Anda di halaman 1dari 117

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328018714

Pespektif Peran Ketenagakerjaan Dalam Pembangunan

Book · June 2018

CITATIONS READS

0 1,007

3 authors:

Achmad Rizal Izza Mahdiana Apriliani


Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
102 PUBLICATIONS   198 CITATIONS    53 PUBLICATIONS   60 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Rita Rostika
Universitas Padjadjaran
32 PUBLICATIONS   27 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Marine Debris View project

Social Economic of Fishery View project

All content following this page was uploaded by Achmad Rizal on 02 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERSPEKTIF PERAN KETENAGAKERJAAN
DALAM PEMBANGUNAN
PERSPEKTIF PERAN KETENAGAKERJAAN
DALAM PEMBANGUNAN

Achmad Rizal
Izza M Apriliani
Rita Rostika

ii
iii
Copyright @2018, Achmad Rizal dkk.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan 1, Juni 2018


Diterbitkan oleh Unpad Press
Grha Kandaga, Gedung Perpustakaan Unpad Jatinangor, Lt I
Jl. Raya Bandung – Sumedang (Ir. Soekarno) KM 21, Jatinangor – Sumedang
45363 –Jawa Barat-Indonesia
Telp. (022) 84288888 ext 3806, Situs: http://press.unpad.ac.id
email:press@unpad.ac.id/pressunpad@gmail.com/
pressunpad@yahoo.co.id
Anggota IKAPI dan APPTI

Editor : Izza Mahdiana Apriliani


Editor Ahli/ Reviewer : Prof. Bachrul H. Koswara dan Asep A. Handaka
Editor Bahasa : Achmad Rizal
Tata Letak : Izza Mahdiana Apriliani
Desainer Sampul : Reza Setia R. Putra

Katalog

Achmad Rizal, Izza M. Apriliani, Rita Rostika


Perspektif Peran Ketenagakerjaan dalam Pembangunan /
Penulis Achmad Rizal, Izza M. Apriliani, Rita Rostika;
Penyunting/Editor Izza M. Apriliani, --Cet. 1 – Bandung;
Unpad Press; 2018
104 h.; 25 cm

ISBN 978-602-439-324-3

iv
PRAKATA

Perencanaan tenaga kerja adalah Proses penyusunan rencana


ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan
dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Republik Indonesia
nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan
diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 15 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh Informasi
Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan
Tenaga Kerja.

Kedua peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan


bahwa betapa penting dan strategisnya kedudukan dari rencana
tenaga kerja di daerah baik bersifat rencana tenaga kerja tahunan,
jangka menengah maupun jangka panjang. Hal demikian sejalan
dengan semakin kompleksnya permasalahan ketenagakerjaan yang
terjadi.

Keberadaan suatu Perencanaan Ketenagakerjaan yang handal


sudah menjadi kebutuhan pokok dalam rangka mendorong
pembangunan daerah yang optimal. Perencanaan tersebut harus dapat
digunakan mendukung pengambilan berbagai keputusan oleh
Pengambil kebijakan terkait dalam proses pembangunan daerah.

iv
Akhirnya, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima
kasih kepada segenap anggota Tim penulis yang telah bekerja keras
untuk mewujudkan tersusun dan terbitnya Buku ini. Harapan kami
adalah, kiranya buku ini dapat digunakan sebagai referensi bagi
mahasiswa dan peneliti di bidang ketenagakerjaan dalam fokus
pembangunan daerah.

Jatinangor, Juni 2018

Tim Penyusun

v
DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA .................................................................................... iv
DAFTAR ISI.................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ............................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... vii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................... 1
BAB 2 MEMAHAMI DEFINISI DAN KONSEPSI TEORITIS
ASPEK TENAGA KERJA ................................................. 7
2.1. Konsep Tenaga Kerja ....................................................... 7
2.2. Angkatan Kerja dan Ketenagakerjaan di Pedesaan ...... 11
2.3. Permasalahan Pengangguran ....................................... 18
2.4. Solusi Umum Atasi Pengangguran ............................... 19
2.5. Konsep Life Skills............................................................ 22
BAB 3 MEMAHAMI TREN EKONOMI DAN PASAR TENAGA
KERJA .......................................................................... 28
3.1. Tren Ekonomi ................................................................. 28
3.2. Tren Pasar Tenaga Kerja................................................ 31
BAB 4. STUDI KASUS PERAN KETENAGAKERJAAN DI
KABUPATEN SUKABUMI............................................ 37
4.1. Aspek Ekonomi Daerah ................................................. 37
4.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).......... 37
4.1.2. Struktur Ekonomi .............................................. 43
4.1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi ...............................46
4.2. Ketenagakerjaan ............................................................48
4.2.1. Angkatan Kerja .................................................... 53
4.2.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja .................... 55
4.2.3. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan
Usaha................................................................. 56
4.2.4. Status Pekerjaan ................................................ 58
4.2.5. Analisis Ketenagakerjaan Kabupaten
Sukabumi........................................................... 59

iii
4.2.6. Analisis Klaster ................................................... 62
4.2.7. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja..................... 67
4.2.8. Analisis Elastisitas Tenaga Kerja ..................... 69
4.2.9. Analisis SWOT .................................................... 70
BAB 5. MEMAHAMI SOLUSI KETENAGA-KERJAAN DARI
MASALAHNYA ............................................................ 77
5.1. Menciptakan Landasan Perlindungan Sosial:
Strategi untuk Menutup Kesenjangan
Pembangunan .............................................................. 77
5.2. Formalisasi ekonomi informal: Pekerjaan rumah
tangga di Indonesia...................................................... 82
BAB 6. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA :
SEBUAH DILEMA ....................................................... 88
6.1. Pembinaan dan Pendayagunaan SDM.......................... 91
6.2. Tantangan, Arah Perkembangan, dan Peningkatan
SDM............................................................................... 93
6.3. Penutup ....................................................................... 100
DAFTAR REFERENSI ................................................................. 101

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten


Sukabumi Menurut Sektor Usaha Tahun 2010 –
2013 (dalam milyar rupiah) .........................................40
Tabel 2 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kabupaten
Sukabumi Menurut Sektor Usaha Tahun 2010 –
2013 (dalam milyar rupiah) ......................................... 41
Tabel 3 Kenaikan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
Kabupaten Sukabumi Menurut Sektor Usaha
Tahun 2013 .................................................................. 42
Tabel 4 Distribusi PDRB atas Dasar Harga Berlaku
Kabupaten Sukabumi Menurut Sektor Usaha
Tahun 2010– 2013 ........................................................ 45
Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sukabumi Atas
Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Sektor Tahun
2010– 2013 (%) .............................................................. 47
Tabel 6 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas
Menurut Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Sukabumi Tahun2011 - 2013 ..................... 54
Tabel 7 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di
Kabupaten Sukabumi Tahun 2011 - 2013..................... 55
Tabel 8 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang
Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di
Kabupaten Sukabumi Tahun 2011 – 2013 ................... 57
Tabel 9 Komposisi Penduduk yang Bekerja Menurut
Status Pekerjaan Di Kabupaten Sukabumi Tahun
2015.............................................................................. 58
Tabel 10 Nilai Rata Rata Setiap Variabel dari 27
Kabupaten/Kota .........................................................64

v
Tabel 11 Pusat Klaster Rata-Rata Variabel dari 27
Kabupaten/Kota ......................................................... 65
Tabel 12 Jumlah Kabupaten dan Kota terdistribusi ke
dalam 4 Klaster ........................................................... 65
Tabel 13 Uji Signifikansi Variabel di dalam 4 Klaster ............... 66
Tabel 14 Daya Serap Tenaga Kerja Akibat Pertumbuhan
Ekonomi ...................................................................... 67
Tabel 15 Daya Serap Tenaga Kerja Akibat Pertumbuhan
Ekonomi Tahun 2015-2016 ......................................... 69
Tabel 16 Key Success Factors Acuan Penyusunan
Masterplan Ketenagakerjaan .....................................71
Tabel 17 Hasil Analisis SWOT .................................................... 73

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Tingkat Pertumbuhan PDB Indonesia, ASEAN 5,


dan Dunia tahun 2002-2012 .................................. 29
Gambar 2 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan
2000 Tahun 2010 – 2013 (dalam milyar
rupiah) .................................................................. 39
Gambar 3 Struktur Ekonomi Kabupaten Sukabumi
dengan 3 Kelompok Sektor UtamaTahun
2010 – 2013 ............................................................44
Gambar 4 Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Rata-Rata Pengurangan Jumlah
Pengangguran di Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Barat Tahun 2008-2013. ..............................64
Gambar 5 Kuadran Analisis SWOT ............................................ 74

vii
BAB 1. PENDAHULUAN

Sejalan dengan perkembangan jaman, roda pembangunan


berjalan terus untuk mencapai titik harapan yang selalu bergeser sesuai
dengan perubahan kebutuhan dan perkembangan situasi.
Pembangunan dalam kapasitanya sebagai usaha manusia untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan hidup ternyata dari masa ke masa
cenderung kepada aspek yang mudah dilihat hasilnya atau aspek fisik.
Dengan kata lain, faktor manusia (pemberdayaan) sendiri sering
terpinggirkan, sehingga tidak jarang dijumpai di banyak tempat, bahwa
pembangunan semakin menyeret manusia kepada krisis moral dan
mereduksi eksistensi manusia sendiri (dehumanisasi).

Pembangunan seperti terjadi di banyak negara maju, kuncinya


ada pada penguasaan ilmu dan teknologi (iptek), dimana iotek ini
menjadi motor industrialisasi. Industrialisasi dianggap sebagai pintu
kemajuan ekonomi (kemakmuran). Hal ini diakui oleh hampir seluruh
dunia, sehingga kebanyakan negara berkembang membuat paradigma
pembangunannya dengan berkiblat pada Eropa dan Amerika, yang
merupakan negara industri dan yang telah lebih dahulu mengenyam
serta menciptakan teknologi mutakhir, lambang kemodernan, dan
kehidupan mewah. Padahal setiap negara mempunyai karakteristik yang
berbedabeda, sehingga paradigma pembangunan yang digunakan
tentunya berbeda. Tampaknya para penyelenggara negara di negara-
negara berkembang silau terhadap kemajuan teknologi Barat dan latah
untuk mengadopsi model dan pendekatan pembangunan negara Barat.

1
Begitu kuatnya hegemoni Barat sehingga merambah di segala aspek
kehidupan negara-negara berkembang. Bahkan dengan segala
kecongkakannya, negara-negara Barat yang dikomandani AS sering
menganggap dirinya sebagai yang paling benar dan disertai pemaksaan
kepada negara-negara berkembang untuk mengikuti jejaknya.

Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat


telah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah
kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan kondisi
lokal, sehingga pemerintah daerah dituntut lebih kreatif dan inovatif
dalam pengelolaan pembangunan, termasuk pembangunan
ketenagakerjaan. Pengembangan kebijakan pembangunan
ketenagakerjaan sangat penting mengingat penyelenggaraan
pembangunan ketenagakerjaan pada saat ini semakin kompleks
sejalan dengan permasalahan, perkembangan demokrasi,
desentralisasi dan tuntutan globalisasi yang semakin meningkat.

Selanjutnya, untuk dapat menjalankan peran secara optimal


maka sektor ketenagakerjaan perlu menggunakan konsep good
governance secara baik. Dalam konsepgood governance, pihak
pemerintah yang memiliki 3 peran kunci, yakni sebagai: (1) regulator;
(2) pemberi dana; dan (3)pelaksana. Sebagai regulator pemerintah
harus menjadi wasit yang adil dalam sistem pelayanan ketenagakerjaan
di wilayahnya, harus menyediakan aturan-aturan dasar yang tujuannya
adalah untuk menjamin bahwa sistem bisa berjalan secara fair dan
melindungi masyarakat untuk mencapai status ketenagakerjaan

2
masyarakat yang optimal.

Sebagai pemberi dana, pemerintah harus menjamin bahwa


layanan ketenagakerjaan yang diperlukan oleh masyarakat dapat
diakses oleh seluruh masyarakat, sehingga jika terjadi barier ekonomi
dari kelompok masyarakat yang miskin, maka pemerintah harus
bertanggung jawab untuk menyediakan dana dan atau membuat
sistem supaya pelayanan ketenagakerjaan dapat diakses oleh
penduduk miskin dengan kualitas yang baik. Sebagai pelaksana, maka
pemerintah menyediakan layanan ketenagakerjaan bagi masyarakat,
terutama bagi segmen tertentu yaitu masyarakat miskin dan rentan.

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari


pembangunan nasional merupakan upaya yang dilakukan oleh semua
komponen dalam rangka mencapai tujuan bernegara (UU No. 25 tahun
2004). Pembangunan ketenagakerjaan itu sendiri membutuhkan suatu
perencanaan. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

Pembangunan ketenagakerjaan itu sendiri tidak dapat


dilaksanakan oleh salah satu sektor, atau dalam hal ini dinas teknis
yang terkait secara langsung adalah Dinas Ketenagakerjaan. Sebagian
upaya ketenagakerjaan, terutama determinan ketenagakerjaan
terletak pada sektor lain, sehingga membutuhkan suatu sinergisme
perencanaan antar sektor.

Kondisi kerja yang baik, kualitas output yang tinggi, upah yang
layak serta kualitas sumber daya manusia adalah persoalan yang selalu

3
muncul dalam pembahasan tentang tenaga kerja disamping masalah
hubungan industrial antara pekerja dengan dunia usaha Ekonomi
menyangkut kebutuhan-kebutuhan manusia dan sumber-sumber
pembangunan, keinginan dan kebutuhan manusia tidak terbatas,
sedangkan sumber-sumber selalu terbatas. Dengan demikian ilmu
ekonomi berusaha menerangkan bagaimana memenuhi kebutuhan
masyarakat sebanyak mungkin dengan jumlah sumber-sumber yang
terbatas.

Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen


terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses
produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka
membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada
konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa
yang diproduksi meningkat, maka pengusaha terdorong untuk
meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input
tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut
lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan
kata lain, peningkatan permintaan tenaga kerja oleh produsen,
tergantung dari peningkatan permintaan barang dan jasa oleh
konsumen. Dengan demikian permintaan tenaga kerja merupakan
permintaan turunan dari permintaan output (McConnell, 1995; Ruby,
2003).

Dalam kerangka makro ekonomi, permintaan output agregat,


seringkali diukur berdasarkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
(PDB/PDRB) suatu perekonomian (Todaro, 2009; Mankiw, 2003).

4
Karena itu, permintaan tenaga kerja agregat selain di pengaruhi oleh
upah, juga ditentukan oleh berbagai variabel sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi masyarakat, investasi,
pengeluaran pemerintah, ekspor, impor. Selanjutnya, Mankiw (2003)
menganggap bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja
merupakan faktor esensil dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi,
karena produktivitas tenaga kerja mencerminkan efisiensi dan
kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi, peningkatan produktivitas tenaga kerja


seringkali dianggap bersifat mereduksi kesempatan kerja, namun
temuan Nordhaus (2005) dan Siregar (2006), menunjukkan bahwa
peningkatan teknologi pada sektor padat karya (seperti pertanian dan
industri agro) justru meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Logikanya adalah bahwa kenaikan produktivitas dan daya saing produk
sektor tersebut akan menyebabkan harga jual yang lebih kompetitif,
sehingga meningkatkan permintaan terhadap produk itu. Kenaikan
permintaan ini pada gilirannya meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Salah satu modal dasar pembangunan adalah jumlah penduduk


yang besar. Jumlah penduduk yang besar ini akan menjadi modal
pembangunan bila dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang
efektif. Namun, bagi negara-negara berkembang pada umumnya,
jumlah penduduk yang besar justru menjadi masalah tersendiri (beban
pembangunan), hal ini disebabkan daya dukung ekonomi yang rendah,
tingkat pendidikan dan produktivitas rendah serta penyebaran
penduduk dan angkatan kerja yang tidak merata baik secara sektoral

5
maupun regional (Simanjuntak, 1989).

Bahkan hingga kini, faktor penduduk masih lebih merupakan


faktor hambatan pembangunan dari pada bantuan. Meski demikian
bukan berarti bahwa kontribusi penduduk tidak ada, hanya belum
memadai. Persoalannya kini adalah, pertama bagaimana membina dan
mendayagunakan jumlah penduduk yang besar sebagai sumber daya
yang potensial menjadi modal dasar pembangunan yang efektif. Kedua,
akan dibawa ke arah mana pengembangan sumber daya manusia agar
menjadi manusia pembangun yang unggul dan utuh?

6
BAB 2 MEMAHAMI DEFINISI DAN KONSEPSI TEORITIS ASPEK
TENAGA KERJA

2.1. Konsep Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang


sangat penting selain sumber daya alam, modal dan teknologi, Kalau
ditinjau secara umum pengertian tenaga kerja adalah menyangkut
manusia yang mampu bekerja untuk menghasilkan barang atau jasa
dan mempunyai nilai ekonomis yang dapat berguna bagi kebutuhan
masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur dengan usia.
Dengan kata lain orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja.

Menurut Simanjuntak (1985) yang dimaksud dengan tenaga


kerja atau man power adalah penduduk yang sudah atau yang sedang
bekerja, sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan-
kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Batas
umur tenaga kerja minimum adalah 10 tahun tanpa batas umur
maksimum. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
tenaga kerja yaitu meliputi penduduk yang berusia 10 tahun ke atas.
Mereka ada yang sudah bekerja, sedang mencari pekerjaan dan yang
melakukan kegiatan lain seperti sekolah, mengurus rumah tangga dan
golongan-golongan lain yang menerima pendapatan.

Menurut Undang-Undang RI No.13 Tahun 2003 tentang


ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk

7
memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia (2008) tenaga kerja adalah orang yang bekerja atau
mengerjakan sesuatu, orang yang mampu melakukan pekerjaan baik
didalam maupun diluar hubungan kerja. Tenaga kerja merupakan
istilah yang identik dengan istilah personalia, di dalamnya meliputi
buruh. Buruh yang dimaksud adalah mereka yang bekerja pada usaha
perorangan dan diberikan imbalan kerja secara harian maupun
borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, biasanya
imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Tenaga kerja
merupakan suatu faktor produksi sehinggadalam kegiatan industri
diperlukan sejumlah tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan
kemampuan tertentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Dari segi
keahlian dan pendidikannya tenaga kerja dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu:

1) Tenaga kerja kasar yaitu tenaga kerja yang berpendidikan rendah


dan tidak mempunyai keahlian dalam suatu bidang pekerjaan.
2) Tenaga kerja terampil yaitu tenaga kerja yang mempunyai
keahlian dan pendidikan atau pengalaman kerja seperti montir
mobil, tukang kayu, dan tukang memperbaiki televisi dan radio.
3) Tenaga kerja terdidik yaitu tenaga kerja yang mempunyai
pendidikan yang tinggi dan ahli dalam bidang-bidang tertentu
seperti dokter, akuntan ahli ekonomi, dan insinyur .

Tiap negara memiliki batas umur yang berbeda karena situasi


dan kondisi tenaga kerja di masing-masing negara juga berbeda.
Pemilihan batas umur 10tahun adalah berdasarkan fakta bahwa dalam

8
umur tersebut sudah banyakpenduduk berumur muda terutama di
desa-desa yang sudah bekerja atau mencari pekerjaan.

Berkaitan dengan penjelasan pengertian angkatan kerja diatas,


menurutSimanjuntak (1985) penduduk yang berusia 10 tahun ke atas
yang mempunyaipekerjaan tertentu dalam suatu kegiatan ekonomidan
mereka yang tidak bekerjatetapi sedang mencari pekerjaan.
Sementara Soeroto (1992) mendefinisikan angkatan kerja, yaitu
sebagian dari jumlah penduduk dalam usiakerja yang mempunyai dan
tidak mempunyai pekerjaan yang telah mampu dalamarti sehat fisik
dan mental secara yuridis tidak kehilangan kebebasannya
untukmemilih dan melakukan pekerjaan tanpa unsur paksaaan.

