Tak ada ungkapan yang paling mulia di muka bumi dari seorang hamba kecuali rasa syukur yang
dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa memberikan segala nikmat dan rahmatNya
sehingga kita semua masih diberikan kesempatan untuk menikmati setiap nikmat yang diberikanNya.
Shalawat beriring salam juga tak lupa akan kita haturkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita ke jaman penuh rahmat dan barokah.
Hadirin sekalian yang berbahagia.
Jujur, bagi sorang muslim merupakan salah satu tolak ukur tingkat keimanan yang dimiliki. Semakin kuat
keimanan seseorang maka akan semakin jujur pulalah orang tersebut. sehingga bukan hal yang aneh jika
kemudian sikap jujur merupakan salah satu nilai harga diri kita. bahkan apapun jabatan kita di dalam
masyarakat kita, bisa membuat derajat dan harga diri kita naik hanya karena kita memiliki sifa jujur, dan
sebaliknya, meski pun kita menjadi seseorang dengan jabatan yang tinggi di dalam masyarakat kita,
namun jika kita telah dicap sebagai orang yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran, maka jangan
harap masyarakat akan memuliakan anda semulia jabatan yang dimiliki.
Kejujuran merupakan salah satu modal pokok dari setiap amal perbuatan yang kita perbuat. Bahkan
betapa pentingnya sifat jujur ini membuat Allah memerintahkan hambaNya untuk berkata jujur. Hal
tersebut telah secara jelas tertulis dalam firmanNya yaitu dalam QS AL Ahzab ayat 70 yang berbunyi :
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar"
Melihat Firman tersebut tentunya bukan hal yang berlebihan jika kemudian kita menempatkan sifat
jujur sebagai tiang agama, pokok rasa kemanusiaan manusia dan juga dijadikan sebagai sendi akhlak
yang utama. Dan bahkan tanpa adanya kejujuran maka sebuah agama bisa roboh dan akhlak pun tak
alan pernah sempurna. Dalam sebuah hadist disebutkan :
Rasulullah Saw bersabda “Tetap berpegang eratlah dalam kejujuran, walau kamu seakan akan melihat
kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa didalam kejujuran itu terdapat
keselamatan” (Hr. Abu Dunia).
Untuk itu, dalam momentum pagi hari ini, maka saya mengajak kepada diri saya sendiri pada khususnya,
dan juga para hadirin semuanya. Marilah kita senantiasa menjungjung tinggi nilai kejujuran dalam
kehidupan ini. jadikan kejujuran sebagai landasan kehidupan kita. dengan cara ini, maka secara tidak
langsung kita telah berusaha untuk menciptakan suatu masyarakat yang dinamis dalam rangka menuju
negara yang Baldatun Toyyibatun Warobun Ghofur.
Nampaknya hanya sekian saja pidato singkat yang dapat saya sampaikan, kurang dan lebihnya saya
mohon maaf.
Akhirul Kalam.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah.
"Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada satu orang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu
daripada unta merah" [HR. Bukhari]
Ilmu umum yang diajarkan kepada orang lain juga merupakan bentuk kemanfaatan tersendiri. Terlebih
jika dengan ilmu itu orang lain mendapatkan life skill (keterampilan hidup), lalu dengan life skill itu ia
mendapatkan nafkah untuk sarana ibadah dan menafkahi keluarganya, lalu nafkah itu juga anaknya bisa
sekolah, dari sekolahnya si anak bisa bekerja, menghidupi keluarganya, dan seterusnya, maka ilmu itu
menjadi pahala jariyah baginya.
"Jika seseorang meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu
yang manfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya" [HR. Muslim]
Ilmu yang bermanfaat dalam hadits di atas bukan sekedar ilmu agama, tetapi juga bisa ilmu umum
seperti contoh di atas.
2. Materi (Harta/Kekayaan)
Manusia juga bisa memberikan manfaat kepada sesamanya dengan harta/kekayaan yang ia punya.
Bentuknya bisa bermacam-macam. Secara umum mengeluarkan harta di jalan Allah itu disebut infaq.
Infaq yang wajib adalah zakat. Dan yang sunnah biasa disebut shodaqah. Memberikan kemanfaatan
harta juga bisa dengan pemberian hadiah kepada orang lain. Tentu, yang nilai kemanfaatannya lebih
besar adalah yang pemberian kepada orang yang paling membutuhkan. "Setiap mukmin wajib
bershodaqah" [HR. Bukhari]
3. Tenaga/Keahlian
Bentuk kemanfaatan berikutnya adalah tenaga. Manusia bisa memberikan kemanfaatan kepada orang
lain dengan tenaga yang ia miliki. Misalnya jika ada perbaikan jalan kampung, kita bias memberikan
kemanfaatan dengan ikut bergotong royong. Ketika ada pembangunan masjid kita bias membantu
dengan tenaga kita juga. Saat ada tetangga yang kesulitan dengan masalah kelistrikan sementara kita
memiliki keahlian dalam hal itu, kita juga bisa membantunya dan memberikan kemanfaatan dengan
keahlian kita.
