Anda di halaman 1dari 12

Minggu, 19 Desember 2010

DAVID AUSUBEL

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Inilah yang membedakan Ausubel dari teoriwan-teoriwan
lainnya. Ausubel memberi penekanan pada belajar bermakna, serta retensi dan variabel variabel yang berhubungan
dengan macam belajar ini.

 
A.PENGERTIAN TEORI BELAJAR

 
Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar
antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
Namun teori belajar ini tidaklah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber
sarana yang dapat menunjang, seperti:

lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa. 

Semua unsur ini dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model teori belajar yang dianggap
cocok, tidak perlu terpaku dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan tujuan
pendidikan. 

Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. 

Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara
siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti
belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan
dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi belajar hafalan.

Bentuk-Bentuk Belajar

(Menurut Ausubel & Robinson, 1969)

B. Pengertian Belajar Bermakna


 Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning).
Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. (Ratna Willis Dahar: 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat
menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi prasyarat, yaitu:
 
1. Materi yang akan dipelajari secara Potensial
2. Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna.
 
Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki kebermaknaan logis dan
gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Bedasarkan Pandangannya tentang belajar
bermakna, maka David Ausubel mengajukan 4 prinsip pembelajaran , yaitu:
 
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan
konsep baru yang lebih tinggi maknanya. 
Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi
pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu
pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
 
2. Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang
paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari
umum ke khusus.
 
3. Belajar superordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan kearah deferensiasi, terjadi
sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut
akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-
konsep yang lebih luas dan inklusif.
 
4. Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan
untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi
pertentangan kognitif itu, Ausubel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran
disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama
informasi disajikan.

C. PROSES PEMBELAJARAN BERMAKNA


Piaget telah dikenal luas sebagai salah seorang ahli perkembangan kognitif. Sebagai penghargaan kepadanya,
Wadsworth (1984:v) menulis: “To Jean Piaget and Stephen Davol – Two men who understood children, development,
and how to help others learn.” 

Teori-teori belajar yang dikemukakan Piaget, Brownel, Skemp, Ausubel ataupun yang lainnya memang dapat
dipakai para guru untuk membantu siswanya belajar dengan baik. Teori-teori yang ditulis Piaget telah didasarkan pada
hasil interviu klinis dengan beberapa orang anak, termasuk dengan dua putrinya sendiri. Awalnya, anak tersebut
dihadapkan dengan suatu tugas atau persoalan. Selanjutnya, si anak diminta mengungkapkan secara lisan hal-hal yang
sedang dipikirkannya. 

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya dapat diajukan penginterviu yang bertindak sebagai peneliti sedemikian
rupa sehingga si anak tersebut dapat menjelaskan dan mengungkapkan secara lebih jauh dan terinci alasan-alasan di
balik pendapatnya itu (Resnick & Ford, 1981). Sejalan dengan itu, Shadiq (1999) telah belajar dari seorang anak kecil,
Nani, yang telah memberi nama “batu lengket” untuk magnet karena magnet tersebut mirip sekali dengan batu-batuan
yang ada dibelakang rumahnya. 

Tentunya, pendapat itu salah karena tidak sesuai dengan pengetahuan Fisika. Meskipun begitu, si Nani akan
tetap menganggap pendapatnya itu benar. Itulah sebabnya, setiap anak selalu dengan yakin dan mantap akan
menceritakan jalan pikirannya sendiri, tidak peduli pendapatnya tersebut benar atau salah, sehingga lebih mudah
untuk dipelajari orang-orang disekitarnya seperti yang sudah dilakukan Piaget. Tulisan tentang ‘belajar bermakna’
sebagai lawan dari ‘belajar hafalan’ atau ‘belajar dengan membeo’ berikut ini akan dimulai dengan ceritera tentang si
Nani lagi. 

Tentunya, si Nani yang waktu itu berlagak seperti seorang guru TK terhadap bapaknya tidak akan menyadari
jika dia dianggap seperti burung beo oleh bapaknya. Pada suatu hari, Fitriani Fajar yang waktu itu berumur sekitar 4,5
tahun dan masih duduk di bangku TK bertanya kepada bapaknya. Dari nada bicaranya tergambar bahwa ia ingin
menguji apakah bapaknya sudah tahu tentang penjumlahan dua bilangan yang baru saja ia pelajari dari temannya. 

Percakapan mereka adalah sebagai berikut (N =Nani, B = Bapaknya).


N: “Bapak! Dua tambah dua berapa? Ayo …!”
B: “Menurut Nani?”
N: “Bapak dulu.”
B: “Oke. Oke. Dua tambah dua sama dengan empat.”
N: “Betul.” Ia berlagak seperti guru TK yang membenarkan jawaban
siswanya.
B: “Tahu dari mana bahwa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Dari Ari. Ari tahu dari bapaknya.”
B: “Nani percaya?”
N: “Ya. Bapaknya Ari kan pintar.”
B: “Kenapa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Ya karena dua tambah dua sama dengan empat.”
B: “Kalau satu tambah dua?”
N: “Nani belum tahu.”
B: “Kenapa?”
N: “Ari belum memberi tahu. Mungkin bapaknya belum mengajarinya.”
B: “Kalau satu tambah satu?”
N: “Dua.”
B: “Ah masak?”
N: “Tiga … tiga … tiga … .”
B: “Yang benar. Masak tiga.”
N: “Empat … empat … ! Lima …! Tujuh … tujuh … . Kalau begitu
berapa?”
B: “Ya dua.”
N: “Nani kan sudah bilang dua tadi. E … bapak menipu.”
 
Nani telah menunjukkan kepada kita bahwa ia telah mampu dengan benar atau kompeten menentukan nilai
dari penjumlahan 2 + 2 ataupun 1 + 1. Namun, apakah ia memahami mengapa dan darimana 2 + 2 = 4 dan 1 + 1 = 2?
Ketika ia ditanya bapaknya mengapa 2 + 2 = 4?, ia menjawab: ”Ya karena 2 + 2 = 4,” tanpa alasan yang jelas. Artinya,
si Nani hanya meniru pada apa yang diucapkan teman sebayanya yaitu si Ari. Tidaklah salah jika ada orang yang lalu
menyatakan bahwa si Nani telah belajar dengan membeo. 

Seperti halnya seekor burung beo yang dapat menirukan ucapan tertentu namun sama sekali tidak mengerti isi
ucapannya tersebut, maka seperti itulah si Nani yang dapat menjawab bahwa 2 + 2 adalah 4 namun ia sama sekali
tidak tahu arti 2 + 2 dan tidak tahu juga mengapa hasilnya harus 4. Jika si Ari, temannya, menyatakan 2 + 3 = 5 maka
sangat besar kemungkinannya jika si Nani akan mengikutinya. Cara belajar dengan membeo seperti yang telah
dilakukan si Nani tadi disebut dengan belajar hafalan (rote learning) oleh David P Ausubel (Orton, 1987).

D. Menghindari Belajar Hafalan


Pertanyaan yang mungkin muncul adalah apa yang dimaksud dengan belajar hafalan (rote learning). Ausubel
menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim,
i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be
rote and meaningless”. Intinya, jika seorang anak, contohnya si Nani, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa
mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya. 

Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui 2 yang
dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana
yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas
persegipanjang adalah l = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti
lambang l, p, dan l. 

Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani di mana jawaban yang
benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut pura-pura dianggap sebagai jawaban
yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi
meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 +
2 = 6. Tidak mustahil jika ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2 maupun 2 + 1
karena temannya belum mengajari hal itu.

Materi pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun merupakan pengetahuan yang
saling berkait antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya. Seorang anak atau siswa tidak akan
memahami pengertian penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1”
menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2”
menunjuk pada banyaknya sesuatu yang perpasangan seperti banyaknya mata, telinga, kaki, …dan seterusnya. 

Di samping itu, sering terjadi, ketika sedang menghitung sesuatu, tangan sang anak kecil masih ada di batu ke-
4 namun ia sudah mengucapkan “tiga”, “lima”, atau malah “enam”. Kesalahan sepele seperti ini akan berakibat pada
kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat
membilang dari satu sampai sepuluh. Dari apa yang dipaparkan di atas jelaslah bahwa untuk dapat menguasai materi
Matematika, seorang anak harus menguasai beberapa kemampuan dasar lebih dahulu. 

Setelah itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna. Karenanya, Ausubel menyatakan hal berikut
sebagaimana dikutip Orton (1987:34): “If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I would
say this: The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and
teach him accordingly.

” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu
proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar bermakna ini, perhatikan tiga bilangan berikut. 
Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut:
 
(a) 50.471.198
(b) 54.918.071
(c) 17.081.945
 
manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa dapat saja mengingat ketiga
bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga
bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945 merupakan bilangan
yang paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari
kemerdekaan Republik Indonesia. 

Proses pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh
lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya dengan tanggal
keramat 17 Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka kognitifnya. 

Bilangan (b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu 50.471.198 karena
bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan terbalik yaitu 5491–80–71. 

Bilangan (a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan atau polanya belum
diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami
siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat
mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna
(meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.

E. PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN


Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan.
Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. 

Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada
struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba
menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya,
maka dalam hal ini hanya terjadi belajar hafalan bukan belajar bermakna.

F. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR BERMAKNA


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada,
stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur
kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur
kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. 

Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak
meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan,
dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

G. PENERAPAN PEMBELAJARAN BERMAKNA


Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar
yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka
yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung.
Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk
mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan
ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau
guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah
ada dalam struktur kognisi siswa.
 
Pada belajar bermakna siswa dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran
disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, siswa diharapkan dapat menemukan
sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika siswa
mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat
berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh
siswa. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.

Menurut Bruner, inti belajar adalah cara-cara bagaimana manusia memilih, mempertahankan,
mentransformasikan informasi secara aktif. Masih menurut Bruner, di dalam orang yang belajar, hal-hal yang memiliki
kesamaan atau kemiripan dihubungkan menjadi struktur yang memberikan arti pada hal-hal yang dipelajari.
Sebagaimana Piaget dalam pendidikan, Bruner juga menyarankan pendekatan child centered approach yang
dihubungakan dengan belajar penemuan (discovery learning).
Robert Gagne membagi tipe belajar ke dalam 8 jenis yang paling rendah tingkatannya, yaitu belajar isyarat (signal
learning) sampai ke yang paling tinggi yaitu pemecahan masalah (probem solving). 

Secara lengkap tipe-tipe belajar adalah probem solving, rule learning, concept learning, discrimination
learning, verbal learning, chaining, stimulus-response learning dan signal learning. Dalam menjelaskan proses belajar,
Piaget menggunakan 3 istilah yang sering digunakan pada Biologi (hal ini sesuai dengan latar belakang akademiknya),
yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Akomodasi merupakan anak untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Dalam hal ini lingkungan menuntut anak untuk melakukan sesuatu. 

Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang anak menemukan sebuah
benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang
membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi. Asimilasi di lain
pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia
inginkan dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut. 

Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak berumur 4 tahun
menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang
ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah rumahan,
sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh
anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat. 

Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme psikologis mengenai hal itu.
Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara
mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan
akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada sembarang tahapan (stage)
perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh
yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan tertentu) melalui proses
penyeimbangan atau ekuilibrasi (equilibration). 

Ekuilibrasi merupakan kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur. (Sur berkomentar: pengalaman baru =
keping informasi yang baru, sedang di carikan posisi yang tepat pada struktur pengetahuan yang sebelumnya ia miliki.
Kalau semenjak kecil ia terbiasa dengan peta konsep, maka proses belajarnya akan menjadi lebih efektif, karena
keping yang baru itu bisa segera ditempatkan pada dahan/ cabang yang tepat atau suatu saat bisa diupdate pada
dahan/ cabang yang lebih tepat bila ditemukan informasi-informasi yang relevan).

H. PETA KONSEP
Peta konsep merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi organisasi bertujuan membantu
pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan
kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru
pada bahan-bahan tersebut. Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-
istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi- strategi ini juga terdiri
dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari sekumpulan informasi yang lebih besar.
 
Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah ‘bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi
pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka
konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa (Suryadi menambahkan di
sini –> Ini yang disebut Teknik Konstruktivisme). 

Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru untuk mengetahui apa yang
telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 1988: 149). Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988:
149) mengemukakan bahwa cara untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar bermakna
berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.
 
1). Pengertian Konsep
Konsep dapat didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah defenisi yang
dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian
seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain.
 
Tidak ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai macam
konsep-konsep yang diperoleh para siswa. Oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian internal dari
sekelompok stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, dan harus disimpulkan dari perilaku.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.
Pemetaan konsep merupakan suatu alternatif selain outlining, dan dalam beberapa hal lebih efektif daripada
outlining dalam mempelajari hal-hal yang lebih kompleks. Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang
bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi merupakan dua atau lebih konsep yang
dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dalam Dahar 1988: 150).
 
George Posner dan Alan Rudnitsky dalam Nur (2001b: 36) menyatakan bahwa peta konsep mirip peta jalan,
namun peta konsep menaruh perhatian pada hubungan antar ide-ide, bukan hubungan antar tempat. Peta konsep
bukan hanya meggambarkan konsep-konsep yang penting melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu.
Dalam menghubungkan konsep-konsep itu dapat digunakan dua prinsip, yaitu diferensiasi progresif dan penyesuaian
integratif. 

Menurut Ausubel dalam Sutowijoyo (2002: 26) diferensiasi progresif adalah suatu prinsip penyajian materi dari
materi yang sulit dipahami. Sedang penyesuaian integratif adalah suatu prinsip pengintegrasian informasi baru dengan
informasi lama yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh karena itu belajar bermakna lebih mudah berlangsung, jika
konsep-konsep baru dikaitkan dengan konsep yang inklusif.
 
Untuk membuat suatu peta konsep, siswa dilatih untuk mengidentifikasi ide-ide kunci yang berhubungan
dengan suatu topik dan menyusun ide-ide tersebut dalam suatu pola logis. Kadang-kadang peta konsep merupakan
diagram hirarki, kadang peta konsep itu memfokus pada hubungan sebab akibat. Agar pemahaman terhadap peta
konsep lebih jelas, maka Dahar (1988: 153) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut:
 
1) Peta konsep (pemetaan konsep) adalah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi
suatu bidang studi, apakah itu bidang studi fisika, kimia, biologi, matematika dan lain-lain. Dengan membuat
sendiri peta konsep siswa “melihat” bidang studi itu lebih jelas, dan mempelajari bidang studi itu lebih bermakna.
2) Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang studi atau suatu bagian dari bidang studi.
Ciri inilah yang memperlihatkan hubungan-hubungan proposisional antara konsep-konsep. Hal inilah yang
membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran tanpa memperlihatkan hubungan
antara konsep-konsep.
3) Ciri yang ketiga adalah mengenai cara menyatakan hubungan antara konsep-konsep. Tidak semua konsep memiliki
bobot yang sama. Ini berarti bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep lain.
4) Ciri keempat adalah hirarki. Bila dua atau lebih konsep digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif,
terbentuklah suatu hirarki pada peta konsep tersebut.
 
Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai jalan yang dapat ditempuh dalam menghubungkan
pengertian konsep di dalam permasalahanya. Peta konsep yang dibuat murid dapat membantu guru untuk mengetahui
miskonsepsi yang dimiliki siswa dan untuk memperkuat pemahaman konseptual guru sendiri dan disiplin ilmunya. Selain
itu peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat sejumlah informasi baru
(Arends, 1997: 251).

2). Cara Menyusun Peta Konsep


 
Menurut Dahar (1988:154) peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Oleh karena itu
siswa hendaknya pandai menyusun peta konsep untuk meyakinkan bahwa siswa telah belajar bermakna. Langkah-
langkah berikut ini dapat diikuti untuk menciptakan suatu peta konsep.

 
Langkah 1: mengidentifikasi ide pokok atau prinsip yang melingkupi sejumlah konsep.
Langkah 2: mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep sekunder yang menunjang ide utama
Langkah 3: menempatkan ide utama di tengah atau di puncak peta tersebut
Langkah 4: mengelompokkan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama yang secara visual menunjukan hubungan ide-ide
tersebut dengan ide utama.
 
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan langkah-langkah menyusun peta konsep sebagai berikut:
 
1) Memilih suatu bahan bacaan
2) Menentukan konsep-konsep yang relevan
3) Mengelompokkan (mengurutkan ) konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif
4) Menyusun konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep-konsep yang paling inklusif diletakkan di bagian atas
atau di pusat bagan tersebut.
 
Dalam menghubungkan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan kata hubung. Misalnya “merupakan”, “dengan”,
“diperoleh”, dan lain-lain.

 
c. Peta Konsep sebagai Alat Ukur Alternatif
Tes seperti pilihan ganda yang selama ini dipandang sebagai alat ukur (uji) keberhasilan siswa dalam
menempuh jenjang pendidikan tertentu, bukanlah satu-satunya alat ukur untuk menentukan keberhasilan siswa.
Tingkat keberhasilan siswa dalam menyerap pengetahuan sangat beragam, maka diperlukan alat ukur yang beragam.
Peta konsep adalah salah satu bentuk penilaian kinerja yang dapat mengukur siswa dari sisi yang berbeda. 

Penilaian kinerja adalah bentuk penilaian yang digunakan untuk menilai kemampuan dan keterampilan siswa
berdasarkan pada pengamatan tingkah lakunya selama melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa selama
kegiatan. Menurut Tukman dalam Sutowijoyo (2002: 31) penilaian kinerja adalah penilaian yang meliputi hasil dan
proses, yang biasanya menggunakan material atau suatu peralatan (equipment). Penilaian kinerja dapat digunakan
terutama untuk mengukur tujuan pembelajaran yang tidak dapat diukur dengan baik bila menggunakan tes obyektif.
Penilaian kinerja mengharuskan siswa secara aktif mendemonstrasikan apa yang mereka ketahui. 

Yang paling penting, penilaian kinerja dapat memberi motivasi untuk meningkatkan pengajaran, pemahaman
terhadap apa yang mereka perlu ketahui dan yang dapat mereka kerjakan. Berdasarkan teori belajar kognitif Ausubel,
Novak dan Gowin (1984) dalam Dahar (1988: 143) menawarkan skema penilaian yang terdiri atas: Struktur hirarki,
perbedaan progresif, dan rekonsiliasi integratif.
 
Struktur hirarkis, yaitu struktur kognitif yang diatur secara hirarki dengan konsep-konsep dan proposisi-
proposisi yang lebih inklusif, lebih umum, superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang kurang
inklusif dan lebih khusus. Perbedaan progresif menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan proses yang kontinyu,
dimana konsep-konsep baru memperoleh lebih banyak arti dengan bentuk lebih banyak kaitan-kaitan proporsional.

Jadi konsep-konsep tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih
inklusif. Rekonsiliasi integratif menyatakan bahwa belajar bermakna akan meningkat bila siswa menyadari akan
perlunya kaitan-kaitan baru antara kumpulan-kumpulan konsep atau proposisi. Dalam peta konsep, rekonsiliasi
integratif ini diperlihatkan dengan kaitan-kaitan silang antara kumpulan-kumpulan konsep (Dahar,1988: 162)
 
Selanjutnya Novak dan Gowin memberikan suatu aturan untuk mengikuti penilaian numerik jika skoring
dipandang perlu. Pertama, skoring didasarkan atas preposisi yang valid. Kedua, untuk menghitung level hirarkis yang
valid dan untuk menskor tiap level sebanyak hubungan yang dibuat. Ketiga, crosslink yang menunjukan hubungan valid
antara dua kumpulan (segmen) yang berbeda adalah lebih penting daripada level hirarkis, karena mungkin saja ini
pertanda adanya penyesuaian yang integratif. Keempat, diharapkan siswa dapat memberikan contoh yang spesifik
dalam beberapa kasus untuk meyakinkan bahwa siswa mengetahui peristiwa atau obyek yang ditunjukan oleh label
konsep.

Jenis-jenis Peta Konsep


 
Menurut Nur (2000) dalam Erman (2003: 24) peta konsep ada empat macam yaitu: pohon jaringan (network
tree), rantai kejadian (events chain), peta konsep siklus (cycle concept map), dan peta konsep laba-laba (spider
concept map).
 
1) Pohon Jaringan.
Ide-ide pokok dibuat dalam persegi empat, sedangkan beberapa kata lain dihubungkan oleh garis penghubung.
Kata-kata pada garis penghubung memberikan hubungan antara konsep-konsep. Pada saat mengkonstruksi suatu pohon
jaringan, tulislah topik itu dan daftar konsep-konsep utama yang berkaitan dengan topik itu. Daftar dan mulailah
dengan menempatkan ide-ide atau konsep-konsep dalam suatu susunan dari umum ke khusus. Cabangkan konsep-
konsep yang berkaitan itu dari konsep utama dan berikan hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)

Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:


- Menunjukan informasi sebab-akibat
- Suatu hirarki
- Prosedur yang bercabang

Istilah-istilah yang berkaitan yang dapat digunakan .

1) Rantai Kejadian.
Nur dalam Erman (2003:26) mengemukakan bahwa peta konsep rantai kejadian dapat digunakan untuk
memerikan suatu urutan kejadian, langkah-langkah dalam suatu prosedur, atau tahap-tahap dalam suatu proses.
Misalnya dalam melakukan eksperimen. Rantai kejadian cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:

- Memerikan tahap-tahap suatu proses


- Langkah-langkah dalam suatu prosedur
- Suatu urutan kejadian
 
2) Peta Konsep Siklus
Dalam peta konsep siklus, rangkaian kejadian tidak menghasilkan suatu hasil akhir. Kejadian akhir pada rantai
itu menghubungkan kembali ke kejadian awal. Seterusnya kejadian akhir itu menhubungkan kembali ke kejadian awal
siklus itu berulang dengan sendirinya dan tidak ada akhirnya. Peta konsep siklus cocok diterapkan untuk menunjukan
hubungan bagaimana suatu rangkaian kejadian berinteraksi untuk menghasilkan suatu kelompok hasil yang berulang-
ulang. Gambar 2.5 memperlihatkan siklus tentang hubungan antara siang dan malam.
 
3) Peta Konsep Laba-laba
Peta konsep laba-laba dapat digunakan untuk curah pendapat. Dalam melakukan curah pendapat ide-ide
berasal dari suatu ide sentral, sehingga dapat memperoleh sejumlah besar ide yang bercampur aduk. 

Banyak dari ide-ide tersebut berkaitan dengan ide sentral namun belum tentu jelas hubungannya satu sama
lain. Kita dapat memulainya dengan memisah-misahkan dan mengelompokkan istilah-istilah menurut kaitan tertentu
sehingga istilah itu menjadi lebih berguna dengan menuliskannya di luar konsep utama. Peta konsep laba-laba cocok
digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
 
a) Tidak menurut hirarki, kecuali berada dalam suatu kategori
b) Kategori yang tidak parallel
c) Hasil curah pendapat
 
Proses mengajarkan strategi belajar digunakan dua pendekatan pengajaran utama, yaitu pengajaran langsung
dan pengajaran terbalik (Nur 2000b: 45). Pengajaran langsung merupakan suatu pendekatan mengajar yang dapat
membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi
selangkah.

Dalam melatihkan strategi belajar secara efektif memerlukan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan
kondisional tentang strategi-strategi belajar. Pengetahuan deklaratif tentang strategi-strategi tertentu termasuk
bagaimana strategi itu didefinisikan, mengapa strategi itu berhasil, dan bagaimana strategi itu serupa atau berbeda
dengan strategi-strategi lain. Siswa juga memerlukan pengetahuan prosedural, sehingga mereka dapat menggunakan
berbagai macam strategi secara efektif. 

Di samping itu juga menggunakan pengetahuan kondisional untuk mengetahui kapan dan mengapa
menggunakan strategi tertentu.
Salah satu alasan menggunakan pengajaran langsung dalam mengajarkan strategi belajar adalah karena
pengajaran langsung diciptakan secara khusus untuk mempermudah siswa dalam mempelajari pengetahuan deklaratif
dan prosedural yang telah direncanakan dengan baik serta dapat mempelajarinya selangkah demi selangkah (Arends
1997) dalam Nur (2000b: 46).
 
Pada Tabel 2.2 sintaks pengajaran langsung yang diadaptasikan untuk mengajarkan strategi belajar, dan
dilengkapi dengan teori yang mendukung sebagai landasan pelaksanaan pengajaran strategi belajar.

 
Tahap-tahap Pengajaran Langsung dalam Melatihkan Strategi Belajar
 
Tahap1
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Memotivasi siswa Tahap
3. Secara klasikal menjelaskan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
4. Memodelkan strategi Mengarisbawahi dan membuat peta konsep.
 
Tahap 3
Melatihkan siswa menggunakan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep dibawah bimbingan guru.
 
Tahap 4
1. Memeriksa pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep
2. Memberi umpan balik hasil pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
 
Tahap 5
Melatih sisawa untuk menerapkan strategi belajar enggarisbawahi dan membuat peta konsep secara mandiri.
 
Tahap 6
1. Mengevaluasi tugas latihan menggarisbawahi dan membuat peta konsep.
2. Membimbing siswa untuk merangkum pelajaran
 
I Pembelajaran Fisika

 
Fisika adalah bagian dari sains (IPA), pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan.
IPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. IPA sebagai cara
berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya
rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. IPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana
informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan.
 
Fisika dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan
strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik. Hal ini
dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah pikir dan juga olah tangan.

 
Kegiatan praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru dan atau siswa dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan
oleh siswa yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain. Adapun jenis-jenis kegiatan praktik dikelompokkan
menjadi 4, yaitu eksperimen standar, eksperimen penemuan, demonstrasi, dan proyek.

Kegiatan praktik dalam pembelajaran fisika mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada
siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa.

 
Macam-Macam Pendekatan dalam pembelajaran Fisika
 
Strategi atau teknik, metode dan pendekatan merupakan tiga hal yang berbeda meskipun penggunaannya
sering bersama-sama dijumpai dalam pembelajaran. Pendekatan merupakan teori atau asumsi. Metode adalah
pengembangan yang lebih konkret dari teori tersebut, berupa prosedur-prosedur berdasarkan teori tersebut di dalam
berbagai bentuk kegiatan kelas.
Meskipun telah disebutkan bahwa “tidak ada satu pun pendekatan yang paling cocok untuk satu pelajaran”,
tetapi karena pusat pelajaran fisika adalah eksperimen dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelajaran fisika itu
sendiri maka melalui eksperimen siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dengan gejala fisika yang dipelajari. 
Fisika sebagai ilmu yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mempelajarinya tidak cukup hanya melalui
minds-on, tetapi juga harus melalui hands-on, seperti layaknya ilmuwan ketika menjelajahi alam ini. Secara teoretis
dan dengan prosedur-prosedur yang tepat kerja laboratoriumlah pendekatan yang tepat digunakan dalam
pembelajaran fisika.
Macam-macam kerja laboratorium dapat dibedakan dalam deduktif atau verifikasi, induktif, keterampilan
teknis, tanya jawab, dan keterampilan proses. Umumnya pendekatan-pendekatan tersebut dapat meningkatkan hal-hal
sebagai berikut; sikap terhadap fisika, sikap ilmiah, penemuan ilmiah, pengembangan konsep, dan keterampilan-
keterampilan teknis bagi siswa.

Pendekatan Keterampilan Proses


Cara berpikir dalam sains, fisika misalnya, adalah keterampilan-keterampilan proses. Keterampilan proses sains
dibedakan dalam dua bagian besar, yaitu keterampilan dasar proses sains, dimulai dari observasi sampai dengan
meramal, dan keterampilan terpadu proses sains, dari identifikasi variabel sampai dengan yang paling kompleks, yaitu
eksperimen.
Keterampilan dasar proses sains adalah hal-hal yang dikerjakan ketika siswa mengerjakan sains, misalnya
mengobservasi pengaruh suhu terhadap faktor redaman ayunan teredam.
Dalam keterampilan terpadu proses sains, siswa dipandu untuk melakukan eksperimen melalui penggunaan seluruh
keterampilan-keterampilan proses yang siswa miliki.
Melalui eksperimen suatu pembelajaran fisika dikatakan utuh, sebab eksperimen di laboratorium merupakan
bagian integral dari konsep, prinsip dan hukum fisika akan dipelajari.
Eksperimen dapat dikatakan sebagi dewa dalam pembelajaran fisika, tetapi harus diingat bahwa dalam
pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang besar sehingga sebagai guru fisika yang sukses harus betul-betul
ahli dalam mendesain kegiatan eksperimen untuk siswanya. Namun demikian, hendaknya hal tersebut tidak menjadi
momok bagi guru dalam mempersiapkan penggunaannya di kelas, akan tetapi justru menjadi tantangan bagi guru untuk
mempersiapkan eksperimen sebaik-baiknya agar pembelajaran fisika betul-betul efektif.

 
Strategi Belajar-mengajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
Pandangan konstruktivisme sangat menekankan pentingnya gagasan yang sudah ada pada diri siswa untuk
dikembangkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pemahaman konsep sangat ditekankan. 
Belajar merupakan proses aktif dan kompleks dalam upaya memperoleh pengetahuan baru. Proses yang terjadi
merupakan proses kognitif sebagai interaksi antara kegiatan persepsi, imajinasi, organisasi, dan elaborasi. Proses
pengorganisasian dan elaborasi memungkinkan terbentuk hubungan antarkonsep. Hubungan antarkonsep dapat
digambarkan sebagai peta konsep. Peta konsep dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui hasil belajar dan
adanya miskonsepsi.
Miskonsepsi terjadi karena siswa masih menggunakan gagasan pribadinya dan pembelajaran belum dapat
mengubah pemahaman siswa menjadi gagasan baru yang benar. Perubahan ini dapat berlangsung dengan mulus asalkan
pada siswa ada perasaan tidak puas terhadap pemahaman yang salah, siswa mempunyai pengetahuan optimal tentang
konsep yang benar, konsep yang benar dapat masuk akal dan mempunyai daya memprediksi serta daya eksplanasi.
Strategi pembelajaran dapat dikembangkan dan siklus pembelajaran dan siklus belajar. Hal ini untuk
memungkinkan terjadi keselarasan antara pola pikir yang dituntut oleh guru dengan pola pikir siswa.
Pengorganisasian materi sajian juga penting karena dalam proses belajar-mengajar terjadi hubungan segitiga
antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Disarankan pengorganisasian materi subjek berorientasi pada kerangka
pemecahan masalah.

 
Pendekatan Discovery dan Inquiry
Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati,
mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui
percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan
mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan
menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.
Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen,
mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri. Pendekatan inquiry harus memenuhi
empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya. 
Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang
akan diajarkan, siswa akan terlibat melalui 5 fase ialah:
 
Fase 1 : siswa menghadapi masalah yang dianggap tantangan.
 
Fase 2 : siswa mengumpulkan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi
masalah yang dihadapi.
 
Fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk
menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.
 
Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal.

Fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis
diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.

 
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika
informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga
peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. 
Ausubel (dalam Dahar ,1988 :142) juga menyatakan bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik
dibutuhkan beberapa syarat, yaitu:
 
(1). Meteri yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
(2). Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat
untuk belajar bermakna.

 
Penerapan Model Kognitif dalam pembelajaran
Lima Prinsip Belajar Mengenali betul apa yang menarik untuk kita? Jika kita mengetahui betul apa
sesungguhnya yang menarik bagi kita, tentu akan lebih mudah mencari ragam informasi penting yang akan kita
pelajari. Tak ada seorang pun yang mampu memberikan informasi tentang apa yang menarik untuk kita pelajari kecuali
kita sendiri.
Ada baiknya, sekali waktu, Anda berhenti dulu belajar, lalu tanyakan pada diri Anda sendiri, untuk apa Anda
belajar? Jika Anda cukup punya alasannya, tak salah bila Anda mencoba mengujinya dengan mengikuti beberapa tes
untuk melihat tingkat pemahaman kita dan cara untuk meningkatkannya. Hal terpenting yang perlu diingat adalah
seberapa cepat pun kita bisa memahami suatu informasi, maka informasi itu dengan mudah bisa hilang dari ingatan
jika ternyata informasi tersebut bukan seperti sesuatu yang menjadi inti ketertarikan kita.
Kenalilah kepribadian diri sendiri. Jika kita tahu betul siap kita dan apa yang kita inginkan, maka mempelajari
sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan kepribadian kita menjadi lebih mudah dilakukan. Sebab, apapun yang akan
kita pelajari dan pahami, seringkali menjadi sia-sia jika ternyata tak sesuai dengan kepribadian kita.
Rekam semua informasi dalam kata. Langkah yang paling mudah untuk memahami, mengingat dan mempelajari
sesuatu adalah dengan kata. Jadi, langkah yang paling mudah dan bijaksana adalah bila kita terbiasa merekam semua
informasi itu dengan cara menuliskannya kembali dalam bentuk apa saja. Gambar, coretan dan yang terbaik adalah
catatan tertulis buatan tangan sendiri.
Belajar bersama orang lain. Cara termudah untuk belajar sesungguhnya adalah bila kita melakukannya secara
bersama-sama. Prinsip belajar ini hampir selalu efektif bagi setiap orang, apa pun karakter belajar yang dimilikinya.
Selain itu, belajar juga menjadi terasa lebih menyenangkan dan ringan, bila dilakukan secara bersama-sama.
Hargai diri sendiri. Belajar memahami dan menyerap informasi akan menjadi lebih terasa bermanfaat dan
berarti bila kita menghargainya. Jadi, rencanakan apa yang Anda akan pelajari dan pahami. Setelah itu, cobalah
membuat jeda di antara waktu belajar yang Anda laklukan. Setelah itu, lihat seberapa besar tingkat keberhasilan Anda
dalam mempelajari suatu informasi atau fakta tertentu. Bila Anda merasa itu berhasil, maka Anda layak menghargai
jerih-payah Anda belajar dengan cara apa saja. Misalnya, merayakannya dengan makan enak atau membeli sesuatu
yang bisa mengingatkan Anda akan keberhasilan yang Anda pernah capai.

 
B. Belajar Penangkapan (reception learning) 
Menurut Ausubel Belajar penangkapan pertama kali dikembangkan oleh David Ausubel sebagai jawaban atas
ketidakpuasan model belajar discovery yang dikembangkan oleh Jerome Bruner tersebut. Menurut Ausubel , siswa tidak
selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal
untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausubel menggambarkan
model pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan. 

Para pakar teori belajar penangakapan menyatakan bahwa tugas guru adalah:

a. Menstrukturkan situasi belajar.


b. Memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan siswa.
c. Menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir yang dimulai dari gagasan Inti belajar penangkapan yaitu
pengajaran ekspositori , yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang
bermakna (meaningful information). 

Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:

 
1. Penyajian advance organizer
Advance organizer merupakan Pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup
dalam urutan pengajaran. Advance organiberfungsi untuk menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran
dengan informasi yang telah berda didalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi
yang sangat spesifik yang disajikan.

2. Penyajian materi atau tugas belajar.


Dalam tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru dengan menggunakan metode ceramah,
diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa . Ausubel menekankan tentang pentingnya
mempertahankan perhatian siswa, dan juaga pentingya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan
struktur yang terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi
progresif, dimna pembelajaran berlangsung setahap demi setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju
kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
 
3. Memperkuat organisasi kognitif.
Ausubel menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah
direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang ebrsifat spesifik itu
berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan
pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari,
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorgnaisasian matyeri pembelajaran sebagaiman
yang dideskripsikan didalam advance organizer samping itu juga memberikan pertanyanan kepada siswa dalam rangka
menjajagi keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.

Belajar Karakteristik Teori Langkah Penerapan Dalam pembelajaran

Belajar Kognitif Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.

Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkahlaku yang bisa diamati. Setiap orang
telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya

 
1. Kognitif Bruner Model ini sangat membebaskan peserta didik untuk belajar sendiri. Teori ini mengarahkan peserta
didik untuk belajar secara discovery learning.

1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional


2. Memilih materi pelajaran
3. Menentukan topik-topik yang akan dipeserta didiki
4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi dsbnya., yang dapat digunakan peserta didik untuk bahan belajar
5. Mengatur topik peserta didik dari konsep yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke kompleks
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar

 
1. Bermakna Ausubel Dalam aplikasinya menuntut peserta didik belajar secara deduktif (dari umum ke khusus) dan
lebih mementingkan aspek struktur kognitif peserta didik

1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional


2. Mengukur kesiapan peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognitif)baik melalui tes awal, interviw, pertanyaan
dll.
3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci
4. Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang harus dikuasai peserta didik dari materi tsb.
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyelurh tentang apa yang harus dikuasai pesertadidik.

6. Membuat dan menggunakan "advanced organizer" paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi
yang baru disajikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaiatan) materi yang sudah
diberikan dengan yang akan diberikan.
7. Mengajar peserta didik untuk memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan memberi
fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar 
Inti konstruktivisme adalah bahwa individu menginterpretasikan stimuli berdasarkan pengetahuan yang telah mereka
miliki atau struktur kognitif yang telah terekam dalam otak dan membangun pengertian secara masuk akal. Proses
belajar yang demikian merupakan proses belajar yang bermakna (Ausubel, 1978, dalam Entwistle, 1987: 135). Di
samping alasan tersebut, alasan lain adalah belajar yang bermakna, kreativitas, mempunyai peranan yang sangat
penting bagi peningkatan mutu pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai