Fiqih Muamalah (Asuransi)
Fiqih Muamalah (Asuransi)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Qur’an maupun al-Hadis, di samping itu para Imam Mazhab juga tidak ada memberikan
pendapatnya tentang ini, sebab ketika itu masalah peransurasian belum dikenal.
KH Ahmad Azhar Basyir, MA. Mengungkapkan : bahwa perjanjian Asuransi
adalah hal yang baru belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat
serta tabi’in. Di Dunia Barat Asuransi pertama kali dikenal pada tahun 1182, waktu itu
orang-orang Yahudi diusir dari Prancis, untuk menjamin risiko barang-barang mereka
yang diangkut keluar lewat laut”.
Dengan apa yang dikemukakan di atas, maka dapatlah dikatakan, bahwa apabila
berbicara tentang “dasar hukum peransurasian” menurut syari’at Islam, tentunya hanya
dapat dilakukan dengan metode Ijtihad, dan kemudian melalui Ijtihad ini pulalah dicari
dan ditetapkan hukumnya. Untuk mengambil ketetapan hukum dengan menggunakan
metode Ijtihad dapat dipergunakan beberapa cara, antara lain :
1. Maslahah Mursalah / untuk kemaslahatan umum.
2. Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum secara analogi (metode qiyas).
Dengan penggunaan metode tersebut di atas tentunya akan melahirkan pendapat /
pandangan yang berbeda satu sama lain, dan tentunya pendapat tersebut akan
dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing ahli.
Adapun hasil Ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi ini dapt
diklasifikasikan sebagai berikut :
Pendapat pertama mengemukakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam.
Adapun para ahli hukum Islam yang berpandangan bahwa asuransi dengan segala
bentuknya adalah haram, antara lain Sayid Sabiq, beliau mengungkapkan bahwa :
“ Ringkasnya bahwa persoalan ini (perjanjian asuransi, pen) ditinjau dari segi
manapun tetap tidak akan cocok dengan akan shahih yang dibenarkan syari’at Islam”.
Pendapat yang mengharamkan perjanjian asuransi ini juga didukung oleh
Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Yusuf Al-Qardhawi. Adapun yang menjadi alasan
pokok keharaman perjanjian asuransi ini menurut pandangan Sayid Sabiq
sebagaimna dikutip oleh Masyfuk Zuhdi adalah sebagai berikut :
1. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi.
2. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti ( uncertainty )
3. Mengandung unsur riba / rente
6
Anda dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila Anda
menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan
kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut. Kepentingan keuangan ini
memungkinkan Anda mengasuransikan harta benda atau kepentingan anda. Apabila
terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa Anda tidak
memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka Anda tidak berhak
menerima ganti rugi.
b) Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna )
Yang dimaksudkan adalah bahwa Anda berkewajiban memberitahukan sejelas-
jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek
yang diasuransikan. Prinsip inipun menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun
yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta
teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:
Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak
asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak tersebut.
Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada
kaitannya dengan perubahan-perubahan itu
c) Indemnity (Indemnitas)
Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian
maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan Anda
setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian.
Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada
kerugian yang Anda derita.
Contoh:
Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah, diasuransikan sebesar 100
juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:
1. Hilang, dan harga pasar kendaraan saat itu :
100 juta rupiah, maka anda menerima ganti rugi sebesar 100 juta rupiah,
125 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang
diasuransikan, yaitu 100 juta rupiah,
75 juta rupiah, maka Anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu
75 juta rupiah.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
A. Asuransi merupakan salah satu bentuk pertanggungan terhadap musibah yang
diperkirakan sewaktu-waktu akan terjadi. Karena itu, muncullah berbagai macam
jenis asuransi atau pertanggungan, seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi
kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan asuransi yang berkaitan dengan pertanian dan
pelaksanaan ibadah haji.
B. Mengenai Asuransi pada umumnya, dalam syari’at Islam dikategorikan ke dalam
masalah-masalah Ijtihad, sebab tidak ada ditemukan penjelasan resmi baik dalam Al-
Qur’an maupun al-Hadis, di samping itu para Imam Mazhab juga tidak ada
memberikan pendapatnya tentang ini, sebab ketika itu masalah peransurasian belum
dikenal.
Adapun hasil Ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi ini dapt
diklasifikasikan sebagai berikut :
Pendapat pertama mengemukakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam.
Pendapat kedua asuransi denagn segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at
Islam.
Pendapat ketiga Asuransi Sosial dibolehkan sedangkan asuransi yang bersifat
komersial tidak dibolehkan / atau bertentangan dengan syari’at Islam.
Pendapat keempat asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.
C. Prinsip-prinsip Asuransi
Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan)
Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna )
Indemnity (Indemnitas)
Subrogation (Subrogasi)
Contribution (Kontribusi)
Proximate Cause (Kausa Proksimal)
D. Bentuk-Bentuk Asuransi
Perusahaan Asuransi dan jenis-jenis bidang usaha perasuransian di Indonesia,
dapat ditemukan dalam Bab III pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, yang
mana dalam pasal tersebut dikemukakan sebagai berikut:
14
Asuransi Kerugian.
Asuransi Jiwa
Re-Asuransi
E. Manfaat asuransi sya’riah dalam kehidupan
a. Rasa aman dan perlindungan
b. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
c. Alat penyebaran risiko
d. Sebagai amal kebaikan
3.2 SARAN
Untuk kepenulisan selanjutnya agar dapat menganalisis lebih lanjut bagaimana
pengelolaan di dalam perusahaan asuransi sya’riah tersebut dapat menggunakan metode
observasi dengan terjun ke lapangan secara langsung.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/24/fiqh-muamalah-6-asuransi/
https://satriasaep.blogspot.com/2018/08/fiqih-muamlah-tentang-asuransi.html
https://wakidyusuf.wordpress.com/2018/01/1/fiqh-muamalah--asuransi/