4. Waktu/perhatian
Adakalanya kemanfaatan yang diperlukan seseorang bukan lagi masalah harta atau keahlian tertentu,
tetapi ia butuh teman atau orang yang mau memperhatikannya. Ini bisa terjadi pada orang tua
(kakek/nenek) yang tidak memiliki famili. Meskipun ia kaya raya dan secara materi tercukupi tetapi ia
membutuhkan perhatian orang lain. Bisa juga seorang sahabat yang sedang ditimpa musibah, sering kali
ia membutuhkan perhatian dan waktu kita lebih dari materi apapun.
5. Sikap yang baik
Sikap yang baik kepada sesama juga termasuk kemanfaatan. Baik kemanfaatan itu terasa langsung
ataupun tidak langsung. Maka Rasulullah SAW memasukkan senyum kepada orang lain sebagai
shadaqah karena mengandung unsur kemanfaatan. Dengan senyum dan sikap baik kita, kita telah
mendukung terciptanya lingkungan yang baik dan kondusif. Kita juga telah memperkuat jiwa orang lain;
baik disadari atau tidak. Maka hadits pada poin 2 di atas ada kelanjutannya sebagai berikut :
Semakin banyak seseorang memberikan kelima hal di atas kepada orang lain -tentunya orang yang
tepat- maka semakin tinggi tingkat kemanfaatannya bagi orang lain. Semakin tinggi kemanfaatan
seseorang kepada orang lain, maka ia semakin tinggi posisinya sebagai manusia menuju "manusia
terbaik".
Selain disebutkan Rasulullah sebagai manusia terbaik, orang yang bermanfaat bagi orang lain juga
disebutkan dalam hadits sebagai orang yang dicintai oleh Allah. Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syafii, berkata kepada kami Al-Qasim bin Hasyim As-Samsar, ia
berkata : telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Qais Adl-Dlibbi, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Sukain bin Siraj, berkata kepada kami Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar bahwa
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, maka ia bertanya: "Ya
Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? Dan apakah amal yang paling dicintai Allah azza wa
jalla?" Rasulullah SAW bersabda : "Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat
bagi orang lain..." [HR. Thabrani dalam Mu'jam Al-Kabir li Ath-Thabrani juz 11 hlm.84]
Pada hadits di atas ada perawi Sukain bin Siraj. Al-Haitsami menilainya sebagai perawi dhaif, Ibnu
Hibban juga menilai Sukain bin Siraj dhaif, bahkan Imam Bukhari menilai sebagai mukarul hadits.
Meskipun hadits ini dhaif, tetapi ia ada dalam banyak riwayat. Sehingga bisa dijadikan
penguat/pendukung bagi hadits hasan yang kita bahas di atas. Hadits lain yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
Dari Ibnu Umar ia berkata : Seseorang bertanya : "Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau
cintai?" Rasulullah menjawab: "Yang paling bermanfaat bagi sesama manusia" [Jamii'ul ahaadits juz 36
hlm.422]
"Orang yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah yang paling bermanfaat bagi sesama
manusia" [Majmu'ad Az-Zawaaid wa Manii'u Al-Fawaaid juz 8 hlm.121]
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah
dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah
orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). Hadits ini
dishahihkan oleh al Albani didalam “ash Shahihah” nya.
Sudahkah kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dan Seberapa manfaatkah diri
kita saat ini bagi orang lain di sekeliling kita? Mungkin itulah pertanyaan yang seharusnya
menjadi pengisi benak kita setiap hari, agar menjadikan kita memiliki motivasi lebih dari hari ke
hari untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan menjadi pribadi yang menjadi paling baik
yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain seperti disebutkan Rosululloh dalam
hadits diatas. Jikalau diibaratkan sebagai suatu benda, semakin tinggi nilai manfaat benda
tersebut maka semakin berharga untuk kita miliki dan kita akan merasa sangat kehilangan jika
benda itu hilang dari kita, begitu juga dengan manusia, semakin tinggi nilai manfaat dirinya bagi
orang lain maka akan semakin bernilai dirinya dihadapan manusia yang lain, jangan sampai
adanya kita di dalam keluarga atau dalam hidup bermasyarakat tidak mempunyai nilai apa-apa
sehingga ketika kita meninggal mereka tidak merasa kehilangan kita. Dan manusia dengan
anugerah akal dari Alloh Azza wa jalla masih terus dan selalu mempunyai kesempatan serta
waktu untuk meninggikan nilai manfaatnya bagi manusia yang lain entah itu dalam lingkup yang
paling kecil yaitu dalam sebuah keluarga sampai lingkup yang besar yaitu ummat, bangsa dan
negara.
-terinspirasi oleh perkataan seorang Direktur baru pada saat Ceramah Pengarahan beliau
kepadaku dan teman yang lain-