MAKALAH
Oleh :
HANAH NADIA
17 01 01 180
KELAS D
DOSEN PENGAJAR :
PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan segala Karunia dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pengetahuan bagi pembaca. Penulis akui Makalah ini mungkin masih jauh dari sempurna,
sehingga penulis mohon maaf apabila ada kesalahan baik dalam kata-kata maupun dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu diharapkan bagi pembaca untuk memberi masukan yang
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Pembuatan dan formula suspensi kering.
2. Mengamati Metode pembuatan granul, konsentrasi bahan pembasah/pensuspensi
terhadap karakteristik fisik suspensi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 KOMPONEN
1. Zat aktif
Zat aktif dengan kelarutan yang relatif kecil di dalam fasa pendispersi. Sifat
partikel yang harus diperhatikan adalah ukuran partikel dan sifat permukaan
padat-cair (hidrofob/hidrofil).
2. Bahan pensuspensi
Bahan ini digunakan untuk memodifikasi viskositas dan menstabilkan zat yang
tidak larut dalam medium pendispersi. Bahan pensuspensi yang digunakan harus
mudah terdispersi dan mengembang dengan pengocokan secara manual selama
rekonstitusi. Zat pensuspensi yang membutuhkan hidrasi, suhu tinggi atau
pengadukan dengan kecepatan tinggi untuk pengembangannya tidak dapat
digunakan, misalnya agar, karbomer, meilselulosa. Walaupun metilselulosa dan
Al Mg silikat tidak dianjurkan digunakan, tetapi ternyata baik sekali untuk
formula cephalexin dan eritromisin etil suksinat. Tragakan akan menghasilkan
campuran yang kental dan digunakan untuk mensuspensikan partikel yang tebal.
Alginat akan menghasilkan campuran yang kental. Iota karagenan akan
menghasilkan dispersi tiksotropik. Tetapi, kelemahan penggunaan ketiga zat
tersebut yang merupakan gum alam adalah terjadinya variasi atau perbedaam
dalam warna, kekentalan, kekuatan gel, dan kecepatan hidrasi.
3. Pemanis
Obat umumnya pahit dan rasanya tidak enak. Untuk mengatasi hal ini sukrosa
selain digunakan sebagai pemanis, berperan pula sebagai peningkat viskositas dan
pengencer padat. Sukrosa dapat pula dihaluskan untuk meningkatkan luas
permukaan dan dapat pula digunakan sebagai pembawa untuk komponen yang
berbentuk cair misalnya minyak atsiri. Pemanis lain yang dapat digunakan:
manitol, aspartam, dekstrosa, dan Na sakarin. Aspartam cukup stabil tetapi tidak
tahan panas.
4. Wetting agent
Wetting agent ini dipakai jika zat aktif bersifat hidrofob. Zat yang hidrofob
menolak air, untuk mempermudah pembasahan ditambahkan wetting agent.
Wetting agent ini harus efektif pada konsentrasi kecil. Wetting agent yang
berlebihan akan mengakibatkan pembentukan busa dan rasa yang tidak
menyenangkan. Yang lazim digunakan adalah Tween 80, non ionik, kebanyakan
kompatibel dengan eksipien kationik dan anionik dari obat. Konsentrasi yang
biasa digunakan adalah <0,1%. Zat lain yang lazim digunakan adalah Na lauril
sulfat, anionik, inkompatibel dengan obat kationik.
5. Dapar
Untuk mencapai pH yang optimum dari semua bahan yang ditambahkan. Untuk
mengatur stabilitas dan menjaga agar obat tetap berada dalam keadaan tidak larut.
Dapar yang lazim digunakan adalah dapar sitrat
6. Pengawet
Pengawet untuk suspensi rekonstitusi terbatas karena kelarutannya rendah pada
suhu kamar. Sukrosa pada konsentrasi 60% w/w dapat mencegah pertumbuhan
mikroba. Pengawet yang umum digunakan adalah sukrosa, kalium sorbat, natrium
benzoat, natrium metil hidroksibenzoat. Natrium benzoat cukup efektif dalam pH
asam dimana molekul tidak mengalami ionisasi. Diperlukan untuk mencegah
pertumbuhan mikroba, tidak dianjurkan pemakaian asam sorbat dan senayawa
paraben.