Berdasarkan bahasan diatas dapat disimpulkan, yang termasuk


angkatankerja adalah penduduk yang berusia 10 tahun ke atas, baik
yang sedang bekerjamaupun yang sedang mencari pekerjaan,
walaupun berbeda dengan pendapatSoeroto yang tidak sepakat
dengan batasan usia minimum, namun secarakulaitastif telah
memberikan makna yang berarti.

Golongan setengah menganggur adalah orang yang kurang


dimanfaatkandalam bekerja baik dilihat dari segi jam kerja,
produktivitas kerja maupun dari segi penghasilan. Golongan setengah
pengangguran dapat dikelompokkan menjadi:

1) Setengah menganggur kentara, yaitu mereka yang bekerja kurang


dari 35 jam seminggu atau rata-rata kurang dari 6 jam per hari

9
2) Setengah menganggur tidak kentara atau menganggur
terselubung adalah mereka yang produktifitas kerja dan
pendapatannya rendah.

Tenaga kerja di Indonesia menghadapi permasalahan dalam hal


produktifitasnya yang rendah. Di samping itu masalah yang timbul dari
ketenaga kerjaan adalah ketidakseimbangan antara penawaran dan
permintaan pada suatu tingkat upah tertentu. Keadaan umum yang
terjadi adalah adanya kelebihan jumlah penawaran tenaga kerja
tertentu. Hal ini terjadi akibat jumlah orang yang mencari pekerjaan
atau yang menganggur semakin besar. Keadaan tersebut membawa
konsekuensi terhadap usaha penyediaan lapangan pekerjaan bagi
angkatan kerja baru (Soeroto, 1992). Dengan adanya permasalahan
mengenai ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran
tenaga kerja, maka perlu upaya peningkatan mutu tenaga kerja, dan
meningkatkan sumberdaya manusia yang baik akan menghasilakan
tenaga kerja yang terampil dan mempunyai produktifitas yang tinggi.
Akibatnya tenaga kerja akan mudah dalam mencari kerja, atau mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri (Simanjuntak 1985).

Menurut Soeroto (1992) sebagian besar tenaga kerja pedesaan


yang terserap dalam lapangan kerja non pertanian merupakan tenaga
kerja tidak terampil, pendidikan rendah, dan upah yang diterima
sangat rendah. Oleh karena itu dalam perkembangan lapangan kerja
non pertanian di pedesaan diprioritaskan pada jenis industri yang
berteknologi sederhana, modal usaha kecil, dan bersifat padat karya
sehingga jenis industri tersebut mudah untuk dikembangkan dan

10
diusahakan oleh masyarakat pedesaan. Jumlah tenaga kerja yang
besar apabila diikuti dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan yang memadai akan memberikan kekuatan pada industri
rumah tangga.

2.2. Angkatan Kerja dan Ketenagakerjaan di Pedesaan

Angkatan kerja (labor force) adalah bagian penduduk yang


mampu dan bersedia melakukan pekerjaan. Arti dari mampu adalah
mampu secara fisik dan jasmani, kemampuan mental dan secara yuridis
mampu serta tidak kehilangan kebebasan untuk memilih dan
melakukan pekerjaan serta bersedia secara aktif maupun pasif
melakukan dan mencari pekerjaan (Sumarsono, 2009).

Jumlah partisipasi angkatan kerja dalam suatu negara atau


daerah pada suatu waktu tertentu tergantung dari jumlah penduduk
usia kerja. Menurut Payaman Simanjuntak (1998), perbandingan antara
jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja dalam kelompok
yang sama ini disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja atau Labour
Force Participation Rate (LFPR).

Disisi lain, pekerja manajerial (white collar) yang


merepresentasikan pekerja sektor formal terdiri dari tenaga
professional, teknisi dan sejenisnya, tenaga kepemimpinan dan
ketatalaksanaan, tenaga tata usaha dan sejenisnya, tenaga usaha
penjualan, tenaga usaha jasa. Pada beberapa tahun terakhir tercermin
adanya kecenderungan penurunan peran pekerja blue collar dan sedikit

11
peningkatan pekerja white collar. Ini merupakan sinyal kemajuan
perekonomian dan juga kemajuan pendidikan karena pekerja white
collar secara umum membutuhkan tingkat pendidikan yang memadai.
Dalam analisis pembagian pekerja menjadi pekerja sektor formal dan
pekerja sektor informal sering terkendala dengan data yang tersedia.

Tidak adanya keseragaman secara internasional tentang


definisi sektor informal dan ketersediaan data yang ada di Indonesia,
pengertian pekerja sektor informal dalam analisis ini didekati dengan
status pekerjaan. Pekerja informal adalah mereka yang berusaha
sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak
dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Kesempatan kerja adalah banyaknya orang yang dapat


tertampung untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi.
“Kesempatan kerja akan menampung semua tenaga kerja yang tersedia
apabila lapangan pekerjaan yang tersedia mencukupi atau seimbang
dengan banyaknya tenaga kerja yang tersedia”, (Tambunan, 2001).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perluasan kesempatan kerja
antara lain perkembangan jumlah penduduk dan angkatan kerja,
pertumbuhan ekonomi dan kebijaksanaan mengenai perluasan
kesempatan kerja itu sendiri.

Menurut Sumarsono (2009) mengungkapkan bahwa Tenaga


kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM) menyangkut manusia yang
mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut.
Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai
nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang

12
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik
kemampuan bekerja diukur dengan usia. Dengan kata lain orang yang
dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Kelompok penduduk dalam
usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau manpower. Secara
singkat tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja
(working age population). Tenaga kerja atau manpower terdiri dari
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja ataupun
labour force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan
yang menganggur dan mencari pekerjaan”.

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang


sangat penting disamping sumber alam, modal dan teknologi. Tenaga
kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan,
yaitu sebagai pelaku pembangunan. Masalah ketenagakerjaan dapat
menimbulkan masalah-masalah baru di bidang ekonomi maupun
nonekonomi. Tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan
rendahnya pendapatan yang selanjutnya memicu munculnya
kemiskinan.

Kondisi ketenagakerjaan di pedesaan Indonesia menunjukkan


fakta bahwa kesempatan kerja semakin sulit, bahkan di pedesaan
pulau Jawa, sulitnya kesempatan kerja tersebut telah dirasakan sejak
awal tahun tujuhpuluhan akibat terjadinya fragmentasi lahan pertanian
(Setiawan, 2006). Semakin sempitnya lahan pertanian, menurut
Manning (1987) telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur
pekerjaan di pedesaan yang mengarah ke sektor non pertanian.

13
Walaupun terjadi perubahan struktur pekerjaan di wilayah
pedesaan, Hayami (1988) melihat, ternyata kontribusi pekerjaan di
pedesaan terhadap total peluang kerja khususnya di sektor
perdagangan dan industri ternyata terus berkurang. Kondisi ini
menyebabkan banyak penduduk pedesaan yang mencari kerja di luar
desanya terutama di perkotaan, sehingga menimbulkan masalah baru,
yaitu derasnya arus mobilitas penduduk dari wilayah desa ke
perkotaan.

Pada saat ini, kondisi ketenagakerjaan di pedesaan mungkin


sudah banyak berubah dari gambaran di atas. Hasil Sakernas 2013
menunjukkan adanya perubahan-perubahan tersebut. Misalnya, dilihat
dari struktur pendidikan, angkatan kerja pedesaan telah mengalami
perbaikan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kondisi
ketenagakerjaan di daerah perkotaan, terlihat masih adanya beberapa
hal yang perlu dibenahi, baik itu untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerjanya maupun memperluas kesempatan kerja. Kebijakan-kebijakan
pembangunan yang diperlukan antara lain, menumbuhkan
kesempatan kerja baru yang sesuai dengan kondidi angkatan kerja
serta menangani semakin derasnya arus pencari kerja pedesaan ke
perkotaan (Setiawan, 2016).

Data sakernas tahun 2013 menunjukkan bahwa proporsi tenaga


kerja yang berada di pedesaan, lebih tinggi dibandingkan dengan yang
berada di perkotaan (Setiawan, 2016). Hal ini mudah dimengerti, sebab
jumlah penduduk pedesaan masih jauh lebih banyak dari pada

14
penduduk perkotaan. Kecenderungan perkembagan beberapa variabel
demografi mendukung argumentasi di atas.

Sampai saat ini fertilitas penduduk di wilayah pedesaan masih


lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Walaupun tingkat
mortalitas pedesaan juga lebih tinggi, juga adanya kecenderungan
penduduk pedesaan yang melakukan migrasi ke perkotaan lebih
banyak dari pada yang berasal dari kota masuk ke pedesaan (Saefullah,
2012), namun belum berpengaruh signifikan terhadap penurunan laju
pertumbuhan penduduk pedesaan

Selanjutnya Setiawan (2016) menyatakan bahwa dari data


sakernas 2013 nampak bahwa tenaga kerja berusia 15-34 tahun di
daerah pedesaan proporsinya lebih sedikit dibandingkan dengan di
perkotaan. Kondisi sebaliknya terlihat pada usia tenaga kerja 35 tahun
ke atas, tenaga kerja pedesaan pada kelompok umur ini ternyata
persentasenya lebih banyak dari di perkotaan.

Fenomena di atas dapat dijelaskan bahwaketika berusia masih


muda penduduk pedesaan cenderung lebih banyak yang bermigrasi ke
luar wilayahnya. Penduduk usia muda yang masih dalam masa sekolah
memilih melanjutkan sekolah di daerah lain terutama di kota untuk
menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Mereka yang terjun ke dunia
kerja, lebih senang mengadu nasib untuk mencari pekerjaan dan
bekerja di kota, dengan harapan akan mendpat kehidupan yang lebih
baik. Namun ada kecenderungan pula, semakin bertambah usia
mereka, sesudah tidak bisa terlalu produktif bekerja di kota, mereka
kembali ke desanya masing-masing (Setiawan, 2016).

15
Selain umur, variabel yang juga penting untuk dikaji dalam
ketenagakerjaan adalah pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor yang menentukan kualitas tenaga kerja. Idealnya,
tenaga kerja yang tersedia di suatu negara memiliki pendidikan yang
memadai sesuai dengan kesempatan kerja yang tersedia, namun di
negara-negara yang dalam kondisi masih sedang berkembang biasanya
sering terjadi mismatch antara pendidikan dan pekerjaan yang
ditekuninya (Setiawan, 2016).

Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan


(2016) terhadap data sakernas (2013) menunjukkan bahwa tenaga
kerja pedesaan lebih banyak didominasi oleh mereka yang tidak
pernah mengenyam pendidikan formal atau tidak sekolah, yang tidak
tamat SD, dan mereka yang hanya mengantongi ijazah SD. Sementara
tenaga kerja yang berpendidikan SLTP ke atas proporsinya lebih
banyak berdomisili di perkotaan. Hal ini, barangkali banyak berkaitan
dengan lebih banyaknya fasilitas pendidikan formal di kota
dibandingkan dengan di pedesaan.

Selain itu, bisa juga karena sebagian masyarakat pedesaan


belum begitu mamahami arti penting pendidikan bagi masa depan
anak-anaknya. Faktor lain, dan ini mungkin faktor yang paling
menentukan, karena biaya untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi
relatif mahal, sementara sebagian besar masyarakat di pedesaan masih
banyak yang tergolong miskin (BPS, 2013).

Proporsi tenaga kerja di pedesaan yang berpendidikan SD


adalah yang terbanyak, demikian juga di perkotaan, walaupun

16
persentase lebih kecil jika dibandingkan dengan di wilayah pedesaan.
Sementara itu, tenaga kerja di pedesaan dengan kualifikasi pendidikan
SLTP, juga sudah lumayan banyak, bahkan proporsinya tidak terpaut
terlalu jauh dari tenaga kerja berpendidikan SLTP perkotaan. Mungkin
ini merupakan hasil yang sudah mulai bisa dipetik dengan banyaknya
pembukaan SLTP di wilayah pedesaan, sehingga para lulusan SD yang
ingin melanjutkan ke SLTP tidak perlu lagi pergi ke kota. Dengan
demikian, biaya yang dikeluarkan menjadi tidak terlampau mahal, dan
secara ekonomi menjadi terjangkau oleh orang tua di pedesaan yang
menginginkan anaknya meraih pendidikan yang lebih baik.

Walaupun struktur pendidikan tenaga kerja pedesaan ini


nampak sudah mulai membaik, namun jika melihat mereka yang
berkualifikasi pendidikan SLTA, baik itu umum maupun kejuruan,
tingkat diploma atau dahulu sama dengan tingkat akademi, serta
mereka yang telah meraih pendidikan sarjana, angkanya masih terlihat
jomplang dibandingkan terhadap tenaga kerja yang ada di perkotaan.
Misalnya tenaga kerja pedesaan yang berpendidikan SLTA umum
proporsinya hanya sekitar sepertiga dari tenaga kerja berpendidikan
sama di perkotaan. Apalagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan
sarjana, proporsi tenaga kerja pedesaan hanya sekitar 15 persen
dibandingkan dengan mereka yang ada di perkotaan.

Selain itu, jika menghitung persentase tenaga kerja pedesaan


yang bependidikan SD ke bawah, maka jumlahnya masih sangat tinggi
yaitu 76,6 persen, sedangkan di perkotaan tingggal 39,7 persen.
Semuanya itu mengisyaratkan, walaupun telah ada perbaikan struktur

17
pendidikan tenaga kerja pedesaan, akan tetapi masih perlu upaya-
upaya untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikannya. Mengingat
umumnya masyarakatpedesaan masih terjerat kemiskinan, maka
kebijaka pendidikan gratis, atau palingtidak kebijakan pendidikan yang
murah tapi berkualitas, serta dapat terjangkauoleh hampir semua
lapisan masyarakat di pedesaan urgensi untuk segeradiupayakan.

2.3. Permasalahan Pengangguran

Surplus tenaga kerja sudah lama menjadi masalah serius dalam


pembangunan ekonomi Indonesia. Lebih dari 250 juta penduduk
Indonesia yang berkembang pesat menghasilkan angkatan kerja yang
berjumlah besar dan tumbuh cepat. Karena itu sejumlah besar
angkatan kerja tidak terserap dalam ekonomi Indonesia. Kelebihan
pasokan tenaga kerja dalam jumlah besar ini menimbulkan masalah
ketenagakerjaan yang serious dan tersebar luas. Dampak utama adalah
meledaknya sektor informal dan setengah pengangguran, sehingga
intensitas dan produktivitas pekerja rendah yang menyebabkan
penghasilan pekerja sangat kecil. Akibatnya tingkat hidup sebagian
besar penduduk masih sangat rendah, malahan sejumlah besar
penduduk masih hidup dalam kemiskinan.

Perencana, pembuat kebijakan dan pengamat ekonomi


Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah ini. Pengangguran,
setengah pengangguran dan rendahnya tingkat hidup sudah lama
menjadi masalah serius dan tidak pernah berkurang selama 40 tahun
pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan selama kurun waktu
“Keajaiban Ekonomi” (ekonomi tumbuh cepat dalam tahunsembilan-

18
puluhan) struktur ekonomi yang timpang tidak banyak
membaik.Untukmasukan bagai perencana dan pembuat kebijakan
untuk memecahkan masalahketenagakerjaan (Sigit, 2000)

Secara teoritis, jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti


akanmenambah jumlah produktifitas. Pertumbuhan penduduk yang
lebih besar berartiukuran pasar domestiknya lebih besar (Todaro,
2000). Apakah hal ini akanmemberikan dampak positif atau negatif,
akan tergantung pada kemampuansistem perekonomian yang
bersangkutan untuk menyerap dan secara produktifmemanfaatkan
tenaga kerja tersebut.

2.4. Solusi Umum Atasi Pengangguran

Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah


pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan
ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup
aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah
pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat,
akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan,
antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin. Pengangguran itu
berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan,
maupun karena shifting perubahan kondisi perekonomian secara
global. Sehingga mengakibatkan semakin besar angka pengangguran
terbuka dan merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka


pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.
Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan

19
jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguran pun
terus menumpuk? Untuk menjawab tantangan tersebut, Program
Pengentasan Kemiskinan harus lebih menyempurnakan modelnya agar
dapat memberikan life skill pada tenaga keraja. Setidaknya sekitar 70
persen tenaga kerja membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat
dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah
sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa
melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan
persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat (Satori,
2003).

Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang


diperlukan oleh masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas
dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya,
bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi
pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat
mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini
lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan
kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi. Program ini
memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah
dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya.
Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum
harus dapat memberikan kemampuan yangdibutuhkan anak untuk
hidup. Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulumpendidikan,
sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidupdi
Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka
yanghidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam

20
perekonomian modern,misalnya, pertukangan tidak banyak
mendapatkan tempat. (Direktorat PLB, 2002).

Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk


menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang
lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa
pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi
diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan
life skill ke dalam pendidikan (Silitonga, 2010).

Pendidikan nonformal, sangat efektif untuk membantu


mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia,
antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil.
Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat
terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program
pendidikan life skills. Program ini bertujuan meningkatkan
keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya
menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian
itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan
maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal.

Dengan demikian, kualitas, produktivitas dan pendapatan


masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan
semakin meningkat. Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan
remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah
penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap

21
hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecakapan hidup, pembekalan
ketrampilan tersebut selain memberi berbagai ketrampilan juga
diperkuat dengan pembekalan mental dan manajemen. Tujuannya agar
kelak para remaja lulusan SLTA atau drop out, yang tidak bisa
melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena
alasan ekonomi tersebut selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga
memiliki visi dan misi berwira usaha yang jelas.

Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk


meningkatkan pengetahuan juga kepada para siswa terutama yang
tidak dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat
melakukan usaha mandiri. Latihan untuk siswa, dapat diwujudkan
dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler.
Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan
mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul
mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus
atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik ataupun tempat kerja
lainnya. Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan
baik yang dilakukan terhadap siswa lulusan SLTA maupun remaja drop
out.

2.5. Konsep Life Skills

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa


pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk
bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO
mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau
kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang

22
memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan
tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup
mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan
berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5)
kecakapan kejuruan (Silitonga, 2010).

Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa


kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan
hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok
maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara
Brolin dalam Satori (2003) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa
kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan
kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian
kecakapan hidup tidaksemata-mata memiliki kemampuan tertentu
(vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung
secara fungsional seperti: membaca,menulis, dan berhitung,
merumuskan dan memecahkan masalah, mengelolasumber daya,
bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi
(Dikdasmen,2012).

Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan


kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara
praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai
macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut
aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental,
serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan

23
akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan
tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat
dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk
mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik,
emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang
materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada.
Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan
keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan
memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan
bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang
terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.

Konsep Life Skills di sekolah merupakan wacana


pengembangan kurikulum yang telah sejak lama menjadi perhatian
para pakar kurikulum (Satori, 2003). Life skills merupakan salah satu
fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah
yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup untuk
bekerja atau dalam penelitian pengembangan kurikulum isu tersebut
dibahas dalam pendekataan studies of contemporary life outside the
school atau curriculum design focused on social functions activities.

Life skills adalah pengetahuan dan sikap yang diperlukan


seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat. Life skills memiliki makna
yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya
merupakan bagian dari program life skills. Brollin dalam Satori (2003)
menjelaskan bahwa “life skills constitute acontinuum of knowledge and

24
aptitudes that are necessary for a person to functioneffectively and to
avoid interruption of employment experience”.

Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan


untuk hidup. Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki
kemampuan tertentu saja (vocationaljob), namun ia harus memiliki
kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca,
menulis, menghitung, merumuskan dan memecahkan masalah,
mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok,
terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan
sebagainya (Djatmiko, 2004).

Sumber-sumber lain yang diakses dari internet menunjukkan


pengertian yang sejalan. Pengertian yang dipandang cukup mewakili
adalah Life skills are skills that enable a person to cope with the stresses
and challengers of life (Satori, 2003). Life skills atau kecakapan hidup
dalam pengertian ini mengacu pada berbagai ragam kemampuan yang
diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses,
bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan
kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan
kemampuan berfikir yang kompleks, kemampuan komunikasi secara
efektif, kemampuan membangun kerjasama, melaksanakan peran
sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan
serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk
terjun ke dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas
seperti: communication skills, decision making skills, resources and time
management skills, and planning skills.

25
Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber
padapenelitian bidang-bidang berikut: (1) The world of work, (2)
Practical LivingSkills, (3) personal Growth andManagement, and (4)
Social Skills.Employabilityskills mengacu kepada serangkaian
keterampilan yang mendukung seseoranguntuk menunaikan
pekerjaannya secara berhasil.Employability skills terdiri dari 3 (tiga)
gugus k eterampilan, yaitu: (1)keterampilan dasar (2) keterampilan
berfikir tingkat tinggi (3) Karakter danketerampilan afektif.

Keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan berkomunikasi


lisan(berbicara dan mendengar/menyimak), (b) membaca (khususnya
mengerti dandapat mengikuti alur berfikir), (c) penguasaan dasar-
dasar berhitung, dan (d)terampil menulis. Keterampilan berfikir tingkat
tinggi mencakup (a) pemecahanmasalah, (b) startegi dan keterampilan
belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif,serta (d) membuat keputusan.
Karakter dan keterampilan apektif mencakup (a)tanggung jawab; (b)
sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati, teliti, danefisisen;
(d) hubungan antar pribadi, kerjasama, dan bekerja dalam tim,
(e)percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f)
penyesuaian diridan fleksibel, (f) penuh antusias dan motivasi, (g)
disiplin dan penguasaan diri, (h)berdandan dan berpenampilan
menarik, (i) jujur dan memiliki integritas, serta (j)mampu bekerja
mandiri tanpa pengawasan.

Vocational skills atau keterampilan kejuruan mengacu kepada


satukeutuhan keterampilan yang diperlukan seseorang untuk bekerja.

26
Inti darivocational skills adalah specific occupational skills, yaitu
keterampilan khususuntuk melakukan pekerjaan tertentu.

27
BAB 3 MEMAHAMI TREN EKONOMI DAN PASAR TENAGA KERJA

3.1. Tren Ekonomi

Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN


dan di seluruh dunia, perekonomian Indonesia tetap berada pada
posisi yang menguntungkan. Tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari
tingkat pertumbuhan global dan rata-rata estimasi pertumbuhan PDB
ASEAN 5. Secara umum, tingkat pertumbuhan setelah Krisis Keuangan
Global tahun 2008/2009 juga lebih kuat dibandingkan sebelum krisis.
Seperti yang diperlihatkan dalam gambar 1, tingkat pertumbuhan PDB
Indonesia mengalami sedikit penurunan tahun 2009 akibat Krisis
Keuangan Global (GFC), namun secara umum, tingkat
pertumbuhannya lebih kuat dan berkisar antara 4,5 dan 6,5 persen
selama sepuluh tahun terakhir.

Sebagai perbandingan, tingkat pertumbuhan global berkisar


antara 2 dan 3 persen dalam beberapa tahun terakhir dan tingkat
pertumbuhan regional masih belum pulih ke tingkat sebelum GFC.
Akan tetapi, di kalangan negaranegara ASEAN, ekonomi Indonesia
masih lebih kecil bila dibandingkan negara Laos dan Kamboja yang
tumbuh lebih cepat dari Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini.

28
Sumber: Bank Dunia (2013) Indikator Perkembangan Dunia, Bank Dunia,
Washington

Gambar 1 Tingkat Pertumbuhan PDB Indonesia, ASEAN 5, dan Dunia


tahun 2002-2012

Perekonomian Indonesia menyumbangkan 1,2 persen dari PDB


global pada tahun 2012 dan merupakan salah satu dari 20 negara dengan
perekonomian terkuat di dunia. Indonesia juga merupakan ekonomi
terbesar di antara negara-negara ASEAN dan menyumbangkan 30 hingga
40 persen dari pendapatan regional ASEAN setiap tahunnya. Ekonomi
utama ASEAN lainnya termasuk Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand, yang secara kolektif menyumbangkan 50 hingga 60 persen dari
PDB rregional dalam jangka waktu tersebut. Negara-negara lainnya
(Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) secara
kolektif umumnya menyumbang kurang dari 10 persen dari PDB regional.

29
Terlepas dari tren positif di kawasan ini, iklim domestik telah
mengalami penurunan dalam hal indikator ekonomi tahun 2013 karena
gabungan dari faktor internal dan eksternal. Penurunan ini dikaitkan
dengan volatilitas pasar keuangan internasional, pengetatan kebijakan
moneter di AS, dan revisi subsidi BBM dalam negeri yang memicu inflasi.
Inflasi mencapai 8,40 persen dari tahun ke tahun pada bulan September
2013. Tingkat inflasi diperkirakan mencapai puncaknya pada kuartal
terakhir tahun 2013, dan bila tidak ada gejolak yang signifikan, tingkat
inflasi diperkirakan akan stabil pada 6,7 persen di tahun 2014. Bank Dunia
memperkirakan bahwa tingkat pertumbuhan PDB akan menurun
hingga 5,6 persen di tahun 2013 dan 5,3 persen di tahun 2014.

Menurut sejarah, selama dekade terakhir, konsumsi keluarga


dan investasi telah menjadi pendorong utama pertumbuhan PDB di
Indonesia. Pada kuartal pertama 2013, konsumsi domestik melemah
dan turun 0,2 persen dibandingkan dari tahun sebelumnya. Selain itu,
tantangan kebijakan moneter menyebabkan penurunan pertumbuhan
investasi di Indonesia, dimana investasi turun lebih dari 4 persen dari
tahun sebelumnya pada kuartal pertama tahun 2013 (Data Triwulanan
PDB BPS, 2013). Penurunan investasi ini dapat berdampak negatif
terhadap pertumbuhan pekerjaan tahun 2013, serta melihat
berkurangnya modal yang mengalir ke kegiatan penciptaan pekerjaan
di Indonesia serta melihat berkurangnya modal yang mengalir ke
kegiatan penciptaan pekerjaan di Indonesia.

Dampak inflasi terhadap perekonomian Indonesia tahun 2013


didominasi oleh penurunan subsidi BBM dan diperburuk oleh kebijakan

30
perdagangan yang terbatas serta fluktuasi musiman yang terkait dengan
perayaan Idul Fitri. Langkah yang diambil Pemerintah tanggal 22 Juni 2013
untuk mengurangi subsidi solar sebesar Rp 1.000 per liter dan subsidi
bensin sebesar Rp 2.000 per liter menyebabkan peningkatan inßasi secara
tajam, dan penyesuaian harga kemungkinan akan terus berlanjut hingga
tahun 2014.

Kekhawatiran juga muncul terkait risiko inflasi dari sisi penawaran


akibat kenaikan upah minimum tahun 2013 (World Bank, 2013). Dalam hal
ini, Instruksi Presiden (Nomor 9/2013) telah dikeluarkan pada waktu itu
yang memberikan panduan tentang kenaikan upah minimum tahunan
kepada dewan pengupahan tingkat provinsi dan kabupaten. Instruksi
Presiden ini berupaya mengatasi masalah yang terkait dengan
ketidakpastian kenaikan upah bagi investor dengan memberikan panduan
tentang hubungan antara kenaikan upah minimum tahunan, inflasi,
dengan produktivitas. Akan tetapi, tren keseluruhan terkait kenaikan
upah tidak menunjukkan masalah inflasi yang mendorong kenaikan
upah hingga saat ini.

3.2. Tren Pasar Tenaga Kerja

Perekonomian Indonesia telah mampu mencapai tingkat


pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi daripada tingkat
penciptaan lapangan kerja. Tingkat pertumbuhan PDB berada antara 5
dan 6 persen selama periode terakhir, namun, tingkat pertumbuhan
pekerjaan telah berßuktuasi dan cenderung menurun dari waktu ke
waktu (BPS, 2013). Data pertumbuhan lapangan kerja antara bulan
Agustus 2012 dan 2013 menunjukkan bahwa situasi kerja relatif stagnan

31
atau menurun sepanjang tahun. Namun, data dari survei Sakernas bulan
Februari dan Mei menunjukkan hasil yang berbeda, dan mengindikasikan
bahwa pekerjaan telah berkembang (dari tahun ke tahun) pada semester
pertama tahun 2013.

Di samping itu, ada beberapa indikasi terjadinya gejolak di pasar


kerja, dimana jumlah pekerja di daerah perkotaan meningkat hingga
hampir mencapai 1 juta sedangkan jumlah pekerja di desa berkurang
mendekati 1 juta antara bulan Agustus 2012 dan Agustus 2013. Oleh
karena itu terdapat kemungkinan bahwa penurunan pada indikator
ekonomi yang terjadi di awal 2013 baru terjadi dalam pasar kerja di bulan
Agustus 2013, dan selanjutnya situasi kerja mengalami kemunduran.

Berdasarkan hal ini, penyesuaian juga terlihat dari penurunan


partisipasi angkatan kerja dari 67,9 persen di bulan Agustus 2012 menjadi
66,9 persen di bulan Agustus 2013. Antara bulan Agustus 2012 dan
Agustus 2013, partisipasi laki-laki dan perempuan dalam angkatan kerja
berkurang drastis, dimana ada tambahan 1 juta laki-laki dan 1,6 juta
perempuan yang dilaporkan tidak aktif secara ekonomi. Perempuan usia
30 hingga 45 tahun biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga
sedangkan laki-laki di desa dilaporkan melaksanakan kegiatan-kegiatan
lain di luar pasar kerja. Fluktuasi dalam hal partisipasi angkata kerja ini
mungkin sebagian menunjukkan adanya krisis ekonomi dan mungkin juga
dipengaruhi oleh bulan Ramadan. Perbedaan gender dalam partisipasi
angkatan kerja terus bertahan, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja
untuk laki-laki berkisar antara 84 dan 85 persen, dan tingkat angkatan
kerja bagi perempuan berkisar antara 52 dan 53 persen selama tahun

32
2012 dan 2013. Dalam hal pekerjaan, pada tahun 2013 sekitar 62 persen
laki-laki bekerja, sementara perempuan sekitar 38 persen yang bekerja
(ILO 2013).

Kesenjangan antar daerah juga tetap ada, dengan angkatan


kerja terus akan berkumpul di sekitar pulau Jawa, Sumatera, dan Bali,
dan hasil kerja terus memburuk di bagian timur Indonesia. Dari segi
lokasi, daerah perkotaan menyumbang 48,8 persen lapangan kerja,
sedangkan daerah pedesaan menyumbang 51,2 persen lapangan
pekerjaan pada bulan Mei 2013. Tingkat partisipasi angkatan kerja juga
lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan (ILO
2013).

Rasio lapangan pekerjaan dan penduduk - porsi dari penduduk


usia kerja yang bekerja - diperkirakan 65 persen dari November 2012
sampai Mei 2013 yang lebih tinggi dari rata-rata global 2012 yaitu 60,3
persen.7 Rasio lapangan pekerjaan dan penduduk untuk laki-laki dan
perempuan menunjukkan variasi yang signiÞkan, dengan rasio laki-laki
dan perempuan diperkirakan mencapai 80,3 persen dan 50,0 persen
masing-masing pada bulan Februari 2013. Tren hasil gender telah
menunjukkan peningkatan terbatas dalam kesenjangan dari waktu ke
waktu. Untuk kaum muda (15-24 tahun) rasio ini juga menampilkan
kesenjangan gender, tetapi perbedaan tersebut tidak begitu besar. Rasio
lapangan pekerjaan dan penduduk untuk kaum muda adalah 41,2 persen
pada bulan Februari 2013 dan rasio untuk kaum muda laki-laki dan kaum
muda perempuan diperkirakan masingmasing mencapai 50,0 persen dan
32,4 persen. Komposisi rasio lapangan pekerjaan dan penduduk untuk

33
kaum muda dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat pendidikan,
khususnya bagi kaum muda perempuan, yang akan membantu
meningkatkan hasil gender rasio lapangan pekerjaan dan penduduk dari
waktu ke waktu. Lebih dari itu, terdapat kemungkinan bahwa rasio
lapangan pekerjaan dan penduduk tinggi karena Indonesia saat ini
sedang mengalami “dividen demografi” (persentase penduduk dengan
usia kerja tinggi dan rasio dependensi rendah). Guna mengoptimalkan
manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan rasio dependensi rendah ini
(ILO, 2013).

Tren pengangguran menurun selama beberapa tahun terakhir di


Indonesia, yang sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi
yang positif. Pada bulan Mei 2013, pengangguran diperkirakan mencapai
5,8 persen, tingkat pengangguran terendah dicapai di Indonesia selama
dekade terakhir. Namun, penurunan terbaru dalam indikator ekonomi
telah melihat adanya peningkatan tingkat pengangguran hingga 6,25
persen di bulan Agustus 2013 (BPS, 2013).

Ini adalah pertama kalinya tingkat pengangguran meningkat di


Indonesia sejak tahun 2005. tertinggi terlihat di kalangan lulusan SMA
dan SMK. Mereka umumnya berusia antara 15 sampai 25 tahun dan
belum punya pengalaman kerja. Secara umum, sebagian besar pekerja
yang menganggur di Indonesia sedang mencari pekerjaan. Hanya
sebagian kecil yang sudah merasa putus asa dan enggan mencari
pekerjaan atau sedang mempertimbangkan upaya untuk membuka
usaha sendiri atau menunggu dibukanya lowongan kerja baru.

34
Situasi pengangguran menegaskan bahwa saat ini perumusan
strategi sangat penting untuk memulihkan tren pengangguran yang
menurun sebelumnya, untuk memastikan bahwa target menurunkan
pengangguran antara lima dan enam persen dapat dicapai pada tahun
2014. Lebih dari itu, perhatian lebih lanjut mengenai hasil
pengangguran dijamin, karena pengangguran terus tersebar secara
tidak merata di seluruh kelompok demograÞs. Contohnya, dari 70
persen pengangguran pada tahun 2013, 4,9 juta berusia antara 15 dan
29 tahun (BPS, 2013).

Tingkat pendidikan memainkan peran penting dalam keterlibatan


pasar kerja bagi pengangguran. Lebih lanjut dijelaskan, sebagian besar
pencari kerja yang menganggur telah lulus SMA sebagai tingkat
pendidikan tertinggi mereka, sementara sebagian besar pekerja
menganggur yang kehilangan semangat memiliki tingkat pendidikan
SMP atau lebih rendah. Pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memiliki kesempatan lebih tinggi untuk memenuhi kriteria
perekrutan perusahaan, sementara pekerja dengan tingkat pendidikan
yang lebih rendah mungkin tidak memenuhi tuntutan dengan mudah,
dan oleh karena itu pekerja ini memiliki risiko kehilangan semangat lebih
tinggi.

Tingkat pendidikan telah membaik dari waktu ke waktu, dengan


berkurangnya penduduk usia kerja yang tidak sekolah dan lebih banyak
penduduk yang memiliki kualiÞkasi pendidikan tinggi. Perbaikan dalam
pencapaian pendidikan dapat dijumpai antara tahun 2012 dan 2013,
terutama untuk kenaikan jumlah orang dengan tingkat pendidikan tinggi

35
dan penurunan jumlah orang yang tidak sekolah dan lulus sekolah dasar
sebagai tingkat tertinggi pencapaian pendidikan mereka. Sangatlah
penting agar kebijakan terus memberikan dukungan bagi penduduk usia
kerja, khususnya kaum muda, untuk melanjutkan pendidikan mereka,
dengan demikian akan mengurangi jumlah pekerja berpendidikan rendah
yang memasuki pasar kerja di masa yang akan datang.

Beberapa pekerja ingin bekerja lebih lama dan dianggap sebagai


bagian dari setengah pengangguran dengan “waktu terkait” (bekerja
kurang dari 35 jam dan bersedia untuk bekerja lebih lama). Secara umum,
tren setengah pengangguran ini telah menurun di Indonesia. Pada bulan
Februari tahun 2013, 11,89 persen dari penduduk yang bekerja (BPS,
2013).

36
BAB 4. STUDI KASUS PERAN KETENAGAKERJAAN DI
KABUPATEN SUKABUMI

4.1. Aspek Ekonomi Daerah

4.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan gambaran


kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang dimiliki, hal ini dapat dilihat dari nilai
tambah yang mampu diciptakan akibat timbulnya berbagai aktivitas
ekonomi dalam daerah tersebut. Total dari nilai tambah tersebut
adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sukabumi tahun


2010-2013 disajikan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga
konstan. Ini dimaksudkan agar perkembangan PDRB dapat ditelaah
dengan atau tanpa memperhitungkan pengaruh harga. Penyajian
PDRB atas dasar harga konstan akan lebih mencerminkan PDRB tanpa
dipengaruhi perubahan fluktuasi harga yang biasanya dapat
menunjukkan kecenderungan pada perubahan produksi.

Pada tahun 2013 hampir di semua sektor perekonomian di


Kabupaten Sukabumi mampu tumbuh positif. Pertumbuhan
ekonomi/PDRB atas dasar harga pasar Kabupaten Sukabumi pada
tahun 2013 ini didominasi oleh sektor Jasa-jasa Bangunan, dan sektor
Perdagangan, Hotel & Restoran yang masing-masing mampu tumbuh
sebesar 12,43 persen; 12,46 persen dan 11,88 persen. Dominasi ini

37
sedikit bergeser, mengingat kegiatan sektor Bangunan, tengah
menunjukkan pertumbuhan yang cenderung meningkat dari tahun
sebelumnya.

Selama tahun 2013, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


yang dihitung Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Sukabumi
mencapai Rp. 20,16 trilyun, atau mengalami peningkatan sebesar 8,42
persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya sebesar Rp. 18,59
trilyun.Sedangkan PDRB 2013 atas dasar harga konstan tahun 2000
mengalami peningkatan sebesar 4,07 persen, yaitu dari Rp. 8,64 trilyun
tahun 2012 naik menjadi Rp. 8,99 trilyun pada tahun 2013. Selanjutnya
PDRB Kabupaten Sukabumi periode 2010-2013 selengkapnya pada
Gambar di bawah ini.

38
Gambar 2 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan 2000 Tahun
2010 – 2013 (dalam milyar rupiah)
Sumber : BPS Kabupaten Sukabumi

Dari pengelompokan sembilan sektor menjadi tiga sektor


utama yaitu; sektor primer, sekunder, dan tersier, tampak bahwa
kelompok sektor tersier masih mendominasi dalam menciptakan nilai
tambah di Kabupaten Sukabumi. Total Nilai Tambah Bruto (NTB) atas
dasar harga berlaku dari kelompok sektor tersier di tahun 2013
mencapai Rp. 8.941 milyar, atau meningkat 11,48 persen
dibandingkan tahun sebelumnya.

Adapun kelompok sektor primer mengalami peningkatan


sebesar 4,29 persen yaitu dari Rp. 6.537,4 milyar di tahun 2012 menjadi
Rp. 6.817,8 milyar di tahun 2013. Sedangkan kelompok sektor sekunder
meningkat sebesar 9,03 persen atau dari Rp. 4.037,6 milyar di tahun

39
2012 menjadi Rp. 4.402,1 milyar di tahun 2013. Kendati demikian
peningkatan tersebut belum menunjukkan peningkatan riil dari
kelompok sektor bersangkutan, karena pada NTB atas dasar harga
berlaku masih terkandung inflasi.

Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Sukabumi Menurut


Sektor Usaha Tahun 2010 – 2013 (dalam milyar rupiah)

Sektor 2010 2011 2012 2013


[1] [2] [3] [4] [5]
I. Primer 5.881,1 6.171,1 6.537,4 6.817,8
1. Pertanian 5.140,8 5.416,0 5.754,7 5.994,7
2. Pertambg & Penggalian 740,3 755,1 782,7 823,1
II. Sekunder 3.490,3 3.785,6 4.037,6 4.402,1
3. Industri Pengolahan 2.720,9 2.933,5 3.103,4 3.366,0
4. Listrik, Gas &Air Bersih 207,8 225,1 244,1 260,0
5. Bangunan 561,6 627,1 690,0 776,1
III. Tersier 6.761,8 7.308,0 8.020,1 8.941,0
6. Perdagang, Hotel & Rest 3.713,0 4.056,3 4.490,7 5.024,0
7. Angkt & Kom. 1.408,1 1.509,8 1.623,4 1.787,9
8. Keu,Perswn& Jasa Perh. 490,7 519,6 550,7 605,3
9. Jasa-jasa 1.150,0 1.222,4 1.355,3 1.523,8
PDRB 16.133,2 17.264,7 18.595,1 20.160,9

Sumber : BPS Kabupaten Sukabumi

Apabila PDRB tersebut dihitung atas dasar harga konstan 2000,


pada sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier selama tahun
2013 menunjukkan kinerja yang meningkat dengan pertumbuhan yang
positif. Kinerja kelompok sektor primer tahun 2013 mampu tumbuh

40
sebesar 0,57 persen dari tahun 2012. PDRB sektor primer tersebut pada
tahun 2012 sebesar Rp. 3.445,0 milyar naik menjadi Rp. 3.464,8 milyar
pada tahun 2013. Sedangkan kelompok sektorsekunder pada tahun
2013 ini meningkat sebesar 5,49 persen dari tahun sebelumnya. Jika
pada tahun 2012 PDRB kelompok sektor sekunder sebesar Rp. 1.851,5
milyar maka pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp. 1.953,2 milyar.

Tabel 2 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kabupaten Sukabumi


Menurut Sektor Usaha Tahun 2010 – 2013 (dalam milyar
rupiah)

Sektor 2010 2011 2012 2013


[1] [2] [3] [4] [5]
I. Primer 3.230,7 3.348,3 3.445,0 3.464,8
1. Pertanian 2.840,7 2.946,9 3.038,6 3.050,0
2. Pertambg & Penggalian 390,0 401,4 406,5 414,8
II. Sekunder 1.705,2 1.769,5 1.851,5 1.953,2
3. Industri Pengolahan 1.437,7 1.485,5 1.546,2 1.622,3
4. Listrik, Gas &Air Bersih 93,7 99,1 104,5 108,8
5. Bangunan 173,8 184,9 200,8 222,1
III. Tersier 3.079,3 3.190,3 3.345,4 3.575,1
6. Perdagang, Hotel & Resto 1.524,8 1.591,4 1.692,7 1.821,1
7. Angkt & Kom. 443,0 458,8 475,7 509,1
8. Keu,Perswn& Jasa Perh. 306,1 316,7 328,1 354,4
9. Jasa-jasa 805,4 823,3 848,9 890,5
PDRB 8.015,2 8.308,1 8.642,0 8.993,0

Sumber : Kabupaten Sukabumi dalam Angka

Sementara itu kelompok sektor jasa-jasa (tersier) yang


merupakan sektor-sektor pendukung dari seluruh kegiatan ekonomi,
pada tahun 2013 mampu menciptakan PDRB sebesar Rp. 3.575,1 milyar

41
sedangkan tahun 2012 sebesar Rp. 3.345,4 milyar atau mengalami
peningkatan yaitu sebesar 6,87 persen.

Bila dilihat dari sektor yang paling tinggi peningkatannya atas dasar
harga berlaku (Tabel 6), maka sektor Bangunan dan Jasa-jasa
merupakan sektor dengan nilai peningkatan mencapai 12,46 persen
dan 12,43 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Disusul
kemudian sektor Perdagangan, Hotel & Restoran yang mengalami
kenaikan sebesar 11,88 persen, berturut turut sektor Angkutan dan
Komunikasi, Keeuangan dan Persewaan, Industri Pengolahan yaitu
masing-masing sebesar 10,13 persen dan 9,92 persen. Sedangkan
sektor yang terkecil kenaikannya adalah sektor Pertanian sebesar 4,17
persen.

Tabel 3 Kenaikan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Sukabumi


Menurut Sektor Usaha Tahun 2013

No. Sektor Nilai Nominal (Juta Rp.) Kenaikan (%)


1 Pertanian 5.994.665,49 4,17
2 Pertambangan & Penggalian 823.125,83 5,16
3 Industri Pengolahan 3.366.034,72 8,46
4 Listrik, Gas & Air Bersih 259.987,65 6,49
5 Bangunan 776.042,43 12,46
Perdagangan,
6 5.024.027,39 11,88
Hotel & Restoran
7 Angkutan & Komunikasi 1.787.888,73 10,13

8 Keu., Persewaan & Jasa Perh. 605.308,38 9,92


9 Jasa-jasa 1.523.813,25 12,43

PDRB 20.160.893,87 8,42

42
Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi

4.1.2. Struktur Ekonomi

Struktur Ekonomi suatu daerah secara kuantitatif bisa


digambarkan dengan besarnya distribusi persentase nilai tambah bruto
dari masing-masing sektor terhadap nilai total PDRB yang
bersesuaian.Distribusi persentase PDRB secara sektoral menunjukkan
peranan masing-masing sektor dalam sumbangannya terhadap PDRB
secara keseluruhan. Semakin besar persentase suatu sektor semakin
besar pula pengaruh sektor tersebut didalam perkembangan ekonomi
suatu daerah.

Oleh karenanya dengan melihat perkembangan suatu sektor


dirasa kurang tepat bila memperhatikan peranan sektor tersebut
dalam PDRB.Jadi persentase ini dapat dianggap sebagai penimbang
apabila kita ingin melihat perkembangan sektoral secara teliti. Sebagai
contoh, apabila peranan sektor pertanian masih cukup besar maka
kenaikan yang relatif kecil di sektor ini dari tahun ke tahun akan cukup
besar pengaruhnya terhadap situasi ekonomi suatu daerah. Sebaliknya
apabila sektor tersebut nilai turun sedikit saja maka akan dirasakan
oleh semua kegiatan dan dapat mempengaruhi perkembangan
ekonomi secara keseluruhan.

Disamping itu, distribusi persentase dapat memperlihatkan


kontribusi nilai tambah setiap sektor dalam pembentukan PDRB,
sehingga akan tampak sektor-sektor yang menjadi pemicu
pertumbuhan (sektor andalan) di wilayah yang bersangkutan. Dengan

43
demikian, struktur perekonomian daerah sangat dipengaruhi oleh
kemampuan tiap-tiap sektor dalam penciptaan nilai tambah.

Gambar 3 Struktur Ekonomi Kabupaten Sukabumi dengan 3 Kelompok


Sektor UtamaTahun 2010 – 2013

Pada Gambar 3 di atas, terlihat struktur ekonomi Kabupaten


Sukabumi menurut kelompok sektor pada tahun 2010-2013. Dalam
kurun waktu 4 tahun nampak bahwa kelompok sektor primer
mengalami penurunan kontribusi yang cukup signifikan.Hal ini
disebabkan kinerja sektor pertanian yang cenderung melemah
perkembangannya dari sektor-sektor lainnya. Sementara itu kelompok
sektor tersier terlihat semakin memberikan kontribusi yang berarti
bagi perekonomian Kabupaten Sukabumi. Sedangkan kontribusi
lainnya, yaitu Angkutan dan Komunikasi, sektor Keuangan, Persewaan,
Jasa Perusahaan & Jasa-jasa menyumbang andil positif terhadap PDRB

44
Kabupaten Sukabumi dengan besaran masing-masing dibanding tahun
sebelumnya mengalami kenaikan.

Apabila dilihat struktur perekonomian berdasarkan klasifikasi 9


sektor lapangan usaha, maka terlihat pada tahun 2013 sektor pertanian
masih mempunyai peranan/sumbangan yang terbesar dalam
perekonomian Kabupaten Sukabumi diikuti oleh sektor Perdagangan,
Hotel, dan Restoran serta Industri Pengolahan. Pada tahun 2012 sektor
Pertanian mempunyai peranan 30,95 persen pada tahun 2012
mengalami perlambatan menjadi 29,73 persen di tahun 2013.

Kemudian bila ditelaah lebih lanjut pada sektor pertanian dari


tahun ke tahun masih didominasi oleh sub sektor Pertanian Tanaman
Pangan yang memiliki peranan sebesar 16,21 persen pada tahun 2012
sedikit mengalami perlambatan menjadi 15,92 persen pada tahun 2013.
Kemudian pada Sektor Perdagangan sub sektor Perdagangan Besar
dan Eceran pun mengalami peningkatan kontribusi dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 20,13 persen menjadi 20,88 persen di tahun
2013.

Selain sektor Pertanian yang mengalami perlambatan peranan


terhadap PDRB dari tahun sebelumnya walaupun perlambatannya
tidak terlalu signifikan adalah sektor Pertambangan & Penggalian, (dari
4,21 persen di tahun 2012 menjadi 4,08 persen di tahun 2013); sektor
Listrik, Gas dan Air Minum (dari 1,31 persen di tahun 2012 menjadi 1,29
persen di tahun 2013).

Tabel 4 Distribusi PDRB atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Sukabumi


Menurut Sektor Usaha Tahun 2010– 2013

45
Sektor 2010 2011 2012 2013
[1] [2] [3] [4] [5]
I. Primer 36,45 35,74 35,16 33,82
1. Pertanian 31,86 31,37 30,95 29,73
2. Pertambg & Penggalian 4,59 4,37 4,21 4,08
II. Sekunder 21,63 21,92 21,71 21,83
3. Industri Pengolahan 16,87 16,99 16,69 16,70
4. Listrik, Gas &Air Bersih 1,29 1,30 1,31 1,29
5. Bangunan 3,48 3,63 3,71 3,85
III. Tersier 41,91 42,32 43,13 44,35
6. Perdagang, Hotel & Rest 23,01 23,49 24,15 24,92
7. Angkt & Kom. 8,73 8,74 8,73 8,87
8. Keu,Perswn& Jasa Perh. 3,04 3,01 2,96 3,00
9. Jasa-jasa 7,13 7,08 7,29 7,56
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi

4.1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator makro yang


sering digunakan sebagai salah satu alat strategis untuk pengambilan
kebijakan di bidang ekonomi.Laju Pertumbuhan PDRB atas dasar harga
konstan adalah salah satu indikator pendekatan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah.Indikator yang menunjukan naik tidaknya
produk yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di daerah
tersebut dan laju pertumbuhan tersebut dikenal dengan sebutan Laju
Pertumbuhan Ekonomi (LPE).

Seiring dengan suasana yang cukup kondusif di tingkat


nasional maupun regional pada tahun 2013, laju perekonomian

46
Kabupaten Sukabumi sebesar 4,07 persen mengalami peningkatan
dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya.

Selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2010 dan 2011 LPE
Kabupaten Sukabumi mengalami fluktuasi sebesar 3,90 persen dan
3,65 persen. Kemudian untuk tahun 2012 dan 2013, LPE Kabupaten
Sukabumi mengalami kenaikan menjadi sebesar 4,02 persen dan 4,07
persen. Hal ini mengindikasikan perekonomian di Kabupaten Sukabumi
yang mulai stabil dua tahun terakhir ini dari beberapa tahun
belakangan yang tidak stabil karena efek dari krisis global yang terjadi.

Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sukabumi Atas Dasar Harga


Konstan 2000 Menurut Sektor Tahun 2010– 2013 (%)

No. Sektor 2010 2011 2012 2013

1 Pertanian 2,93 3,74 3,11 0,38


2 Pertambangan & Penggalian 3,03 2,94 1,27 2,04
3 Industri Pengolahan 5,05 3,33 4,09 4,92
4 Listrik, Gas &Air Bersih 5,94 5,80 5,37 4,19
5 Bangunan/Konstruksi 6,47 6,34 8,64 10,57
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 5,19 4,37 6,35 7,60
7 Pengankutan & Komunikasi 4,00 3,57 3,68 7,01
8 Keuang., Persew. & Jasa Pers. 3,73 3,45 3,60 8,00
9 Jasa-jasa 2,54 2,22 3,11 4,91
LPE 3,90 3,65 4,02 4,07

Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi

Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang dirinci per


sektor dapat memberikan gambaran yang lebih rinci tentang
pertumbuhan ekonomi secara sektoral tersebut. Apabila LPE

47
Kabupaten Sukabumi dipakai sebagai dasar (base line), maka kinerja
sektoral dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama adalah sektor yang berhasil mencapai pertumbuhan diatas
rata-rata laju pertumbuhan ekonomi periode 2010– 2013 (yaitu rata-
ratanya sebesar 3,91 persen); kelompok kedua sektor yang berhasil
mencapai pertumbuhan positif walaupun masih di bawah LPE rata-
rata; kelompok ketiga adalah sektor yang mengalami pertumbuhan
negatif.

Pertumbuhan sektor yang termasuk kelompok pertama adalah


hampir di semua sektor, kecuali Pertanian serta Pertambangan dan
Penggalian karena pertumbuhan ekonomi sektoral melebihi rata-rata
laju total LPE dan laju rata-rata sebesar 3,91 persen. Sedangkan
kelompok kedua pertumbuhan sektoral yaitu sektor Pertanian dan
Pertambangan dan Penggalianyakni sebesar 0,38 persen dan 2,04
persen. Sedangkan pada kelompok ketiga tidak ada sektor yang
mengalami pertumbuhan rata-rata minus. Hal ini berarti di semua
sektor pertumbuhan ekonomi semakin menuju ke arah yang lebih baik.

4.2. Ketenagakerjaan

Definisi tenaga kerja adalah penduduk pada usia kerja (15 tahun
ke atas) atau 15 sampai dengan 64 tahun yang secara potensial dapat
bekerja. Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu
Negara yang dapat memproduksi barang-barang dan jasa-jasa jika ada
permintaan terhadap tenaga mereka dan jika mereka mau
berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Tenaga kerja merupakan salah
satu faktor produksi selain faktor produksi tanah dan modal yang

48
memiliki peranan penting dalam mendukung kegiatan produksi dalam
menghasilkan barang dan jasa.

Pertambahan tenaga kerja disebut derived demand


(Simanjuntak, 1998). Karena sebagai input perubahan permintaan
tenaga kerja ditentukan oleh perubahan permintaan outputnya.
Semakin besar permintaan outputnya semakin besar pula tenaga kerja
yang diminta. Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja.

Angkatan kerja terdiri dari : (1) golongan yang bekerja; dan (2)
golongan yang menganggur atau mencari pekerjaan. Kelompok bukan
angkatan kerja terdiri dari : (1) golongan yang bersekolah; (2) golongan
yang mengurus rumah tangga; (3) golongan lain-lain atau penerima
pendapatan.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa negara-negara


berkembang secara menyeluruh jumlah penduduk dan angkatan kerja
bertambah seiring dengan laju perumbuhan penduduk yang pesat
dibandingkan dengan perluasan lapangan kerja yang bersilat produktif
penuh sehingga mengakibatkan masih meluasnya pengangguran
secara terselubung.

Angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan penduduk


yang belum bekerja namun siap untuk bekerja atau sedang mencari
pekerajaan pada tingkat upah yang berlaku. Kemudian penduduk yang
bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan jasa untuk memperoleh penghasilan, baik bekerja penuh
maupun bekerja tidak penuh (Irawan dan Suparmoko, 1992). Angkatan

49
kerja adalah bagian penduduk yang mampu dan bersedia melakukan
pekerjaan. Arti dan mampu adalah mampu secara fisik dan jasmani,
kemampuan mental dan secara yuridis mampu serta tidak kehilangan
kebebasan untuk memilih dan melakukan pekerjaan serta bersedia
secara aktif maupun pasif melakukan mencari pekerjaan adalah
termasuk dalam sebutan angkatan kerja (Sumarsono, 2009).

Menurut Simanjuntak (2009) penduduk yang digolongkan


mencari pekerjaan adalah sebagai berikut: (1) mereka yang belum
pernah bekerja dan sedang berusaha mencari pekerjaan; (2) mereka
yang pernah bekerja tetapi menganggur dan sedang mencari
pekerjaan dan mereka yang, sedang bebas tugasnya dan sedang
mencari pekerjaan. Angkatan kerja yang digolongkan bekerja adalah :

a. Mereka yang selama seminggu melakukan pekerjaan dengan


maksud untuk memperoleh penghasilan atas keuntungan dan
lamanya bekerja paling sedikit dua hari.
b. Mereka yang selama seminggu tidak melakukan pekerjakan atau
bekerja kurang dari dua hari, tetapi mereka adalah orang-orang
yang bekerja di bidang keahliannya seperti dokter, tukang cukur
dan lain-lainnya serta pekerjaannya tetap, pegawai pemerintah
atau swasta yang sedang tidak masuk kerja karena sakit, cuti,
mogok dan sebagainya.

Bukan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang


sesungguhnya tidak terlibat didalam kegiatan produktif yaitu yang
memproduksi barang dan jasa. Jadi yang dimaksud dengan bukan

50
angkatan kerja yaitu bagian dari tenaga kerja yang tidak mampu
bekerja termasuk dalam golongan ini adalah :

a. Mereka yang masih bersekolah adalah mereka yang kegiatannya


hanya bersekolah atau menuntut ilmu di sekolah;
b. Golongan yang mengurus rumah tangga yaitu mereka yang
kegiatannya hanya mengurus rumah tangga atau membantu
mengurus mmah tangga tanpa mendapat upah;
c. Golongan lain-lain, yang digolongkan disini adalah penerima
pendapatan yaitu mereka yang tidak melakukan suatu kegiatan
tetapi memperoleh pendapatan seperti dari bunga simpanan,
hasil serta sewa atas milik dan mereka yang hidupnya tergantung
dari orang lain misalnya karena lanjut usia, cacat, dalam penjara
atau sakit kronis.

Menurut hasil survei Angkatan Kerja Nasional, kelompok


angkatan kerja yang digolongkan bekerja adalah ;

a. Mereka yang sebelum pencacahan melakukan kegiatan untuk


memperoleh penghasilan paling sedikit selama satu jam;
b. Mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan bekerja atau
bekerja kurang dari dua hari, tetapi mereka adalah :
1) Pekerja tetap pada kantor pemerintah atau swasta yang tidak
masuk kerja karena sakit atau mangkir:
2) Petani yang mengusahakan tanah pertanian atau swasta yang
tidak masuk kerja karena menunggu panen atau menunggu
hujan untuk menggarap seluruhnya:

51
3) Orang vang bekerja dalam bidang keahlian seperti dokter,
konsultan,tukang cukur, dan lain-lain.

Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar


dalam kehidupan manusia karena mencakup dimensi ekonomi dan
sosial. Salah satu sasaran utama pembangunan adalah terciptanya
lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai agar
dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja
setiap tahun. Setiap upaya pembangunan selalu diarahkan pada
perluasan kesempatan kerja dan berusaha sehingga penduduk dapat
memperoleh manfaat langsung dari pembangunan.

Konsep ketenagakerjaan mendefiniskan bahwa angkatan kerja


adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari
pekerjaan dalam periode seminggu yang lalu (seminggu sebelum
waktu survei). Masalah ketenagakerjaan di Indonesia umumnya dan di
Kabupaten Sukabumi pada khususnya, dalam tahun-tahun belakangan
ini, diperkirakan akan semakin kompleks. Ini diindikasikan dari terus
bertambahnya penduduk usia kerja tiap tahunnya.

