Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PJOK

“HIV / AIDS”

Disusun oleh :

Nama : Ais Fernandes Sembor

Kelas : XI IPA 10
Tokoh Pahlawan Sebelum Abad XX

1. Sultan Mahmud Badaruddin II

Riwayat Hidup :

Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang, 1767 - Ternate, 26 September 1852) adalah pemimpin
kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa
pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi
Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. 

Semenjak ditunjuk menjadi Sultan Kerajaan Palembang menggantikan ayahnya Sultan Muhammad
Baha'uddin, Sultan Mahmud Badaruddin melakukan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan
Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Ketika Batavia berhasil diduduki pada tahun
1811, Sultan Mahmud justru berhasil membebaskan Palembang dari cengkeraman Belanda pada
tanggal 14 Mei 1811.

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi
incaran Britania dan Belanda. Demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai
Palembang.

Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di
Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan
Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin
II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, Sultan Mahmud Badaruddin II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan


bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada
niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di
mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Melalui perjuangan panjang dalam membebaskan tanah Palembang dari tangan Belanda, namun
akhirnya pada tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda.

Pada Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan mahmud badarudin II beserta
keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia sultan mahmud badarudin
II dan keluarganya diasingkan ke Ternate oleh belanda dan sampai akhir hayatnya 26 September
1852.

Sebagian Keluarga Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan
yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di
Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan
Panglima Radja Batu Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama 35 tahun
tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / Sultan
Mahmud Badaruddin II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).

Oleh pemerintah, Sultan Mahmud Badaruddin II dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 29
Oktober 1984 melalui  SK Presiden RI No 063/TK/1984.

Nama Sultan Mahmud Badaruddin II  yang meninggal pada 26 September 1852 kini diabadikan
sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata
uang rupiah pecahan 10.000 rupiah yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober
2005.

2. Pangeran Diponegoro
Riwayat Hidup :

Pangeran Diponegoro memiliki nama asli B.R.M Antawirya, lahir di lingkungan keraton
Ngayogyakarta pada tanggal 17 November 1785. Kontribusinya dalam pegerakan melawan penjajah
di era Hindia-Belanda, membuatnya dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia. Banyak orang
yang tidak tahu bahwa ternyata ia adalah anak tertua dari raja Jogja, Sultan Hamengkubuwono ke-3.
Mungkin ini terjadi karena Pangdip adalah anak dari selir, bukan sang ratu. Ibunya bernama R.A
Mangkarawati yang berdarah Pacitan, Jawa Timur.

Bendara Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama Bendara Raden
Mas Antawirya, ketika ia masih kecil hingga remaja. Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta, hingga
sebelum akhirnya memulai ikut perjuangan melawan penjajah. Kemuliaan dan ketinggian akhlak
Pangeran Diponegoro membuat ayahnya sang raja jadi kagum dan berniat menyerahkan takhtanya
padanya. Namun pangeran menolak karena ia menyadari bahwa keputusan raja ini tidak tepat, sebab
ia hanyalah anak selir, bukan permaisuri ratu. Jika ia naik takhta, tentu akan menciptakan iklim
kontestasi politikyang panas di lingkungan keraton, di antara anak-anak dan keluarga besar.

Pangeran Diponegoro setidaknya pernah menikah hingga 9 kali disemasa hidupnya. Dari sembilan
istri ini, ia memperoleh 12 putra dan 10 putri. Sejarah menyatakan bahwa meskipun ia adalah
pangeran, namun selalu menolak tinggal di dalam kompleks keraton maupun perumahan bangsawan.
Ia malah memilih tinggal di kampung halaman eyang buyut putrinya, sang permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwono ke-1. Kampung halaman ini dinamakan Tegalrejo, namun konsepsi mengenai
Tegalrejo sangat filosofis, bahwa yang dimaksud dengan Tegalrejo adalah kawasan pedesaan. Jadi
tidak spesifik menyebutkan lokasinya di mana. Namun di masa lalu, desa Tegalrejo lokasinya di Jawa
Tengah.

