Anda di halaman 1dari 9

JUDUL ESAI

“PENISTAAN AGAMA DALAM


PRESPEKTIF TEORI HUKUM DAN TATARAN IMPLEMENTASI”
Karya ini Disusun untuk Mengikuti
Lomba Esai Nasional Kelompok Penulis Muda 2018
“Peran Pemuda sebagai Pemimpin Masa Depan dalam Mengatasi Permasalahan
Indonesia”

Disusun oleh :
Desi Wahyuningsih

JEMBER
2018
Latar Belakang
Hakikat ekstensial manusia adalah kepribadian sosial, maka kebutuhan hidup
masyarakat manusia adalah kebutuhan kodrati untuk menyempurnakan eksistensinya
dan guna mencapai tujuan hidup manusia selengkapnya dan seutuhnya. Oleh sebab itu,
fungsi serta tugas masyarakat adalah untuk mewujudkan keadaan dimana dalam
kerjasamanya dapat mencapai tujuan hidup secara optimal. Dalam prosesnya
menunaikan fungsi dan tujuan tersebut, masyarakat membutuhkan adanya suatu aturan
yang dinamakan dengan hukum. Hal tersebut senada dengan pernyataan Cicero yang
menyatakan bahwa “ubi societas ibi ius” yang memiiki artian dimana ada masyarakat di
situ ada hukum.
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan negara berisikan berbagai keragaman baik
dari ragam suku dan agama dimana kesemuanya hidup secara bertoleansi berlandaskan
Pancasila. Pancasila sebagai norma dasar (gurndnorm), merupakan sumber dari segala
sumber hukum baik bagi norma hukum dalam tata hukum maupun norma moral- etika-
kesusilaan bagi kehidupan bangsa Indonesia.1 Kerangka utama pemikiran pancasila
jelas memiliki makna yang fundamental, karena memiliki kandungan nilai moral dasar
terkait perlindungan Hak Asasi Manusia serta nilai nilai luhur kemanusiaan. Memiliki
nilai serta urgensi dalam setiap lini kehidupan berbangsa, tak khayal menjadikan
pancasila sebagai dasar negara yang juga tercantum di dalam batang tubuh
mukadimmah UUDNRI 1945.
Namun pada kenyataannya kandungan nilai luhur pancasila seakan belum dapat
dimaknai serta diaktualisasikan oleh sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa
akhir – akhir ini marak terjadi di beberapa penjuru Indonesia terkait adanya kasus yang
dianggap telah melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Tentu hal ini
memiliki urgensi tinggi untuk dibahas mengingat Indonesia adalah negara berketuhanan
sebagaimana termaktub di dalam Pancasila sila pertama serta kebebasan memeluk
agama juga merupakan hak yang tak dapat dikurangi atau nonderogable rights dimana
pengaturannya langsung tersurat di dalam UUDNRI 1945. Sebagai negara berketuhanan
memiliki penduduk yang agamis dan rasa solidaritas tinggi menjadikan timbulnya
1
Saleh, Roeslan, 1995, Pembinaan Cita Hukum dan penerapan asas Hukum Nasional, dalam Majalah
Hukum Nasional, BPHN., Jakarta.
sedikit gesekan dan kesalahpahaman dapat memicu konflk berkepanjangan. Tak
terkecuali konflik berdasarkan agama.
Hasil riset dilakukan Setara Institute menyatakan sepanjang 1965-2017 terdapat
97 kasus penistaan agama. Kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim
Orde Baru tumbang. Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada sembilan perkara
penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88.2
Beberapa kasus diantaranya yang dianggap telah melakukan penghinaan atau penodaan
terhadap agama yang terjadi di beberapa daerah antara lain.:
1. kasus penyerangan rumah Suparman di Ckeusik, Pandeglang, Banten yang
mengakibatkan jatuhnya 3(tiga) korban jiwa warga Ahmadiyah, yang disinyalir
bukan aksi spontanitas. Namun by design karena ada indikasi aparat melakukan
pembiaran sewaktu aksi kekerasan dan pembantaian berlangsung3:
2. Kasus penodaan agama di Temanggung adalah penghujatan agama yang
dilakukan pendeta Antonius, yang mengiunap dirumah saudaranya di dusun
Kenalan, Desa/kecamatan Kranggan, kabupaten Temanggmung4.
3. Pengurus gereja Huria Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah
menyatakan tetap akan berjuang mendirikan rumah ibadah di Ciketing Asem,
Mustika Jaya, meski telah dilarang Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia
berdalih, tidak ada diskriminasi dalam beribadah5.
Kasus terbaru menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, yakni Basuki Tjahya
Purnama dengan menghasilkan vonis putusan penjara di penghujung tahun 2016.
Hingga pada awal tahun 2018 lagi-lagi pelaporan terhadap adanya dugaan kasus
penistaan agama kembali mencuat di media massa. Kali ini menimpa beberapa
komedian Indonesia yang disinyalir menyampaikan materi dalam acara stand up
comedy dengan kandungan penistaan agama.
Hal ini menjadi ironi ketika sebuah komedi yang seharusnya menjadi hiburan
justru berujung pada pelaporan kepada pihak yang berwajib dan berpotensi
menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Untuk kemudian yang menjadi penting
dibahas adalah bagaimana sikap kita para pemuda selaku agen perubahan di masa depan
seyogyanya menyikapi adanya fenomena kasus krusial seperti adanya dugaan penistaan
2
https://www.voaindonesia.com/a/setara-institute-terjadi-97-kasus-penistaan-agama-/3848448.html
3
T empo Interaktif, Tragedi Cikeusik diduga kuat By Design, Jakarta, Rabu, 9 Februari 2011
4
ref: voa.com
5
Tempo Interaktif, HKBP Bersikeras mendirikan Gereja di Bekasi, Minggu, 19 September, 2010.
agama. Kemudian menjadi hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana adanya kasus
ini ditinjau dari sudut pandang hukum, mengingat kembali adanya pancasila sila
pertama mengindikasikan bahwa negara dengan segenap aturan hukumnya turut serta
menjaga kehidupan beragama agar terciptanya kehidupan yang harmonis di antara para
pemeluk agama.

