Kelas : KKI B
Disusun Oleh :
BAB I
Agrigentum yang masih di pulau Sicilia hidup Empedochles (490-430 SM), yang
merupakan filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Sosok yang cerdas dan banyak
mengetahui ilmu pengetahuan. Empedochles merupakan murid dari Pythagoras dan menulis
The Nature of Things. Sebagai orator, menurut Aristoteles, ia mengajar prinsip-prinsip retorika,
yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena.
Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena pada tahun 427 SM. Di sana ia mendirikan
sebuah sekolah retorika dengan biaya sekolah yang cukup mahal saat itu. Dia mengajarkan
dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu. Sampai kemudian bersama
Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain sebagai
“dosen-dosen terbang”.
Pada saat itu seorang yang bernama Demosthenes mengembangkan gaya berpidato yang
berbeda dengan Gorgias, dengan gaya yang tidak berbunga-bungan tetapi jelas dan keras.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya dalam kewarganegaraan.
Namun ditentang oleh Aeschines seorang orator yang menganggap pemberian mahkota tersebut
tidak konstitusional. Sampai terjadi duel pidato di antara mereka di depan Mahkamah dan
ratusan anggota juri. Demosthenes memenangkan duel tersebut, para juri memihak padanya dan
menuntut denda pada Aeschines.
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang
dirintis oleh kaum Sophis. Bersamaan dengan itu juga terbentuk citra negatif bagi kaum Sophis.
Kemudian seorang tokoh berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme
negatif adalah Isocrates.
Isocrates mendirikan sekolah retorika paling berhasil pada tahun 391 SM. Ia percaya
bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat. Retorika tidak boleh terpisah antara
politik dan sastra. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang
zaman: Ciero, Milton, Massilon, Jeremy, Taylor, dan Edmund Burke.
Socrates berpendapat bahwa kaum sophisme yang mengajarkan retorika hanya untuk
mendapatkan uang adalah prostitut. Bagaikan menjual kebijaksanaan dengan materi. Murid
Socrates yang menerima pendapat gurunya adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates
sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan
sophisme dan retorika yang berdasarkan filasfat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang bersifat
relatif, sedang filsafat membawa orang kepada kebenaran sejati.
Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa”
pendegarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi
khalayak. Sehingga retorika yang merupakan sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi wacana
ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia
menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik,
kita memperoleh lima hukum retorika: inventio, dispositio, elocutio, memoria, pronuntiatio.
Pada masa kekuasaan Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero “Anda
telah menemukan semua khazanah retorika, dan andalah orang pertama yang menggunakan
semuannya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para
jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia
daripada memperluas batas-batas kekuasaan kerajaan Romawi”.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan
firman Allah Subahanhu Wata’ala, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka
dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Al Quran 4:63). Muhammad Shollallohu
‘Alaihi Wassallam bersabda, memperteguh firman ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan bicara
yang baik itu ada sihirnya”.
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam merupakan seorang pembicara yang fasih,
dengan kata-kata yang singkat, namun mengandung makna yang begitu padat. Para sahabatnya
bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hati dan berlinang air
mata. Tidak hanya menyentuh hati, ia juga menghimbau akal para pendengarnya. Ia juga sangat
memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan
mereka.
Ali bin Abi Thalib mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti yang dilukiskan oleh
Thomas Caryle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdued by his
eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawan bergabung kembali.
Khotbah-khotbanya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-
Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam perdaban
Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan
retorika Yunani yang dicampakkan di Eropa pada Abad Pertengahan, dikaji kembali dengan
tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi
Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di
pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
Retorika Modern
Retorika memasuki masa Renaissance (kebangunan kembali) pada masa awal di zaman
ini. Salah seorang pemikir renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah
Peter Ramus. Ia membagi retorika menjadi dua bagian yaitu eluctio dan pronountiatio.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang dijembatani oleh Roger
Bacon (1214-1219). Ia bukan hanya memperkenalkan metode eksperimental, tetapi pentingnya
pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban
retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakan kemauan secara lebih baik”.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis,
dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pegetahuan”; asal-usul,
sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha
mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni yang membahas
proses mental). George Champbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric,
menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas,
dimana ia berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia dalam empat fakultas:
pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan.
Aliran kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (tulisan yang indah). Retorika belleris
sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan
mengabaikan nilai informasinya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and
Belles Lettres. Disini menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia
memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari
pertemuan dengan apapun yang indah.
Pada abad kedua puluh , retorika mengambil perkembangan ilmu pengetahuan modern –
khusus ilmu-ilmu tentang perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai
digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication atau public speaking.
Dibawah ini diperkenalkan sebagian tokoh-tokoh retorika mutakhir :
1. James A Winans
Ia adalah seorang perintis pengguna psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public
Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B.
Tichener. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis
seperti kepentingan pribadi , kewajiban sosial dan kewajiban agama. Winams adalah pendiri The
Speech Communication Association of America (1950).
Bukunya, Principles and Types of Speech. Monroe beserta staffnya meneliti proses motivasi
pada pertengahan tahun 20-an. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses
berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Dewasa ini retorika dikenal sebagai public speaking, oral communication, atau speech
communication – diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu
mendatang, ilmu ini tampakanya akan diberikan juga kepada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu
sosial.
BAB II
Bagi Lincoln, pepatah latin yang berbunyi qui ascendit sine labore, descendit sine
honore (mereka yang naik tanpa kelelahan akan turun tanpa kehormatan) bukan hanya sekedar
kata mutiara. Pidato yang baik harus didahului dengan persiapan yang matang. Cara
persiapannya bermacam-macam, tetapi yang pasti ialah the greater the speaker, the more careful
has been his preparation.
Pada bab ini penulis menerangkan tentang teknik-teknik pidato yang dapat dilakukan dan
disesuaikan dengan waktu persiapan. Teknik-teknik pidato dapat dibagi menjadi empat macam
pidato: impromtu, manuskrip, memoriter, dan ekstempore.
Impromtu, merupakan metode yang biasa dipakai ketika orator hanya memiliki sedikit
persiapan atau tidak sama sekali. Pidato ini dilakukan hanya dengan mengandalkan wawasan dan
kemampuan orator dalam memahami apa yang dia sampaikan kepada pendengar.
Manuskrip, ini merupakan pidato dengan naskah yang telah disusun sebelumnya oleh
orator kemudian dibacakan kepada pendengar. Pidato jenis ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan dalam menyampaikan pesan dan sering diterapkan pada sebuah forum yang formal.
Memoriter, pesan pada pidato ini ditulis kemudian dingat setiap kata demi kata. Seperti
manuskrip, metode pidato ini ditujukan untuk penyampaian pesan yang menghindari perbedaan
makna. Perbedaannya metode ini disampaikan kepada pendengar tanpa naskah, karena
naskahnya sudah dihafal.
Ekstempore, Ekstempore adalah jenis pidato yang paling baik. Karena metode ini
menggunakan penyusunan konsep atau garis besar yang teratur dan dipahami kemudian
disampaikan kepada pendengar dengan wawasan orator. Orator hanya perlu mengetahui pokok-
pokok penunjang pembahasan (supporting points)nya saja tanpa harus mengingat kata demi kata.
Penulis menjelaskan, Prof Wayne N. sistematika dalam pemilihan topik dan tujuan,
terbagi atas sepuluh cara yang disebut sebagai sistematika sumber topik:
Untuk menetukan kriteria topik yang baik dapat dipergunakan ukuran-ukuran tertentu
seperti (1) Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan, (2) Topik harus menarik
minat, (3) Topik haris menarik pendengar, (4) Topik harus sesuai dengan pengetahuan
pendengar, (5) Topik harus terang raung-lingkup dan pembatasannya, (6) Topik harus sesuai
dengan waktu dan situasi, (7) Topik harus dapat ditunjang dengan bahan lain.
Merumuskan Judul
Setelah menetukan topik, penulis menerangkan tentang cara perumusan judul, yaitu
dengan memenuhi tiga syarat: relevan, provokatif, dan singkat. Diperuntukkan agar pembahasan
terkasan menarik, mendorong, dan mudah diingat.
Menetukan Tujuan
Mengembangkan Bahasan
Bila topik dan tujuan sudah ditentukan, penulis menekankan akan pengembangan
bahasan yang diperlukan untuk menunjang topik tersebut. Keterangan penunjang dipergunakan
untuk memperjelas uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan mempermudah
pengertian. Semua pengembangan bahasan dapat dikelompokan dalam enam macam:
BAB III
Pertautan (coherence)
Pertautan merupakan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama lain. Pertautan yang
menyebabkan perpindahan dari satu pokok ke pokok yang lain dengan lancar. Untuk menjaga
pertautan dapat digunakan dengan tiga cara: Ungkapan penyambung (connective phrases),
paralelisme dan gema (echo).
Titik-berat (emphasis)
Titik-berat adalah bagian-bagian yang ditunjukan sebagai poin penting yang perlu
diperhatikan. Titik-berat bergantung pada komposisi pidato, namun pokok-pokonya sama.
Pidato yang tersusun tertib akan mencipatakan suasana yang mendukung, membangkit
minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas sehingga memudahkan pengertian,
mempertegas gagasan pokok dan menunjukan pengembangan pokok-pokok secara logis. Penulis
menjelaskan terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, pertama organisasi pesan (message
organization) dan yang kedua pengaturan pesan (message arrangement).
Organisasi pesan, pengelompokan pesan yang sistematis dapat mengikuti enam macam
urutan berikut:
1. Deduktif, gagasan utama berada pada awal dan ditunjang dengan tautan yang lain.
2. Induktif, menjelaskan tautan yang berujung pada gagasan utama di akhir.
3. Kronologis, tersusun daram urutan waktu dari sebuah peristiwa dengan runtut.
4. Logis, penyusunan pesan dengan sebab-akibat atau akibat-sebab.
5. Spasial, pesan disusun berdasarkan tempat atau lokasi tertentu.
6. Topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan.
Garis-garis besar (outline) pidato merupakan pelangkap yang amat berharga bagi
pembicara yang berpengalaman dan keharusan bagi pembicara baru. Ibarat peta bumi bagi
komunikator yang memasuki daerah kegiatan retorika.
Memilih Kata-kata
Penulis menyatakan bahwa berpidato dengan baik, penting dalam memilih kata-kata yang
tepat agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pendengar. Kata-kata
mencerminkan tingkah laku, dan seorang pembicara harus mengerti bahwa kata-kata yang
diucapkannya tidak selalu diartikan sama oleh orang lain dengan atau pada waktu yang lain dan
tempat yang lain. Justru itu, bahasa lisan seorang retorik harus menggunakan kata-kata yang
jelas, tepat, dan menarik.
Dari pembahasan pemilihan kata diatas, penulis berkesimpulan bahwa sangat penting
untuk mengetahui pemilihan kata-kata yang tepat untuk mewarnai pesan dari pidato yang
disampaikan kepada pendengar. Untuk memiliki keterampilan diatas, tentu perlu pelatihan yang
berkesinambungan dan terus menambah perbendaharaan kata dengan membaca buku yang baik,
mendengar pembicaraan yang fasih, belajar mengarang atau menulis, dan membisasakan diri
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pembukaan Pidato
Bagaimana cara membuka pidato dan berapa banyak waktu yang dibutuhkannya amat
bergantung pada topik, tujuan, situasi, khalayak, dan hubungan antara komunikator dengan
komunikan. Penulis memberikan pilihan poin-poin yang dapat digunakan sebagai pedoman
untuk membuka pidato:
Enam belas pedoman yang diberikan penulis merupakan rangkuman dari literasi yang
berbeda-beda. Sehingga dapat dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan orator dalam
membuka sebuah pembicaraan ataupun pidato.
Seperti yang dikatakan penulis sebelumnya, bahwa permulaan dan akhir pidato adalah
bagian-bagian yang paling menentukan. Penulis menjelaskan bahwa kalau dipermulaan pidato
harus dapat mengantar pikiran dan menambatkan perhatian pada pokok pembicaraan, maka
penutup pidato harus dapat memfokuskan pikiran dan perasaan khalayak pada gagasan utama
atau kesimpulan penting dari seluruh pembicaraan atau pidato.
Penulis menyatakan, ada dua macam penutup yang buruk: berhenti tiba-tiba tanpa
memberikan gambaran komposisi yang sempurna, atau berlarut-larut tanpa pengetahuan di mana
harus berhenti. Untuk menghindari hal tersebut penulis memberikan pedoman penutupan pidato
yang dapat dipilih sesuai kebutuhan orator:
1992 Retorika Modern Pendekatan Praktis, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
Jalaluddin Rakhmat