7. Flavor
Digunakan secukupnya untuk meningkatkan penerimaan pasien penting sekali
untuk anakanak. Harus dilihat peraturan Menkes terutama zat yang boleh
digunakan.
8. Pewarna
Pewarna digunakan untuk meningkatkan estetika. Penggunaan pewarna ini harus
diperhatikan, karena dapat terjadi inkompatibilitas dengan zat lain karena faktor
ionik, misalnya FD&C Red No.3 yang merupakan garam dinatrium, merupakan
senyawa anionik dan inkompatibel dengan wetting agent kationik.
9. Anti caking
Digunakan amorphous silica gel. Masalah umum yang terjadi dalam pencampuran
serbuk adalah aliran yang jelek dan caking, karena terjadi aglomerasi akibat
lembab. Sebagai pengering, bahan ini dapat menarik kelembaban dari campuran
serbuk kering untuk mempermudah aliran serbuk dan mencegah caking. Selain itu
zat ini akan memisahkan partikel tetap kering untuk mencegah penyatuan, juga
berfungsi sebagai isolator termal, menghalangi dan mengisolasi kondisi muatan
dan secara kimia bersifat inert.
2.9 FARMAKOLOGI
1. Farmakodinamika
Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentral seperti pada salisilat. Efek antiinflamasi nya sangat lemah, oleh karena itu
paracetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai anti-reumatik. Paracetamol
merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan
lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan
2. Farmakokinetika
a. Absorpsi
Amoxicillin hampir lengkap diabsorbsi sehingga konsekuensinya
amoxicillin tidak cocok untuk pengobatan shigella atau enteritis karena
salmonella, karena kadar efektif secara terapetik tidak mencapai
organisme dalam celah intestinal (McEvoy and Gerald, 2002).
Amoxicillin stabil pada asam lambung dan terabsorpsi 74-92% di
saluran pencernaan pada penggunaan dosis tunggal secara oral. Nilai
puncak konsentrasi serum dan AUC meningkat sebanding dengan
meningkatnya dosis. Efek terapi Amoxicillin akan tercapai setelah 1-2
jam setelah pemberian per oral. Meskipun adanya makanan di saluran
pencernaan dilaporkan dapat menurunkan dan menunda tercapainya
nilai puncak konsentrasi serum amoxicillin, namun hal tersebut tidak
berpengaruh pada jumlah total obat yang diabsorpsi (McEvoy and
Gerald, 2002).
b. Distribusi
Distribusi obat bebas ke seluruh tubuh baik. Amoxicillin dapat
melewati sawar plasenta, tetapi tidak satupun menimbulkan efek
teratogenik. Namun demikian, penetrasinya ke tempat tertentu seperti
tulang atau cairan serebrospinalis tidak cukup untuk terapi kecuali di
daerah tersebut terjadi inflamasi. Selama fase akut (hari pertama),
meningen terinflamasi lebih permeable terhadap amoxicillin, yang
menyebabkan peningkatan rasio sejumlah obat dalam susunan saraf
pusat dibandingkan rasionya dalam serum. Bila infefksi mereda,
inflamasi menurun maka permeabilitas sawar terbentuk kembali
(Mycek et al., 2001).
c. Eliminasi
Jalan utama eliminasi melalui system sekresi asam organik (tubulus) di
ginjal, sama seperti melalui filtrat glomerulus. Penderita dengan
gangguan fungsi ginjal, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan
(Mycek et al., 2001).
2.10 PERINGATAN
Meskipun belum ada penelitian mengenai pemberian amoxicillin pada ibu
hamil, penggunaan amoxicillin ternyata tidak berpengaruh terhadap perkembangan
janin. Amoxicillin pada ibu hamil diberikan jika benar-benar diperlukan saja. Karena
amoxicillin terdistribusi pada ASI sehingga menyebabkan reaksi sensitivitas pada
bayi. Dengan demikian penggunaan amoxicillin tidak dianjurkan pada ibu menyusui
(McEvoy and Gerald, 2002).
Hati-hati pada pasien dengan kelainan Phenylketonuria (defisiensi genetic
homozigot dari Phenylalanin hidroksilase) dan kelainan lain yang intake Phenylalanin
dalam tubuh perlu dibatasi. Formula amoxicillin dengan rute per oral yang
mengandung aspartam akan di metabolisme di dalam saluran pencernaan menjadi
phenylalanine. Sehingga formulasi serbuk amoxicillin untuk suspensi oral tidak
seharusnya menggunakan aspartam. Selain itu juga perlu diwaspadai penggunaan
pada penderita mononukleosis. (McEvoy and Gerald, 2002).
