Anda di halaman 1dari 7

PENANGANAN PERIOPERATIF PADA ASMA

Christina Suhartono
Harold F. Tambajong
Diana Ch. Lalenoh

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado

Abstract: The management of a patient with asthma during surgery requires a special
treatment based on thorough clinical and laboratory examinations to reduce complications
during surgery and the post-operative state. Asthma is characterized by a difficulty in
breathing due to spastic contractions of bronchiolar smooth muscles, which partially block the
bronchioles’ airways. The evaluation of asthma patients before anesthesia and surgical
procedures is essential to prevent or control the occurence of asthma attacks during intra-
operation and post-operation. Patients with histories of chronic asthma or frequent
exacerbations of asthma have to be treated to achieve an optimal condition or a condition in
which asthma symptoms are minimal. Patients with frequent bronchospasms should be
treated. The selection of drugs and anesthetic procedures should be considered meticulously to
avoid a stimulation of bronchospasm or an asthma attack.
Keywords: asthma, perioperative management, patient

Abstrak: Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan


penanganan khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk
mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Asma adalah kesukaran bernapas
yang ditandai dengan kontraksi spastik otot polos bronkiolus, yang menyumbat bronkiolus
secara parsial. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat
penting untuk mencegah atau mengendalikan kejadian serangan asma, baik selama
pembedahan maupun pasca pembedahan. Pasien dengan riwayat asma berulang atau kronis
memerlukan pengobatan hingga tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau
kondisi dimana gejala-gejala asma sudah minimal. Pasien dengan bronkospasme berulang
harus diobati terlebih dahulu. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesia perlu
dipertimbangkan dengan cermat untuk menghindari terjadinya bronkospasme atau serangan
asma.
Kata kunci: asma, penanganan perioperatif, pasien

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma dengan penyakit paru obstruktif kronik
selama pembedahan membutuhkan pena- yang memiliki perubahan fungsi paru ber-
nganan khusus berdasarkan pemeriksaan peluang mengalami komplikasi sebesar
klinis dan laboratorium yang saksama un- 70%. Shnider dan Papper serta Gold dan
tuk mengurangi komplikasi selama dan Helrich melaporkan bahwa bronko-spasme
pasca pembedahan. Masalah paru merupa- yang terjadi selama operasi ± 6% dari pa-
kan penyebab umum morbiditas dan mor- sien asma.1
talitas selama pembedahan. Komplikasi Asma adalah penyakit paru dengan
terjadinya atelektasis atau pneumonia pada karakteristik sebagai berikut: 1) obstruksi
pasien dengan fungsi paru normal pada pre- saluran napas yang reversibel, baik secara
operasi hanya 3%, sedangkan pasien spontan maupun dengan pengobatan; 2)