Tambahan lagi masih banyaknya pengangguran terbuka


maupun terselubung (disguised unemployed) atau bekerja kurang
dari jam kerja atau upah yang kurang (under employed) yang antara
lain sebagai akibat dari masyarakat bercorak agraris, lapangan
pekerjaan yang sangat terbatas dan semakin banyaknya calon
tenaga kerja baik yang berpendidikan maupun tidak. Beberapa
konsekuensi yang sering timbul adalah tingkat upah yang rendah
dan relatif kurang memadai serta terjadinya perpindahan penduduk

52
usia produktif ke daerah lain yang lebih menjanjikan di bidang
pekerjaan.

4.2.1. Angkatan Kerja

Penduduk merupakan sumber angkatan kerja, sehingga profil


ketenagakerjaan merupakan gambaran kondisi demografi. Laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan sendirinya akan
mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula.
Cepatnya laju pertumbuhan angkatan kerja apabila tanpa dibarengi
kesempatan kerja yang memadai tentunya akan menimbulkan
berbagai persoalan sosial ekonomi. Untuk mengukur berbagai
persoalan sosial ekonomi diperlukan indikator yang dapat
mencerminkan kondisi yang sebenarnya yang sedang terjadi.

Secara garis besar, kegiatan penduduk suatu wilayah dibedakan


atas penduduk yang dikelompokkan partisipatif dalam memutar roda
perekonomian yaitu penduduk usia kerja dan penduduk yangtermasuk
dalam kelompok partisipatif dalam perekonomian keluarga yang
disebut penduduk bukan usia kerja.

Tabel 6 menggambarkan kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten


Sukabumi yang cenderung fluktuatif dalam tiga tahun terakhir, terlihat
bahwa pada tahun 2011 persentase Angkatan Kerja lebih tinggi
dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu sebesar 62,05 %, demikian
halnya dengan kelompok bukan angkatan kerjanya yang angkanya
mengalami fluktuatif, terlihat bahwa pada tahun 2011 sebesar 37,95 %
mengalami penurunan 3,03 % dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar
40,98 %.

53
Tabel 6 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan
Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukabumi Tahun2011 -
2013
Laki-laki Perempuan Total
Kegiatan Utama
2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
(1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Angkatan Kerja 84,84 83,70 82,68 37,35 33,43 40,71 62,00 59,02 62,05
*Bekerja 91,89 90,32 90,92 92,45 89,55 89,70 92,05 90,11 90,53
*Mencari Pekerjaan 8,11 9,68 7,55 10,45 7,95 9,89 6,77
Bukan Angkatan Kerja 15,16 16,30 17,32 62,65 66,57 59,29 38,00 40,98 37,95
*Sekolah 50,30 48,84 43,78 8,35 11,86 13,11 17,04 19,35 20,23
*Mengurusr umah tangga 10,52 9,29 9,70 88,47 84,53 80,70 72,32 69,30 64,22
*Lain-lain 39,18 41,87 46,52 3,19 3,61 6,19 10,64 11,36 15,55

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Sakernas 2013

Sementara itu kegiatan penduduk yang termasuk kelompok


bukan angkatan kerja pada tahun 2013, meliputi sekolah sebesar 20,23
persen,terlihat adanya kenaikan dari tahun sebelumnya. Hal yang
menarik adalah mengurus rumahtangga terlihat bahwa selama kurun
waktu 3 tahun mengalami penurunan, hal ini menggambarkan bahwa
ada pergeseran aktivitas yang terjadi sehari-hari ternyata mengurus
rumah tangga sudah mulai berkurang, ada kemungkinan pergeseran ini
akibat dari semakin bertambahnya para wanita yang memilih untuk
bekerja di luar rumah.

54
4.2.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan


porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja ataumencari
pekerjaan), disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK).
TPAK mengidentifikasikan besarnya penduduk usia kerja (15 tahun
keatas) yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah. TPAK diukur
sebagai persentase jumlah angkatan kerja (Bekerja dan
pengangguran)terhadap jumlah penduduk usia kerja. Indikator ini
menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (Labour Supply)
yang tersedia untuk memproduksi barang-barang dan jasa dalam suatu
perekonomian.

Tabel 7 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat


Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun
2011 - 2013
Laki-laki Perempuan Laki-laki
Indikator
+Perempuan
Ketenagakerjaan 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
TPAK 84,84 83,70 62,68 37,35 33,43 40,71 62,00 59,02 62,05
TPT 8,11 9,68 9,08 7,55 10,45 10,30 7,95 9,89 9,47

Sumber data Survei Angkatan Kerja 2011 - 2013

Tabel 7 menyajikan TPAK dan TPT di Kabupaten Sukabumi


tahun 2011– 2013, TPAK tahun 2010 mencapai 59,02 persen dan pada
tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 3,03 persen menjadi 62,05
persen. Hal ini memberi arti bahwa pada tahun 2013, penduduk usia
kerja atau penduduk umur 15 tahun ke atas di Kabupaten Sukabumi
yang aktif secara ekonomi sebesar 62,05persen. Lain halnya dengan

55
TPT pada tahun 2013 yangmengalami penurunan sebesar 0,42 persen
yaitu dari 9,89 persen pada tahun 2012 menjadi 9,47 persen pada tahun
2013.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih


tinggi partisipasinya dalam kegiatan ekonomi dibandingkan dengan
penduduk perempuan. Banyaknya penduduk yang masuk dalam
pasar kerja menunjukkan jumlah penduduk yang siap terlibat dalam
kegiatan ekonomi. Kesempatan kerja yang ada memberikan
gambaran besarnya tingkat penyerapan pasar kerja, sehingga
angkatan kerja yang tidak terserap merupakan masalah karena
mereka terpaksa menganggur.

4.2.3. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha

Proporsi pekerja menurut lapangan usaha merupakan salah


satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian
dalammenyerap tenaga kerja. Selain itu, indikator tersebut
mencerminkan struktur perekonomian suatu wilayah. Di lain pihak,
dewasa ini isu sentral yang menjadi pembahasan dalam berbagai
kesempatan adalah produktivitas dan kualitas Sumber Daya Manusia.
Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor (lapangan usaha)
akan berdampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja.

Dari struktur lapangan pekerjaan yang ditunjukkan oleh Tabel


11, diketahui bahwa pada tahun 2013 distribusi lapangan usaha pada
seluruh sektor menyebar merata, meskipun jika kita telaah lebih dalam
dibandingkan antar tahunnya mengalami kenaikan di setiap sektor
walaupun tidak signifikan, hanya saja pada sektor pertanian mengalami

56
penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 47,71 % pada tahun 2011
menjadi 28,27 % pada tahun 2012.

Lain halnya pada sektor industri mengalami kenaikan yang


signifikan dari 9,52 persen pada tahun 2012 menjadi 20,56 persen pada
tahun 2013. Jelas terlihat adanya pergeseran lapangan usaha dari
pertanian ke industri, hal ini memang terjadi di Kabupaten Sukabumi
yang sudah mulai banyak para investor yang menanamkan modal
usahanya di bidang industri. Nampak bahwa jenis kelamin perempuan
lebih mendominasi pekerjaan di sektor industri, karena mereka kini
banyak bekerja di pabrik-pabrik yang menyebar di Kabupaten
Sukabumi.

Tabel 8 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja


Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Sukabumi
Tahun 2011 – 2013

Indikator Laki-laki Perempuan Laki-laki +Perempuan


Ketenagakerjaan 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
(1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1. Pertanian 37,20 46,86 28,57 36,59 50,15 27,63 37,03 47,71 28,27
2. Industri 15,22 7,11 15,88 24,95 16,43 30,55 18,05 9,52 20,56
3. Perdagangan 16,46 18,751 18,42 25,68 27,13 31,65 19,14 20,92 22,65
4. Jasa-jasa 7,09 ,68 7,10 10,67 3,34 9,07 8,13 2,11 7,73
5. Lainnnya *) 24,02 25,59 30,03 2,11 2,94 1,10 17,65 19,74 20,78

Sumber: Susenas 2011 – 2013


*)
Lainnya adalah gabungan dari sektor pertambangan, listrik, gas, air,
bangunan, pengangkutan / komunikasi, keuangan / persewaan.

57
4.2.4. Status Pekerjaan

Status pekerjaan dibedakan menjadi lima macam status


pekerjaan, yaitu usaha sendiri tanpa dibantu orang lain, usaha dibantu
anggota rumah tangga (ART) atau buruh tidak tetap, berusaha dibantu
dengan buruh tetap, buruh/karyawan pemerintah dan swasta serta
pekerja keluarga. Klasifikasi status pekerjaan ini bermanfaat terutama
untuk membandingkan proporsi penduduk yang bekerja sebagai buruh
atau pekerja, usaha sendiri, dengan yang menjadi pekerja keluarga
pada sektor tertentu.

Tabel 9 Komposisi Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan


Di Kabupaten Sukabumi Tahun 2015

2015
Status Pekerjaan Laki-laki dan
Laki-laki Perempuan
Perempuan
Berusaha Sendiri 24,98 15,65 22
Berusaha dibantu oranglain 22,71 15,83 20,51
Berusaha dengan Buruh tetap 2,22 1,53 2,00
Buruh/Karyawan 23,36 28,98 25,16
Pekerja Bebas Pertanian 10,69 7,29 9,60
Pekerja Bebas di Non Pertanian 12,65 2,34 9,35

Pekerja Keluarga 3,39 28,39 11,38


Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : Sakernas 2015

Data ketenagakerjaan menurut status pekerjaannya pada


tahun 2015 tersaji dalam Tabel 9 Penduduk Kabupaten Sukabumi
yang bekerja umumnya bekerja sebagai buruh/karyawan yaitu
sebesar 25,16 persen, demikian halnya jenis kelamin perempuan

58
menempati peringkat pertama sebagai buruh/karyawan hal ini
berbanding lurus dengan lapangan usaha industri yang mengalami
kenaikan pada tahun 2015, hal ini mengindikasikan bahwa semakin
banyak buruh/karyawan di Kabupaten Sukabumi terkait semakin
pesat sektor industri di wilayah Kabupaten Sukabumi, terbukti
dengan proporsi jenis kelamin perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan pekerja laki-laki, mengingat bahwa sektor
industri lebih banyak menyerap tenaga kerja wanita yang berstatus
sebagai buruh.

4.2.5. Analisis Ketenagakerjaan Kabupaten Sukabumi

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor terpenting dalam


proses produksi, maka dapat dikatakan kesempatan kerja akan
meningkat bila output meningkat. Sehingga perlu dirumuskan
kebijakan yang memberi dorongan kepada perluasan kesempatan
kerja agar instrumen kebijakan ekonomi dapat mengurangi
pengangguran. Kebijakan pembangunan daerah yang pada dasarnya
mempunyai fungsi dalam perluasan kesempatan kerja apabila dilihat
dari pembangunan daerah dan hubungan antara daerah. Pada
hakekatnya tiap-tiap instrumen pembangunan yang dilakukan dalam
suatu daerah dan implementasinya harus menjadi komponen
pembangunan.

Permasalahan klasik yang sering muncul dalam


ketenagakerjaan, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK),
upah minimum kota (UMK), sengketa ketenagakerjaan antara
pengusaha dan pekerja. Masalah-masalah lainnya seperti keterbatasan

59
lapangan kerja dan masih rendahnya latar belakang pendidikan dan
keahlian para pencari kerja. Di lapangan sering kali terjadi kombinasi
dari masalah-masalah tersebut di atas sehingga memerlukan strategi
penanganan khusus.

Sementara itu permasalahan utama ketenagakerjaan bagi


pemerintah daerah adalah masalah pengangguran. Pengangguran
sering kali muncul akibat adanya lapangan kerja yang sangat terbatas
baik jenis maupun jumlahnya, sementara pencari kerja jumlahnya
semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun. Kondisi demikian akan
mengakibatkan terjadinya pengangguran. Di samping itu latar
belakang pendidikan dan keahlian yang dimiliki para pencari kerja
kebanyakan masih berada di bawah standar kualitas keahlian yang
dibutuhkan oleh perusahaan sehingga perusahaan-perusahaan yang
ada di daerah tersebut tidak dapat menerima para pencari kerja seperti
itu. Kondisi seperti ini juga dapat mengakibatkan terjadinya
pengangguran. Secara umum, pemicu utama pengangguran
sebenarnya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama PHK
massal.

Di Kabupaten Sukabumi, pengangguran terbuka yang


diindikasikan dengan indikator pencari kerja yang terdaftar pada Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2015 tercatat sebanyak
23.395 orang sedangkan pada tahun 2015 sedikit menurun menjadi
20.076 orang. Sementara itu, pencari kerja yang
ditempatkan/mendapat pekerjaan hanya sebanyak 2.048 orang (6,50%)
pada tahun 2015 dan sebanyak 2.197 orang (5,16%) pada tahun 2016.

60
Tingginya angka pencari kerja yang tidak dapat terserap oleh
lapangan pekerjaan yang tersedia tersebut menunjukkan bahwa
jumlah dan jenis lapangan pekerjaan yang tersedia di Kabupaten
Sukabumi sangat terbatas ditambah lagi keahlian yang dimiliki oleh
para pencari kerja masih banyak yang berada di bawah standar
kualifikasi keahlian yang dibutuhkan perusahaan. Hal demikian dapat
dilihat dari latar belakang pendidikan para pencari kerja yang terdaftar
sebagian besar berpendidikan tamat SD, SMP dan SMA/SMK, pada
tahun 2015 yakni mencapai 90,59% sedangkan pencari kerja dengan
latar belakang akademi dan universitas hanya sebanyak 9,41%.
Sementara itu pada tahun 2016 para pencari kerja dengan latar
belakang pendidikan tamat SD, SMP dan SMA/SMK masih sebesar
70,30%, sedangkan pencari kerja dengan latar belakang akademi dan
universitas sebanyak 29,70% .

Berdasarkan realitas di atas diperlukan strategi dan inovasi


baru dalam perencanaan tenaga kerja untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja baik melalui penambahan lapangan kerja-
lapangan kerja baru maupun lewat pendekatan peningkatan keahlian
dan ketrampilan para pencari kerja dengan melibatkan lembaga latihan
ketrampilan (LPK) atau balai latihan kerja (BLK). Untuk menjawab
permasalahan tersebut maka Pemerintah Kabupaten Sukabumi sangat
berkepentingan untuk Menyusun Masterplan/Rencana Induk
Ketenagakerjaan yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam
perencanaan tenaga kerja baik tahunan maupun jangka menengah dan
jangka panjang. Dengan adanya Masterplan/Rencana Induk tersebut
diharapkan arah kebijakan dan strategi pengurangan pengangguran

61
melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja untuk meningkatkan
daya beli masyarakat sebagai mana diamanatkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Sukabumi Tahun 2016-2021 bisa diwujudkan dengan baik.

Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis


menggunakan tools (alat analisis) sebagai berikut: 1) Analisis Klaster;
2) Analisis Penyerapan Tenaga Kerja; 3) Analisis elastisitas tenaga
kerja; dan 4) Analisis SWOT.

4.2.6. Analisis Klaster

Berdasarkan analisis klaster Pertumbuhan Ekonomi dan


Pengurangan Pengangguran atas 27 Kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat, menunjukkan persebaran kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
menurut rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
pengangguran selama tahun 2008-2013.

Pertama, Kabupaten Karawang, Bandung, Bandung Barat,


Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, dan
Kota Sukabumi terletak di Kuadran I merupakan daerah dengan rata-
rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran di atas
rata-rata provinsi. Dalam kondisi ini pertumbuhan ekonomi mampu
mendorong perluasan lapangan kerja (pro-growth, pro-job). Tantangan
yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum
pertumbuhan dengan tetap meningkatkan produktivitas dan nilai
tambah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja seperti industri
manufaktur, perdagangan dan jasa.

62
Kedua, Kabupaten Bogor, Kota Cirebon, dan Kota Banjar
terletak di Kuadran II, merupakan daerah dengan pertumbuhan
ekonomi di bawah rata-rata provinsi namunpengurangan
pengangguran di atas rata-rata provinsi (low growth, pro-job). Kinerja
ini menunjukkan perluasan lapangan kerja terjadi pada sektor ekonomi
dengan pertumbuhan rendah.

Ketiga, Kabupaten Sumedang, Garut, Kuningan,Tasikmalaya,


Majalengka, Kabupaten Sukabumi, Indramayu, Subang, Cianjur,
Cirebon, Ciamis, dan Kota Cimahi terletak di Kuadran III, termasuk
daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
pengangguran di bawah rata-rata provinsi (low growth, less-pro job).
Pemerintah daerah harus bekerja keras untuk memacu pengembangan
sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja
secara lebih besar.

Keempat, Kabupaten Purwakarta dan Kota Depok terletak di


Kuadran IV, merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi di atas
rata-rata namun memiliki pengurangan pengangguran di bawah rata-
rata provinsi (high-growth, less-pro job). Hal ini menunjukan bahwa
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut, tetapi
tidak dapat menurunkan jumlah pengangguran. Tantangan yang harus
dihadapi adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan
ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti sektor
industri manufaktur, perdagangan dan jasa. Selain itu diperlukan upaya
mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang
menyerap tenaga kerja di sektor informal.

63
Gambar 4 Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Rata-Rata
Pengurangan Jumlah Pengangguran di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Barat Tahun 2008-2013.

Berdasarkan analisis klaster mikro, untuk variabel Angka Harapan


HidupSaat Lahir (AHH), Angka Harapan Lama Sekolah (EYS), Rata-rata
Lama Sekolah (MYS), Pengeluaran per kapita (Pengeluaran),
Kabupaten Sukabumi berada pada Klaster 1.

Tabel 10 Nilai Rata Rata Setiap Variabel dari 27 Kabupaten/Kota


Variabel Penelitian N Rata-rata
Angka Harapan Hidup (AHH) 27 71.312572
Angka Harapan Lama Sekolah 27 12.283809
(HLS/EYS)

64
Variabel Penelitian N Rata-rata
Rata-Rata Lama Sekolah (RLS/MYS) 27 7.909835
Pengeluaran per Kapita 27 9456.342725
N : Jumlah kab-kota 27

Tabel 11 menyajikan pusat klaster untuk variabel Angka Harapan Hidup


Saat Lahir (AHH), Rata Rata Lama Sekolah (MYS), Angka Harapan
Lama Sekolah (EYS), Pengeluaran per kapita untuk setiap klaster yang
terbentuk.

Tabel 11 Pusat Klaster Rata-Rata Variabel dari 27 Kabupaten/Kota


Klaster
1 2 3 4
AHH 72.0363 70.7808 73.9812 69.7729
EYS 12.3938 12.1608 13.3025 11.7270
MYS 8.7649 7.1419 10.5436 6.9338
Pengeluaran 12083.054 8643.9114 14615.120 6780.9155
Distribusi 27 kabupaten/kota di Jawa Barat dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klaster berdasarkan variabel Angka
Harapan Hidup Saat Lahir (AHH), Rata Rata Lama Sekolah (MYS),
Angka Harapan Lama Sekolah (EYS), Pengeluaran per kapita. Tabel 12
menyajikan jumlah kabupaten dan kota untuk 4 klaster.

Tabel 12 Jumlah Kabupaten dan Kota terdistribusi ke dalam 4 Klaster


Klaster 1 7.000
2 13.000
3 3.000
4 4.000
N 27.000

65
Tabel 13 menyajikan signifikansi hasil analisis statistik bahwa variabel
Angka Harapan Hidup, Angka Harapan Lama Sekolah, Rata rata Lama
Sekolah, Pengeluaran per kapita dapat membedakan klaster 1, klaster
2, klaster 3, klaster 4 yang terbentuk, hal ini dapat dilihat pada nilai Sig
< 0,05.