Berdasarkan undang–undang mengenai obat dan makanan, amoxicillin
tergolong dalam golongan obat keras. Obat keras hanya dapat dapat diperoleh dengan
resep dokter di apotek, apotek RS, puskesmas, dan balai pengobatan. Tanda khusus
untuk obat keras yaitu lingkaran berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam
dengan huruf K yang menyentuh garis tepi. Selain itu pada obat keras wajib
mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter”.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Sirup adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sakarosa. Kecuali
dinyatakan lain, kadar sakarosa, C12H22O11, tidak kurang dari 64,0% dan tidak lebih
dari 66,0%. Pembuatan kecuali dinyatakan lain, sirop dibuat sebgai berikut: buat
cairan untuk sirop, panaskan, tambahkan gula, jika perlu didihkan hingga larut.
Tambahkan air mendidih secukupnya hingga diperoleh bobot yang dikehendaki,
buang busa yang terjadi, serkai. (FI ed III hal. 31).
Pembuatan dry sirup ada tiga metode yaitu metode serbuk Formulasi berupa
campuran serbuk merupakan cara yang paling mudah dan sederhana. Proses
pencampuran dilakukan secara bertahap apabila ada bahan berkhasiat dalam
komponen yang berada dalam jumlah kecil. Penting untuk diperhatikan, alat
pencampur untuk mendapatkan campuran yang homogen. Metode granulasi
Pembuatan dengan cara digranulasi terutama ditujukan untuk memperbaiki sifat aliran
serbuk dan pengisian dan mengurangi volume sediaan yang voluminous dalam wadah.
Dengan cara granulasi ini, zat aktif dan bahan-bahan lain dalam keadaan kering
dicampur sebelum diinkorporasi atau disuspensikan dalam cairan penggranulasi.
Granulasi dilakukan dengan menggunakan air atau larutan pengikat dalam air. Dapat
juga digunakan pelarut non-air untuk bahan berkhasiat yang terurai dengan adanya air
Dan metode campuran (serbuk dan granulasi) Pada cara ini komponen yang peka
terhadap panas seperti zat aktif yang tidak stabil terhadap panas atau flavor dapat
ditambahkan sesudah pengeringan granul untuk mencegah pengaruh panas. Pada
tahap awal dibuat granul dari beberapa komponen, kemudian dicampur dengan serbuk
(fines).
Keuntungan Produk berbentuk granul, tampilan, karakteristik aliran kurang
pemisahan, debu, Campuran serbuk dan granul mengurangi biaya penggunaan
komponen peka panas, Baik untuk pasien yang sulit menelan, Campuran serbuk lebih
ekonomis, resiko ketidakstabilannya rendah, Sediaan suspensi kering lebih ringan
sehingga lebih menguntungkan dalam pendistribusian. Kerugian Masalah campuran,
pemisahan serbuk dan kehilangan obat, Campuran serbuk dan granul menjamin tidak
ada pemisahan campuran granul dan non-granul, Biaya produk berbentuk granul, efek
panas dan cairan, penggranulasi pada obat dan eksipien, Setelah dilarutkan 7–12 hari,
harus dibuang walaupun masih bersisa karena terdapat bahan obat yang tidak stabil
dalam larutan berair, misalnya antibiotik. Sirup kering biasanya diresepkan untuk
habis sebelum 7–12 hari, Harus menjelaskan dengan rinci cara pemberian sediaan
kepada pasien.
3.2 SARAN
Meskipun penyusun menginginkan kesempurnaan dalam penyu-sunan
makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penyusun
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan ynag penyusun miliki.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penyusun
harapkan untuk perbaikan kedepannya
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1987, Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik , cetakan ke-9, 168-171, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Ansel. H.C., 1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi (edisi IV). Penerjemah : Farida
Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar
2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.
Ofner, C.M. III., Roger, L.S., dan Joseph, B.S. 1989. Reconstitutable Suspensions. In
Lieberman. Pharmaceutical Dosage From : Disperse System (volume 2). New
York : Marcel Dekker.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234, 239,
Airlangga University Press, Surabaya.