Anda di halaman 1dari 25

KECACATAN KONSEP, FORMIL, DAN GOOD GOVERNANCE DALAM

PENYUSUNAN RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA


Departemen Kastrat BEM UI dan Departemen Kastrat BEM FIA UI

“Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang
pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, Undang-Undang
Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus
law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan
puluhan undang-undang.”
– Presiden Joko Widodo pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2019

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memulai jalannya periode kedua dengan mengeluarkan
wacana untuk memangkas dan memotong regulasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Pada pidato pelantikannya, Presiden mengemukakan akan membentuk sebuah UU
yang menjadi Omibus Law sehingga dapat merevisi puluhan undang-undang. Pembentukan
Omnibus Law bertujuan untuk menghilangkan regulasi yang tumpah tindih dan sifat ego sektoral
institusi pembuat peraturan yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi (Bappenas,
2015). Omnibus Law berasal dari bahasa Latin, yaitu kata Omnibus yang berarti untuk semuanya
(Fitryantica, 2019). Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garner menjelaskan Omnibus
Law sebagai RUU yang berisi berbagai hal berbeda dan membahas semua proposal yang
berkaitan dengan subjek tertentu. Omnibus Law juga dapat dimaknai sebagai suatu konsep produk
hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidasi berbagai tema, materi, subjek dan peraturan
perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar
dan holistik (Manan, 1997). Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa Omnibus Law adalah
satu undang-undang yang bisa mengubah banyak undang-undang (Suriadinata, 2019).
Konsep Omnibus Law atau yang dikenal sebagai Omnibus Bill merupakan metode yang
belum sering kita dengar dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Omnibus Law sebenarnya merupakan metode yang digunakan oleh negara dengan sistem hukum
Common Law. Pada negara yang menganut sistem common law, pada dasarnya sumber hukum
yang tertinggi ialah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan atau telah menjadi
keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian
menjadikan sistem hukum ini disebut common law system atau unwritten law (hukum tidak
tertulis) (Al-Fatih, 2017). Oleh karena itu, hakim dan pengadilan berperan besar dalam
membentuk hukum (Ramadhan, 2018; Dainow, 1967). Ketika ada suatu perkara yang diputus
oleh hakim, putusan tersebut tidak hanya mengikat pihak yang berperkara, tetapi juga berlaku
umum untuk kasus yang serupa (Ramadhan, 2018; Dainow, 1967). Sedangkan, civil law
merupakan sistem yang memiliki sumber hukum berasal dari hukum tertulis, (Ramadhan, 2018;
Merryman, 1985). Sistem hukum civil law menggunakan kitab undang-undang atau undang-
undang sebagai sumber hukum utamanya (Al-Fatih, 2017). John Henry Merryman menyatakan
terdapat 3 (tiga) sumber hukum pada negara bersistem hukum civil law, yaitu undang-undang,
peraturan turunan, dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum (Ramadhan, 2018;
Merryman, 1985). Sekalipun bersumber pada hukum yang tertulis dalam undang-undang yang
dibuat oleh lembaga legislatif, dalam beberapa Negara penganut sistem hukum ini, putusan-
putusan kadang juga dijadikan sebagai rujukan sumber hukum meskipun hanya sebagai
pelengkap dari apa yang telah ada dalam undang-undang (Al-Fatih, 2017).
Negara yang pernah menerapkan Omnibus Law diantaranya adalah Amerika, Kanada,
Filipina, Singapura, dan Belanda. Amerika beberapa kali menerapkan Omnibus Law diantaranya
adalah The Omnibus Public Land Management Act of 2009, di mana Undang-Undang ini
menetapkan jutaan hektar lahan di Amerika Serikat sebagai kawasan lindung dan menetapkan
sistem konservasi lanskap nasional (Mayasari, 2018). Dalam hal investasi sendiri, Amerika juga
mengimplementasikan perjanjian WTO dalam sistem hukum domestik melalui The Uruguay
Agreement Act (URAA) yang berisi semua perubahan hukum domestik yang relevan dengan
kewajiban World Trade Organization (WTO) (World Bank, 2006). Serupa dengan Amerika,
Kanada juga mengimplementasikan perjanjian WTO dengan mengeluarkan The Act to Implement
the Agreement Establishing the World Trade Organization (The WTO Act). Undang-undang
tersebut memodifikasi 23 UU yang ada di Kanada untuk memastikan kepatuhannya terhadap
kewajiban WTO (World Bank, 2006). Dalam pembuatannya Omnibus Law di Amerika dan
Kanada juga menemui beberapa masalah. Di Amerika misalnya, pembuatan Omnibus Spending
Bill tahun 2018 penuh dengan kerahasiaan karena teks rancangan tidak tersedia sehingga
masyarakat umum tidak dapat memperdebatkan manfaatnya atau menawarkan masukan pada
isinya (Suderman, 2018). Kanada juga demikian, pembentukan salah satu UU Omnibus, yaitu C-
38 yang mengubah hampir 70 undang-undang mendapat kritikan karena terkesan disembunyikan
untuk meminimalkan kesadaran publik dan menghindari protes (Gunter, 2012).
Filipina menjadi salah satu negara Asia Tenggara yang menerapkan Omnibus Law di
bidang investasi dengan menerbitkan omnibus investment code of 1987. Melalui Omnibus
Investment Code of 1987, investor akan diberi sejumlah insentif dan hak-hak dasar yang
menjamin usaha mereka di Filipina (Suriadinata, 2019; Cabote, 2001). Dilihat dari bentuknya,
omnibus investment code of 1987 semacam kodifikasi di bidang investasi, sehingga segala hal
terkait pengaturan investasi merujuk pada Omnibus Investment Code of 1987 (Suriadinata, 2019).
Sementara Singapura menerapkan Omnibus Law dengan menerbitkan Insolvency, Restructuring
and Dissolution Bill pada tahun 2018. Undang-undang tersebut mengkonsolidasikan undang-
undang kepailitan pribadi dan perusahaan serta undang-undang yang berkaitan dengan
restrukturisasi utang oleh perorangan dan perusahaan menjadi satu undang-undang tunggal
(Sso.agc.gov.sg, 2018). Namun ternyata terdapat negara dengan sistem Civil Law yang juga
menggunakan metode Omnibus Law. Negara tersebut adalah Belanda, yang pada tahun 2016
mengesahkan Environment and Planning Act. Undang-undang tersebut berupaya untuk
menyederhanakan 15 undang-undang tentang lingkungan dan perencanaan dan
menggabungkannya dalam undang-undang tunggal (Government.nl, 2018).
Perbedaan Omnibus Law Dengan UU Payung dan Kodifikasi Hukum
Omnibus Law dimengerti secara umum sebagai sebuah UU yang mengatur semua
peraturan terkait suatu subjek tertentu (Garner, 2010). Dengan begitu, secara konsep, Omnibus
Law seharusnya merupakan UU yang merangkum seluruh peraturan dalam suatu sektor tertentu.
Dalam konteks Indonesia, konsep Omnibus mirip dengan penerapan UU payung. UU payung
diartikan sebagai UU yang menjadi ‘induk’suatu sektor dari UU lainnya yang menjadi ‘anak’ dari
sektor terkait (Indarti, 2020). Salah satu contoh paling tua adalah UU No.5 Tahun 1960 tentang
Pokok Agraria (UU PA) yang berfungsi sebagai induk dari undang-undang sumber daya alam
lainnya. Dikarenakan keberadaan UU payung tersebut, semua undang-undang sumber daya alam
harus mengacu kepada UU PA. Walaupun begitu, merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), tepatnya pada
Pasal 7 yang mengatur hierarki peraturan perundang-undangan, Indonesia tidak mengenal adanya
sebuah UU payung. Oleh karena itu, kedudukan UU payung adalah setara dengan undang-undang
lainnya sebagaimana dituturkan oleh Prof. maria Farida sebagai Guru Besar Ilmu Perundang-
Undangan FH UI bahwa Omnibus Law bukanlah UU payung. Akan tetapi, terlepas dari kemiripan
konsep, tetaplah semua undang-undang hierarkinya setara.1
Di Indonesia, juga dikenal konsep kodifikasi hukum sebagai salah satu metode
pembentukan hukum. Kodifikasi hukum yaitu proses pembukuan hukum-hukum ke dalam suatu

1
Disampaikan dalam Diskusi Publik “Omnibus Law: UU Sapu Jagat atau Sapu Rakyat?” di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, pada 20 Februari 2020
himpunan materi yang sama, yang bertujuan agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum)
dan suatu rechts-zakerheid (kepastian hukum) (Soeroso, 2011). Kodifikasi hukum memang
merupakan ciri khas negara yang menganut civil law. Sementara itu, di negara yang menganut
common law, kodifikasi hukum berarti translasi dari keputusan hakim menjadi hukum tertulis
(Weiss, 2000). Kodifikasi hukum biasanya memakan waktu yang cukup lama dan menghasilkan
suatu kitab undang-undang. Beberapa contoh dari kodifikasi hukum di Indonesia adalah KUHP
dan KUHPer.
Akan tetapi menjadi kesalahan apabila Omnibus Law dianggap sebagai bentuk dari
kodifikasi hukum di Indonesia. Konsep Omnibus Law yang dimaknai oleh pemerintah pusat tidak
sesuai dengan definisi dari kodifikasi itu sendiri. Sebagaimana disebut di atas, kodifikasi harus
memiliki materi perihal bidang hukum yang sama seperti hukum pidana, perdata, dan sebagainya
(Indrati, 2007). Jika dikontekstualisasikan dengan Omnibus Law sebagaimana diusung
pemerintah saat ini, RUU Cipta Kerja tidak dapat digolongkan sebagai kodifikasi karena
mengatur beragam materi untuk disederhanakan dari puluhan UU yang berlaku
Sejatinya, Omnibus Law mungkin saja diterapkan di Indonesia. Undang-undang dapat
berbentuk khusus, seperti Omnibus, dikarenakan alasan khusus seperti alasan politis
(Asshiddiqie, 2006). Hanya saja, Omnibus Law yang dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden
Jokowi memiliki beberapa miskonsepsi. Pertama, yang menyebabkan kebingungan adalah RUU
yang disebut-sebut sebagai Omnibus Law oleh Pemerintahan Jokowi, justru tidak mengusung
konsep Omnibus yang dikenal di ranah hukum. Omnibus Law Jokowi tidak hanya mengangkat
satu sektor, melainkan 11 sektor yang dibuatkan cluster masing-masing. Kedua, konsep Omnibus
Law yang diusung Pemerintah juga tidak sesuai dengan konsep kodifikasi hukum. Omnibus Law
tidak menghasilkan kitab hukum apapun dan justru mengambil berbagai pasal dari berbagai UU.
Ketiga, miskonsepsi Omnibus Law seolah-olah berperan sebagai UU Payung. Dalam istilah Prof.
Maria Farida Indarti, Omnibus Law ini seakan-akan menjadi UU payung terbalik, sebab tidak
menjadi rujukan bagi sektor tertentu dan malah mencomot pasal dari berbagai UU sektoral.2 Alih-
alih menciptakan kesatuan dan kepastian hukum, Omnibus Law justru menyebabkan fragmentasi
dan kebingungan hukum di Indonesia.
Kedudukan Omnibus Law Sebagai “Undang-Undang Payung” Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia

2
Disampaikan dalam Diskusi Publik “Omnibus Law: UU Sapu Jagat atau Sapu Rakyat?” di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, pada 20 Februari 2020
Norma hukum adalah salah satu norma yang ada di Indonesia. Norma hukum adalah
patokan atau pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Dalam hal ini norma
hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang
berwenang dalam membentuknya (Indrati, 2007). Norma hukum sangat berkaitan dengan hierarki
norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam teorinya yaitu
Determination of the law – Creating Function menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat
menentukan badan dan prosedur yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah.
Teori ini dikenal dengan teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) di mana suatu norma itu
selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang
lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya
sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis serta fiktif yang
biasa dikenal dengan norma dasar (grundnorm) (Kelsen, 1961).
Di Indonesia, rantai atau hierarki norma hukum ini diejawantahkan ke dalam hierarki
peraturan perundang-undangan (Winata, 2018). Dalam hal ini, hierarki peraturan perundang-
undangan adalah sebagai ketaatan asas hukum yang diatur secara hierarkis seperti apa yang telah
dipahami dari teori jenjang hukum tersebut (Fitryantica, 2019). Hierarki peraturan perundang-
undangan telah diatur pada UUP3. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyebutkan jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jika ditinjau dari hierarki peraturan-perundang-undangan, kedudukan Undang-Undang
Omnibus Law dalam hal ini Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja adalah belum diatur. Pada
dasarnya, Undang-Undang konsep Omnibus Law yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat
seakan-akan atau bisa mengarah sebagai Undang-Undang Payung karena mengatur secara
menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain (Hukum Online,
2017). Dalam hal ini, Undang-Undang Omnibus Law sebagai Undang-Undang Payung menjadi
‘induk’ suatu tema dari Undang-Undang lainnya yang menjadi ‘anak’ dari tema terkait (Indrati,
2020). Tetapi, Indonesia justru tidak menganut Undang-Undang Payung karena posisi seluruh
Undang-Undang adalah sama (Fitryantica, 2019). Oleh karena itu, konsep Undang-Undang hasil
Omnibus Law sebagai Undang-Undang Payung tidak memiliki legitimasi dalam UUP3
(Fitryantica, 2019). Apabila Omnibus Law ingin diterapkan dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia, maka kedudukannya ialah berbentuk Undang-Undang semata. Omnibus
Law bukan Undang-Undang Pokok ataupun Payung yang kedudukannya lebih tinggi dibanding
Undang-Undang lainnya, tetapi hanya berbentuk Undang-Undang yang setara kedudukannya
dengan Undang-Undang lainnya (Donald, 2017).
Ketidakharmonisan Peraturan Perundang-Undangan Akibat Omnibus Law
Berdasarkan data dari Bank Dunia, Indonesia memiliki indeks kualitas regulasi yang
tergolong buruk pada 2018, yaitu -0.07. Nilai dari indeks kualitas regulasi adalah -2.5 s/d 2.5, -
2.5 berarti paling buruk, sementara 2.5 berarti paling baik. Dalam jangka waktu yang lebih
panjang, yakni 1996 hingga 2018, Indonesia juga tidak pernah beranjak dari nilai minus
(TheGlobalEconomy, 2020). Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa dalam kurun waktu
2014 sampai Oktober 2018 diterbitkan 107 undang-undang, 452 peraturan pemerintah, 765
peraturan presiden dan 7.621 peraturan menteri (Solikhin, 2019). Banyaknya regulasi tersebut
disebabkan ego sektoral masing-masing lembaga, sehingga mengeluarkan peraturannya masing-
masing. Pembuatan ribuan peraturan tersebut dilakukan tanpa banyak koordinasi antarlembaga,
sehingga terjadi ketidakharmonisan akut dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menanggapi semua ketidakharmonisan tersebut, harmonisasi peraturan perundang-
undangan menjadi penting. Harmonisasi diperlukan untuk menciptakan peraturan perundang-
undangan yang jelas dan tidak tumpang tindih. Idealnya, Omnibus Law dapat menjadi tonggak
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara konseptual, Omnibus Law dapat
membuat Undang-Undang sektor tertentu, yang kemudian disinkronisasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya untuk diharmonisasi.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, Omnibus Law usulan Pemerintah ini
justru menyebabkan kebingungan dalam ranah hukum. Tidak hanya kebingungan, Omnibus Law
juga berkontribusi terhadap ketidakharmonisan dalam undang-undang di Indonesia. Sebenarnya
hal ini tidak juga mengherankan, sebab pemerintah sendiri tergesa-gesa ingin mengesahkan
Omnibus Law. Omnibus Law Jokowi hanya mengambil beberapa pasal tertentu dari UU yang
telah ada. Misal, dalam RUU Cipta Kerja, mengambil tidak hanya UU yang berkaitan dengan
lapangan kerja, tetapi 11 cluster yang meliputi penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan
investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha,
dukungan riset dan investasi, administrasi pemerintahan, pengendalian lahan, kemudahan proyek
pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Terdapat beban yang sangat besar bagi
pemerintah untuk menyesuaikan dan mengharmonisasi sedemikian banyak Undang-Undang. Hal
ini semakin parah dengan adanya tenggat waktu yang kian semakin dekat.
Indonesia sendiri menganut sistem hukum civil law. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, civil law mengutamakan adanya kodifikasi hukum untuk direferensikan sebagai
sumber hukum yang dapat berlaku secara efektif. Sementara itu, common law lebih berorientasi
kepada yurisprudensi, yaitu keputusan hakim sebelumnya terkait suatu perkara, sebagai sumber
hukum yang utama (Garner, 2010). Dengan begitu, kodifikasi hukum memiliki tempat yang vital
dalam sistem hukum civil law, sebab setiap hakim terikat kepada kitab hasil kodifikasi tersebut.
Hakim di negara civil law juga tidak terikat dengan preseden, yaitu amar putusan hakim yang
terdahulu, sehingga hakim tidak dibatasi oleh preseden dari perkara yang sama. Sebagai ganti
dari ketidakterikatan hakim dengan preseden, hakim di negara civil law terikat pada peraturan
perundang-undangan tertulis, sehingga setiap kali hakim menangani perkara harus merujuk pada
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini tentu berlawanan dengan
hakim di negara common law yang sangat bergantung pada yurisprudensi. Sebagai konsekuensi,
Omnibus Law di negara common law sendiri tidak menteoretisikan hukum, melainkan lebih
banyak mengatur hal-hal teknis. Common law juga menganggap kodifikasi hukum sebagai hal
yang berbahaya karena undang-undang merupakan buah karya teoretisi yang dapat berbeda
dengan kenyataan dan tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
interpretasi pengadilan dan pembuatan hukum oleh hakim itu sendiri (judge made law) (Qamar,
2010). Dalam hubungannya dengan Omnibus Law, negara-negara yang menggunakan common
law sebagai sisterm mereka lebih sering menggunakan pendekatan hukum ini karena tradisi
(HukumOnline, 2020) Penerapan Omnibus Law dalam negara civil law secara tergesa-gesa dapat
menimbulkan berbagai permasalahan dan gejolak ketidakpastian hukum (Indarti, 2020).
Sulitnya penerapan Omnibus Law di negara civil law bukan berarti tidak mungkin.
Terlebih lagi, seiring perkembangan zaman, pembagian dikotomis antara common law dan civil
law menjadi semakin kabur. Semakin terjadi konvergensi antara dua sistem hukum besar tersebut,
termasuk didalamnya metode pembuatan peraturan perundang-undangan (Asshiddiqie, 2019).
Belanda misalnya, yang menganut sistem civil law, berhasil mengesahkan Omnibus Law khusus
tentang lingkungan pada 2016. Meski begitu, Omnibus Law tersebut tidak langsung berlaku saat
itu juga. Omnibus Law tentang lingkungan tersebut baru akan berlaku pada 2019, sebab
dibutuhkan waktu untuk penyesuaian dan sosialisasi agar dapat diterapkan dengan baik
(Netherlands Ministry for Infrastructure and Environment, 2016).
Sekarang, Pemerintah Indonesia berusaha membawa konsep Omnibus Law dari negara
common law ini ke Indonesia yang menganut civil law. Rencana strategis pemerintah ini tentu
cukup sulit untuk diwujudkan dan memerlukan banyak kehati-hatian dalam prosesnya.
Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan dalam proses penyusunan Omnibus Law sejauh ini. Alih-
alih berhati-hati, pemerintah justru gegabah ingin mengesahkan Omnibus Law dalam 100 hari
pertama Pemerintahan Jokowi periode kedua dan langsung berlaku. Pemerintah sudah tidak
berhati-hati sejak perencanaannya dengan tidak memerhatikan semua asas pembentukan
perundang-undangan. Sepanjang proses penyusunanya juga terjadi berbagai masalah mulai dari
minimnya transparansi hingga tidak dilibatkannya masyarakat terdampak dalam proses
penyusunan. Omnibus Law yang menyalahi konsep Omnibus sendiri ini menjadi UU payung
terbalik yang tidak berkontribusi terhadap harmonisasi undang-undang. Omnibus Law yang
disusun oleh pemerintah dengan tergesa-gesa dan tidak transparan ini akan menyebabkan
ketidakharmonisan undang-undang di Indonesia.
Tertutupnya Asas Keterbukaan
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan terdapat asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan. Asas-asas pebentukan peraturan
perundang-undangan ialah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik (Indrati, 2007). Salah satu asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang harus diperhatikan ialah asas keterbukaan. Asas keterbukaan sendiri
didefinisikan bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Oleh sebab itu, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan
(Febriansyah, 2016). Keberadaan asas keterbukaan sendiri telah diatur pada UUP3 Pasal 5 yang
menjelaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya
adalah asas keterbukaan.
Asas keterbukaan ini seharusnya mampu dijalankan dengan baik dan benar dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya asas keterbukaan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan ejawantah keterbukaan pemerintahan
yang melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis (Sulistyo, Widyawati and Kusriyah
2018). Asas keterbukaan ini menjadi salah satu dasar pijak bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan
(Febriansyah, 2016). Penerapan asas keterbukaan sendiri secara konsisten dan konsekuen dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan akan menjadi kan suatu produk hukum yang
dihasilkan dapat terlaksana secara efektif, efesien, dan bersifat responsive (Sulistyo, Widyawati
and Kusriyah 2018). Apabila asas keterbukaan ini tidak dilaksanakan dan tidak dipenuhi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan hal tersebut akan memberikan konsekunsi pada
produk hukum yang dihasilkan (Indrati, 2007).
Jika melihat realitanya, dalam pembentukan Undang-Undang Omnibus Law salah satunya
ialah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sangatlah tertutup akan akses informasi
mengenai draf tersebut. Padahal sudah banyak wartawan, LSM, sampai masyakarat yang
meminta akses infromasi mengenai draf RUU tersebut, namun Pemerintah bersihkeras tidak mau
menyebarkan draf RUU Cipta Kerja dengan alasan masih di-review. Draf tersebut seakan-akan
dirahasiakan dan tidak disebar luaskan kepada masyarakat umum oleh Pemerintah (Tirto.id,
2020). Bahkan tidak hanya masyarakat yang tertutup akan akses infromasi draf RUU Cipta Kerja,
lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM tidak dapat mengakses informasi
tersebut bahkan ditolak untuk mengakses informasi terkait sumber resmi draf Omnibus Law dan
diminta untuk merahasiakan draf tersebut (Ombudsman RI, 2020). Hal tersebut, sangatlah
bertentangan dengan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal, Pemerintah wajib untuk menyebarluaskan materi yang akan diundangkan sejak dari
penyusunan hingga pengundangan hal ini diatur Pasal 5 UUP3. Oleh karena itu, dengan
tertutupnya akses informasi mengenai draf RUU Cipta Kerja hal ini sangatlah bertentangan
dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar.
Hilangnya Peran Publik Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
Selanjutnya dalam pembuatan Omnibus Law, pemerintah melalui Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang terdiri dari 127 oramg (Tirto.id,
2019). Satgas yang didominasi oleh pengusaha ini menjadi sebuah masalah baru karena
mengabaikan partisipasi dari masyarakat terdampak seperti buruh hingga masyarakat adat.
Merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Habermas, demokrasi seharusnya memiliki
dimensi deliberatif, yaitu kebijakan yang dikeluarkan dapat dikontrol oleh diskursus antara
pembuat kebijakan dengan rakyat melalui ruang publik (Farihah & Wahyuni, 2015). Ruang
publik menjadi penting untuk melegitimasi bahwa Omnibus Law merupakan produk hukum yang
dianggap sebagai kehendak umum. Undang-undang yang dilahirkan tanpa melalui ruang publik,
hanya akan menjadi undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga negara (Farihah
& Wahyuni, 2015).
Konsep ruang publik sendiri sudah diatur pada pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatakan bahwa “Masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”. Lebih lanjut dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa masyarakat yang berhak
untuk memberikan masukan adalah orang perseorangan atau kelompok orang seperti
kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat adat yang mempunyai kepentingan atas rancangan perundang-undangan yang
disusun. Pada klaster ketenagakerjaan misalnya, keterlibatan serikat buruh dalam satgas
merupakan salah satu upaya untuk menjamin bawah Omnibus Law tidak memberi kerugian dan
menindas mereka. Serikat buruh memiliki peran penting dengan memastikan bahwa pendapat
warga negara berpendapatan rendah mendapat pertimbangan yang setara ketika pemerintah
membuat kebijakan (Flavin, 2016).
Kemudian pada kluster persyaratan investasi, pelibatan LSM yang bergerak di bidang
lingkungan merupakan sebuah keharusan untuk memberi masukan terkait pelaksanaan izin
lingkungan yang terjadi di lapangan selama ini. Terakhir pada kluster pengadaan lahan, pelibatan
masyarakat adat dalam penyusunan Omnibus Law merupakan langkah nyata untuk melindungi
hutan adat dari kerusakan yang disebabkan oleh investasi perusahaan. Oleh karena itu, pada
pembuatan Omnibus Law ini sudah selayaknya pemerintah melibatkan masyarakat seperti buruh,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan, hingga masyarakat
adat yang akan terdampak peraturan tersebut.
Kecacatan Pemerintah dalam Menyusun Pasal 170
Tidak hanya perihal masalah disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang
ditimbulkan dengan Undang-Undang Omnibus Law, perihal kecacatan norma hukum mengenai
hierarki peraturan perundang-undangan juga menjadi masalah. Hierarki peraturan perundang-
undangan adalah sebagai ketaatan asas hukum yang diatur secara hierarkis seperti apa yang telah
dipahami dari teori jenjang hukum tersebut (Fitryantica, 2019). Teori jenjang hukum adalah suatu
norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu
norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian
seterusnya sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis serta
fiktif yang biasa dikenal dengan norma dasar (grundnorm) (Kelsen, 1961).
Hierarki dalam peraturan perundang-undangan merupakan hal yang paling mendasar
dalam pembentukan suatu produk hukum. Hierarki dalam peraturan perundang-undangan
menunjukan tingkatan-tingkatan daripada masing-masing bentuk yang bersangkutan dimana
yang disebut lebih dahulu mempunyal kedudukan lebih tinggi daripada bentuk-bentuk yang
dibawahnya (Huda, 2006). Di samping itu, hierarki peraturan perundang-undangan mengandung
konsekuensi hukum dimana bentuk peraturan atau ketetapan yang tingkatannya lebih rendah
tidak boleh mengandung materi yang bertentangan dengan materi yang dimuat di dalam suatu
peraturan yang bentuknya lebih tinggi, terlepas dari soal siapakah yang berwenang memberikan
penilaian terhadap materi peraturan serta bagaimana nanti konsekuensi apabila suatu peraturan
itu materinya dinilai bertentangan dengan materi peraturan yang lebih tinggi (Huda, 2005). Salah
satu yang menjadi prinsip hierarki peraturan perundang-undangan ialah suatu peraturan
perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat (Manan, 2004).
Pada realita, kesalahan terhadap prinsip dasar hierarki peraturan perundang-undangan
terjadi pada Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada pasal 170. Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut :
“(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat
berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah
ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
(2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat
Republik Indonesia”
Jika melihat pada pasal tersebut dapat dilihat bahwa Pemerintah Pusat dapat mengubah suatu
Undang-Undang hanya menggunakan Peraturan Pemerintah serta berkonsultasi dengan DPR
dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis. Hal tersebut melanggar prinsip dari
hierarki peraturan perundang-undangan yang notabenenya sangat mendasar dalam menyusun
suatu produk hukum. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya Peraturan Pemerintah secara hierarkis
berada dibawah Undang-Undang dimana Undang-Undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dan lebih kuat, sehingga seharusnya Peraturan Pemerintah tidak dapat menggantikan Undang-
Undang sebagaimana disebutkan pada pasal 170 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja sebab peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh, dengan syarat
apapun, disimpangi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya (Manan, 2004). Jika hal
tersebut disimpangi, hierarki peraturan perundang-undangan yang seharusnya sangat mendasar
akan berubah menjadi tidak berarti (Huda, 2006).
Oleh karena itu wajar jika banyak pihak yang menolak keberadaan pasal tersebut. Namun,
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, beralasan bahwa terdapat
kesalahan pengetikan dalam pasal 170 tersebut (Tempo.co, 2020). Hal ini menjadi ironi ketika
RUU yang dianggap prioritas justru dibuat dengan kecerobohan seperti ‘salah ketik’. Salah satu
anggota DPR RI, Arsul Sani, juga menganggap alasan salah ketik tidak dapat diterima karena
penulisan Peraturan Pemerintah terdapat pada dua ayat sekaligus (Merdeka.com, 2020). Penting
bagi DPR untuk kemudian menolak keberadaan pasal tersebut karena melanggar hierarki
peraturan perundang-undangan Indonesia.

Cipta Kerja dari Perspektif Administrasi Negara


Secara etimologis, administrasi berasal dari bahasa Latin Ad dan Ministrare yang
berarti membantu, melayani, atau memenuhi. Dalam bahasa Belanda berasal dari bahasa
stellematige verkrijgimg, en verwerking van gegevens (dalam bahasa Indonesia disebut tata usaha
atau administrasi dalam arti sempit) dan bestuur en behe. Bestuur adalah manajemen akan
kegiatan organisasi dan Beher adalah manajemen akan sumber dayanya. Sedangkan dalam bahasa
Inggris berasal dari bahasa administration yang berarti proses (rangkaian) kegiatan usaha
kerjasama sekelompok orang secara terorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien.
Selain itu istilah publik berasal dari bahasa inggris yaitu public yang berarti umum, masyarakat,
atau negara. Publik juga dapat dimengerti sebagai penduduk, masyarakat, warga negara, dan
rakyat. Secara sederhana administrasi publik adalah kegiatan atau usaha kerjasama publik secara
terorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Maka dalam perumusan
RUU Cipta Kerja, administrasi negara sebagai satu cabang ilmu yang memiliki tujuan mencapai
suatu penyelesaian masalah secara efektif dan efisien juga mampu memberikan pemikiran dan
solusi yang tepat, terutama dalam ruang lingkup perencanaan.
Ilmu administrasi secara lebih spesifik administrasi negara yang dapat dilihat dari tiga
dimensi. Pertama, dimensi institusional yaitu administrasi negara terdiri dari berbagai organ yang
berada di bawah Presiden. Kedua, dimensi fungsional yaitu administrasi negara berfungsi untuk
menerapkan Undang-Undang. Ketiga, dimensi prosesual yaitu administrasi negara sebagai proses
tata kerja penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan (Atmosudirdjo, 1994). Melalui penjelasan
Prof. Atmosudirdjo di atas kita dapat mengerti bahwa dimensi administrasi negara dalam hal ini
RUU Cipta Kerja sangatlah luas.
Dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini dapat kita identifikasi satu per-satu dari
dimensi institusional dimana pemerintahan dan jajarannya dalam hal ini Menteri Koordinator
Perekonomian melakukan penyusunan dari tahap pembuatan naskah akademik hingga
dikeluarkannya draf RUU yang telah beredar di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan tahap
perencanaan dalam UU No. 12 tahun 2011 . Kinerja organ yang berada di bawah pemerintahan
Presiden Joko Widodo cenderung tertutup. Hal ini juga sesuai dengan perkataan Sekretaris
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bahwa pembahasan dilakukan tertutup agar
tidak memicu kegaduhan (Prabowo, 2020). Bukannya dapat menghindari kegaduhan pada
masyarakat, pemerintah malah menjadi sasaran utama yang disalahkan dalam proses penyusunan
RUU Cilaka ini. Sebagai salah satu contoh kegaduhan yang muncul di tengah-tengah masyarakat
ialah pada Senin 13 Januari 2020 ratusan orang yang tergabung dalam aliansi Gerakan Buruh
untuk Rakyat (Gebrak) yang terdiri dari berbagai organisasi seperti KASBI (Kongres Aliansi
Serikat Buruh Indonesia), Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk
Demokrasi), KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), dan 9 serikat lain melakukan aksi
demonstrasi di depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (Prabowo, 2020).
Dari segi dimensi fungsional negara dalam hal penyusunan RUU Cipta Kerja ini tentu
akan UUP3. Namun dalam prakteknya pemerintah tidak mengindahkan UUP3 ini, terutama Pasal
5 mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang salah satunya ialah
keterbukaan. Lembaga pemerintah sekelas Ombudsman RI sulit untuk dapat menerima draf
Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ombudsman, 2020). Selain itu buruh sebagai pihak yang diatur
sesuai UU No. 12 tahun 2011 ini tidak dilibatkan.
Sedangkan dari dimensi yang terakhir yaitu dimensi prosesual dimana pemerintah dituntut
mampu melaksanakan proses tata kerja penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Indonesia
pun sebagai negara hukum harus menaati hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan
UU No. 12 tahun 2011 dan UU No. 15 tahun 2019. Namun implementasinya dalam penyusunan
draf RUU Cipta Kerja ini terdapat salah satu pasal yang sangat kontroversial, yaitu pasal 170 ayat
1 yang berbunyi “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah
pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan
dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini," Kemudian pada pasal 170
ayat 2 mengatakan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan peraturan pemerintah (Farisa,
2020). Dalam hal ini dapat kita lihat proses tata kerja yang tidak mengindahkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada.
Cipta Kerja dari mata New Public Service
Sebenarnya dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja disinggung mengenai
perkembangan administrasi publik. Berkaitan dengan perumusan RUU ini perkembangan
administrasi publik di Indonesia akan berkaitan dengan bentuk negara kesejahteraan (welfare
state) dan kemudian berkembang lagi menjadi bentuk negara madani (civil society).
Dalam bentuk negara madani terdapat tiga pelaku penting yaitu pemerintah (state), pelaku
usaha (private sector), dan masyarakat (civil society). Baik pemerintah, pelaku usaha, dan
masyarakat harus dapat bekerja sama dengan baik demi terciptanya penyelenggaraan negara yang
efektif dan efisien dalam kerangka bangsa modern. Selain itu, kajian dan teori yang menjadi
landasan perumusan RUU Cipta Kerja ini yang berhubungan dengan ilmu administrasi publik
atau negara ialah tiga perspektif yang berkembang dari dulu hingga sekarang, yaitu old public
administration (OPA), new public management (NPM), dan new public service (NPS) (Silviana,
2012). New Public Service (NPS) sendiri adalah hasil pengembangan pemikiran post-modern
public administration yang berhubungan dengan old public administration dan new public
management, namun lebih demokratis, memiliki beragam pendekatan keilmuan, rasional,
mengedepankan kontribusi bagi masyarakat, dan pemerintah yang berperan untuk melayani
masyarakat. (Denhardt, 2007)
Pada awal penyusunan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, meskipun telah tertera pada
naskah akademik mengenai kecenderungan untuk menerapkan New Public Service, tetapi
pemerintah itu sendiri yang juga mengkhianati nilai-nilai praktis yang ada pada New Public
Service melalui cacat formil Omnibus Law. Nilai-nilai praktis New Public Service dan berbagai
penjelasan mengapa penyusunan awal RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah mengkhianati nilai-
nilai praktis tersebut bisa dilihat di bawah ini :
1. Serve, rather than steer
Peran utama pemerintah bukanlah mengarahkan tindakan publik melalui
seperangkat peraturan, insentif, dan juga keputusan yang dibuat secara sepihak tanpa ada
pelibatan dari elemen-elemen terkait. Dalam New Public Service, peran pemerintah (Role
of Government) adalah untuk melayani (serving), bernegosiasi (negotiating), menjadi
perantara antara kepentingan masyarakat dan komunitas (brokering interests among
citizens and community group), juga menciptakan nilai bersama (creating shared values)
Penyusunan awal RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang tertutup dan tidak
melibatkan pihak-pihak terkait seperti perwakilan dari buruh, LSM Lingkungan, dan juga
dengan tidak menanggapi permintaan dari Ombudsman telah menunjukan bahwa
pemerintah tidak membuka akses untuk bernegosiasi. Pemerintah juga telah gagal
menjadi perantara antara kepentingan masyarakat dengan komunitas karena dari proses
penyusunan sampai Satgas Omnibus Law itu sendiri tidak ada keterlibatan dari pihak
buruh yang justru akan sangat terdampak langsung dengan adanya RUU Cipta Kerja.
Pemerintah malah melakukan pengarahan (steering) sepihak terhadap RUU Cipta Kerja
yang bahkan lebih cenderung untuk mengedepankan kepentingan para pengusaha.
2. Think strategically, act democratically
Sorotan paling utama dari berbagai permasalahan yang ada di RUU Cipta Kerja
Omnibus Law pada awal penyusunannya adalah bahwa RUU ini telah mencederai arti dari
demokrasi yang menjadi pedoman berwarganegara di Indonesia, yang mana seharusnya
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bagaimana pemerintah bisa mengetahui produk
hukum mana yang paling baik dan tepat untuk rakyat Indonesia jika dalam awal
penyusunannya saja, perwakilan elemen masyarakat itu sendiri tidak diajak untuk
berpartisipasi langsung untuk menyampaikan pendapatnya. Pemerintah seharusnya
memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan visi kolektif melalui tindakan-tindakan
demokratis, yang mana dalam implementasinya semua pihak harus menciptakan ruang
untuk partisipasi dan kolaborasi, yaitu ruang dimana semua elemen terkait dapat
menyampaikan pandangannya.
Dengan tidak terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat dan elemen-elemen
terkait pada awal penyusunan RUU Cipta Kerja, maka pemerintah telah gagal memenuhi
tanggung jawabnya, lebih parahnya lagi adalah pemerintah itu sendiri yang telah
mencederai arti penting demokrasi. Masalah ini juga bergesekan dengan poin lainnya
dalam New Public Service, yaitu accountability isn’t simple. Pemerintah yang juga kian
sering mengabaikan tanggung jawabnya (accountability) telah mengkhianati nilai-nilai
dari New Public Service.
RUU Cipta Kerja dari Penguatan Good Governance, Katanya
Menurut United Nations Development Program (UNDP) governance atau
kepemerintahan adalah “exercise of economic, political, and administrative author to manage a
country’s affair at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and
ensure the well being of their population.” (UNDP, 2014). Maka dapat kita pahami secara
sederhana bahwa governance adalah proses pengambilan kebijakan untuk diimplementasikan
dalam penyelenggaraan negara.
Sedangkan good governance menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) adalah
proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and
services (Sedarmayanti, 2004). Dalam proses menyediakan barang dan pelayanan publik
penguasa dalam hal ini pemerintah dituntut bekerja sama dengan sektor swasta dan
masyarakat. Secara spesifik mengenai prinsip-prinsip yang menjadi karakteristik good
governance menurut UNDP dan hal yang telah dilanggar pemerintah dalam perumusan RUU
Cipta Kerja ini dapat dilihat dibawah ini :
a. Partisipasi (participation)
Setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi ini dimulai dengan tatanan kebebasan
dalam menyampaikan pendapat dan kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Senada pula dengan Pasal 96 UU No 12 tahun 2011 yang mengindahkan pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam proses
penyusunan draf RUU Cipta Kerja ini cenderung menutup ruang partisipasi publik. Hal
ini dapat dibuktikan karena tidak adanya kanal resmi untuk mengakses baik draf RUU
maupun naskah akademiknya.
b. Aturan hukum (rule of law)
Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus dibuat dengan
memperhatikan asas keadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama soal aturan
hukum hak-hak asasi manusia. Tujuan utamanya adalah independensi dan suatu sistem
yang dapat menekan peluang korupsi. Dalam penyusunan draf RUU Cipta kerja ini dari
segi rule of law, dinilai cacat karena dibuat berdasarkan kepentingan politik dan bukan
hukum yang secara legal berlaku. Tidak disertakannya perwakilan rakyat dalam Satuan
Tugas (Satgas) Omnibus Law yang dibentuk dianggap berperan dalam melahirkan RUU
yang kental akan substansi kaum elite dan tidak berpihak pada rakyat (CNN Indonesia,
2020).
Selain itu prinsip ini akan berhubungan dengan asas kepastian hukum dalam asas
umum pemerintahan yang baik dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2014. Asas kepastian
hukum menurut peraturan ini adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penerapan asas kepastian
hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik apabila regulasi yang ada tumpang-tindih
satu sama lain sehingga pemerintah dalam kasus ini mengambil langkah untuk
menyederhanakan peraturan-peraturan yang ada dalam RUU Cipta Kerja ini sebagai
payung hukum. Tujuan yang ingin dicapai melalui RUU Cipta Kerja memang baik, tetapi
dalam perencanaannya RUU Cipta Kerja ini telah terbukti melanggar asas kepastian
hukum dari sisi keadaan peraturan yang tumpang-tindih.
c. Transparansi (transparency)
Hal ini menuntut terbangunnya kebebasan aliran informasi kepada publik, sejak
perencanaan hingga perumusannya. Kebebasan informasi ini harus berlandaskan hukum
dan regulasi yang berlaku. Masyarakat yang berpotensi terdampak sebuah kebijakan harus
diberi cara untuk dapat mengakses informasi langsung, terpercaya, dan mudah
dimengerti. Begitu pula dalam Pasal 5 UUP3 yang menuntut adanya asas keterbukaan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Dapat disimpulkan, proses penyusunan
draf RUU ini cenderung tidak transparan.
Untuk dapat mengukur prinsip transparansi ini pula dapat dihubungkan dengan
salah satu asas dalam AUPB yaitu asas keterbukaan. Asas keterbukaan adalah asas yang
melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Namun dalam penyusunan RUU Cipta Kerja, pemerintah tidak mengindahkan hak-hak
ini.
d. Daya tanggap (responsiveness)
Hal ini tentu berkaitan dengan kemampuan institusi untuk dapat memberikan
pelayanan terhadap berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam proses
penyusunan draf RUU ini dapat kita lihat melalui respons pemerintah terhadap segala
substansi yang dikritik oleh masyarakat yang tidak direspons secara konstruktif oleh
pemerintah. Pemerintah melalui Menkopolhukam, Prof. Mahfud M.D. menyatakan
bahwa pasal 170 RUU Cipta Kerja ini salah ketik.
Selain itu untuk dapat melihat daya tanggap pemerintah dalam penyusunan draf
RUU Cipta Kerja ini dapat dinilai dari salah satu asas dalam AUPB yaitu asas
ketidakberpihakan. Asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan
tidak diskriminatif. Pemerintah dalam penyusunannya pun tidak berpihak pada
masyarakat, dikarenakan tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya.
Keberpihakan pemerintah di sini hanya kepada segelintir elite. Penolakan yang
seharusnya disikapi dengan dialog malah dihadapi oleh aparat penegak hukum dan
intelijen (Sholikin, 2020). Tidak ada ruang dialog yang dibuka di awal penyusunan,
sehingga masyarakat dianggap harus setuju tidak sesuai dengan asas ketidakberpihakan
pada AUPB.
e. Berorientasi konsensus (consensus oriented)
Dalam proses pelaksanaan tentu akan dihadapi dengan konflik pro-kontra, maka
seharusnya pemerintah dapat bertindak sebagai perancang visi dan penengah (mediator)
dalam prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. Solusi yang ditawarkan oleh
pemerintah harus bersifat jangka panjang. Dalam hal ini, RUU Cipta Kerja diciptakan
untuk menciptakan lapangan kerja melalui transformasi struktural ekonomi, seperti
dikutip dari laman resmi Kementerian Koordinator Perekonomian Indonesia. Hal ini
merupakan kepanjangan dari visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia keluar dari
middle income trap dan menjadi 5 negara ekonomi besar dunia pada tahun 2045. Namun,
pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas yang lebih tinggi tidak memiliki usaha
dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi konflik di tengah-tengah masyarakat
sebagai bentuk mencapai konsensus bersama.
f. Berkeadilan (equity and inclusiveness)
Berkeadilan merupakan perlakuan yang setara bagi semua elemen dalam
masyarakat, termasuk dalam penyusunan draf RUU Cipta Kerja ini baik penguasa,
pengusaha, dan masyarakat awam harus dapat memperoleh keadilan hukum. Namun
ironis memang ketika prinsip itu hanya menjadi kungkungan teoritikal belaka yang tidak
terimplementasikan. Buruh sebagai pihak yang diatur dan terkena dampak dalam RUU
Cipta Kerja ini tidak mendapatkan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari kemungkinan Upah
Minimum Provinsi dihapus karena akan diadakannya upah berdasarkan jam kerja.
Meskipun hal ini telah disanggah oleh Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah. Akan tetapi,
selain UMP terdapat pula Upah Minimum Kabupaten/Kota. Sebagai salah satu contohnya
UMK Kota Depok sesuai surat edaran gubernur jawa barat bernomor 561/75/Yanbangsos
berada pada nominal Rp.4.202.105,- sedangkan UMP Provinsi Jawa Barat berada pada
nominal Rp1.810.351,-. Maka, jika mengikuti RUU Cipta Kerja ini buruh di Depok akan
mendapatkan pendapatan sekitar Rp.1.810.351,- yang tentunya jauh dari UMK
seharusnya.
g. Efektivitas dan Efisiensi (effectiveness and efficiency)
Secara singkat efektif adalah berhasil guna, sedangkan efisien adalah berdaya
guna. Tentunya segala kegiatan terutama dalam kepemerintahan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berkemampuan menyelesaikan permasalahan
yang ada. Dalam penyusunan draf RUU Cipta Kerja ini terdapat tumpang tindih yang
menentang hierarki peraturan perundang-undangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal 170 yang menimbulkan konflik tumpang tindih bahwa Peraturan Pemerintah
memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan UU, padahal dalam konstitusi negara kita
PP berada di bawah UU. Oleh karena itu, melalui dua poin yang terdapat pada pasal 170
terdapat ketidakberhasilan dan ketidakberdayaan guna yang menjadi isi pasal tersebut.
h. Akuntabilitas (accountability)
Seluruh pemangku pengambil keputusan (decision makers) memiliki
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik. Hal yang sama pula dimiliki oleh
pemerintah yang telah selesai merampungkan draf RUU Cipta Kerja. Tidak ada akses
informasi yang diberikan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja
pemerintah. Tanpa adanya rule of law dan transparansi, asas akuntabilitas mustahil
terpenuhi. Oleh karena itu akuntabilitas yang dituntut dalam prinsip akuntabilitas ini
dalam perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja ini sangatlah minim.
i. Bervisi strategis (strategic vision)
Baik pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jangka
panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini pun
yang menjadi permasalahan dalam penyusunan draf RUU Cipta Kerja. Jika kita kembali
melihat pidato pelantikan Presiden Joko Widodo tahun 2019 yang mengajak DPR untuk
menerbitkan UU Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM, tujuannya pun
sebenarnya sangatlah visioner, yaitu untuk mengantisipasi resesi ekonomi di tahun 2020
ini. Namun meskipun memiliki alasan, visi strategis pemerintah tidak boleh merugikan
pihak-pihak lain, apalagi rakyat itu sendiri yang dirugikan. Dengan tidak adanya pelibatan
pihak buruh dan elemen lain yang terkait juga telah membuktikan bahwa visi tersebut
tidaklah strategis karena tidak terdapat pandangan-pandangan dari pihak terkait.
Kesimpulan dan Saran
Omnibus Law yang berusaha diimplementasikan oleh Pemerintahan Jokowi di Indonesia
terbilang terlalu tergesa-gesa dan tidak siap. Konsep Omnibus Law yang berasal dari negara
penganut common law membutuhkan banyak penyesuaian untuk dapat diterapkan di Indonesia
yang menganut civil law. Dari kasus negara-negara yang menerapkan Omnibus Law, sangat
diperlukan kehati-hatian dalam penerapannya. Pemerintahan Jokowi tidak melakukan hal
tersebut. Sebaliknya, proses pembuatan Omnibus Law justru dikebut dalam 100 hari pertama
Pemerintahan Jokowi periode kedua. Penyusunannya pun dilakukan secara tidak transparan dan
tidak melibatkan seluruh masyarakat terdampak. Selain itu, terdapat miskonsepsi bahwa
pembentukan Omnibus Law ini sebagai UU yang dapat mengambil pasal dari berbagai UU
sektoral. Padahal, sudah terdapat UU payung dan posisi Omnibus Law belum jelas dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia. Akhirnya, Omnibus Law hanya menjadi alat pemulus
kepentingan kelompok yang hanya disisipi oleh pasal karet seperti Pasal 170 RUU Cipta Kerja.
Pembuatan Omnibus Law pada kondisinya yang terkini hanya akan berujung kepada
ketidakharmonisan undang-undang dan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sudah
seharusnya dapat menerapkan nilai-nilai administrasi negara yang mengikuti perkembangan
zaman. Nilai-nilai dalam New Public Service, Good Governance, dan AUPB seharusnya dapat
diterapkan di bangsa kita. Namun, pembentukan RUU Cipta Kerja yang termaktub dalam Omnibus
Law ini sejak awal dapat kita lihat tidak diindahkan dan dilaksanakan. Alih-alih mengatasnamakan
menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, mempertahankan daya beli masyarakat, serta
meningkatkan kinerja investasi pemerintah justru tidak mengindahkan mekanisme penyusunan
RUU. Transparansi dan minimnya partisipasi publik menjadi masalah utama yang dilakukan oleh
pemerintah dengan mengabaikan nilai-nilai dari New Public Service, Good Governance, dan
AUPB itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Agustiyanti. (2017). Jokowi Sebut 42 Ribu Aturan Hambat RI Ikuti Perubahan


Global. Diakses dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171024125609-92-
250596/jokowi-sebut-42-ribu-aturan-hambat-ri-ikuti-perubahan-global
Al-Fatih, F. A. (2017). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, Dan
Islamic Law Dalam Perspektif Sejarah Dan Karakteristik. Legality, 103.
Asshiddiqie, J. (2020, Januari 30). UU Omnibus (Omnibus Law), Penyederhanaan
Legislasi, dan Kodifikasi Administratif. Diakses dari ICMI.or.id:
https://www.icmi.or.id/opini-dan-tokoh/opini/uu-omnibus-omnibus-law-
penyederhanaan-legislasi-dan-kodifikasi-administratif
Asshiddiqie, J. (2006). Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press
Atmosudirdjo, Prajudi. (1994). Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
CNN Indonesia. 2020. Omnibus Law Dinilai Kapitalistik dan Matikan
Demokrasi. Diakses dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200222042400-32-
477017/omnibus-law-dinilai-kapitalistik-dan-matikan-demokrasi
Denhardt, Janet Vinzant dan Robert B. Denhardt. (2007). The New Public Service
: Serving, Not Steering. New York: M.E Sharpe.
Diskusi Publik. Omnibus Law: UU Sapu Jagad atau Sapu Rakyat? di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, pada 20 Februari 2020
Donal, H. (2017). Pembentukan Regulasi Badan Usaha Dengan Model Omnibus
Law. Jurnal Hukum, .3(1), 465.
Farihah, L. & Wahyuni, D, S. (2015). Demokrasi Deliberatif dalam Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan
ke Depan. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan
Farisa, Fitria. (2019). Banyak Aturan Tumpang Tindih, PSHK Dorong Revisi UU
Nomor 12 Tahun 2011. Diakses dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/15/16391741/banyak-aturan-
tumpang-tindih-pshk-dorong-revisi-uu-nomor-12-tahun-2011?page=all
Farisa, Fitria. (2020). Polemik Pasal 170 RUU Cipta Kerja, Peran Kemenkumham
Dipertanyakan. Diakses dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/22/12123871/polemik-pasal-170-
ruu-cipta-kerja-peran-kemenkumham-dipertanyakan
Febriansyah, F. I. (2016). Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Di Indonesia. Jurnal Perspektif, 224.
Fitryantica, A. (2019). Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan, 6(3), 302.
Flavin, P. (2016). Labor Union Strength and the Equality of Political
Representation. Cambridge: Cambridge University Press.
Garner, B. A. (2010). Black's Law Dictionary. St. Paul: West.
Gunter, L. (2012, Juni 18). Omnibus Bills in Hill History. Diakses dari
Torontosun.com: https://torontosun.com/2012/06/18/omnibus-bills-in-hill-
history/wcm/5b85232b-b8b4-4c9b-b5b7-9480b9821292
Huda, N. (2006). Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan. Jurnal Hukum No.1 Vol.12, 32
Huda, N. (2005). Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review. Yogyakarta:
UII Press
Idham, A. (2019). Isi Pidato Jokowi saat Pelantikan Presiden 2019-2014 di Sidang
MPR. Diakses dari https://tirto.id/isi-pidato-jokowi-saat-pelantikan-
presiden-2019-2024-di-sidang-mpr-ej5U
Hukum Online. (2017). Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan Di
Indonesia. Diakses dari Hukum Online:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-
konsep-omnibus-law-bila-diterapkan-di-indonesia/
Hukum Online. (2020, Januari 31). Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar.
Diakses dari Hukum Online:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3325327d597/plus-minus-
omnibus-law-di-mata-pakar/
Indonesia. (2011). Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Indrati, M. F. (2007). Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan). Yogyakarta: Kanisius
Indrati, M. F. (2020, Januari 4). "Omnibus Law”, UU Sapu Jagat? Diakses dari
Kompas.com: https://kompas.id/baca/opini/2019/12/31/omnibus-law-uu-
sapu-jagat/
Kelsen, H. (1961). General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel
Manan, B. (1997). Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni.
Mana, B. (2004). Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
Mayasari, I. (2018, November 12). Menggagas Omnibus Law. Diakses dari
Kumparan.com: https://kumparan.com/dr-ima-mayasari-m-h/menggagas-
omnibus-law-1542018891459839175
Merdeka.com. (2020, Februari 19). PPP Menolak Alasan Pemerintah Salah Ketik
Pasal 170 Omnibus Law. Diakses dari Merdeka.com:
https://www.merdeka.com/politik/ppp-menolak-alasan-pemerintah-salah-
ketik-pasal-170-omnibus-law.html
Netherlands Ministry for Infrastructure and Environment. (2016). Environment and
Planning Act. Amsterdam: Netherlands Ministry for Infrastructure and
Environment.
Ombudsman RI. (2020, Januari 31). Kritik Untuk Omnibus Law: Bersifat Rahasia,
Diragukan Penyusun dan Potensi Jadi Aturan Gelap. Diakses pada 31
Januari, 2020 dari https://ombudsman.go.id/news/r/kritik-untuk-omnibus-
law-bersifat-rahasia-diragukan-penyusun-dan-potensi-jadi-aturan-gelap
Ombudsman RI. (2020, Januari 31). Kritik Untuk Omnibus Law: Bersifat Rahasia,
Diragukan Penyusun dan Potensi Jadi Aturan Gelap. Diakses pada 31
Januari, 2020 dari https://ombudsman.go.id/news/r/kritik-untuk-omnibus-
law-bersifat-rahasia-diragukan-penyusun-dan-potensi-jadi-aturan-gelap
Prabowo, Haris. (2020). Pembahasan RUU Cilaka Tertutup, Menko Airlangga
Lempar Bola ke DPR. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/pembahasan-ruu-
cilaka-tertutup-menko-airlangga-lempar-bola-ke-dpr-eyvQ
Prabowo, Haris. (2020). Mengapa Buruh Menolak RUU Cipta Lapangan Kerja.
Retrieved from: https://tirto.id/mengapa-buruh-menolak-ruu-cipta-
lapangan-kerja-eszH
PSHK. (2020). RUU Cipta Kerja: Awal Langkah Penuh Masalah.
Diakses dari: https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-
awal-langkah-penuh-masalah/

Qamar, N. (2010). Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System
dan Common Law System. Jakarta: Pustaka Refleksi.
Ramadhan, R. C. (2018). Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia
dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum. Jurnal Mimbar Hukum, 30(2),
213-229.
Sedarmayanti. (2004). Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Bandung:
CV. Mandar Maju.
Silviana, S. (2012). Perjalanan Old Public Administration (OPA), New Public
Management (NPM) Hingga New Public Service. Jurnal Perjalanan OPA,
NPM, dan NPS, hlm.1
Soeroso, R. (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Solikhin, M. N. (2019, Oktober 31). Mengapa kita harus berhati-hati dengan
rencana Jokowi mengeluarkan omnibus law. Diakses dari PSHK.or.id:
https://www.pshk.or.id/blog-id/mengapa-kita-harus-berhati-hati-dengan-
rencana-jokowi-mengeluarkan-omnibus-law/

Sholikin, Nur. (2020). Dua Masalah Hukum dalam Penyusunan RUU Omnibus
Law Cipta Lapangan Kerja. Retrieved from:
https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-
omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979
Suderman, P. (2018, Maret 22). The New Omnibus is Terrible because Congress is
Broken. Diakses dari Reason.com: https://reason.com/2018/03/22/the-new-
omnibus-is-terrible-because-cong/
Sulistyo, Iwam, Widyawati, Sri Kusriyah. (2018). Implementasi Asas Keterbukaan
Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Rangka Otonomi
Daerah Di Kabupaten Kendal. Jurnal Daulat Hukum, 197.
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat bernomor 561/75/Yanbangsos.
Suriadinata, V. (2019). Penyusunan Undang-Undang Di Bidang Invetasi: Kajian
Pembentukan Omnibus Law Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 117.
Tempo.co. (2020, Februari 2018). DPR Beri Pemerintah Waktu Perbaiki Salah
Ketik RUU Cipta Kerja. Diakses dari Tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1309018/dpr-beri-pemerintah-waktu-
perbaiki-salah-ketik-ruu-cipta-kerja/full&view=ok
TheGlobalEconomy. (2020, Februari 27). Indonesia: Regulatory quality. Diakses
dari TheGolbalEconomy.com:
https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/wb_regulatory_quality/
Tirto.id. (2020, Januari 24). Alasan Pemerintah Tetap Ngotot Tak Buka Draf Ruu
Omnibu Law. Diakses dari Tirto Id: https://tirto.id/alasan-pemerintah-tetap-
ngotot-tak-buka-draf-ruu-omnibus-law-euJo
Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
UNDP. 2014. Governance for Sustainable Development.
Weiss, G. A. (2000). The Enchantment of Codification in The Common Law
World. The Yale Journal of International Law, 435-532
Winata, Z. F. (2018). Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia. Negaraka Hukum Vol.9 No.1, 80

Anda mungkin juga menyukai