Tabel 13 Uji Signifikansi Variabel di dalam 4 Klaster


Untuk Klaster
Mean F Sig.
df
square
AHH 12.730 3 9.100 .000
EYS 1.545 3 3.055 .049
MYS 12.468 3 12.714 .000
Pengeluaran 4.061E7 3 196.645 .000
Berdasarkan hasil analisis klaster diatas, bahwa tahun 2014
daerah di Jawa Barat yang termasuk Klaster 1 (Kota Purwakarta,
Karawang, Bekasi, Kota Bogor, Kab. Sukabumi, Kota Cimahi, Kota
Cirebon) memiliki karakteristik Angka Harapan Hidup , Angka Harapan
Lama Sekolah, Rata Rata Lama Sekolah, dan pengeluaran per kapita
diatas rata rata .

Daerah di Jawa Barat yang termasuk Klaster 2 (Kab Bogor,


Kota Sukabumi, Kab Bandung, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka,
Sumedang, Indramayu, Subang, Pangandaran, Kota Banjar, Kota
Tasikmalaya ) memiliki karakteristik Angka Harapan Hidup , Angka
Harapan Lama Sekolah, Rata Rata Lama Sekolah, dan pengeluaran per
kapita dibawah rata rata .

Daerah di Jawa Barat yang termasuk Klaster 3 (Kota Bandung,


Kota Depok, Kota Bekasi) memiliki karakteristik Angka Harapan Hidup,
66
Angka Harapan Lama Sekolah, Rata Rata Lama Sekolah, dan
pengeluaran per kapita diatas rata rata .

Daerah di Jawa Barat yang termasuk Klaster 4 (Cianjur, Garut,


Kab Tasikmalaya, Bandung Barat) memiliki karakteristik Angka
Harapan Hidup, Angka Harapan Lama Sekolah, Rata Rata Lama
Sekolah, dan pengeluaran per kapita dibawah rata rata).

4.2.7. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja (Serap TK) merupakan perbandingan


antara selisih tenaga kerja (∆TK) dari penyerapan tenaga kerja pada
tahun t (TKt) dan penyerapan tenaga kerja pada tahun t-1 (TKt-1)
dengan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE).

Analisis penyerapan tenaga kerja dipergunakan untuk


mengetahui seberapa besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
penyerapan tenaga kerja. Artinya seberapa banyak tenaga kerja yang
dapat terserap untuk setiap kenaikan 1% LPE (Laju Pertumbuhan
Ekonomi).

Tabel 14 Daya Serap Tenaga Kerja Akibat Pertumbuhan Ekonomi


TENAGA KERJA
LAPANGAN USAHA (ORANG) ∆ TK LPE SERAP TK
UTAMA TAHUN TAHUN (ORANG) (%) PER 1% LPE
2015 2016
Pertanian 9,854 21,422 11,568 -0.54% (21,258 )
Industri Pengolahan 210,366 191,259 -19,107 -0.69% 27,679
Perdagangan, Rumah 186,323 234,774 48,451 6.84% 7,080
Makan Dan Jasa Ako
Modasi

67
Jasa Kemasyarakatan, 233,457 241,705 8,248 7.81% 1,056
Sosial dan Perorangan
Lainnya 200,647 221,962 21,315 10.51% 2,027
(Pertambangan,Bangun
an, Listrik, Gas, Air
Minum, Angkutan)

JUMLAH 840,647 911,122 70,475 4.13% 17,057

Tabel 14 menunjukkan bahwa setiap peningkatan LPE 1% akan


berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada lapangan usaha
utama sebanyak 17.057 orang. Lapangan usaha yang memiliki
pengaruh paling besar terhadap perubahan peningkatan LPE
adalahlapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan- rumah
makan-jasa akomodasi masing-masing menyerap tenaga kerja
sebanyak 27.679 pekerja dan 7.080 pekerja.

Konsepsi pro-growth menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan


ekonomi hanya memiliki hubungan kausalistis dengan prospek
penciptaan lapangan kerja. Tetapi dengan catatan, hubungan
kausalitas itu diwarnai oleh begitu banyak formasi. Seiring dengan
terjadinya pertumbuhan ekonomi, maka penyerapan tenaga kerja
bergantung dan ditentukan oleh corak industri penyokong
pertumbuhan ekonomi. Dalam realitas Kabupaten Sukabumi, kuantitas
terbesar tenaga kerja disesaki lulusan pendidikan rendah. Sejauh
industri penyokong pertumbuhan ekonomi bercorak labor-intensive,
maka sejauh itu pula terjadi penyerapan tenaga kerja dalam jumlah
besar dari kalangan berpendidikan rendah. Namun jika ternyata
pertumbuhan ekonomi merupakan resultan dari bekerjanya industri
bercorak techno-intensive atau capital-intensive, maka kecil

68
kemungkinannya pertumbuhan ekonomi paralel dengan besarnya
tingkat penyerapan tenaga kerja.

4.2.8. Analisis Elastisitas Tenaga Kerja

Analisis elastisitas tenaga kerja sangat berguna untuk


mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan peningkatan output
ekonomi daerah (LPE 1%) terhadap persentase daya serap tenaga kerja.

Tabel 15 Daya Serap Tenaga Kerja Akibat Pertumbuhan Ekonomi Tahun


2015-2016
TENAGA KERJA
LAPANGAN USAHA (ORANG) LPTK LPE
ELASTISITAS
UTAMA TAHUN TAHUN (%) (%)
2015 2016
Pertanian 9,854 21,422 117.39% -0.54% -215.73%

Industri Pengolahan 210,366 191,259 -9.08% -0.69% 13.16%


Perdagangan, Rumah 186,323 234,774 26.00% 6.84% 3.80%
Makan Dan Jasa
AkoModasi

Jasa Kemasyarakat-An, 233,457 241,705 3.53% 7.81% 0.45%


Sosial Dan Perorangan

Lainnya (Pertambangan, 200,647 221,962 10.62% 10.51% 1.01%


Bangunan, Listrik, Gas, Air
Minum, Angkutan)

JUMLAH 840,647 911,122 8.38% 4.13% 2.03%

Tabel 15 menunjukkan bahwa elastisitas tenaga kerja di


Kabupaten Sukabumi untuk tahun 2015- 2016 sebesar 2,03%. Artinya
setiap perubahan kenaikan output ekonomi daerah (LPE 1%)
mengakibatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 2,03%. Penyerapan

69
tenaga kerja sektor lapangan usaha industri pengolahan merupakan
sektor lapangan usaha tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja
dibandingkan dengan sektor-sektor lapangan usaha lainnya yaitu
13,16%. Sedangkan sektor lapangan usaha pertanian berpengaruh
negatif sebanyak minus (-) 251,73%.

4.2.9. Analisis SWOT

1) Identifikasi Faktor Kunci Keberhasilan (Key success Faktors/KSF)

Identifikasi KSF dilakukan dengan cara menyusun daftar KSF


potensial yang berhubungan dengan penyusunan masterplan
ketenagakerjaan. KSF potensial diperoleh dari hasil analisis kualitatif
melalui observasi dan wawancara langsung dengan responden di
lapangan.

Tabel 16. Hasil identifikasi Key Success Factors (KSF) untuk acuan
penyusunan ketenagakerjaan
1) Rencana tenaga kerja 19) Alokasi anggaran APBD untuk
Upah minimum Kabupaten ketenagakerjaan
Pasar bebas dan tenaga kerja
2) 20)
(UMK) global
Peraturan daerah dan
3) 21) PPTKIS
peraturan lainnya.
Pertumbuhan ekonomi daerah
4) 22) Apindo
(LPE)
Jumlah perusahaan besar dan
5) 23) Serikat buruh/pekerja
menengah
6) Ketersediaan tenaga kerja 24) Informasi ketenagakerjaan
7) Kebutuhan tenaga kerja 25) Pengawas ketenagakerjaan
8) Pengangguran 26) Letak geografis wilayah
9) Pemutusan hubungan kerja 27) Infrastruktur
Penyelesaian sengketa buruh
10) 28) Sektor ekonomi basis
dan pengusaha

70
11) Fasilitasi tripatrit 29) Kondisi social budaya
12) Jumlah balai latihan kerja 30) Keamanan dan ketertiban
13) Pertumbuhan perusahaan 31) Tenaga kerja luar daerah
Kebijakan 1 juta tenaga kerja di
14) Investasi 32)
Jawa Barat
Kebijakan tata ruang untuk
15) 33) BLK
industry
Kompetisi minat usaha bagi
Terdapat banyak industry di
16) pengusaha dengan 34)
sekitar berbatasan
daerah lain
17) Kualitas tenaga kerja 35) UMK wilayah berbatasan
Jumlah lembaga pendidikan Kebijakan investasi di wilayah
18) 36)
SMK dan akademi berbatasan

2) Identifikasi Situasi Internal dan Eksternal

Berdasarkan hasil identifikasi KSF, isu strategis utama yang


berpengaruh terhadap situasi internal acuan penyusunan Masterplan
ketenagakerjaan disajikan pada Tabel 20.

Tabel 16 Key Success Factors Acuan Penyusunan Masterplan


Ketenagakerjaan
KEY SUCCESS FACTORS (KSF)
NO
INTERNAL EKSTERNAL
Pertumbuhan ekonomi daerah
1 Pasar bebas dan tenaga kerja global
(LPE)
2 Ketersediaan tenaga kerja Tenaga kerja luar daerah
3 Pertumbuhan perusahaan PPTKIS
4 Alokasi anggaran APBD untuk Kebijakan 1 juta tenaga kerja di Jawa
ketenagakerjaan Barat
5 Informasi ketenagakerjaan BLK
6 Pengangguran Terdapat banyak industri di sekitar
berbatasan
Peraturan daerah dan peraturan
7 UMK wilayah berbatasan
lainnya

71
KEY SUCCESS FACTORS (KSF)
NO
INTERNAL EKSTERNAL
Kebijakan investasi di wilayah
8 Pemutusan hubungan kerja (PHK)
berbatasan

3) Analisis Situasi Internal dan Eksternal

Analisis situasi internal dan eksternal (SWOT) merupakan


analisis lanjutan dari hasil-hasil analisis sebelumnya baik yang bersifat
kualitatif maupun analisis kuantitatif untuk penyusunan masterplan
ketenagakerjaan. Hasil analisis SWOT disajikan dalam Tabel 17.

72
Tabel 17 Hasil Analisis SWOT

SWOT ANALISIS LINGKUNGAN BOBOT RATING SKOR

INTERNAL
Ketersediaan tenaga kerja 0,30 4 1,20
KEKUATAN

Pertumbuhan perusahaan 0,40 4 1,60


(S)

Informasi ketenagakerjaan 0,15 3 0,45


Pemutusan hubungan kerja (PHK) 0,15 2 0,30
TOTAL 1,00 3,55
Pertumbuhan ekonomi daerah (LPE) 0,40 4 1,60
KELEMAHAN

Alokasi anggaran APBD untuk


0,35 4 1,40
ketenagakerjaan
(W)

Pengangguran 0,10 3 0,30


Peraturan daerah dan peraturan 0,15 3 0,45
lainnya
TOTAL 1,00 3,75

EKSTERNAL
PPTKIS 0,30 4 1,20
Kebijakan 1 juta tenaga kerja di Jawa
PELUANG

0,10 2 0,20
Barat
(O)

BLK 0,20 3 0,60


Terdapat banyak industri di sekitar 0,40 4 1,60
wilayah berbatasan
TOTAL 1,00 3,60
Pasar bebas dan tenaga kerja global 0,30 4 1,20
ANCAMAN

Tenaga kerja luar daerah 0,20 3 0,60


(T)

UMK wilayah Jabodetabek 0,20 2 0,40


Kebijakan investasi di wilayah 0,30 2 0,60
berbatasan
TOTAL 1,00 2,80
Keterangan :

a) Skala Bobot 0-1, skala 0 berarti pengaruh terhadap acuan/tjuan


tidak ada pengaruhnya, skala 1 berarti pengaruhnya terhadap
acuan/tujuan sangat besar.

73
b) Skala Rating 1-4, skala 1 berarti pengaruh terhadap acuan/tjuan
tidak ada pengaruhnya, skala 4 berarti pengaruhnya terhadap
acuan/tujuan sangat besar.

c) Skala Skor 1-4, skala 1 berarti pengaruh terhadap acuan/tjuan tidak


ada pengaruhnya, skala 4 berarti pengaruhnya terhadap
acuan/tujuan sangat besar.

Setelah dilakukan analisis lanjutan, yakni dengan cara


mengurangkan total skor kelemahan (W) terhadap total skor kekuatan
(S) dan mengurangkan total skor ancaman (T) terhadap total skor
peluang (O), maka diperoleh hasil sebagai berikut.

Gambar 5 Kuadran Analisis SWOT

Berdasarkan gambar 4 di atas, hasil analisis SWOT berada di


posisi kuadran IV yaitu strategi Defensif. Strategi conservative adalah

74
strategi meminimalisir kelemahan (W) dan mengoptimalkan peluang
(O).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh 14 (empat belas) strategi


yang dapat diterapkan untuk perencanaan tenaga kerja dalam rangka
penyusunan Masterplan ketenagakerjaan. Keempat belas strategi
tersebut sebagai berikut :

1. Pengiriman TKI berkualitas dari penduduk Kabupaten Sukabumi


untuk meningkatkan LPE.
2. Peningkatan alokasi anggaran APBD untuk penempatan kerja.
3. Kerjasama Pemkab dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta PPTKIS.
4. Perda ketenagakerjaan.
5. Penyediaan lapangan kerja untuk meningkatkan LPE.
6. Peningkatan alokasi anggaran APBD untuk penyediaan lapangan
kerja.
7. Penyediaan lapangan kerja.
8. Perda perbaikan iklim berinvestasi.
9. Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM angkatan kerja untuk
meningkatkan LPE.
10. Peningkatan alokasi anggaran APBD untuk pelatihan ketrampilan.
11. Kerjasama Pemkot dengan BLK Cevest.
12. Peningkatan alokasi anggaran APBD untuk pelatihan ketrampilan.
13. Peningkatan kualitas SDM angkatan kerja
14. Perda perbaikan iklim berinvestasi.

75
15. Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM angkatan kerja untuk
meningkatkan LPE.
16. Perda ketenagakerjaan.

76
BAB 5. MEMAHAMI SOLUSI KETENAGA-KERJAAN DARI
MASALAHNYA

5.1. Menciptakan Landasan Perlindungan Sosial: Strategi untuk


Menutup Kesenjangan Pembangunan

Konsep “Landasan Perlindungan Sosial” (LPS) secara resmi


diterapkan pada bulan April 2009, ketika Dewan Eksekutif Perserikatan
Bangsa-Bangsa mendukung Gagasan Landasan Perlindungan Sosial (LPS-
I) sebagai bagian dari respons krisis Þnansial global pada tahun 2008
(ILO, 2013). Relevansi yang berkelanjutan dari perlindungan sosial, baik
sebagai hak dan sebagai tujuan untuk memastikan pembangunan jangka
panjang, telah mengubah LPS menjadi pendekatan kebijakan yang
diterima secara luas. LPS-I terdiri atas koalisi dari 19 badan PBB, institusi
keuangan internasional, dan 14 rekan pembangunan, termasuk donor
bilateral, bank pembangunan, dan LSM internasional, yang bekerja sama
dan mengoordinasikan aktivitas mereka di tingkat nasional, regional, dan
global untuk promosi perlindungan sosial bagi semua.

ILO telah melakukan penilaian berdasarkan dialog nasional yang


dilakukan di beberapa negara Asia Tenggara - termasuk Kamboja,
Indonesia, Thailand, dan Vietnam - yang bertujuan untuk membawa
kerangka kerja perlindungan sosial. Penilaian ini dilakukan untuk
mengidentiÞkasi elemen apa dari landasan perlindungan sosial nasional
yang tepat, mengidentiÞkasi kesenjangan perlindungan sosial, dan
mengurus rekomendasi dalam penerapan LPS di negara tujuan.

77
Pemenuhan keempat jaminan atau hak yang membentuk LPS
membutuhkan adanya program-program perlindungan sosial mendasar
yang bersifat jangka panjang, fundamental, non kontribusi dan didanai
melalui sumber daya publik atau anggaran pemerintah. Pendanaan
terrsebut harus dapat diprediksi secara tepat dan digunakan untuk jangka
panjang. Dikarenakan perlunya upaya untuk mempertimbangkan
bagaimana kegiatan awal ini akan didanai dan bagaimana cara
mempertahankan kegiatan-kegitan tersebut dari waktu ke waktu, maka
penilaian ini mencakup latihan pembiayaan untuk mengetahui pendanaan
yang tersedia dan dibutuhkan untuk memperkenalkan LPS.

Penilaian yang berdasarkan pada dialog nasional yang dilakukan


di Indonesia menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir Indonesia
telah melakukan langkah besar dalam pembangunan LPS nasional.
Misalnya, pada amandemen 2002 dari Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa hak jaminan sosial untuk semua dan tanggung
jawab Negara dalam pembangunan kebijakan jaminan sosial. Selain itu,
pendahuluan Undang-Undang No. 40/2004 mengenai Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang No. 24/2011 mengenai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), memberikan landasan legislatif
untuk menerapkan cakupan jaminan sosial komprehensif di Indonesia
bagi pekerja ekonomi formal dan informal.

Sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia terdiri atas skema


pelayanan publik dan pekerja sektor swasta di ekonomi formal. Terdapat
sejumlah program dan subsidi bantuan sosial yang didanai oleh
pemerintah yang mendukung pekerja ekonomi informal miskin dan

78
keluarganya, dan membentuk bagian dari pengaturan yang lebih luas
dari kebijakan pemberantasan kemiskinan oleh Pemerintah (Satriana, S.
and Schmitt, V. 2012).

Meskipun demikian, latihan penilaian mengidentifikasikan


kesenjangan kebijakan signifikan dan masalah implementasi, dan
menegaskan pada sistem saat ini yang secara luas mengabaikan pekerja
tidak miskin dalam ekonomi informal (Satriana, S. and Schmitt, V. 2012).

Bahkan dalam ekonomi formal, cakupan jaminan sosial terbatas


karena tingginya tingkat pengelakan kontribusi. Latihan penilaian juga
menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pemberantasan
kemiskinan oleh pemerintah dipengaruhi oleh masalah seperti
penargetan yang tidak efisien, kurangnya koordinasi, dan gagasan yang
tumpang tindih.

Kegiatan penilaian menunjukkan bahwa jaminan pendapatan


untuk penduduk usia kerja sangat terbatas, khususnya bagi pekerja
ekonomi informal. Jaminan sosial akan menguntungkan (kecelakaan,
kematian, dan pensiun) bagi pekerja ekonomi formal yang saat ini
diberikan oleh PT Askes, Taspen, dan Asabri. Program-program yang
ditargetkan untuk pekerja swasta di sektor formal ini bersifat kontribusi,
di mana kontribusi yang dibayarkan untuk oleh pengusaha untuk layanan
kesehatan, kecelakaan kerja dan kematian dan dibayarkan bersama oleh
pekerja dan pengusaha untuk dana pensiun.

Sedangkan program-program yang ditargetkan untuk pegawai


negeri sipil adalah bersifat kontribusi, dimana kontribusi ini dibagi oleh
pekerja dan pengusaha untuk semua kasus. Dikarenakan pekerja

79
informal tidak terdaftar dengan baik dalam administrasi publik, maka
saat ini sulit untuk menegakkan atau memantau pelaksanaan program-
program jaminan sosial untuk segmen perekonomian ini.

Bantuan untuk kaum Dukungan untuk lanjut usia juga terbatas,


hampir 90 persen dari keseluruhan penduduk tidak memiliki skema
jaminan akhir tua. Penilaian ini juga menunjukkan bahwa sistem pensiun
sektor swasta, yang berdasarkan pada transfer pembayaran sekaligus,
kadang memberikan perlindungan yang tidak memadai.

Sebagai tambahan dalam program jaminan sosial tradisional untuk


penduduk usia kerja, Pemerintah mengoperasikan beragam program
pencarian pekerjaan, penciptaan lapangan kerja, dan program
pembangunan lain, subsidi upah, program pelatihan vokasional, dan
skema usaha sendiri yang mendukung kelompok yang rentan. Program ini
merupakan bagian dari LPS, namun seringkali tidak cukup didanai dan/atau
bersifat ad-hoc, dan tidak dikaitkan dengan bantuan sosial dan skema
jaminan sosial lain. Oleh karena itu, peran program ini sebagai program
perlindungan sosial dan dampak potensial yang terkait pada kelangsungan
hidup individu jarang terjadi.

Pengeluaran umum dalam bantuan sosial diperkirakan


mencapai 57 triliun Rupiah atau 4,2 % dari total pengeluaran 2011.
Dalam PDB, bantuan sosial diperkirakan sekitar 0,7 % dari PDB tahun
2011. Secara umum, pengeluaran pada bantuan sosial akan terus
berfluktuasi, dan hanya turun sedikit dari keseluruhan pengeluaran
sejak tahun 2005.

80
Ruang fiskal Pemerintah yang terbatas untuk meningkatkan
pengeluaran bantuan sosial dan pengeluaran pembangunan lain sering
sekali dihubungkan dengan kebijakan subsidi bahan bakar. Subsidi bahan
bakar Indonesia menentukan harga eceran bahan bakar bersubsidi
menjadi Rp. 6.500 dan solar bersubsidi menjadi Rp. 5.500, dengan
pengeluaran Pemerintah yang menutupi kesenjangan antara harga pasti
dan harga internasional. Kebijakan ini rentan untuk disesuaikan dengan
harga komoditas bahan bakar internasional dan tingkat pertukaran mata
uang.

Untuk menggambarkannya, pengeluaran bahan bakar bersubsidi


pada tahun 2011 dianggarkan sebanyak 9,8 % (130 triliun Rupiah) dari
keseluruhan pengeluaran, namun meningkat menjadi 12,8 % (165 triliun
Rupiah) dari keseluruhan pengeluaran karena fluktuasi harga dan
peningkatan permintaan konsumen. Ketidakpastian yang terjadi dalam
pengeluaran bahan bakar bersubsidi berdampak pada pengeluaran
Pemerintahan, khususnya dalam perluasan program perlindungan sosial.

Secara umum telah disetujui bahwa bahan bakar bersubsidi


bukan model yang optimal untuk mempromosikan kesetaraan sosial dan
distribusi pendapatan sebagai kecenderungan masyarakat yang tidak
miskin untuk menikmati keuntungan langsung. Meskipun demikian, jika
harga bahan bakar naik, dampak langsung dan tidak langsung akan
dirasakan di seluruh ekonomi dengan peningkatan margin pergadangan
dan transportasi dan bisnis yang membebani konsumen.

Harga yang semakin tinggi untuk komoditas menurunkan daya


beli, khususnya bagi rakyat miskin. Oleh karena itu, pelaksanaan subsidi

81
energi dan bahan bakar, misalnya melanjutkan mekanisme penyesuaian
harga bahan bakar yang memberikan penyangga melawan harga yang
fluktuatif, harus dikombinasikan dengan pendalaman dan perluasan
program perlindungan sosial di Indonesia. Alat keuangan Protokol
Penilaian Cepat (RAP) ILO memperkirakan bahwa untuk menyediakan
LPS untuk semua, pengeluaran program sosial harus memiliki sekitar
2,45 persen dari PDB (ILO, 2013). Khususnya, peningkatan penyediaan
jaminan sosial dan menyediakan landasan perlindungan sosial tidak
sepenuhnya ikut serta dalam keseluruhan peningkatan dalam
pengeluaran Pemerintah atau melaksanakan defisit fiskal; dapat diraih
melalui perubahan pengeluaran fiskal saat ini.

5.2. Formalisasi ekonomi informal: Pekerjaan rumah tangga di


Indonesia

Pekerja rumah tangga (PRT) adalah bagian yang signifikan dari


pekerjaan informal di Indonesia dan termasuk kelompok paling rentan
di pasar kerja. Mereka bekerja untuk rumah tangga pribadi, sering
sekali tanpa persyaratan kerja yang jelas sesuai undang-undang
ketenagakerjaan. Secara umum, tantangan untuk meningkatkan
kondisi kerja adalah yang paling sulit karena pekerjaan dilaksanakan di
luar ranah hukum dan kerangka kerja kelembagaandi sektor
perekonomian informal.

Secara global, diperkirakan jumlah PRT di seluruh dunia


mencapai angka 53 juta tahun 2010 (ILO, 2013). Sebagai respon dari
penyebaran PRT secara ekstensif dan pelanggaran terhadap hak-hak
pekerja, Konferensi Perburuhan Internasional ILO mengadopsi

82
Konvensi ILO No. 189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga
pada bulan Juni 2011. Sejak tahun 2011, 10 negara telah meratiÞkasi
Konvensi ini dan 25 negara lain telah memperbaiki perlindungan
hukum bagi PRT. Indonesia belum termasuk dalam negara-negara yang
menandatangani konvensi ini, dan kemajuan dalam meningkatkan
kondisi kerja PRT sangat diperlukan.

Untuk mempromosikan pekerjaan layak bagi PRT, diperlukan


pemahaman yang baik mengenai siapa itu PRT dan pemberi kerjayang
mempekerjakan mereka. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dapat digunakan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai PRT di Indonesia.
Data ini bisa digunakan untuk memperkirakan jumlah orang yang
bekerja sebagai PRT yang tinggal bersama majikan mereka dan PRT
yang tidak tinggal bersama majikan, serta perkiraan jumlah majikan
PRT. Data ini juga bisa digunakan untuk mengidentiÞkasi proporsi
tertentu dari pekerja rumah tangga anak (PRTA).

Survei Sakernas mencatat informasi tentang PRTusia 15 tahun ke


atas. Survei Susenas mencatat informasi tentang pekerja usia 10 tahun ke
atas. Survei ini dapat digunakan untuk memperkirakan pekerjaan rumah
tanggakarena ia menanyakan tentang hubungan mereka dengan kepala
rumah tangga. Survei ini mengumpulkan informasi tentangPRT yang
tinggal dan tidak tinggal bersama majikan mereka. Meskipun demikian,
kedua survei ini tidak cukup mengumpulkan informasi tentang PRTA,
khususnya mereka yang berusia di bawah 15 tahun yang tinggal bersama
majikan mereka.

83
Data Sakernas dan Susenas tidak secara khusus dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentangPRT, dan diperkirakan berasal dari
survei yang seharusnya dilaksanakan secara seksama. Ada beberapa
alasan untuk hal ini. Pertama survei hanya sebagian merekam data
mengenai pekerja rumah tangga anak. Kedua, PRT tidak selalu dianggap
sebagai pekerja oleh majikan mereka atau diri mereka sendiri. Ketiga,
pekerjaan rumah tangga mungkin bukan kegiatan ekonomi primer bagi
individu sedangkan kegiatan ekonomi lain mungkin tidak dicakup dalam
survei ini. Terakhir, survei ini mungkin kesulitan untuk memperoleh data
dari rumah tangga di kalangan atas.

Terlepas dari peringatan ini, survei Sakernas dan Susenas dapat


digunakan untuk memperkirakan pekerjaan rumah tangga di Indonesia.
Analisis data survei menunjukkan bahwa jumlah PRT di Indonesia adalah
sekitar 2,6 juta tahun 2012. Jumlah ini meningkat dari perkiraan 2,2 juta
yang tercatat tahun 2008. Sebagian besar PRT adalah perempuan
dengan tingkat pendidikan rendah. Kebanyakan PRT juga tinggal dan
bekerja di daerah perkotaan. Untuk menggambarkan hal ini, pada tahun
2012 terdapat hampir 2 juta PRT di daerah perkotaan dibandingkan
hanya 618.000pekerja rumah tangga di daerah pedesaan.

Banyak PRT menghadapi kondisi kerja yang sulit. Sebagai contoh,


sekitar 70 persen PRT bekerja dengan jam kerja berlebihan, 7 hari
seminggu. Upah yang diperoleh PRT masih rendah bila dibandingkan
pekerja lain, dimana 30 persen dari PRT menerima kurang dari Rp.
300.000 per bulan.

84
Analisis data Sakernas tahun 2012 mencatat bahwa jumlah
pekerja rumah tangga usia 15 sampai 17 adalah 111.000. Angka ini
menurun 60.000 dari tahun 2008 yang mencapai angka 170.000. Dengan
menggunakan parameter jumlah jam kerja, dari 111.000 pekerja muda
usia 15 sampai 17 tahun ini, hanya 84.000 yang dapat digolongkan sebagai
PRTA karena jam kerja mereka lebih dari 40 jam seminggu. PRTA usia 15
sampai 17 tahun menyumbang 7,6 persen dari semua PRT di atas 15
tahun. Susenas juga mencatat data pekerja anak usia 15 sampai 17 tahun,
dan analisis data ini menunjukkan bahwa sekitar 100.000 anak-anak
dalam kelompok usia ini adalah PRTA. Oleh karena itu, Susenas
memperkirakan pekerjaan.

PRTA sedikit lebih rendah daripada perkiraan Sakernas.


Terlepas dari ketidakcocokan antara dua data ini, perkiraan PRTA usia
15 hingga 17 tahun terbilang cukup konsisten antara tahun 2008
dengan 2012, dan menunjukkan tren yang menurunselama periode ini.

Data Susenas juga dapat digunakan untuk menganalisis pekerja


anak yang usia di bawah 15 tahun, tapi hanya yang tinggal di rumah
majikan. Analisis data menunjukkan bahwa jumlah PRTA usia 5 sampai
11 adalah kurang dari 1000 pada tahun 2012. Estimasi PRTAusia 12
sampai 14 tahun menunjukkan bahwa kurang dari 6000 anak dalam
kelompok ini yang melakukan pekerjaan rumah tangga pada tahun
2012. Namun, perkiraan pekerjaan rumah tangga anak di berbagai
kelompok usia antara tahun 2008 dan 2012 sangat beragam, dan ini
menunjukkan bahwa estimasi ini tidak bisa diandalkan.

85
Pekerja rumah tangga anak atau PRTA didominasi oleh
perempuan, mengikuti pola yang sama seperti pekerja dewasa.
Kebanyakan PRTA bekerja dengan jam kerja yang lama, lebih dari 66,5
jam per minggu, sehingga tidak punya waktu untuk sekolah. Di
samping itu, kebanyakan PRTA tidak bersekolah. Pada tahun 2008
hanya 4,5 persen PRTA yang bersekolah. Pada tahun 2012 jumlah ini
meningkat menjadi 16,5 persen, namun, masih dianggap rendah.

Sakernas menunjukkan bahwa jumlah PRT yang tidak tinggal


bersama majikan mereka lebih besar dari jumlah PRT yang tinggal
bersama majikan. Pada tahun 2012 PRT yang tinggal bersama majikan
diperkirakan sekitar 423.000 sedangkan PRT yang tidak tinggal bersama
majikan diperkirakan sekitar 2,1 juta. Data ini menunjukkan bahwa sejak
tahun 2008 jumlah PRT yang tidak tinggal bersama majikan meningkat
tajam, sedangkan jumlah PRT yang tinggal bersama majikan menurun.

Susenas dan Sakernas juga menyediakan informasi tentang


majikan PRT. Pada tahun 2012 analisis data ini menunjukkan bahwa ada
sekitar 1,15 juta majikan PRT. Dibandingkan dengan masyarakat umum,
mereka biasanya tinggal di rumah dengan jumlah anggota keluarga yang
lebih besar. Mereka cenderung memperoleh penghasilan lebih tinggi
dan memiliki status sosial-ekonomi yang lebih tinggi bila diukur dari
pengeluaran per kapita. Pada tahun 2008 pendapatan bulanan rata-rata
keluarga ini diperkirakan Rp. 6.000.000.

Data Sakernas dan Susenas juga dapat digunakan untuk


menyediakan perkiraan jumlah pekerja rumah tangga (PRT) di
Indonesia dan tentang karakteristik pekerjaan mereka. Namun,

86
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk PRT, khususnya PRTA, guna
meningkatkan keandalan informasi sehingga solusi yang lebih efisien
untuk perlindungan PRTdapat direncanakan.

Yang terpenting, PRT berhak memperoleh perlindungan


dengan cara yang sama seperti penerima upah yang lain, termasuk
upah yang setara dengan upah minimuum. Perbaikan kondisi kerja PRT
sudah menjadi masalah jangka panjang di Indonesia. Perluasan
perlindungan yang disediakan untuk pekerja lain sebaiknya
menjangkau PRT, sehingga dapat membantu mengurangi kerentanan
mereka. Konvensi ILO no. 189 tahun 2011 tentang pekerja rumah
tangga menguraikan kerangka kerja hukum untuk meneruskan hak
PRT dan ratifikasi atas Konvensi ini dapat membantu memperbaiki
kondisi para pekerja ini.

87
BAB 6. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA : SEBUAH
DILEMA

Diskursus sumber daya manusia (SDM) dalam pembangunan


pada tingkat nasional, terutama pada tingkat regional menyangkut
persoalan jumlah, komponen, penyebaran, dan kualitas. Di mana
persoalan-persoalan tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi
perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, dan keberhasilan
pembangunan (Sumaatmadja, 1989). Dari banyak unsur tersebut tidak
semuanya dibahas dalam tulisan ini, penulis sengaja membatasi diri
pada pembahasan mengenai pengembangan dan pendayagunaan
sumber daya manusia agar benar-benar dapat menjadi modal
pembangunan yang menguntungkan, sehingga pembahasan lebih
terfokus. Meski demikian, tidak berarti pembahasan lepas sama sekali
dari unsur-unsur persoalan sumber daya manusia tersebut.

Pengembangan SDM pada dasarnya mencakup dua persoalan


besar. Dalam hal ini selain perlunya pengembangan potensi kemanusiaan
seperti intelektualitas dan kecerdasan yang dikembangkan melalui
prinsip-prinsip teknokratis, juga perilaku, yang dapat mendatangkan
implikasi-implikasi moral (seperti krisis humanisme). Jadi yang perlu
digaris bawahi dari dua persoalan tersebut adalah bahwa
pengembangan sumber daya manusia menyangkut masalah
peningkatan kualitas manusia, sebagai tenaga kerja dan subjek
pembangunan serta implikasi rekayasa teknologis terhadap eksistensi
manusia sendiri.

88
Pengembangan SDM pada era global hendaknya lebih
diutamakan, karena pada kurun-kurun waktu tersebut penerapan
teknologi super canggih telah merambah dalam segala sisi kehidupan
manusia. Kalau kita tidak mengantisipasinya, maka posisi manusia akan
tergeser. Jumlah tenaga kerja yang besar tidak memperoleh
kesempatan, persaingan makin ketat karena lapangan kerja yang
tersedia lebih banyak diisi oleh mesin-mesin/robot yang secara nyata
lebih praktis dan efisien dibanding tenaga manusia.

Perubahan secara besar-besaran pada era global ini,


pembangunan manusia dihadapkan pada permasalahan yang pelik dan
dilematis. Di satu sisi kita berupaya melakukan industrialisasi dengan
mengaplikasikan berbagai teknologi mutakhir, padahal telah nyata
diketahui bahwa konsekuensi penerapan mesin dan berbagai teknologi
lainnya akan semakin mengurangi kesempatan kerja manusia (terutama
tenaga kerja unskilled). Sementara itu di sisi lain kita dihadapkan pada
masalah kependudukan (jumlah penduduk yang besar) yang belum
termanfaatkan secara efektif, sehingga keberadaan penduduk ini
berada pada titik kritis sebagai beban pembangunan. Masalah
penduduk Indonesia pada saat ini, semestinya bukan pada bagaimana
menciptakan penduduk dari beban menjadi modal pembangunan,
tetapi bagaimana menciptakan manusia yang sama menjadi modal yang
lebih berkualitas. Tampaknya krisis ekonomi yang mendera bangsa
Indonesia menjelang runtuhnya rezim orde baru hingga kini telah
menyeret mundur kualitas penduduk Indonesia (Haris dan Adika, 2002).

89
Telah cukup banyak pengalaman di negara lain bahwa kemajuan
universal di bidang iptek sebagai rekayasa teknokrat membawa implikasi
pada lahirnya krisis humanisme (Soedjatmoko, 1986). Kepesatan
kemajuan teknologi dewasa ini tidak lagi seiring dengan perkembangan
dan kebutuhan manusia, tetapi justru sebaliknya manusialah yang
kemudian harus menyesuaikan diri dengan teknologi, teknologi justru
memunculkan kebutuhan baru. Apalagi apa yang diadopsi berasal dari
Barat, yang digali dari akar kebudayaan yang berbeda. Suatu contoh kecil
betapa melencengnya adopsi teknologi dari Barat adalah penerapan
program revolusi hijau dalam bidang pertanian yang ternyata justru
menurunkan produksi pertanian. Karena itu dalam proses alih
teknologi harus melalui seleksi yang ketat.

Dari gambaran selintas tentang posisi manusia dan


eksistensinya dalam kerangka rekayasa teknologi kiranya akan lebih
mudah menghantarkan pada pemahaman tentang strategi
pengembangan sumber daya manusia dalam konteks pembangunan
nasional di era global, juga agar kita lebih arif dalam menyusun konsep
dan paradigma pembangunan serta dalam menerapkan iptek demi
kesejahteraan manusia sendiri. Selanjutnya kita harus dapat mengambil
pelajaran dari kegagalan beberapa negara maju dalam usaha
memanusiakan manusia, walau di bidang pembangunan fisik mereka
lebih maju. Akhirnya dapat diciptakan manusia Indonesia menjadi
modal terpenting untuk pembangunan dan sekaligus mempertahankan
kemanusiaannya.

90
6.1. Pembinaan dan Pendayagunaan SDM

Persoalan manusia sebagai sumber daya pembangunan


merupakan tema sentral pembangunan yang sepintas tampakny klasik.
Sesungguhnya persoalan ini selalu aktual dan tak pernah tuntas karena
dalam setiap tahap perjalanannya memunculkan problematika yang
khas. Pada era global ini, persoalan manusia sebagai tenaga kerja,
kualitas, pengembangan, dan pengelolaannya hangat dibicarakan.
Mengapa diskursus tentang manusia sangat urgen dalam konteks
kekinian dan masa depan? Karena pembangunan yang sedang dan akan
dilaksanakan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (dimensi
horizontal) belaka, tetapi meliputi pula kemajuan batiniah (dimensi
vertikal), di dalam GBHN kedua dimensi pembangunan tersebut dikenal
dengan istilah pembangunan material dan spiritual, yang tentu saja
memerlukan perencanaan yang matang, bijaksana, dan berwawasan
jauh. Kedua dimensi ini harus dicapai secara harmonis dan seimbang.
Jangan sampai Indonesia mengulang apa yang terjadi di banyak negara
maju dimana kemajuan lahiriah justru berimplikasi pada dekadensi moral
dan dehumanisasi. Oleh karena itu meskipun pembangunan ekonomi
menduduki tempat yang utama dalam pembangunan nasional saat ini
namun unsur manusia harus mendapat perhatian yang seimbang.

Unsur manusia dan sistem sosialnya memegang peranan


penting dalam pembangunan, bahkan pembangunan akan berhasil
hanya kalau dia sekaligus membangun manusia pembangun.
Membangun manusia pembangun berarti mengembangkan sumber
daya manusia agar memiliki kuallitas tinggi. Pengembangan yang

91
dimaksud adalah usaha membina dan mendayagunakan potensi
kemanusiaannya, sehingga kemampuan yang dimilikinya dapat
dikerahkan baik dalam bentuk tenaga, gagasan, intelektualitasnya guna
mencapai taraf hidup yang lebih baik (Soetrisno dan Mary Johnston,
1982).

Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia


Indonesia merupakan persoalan yang rumit. Untuk memecahkannya
memerlukan strategi yang akurat dan biaya yang tidak sedikit, karena
pengembangan ini tidak hanya sebatas pada peningkatan kualitas
teknis tetapi kualitaskualitas lainnya yang memungkinkan seseorang
menjadi manusia unggul dan utuh.

Pendayagunaan sumber daya manusia berorientasi pada


terciptanya tenaga kerja yang dapat bekerja secara optimal sesuai
dengan keahliannya. Kualitas tenaga kerja ditunjukkan oleh tingkat
produktivitasnya, oleh karena itu produktivitas ini harus selalu
ditingkatkan. Produktivitas tenaga kerja ini dipengaruhi oleh faktor sosial-
demografis, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, etos kerja, serta
kebiasaan masyarakat. Sayangnya, hingga kini belum pernah ada
pengukuran secara teliti tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia
(Sigit, 1999). Sebagai penduga produktivitas, banyak pihak memakai out
put atau nilai tambah per tenaga kerja. Padahal out put atau nilai tambah
per tenaga kerja ini hanya tepat digunakan untuk analisa perbandingan
antar sektor atau untuk mengikuti perkembangannya antar tahun.

92
6.2. Tantangan, Arah Perkembangan, dan Peningkatan SDM

Pada era mendatang, tenaga kerja manusia mengahdapi


tantangan yang berat. Perkembangan ilmu dan teknologi sangat pesat
dan manusia dituntut untuk memiliki spesialisasi tertentu, dan tiap-tiap
spesialisasi hanya mengenal dirinya sendiri secara mendalam tetapi
tidak banyak mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia makin
terkotakkotak oleh aturan teknis yang membelenggu dirinya, sehingga
hubungan sosial yang bersifat impersonal makin menggejala. Pada
akhirnya iptek akan mengganti kedudukan dan peranan manusia
sebagai pekerja dan individu yang utuh, karena pekerjaan rutin
manusia dikerjakan oleh mesin yang cara kerjanya dianggap lebih teliti,
lebih efektif, efisien, dan lebih berani.

Secara normatif semestinya bagi manusia Indonesia, tidak


perlu ada kekhawatiran terhadap gejala dehumanisasi karena GBHN
telah memberikan arah terhadap permasalahan pembangunan sumber
daya manusia (manusia sebagai tenaga kerja), disitu dinyatakan bahwa
pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pengem-
bangan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan harkat,
martabat, dan kemampuan manusia serta kepercayaan pada diri
sendiri.

Hanya saja, di dalam prakteknya kita menjadi pesimis karena


tampaknya pemerintah tidak berupaya secara sungguh-sungguh
mengarahkan pembangunan tenaga kerja sesuai dengan GBHN.
Kenyataan terusirnya tenaga kerja Indonesia (TKI) secara terhina di
Malaysia pada pertengahan tahun 2002 ini sungguh merupakan potret

93
buram hasil pembangunan SDM Indonesia. Bagaimana mungkin
tercipta manusia Indonesia berkualitas yang berharkat dan
bermartabat, keamanan dan keterlindungan dalam bekerja saja tidak
ada, ini karena tak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah
untuk melindungi warganya, terutama buruh. Hanya berhadapan
dengan tuntutan kehidupan minimal penduduknya saja pemerintah
tidak dapat memenuhi, bagaimana dapat bertahan menghadapi
pengaruh hegemoni teknologi/mesinisasi di segala aspek di era global
ini. Berdasarkan kenyataan lemahnya usaha pembinaan dan
pembangunan SDM di Indonesia dapat diduga bahwa pada akhirnya
dalam segala level pekerjaan di era global, nasib tenaga kerja kita akan
terdesak oleh tenaga kerja luar negeri yang akan membanjiri Indonesia
dan tersapu oleh gejala mesinisasi yang mereduksi kemanusiaannya.

Sebenarnya betapapun tingginya teknologi, manusia tidak


boleh terkuasai oleh teknologi, dengan demikian harkat dan martabat
kemanusiaannya tidak tereduksi. Sebaliknya manusia Indonesia harus
mampu meningkatkan penguasaan terhadap iptek agar bangsa
Indonesia tidak menjadi objek dan pasar penampung hasil teknologi
bangsa lain saja, dan pada akhirnya dapat mensejajarkan diri dengan
bangsa lain. Untuk mencapai harapan itu, maka pengembangan
ketenagakerjaan harus dilakukan secara sistematis, terencana, dan
berkesinambungan. Dengan usaha yang demikian, generasi tenaga
kerja mendatang memiliki etos kerja tinggi, produktif, kreatif,
bukannya generasi pemalas karena segala kebutuhannya telah
terpenuhi produk teknologi negara lain. Generasi penikmat teknologi

94
inilah yang kemudian mengkultuskan teknologi san melahirkan
masyarakat materialistis dan konsumtif (Yacob, 1988).

Di samping merebaknya gejala dehumanisasi akibat


industrialisasi, tenaga kerja di era global juga mempunyai tantangan
yang sangat berat. Bila tidak ada usaha peningkatan kualitas
ketenagakerjaan Indonesia, maka pada era pasar bebas pada tingkat
Asia saja (dimulainya AFTA 2003) dimana tenaga kerja luar negeri dapat
secara leluasa masuk ke Indonesia, tenaga kerja Indonesia akan
terpinggirkan. Para pengguna tenaga kerja akan lebih memilih mereka
yang profesional, memiliki etos kerja yang tinggi, berdisiplin tinggi, dan
produktif. Karakteristik tenaga kerja tersebut tidak banyak dimiliki oleh
TKI, bahkan nasib tenaga kerja trampil pun masih dipengaruhi oleh
sistem dari negara asal penanam modal (Prasetyo, 2001). Bila kondisi
ini dibiarkan, maka tenaga kerja Indonesia akan menjadi penonton saja.
Untuk itu perlu ada upaya yang serius dari pemerintah untuk
meningkatkan daya saing TKI, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Untuk membina dan mengembangkan kemampuan tenaga
kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat di era global dapat
dilakukan melalui kegiatan:

1) Peningkatan mutu pendidikan

Mengingat betapa pentingnya peranan pendidikan, maka


sektor ini harus memperoleh porsi yang besar dalam pembangunan.

95
Sayangnya hingga kini sektor ini masih terseok-seok karena tiadanya
kesungguhan pemerintah untuk mendongkrak sektor ini.
Ketidaksungguhan ini ditunjukkan oleh minimnya dana yang diposkan
untuk sektor pendidikan ini, hal ini sungguh ironis bila dibandingkan
jumlah dana yang diposkan di sektor perbankan, militer, dan
pembangunan fisik. Berdasarkan kenyataan ini tidak mengherankan
bila level pendidikan bangsa Indonesia berada di bawah Vietnam.

Untuk memajukan sektor ini, maka perlu ada kemauan baik


dari pemerintah untuk memperbaikinya melalui peningkatan porsi
dana pendidikan, perombakan kurikulum, peningkatan kesejahteraan
guru, pemenuhan alat-alat laboratorium dan perpustakaan, program
buku murah, sekolah murah, dan kerja sama dengan negara lain secara
intensif. Ada baiknya pemerintah meniru upaya negara-negara
berkembang lain yang lebih maju dalam pendidikan, seperti Malaysia,
India, dan Korea.

2) Penguasaan bahasa asing

Di era global saat ini bahasa asing merupakan sarana utama


untuk berkomunikasi bisnis, kerjasama, pendidikan, alih teknologi, dan
lain-lain. Berkembangnya berbagai perusahaan yang mempunyai
jaringan internasional menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja
yang mempunyai kemampuan bahasa asing semakin besar. Untuk
menjadi tenaga kerja di era global tidak cukup hanya berbekal
ketrampilan tertentu saja, tetapi harus dibekali kemampuan tambahan,
yakni salah satu bahasa asing (Inggris, Arab, Prancis, Jepang,
Mandarin).

96
3) Penguasaan teknologi informasi (TI)

Menurut Hartono (2002) TI merupakan kunci pokok bagi


tenaga kerja untuk berkiprah di era global ini disamping harus
menguasai teknologi informasi dan wawasan global pada abad 21. TI
merupakan piranti terpenting abad ini. Hampir semua lembaga
membutuhkan TI sebagai sarana untuk manajemen maupun untuk
membantu pengambilan keputusan. Oleh karena itu penguasaan
komputer sebagai basis TI mutlak harus dikuasai para tenaga kerja dan
manusia Indonesia pada umumnya bila ingin eksis di era penuh
persaingan ini. Kini, tanpa penguasaan TI, tenaga kerja Indonesia tidak
akan dipakai oleh lembagalembaga atau perusahaan bonafid baik pada
pasar lokal apalagi pasar global (luar negeri). Adanya TI juga
memunculkan kebutuhan tenaga kerja baru lain yang berkaitan dengan
TI, seperti teknisi, ahli perangkat lunak dan perangkat keras,
programmer, operator, dan lain-lain.

4) Latihan kerja

Latihan kerja merupakan tahapan penting yang mesti dilewati


oleh para pencari tenaga kerja. Perlunya latihan kerja ini adalah untuk
memperkenalkan para anak bangsa terdidik agar tidak gagap dalam
memasuki dunia kerja. Disinilah konsep link and match antara dunia
pendidikan dengan pasar kerja dapat dibangun. Seyangnya hingga kini
jarang sekali lembaga yang menyediakan latihan kerja secara memadai.
Lembaga latihan kerja milik pemerintah yang bernama Balai Latihan
kerja (BLK) ternyata belum mampu menampung para pencari kerja,

97
apalagi sarana dan prasarananya juga sangat minim. Untuk
menyediakan tenaga kerja siap pakai, BLK sebagai representasi
pemerintah harus memiliki political will di antaranya dengan
mengaktualisasikan diri dengan perkembangan global melalui
kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga
lain. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap hak-
hak penduduk untuk memperoleh pekerjaan dan dalam rangka
mendayagunakan jumlah penduduk yang besar sebagai modal
pembangunan yang potensial dan produkstif.

5) Penyempurnaan sistem informasi ketenagakerjaan

Salah satu kelemahan manajemen ketenaga kerjaan di


Indonesia adalah lemahnya sistem informasi ketenagakerjaan (SIK).
SIK dapat menyajikan peta ketenagakerjaan. Peta tersebut dapat
memberikan informasi berapa jumlah pencari kerja, klasifikasi
ketrampilan/spesialisasi, lapangan kerja apa saja yang tersedia atau
potensial, di mana, berapa persentase yang dapat terserap tiap
periode tertentu, bagaimana tingkat kesejahteraan, dan lain-lain.
Adanya SIK ini bermanfaat bagi pemerintah dan tenaga kerja sendiri.
Pemerintah akan dengan mudah membuat perencanaan, pemantauan,
dan evaluasi. Sedangkan bagi tenaga kerja sendiri dapat memudahkan
dalam pencarian peluang sesuai dengan kemampuan dirinya.

Dengan adanya SIK ini, kasus pengusiran tenaga kerja


Indonesia sebagaimana di Malaysia tidak akan terjadi, karena para
pencari tenaga kerja akan lebih memanfaatkan informasi resmi dan
menjadi tenaga kerja secara resmi pula. Selama ini yang terjadi para

98
pencari kerja tidak tahu harus kemana mencari informasi kerja,
sehingga akhirnya mereka mencari dan menempuhnya dengan cara
sendiri-sendiri. Akibatnya ribuan di antara para tenaga kerja ini menjadi
korban para calo kerja ilegal.

6) Perbaikan perencanaan dan evaluasi tenaga kerja

Perencanaan tenaga kerja mempunyai keterkaitan denagn SIK.


Perencanaan yang baik harus disertai data-data yang akurat disertai
dengan perhitungan yang matang. Perencanaan tenaga kerja
bermanfaat untuk menghindari adanya ketidakseimbangan komposisi
jenis tenaga kerja dengan jenis peluang kerja. Suatu contoh, peluang
kerja yang tersedia secara luas ada pada sektor kelautan tetapi yang
terbina justru tenaga kerja sektor pertukangan atau sebaliknya. Hal
penting yag harus dilakukan dalam perencanaan adalah adanya
keseimbangan antara pertumbuhan tenaga kerja dengan
pertumbuhan peluang kerja sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki.
Dari apa yang telah direncanakan hasilnya dievaluasi untuk perbaikan
pembuatan perencanaan berikutnya secara bertahap dan
berkesinambungan.

7) Pemanfaatan pasar kerja di luar negeri

Pasar kerja luar negeri merupakan peluang emas bagi


penyaluran tenaga kerja. Kesempatan tersebut muncul akibat
dibukanya isolasi dari berbagai negara, meleburnya batas-batas formal
suatu negara, dan perbedaan karakteristik tenaga kerja. Hanya saja,
tenaga kerja Indonesia (TKI) tidak siap untuk memasukinya. Para TKI
hanya dapat memasuki bidang-bidang yang telah ditinggalkan oleh

99
tenaga kerja setempat. Menurut laporan Ditjen Binapenta (2000)
tercatat TKI yang bekerja di luar negeri sebanyak 457.876 orang.
Peluang kerja yang dapat dimasuki oleh sebagian besar mereka hanya
pada sektor domestik sebagai tenaga kasar, misalnya pembantu rumah
tangga (PRT), bidang konstruksi bangunan, dan sektor pertanian.

6.3. Penutup

Dengan ketujuh langkah tersebut diharapkan tenaga kerja


Indonesia mempunyai daya saing yang kuat dalam dunia kerja baik pada
pasar lokal maupun pasar global. Hanya yang perlu diperhatikan adalah
jangan sampai maksud baik memberdayakan SDM, tetapi dalam
penanganannya kurang memperhatikan aspek kemanusiaannya.
Dengan demikian tidak akan terjadi eksploitasi tenaga manusia, apalagi
manusia terseret arus globalisasi kapitalis yang mereduksi nilai-nilai
kemanusiaan (dehumanisasi). Dari uraian di atas tampak sekali bahwa
untuk bermain pada arena global manusia Indonesia (TKI) belum siap,
baik kesiapan aspek kualitas sumber daya manusia maupun
kelengkapannya. Untuk itu ketujuh langkah yang telah penulis uraikan
menjadi prasyarat mutlak untuk memberdayakan manusia Indonesia,
khususnya tenaga kerja.

100
DAFTAR REFERENSI

Ananta, Aris. 1995. Ruang Lingkup Ekonomi Sumber Daya Manusia.


Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI-Pusat Antar
Universitas Bidang Ekonomi
Arsyad. 2004. Pembangunan ekonomi daerah Ed. 4, BP STIE YKPN.,
Yogyakarta.
Bontis, N, William Chua Chong Keow dan Stanley Richardson. 2000.
“Intellectual Capital dan Business Performance in Malaysian
Industries”. Journal of Intellectual Capital. Vol 1, No3, 85-100.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Keadaan Pekerja di Indonesia:
Agustus 2013, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Cohen dan Brand. 1995. konsep total quality management (TQM)
Universitas Harvard (The Association for Public Policy Analyisis
and Management of Harvard University.
Devey, KJ. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah, Terjemahan
Amanullah. Jakarta, UI-Press.
Dewan Riset Nasional dan Bakosurtanal. 1990. Pedoman Umum
Penyusunan Sumber Daya Alam. Jakarta.
Ditjen Otda Depdagri. 2002. Upaya Mengoptimalkan Otonomi Daerah.
Jurnal Otonomi Daerah 2 (4).
Douglas Holmes and Nicholas Brealey. 2001. eGov : e-Business
Strategies for Government, USA.
Hayami, Yujiro. 1988. “Asian Development: A View from the Paddy
Fields”, Asian Development Review, 6(1): 50-63.
Hopson, B & Scally, M. 1981. Life Skills Teaching; New York, Mc. Graw
Hill http://disnaker.malangkab.go.id/index; diakses tanggal 25
Juli 2017
ILO. 2013. Laporan Tren Pekerjaan Global 2013: Pemulihan dari
penurunan pekerjaan kedua, Organisasi Perburuhan
Internasional, Jenewa

101
Indro Warsito. 2010. Litbang Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Jakarta.
Manning, Chris. 1987. Penyerapan Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa:
Pelajaran Revolusi Hijau dan Bonanza Minyak, dan Prospeknya di
Masa Depan. Jakarta.
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomo 4 Tahun 2016 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Sukabumi Tahun 2016-2021.
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 13 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan JangkaPanjang Daerah Kabupaten
Sukabumi tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten
Sukabumi Tahun 2009 Nomor 13)
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2013 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2007
tentang Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan
Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Produktivitas Nasional
Saefullah, A. Djadja. 2002. Socio-Cultural Impacts of Out Movement on
Village of Origin. Jurnal Kependudukan 4(2): 105-120.
Satori, Djam’an dan Udin, S. Saud. 2003. Implementasi Program “Life
Skills”dan “Broad – Based Education” Sebagai Strategi
Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal
Adpen UPI.
Seminar Strategi Pembangunan Pedesaan. 1987. Yogyakarta, 1-3
Oktober 1987.
Setiawan, Nugraha. 2016. Struktur Ketenagakerjaan dan Partisipasi
Angkatan Kerja di Pedesaan Indonesia. Fakultas Peternakan,
Universitas Padjajaran. Bandung.
Setiawan, Nugraha. 2008. Profil Kependudukan Propinsi Jawa Barat
2007. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan.

102
Sigit, Hananto. 2000. Employment Data in Indonesia: A Review of
Existing Sources,Statistical Assistance to the Governmen t of
Indonesia (STAT) Project USAID Contract No. PCE-I-00-99-00009-
00
Silitonga, NSS. 2010. Evaluasi Program Pendidikan Life Skill Binaan Pusat
Penelitian dan Perlindungan Anak di Desa Madula Kota Gunung
Sitoli, FISIP, Universitas Sumatera Utara
Simanjuntak, Payman. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia.
Jakarta; Lembaga Penerbit FE-UI
Simanjutak,Payaman,J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia
Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Soeroto. 1992. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Tenaga Kerja.
Yogyakarta : Gajah Mada University Pers.
Sonny Harry B. Harmadi. 2010. Pembangunan Daerah penerbit Elex
Media Komputindo, Gramedia.
Sugarda, Budi. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta :
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI-Pusat Antar
Universitas Bidang Ekonomi UI
Sumarsono, Sonny. 2003. Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia
Ketenagakerjaan. Jember : Graha Ilmu.
Tadjoeddin, Z. 2013. Upah, produktivitas, dan evolusi ketidaksetaraan
di Indonesia: Studi
kasus di sektor manufaktur, Kantor ILO untuk Indonesia dan
Timor-Leste, Jakarta.
TIM BBE. 2002. Konsep Pendidikan Berorientasi Life Skill Melalui Broad
Based Education (BBE), Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta
Tjitoherijanto, Prijono. 1999. Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Fakultas Ekonomi Eniversitas Indonesia
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi
Ketujuh Terjemahan Haris Munandar. Jakarta: Penerbit
Erlangga
UU No 32 Tahun 2004 tentang penerapan Otonomi daerah dalam

103
pertumbuhan ekonomi.
UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
UU No.5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah.
UU Republik Indonesia nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Penjelasannya.
Winaya, I Gusti Ketut. 2006. Profil Tenaga Kerja Menuju Pasar Global,
Jakarta.
World Bank. 2013. Indonesia Economic Quarterly: Continuing
adjustment - October 2013. World bank, Jakarta.
Zain, Harun. 1994. Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia. Jakarta :
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

104

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai