Anda di halaman 1dari 23

SYARAT-SYARAT SEORANG PEROWI DAN PROSEN

TRANSFORMASI

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“STUDI HADIST”

Disusun oleh Kelompok 4 :


1. Nuril Wahyu Fatimah (05020120076)
2. MH. Alwil Maliky (05030120091)
3. Aulia Dwi Anggraini (05040120105)

Dosen Pengampu :

Dr. H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmat,taufiq, dan hidayah-Nya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.Tujuan
penyusun menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadis dan
memperdalam pemahaman tentang materi Syarat-Syarat Seorang Perawi dan Proses
Transformasi.

Berbagai hambatan telah penyusun hadapi dalam menyusun makalah ini. Namun
berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, hambatan tersebut dapat teratasi dengan
baik. Untuk itu penyusun mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag selaku Dosen Penampu mata kuliah Studi Hadis

2. Teman-teman kami yang telah mendukung

3. Serta semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini

Akhir kata, penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena
itu,penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Surabaya, 21 November 2020

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. baik itu
perkataan, ataupun pengakuan beliau. Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah. Rawi dalam
ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang
rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah,
karena apabila seorang rawi tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para
ulama hadits, maka hadits tidak diterima atau ditolak. At tahammul wal al adaa merupakan
dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang
sangat penting dalam perkembangan hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis
memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih
mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih
akrab lagi dengan istilah- istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui, dengan
memahami istilahistilah dalam periwayatan hadits maka kita akan lebih mudah dalam
memahami ulumul hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja syarat menjadi seorang perawi ?


2. Apa yang dimaksud dengan Tahammul Wal’ad ?
3. Apa saja Sighat Tahammul Wal’ad ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-Syarat Menjadi Seorang Perawi.

I. Perawi Hadis
A. Definisi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis[ 1].
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang mengutip, memindahkan atau menuliskan hadis
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi,
maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadis.
Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat
berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini
menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, kualitas
metode yang mereka miliki.

Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi
diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama
apapun, bahkan hingga masa kini.

B. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:

1) Muslim.

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti
akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-
hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan
memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya
berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau
menanggungnya.

Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika
mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau didengarnya
ketika masih
1
. Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120
belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau
telah meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya
ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib[2].

2) Berakal.

Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang
untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis,
seseorang harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima
riwayat, yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas,
dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada
waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun[3].

3) Al-dhabtu (dhabit).

Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis
maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang
kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia
riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti
dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit
tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan
terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya
masih diragukan[4].

Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis, merekalah
orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadis
shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan
penghafal dan banyak mendengar[5].

4) Adil.

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan
agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian,

2
Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
3 Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm. 54

4
. Salah Muhammad Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
5
Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59
Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-
larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala
tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan
merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut
maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”[6].

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah
kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun
saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil
terhadap dirinya sendiri.

II. Proses Transmisi Hadis

A. Definisi.

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-
tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari
Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi
transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari
sanad ke sanad sampai ke perawi.

B. Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya:

1) Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada
masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.

2) Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan
subuh.

3) Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim surat
kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.

Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah
hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi. Cara

6
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80
periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah sama dengan
pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama
dengan zaman sesudahnya.

C. Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai zaman sesudah generasi sahabat.

1. Periwayatan hadis pada zaman Nabi

Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui nabi.
Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya
kepadanya.

Proses transmisi hadis masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran terjadi karena 2 hal yaitu:

1. Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.


2. Minat yang besar dari para sahabat.

2. Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi

a) Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq

Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya


dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini didasarkan
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak
melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan kepada nenek.
Lalu ia bertanya kepada sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada
Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta
sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan
seperenam bagian.

Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila
jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak[7]. Data sejarah tentang kegiatan
periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas.

7
. Al- Suyuthiy telah menghimpun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari berbagai mukharrij,
sebanyak 695 hadis.
b) Pada Zaman Umar bin Khattab

Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari masa
Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau
sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-Qur`an dan lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadis.

c) Pada Masa Utsman bin Affan

Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya.
Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta
kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah didengar pada masa Abu
Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan
khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu mulai meluas dan perawipun
jumlahnya bertambah dan meluas.

d) Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya
dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah
periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya
dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.

Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi
pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam
penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak tertentu melakukan
pemalsuan hadist[8]. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya
riwayatnya.

3. Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat

Pada zaman generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan dalam
kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadis Nabi.
Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.

8
. Pemalsuan terjadi karena kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan hanya
matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak memperoleh
hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman dengan Nabi.

Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian
periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman
sahabat Nabi.

D. 3 (tiga) Unsur yang harus dipenuhi di dalam periwayatan hadis, yaitu:

1. At-tahammul (Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis)


2. Al-ada’ (Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain)
3. Al-isnad (Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya
ketika menyampaikan hadist)[9].

1) Kelayakan Tahammul

Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan anak kecil,
yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya.
Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia
anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn
Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah
antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat
para ulama tersebut, dapat di simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima
hadis menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang
dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.

Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil,
berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari
anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun
demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di
antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas
penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:

9
. [9] M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 17

7
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh
pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad ibn ar-
Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku
(ketika itu) berusia lima tahun.”

Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan
mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan
antara sapi dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz.
Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.

Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya
tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia
sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila
ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mendengar hadis tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.

1. Kelayakan Ada’
2. Islam,
3. Baligh
4. Sifat Adil
5. Dhabit

E. Metode Penerimaan Hadis

Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang lebih
intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar mengajar
hadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode periwayatan hadis kepada
delapan macam[10] yaitu :

10
. Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, .2010) hlm. 177

8
1. As As-sama’

Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendiktean), dan
tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada
peringkat tertinggi.

Di dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata :

Tَ‫(نا حدَّث‬seorang telah menceritakan kepada kami)

Tََ‫(رنَا َب ْخ أ‬seorang telah mengabarkan kepada

kami) Tَ‫نَا ْن َأ‬Tَ‫(بأ‬seorang telah memberitakan

kepada kami)

‫ت‬ ِ (saya telah mendengan seseorang)


‫ُفاَلًنا‬ ‫م‬
‫ْع‬
‫س‬

‫ن‬ ‫(ُفاَل َلنَا َقال‬seseorang telah berkata kepada kami)

‫ن‬ َ‫(ُفاَل َلَنا َر َك ذ‬seseorang telah menuturkan kepada kami).

Termasuk dalam kategori as-sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari Syeikh
dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya
dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika
meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin (para istri Nabi).

2. Al-Qira’ah

Yaitu periwayat/murid menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayatan itu sendiri membacanya atau orang lain yang membacakannya dan dia
mendengarkan[11]. Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau
bisa juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif
menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini hampir
mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal al-Qur’an.

Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira’ah ini, ulama berbeda pendapat,
menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-qira’ah sama kedudukannya dengan cara as-
sama’. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan Ibn as-Salah menilai kedudukan as-sama’ lebih
11
.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 61
tinggi daripada al-qira’ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-qira’ah lebih tinggi daripada as-
sama’.

Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka cara al-qira’ah lebih
berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan cara as-
sama’. Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh guru hadis
selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis menyimak hadis
yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai penguat dan pemeriksa
terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh murid.

Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang disepakati
oleh ulama, antara lain adalah:

a) ‫(فالن على قرأت‬aku telah membaca kepada fulan ) kata-kata ini dipakai bila periwayat
membaca sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.

b) ‫رأت‬T‫ (فأقربه اسمع وأنا فالن على ق‬aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya) kata- kata
ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang
lain, sedang guru hadis menyimaknya.[12]

Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara lain adalah
kata haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata lain.

3. Al-Ijazah

Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan
untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.

Jenis ijazah ini ada dua macam:

a. Al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:

1) Seorang guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu guru
tadi berkata, “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya peroleh ini.”

12
. Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: Maktabah al-
Ilmiyyah, 1996), hlm. 123

10
2) Seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya, selanjutnya ia
mengatakan: “Hadis ini saya terima dari guru saya dan anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadis ini dari saya.”

b. Al-Ijazah al-mujarradah (ijazah murni)

Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada:

1) Orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab
Shahih- al-Bukhariy.

2) Orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau

3) Orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak
tertentu.

Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan fiqih disepakati
kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih diperselisihkan.

Adapun kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya ialah haddatsana
ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijazatan, dan lain-lain.[13]

4. Al-Munaawalah (menyerahkan)

Al-Munawalah ada dua macam:

a) Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,

‫ع ْن ُفاَل ٍن َفا‬
‫ ْو ِر‬Tَ‫عي أ‬ َ ‫( ه‬Ini riwayatku/kudengar dari si fulan, maka riwayatkanlah).
‫ْ ر ِوه‬
‫َوا َي ِتي‬ ‫ذَا ما‬
‫س‬

Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk
disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah
daripada as-sama' dan al-qira'ah.

b) Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :

13
.Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003),
hlm. 107
11
‫عي م ر َوا َي‬
َ ‫( ه‬Inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku) Yang
‫ِت ي‬ ‫ ْو ْن‬Tَ‫أ‬ ‫َذا ما‬
‫س‬
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

5. Al-Mukatabah

Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-Mukatabah ada 2
macam :

a) Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku ijazahkan


kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan
cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai
ijazah.

b) Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadis
untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan
tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.

Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-mukatabah cukup banyak. Misalnya
Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi Kitaban.

6. Al-I'lam (memberitahu)

Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang
diriwayatkannya diterima dari seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkannya.Hadis dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa
sang guru mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada cacatnya.[14]

Kata yang dipakai ialah: ‫حدثنا قال ن‬


‫( َا عل َم ِني‬seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah
berkata kepada kami) ‫ُفال‬
7. Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah
kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan
wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh
dipakai.
12
14
. Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hlm. 187.

13
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun
bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun
washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

8. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu: Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak menerima sendiri dari
orang yang menulisnya.

Dalam menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan),
atau "qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.

B. Tahammul Wal’ad
Tahammul )ْ ‫ح‬Tَ‫ ( ل ٌّم ت‬dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ )‫َدأ‬Tَ‫ (ا‬artinya
“menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka tahammul hadit )
ِ ُّ ‫(ت‬
‫ث‬
‫م د‬
‫ْل ْي‬
‫ح ح‬
merupakan kegiatan menerima riwayat hadits”, sedangkan ada’ul hadit
ِ ‫ َاَدأُ ا ْل‬merupakan
‫ث‬
‫د‬
‫ْي‬
‫ح‬
kegiatan menyampaikan riwayat hadits”.Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari
fi’il madhli tahmmala yang bearti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Berarti tahammul menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung
hadits[15].

Dengan demikian, tahammul wa Ada’ al-hadits adalah suatu kegiatan menerima dan
menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan dengan matarantai sanad
maupun matan, sebab matarantai sanad selain memuat nama-nama para perawi, memuat
lafal-lafal yang memberikan petunjuk tentang metode periwayatan hadits yang digunakan
oleh masing-masing perawi yang bersangkutan, sehingga dari lafal-lafal tersebut dapat diteliti
sejauh mana tingkat akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi
yang nama-namanya termuat di dalam matarantai sanad.

15
Mahmud Thohan, terjemahan Mushtholah Hadits (Songgopuro: Haramain, 1985) Hal. 156.
C. Sighat-Sighat Tahammul Wal’ad.
1. Mendengar (Al Sima’) Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup
imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits.
Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di
perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits
ini kepada kami).

2. Membaca (Al Qira’ah) Yaitu sipembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya


dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau
orang lain membacakan dan kita mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan
untuk mengatakan dalam periwayatannya.

3. Ijazah (Al Ijazah) Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Pemberian izin
oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca
hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan
cara
tertulis “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang
terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”. Diantara macam ijazah adalah :

a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertantu kepada seorang yang tertentu.


Misalnya dia berkata “Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Diantara jenis-
jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya. Seperti mengatakan “Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan
semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan “aku mengijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan “Aku mengijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”
sedangkan disitu terdapat sejumlah orang yang memiliki nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikuti
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata “Aku ijazahkan
riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
4. Memberi (Munawalah) Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah
terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak
disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”. Munawalah ada dua macam yaitu
munawalah yang disertai ijazah dan munawalah yang tidak diiringi ijazah.

5. Menulis (Al Kitabah) Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis
beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah
bercerita kepadaku dengan surat menyurat”. Al Kitabah ada dua macam yaitu Kitabah
yang disertai ijazah dan Kitaba yang tidak disertai ijazah.

6. Pemberitahuan (I’lam) Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru
hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian ini ia
sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya telah
berkata kepadaku”.

7. Wasiat (Al Wasiyah) Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan
kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian
pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan
sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”.

8. Penentuan (Al – Wijadah) Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak
diriwayatkan Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan
buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan
dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.

Dari delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang
dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah: Al-Sama, Al-Qira’ah dan
Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya di persilahkan
perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi lebih disebabkan karena mereka
sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits. Periwayatan hadits dengan makna dapat
ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri yang
dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula dirumuskan sebagai
periwayatan hadits yang menggunakan lapadz – lapadz yang berbeda dengan teks asli tetapi
kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal hadits.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
1. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, yaitu: a)Muslim, mengenai syarat
ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam.
b)Berakal, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi
untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis.c)Al-dhabtu (dhabit),
dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun
menyampaikannya. d) Adil. perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen
tinggi pada urusan agama.

2. Tahammul wa Ada’ al-hadits adalah suatu kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat
hadits secara lengkap, baik berkenaan dengan matarantai sanad maupun matan, sebab
matarantai sanad selain memuat nama-nama para perawi, memuat lafal-lafal yang
memberikan petunjuk tentang metode periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-
masing perawi yang bersangkutan, sehingga dari lafal-lafal tersebut dapat diteliti sejauh mana
tingkat akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi yang nama-
namanya termuat di dalam matarantai sanad.

3. Sighat-Sighat Tahammul Wal’ad. Yaitu : Mendengar (Al Sima’), Membaca (Al Qira’ah),
Ijazah (Al Ijazah), Memberi (Munawalah) , Menulis (Al Kitabah) , Menulis (Al Kitabah) ,
Pemberitahuan (I’lam), Wasiat (Al Wasiyah) , Penentuan (Al – Wijadah).

Anda mungkin juga menyukai