10
Suhartono, Tambajong, Lalenoh; Penanganan Perioperatif pada Asma 11

inflamasi saluran napas; 3) peningkatan pasien harus telah bebas wheezing. Obat
respon saluran napas terhadap berbagai reverse pelumpuh otot nondepolarisasi dan
rangsangan.2,3 Penyebab asma dibagi men- antikolinesterase tidak akan menimbulkan
jadi dua, yaitu asma alergik (ekstrinsik) dan brokospasme bila diberikan dalam dosis
non-alergik (intrinsik). Asma alergik mun- terapeutik yang tepat. Untuk mengurangi
cul pada masa kanak-kanak, dan meka- resiko terjadinya bronkospasme pada anes-
nisme serangan terjadi melalui reaksi alergi tesia yaitu dengan menghindari endotra-
tipe I terhadap alergen. Asma intrinsik cheal tube dan penggunaan anestesia in-
dipicu oleh faktor-faktor non-alergen seper- halasi. Pemberian bronkodilator melalui
ti infeksi virus saluran napas, rangsangan nebulator atau sungkup muka pasca pembe-
iritan, dan olah raga.3,4 dahan harus sesegera mungkin.6,7
Asma dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain jenis kelamin, usia, status atopi,
FISIOLOGI RESPIRASI
faktor keturunan, dan faktor lingkungan.
Pada masa kanak-kanak ditemukan pre- Paru-paru merupakan organ yang
valensi anak laki-laki berbanding anak berperan penting dalam proses respirasi dan
perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa satu-satunya organ tubuh yang menerima
perbandingan tersebut kurang lebih sama, darah dari seluruh curah jantung. Respirasi
dan pada masa menopause perempuan lebih adalah pertukaran gas-gas antara organisme
banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi hidup dan lingkungan sekitarnya. Fungsi
asma pada anak lebih tinggi dari dewasa, utama respirasi ialah pertukaran O2 dan
tetapi terdapat juga laporan bahwa pre- CO2 antara darah dan udara pernapasan,
valensi dewasa lebih tinggi dari anak. Di sedangkan fungsi tambahan ialah penge-
Indonesia, prevalensi asma berkisar 5-7%.3 ndalian keseimbangan asam basa, meta-
Sebelum dilakukan anestesia dan bolisme hormon, dan pembuangan partikel-
operasi elektif pada pasien dengan riwayat partikel asing.8
asma terlebih dahulu harus dikontrol Pada manusia dikenal dua macam res-
keadaan asmanya apakah pasien sedang pirasi yaitu eksternal dan internal. Respirasi
atau tidak menderita infeksi atau serangan eksternal ialah pertukaran gas-gas antara
asma. Anestesia konduksi yang dikombi- darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini
nasikan dengan sedatif intravena (diazepam meliputi beberapa proses yaitu: ventilasi,
dosis kecil) merupakan pilihan yang lebih distribusi, difusi, dan perfusi. Respirasi
baik daripada anestesia saja atau anestesia internal ialah pertukaran gas-gas antara
umum. Asma sedang sampai berat perlu darah dan jaringan. Pertukaran ini juga me-
diobati dahulu dengan aminofilin intravena, liputi beberapa proses yaitu: efisiensi kar-
terbutalin (0,25 mg), atau keduanya.5 diosirkulasi dalam menjalankan darah kaya
Pada pasien asma yang memerlukan oksigen, distribusi kapiler, difusi gas-gas,
anestesia umum dan intubasi trakeal harus dan metabolisme sel.8,9
dipertimbangkan adanya peningkatan resi-
ko terjadinya bronkospasme saat anestesia.
PENGARUH ANESTESIA PADA RES-
Bronkospasme selama pembedahan ditan-
PIRASI
dai dengan wheezing, penurunan volume
tidal ekshalasi, atau suatu kenaikan lambat Efek penekanan dari obat anestetik dan
dari gelombang dikapnograf. Penurunan pelumpuh otot lurik terhadap respirasi telah
diameter jalan napas yang disebabkan bron- dikenal sejak dahulu ketika kedalaman,
kokontriksi yang berat dapat mempenga- karakter, dan kecepatan respirasi diterima
ruhi distribusi gas dalam paru. Hal yang sebagai tanda klinis yang bermanfaat ter-
paling penting pada pasien yang dianestesia hadap kedalaman anestesia.8 Zat-zat anes-
yaitu meningkatkan konsentrasi gas oksi- tetik intravena dan bersifat abar (volatil)
gen inspirasi sampai 100% pada saat terjadi serta golongan opioid menekan pernapasan
bronkospasme. Pada akhir pembedahan dan menurunkan respons terhadap CO2.
12 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 10-16

Respons ini tidak seragam; golongan opioid maupun non-alergik terjadi inflamasi dan
mengurangi laju pernapasan sedangkan zat hipereaktivitas saluran napas. Terdapat dua
abar trikloretilen meningkatkan laju per- jalur yang berperan untuk terjadinya kedua
napasan. Hiperkapnia atau hiperkarbia (te- hal tersebut, yaitu jalur imunologik (ter-
kanan parsial karbon dioksida dalam darah utama didominasi oleh IgE) dan jalur saraf
arteri, PaCO2 meningkat) akan merangsang autonom.3,11 Pasien dengan asma berisiko
kemo-reseptor di badan aorta dan karotis tinggi untuk mengalami komplikasi peri-
kemudian diteruskan ke pusat napas se- operatif sehingga berpeluang terjadi pe-
hingga terjadi pernapasan dalam dan cepat ningkatan morbiditas.4,5,9
(hiperventilasi). Sebaliknya, hipokapnia
atau hipokarbia (PaCO2 menurun) akan Patofisiologi asma
menghambat kemoreseptor di badan aorta Obstruksi saluran napas pada asma
dan karotis kemudian diteruskan ke pusat merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
napas sehingga terjadi napas dangkal dan sumbatan mukus, edema, dan inflamasi
lambat (hipoventilasi).8 dinding bronkiolus. Obstruksi bertambah
Induksi anestesia akan menurunkan berat selama ekspirasi karena secara fisio-
kapasitas sisa fungsional (Functional logik saluran napas menyempit pada fase
Recidual Volume, FRC), mungkin akibat tersebut. Hal ini mengakibatkan udara dis-
pergeseran diafragma ke atas pada pem- tal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan
berian pelumpuh otot.8 Pada perokok berat tidak dapat diekspirasi. Pada jalan napas
lapisan mukosa jalan napas mudah terang- terjadi peningkatan sel-sel inflamasi ter-
sang, produksi lendir meningkat, kan- utama eosinofil, sel mast, dan limfosit Th
dungan HbCO darah sampai kira-kira 10%, CD4. Elastic recoil paru berkurang
dan kemampuan Hb mengikat O2 menurun bersama-sama dengan aktifitas persisten
sampai 25%. Nikotin akan menyebabkan dari otot inspirasi dan ekspirasi. Tekanan
takikardia dan hipertensi.8 alveolar tetap positif hingga akhir ekspirasi;
fenomena ini dikenal sebagai tekanan akhir
ASMA ekspirasi positif intrinsik/auto (intrinsic/
auto Positive End Expiration Pressure,
Definisi asma PEEP), yang dapat menyebabkan kompresi
Asma adalah kesukaran bernapas yang dinamik dari jalan napas distal. Frekuensi
ditandai dengan kontraksi spastik otot polos ekspirasi paksa (Forced Expiration Volume,
bronkiolus yang menyumbat bronkiolus FEV) dan kapasitas vital (Vital Capacity,
secara parsial. Para ahli berpendapat bahwa VC) berkurang. Terperangkapnya udara
asma ialah penyakit paru dengan karak- menyebabkan peningkatan Functional Re-
teristik adanya obstruksi saluran napas yang cidual Capacity (FRC) sehingga kapasitas
reversibel (tetapi pemulihan bisa tidak paru total dan usaha pernapasan meningkat.
lengkap pada beberapa pasien) baik secara Hiperinflamasi memperburuk fungsi otot-
spontan maupun dengan pengobatan. Infla- otot respiratorik. Resistensi vaskular paru
masi saluran napas terjadi akibat pening- meningkat, dan curah jantung menurun.
katan respons saluran napas terhadap ber- Hal ini akan memburuk bila pasien meng-
bagai rangsangan (hiper-reaktivitas).3,10 alami hipovolemik.3
Asma dibedakan atas dua jenis, asma
alergik dan asma non-alergik. Asma alergik PENANGANAN DAN PENGELOLA-
muncul pada masa kanak-kanak; mekanis- AN PERIOPERATIF
me terjadinya serangan melalui reaksi
alergi tipe I terhadap alergen. Asma non- Penanganan pasien asma preoperatif
alergik atau intrinsik tidak memperlihatkan Tujuan penanganan preoperatif pasien
adanya tanda-tanda reaksi hipersensitivitas dengan asma yaitu untuk memaksimalkan
terhadap alergen.3 Baik pada asma alergik fungsi paru pasien tersebut. Pasien disaran-
Suhartono, Tambajong, Lalenoh; Penanganan Perioperatif pada Asma 13

kan berhenti merokok dua bulan sebelum nganan asma yaitu golongan simpatomime-
pembedahan. Evaluasi pasien asma se- tik, antagonis leukotrien, steroid, dan anti-
belum tindakan anestesia dan pembedahan immunoglobulin E (anti-IgE). Obat-obat
sangat penting untuk mencegah ataupun lain yang jarang digunakan ialah golongan
mengendalikan kejadian serangan asma, mukolitik, mast cell stabilizers, dan go-
baik saat intraoperatif maupun pasca- longan parasimpatolitik.12
operatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pe- Golongan simpatomimetik (β adrenergik
meriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi dan epinefrin)
paru dan analisis gas darah, dan foto Pasien dengan riwayat asma atau yang
toraks.11-13 Hasil evaluasi akan dipakai un- diketahui pernah mengalami wheezing pre-
tuk menentukan status fisik pra-anestesia. operatif perlu diberikan golongan β
The American Society of Anesthesiologists adrenergik. Short-acting β adrenergik se-
(ASA) menyusun klasifikasi status fisik cara rutin digunakan pada eksaserbasi asma
pra-anestesia atas enam kelas, yaitu:11 untuk menghilangkan gejala-gejala dengan
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa segera. Golongan simpatomimetik menye-
disertai penyakit sistemik. babkan dilatasi bronkiolus melalui aktivasi
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai adenylate cyclase dan peningkatan cyclic
dengan penyakit sistemik ringan adenosine monophosphate (cAMP) yang
sampai sedang. memediasi relaksasi otot polos bronkiolus.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai Obat-obat ini juga menghambat pelepasan
dengan penyakit sistemik berat yang anti-histamin dan neurotransmiter koliner-
disebabkan karena berbagai penye- gik. β-adrenergik selektif umumnya dibe-
bab tetapi tidak mengancam nyawa. rikan secara inhalasi (metered dosed in-
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai haler, MDI) dan sampai saat ini merupakan
dengan penyakit sistemik berat yang preparat yang paling efektif. Sebagai con-
secara langsung dapat mengancam toh, salbutamol, salmeterol, metaprotere-
kehidupannya. nol, dan terbutalin sulfat. Pasien yang
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai menggunakan β-blocker hendaknya yang
dengan penyakit sistemik berat yang tidak menimbulkan spasme bronkiolus se-
sudah tidak mungkin ditolong lagi, perti atenolol, atsumetropolol, atau esmo-
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam lol. β1 dan β2 adrenergik non-selektif ter-
pasien akan meninggal. masuk epinefrin (adrenalin), isoproterenol
ASA 6: pasien yang telah dinyatakan mati dan isoetharin berefek takikardi dan arit-
otak, organnya dikeluarkan untuk mogenik sehingga dapat membahayakan
keperluan donor tetapi harus atas ijin pasien penyakit jantung.3,12
pasien atau keluarga.
Golongan santin (teofilin)
Pada pengelolaan preoperatif pasien Efek teofilin sama dengan golongan
dengan asma, sebagai langkah pertama simpatomimetik, tetapi mempunyai cara
yaitu menentukan reversibilitas kelainan. kerja berbeda sehingga bila kedua obat ini
Proses obstruksi yang revesibel ialah bron- dikombinasikan efeknya saling memper-
kospasme, sekret yang terkumpul, dan kuat. Sebagai bronkodilator, teofilin beker-
proses inflamasi jalan napas. Pasien dengan ja melalui dua mekanisme di paru yaitu
bronkospasme yang sering harus diobati relaksasi otot polos dan menekan rang-
dengan preparat bronkodilator, teofilin, dan sangan stimuli jalan napas. Mekanisme
kortikosteroid.3 kerja yang pasti belum diketahui, diduga
efek bronkodilatasi disebabkan oleh adanya
Terapi farmakologik penghambatan isoenzim phosphodiesterase
Obat-obat yang digunakan pada pena- PDE III dan PDE IV. Efek teofilin lainnya
14 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 10-16

berhubungan dengan aktivitas molekular terdiri dari recombinant humanized IgG


yang lain. Teofilin juga dapat mening- monoclonal anti-IgE antibody yang akan
katkan kontraksi otot diafragma dengan terikat pada IgE (molekul yang berperan
cara peningkatan uptake Ca melalui ade- dalam patofisiologi asma alergik). Omali-
nosin-mediated channels. Pada serangan zumab yang terikat pada IgE secara elektif
asma yang akut dan berat yang berhubung- mengeluarkannya dari sirkulasi, sehingga
an dengan bronkitis kronis dan enfisema menurunkan inflamasi. Omalizumab u-
digunakan aminofilin. Aminofilin merupa- mumnya digunakan pada moderate per-
kan kompleks 2:1 dari teofilin dan etilen- sistent asthma dan asma berat.11
diamin. Teofilin sebagai bahan untuk anti-
asma sedangkan etilendiamin digunakan Penanganan pasien asma intraoperatif
untuk membentuk kompleks aminofilin
yang mudah larut dalam air. Pengunaan Analgesia atau anestesia regional
aminofilin tidak dianjurkan pada anak ber- adalah tindakan analgesia yang dilakukan
usia <12 tahun. Berbagai jenis obat-obatan dengan cara menyuntikkan obat anestetika
dapat meningkatkan kadar teofilin, yang lokal pada lokasi serat saraf yang menya-
perlu dipertimbangkan pada saat pre- rafi regio tertentu, yang menyebabkan
anestesia.11 hambatan konduksi impuls aferen yang
bersifat temporer.1,4,11 Jenis-jenis analgesia
Kortikosteroid regional yaitu blok saraf, blok pleksus
brakhialis, blok spinal sub arakhonoid,,
Obat golongan ini sering digunakan blok spinal epidural, dan blok regional
pada pasien yang tidak berespon terhadap intravena.1 Pilihan teknik bisa anestesia
pemberian antagonis β2 adrenergik. Pada regional dimana pasien tetap sadar dan
serangan asma berat digunakan kortiko- mengontrol pernapasannya sendiri, sedang-
steroid parenteral. Kortikosteroid sistemik kan pada situasi lain diperlukan kombinasi
digunakan untuk mengontrol eksaserbasi anestesia umum dan regional dengan per-
berat, mencegah progresivitas dan inflama- timbangan pengendalian nyeri pasca-opera-
si, pemulihan yang cepat, dan mengurangi tif. Bila memungkinkan, dipilih anestesia
tingkat kekambuhan. Mekanisme kerja obat regional dengan blok rendah dan conti-
ini melalui pengurangan edema mukosa nuous epidural dengan lidocaine 1,5 mg/kg
dan stabilisasi membran sel mast.4,11,12
(hanya analgesia) sehingga otot-otot per-
napasan tidak terganggu.1
Golongan antikolinergik Pada keadaan yang memerlukan
Salah satu obat golongan ini ialah anaestesia umum, diberikan premedikasi
ipratropium bromide yang digunakan untuk dengan antihistamin seperti prometazin
menghilangkan bronkospasme akut. Go- bersama hidrokortison 100 mg. Tujuan
longan ini menyebabkan bronkodilatasi anestesia umum yaitu smooth induction dan
melalui inhibisi kompetitif pada reseptor kedalaman anestesia disesuaikan dengan
kolinergik muskarinik dan menurunkan to- stimulasi.6,9,10,12,13 Laringoskopi dan intu-
nus vagal jalan napas. Selain itu, golongan basi dihindari pada anestesia yang dangkal
ini menghambat refleks bronkokonstriksi karena dapat menyebabkan bronkospasme.
terhadap iritan atau terhadap reflux eso- Peningkatan suara napas oleh stimulasi
phagitis dan dapat menurunkan sekresi vagal disebabkan oleh endoskopi, dan
kelenjar mukus. Antikolinergik merupakan peritoneal atau visceral stretch. Ketamin
terapi pilihan untuk bronkospasme akibat cukup baik untuk induksi intravena karena
kerja β blocker.11 bersifat bronkodilator. Untuk tindakan
singkat, sebaiknya digunakan teknik mas-
Immunoterapi anti-IgE ker wajah setelah induksi dengan meng-
Golongan ini merupakan penanganan hindari intubasi. Oksigen digunakan de-
terbaru untuk asma berat. Omalizumab ngan konsentrasi 30% atau lebih untuk
Suhartono, Tambajong, Lalenoh; Penanganan Perioperatif pada Asma 15

udara inspirasi.4 Bila dibutuhkan intubasi, merupakan ancaman utama. Pasien yang
anestesi harus ditambah dalam dengan teridentifikasi berisiko tinggi perlu dima-
inhalasi, kemudian dilakukan intubasi tanpa sukkan ke unit monitoring pasca-operatif
relaksan otot. Pada pasien yang dianestesia agar fisioterapi dada dan suction dapat
dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa dilakukan. Penanganan nyeri pasca-operatif
menyebabkan bronkospasme bila diintu- perlu diatasi untuk menurunkan kejadian
basi. Cisatracurium tidak menyebabkan bronkospasme. Parameter respirasi yang
pelepasan histamin atau bronkospasme harus dinilai pasca-anestesia yaitu suara
sedangkan rocuronium dapat digunakan napas paru harus sama di kedua paru,
untuk pasien asma yang memerlukan intu- frekuensi napas 10-35 x/menit, irama napas
basi cepat. Eter dan halotan merupakan teratur, volume tidal minimal 4-5 ml/kg
bronkodilator yang baik. Eter mempunyai BB, kapasitas vital 20-40 ml/kg BB,
kelebihan bila terjadi bronkospasme. Pema- inspirasi paksa -40 cm H2O, PaO2 pada
kaian epinefrin 0,5 mg subkutan bisa di- FiO2 30% 100 mm Hg, dan PaCO2 30-45
berikan dengan aman, namun hal ini ber- mm Hg. 1,2,5,9,12,13
bahaya bila diberikan bersamaan dengan
halotan atau trikloretilen karena dapat me-
SIMPULAN
nyebabkan gangguan irama jantung akibat
efek katekolamin. Sebagai alternatif peng- Evaluasi pasien asma sebelum tin-
ganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin dakan anestesia dan pembedahan sangat
250 mg intravena secara lambat untuk penting untuk mencegah atau mengen-
dewasa karena obat ini cocok dengan dalikan kejadian serangan asma, baik intra-
semua obat inhalasi. Pada akhir tindakan operatif maupun pasca-operatif, yang me-
bila memakai intubasi, ekstubasi dilakukan liputi anamnesis serta pemeriksaan fisik,
dalam posisi miring dan dengan anestesia laboratorik, radiologik, analisis gas darah,
dalam, karena stimulasi laring dapat me- dan tes fungsi paru-paru. Pasien dengan
micu bronkospasme.1,2,5,9,12,13 riwayat asma frekuen atau kronis perlu
dilakukan pengobatan sampai tercapai kon-
Penanganan pasien asma pasca-operatif disi yang optimal untuk dilakukan operasi
atau kondisi dimana gejala-gejala asma
Pemberian bronkodilator dilanjutkan sudah minimal. Pasien dengan bronkospas-
sesegera mungkin pada pasca-operatif me- me yang frekuen harus diobati dengan pre-
lalui nebulator atau sungkup muka hingga parat bronkodilator, dosis terapi teofilin,
pasien mampu menggunakan MDI sendiri dan kortikosteroid. Pemilihan obat-obatan
secara benar.8 Kategori pasien yang mem- dan tindakan anestesia perlu dipertimbang-
peroleh manfaat terapi MDI bila memenuhi kan secara cermat untuk menghindari peng-
kriteria sebagai berikut: frekuensi perna- gunaan obat-obatan dan tindakan yang me-
pasan <25 kali/menit, mampu menahan na- rangsang terjadinya bronkospasme atau se-
pas selama 5 detik atau lebih, kapasitas rangan asma. Persiapan tindakan dan obat-
vital >15 ml/kg BB, mampu berkomunikasi obat untuk mengatasi serangan asma atau
verbal dan mengikuti instruksi, koordinasi bronkospasme sejak saat pra-anestesi agar
tangan-mulut, inspirasi memadai, PEFR jika terjadi serangan bronkospasme kondisi
≥150 L/menit untuk perempuan dan >200 reversibel dapat tercapai.
L/menit untuk laki-laki. Pada akhir pem-
bedahan pasien harus bebas wheezing. Re-
versal pemblok neuromuskular nondepolar- DAFTAR PUSTAKA
ising dengan antikolinesterase tidak me- 1. Warner DO, Warner MA, Barnes RD,
nimbulkan bronkospasme bila diberikan Offord KP, Schroeder DR, Gray DT,
dosis antikolinergik yang tepat. Obstruksi et al. Perioperative respiratory
jalan napas, laringospasme, bronkospasme, complications in patients with asthma.
ventilasi yang rendah, dan hipoksemia Anesthesiology. 1996;85:459-67.
16 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 10-16

2. Bishop MJ, Cheney FW. Anesthesia for 9. Pyrgos G, Brown R. Should patients with
patients with asthma, low risk but not asthma be given perioperative medica-
no risk. Anesthesiology. 1996;85:455-6. tions including steroids? In: Lee A.
3. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. In: Fleisher, editor. Evidence-based
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Practice of Anesthesiology (Second
Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Edition). Philadelphia: Saunders
Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Elsevier, 2009. p. 60-3.
Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 10. Searl CP. Respiratory diseases. In: Searl
404-8. CP, Ahmed ST, editors. Core Topics in
4. Dewachter P, Mouton-Faivre C, Emala Thoracic Anesthesia. Cambridge:
CW, Beloucif S. Case Scenario: Bron- Cambridge University Press, 2009;
chospasm during anesthetic induction. p.25-26.
Anesthesiology. 2011;114(5):1200-10. 11. Mangku G, Senapathi TGA. Tatalaksana
5. Euliano TY, Gravenstein JS. Pre-operative Anestesia dan Reanimasi Buku Ajar
evaluation. In: Essential Anesthesia Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
from Science to Practice. Cambridge: Indeks, 2010.
University Press, 2004. 12. Horvath G, Wanner A. Bronchial arterial
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. circulation in the human. In: Yuan JXJ,
Petunjuk Praktis (Edisi Kedua). Jakarta: Hales CA, Archer SL, Garcia JGN,
FKUI, 2010. Rich S, West JB. Textbook of
7. Searl CP. Respiratory physiology. In: Searl Pulmonary Vascular Disease. New
CP, Ahmed ST, editors. Core Topics in York: Springer, 2010; p.447.
Thoracic Anesthesia. Cambridge: Cam- 13. McKenna SS. Obstructive and restrictive
bridge University Press, 2009; p.9-14. lung disease. In: Rosenblatt WH, Aglio
8. Guyton AC, Hall JE. Guyton & Hall Buku LS, Allen PD, Bader AM, Beutler SS,
Ajar Fisiologi Kedokteran (Edisi 11). Camann WR, et al. Essential Clinical
Jakarta: EGC, 2007. Anesthesia. Cambridge: Cambridge
University Press, 2011; p.20-21.

Anda mungkin juga menyukai