawesi Tenggara. Sumber data: Janudianto 2013
Tabel 12. Kepemilikan tanah di desa-desa yang disurvei di Sulawesi Tenggara
Kebun campur
Anggawo 80 2 – 4 hektar Laki-laki (bisa juga Laki-laki dan Laki-laki dan
perempuan perempuan perempuan
Simbune 95 0.5 – 2 hektar apabila mereka (pemilik)
Lawonua 25 0.5 – 2 hektar yang mewarisi
lahan)
Tasahea 95 0.5 – 5 hektar
Gambar 38. Fungsi-fungsi mata pencarian dan lingkungan dari setiap sistem pemanfaatan lahan berdasarkan
tipologi-tipologi desa. Sumber data: DKT.
Fungsi mata pencarian sawah irigasi dinilai cukup tinggi. Pengamatan selama
diskusi-diskusi menunjukkan bahwa baik kelompok laki-laki maupun perempuan merasakan
kesulitan untuk menilai sistem ini dalam hal fungsi lingkungannya (Gambar 41. Persepsi).
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mereka tidak memiliki pemahaman lengkap mengenai
nilai konservasi air dan tanah serta isu-isu mengenai aturan-aturan iklim, terlihat dari
jawaban-jawaban mereka yang kadang-kadang tercampur aduk. Akan tetapi, mereka
sepenuhnya memahami hal keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan sistem sawah
irigasi, yang meskipun berisi satu tanaman utama, juga terdiri dari tumbuh-tumbuhan lain
disekelilingnya, seperti bermacam-macam jenis rumput dan pohon dan ditemukannya ternak
disekitar lahan.
Hal ini konsisten dengan temuan-temuan yang telah dibahas sebelumya, hutan selalu
mendapat nilai tertinggi dalam hal fungsi lingkungannya, baik dalam kelompok laki-laki
maupun perempuan (Gambar 38. Fungsi-fungsi mata pencarian dan lingkungan dari setiap
sistem pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi-tipologi desa. Sumber data: , Gambar 2).
Masyarakat memberikan nilai tertinggi terhadap pemanfaatan lahan untuk kebun campur
sebagai sumber penghasilan dan pemenuhan kebutuhan penghidupan, diikuti dengan sawah
irigasi (Gambar 43. Persepsi-persepsi mengenai nilai mata pencarian dari pemanfaatan lahan.
Sumber data: ) yang juga penting menurut fungsi ritual dan budayanya. Hutan merupakan
sumber utama bagi kayu bakar, namun kebun campur juga memberikan nilai pemanfaatan lahan yang
penting dengan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu bakar.
Gambar 44. Peran gender dalam pemasaran komoditas-komoditas umum. Sumber data: DKT.
Dalam melakukan transaksi dengan para pedagang lokal, baik kelompok laki-laki maupun
perempuan sependapat bahwa perempuan memiliki ketrampilan tinggi dalam negosiasi harga
bila dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi perihal kayu dan rotan, karena kurangnya
informasi mengenai fluktuasi harga dan dalam menilai harga kayu, laki-laki memiliki
kesempatan yang lebih baik dalam memperoleh harga yang bagus. Menariknya, dalam hal
kayu rotan, diskusi-diskusi kelompok di beberapa desa (Ambondia, Wanohoa, dan Simbune)
memberikan kesan bahwa perempuan mampu mendapatkan harga yang lebih tinggi dari
pada laki-laki, namun keterlibatan mereka dalam pemasaran rotan masih rendah. Akan
tetapi, sangatlah penting untuk diperhatikan bahwa meskipun perempuan memiliki
ketrampilan menawar harga yang baik, mereka masih memiliki kekurangan dalam hal
informasi fluktuasi harga. Para pedagang biasanya mengaitkan harga dengan kualitas
produk, tetapi produsen (para petani) memiliki informasi yang terbatas tentang bagaimana
memproduksi produk-produk berkualitas tinggi.
Gender dan kemiskinan
Sebuah langkah penting dalam rangka mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya
dengan usaha mengurangi kemiskinan adalah memperoleh pemahaman tentang bagaimana
penduduk menentukankan kemiskinan. Kebanyakan dari program-program pengurangan
kemiskinan menggunakan kriteria-kriteria yang dikembangkan dari indikator-indikator
umum dan standar yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi setempat. Sebuah
pertimbangan mengenai kemiskinan tidak hanya harus mencakup dimensi-dimensi
penghasilan dan pengeluaran, tetapi juga meninjau hal-hal lain yang mungkin lebih relevan
dengan konteks lokal. Selain itu, kemiskinan harus ditentukan berdasarkan kebutuhan dan
keinginan penduduk, dan tidak hanya dilihat sebagai proses pengurangan dan hubungan
antara si miskin dan si kaya.
Menetapkan kemiskinan berdasarkan persepsi-persepsi lokal merupakan tahap yang
penting dalam menentukan kriteria dan indikator lokal untuk menentukan dan merancang
intervensi-intervensi. Hal ini dapat menangkap aspek-aspek multi dimensi dari kemiskinan
dan proses-proses didalamnya. Definisi kemiskinan digunakan untuk menilai kondisi terkini
masyarakat dan menganalisa tingkat kesejahteraan mereka. Dalam diskusi-diskusi, para
petani diminta untuk menentukan kriteria yang akan mereka gunakan untuk membedakan
kondisi-kondisi kemiskinan atau kesejahteraan. Kriteria-kriteria dibawah ini dirangkum dari
diskusi-diskusi tersebut.
Penduduk yang tidak memiliki penghasilan/pekerjaan tertentu dikategorikan sangat miskin.
Ukuran minimumnya adalah penduduk memerlukan penghasilan sekitar Rp 1 juta untuk mencapai
kategori kesejahteraan terendah. Penduduk dengan penghasilan dibawah ukuran minimum tersebut
dikategorikan miskin. Sebuah pekerjaan penting untuk mengindikasikan kesejahteraan. Penduduk
tanpa pekerjaan yang menghasilkan pendapatan dianggap pemalas–kadang-kadang mereka memiliki
tanah dan sumber daya, tetapi karena mereka tidak memanfaatkannya untuk sumber pendapatan,
mereka menjadi miskin. Untuk kategori ketiga, kepemilikan tanah juga berperan dalam
mengindikasikan kesejahteraan. Penduduk dengan lahan terbatas (kurang dari 0.5 hektar)
dikategorikan miskin. Kategori yang keempat merujuk pada rumah dan aset-aset seperti kendaraan.
Penduduk dengan kondisi rumah yang memprihatinkan (dinding dari bambu, atap terbuat dari jerami
dan berlantaikan tanah) dikategorikan miskin. Terakhir, di beberapa daerah, penduduk yang tidak
memiliki sepeda motor dikategorikan miskin, meskipun mereka memiliki sebuah rumah yang bagus.
Gambar 45. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan kesejahteraan dan/atau kemiskinan
berdasarkan perspektif gender. Sumber data: DKT.
Gambar 46. Kriteria-kriteria kemiskinan dan/atau kesejahteraan seperti yang dirasakan oleh masyarakat lokal
per kelompok tipologi desa. Sumber data: DKT.
Penghasilan merupakan kriteria utama dalam menentukan kesejahteraan dan
kemiskinan di setiap kelompok tipologi desa dalam daerah penelitian (Gambar 46. Kriteria-
kriteria kemiskinan dan/atau kesejahteraan seperti yang dirasakan oleh masyarakat lokal per
kelompok tipologi desa. Sumber data: ). Akan tetapi, pada Kelompok C (Tasahea),
penghasilan tidak dianggap penting dalam menentukan kemiskinan. Penduduk di desa ini
menyebutkan bahwa sebuah pekerjaan tertentu, aset-aset dan kepemilikan tanah merupakan
kriteria utama dalam menentukan kesejahteraan. Di dalam Kelompok D, kepemilikan tanah
tidak dinilai penting, tetapi penghasilan tetap dari pekerjaan tertentu merupakan hal yang
penting dalam mengindikasikan kesejahteraan, sementara penduduk yang memiliki
penghasilan yang sangat rendah dari pekerjaan seperti buruh atau tanpa pekerjaan sama
sekali disebut miskin.
Masyarakat kemudian diminta untuk menilai tingkat kondisi kemiskinan mereka dari kondisi
sebelumnya sampai dengan saat ini. Hal ini penting untuk menggambarkan bagaimana mereka
menentukan kondisi mereka berdasarkan kriteria-kriteria kemiskinan atau kesejahteraan yang mereka
tetapkan. Pola-pola kesejahteraan dari masa lampau sampai saat ini hampir sama di setiap desa, yakni
bergerak ke arah yang sama, dengan kesejahteraan yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara sebagian besar perempuan menerangkan status kesejahteraan mereka selalu meningkat,
para laki-laki di diskusi-diskusi kelompok yang sama menyatakan sebaliknya, yakni kondisi mereka
saat ini masa dibawah periode sebelumnya yang disebabkan oleh isu-isu produktifitas pertanian dan
fluktuasi harga. Faktor-faktor penyebabnya biasanya sangat spesifik di setiap daerah, namun kami
dapat merangkum faktor-faktor lain yang mempengaruhi bagaimana penduduk melihat status
kesejahteraan mereka seperti yang tercantum dibawah ini.
Penyebab alami: hama/penyakit, produksi pertanian dan perkebunan, kegagalan panen dan
bahaya-bahaya alam.
Gambar 33. Peran gender dalam kebun campur tradisional. Sumber data: DKT.
BAB IX
MOBILITAS SOSIAL
hidup dalam suatu garis keturunan yang menunjuk pada kedudukan (status)
sosial dari status generasi ke generasi berikutnya.
Selanjutnya mobilitas antar generasi dapat dibedakan menjadi dua macam; yaitu:
1.
beberapa generasi seperti berikut ini dan sifatnya vertikal
kakek nenek
ayah ibu
anak
intergenerasi.
kakek nenek
Tuan tanah
ayah ibu
(Guru) (Guru)
anak
ayah ibu
petani
Konflik
antara nilai dan kepentingan
1. reaksi negatif yang dialami warga baru suatu kelas sosial dari warga lama
2. reaksi negatif individu terhadap perlakuan masyarakat sehubungan
dengan kewlas sosial yang baru
3. reaksi negatif masyarakat terhadap kelas sosial baru
Konflik Antargenerasi
dengan generasi lainnya, sehingga tata hubungan antar generasi yang
selama ini berlaku tidak diakui lagi atau dipersoalkan oleh generasi
tertentu
Penyesuaian
penyesuaian terhadap perubahan yang ada sehingga keadaan stabilitas sosial
yang baru akan tercipta
Sebab-sebab penyesuaian;
staus dan kewenangan personal, sehingga konflik terjadi karena satu sisi
merebut status dan kewenangan sedangkan di sisi lain terdapat pihak yang
mempertahankan status dan kewenangan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
1. Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
2. Yayuk Yuliati, dkk. 2003. Sosiologi Pedesaan. Lappera Pustaka Utama. Yogyakarta.
3. Ulrich Planck. 1993. Sosiologi Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
4. Bahrein T. Sugihen. 1997. Sosiologi Pedesaan, Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
5. Jefta Leibo Sosiologi Pedesaan. Andi Offset. Yogyakarta.
6. Johnson, Doyle Paul dan Robert M.Z. Lawang. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan
Modern. PT Gramedia. Jakarta
7. William J. Goode. 2002. Sosiologi Keluarga. Bina Aksara. Jakarta
8. Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Grameddia.
Jakarta.
9. Oakley, Peter and David Marsden, 1984. Approaches to Participation in Rural
Development, International Labour Office, Geneva.
10. Ester Boserup. 1984. Peran wanita dalam perkembangan ekonomi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
11. Astrid S. Susanto. 1984. Sosiologi Pembangunan. Binacipta. Jakarta.
12. Mohamad Hasbi. Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat. 1990.
Yayasan Genta Budaya.
13. Sunarto Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. FEUI. Jakarta.
14. Koentjaraningrat. 1982. Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi
Terapan. LP3ES. Jakarta
15. Faisal Kasrino. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia.
16. Eric R. Wolf. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologi