Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hidup penuh dengan risiko yang terduga maupun tidak terduga, oleh karena
itulah kita perlu memahami tentang asuransi. Beberapa kejadian alam yang terjadi
pada tahun-tahun belakangan ini dan memakan banyak korban, baik korban jiwa
maupun korban harta, seperti mengingatkan kita akan perlunya asuransi. Bagi setiap
anggota masyarakat termasuk dunia usaha, risiko untuk mengalami
ketidakberuntungan (misfortune) seperti ini selalu ada (Kamaluddin:2003). Dalam
rangka mengatasi kerugian yang timbul, manusia mengembangkan mekanisme yang
saat ini kita kenal sebagai asuransi.
Fungsi utama asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk
transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada
pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan
kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan
financial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung.
Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat
kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya
(Morton:1999). Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian
kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian-kerugian yang besar yang belum
pasti (Abbas Salim: Principles of Insurance).
Dari perumusan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang bersedia
membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa menghadapi kerugian
besar yang mungkin terjadi pada waktu mendatang.                     

1.2 RUMUSAN MASALAH


1) Apa Pengertian Asuransi ?
2) Apa Saja Dasar Hukum Asuransi Syari’ah ?
3) Apa Saja Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah ?
4) Apa Saja Bentuk-Bentuk Asuransi ?
5) Apa Perbedaan Asuransi Syari’ah Dan Asuransi Konvensional ?
6) Apa Manfaat Asuransi Syari’ah Dalam Kehidupan ?
2

1.3 TUJUAN PENULISAN


1) Untuk Mengetahui Pengertian Asuransi
2) Untuk Mengetahui Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
3) Untuk Mengetahui Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah
4) Untuk Mengetahui Bentuk-Bentuk Asuransi
5) Untuk Mengetahui Perbedaan Asuransi Syari’ah Dan Asuransi Konvensional
6) Untuk Mengetahui Manfaat Asuransi Syari’ah Dalam Kehidupan
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ASURANSI


Kata Asuransi berasal dari bahasa Inggris, Insurance , yang dalam bahasa Indonesia
telah menjadi bahsa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan
padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadily memaknai kata insurance dengan (a)
asuransi, dan (b) Jaminan. Mengenal definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari
peraturan (perundang-undangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi.
Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance and Islamic law mengadopsi
pengertian asuransi dari Encyclopaedia Britanica sebagai suatu persediaan yang
dipersiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi
kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah
seorang di antar mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh
kelompok.
Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang
berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai
perangkat untuk manghadapi kerugian, dan ada yang mengatakannya sebagai persiapan
menghadapi resiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa
asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, membuat kerugian
menjadi ringan dan mudah bagi seluruh masyarakat.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai
asuransi sebagai:”suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak
yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum
jelas”. Sedang dalam pandangan Abbas Salim, asuransi dipahami sebagai “suatu kemauan
untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi)
kerugian-kerugian yang belum pasti.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar:at-ta’min) adalah
“transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan
pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran
jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang
dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan
4

mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan


menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu ( onzeker vooral)”.
Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi risiko
dengan jalan memindahkan dan mengombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian
keuangan ( finansial). Dari sudut pandang hukum, asuransi merupakan suatu kontrak
(perjanjian) pertanggungan risiko antara tertanggung dengan penanggung. Penanggung
berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan risiko yang dipertanggungkan kepada
tertanggung. Sedangkan tertanggung membayar premi secara periodik kepada
penanggung. Menurut pandangan bisnis, asuransi adalah sebuah perusahaan yang usaha
utamanya menerima / menjual jasa, pemindahan risiko dari pihak lain, dan memperoleh
keuntungan dengan berbagai risiko ( sharing of risk ) di antara sejumlah nasabahnya. Dari
sudut pandang sosial, asuransi didefinisikan sebagai organisasi sosial yang menerima
pemindahan risiko dan mengumpukan dana dari anggota-anggotanya guna membayar
kerugian yang mungkin terjadi pada masing-masing anggota tersebut. Dalam pandangan
matematika, asuransi merupakan aplikasi matematika dalam memperhitungkan biaya dan
faedah pertanggungan risiko. Hukum probabilitas dan teknik statistik dipergunakan untuk
mencapai hasil yang dapat diramalkan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu
bentuk pertanggungan terhadap musibah yang diperkirakan sewaktu-waktu akan terjadi.
Karena itu, muncullah berbagai macam jenis asuransi atau pertanggungan, seperti
asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan
asuransi yang berkaitan dengan pertanian dan pelaksanaan ibadah haji. Definisi-definisi
di atas sekalipun secara redaksional ada sedikit perbedaan, namun terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa secara substansial asuransi bertujuan untuk saling membantu
dan menolong sesama. Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’ menyatakan bahwa akad asuransi itu
merupakan suatu sistim tadlâmun dan ta’âwun yang bertujuan untuk menutupi kerugian
yang disebabkan oleh musibah.

2.2 DASAR HUKUM ASURANSI SYARI’AH


Mengenai Asuransi pada umumnya, dalam syari’at Islam dikategorikan ke dalam
masalah-masalah Ijtihad, sebab tidak ada ditemukan penjelasan resmi baik dalam Al-
5

Qur’an maupun al-Hadis, di samping itu para Imam Mazhab juga tidak ada memberikan
pendapatnya tentang ini, sebab ketika itu masalah peransurasian belum dikenal.
KH Ahmad Azhar Basyir, MA. Mengungkapkan : bahwa perjanjian Asuransi
adalah hal yang baru belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat
serta tabi’in. Di Dunia Barat Asuransi pertama kali dikenal pada tahun 1182, waktu itu
orang-orang Yahudi diusir dari Prancis, untuk menjamin risiko barang-barang mereka
yang diangkut keluar lewat laut”.
Dengan apa yang dikemukakan di atas, maka dapatlah dikatakan, bahwa apabila
berbicara tentang “dasar hukum peransurasian” menurut syari’at Islam, tentunya hanya
dapat dilakukan dengan metode Ijtihad, dan kemudian melalui Ijtihad ini pulalah dicari
dan ditetapkan hukumnya. Untuk mengambil ketetapan hukum dengan menggunakan
metode Ijtihad dapat dipergunakan beberapa cara, antara lain :
1. Maslahah Mursalah / untuk kemaslahatan umum.
2. Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum secara analogi (metode qiyas).
Dengan penggunaan metode tersebut di atas tentunya akan melahirkan pendapat /
pandangan yang berbeda satu sama lain, dan tentunya pendapat tersebut akan
dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing ahli.
Adapun hasil Ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi ini dapt
diklasifikasikan sebagai berikut :
 Pendapat pertama mengemukakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam.
Adapun para ahli hukum Islam yang berpandangan bahwa asuransi dengan segala
bentuknya adalah haram, antara lain Sayid Sabiq, beliau mengungkapkan bahwa :
“ Ringkasnya bahwa persoalan ini (perjanjian asuransi, pen) ditinjau dari segi
manapun tetap tidak akan cocok dengan akan shahih yang dibenarkan syari’at Islam”.
Pendapat yang mengharamkan perjanjian asuransi ini juga didukung oleh
Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Yusuf Al-Qardhawi. Adapun yang menjadi alasan
pokok keharaman perjanjian asuransi ini menurut pandangan Sayid Sabiq
sebagaimna dikutip oleh Masyfuk Zuhdi adalah sebagai berikut :
1. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi.
2. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti ( uncertainty )
3. Mengandung unsur riba / rente
6

4. Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa


melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang
telah dibayarkan.
5. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam
praktik riba (kredit berbunga)
6. Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang
tidak dengan tunai ( cash and carry ).
7. Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis yang berarti mendahului takdir
Tuhan Yang Maha Kuasa.
 Pendapat kedua asuransi denagn segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at
Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa perjanjian asuransi dibolehkan dalam syari’at
Islam antara lain Abdul Wahab khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum
Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Siria), Muhammad Yusuf Musa (Guru
Besar Universitas Kairo), dan Abdurrahman Isa pengarang Al-Muamalat al-Hasitsah
wa Ankamuha .
Adapun alasan yang dikemukakan untuk menyatakan perjanjian asuransi itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam adalah :
1. Tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadis yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan / kerelaan kedua belah pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4. Mengandung kepentingan umum ( masalahah ‘amanah ), sebab premi-premi yang
terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk
pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudharabah , artinya akad kerjasama bagi hasil antara
pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang
memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS).
6. Asuransi termasuk koperasi ( syirkah ta’awuniyah ).
7. Diqiyaskan ( analogi) dengan sistem pensiun seperti Taspen.
 Pendapat ketiga Asuransi Sosial dibolehkan sedangkan asuransi yang bersifat
komersial tidak dibolehkan / atau bertentangan dengan syari’at Islam.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, yang mana
asuransi sosial boleh dengan alasan sebagaimana pendapat kedua. Dan Asuransi yang
bersifat ekonomis tidak diterima dengan alasan sama dengan pendapat pertama.
7

 Pendapat keempat asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.


Adapun alasan yang melahirkan pendapat ini disebabkan perjanjian asuransi tidak
ada dinyatakan secara jelas tentang kebolehan dan ketidak bolehannya di dalam Al-
Qur’an maupun Hadis. Untuk menanggapi polemik hukum ini, K.H. Ahmad Azhar
Basyir mengemukakan, bahwa:
“Perjanjian Asuransi dengan asas gotong royang atau ta’awun menuntut agar
mental para tertanggung benar-benar siap. Perjanjian dilakukan benar-benar
perjanjian tolong-menolong, bukan perjanjian tukar-menukar. Dengan demikian
bukan untung rugi yang dipikirkan, tetapi bagaimana hubungan tolong-menolong
dapat ditegakkan. Tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis waktunya
dan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan tidak
dirasakan sebagai kerugian. Lebih-lebih dalam asuransi kesehatan, iuran yang tidak
akan kembali, dan tidak dinikmati oleh tertanggung yang selalu sehat, tidak dirasakan
sebagai kehilangan, karena dapat digunakan tertanggung lainnya”.
Menurut hemat penulis, apabila mental para peserta asuransi atau tertanggung
sebagaimana digambarkan oleh Ahmad Azhar Basyir di atas maka prinsip gotong
royong atau tolong menolong tersebut sudah dapat dilaksanakan, dengan sendirinya
perintah “tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebaikan” sebagaimana
dianjurkan dalam syari’ah Islam akan terlaksana, dan pada gilirannya kemaslahatan
akan umat sedikit demi sedikit akan meningkat.
Namun demikian untuk tercapainya prinsip tolong-menolong ini Ahmad Azhar
Basyir menambahkan agar : “pihak perusahaan asuransi benar-benar merupakan
lembaga yang mengorganisir perjanjian gotong royong, yang memperoleh jasa dari
jerih payahnya (untuk mengorganisir perjanjian gotong royong tersebut) secara
seimbang, bukan perusahaan yang justru berupaya memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya”.

2.3 PRINSIP-PRINSIP ASURANSI


Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-
prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian
dimanapun berada: prinsip tersebut, yakni:
a) Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan)
8

Anda dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila Anda
menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan
kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut. Kepentingan keuangan ini
memungkinkan Anda mengasuransikan harta benda atau kepentingan anda. Apabila
terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa Anda tidak
memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka Anda tidak berhak
menerima ganti rugi.
b) Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna )
Yang dimaksudkan adalah bahwa Anda berkewajiban memberitahukan sejelas-
jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek
yang diasuransikan. Prinsip inipun menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun
yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta
teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:
 Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak
asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak tersebut.
 Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
 Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada
kaitannya dengan perubahan-perubahan itu
c) Indemnity (Indemnitas)
Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian
maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan Anda
setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian.
Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada
kerugian yang Anda derita.
Contoh:
Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah, diasuransikan sebesar 100
juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:
1. Hilang, dan harga pasar kendaraan saat itu :
 100 juta rupiah, maka anda menerima ganti rugi sebesar 100 juta rupiah,
 125 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang
 diasuransikan, yaitu 100 juta rupiah,
 75 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu
 75 juta rupiah.
9

2. Rusak akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku


cadang, ongkos kerja bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab kami
sehingga maksimum sebesar 100 juta rupiah. Beberapa cara pembayaran ganti
rugi yang berlaku: Pembayaran dengan uang tunai, Perbaikan, Penggantian, atau
Pemulihan kembali.
d) Subrogation (Subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
yang berbunyi: “Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya
kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung
dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian
pada tertanggung”. Dengan kata lain, apabila Anda mengalami kerugian akibat
kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka kami, setelah memberikan ganti rugi
kepada Anda, akan menggantikan kedudukan Anda dalam mengajukan tuntutan
kepada pihak ketiga tersebut.
e) Contribution (Kontribusi)
Anda dapat saja mengasuransikan harta benda yanga sama pada beberapa perusahaan
asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara
otomatis berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila kami
telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak Anda, maka kami berhak
menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara
bersama-sama menutup asuransi harta benda milik Anda) untuk membayar bagian
kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan
yang ditutupnya.
Contoh:
Anda mengasuransikan satu unit bangunan rumah tinggal seharga 100 juta
rupiah kepada tiga perusahaan asuransi:
PT Asuransi A = Rp 100.000.000,00
PT Asuransi B = Rp 50.000.000,00
PT Asuransi C = RP 50.000.000,00
Total = Rp 200.000.000,00
Bila bangunan tersebut terbakar habis (mengalami kerugian total) maka maksimum
ganti rugi yang Anda peroleh dari :
PT Asuransi A = (100.000.000 / 200.000.000) x 100.000.000 = Rp. 50.000.000,00
PT Asuransi B = (50.000.000 / 200.000.000) x 100.000.000 = Rp. 25.000.000,00
10

PT Asuransi C = (50.000.000 / 200.000.000) x 100.000.000 = Rp. 25.000.000,00


Total = Rp 100.000.000,00
Berarti jumlah ganti rugi yang Anda terima dari ke-3 perusahaan asuransi
tersebut bukanlah Rp. 200.000.000,00 melainkan Rp. 100.000.000,00 sesuai dengan
harga rumah sebenarnya.
f) Proximate Cause (Kausa Proksimal)
g) Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka
pertama-tama kami akan mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang
menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya
terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut. Suatu prinsip yang digunakan untuk
mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah:
“Unbroken Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak
terputus. Sebagai contoh, kasus klaim kecelakaan diri berikut ini:
 Seseorang mengendarai kendaraan diajalan tol dengan kecepatan tinggi
sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik.
 Korban luka parah dan dibawa kerumah sakit.
 Tidak lama kemudian korban meninggal dunia.
Dari peristiwa tersebut diketahui bahwa kausa proksimalnya adalah korban
mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi sehingga mobil tidak terkendali dan
terbalik. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui apakah penyebab terjadinya
musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis asuransi ataukah
tidak?

2.4 BENTUK-BENTUK ASURANSI


Adapun Perusahaan Asuransi dan jenis-jenis bidang usaha perasuransian di
Indonesia, dapat ditemukan dalam Bab III pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992,
yang mana dalam pasal tersebut dikemukakan sebagai berikut:
 Asuransi Kerugian yaitu perjanjian Asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
 Asuransi Jiwa yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang
yang dipertanggungkan.
11

 Re-Asuransi yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan


ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau
perusahaan asuransi jiwa.
Adapun ruang lingkup perjanjian pertanggungan masing-masing jenis asuransi
sebagaimana disebutkan di atas adalah
 Perusahaan asuransi kerugian kegiatannya hanya sebatas dalam bidang asuransi
kerugian, dan termasuk Reasuransi
 Asuransi Jiwa dapat menyelenggarakan; asuransi jiwa; kesehatan, kecelakaan diri,
anuitas.
 Reasuransi hanya sebatas pertanggungan kembali/ ulang.

2.5 PERBEDAAN ASURANSI SYARI’AH DAN ASURANSI KONVESIONAL


Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan
mendasar dalam beberapa hal:
a) Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).
Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara
nasabah dengan perusahaan).
b) Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang
sektor dengan sistem bunga.
c) Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada
asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang
memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
d) Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim, nasabah dana
diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah
diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
e) Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
12

f) Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang


merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen,
produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

2.6 MANFAAT ASURANSI SYARI’AH DALAM KEHIDUPAN


1. Rasa aman dan perlindungan
Polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung akan memberikan rasa aman dari
risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Karena risiko atau kerugian tersebut benar-
benar terjadi, pihak tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis
atau ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
2. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk menentukan nilai
pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara
periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar
dalam asuransi tersebut.
3. Alat penyebaran risiko
Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung ikut dibebankan juga
pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi tertentu yang didasarkan atas nilai
pertanggungan
4. Sebagai amal kebaikan
Karena sebagian premi digunakan untuk membantu sesama
13

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
A. Asuransi merupakan salah satu bentuk pertanggungan terhadap musibah yang
diperkirakan sewaktu-waktu akan terjadi. Karena itu, muncullah berbagai macam
jenis asuransi atau pertanggungan, seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi
kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan asuransi yang berkaitan dengan pertanian dan
pelaksanaan ibadah haji.
B. Mengenai Asuransi pada umumnya, dalam syari’at Islam dikategorikan ke dalam
masalah-masalah Ijtihad, sebab tidak ada ditemukan penjelasan resmi baik dalam Al-
Qur’an maupun al-Hadis, di samping itu para Imam Mazhab juga tidak ada
memberikan pendapatnya tentang ini, sebab ketika itu masalah peransurasian belum
dikenal.
Adapun hasil Ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi ini dapt
diklasifikasikan sebagai berikut :
 Pendapat pertama mengemukakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam.
 Pendapat kedua asuransi denagn segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at
Islam.
 Pendapat ketiga Asuransi Sosial dibolehkan sedangkan asuransi yang bersifat
komersial tidak dibolehkan / atau bertentangan dengan syari’at Islam.
 Pendapat keempat asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.
C. Prinsip-prinsip Asuransi
 Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan)
 Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna )
 Indemnity (Indemnitas)
 Subrogation (Subrogasi)
 Contribution (Kontribusi)
 Proximate Cause (Kausa Proksimal)
D. Bentuk-Bentuk Asuransi
Perusahaan Asuransi dan jenis-jenis bidang usaha perasuransian di Indonesia,
dapat ditemukan dalam Bab III pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, yang
mana dalam pasal tersebut dikemukakan sebagai berikut:
14

 Asuransi Kerugian.
 Asuransi Jiwa
 Re-Asuransi
E. Manfaat asuransi sya’riah dalam kehidupan
a. Rasa aman dan perlindungan
b. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
c. Alat penyebaran risiko
d. Sebagai amal kebaikan

3.2 SARAN
Untuk kepenulisan selanjutnya agar dapat menganalisis lebih lanjut bagaimana
pengelolaan di dalam perusahaan asuransi sya’riah tersebut dapat menggunakan metode
observasi dengan terjun ke lapangan secara langsung.
15

DAFTAR PUSTAKA

https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/24/fiqh-muamalah-6-asuransi/
https://satriasaep.blogspot.com/2018/08/fiqih-muamlah-tentang-asuransi.html
https://wakidyusuf.wordpress.com/2018/01/1/fiqh-muamalah--asuransi/

Anda mungkin juga menyukai