Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Hernia merupakan penonjolan abnornal bagian organ atau struktur
tubuh lain melalui lubang alamiah ataupun abnormal dalam selaput
pembungkus, membran, otot, atau tulang. Hernia berasal dari kata latin yang
berarti rupture. Hernia didefinisikan adalah suatu penonjolan abnormal organ
atau jaringan melalui daerah yang lemah (defek) yang diliputi oleh dinding.
Meskipun hernia dapat terjadi di berbagai tampat dari tubuh kebanyakan
defek melibatkan dinding abdomen pada umumnya. Hal yang perlu
diperhatikan seorang perawat dalam melakukan pengkajian pasien dengan
hernia inguinalis adalah adanya keluhan tentang ketidaknyamanan atau nyeri
yang dirasakan, pola aktivitas fisik, dan juga adanya riwayat batuk kronis
(Husaini, 2013; Aisyah dkk, 2015; Amanullah, 2016).
Proses pengkajian yang dilakukan pada pasien Tn. S yang berusia 66
tahun dengan diagnosa medis saat pasien masuk yaitu Hernia Inguinalis (HIL)
Sinistra, pasien masuk di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum
Daerah Muara Teweh. Data pasien menyangkut keluhan-keluhan diperoleh
dari pengkajian dengan cara wawancara dengan pasien maupun keluarganya
(isteri pasien), mengobservasi langsung, melakukan pengkajian fisik langsung
kepada pasien, melihat data-data pemeriksaan penunjang dari laboratorium
maupun radiologi.
Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori, akan tetapi juga
disesuaikan dengan kondisi pasien saat di kaji. Pada saat dilakukan
pengkajian, keluarga pasien cukup terbuka dan kooperatif sehingga terjalin
hubungan saling percaya dengan perawat. Hal ini dilakukan dengan teknik
komunikasi terapeutik dimana menurut Oktaria (2017) teknik komunikasi
terapeutik terdiri dari mendengarkan seperti mengerti pasien dengan cara
mendengarkan apa yang disampaikan pasien, menunjukan penerimaan yaitu
bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukan keraguan atau
ketidaksetujuan, menanyakan pertanyaan yang berkaitan, memberikan

68
69

pertanyaan terbuka, menawarkan diri, memfokuskan dan mengklarifikasi. Dari


hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis didapatkan data bahwa pasien
berjenis kelamin laki-laki, umur 66 tahun, pekerjaan petani mengeluh “Nyeri
sekali pada daerah alat kelamin (skrotum)”. Karakteristik nyeri PQRST
(Palliative or precipitating factors = saat beraktivitas, Quality of pain =
seperti ditusuk-tusuk, Region and radiation of the pain (daerah hernia),
Subjective description of pain= 6 (nyeri sedang 4-6), Time of pain = kurang
lebih 2 menit hilang dan timbul saat bergerak. Keadaan umum klien tampak
sakit sedang, Ekspresi wajah klien tampak meringis. TTV: Temp = 36,2oC,
Pulse= 76x/menit, Resp = 27x/menit, Blood Pressure = 188/101 mmHg, SpO2
= 96%). Klien mengatakan kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit
pasien mengeluh timbul benjolan di perut kiri bawah kurang lebih 5 cm dan
terasa nyeri diarea benjolan. Benjolan bertambah besar dan teraba keras.
Kemudian klien konsultasi ke dokter spesalis bedah dan diantar istrinya ke
IGD Rumah Sakit Muara Teweh. Dari hasil pengkajian perawat IGD keadaan
klien yaitu klien tampak nyeri akut dengan skala nyeri 6 dan direncanakan
operasi, tekanan darah 188/101 mmHg, serta pernapasan 27 x/menit, nadi 76
x/menit, temperatur 36,9 oC, GCS : E:4,V:5,M:6, hasil pemeriksaan penunjang
: lab darah covid 19 IgM : non reaktif, covid 19 IgG non reaktif..
Saat pengkajian didapatkan bahwa pasien mengatakan merasakan nyeri
pada daerah area vital (skrotum), adanya benjolan mucul pada area vital
(skrotum) sudah sejak 1 tahun. Rasa nyeri memberat apalagi saat buang air
kecil, kadung kemih pun terasa penuh. Pada pagi hari tadi nyeri semakin
terasa mengganggu sehingga memutuskan untuk pergi ke konsul dokter bedah
setalah itu disarankan dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan penanganan.
Kemudian untuk hasil pengkajian berupa observasi keadaan umum dan
pengkajian fisik pasien didapatkan data berupa ekspresi wajah pasien tampak
meringis kesakitan, tanda-tanda vital: nadi= 76 x/menit, nyeri tekan pada area
skrotum, dan distensi vesika urinaria. Hasil pemeriksaan konsultasi dokter
bedah yaitu: Hernia inguinalis (HIL) sinistra.
Dari hasil pengkajian diatas baik melalui proses wawancara, observasi
dan pengkajian fisik yang dilakukan oleh penulis sudah sesuai dengan teori
70

yang dikemukakan oleh (Husaini, 2013; Aisyah dkk, 2015; Amanullah, 2016)
bahwa tanda dan gejala pasien dengan hernia ingunialis adalah adanya
keluhan tentang ketidaknyamanan atau nyeri yang dirasakan, hal ini
disebabkan adanya trauma pada jaringan usus (usus yang terjepit) yang
mempunyai banyak jaringan saraf. Pola aktivitas fisik dimana pekerjaan berat
dapat meningkatkan tekanan intraabdominal pada perut yang mengkibatkan
organ perut (biasanya usus) menonjol melalui titik yang lemah atau robekan
pada dinding otot yang tipis yang biasanya dihubungkan dengan pekerjaan-
pekerjaan mengangkat beban seperti pada buruh yang sering mengangkat
beban berat, petani yang sering mencangkul.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian fisik, observasi, dan wawancara dengan
pasien dan keluarga, serta data-data penunjang (labolatorium dan radiologi)
didapatkan masalah keperawatan pasien Tn. S adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (Trauma
jaringan/usus terjepit) ditandai dengan Klien mengatakan “Nyeri sekali
pada daerah alat kelamin (skrotum)”. Karakteristik nyeri PQRST
(Palliative or precipitating factors = saat beraktivitas, Quality of pain =
seperti ditusuk-tusuk, Region and radiation of the pain (daerah hernia),
Subjective description of pain= 6 (nyeri sedang 4-6), Time of pain =
kurang lebih 2 menit hilang dan timbul saat bergerak. Keadaan umum
klien tampak sakit sedang, Ekspresi wajah klien tampak meringis. TTV:
Temp = 36,2oC, Pulse= 76x/menit, Resp = 27x/menit, Blood Pressure =
188/101 mmHg, SpO2 = 96%).
Diagnosa keperawatan nyeri akut diletakkan pada diagnosa prioritas
pada kasus Tn. S dikarenakan nyeri. Nyeri harus segera diatasi karena
dapat menimbulkan perubahan pada aspek psikologis, dan gangguan
aktifitas dasar sehari-hari, dimana nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan actual, potensial, atau digambarkan dalam ragam yang
menyangkut kerusakan atau sesuatu yang digambarkan dengan terjadinya
71

kerusakan (Muttaqin, 2015). Nyeri akut harus segera diatasi dan dapat
berkurang dengan manajemen nyeri farmakologis dan non farmakologis
dalam waktu yang tidak lama tergantung kondisi/keadaan penyebab nyeri
tersebut. Oleh karena efisiensi waktu dalam penanganan masalah
keperawatan, maka dari itu diagnosa keperawatan nyeri akut diangkat
sebagai diagnosa pertama pada klien Tn. S.
Diagnosa keperawatan nyeri akut terdapat juga dalam diagnosa
keperawatan hernia inguinalis berdasarkan teori, hal ini disebabkan
karena keadaan/kondisi nyeri pada area usus yang terturun/terjepit. Faktor
pencetus nyeri ini semua sama disebabkan akibat terjadi nya trauma dan
menyebabkan tekanan intra abdomen pada hernia inguinalis.
2. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan gangguan rasa nyaman
ditandai dengan Klien mengatakan “rasa penuh pada kandung kemih.
Sore hari kemarin nyeri memberat apalagi saat buang air kecil, sehingga
tidak berani BAK”. Teraba distensi vesika urinaria.
Diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urine diletakkan pada
diagnosa kedua pada kasus Tn. S dikarenakan suatu keadaan serius yang
terjadi jika sistem eliminasi tidak diatasi. Maka dari pada itu gangguan
eliminasi urine diangkat sebagai diagnosa kedua setelah nyeri akut pada
klien Tn. S.
3. Kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi ditandai dengan Klien mengatakan “belum
mengetahui secara lengkap tentang penyakit HIL dan persiapan pre
operasi”. Klien dan keluarga memberikan feedback positif kepada
perawat, klien tampak antusias untuk meningkatkan pengetahuan akan
manajemen pada klien.
Diagnosa keperawatan kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan
diletakkan pada diagnosa terakhir pada kasus Tn. S dikarenakan diagnosa
keperawatan kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan adalah
merupakan diagnosa asuhan keperawatan pada bagian promotif/pemberi
pendidikan kesehatan untuk meningkatkan minat dan pengetahuan baik
kepada klien maupun keluarga klien tentang hernia inguinalis. Maka dari
72

itu diagnosa keperawatan kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan


diangkat sebagai diagnosa terakhir.
Diagnosa keperawatan kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan
tidak terdapat didalam diagnosa keperawatan HIL. Pada klien Tn. S
penulis mengangkat diagnosa kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan
karena klien dan keluarga klien belum mengetahui sepenuhnya tentang
hernia inguinalis dan persiapan pre operasi, sehingga penulis ingin
keluarga dan klien mengetahui yang benar sesuai dengan standar asuhan
keperawatan, untuk itu penulis ingin meningkatkan pengetahuan,
informasi, kognitif yang berhubungan dengan topik tertentu untuk
memenuhi tujuan kesehatan.
Upaya untuk menyembuhkan hernia inguinalis salah satunya adalah
dengan cara operasi. Pada pasien pertama yang menjalani operasi
seringkali pasien merasakan kecemasan yang sangat tinggi sehingga
perlunya menambah wawasan pengetahuan. Salah satu penanganan non
farmakologis adalah dengan penerapan hipnoterapi.
Sedangkan menurut Caksono (2014); Husaini (2013) diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan hernia inguinalis
adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan (usus terjepit)
2. Hambatan mobilitas fisik behubungan dengan gangguan neuromuskular.
3. Retensi perkemihan berhubungan dengan gangguan rasa nyaman.
4. Gangguan pola seksual berhubungan dengan nyeri dan pembengkakkan
skrotum.
5. Ketidakefektifan manajemen kesehatan berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang program terapeutik.
Namun, pada kasus pasien Tn. S penulis mengangkat 3 diagnosa
keperawatan saja. Hal ini berdasarkan masalah yang muncul dari tanda
dan gejala yang didapatkan penulis dari hasil pengkajian. Secara teori
terdapat diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik behubungan
dengan gangguan neuromuskular. Diagnosa hambatan mobilitas fisik
behubungan dengan gangguan neuromuskular dan gangguan pola seksual
73

tidak dapat dimasukkan pada kasus dikarenakan diagnosa tersebut


membutuhkan tindakan keperawataan dengan waktu yang lama,
sedangkan intervensi dalam konteks ruang emergency harus cepat. Selain
itu hambatan mobilitas fisik dan gangguan pola seksual terjadi akibat
adanya rasa nyeri, sehingga dengan melakukan penananganan terhadap
nyeri hambatan mobilitas fisik dan gangguan pola seksual tidak terjadi.

C. Intervensi Keperawatan
Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data terkumpul,
dikelompokkan, dianalisa dan ditetapkan diagnosa keperawatan. Pada tahap
ini penulis menyusun tujuan keperawatan, kriteria hasil dan rencana tindakan
keperawatan. Perencanaan disusun berdasarkan prioritas masalah yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Perencanaan yang disusun mengandung
unsur tindakan pengkajian, mandiri, health education dan kolaborasi.
Perencanaan dilakukan oleh penulis bersama dengan pasien, keluarga pasien,
perawat senior, dan juga dokter.
Berdasarkan kasus pasien Tn. S terdapat 3 diagnosa keperawatan yang
muncul, dalam kategori tindakan pengkajian yang dibuat oleh penulis
terdapat total 16 intervensi. Kategori mandiri sebanyak 10 intervensi, kategori
kolaborasi sebanyak 2 intervensi, dan dalam kategori health education
sebanyak 4 intervensi. Pada kategori tindakan mandiri paling banyak dibuat
penulis dikarenakan kondisi pasien yang composmentis/sadar penuh, dimana
kondisi tersebut membutuhkan lebih banyak tindakan mandiri untuk
membantu proses pemulihan kesehatan pasien. Ketiga rencana tindakan yang
akan dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Intervensi pada diagnosa nyeri akut yaitu berupa 5 tindakan mandiri dan
1 tindakan kolaborasi dengan dokter yaitu:
a. Kaji tingkat dan skala nyeri
b. Atur posisi yang nyaman bagi pasien
c. Berikan kompres dingin pada area nyeri
d. Ajarkan terknik nafas dalam saat nyeri
e. Ajarkan teknik manajemen nyeri dengan guided imagery
74

f. Koborasi dengan dokter untuk terapi farmakologis


2. Intervensi pada diagnosa gangguan eliminasi urin yaitu berupa 4 tindakan
mandiri dan 1 tindakan kolaborasi dengan dokter yaitu:
a. Kaji warna urin
b. Kaji haluaran urin
c. Anjurkan klien untuk membatasi gerakan
d. Anjurkan untuk banyak minum air putih (sesuai kondisi)
e. Kolaborasi dengan dokter untuk kateterisasi
3. Intervensi pada diagnosa kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan
berupa 6 tindakan mandiri (health education) yaitu:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien
b. Bina hubungan saling percaya
c. Berikan informasi tentang hal-hal yang tidak di pahami oleh klien
dan keluarga klien, seperti : pendidikan kesehatan HIL dan persiapan
pre operasi HIL
d. Berikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan informasi
yang telah diberikan
e. Berikan informasi secara langsung

Dari hasil rencana tindakan yang akan dilakukan penulis pada pasien
Tn. S sudah sesuai dengan teori Husaini (2013) yang mengatakan bahwa
untuk rencana tindakan diagnosa keperawatan pada pasien dengan hernia
inguinalis adalah sebagai berikut:
1. Diagnosa keperawatan nyeri akut
Intervensi:
a. Kaji dan dokumentasikan nyeri; beratnya, karakternya, lokasi,
durasi, faktor pencetus dan metode-metode penghilangnya. Gunakan
skala nyeri pada pasien, rentangkan ketidaaknyamanan dari 0 (tanpa
nyeri) sampai 10 (nyeri paling hebat). Rasional: Mengetahui
karakteristik nyeri pada pasien.
b. Ajarkan teknik nafas dalam untuk mengontrol nyeri. Rasional:
Teknik nafas dalam dapat mengurangi perasaan nyeri.
75

c. Berikan posisi nyaman pada pasien dengan cara meninggikan bagian


belakang (bokong), kemudian menekuk kedua kaki. Rasional:
Menekuk kedua kaki dapat mengurangi tegangan pada area scrotom
sehingga mengurangi intensitas nyeri.
d. Ajarkan menajemen nyeri menggunakan Guided imagery
e. Berikan kompres dingin pada area nyeri. Rasional: kompres dingin
dapat mengurangi sensasi nyeri
f. Berkolaborasi untuk pemberian analgesik. Rasional: Obat analgesik
dapat mengurangi nyeri secara farmakologis.
2. Diagnosa keperawatan retensi urin
Intervensi:
a. Kaji distensi suprapubik atau laporan klien tentang tidak dapat
berkemih. Rasional: Distensi suprapubik merupakan salah satu
tanda dan gejala adanya retensi urin.
b. Pantau keluaran urine. Dokumentasikan dan laporkan apabila
berkemih <100 ml. Rasional: Mengetahui adanya retensi urin dan
indikasi ketidakseimbangan cairan.
c. Kolaborasi untuk pemasangan DC (Dower Cateter). Rasional:
Pemasangan DC dapat mengurangi distensi abdomen.
3. Diagnosa keperawatan kurang pengetahuan
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien. Rasional: Mengetahui tingkat
pengetahuan pasien terhadap penyakit hernia inguinalis.
b. Jelaskan pengertian, penyebab, cara pencegahan, serta komplikasi
penyakit herina. Rasional: Menambah pengetahuan dan wawasan
pasien.

D. Implementasi
Setelah rencana keperawatan dibuat, kemudian dilanjutkan dengan
implementasi atau pelaksanaan. Implementasi merupakan pelaksanaan
rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahap sebelumnya. Menurut
Capernito (2016), sebelum melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan,
76

harus dilakukannya perencanaan tindakan terlebih dahulu yang dilakukan


oleh perawat, pasien dan keluarga serta tim medis (dokter, ahli radiologi, gizi,
laboratorium, farmasi). Pada pelaksanaan tindakan keperawatan pasien Tn. S
ini penulis melibatkan keluarga, perawat senior diruangan dan tim medis
(dokter). Dari intervensi yang telah dibuat penulis, semua intervensi dapat
terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan telah terjalinnya hubungan saling
percaya antara pasien, keluarga dan perawat serta pembimbing klinik
sehingga terciptanya kerja sama yang baik dalam proses implementasi
keperawatan.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah perbadingan yang sitematis dan terencana tenatng
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bekesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan
lainnya (Caksono, 2014).
Pada tahap evaluasi yang penulis lakukan pada pasien Tn. S dengan
diagnosa medis hernia inguinalis dan dengan diagnosa keperawatan:
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan/usus terjepit ditandai
dengan pasien mengatakan “.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan rasa nyaman.
3. Kurang pengetahuan.
1. Evaluasi pada diagnosa keperawatan nyeri akut teratasi sebagian. Dimana
pasien melaporkan bahwa Pasien mengatakan “nyeri berkurang, P:
Masuknya usus ke rongga skrotum, Q: Seperti ditekan dan terasa
kencang, R: Skrotum, S: 5 (0-10), T: ± 1 menit. Selain itu berdasarkan
hasil observasi ekspresi wajah rileks, tanda-tanda vital: T: 36,8°C, P: 95
x/menit, R: 21 x/menit, BP: 130/80 mmHg. Berkurangnya nyeri (hasil
dari implementasi manajemen nyeri menggunakan teknik nafas dalam,
kompres dingin, dan teknik guided imagery). Berdasarakan hasil
penelitian Ruhman (2017) teknik nafas dalam secara signifikan
menurunkan intensistas nyeri. Hal ini disebabkan oleh nafas dalam dan
77

lambat dapat menstimulasi respon saraf otonom melaui pengeluaran


neurotransmiter endorfin yang berefek pada penurunan raspon saraf
simpatis dan peningkatan respon saraf parasimpatis yang menyebabkan
menurunnya aktivitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurunkan
aktivitas metabolik.
Sedangkan teknik kompres dingin berdasakan penelitian Caksono (2014),
dapat menurunkan intensitas nyeri dikarenakan pemberian kompres
dingin atau es mempengaruhi endorfin. Dimana endorfin merupakan zat
penghilang rasa nyeri yang diproduksi oleh tubuh. Semakin tinggi kadar
endorfin seseorang maka semakin ringan rasa nyeri yang dirasakan.
Produksi endorfin dapat ditingkatkan melalui stimulus kulit dengan
pemberian terapi es.
Teknik guided imagery dengan imajinasi terbimbing dalam penelitian
Sehono, (2010) akan membentuk bayangan yang akan diterima sebagai
ransangan oleh berbagai indra maka dengan membayangkan sesuatu
yang indah akan menyebabkan perasaan menjadi tenang.
2. Evaluasi pada diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin teratasi
sebagian. Dimana pasien melaporkan bahwa “kandung kemih sudah tidak
kencang lagi”. Dari hasil observasi didapatkan hasil pasien tampak
tenang, tidak ada distensi pada vesika urinaria, jumlah urin keluar 300 cc,
hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Mustikawangi dkk (2016)
yang menjelaskan bahwa obat rimfapisin dapat menyebabkan perubahan
warna pada urin yang menunjukkan luasnya distribusi obat di dalam
tubuh pasien. Jumlah urin normal pada dewasa berkisar antara 1-2 L per
hari, adanya peningkatan jumlah urine pada pasein dengan hernia
ingunialis terjadi akibat pembesaran prostat. Pada pembesaran prostat,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor meneba; dan meregang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi yang pada
akhirnya akan menyebabkan perlemahan sehingga tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (Baradero dkk, 2017).
78

3. Evaluasi pada diagnosa keperawatan Kesiapan untuk meningkatkan


pengetahuan teratasi semua. Dimana pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman tentang penyakit, penyebab dan cara pencegahan. Pasien dan
keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang telah dijelaskan oleh
perawat dan tim kesehatan lainnya.
Sedangkan menurut teori Husaini (2013) kriteria hasil untuk diagnosa
keperawatan nyeri akut, gangguan eliminasi urin, dan kurang pengetahuan
yaitu:
Diagnosa keperawatan nyeri akut
Kriteria hasil:
a. Pasien mengatakan nyeri berkurang
b. Ekspresi wajah tampak rileks
c. Pasien mampu memanajemen nyeri
d. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Diagnosa keperawatan retensi urin
Kriteria hasil:
a. Distensi suprapubik berkurang
b. Pasien dapat berkemih secara normal
c. Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan
Diagnosa keperawatan kurang pengetahuan
Kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, penyebab
dan cara pencegahan
b. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang telah
dijelaskan oleh perawat dan tim kesehatan lainnya.
Jadi, analisa dari kriteria evaluasi baik teori maupun kasus menurut
penulis sudah sesuai.

Anda mungkin juga menyukai