Sepanjang gerilyanya sebagai pahlawan perang, Diponegoro dianggap telah membangkitkan


semangat kebangkitan perlawanan orang-orang di desa. Karena ia memang tinggalnya selalu di desa.
Perang Diponegoro tercetus pada tahun 1825-1830. Penyebab tercetusnya Perang Diponegoro adalah
karena ia menolak Belanda melakukan kaplingisasi alias pematokan tanah di desa Tegalrejo secara
paksa. Selain itu juga diberlakukannya pajak yang sangat besar, padahal tanah yang dipijak adalah
tanah nenek moyangnya sendiri.

Tidak hanya berjuang sendirian, sejarah Pangeran Diponegoro juga menyebutkan bahwa langkahnya
didukung di tingkat grassroot (akar rumput) serta elite politik (lingkungan kerajaan). Setidaknya ia
mendapatkan dukungan besar dari Mangkubumi, pamannya. Tapi tragedi Perang Diponegoro yang
berdara-darah ini seakan-akan menjadi tragedi genosida, sebab perang ini menimbulkan korban jiwa
lebih dari 200.000 orang Jawa mati, beberapa ribu pasukan di pihak lawan yaitu tentara Belanda
berdarah Eropa.

Bisa dibilang memang pihak dari Kasunanan Surakarta yang mendukung langkahnya, sedangkan
pihak monarki Jogja sebagai keluarga intinya sendiri malah terkesan mengecap pangdip sebagai
pemberontak. Labelling pemberontak ini melekat tidak hanya pada diri Pangeran Diponegoro, tapi
juga seluruh trah keturunannya. Pangdip dan keturunannya, semenjak perang ini tercetus, dilarang
masuk lagi ke lingkungan keraton. Bahkan perang usai pun, seluruh trahnya tidak diperkenankan
masuk ke keraton, tidak dianggap lagi.

Baru pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX, status pemberontak ini dicabut, sehingga seluruh
cucu-cicitnya kembali dianggap sebagai bagian dari keraton Yogyakarta. Mereka bisa mengurus
berkas-berkas silsilah keluarga yang mungkin saja akan memberikan kebanggaan dan kedamaian
tersendiri di hati mereka.

3. Jenderal Ahmad Yani

Riwayat Hidup :

Jenderal TNI Anumerta adalah komandan Tentara Nasional Indonesia yang lahir di Purworejo
provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 dan meninggal di Sejarah Lubang Buaya kota
Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 tepat pada umur 43 tahun karena dibunuh oleh anggota PKI
di peristiwa G30SPKI (Gerakan 30 September) ketika mencoba untuk menculik sang Jenderal dari
rumahnya. Menjadikan dia sebagai salah satu dari sepuluh pahlawan revolusi yang menjadi korban
keganasan komunisme.
Kelahiran Jenderal Ahmad Yani
Biografi Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Dia
merupakan anggota keluarga Wongsoredjo. Wongsoredjo ini mendapatkan penghasilan di pabrik gula
yang dikendalikan oleh pemilik Belanda. Tahun 1927, Yani kemudian pindah bersama keluarganya
menuju ke Batavia karena tempat kerja ayahnya yang kini bekerja untuk General Belanda. Pada tahun
1940 ketika perang dunia masih berkecamuk, Yani memutuskan untuk menjalani program wajib
militer di tentara Hindia Belanda. Dia mempelajari topografi militer di Kota Malang Provinsi Jawa
Timur.

Sayangnya pendidikannya harus terganggu ketika pasukan Jepang datang ke Indonesia pada tahun
1942. Di waktu yang sama, Yani sekeluarganya harus kembali lagi ke Jawa Tengah. Jepang pun
meraih kemenangan di Indonesia dan berhasil meruntuhkan Hindia Belanda. Pada tahun 1943, Yani
bergabung dengan satuan tentara bernama PETA yang disponsori Jepang dan latihan militernya
berada di Magelang. Setelah pelatihan ini selesai, Yani segera mengikuti pelatihan sebagai pemimpin
peleton PETA dan dipindahkan ke Bogor provinsi Jawa Barat. Setelah pelatihan selesai, Yani dikirim
lagi ke Magelang menjadi instruktur.

Pengalaman dan Prestasi Militer Ahmad Yani

Sesudah perang Kemerdekaan selesai, Yani bergabung tentara dan berperang melawan Belanda. Di
beberapa bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Yani menciptakan dan memimpin sebuah
batalion untuk menghadapi Inggris di Magelang. Dan Yani pun berhasil menghancurkan Inggris.
Tidak berhenti di situ, Yani juga berhasil mempertahankan Magelang ketika Belanda mencoba untuk
mengambil alih Magelang. Kepahlawanannya di Magelang ini membuat Yani mendapat julukan
Juruselamat Magelang.

Selain itu, karier Yani yang menonjol selama periode mempertahankan kemerdekaan ini adalah
melakukan serangan gerilya yang dikerahkan pada awal 1949. Serangan ini berguna unutk
mengalihkan perhatian Belanda agar mereka lengah. Selagi mereka lengah, Letnan Kolonel Soeharto
mempersiapkan pasukannya untuk Serangan Umum 1 Maret yang mengarah langsung pada
Yogyakarta. Peperangan terus berlangsung hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Setelah perang mempertahankan Indonesia selesai, Yani pindah ke Tegal provinsi Jawa Tengah. Yani
beraksi lagi pada tahun 1952 ketika dia dipercaya untuk menghadapi Darul Islam. Darul Islam adalah
pemberontak yang mencoba untuk mendirikan sistem pemerintahan teokrasi di Indonesia. Yani
membentuk satuan pasukan khusus yang bernama The Banteng Raiders. Banteng Raiders menghajar
Darul Islam selama 3 tahun ke depan dan terus menderita kekalahan satu demi satu. Perang melawan
Darul Islam selesai pada tahun 1955.
Setelah menyelesaikan kasus Darul Islam, Yani berangkat ke Amerika Serikat pada Desember 1955.
Dia harus belajar ilmu Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth di Kansas. Yani baru
kembali pada tahun 1956 dan dia dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. Di Markas
Besar ini, Yani menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Selain itu juga menjabat
sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk urusan Organisasi dan Kepegawaian.

Yani sangat gigih mempertahankan keutuhan negara yang baru lahir ini. Mulai dari ancaman dari luar
maupun dalam. Pada Agustus tahun 1958, dia meluncurkan Operasi 17 Agustus untuk menyelesaikan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak di Sumatra Barat. Pasukan Yani
berhasil menguasai kembali Bukittinggi dan Padang. Setelah misi berhasil jabatannya diangkat  pada
tanggal 1 September 1962 dia diangkat menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2. Baru pada tanggal
13 November 1963, Yani diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal
Nasution. Di masa itu, sistem pemerintahan sedikit berbeda dengan sekarang. Sehingga ketika
diangkat, Yani juga sekaligus menjadi anggota kabinet.

Peran Ahmad Yani Pada Peristiwa G 30 S PKI


Ketika masih berkuasa di awal tahun enam puluhan, gerakan politik Bung Karno cenderung lebih
condong ke Partai Komunis Indonesia atau biasa disebut PKI. Yani adalah orang yang sangat anti-
komunis dan tentunya Yani mulai waspada pada perkembangan PKI yang sangat pesat di waktu itu.
Kebenciannya terhadap komunis semakin bertambah ketika PKI memberikan dukungan untuk
membentuk angkatan kelima. Angkatan kelima adalah angkatan setelah tiga angkatan TNI dan polisi
yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Terlebih lagi Bung Karno, di sisi ideologi, mencoba untuk
memaksa ideologi Nasionalis-Agama-Komunis atau biasa disebut dengan Nasakom sebagai doktrin di
militer.
Yani bersama Nasution terus menunda ketika Bung Karno memerintahkan mereka untuk membuat
rencana angkatan kelima pada tanggal 31 Mei 1965. Yani di malam hari tanggal 30 September itu
menemui beberapa tokoh. Salah satunya adalah Jendral Basuki Rahmat yang merupakan komandan
divisi di provinsi Jawa Timur. Jendral Basuki Rahmat mengungkap laporan dan keprihatinan akan
adanya peningkatan aktivitas kaum komunis di Jawa Timur. Yani memuji laporan dari Jendral Basuki
Rahmat. Sambil mengakhiri pertemuan, Yani meminta agar Jendral Basuki Rahmat menemani dirinya
di pertemuan esok hari untuk membahas hal ini dengan presiden.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Sejarah PKI pun memulai aksinya. Gerakan 30 September dimulai
dan mendatangi rumah tujuh anggota staf umum Angkatan Darat untuk menculik mereka. Ahmad
Yani termasuk staf Angkatan Darat yang ada di daftar para penculik. PKI mengirim satu tim dari
sekitar dua ratus orang ke rumah Yani yang berada di Jalan Latuhahary No. 6 di daerah Menteng di
Jakarta Pusat. Yani memiliki sebelas tentara yang menjaga rumahnya. Istri Yani lalu memberitahu
bahwa seminggu yang lalu ada tambahan sebanyak enam orang ditugaskan kepadanya. Para tentara
ini di bawah pimpinan Kolonel Latief. Sepengetahuan Yani, Latief merupakan salah satu dari
beberapa komplotan utama dalam Gerakan 30 September.
Meskipun kabarnya sudah ada orang tambahnya, istri Yani berkata bahwa dia tidak melihat
kemunculan para tentara tambahan. Kondisi rumah cenderung sepi. Yani dan anak-anaknya sedang
tidur di rumah. Istri Yani tidak ada di rumah karena dia sedang ada pesta ulang tahunnya dengan para
teman dan kerabat. Istri Yani bercerita bahwa ketika dia keluar rumah di pukul 23.00, dia menangkap
ada seorang yang duduk-duduk di seberang jalan. Seperti sedang mengawasi seakan menjaga rumah.
Istri Yani tidak memikirkan apapun atau tidak curiga sedikitpun pada saat itu. Baru setelah peristiwa
tragis itu istri Yani mulai curiga. Selain itu yang mencurigakan adalah adanya beberapa panggilan
telepon jam 9 pada malam 30 September yang diiringi oleh keheningan aneh. Panggilan telepon aneh
itu terus berbunyi hingga pukul satu dini hari dan istri Yani merasakan adanya firasat yang sangat
buruk di malam 30 September itu.

Para penculik yang datang ke rumah harus membawa Yani karena Bung Karno memanggil. Yani
menyanggupi dan mengatakan bahwa dirinya membutuhkan waktu sebentar untuk mandi dan berganti
pakaian. Pasukan penculik yang datang disebut dengan Pasukan Pasopati. Penculik menolak
permintaan Yani dan tentu Yani sangat marah atas sikap mereka yang kurang ajar lalu menampar
salah satu penculik dan menutup pintu rumahnya. Salah seorang penculik kemudian menembak dan
berhasil membunuh Yani. Tubuh Yani diangkut ke daerah Lubang Buaya di pinggiran Jakarta. Sang
Jendral diseret bersama dengan para jenderal yang diculik lalu disembunyikan di sebuah sumur yang
sudah tidak terpakai.

Meninggalnya Ahmad Yani

Tubuh Yani dan para korban Gerakan 30 September yang lain diangkat dari sumur pada tanggal 4
Oktober dan tanggal 1 Oktober dijadikan sebagai sejarah hari kesaktian pancasila. Pada 5 Oktober
dilakukan upacara khas kenegaraan lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Yani
dan para korban Gerakan 30 September resmi dinyatakan sebagai pahlawan  Revolusi pada hari yang
sama sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965. Secara anumerta, pangkatnya
dinaikkan dari Letnan Jenderal ke Jenderal Bintang Empat.
Istri Yani mengajak para anaknya pindah rumah setelah suaminya gugur di peristiwa Gerakan 30
September. Istri Yani juga berkontribusi untuk mengubah rumah mereka menjadi museum publik
yang membahas banyak hal khususnya penyerangan terhadap Yani pada malam yang mencekam
tahun 1965 itu. Bahkan hingga kini, lubang peluru di dinding dan pintu masih ada. Keadaan interior
rumah dan perabotannya masih sama dengan kondisi waktu itu. Ini untuk mengenang Jenderal Ahmad
Yani sang pahlawan revolusi. Selain diangkat sebagai pahlawan revolusi dan didirikan museum,
banyak jalan di kota yang dinamai Jalan Ahmad Yani. Tidak hanya jalan, nama sang pahlawan
revolusi juga diabadikan menjadi nama dari Bandar Udara Internasional di Semarang.

4. K.H. Zainal Mustafa

Riwayat Hidup :

K.H. Zaenal Mustafa adalah seorang ulama dari Tasikmalaya, Jawa Barat yang gugur ketika
melakukan pemberontakan pada masa pendudukan jepang. Pemerintah mengangkatnya sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 1972 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia no.
064/TK/Tahun 1972.
Lahir di Desa Cimerah, Kec. Singaparna, Tasikmalaya pada tahun 1809 dari pasangan
Nawapi dan NY. Ratmah. Sewaktu masih kecil bernama Umri dan sepulang dari pesantren berganti
nama menjadi Hudaemi. Selain mendapat pendidikan formal di Sekolah Rakyat, ia belajar agama di
berbagai pesantren di Jawa Barat yang membuatnya memiliki pengetahuan yang luas dan mahir
berbahasa Arab.
Pada tahun 1927 ia mendirikan pesantren yang merupakan cita-citanya. Pesantren yang ia
dirikan dinamai Pesantren Sukamana, bertempat di Kampung Cikembang Girang, Des. Cimerah, Kec,
Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Zaenal Mustafa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut pahan
pendidikan Non-Cooperation (tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda). Secara terang-
terang ia mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan
terhadap kebijakan politik Belanda. Akibatnya, 17 November 1941 KH. Zaenal Mustafa, Kiai
Rukhiat, H. Syirad, dan Hambali Syaefi ditangkap pemerintah dengan tuduhan telah menghasut 
masyarakat untuk memberontak. Mereka dipenjara di Tasikmalaya dan sehari kemudia dipindahkan
ke penjara Sukamiskin Bandung. Kemudian dibebaskan pada 10 Januari 1942. Namun sebulan
kemudian ditangkap kembali dengan tuduhan yang sama.
Pemerintahan Jepang mengganti kekuasaan Belanda pada Maret 1942 dan membebaskan KH.
Zaenal Mustafa dengan harapan dapat membantu Jepang. Namun, ia malah memperingatkan
masyarakat bahwa masisme Jepang itu lebih berbahaya. Ia juga menolak melakukan Seikerei. Seikerei
adalah membungkuk 90o kea rah matahari terbit untuk menghormati Kaisar Jepang.
Pernah dalam suatu upacara di lapangan Singaparna, para peserta beserta KH. Zaenal Mustafa
yang diundang dipaksa melakukan seikerei di bawah todongan senjata. Para peserta tidak kuasa
menolak. Namun KH. Zaenal Mustafa dengan tegas menolak dan tetap duduk dengan tenang.
Akibatnya terjadi ketengan antara penguasa Jepang dengan KH. Zaenal Mustafa serta para
pengikutnya.
Dalam setiap dakwahnya, Ia selalu menekankan pentingnya melawan penjajah kafir, dengan
mendengungkan perang jihad. Juga menggiatkan para santrinya untuk latihan fisik dan pencak silat,
dan pengajian untuk mempertebal semangat berjuang.
Secara diam-diam santri Sukamanah telah merencakan sabotase terhadap terhadap pemerintah
Jepang. Sekelompok kecil santri terlatih akan dikirim ke kota Tasikmalaya untuk melakukan gerakan.
Persiapan santri ini tercium Jepang hingga mereka mengirim camat Singaparna dan 11 staf dan
beberapa polisi untuk melakukan penangkapan. Alhasil mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal
Mustafa. Keesokan harinya mereka dilepaskan dan hanya senjata mereka yang dirampas.
Peristiwa ini merupakan awal sejarah yaitu perlawanan terbuka santri pesantren Sukamanah
yang mengakibatkan gugurnya puluhan santri Sukamanah. 86 gugur di medan pertempuran, 4 orang
meninggal disiksa di Singaparna, 2 orang meninggal di penjara, 38 orang meninggal di penjara
Sukamiskin Bandung, dan 10 orang cacat.
Selain itu sekitar 100-900 orang di penjara di Tasikmalaya. KH. Zaenal Mustafa sempat
memberi inturksi rahasia kepada seluruh santri dan para pengikutnya yang ditahan agar tidak
mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang termasuk sabotase dan kematian para Opsir
yang semua pertanggung jawabannya ditanggung sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustafa. Akibatnya
24 orang yang dianggap bersalah termasuk KH. Zaenal Mustafa dibawa ke Jakarta untuk diadili.
Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Belakangan Kepala Erevel Belanda Ancol Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustafa
telah di eksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Belanda Ancol
Jakarta.

Melalui penelusuran salah seorang santrinya Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973
keberadaan makan itu ditemukan di Daeral Ancol, Jakarta Utara. Bersama makam-makam para
santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Pada 25 Agustus 1973 makam itu
dipindah ke Sukamanah, Tasikmalaya

Tokoh Pahlawan Sesudah Abad XX

1. Ir. Soekarno

Riwayat Hidup :

Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69
tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966. Ia memainkan
peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali
Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang
terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

 Nama Lengkap : Ir. Soekarno, (Sewaktu kecil namanya Kusnososro)


 Nama Panggilan : Bung Karno
 Tempat lahir : Blitar, Jawa Timur
 Tanggal Lahir : 6 Juni 1901
 Pekerjaan : Presiden Indonesia ( 1945 – 1966 )
 Wafat : Jakarta, 21 Juni 1970
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari
Buleleng, Bali. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada
usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak
Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil
mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin
Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung
dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di
Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto
Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.

2. Mohammad Hatta

Riwayat Hidup :

Drs. H. Mohammad Hatta adalah tokoh pejuang, pahlawan nasional, negarawan, ekonom dan Wakil
Presiden Indonesia yang pertama. Dulu lahirnya dengan nama Mohammad Athar yang sekarang lebih
populer dijuluki sebagai Bung Hatta. Beliau lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Fort de Kock yang
sekarang lebih dikenal dengan nama Bukittinggi di Provinsi Sumatra Barat. Beliau meninggal di
Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980 di usia 77 tahun. Bersama dengan Bung Karno, beliau
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari era penjajahan sekaligus
memproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bung Hatta juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri mulai dari Kabinet Hatta I hingga RIS.
Kemudian Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956 karena ada perselisihan
pendapat dengan Presiden Soekarno. Selain peran yang sudah disebutkan di kalimat pertama, Hatta
juga berjasa dalam memajukan koperasi di Indonesia. Sehingga Hatta juga dikenal sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.

Sebagai penghargaan untuk menghargai jasa Bung Hatta, namanya sangat sering diabadikan di
berbagai tempat. Contohnya seperti bandara internasional Tangerang Banten yang bernama Bandar
Udara Soekarno-Hatta. Pada tanggal 14 Maret 1980, Hatta menghembuskan nafas terakhir dan
dimakamkan di Tanah Kusir di Jakarta. Bung Hatta diangkat menjadi salah satu Pahlawan
Proklamator Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 yang pada waktu itu Indonesia di bawah
pemerintahan Suharto. Disebut pahlawan proklamator karena termasuk orang yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Termasuk membuat teks kemerdekaan yang mengandung makna proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Sehingga beliau termasuk pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Barat.
Selain Muhammad Hatta, anda perlu mengetahui biodata pahlawan kemerdekaan yang lain.

Kehidupan di Masa Muda Muhammad Hatta

mohammad hattaMohammad Hatta lahir di Fort De Kock pada tanggal 12 Agustus 1902. Ayahnya
bernama Muhammad Djamil dan ibunya bernama Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau.
Ayahnya adalah keturunan dari ulama tarekat di Batuhampar yang masih termasuk Sumatra Barat.[5]
Sedangkan latar belakang ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Sebenarnya, Hatta
lahir dengan nama Muhammad Athar.Athar adalah Bahasa Arab berarti harum. Sejak kecil Hatta
sangat dekat dengan lingkungan yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ayah Hatta meninggal
saat dia umur tujuh bulan. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah dengan seorang pedagang dari
Palembang bernama Agus Haji Ning. Sejarah Islam di Indonesia memiliki cerita yang panjang.
Khususnya perkembangan Islam di Bukittinggi yang pesat membuat Hatta menjadi orang yang sangat
religius.

Mohammad Hatta pertama kali memasuki dunia pendidikan di sekolah swasta. Setelah enam bulan,
Hatta pindah ke sekolah rakyat. Hatta lalu pindah ke ELS di Padang sampai tahun 1913. Lalu lanjut
ke MULO hingga tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah belajar agama kepada Muhammad
Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan banyak ulama lainnya. Hatta juga tertarik terhadap
perekonomian. Di Padang, ia juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.

Pada tanggal 18 November 1945, Hatta melangsungkan pernikahan dengan Rahmi Hatta. Tiga hari
setelah menikah mereka pindah dan bertempat tinggal di Yogyakarta. Dari pernikahan mereka
dikarunai tiga anak perempuan yang diberi nama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta dan
Halida Nuriah Hatta.

Hatta memulai Pergerakan politiknya ketika dia mulai bersekolah di Belanda dari 1921 hingga 1932.
Hatta bersekolah di Handels Hogeschool dan selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial
Indische Vereeniging yang awalnya organisasi biasa dan kini berubah menjadi organisasi politik
setelah adanya pengaruh dari Tiga Serangkai yaitu Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengelola majalah Hindia Putera
yang lalu berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.[16] Pada tahun 1924, organisasi ini berubah
nama menjadi Indische Vereeniging yang berarti Perhimpunan Indonesia.

Pada tahun 1926, ia diangkat menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Di bawah


kepemimpinannya, PI mulai berubah. Perhimpunan ini lebih fokus mengamati perkembangan
pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak ulasan dan banyak komentar di media massa di
Indonesia. Pada tahun 1927, Hatta mengikuti sidang bertema “Liga Menentang Imperialisme,
Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional” di Frankfurt, Jerman. Dalam sidang ini, ada
gelagat dari pihak komunis dan utusan dari Uni Soviet yang ingin menguasai sidang ini. Sehingga
penilaian Hatta pada komunis menjadi negatif dan tidak bisa percaya terhadap komunis.

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamijoyo ditangkap oleh penguasa Hindia Belanda
atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang berhubungan dengan Semaun. Dengan kata lain terlibat
pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927 dan melakukan penghasutan
supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri mendapat hukuman tiga tahun penjara. Tiga
tokoh penting ini dipenjara di Rotterdam. Hingga akhirnya mereka bebas karena semua tuduhan tidak
bisa dibuktikan.

Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya ia berhenti dari PI karena
ingin fokus skripsi. Tapi tetap akan membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis dan
dikontrol langsung oleh partai komunis Belanda ditambah juga campur tangan dari Moskow. Setelah
tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan Hatta ditendang keluar dari organisasi.

Sekembalinya Hatta dari Belanda, ia ditawari untuk masuk kalangan Sosialis Merdeka
(Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP). Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia harus
berada dan berjuang hanya untuk Indonesia. Namun, pemberitaan media di Indonesia waktu itu
mengatakan bahwa Hatta bersedia menerima kedudukan tersebut. sehingga Soekarno menuduhnya
kurang konsisten. Kemudian, Hatta ditangkap Belanda dan dibuang ke Digul lalu dipindah ke Neira.
Di pengasingannya, Hatta terus menulis tentang analisis dan mendidik pembaca. Selain menulis, dia
juga aktif membaca. Sering kali juga Hatta diajak bekerja sama dengan penguasa setempat. Kalau
mau dia diberi gaji tinggi dan kalau tidak mau, dia diberi gaji kurang. Gajinya tidak dia habiskan
sendiri, tapi juga dibagi ke teman yang kekurangan. Hatta juga aktif bercocok tanam di tahanan.

Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menghancurkan Pearl Harbor dan Ini
memicu Perang Pasifik. Tentu saja serangan ini memicu perang pasifik dan perang meluas hingga ke
Indonesia. Dalam keadaan seperti ini Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-
orang buangan yang ada di Digul. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi
setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta.

Setelah itu Ia bertemu Mayor Jenderal Harada dan Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta.
Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang
menguntungkan. Tapi Hatta memanfaatkan hal ini untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.

Bung Hatta dan para tokoh lain diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilakukan pelantikan sebagai
Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertujuan untuk
melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada
Indonesia. Sejarah berdirinya BPUPKI sebenarnya juga merupakan cara Jepang untuk menarik
simpati.

Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Jepang yang menguasai yaitu Asia Tenggara
Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari
dimana Bung Hatta dan Bung Karno diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang
pimpinan PETA yang berada di kota kecil Rengasdengklok. Penculikan ini bertujuan untuk
mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah peristiwa Rengasdengklok cukup rumit karena perbedaan pendapat.
Di masa mempertahankan kemerdekaan, sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih
menyelamatkan Republik dengan cara mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di
Malang yang diselenggarakan pada tanggal 25 Februari – 6 Maret 1947. Sejarah perjanjian
Linggarjati mempunyai cerita yang kompleks. Hasilnya, Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947,
Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T.
Hassan.

Kemudian, Bung Hatta berhasil memperjuangkan Perjanjian Renville yang akhirnya jatuh jatuhnya
Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Latar belakang Perjanjian Renville ini perlu
diketahui. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana
Menteri dan juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Di akhir tahun 1956, Hatta sudah
tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak suka dengan politik memasukkan unsur
komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris
Causa dari Universitas Gajah Mada

Hatta menghembuskan nafas terakhir tanggal 14 Maret 1980 pukul 18.56 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah hampir dua minggu dia dirawat di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta
telah dirawat di rumah sakit sebanyak enam kali hingga dia meninggal. Tepat keesokan harinya, Hatta
disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta lalu dikebumikan di TPU Tanah Kusir,
Jakarta. Upacara pemakaman ini disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung
oleh Wakil Presiden pada era itu yaitu Adam Malik. Hatta ditetapkan sebagai pahlawan proklamator
pada tahun 1986 oleh ketika Soeharto berkuasa. Pada 7 November 2012, Bung Karno dan Bung Hatta
secara resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Anda mungkin juga menyukai