Pembahasan
Ketidaktahuan akan fakta dapatlah dimaafkan, namun tidak demikian hal nya
ketidak tahuan akan hukum. Mengingat adanya adagium tersebut jelas menandakan
bahwa apa apa saja perbuatan manusia pasti diatur dan dibatasi oleh hukum semata
demi kepentingan umum. Hal tersebut menjadi sensitif apabila hukum digunakan
sebagai senjata untuk mengkriminalisasi berbagai pihak tertentu atas dasar sentimen
tersendiri. Oleh karena itu pemahaman tentang hukum sudah seyogyanya menjadi hal
yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentang adanya kasus dugaan penistaan terhadap agama islam yang dilakukan
oleh komika dalam materi stand up comedy memang cukup menyita perhatian khalayak
umum. Namun sebelum lebih jauh membahas kasus tersebut, penulis merasa untuk
perlu menguraikan tiga konsep fundamental namun acap kali luput dari pemahaman.
Ketiganya memiliki tekanan dan konsekuensi yang berbeda, yakni blasphemy dengan
penodaan agama, defarmation of religion dengan penistaan agama serta harted speech
dengan pernyataan kebencian. 6
Delik agama itu sendiri secara teoritik dapat digolongkan ke dalam beberapa
kategori:
1. Religionsschutz-theorie (teori perlindungan agama)
Berdasarkan teori ini agama dijadikan sebuah obyek atau dilihat sebagai sebuah
kepentingan hukum yang akan dan atau dipandang perlu untuk dilindungi oleh
negara menggunakan peraturan peraturan yang dibuat.
2. Gefuhlsshutz-theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan)
Menurut teori ini, yang menjadi kepentingan hukum yang dilindungi adalah
rasa/perasaan keagamaan orang orang yang beragama
3. Friendsschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/ketentraman umat beragama)
6
Lihat Rumadi dalam Jurnal Kebebasan dan Penodaan Agama : Menimbang Proyek “Jalan Tengah”
Mahkamah Konstitusi RI, Indo-Islamika Vol 1 Nomor 2, 2012
Dalam teori ini, yang menjadi obyek atau kepentingan hukum yang dilindungi
adalah kedamaian/ketentraman beragam interkonfensional (diantara pemeluk
agama/kepercayaan) atau dapat disimpulkan bahwa perlindungan lebih
diutamakaan pada ketertiban umum.7
Barda Nawawi Arief, berdasarkan teori teori tersebut kemudian merumuskan bahwa
istilah tindak pidana atau delik agama dapat diartikan :
1) Tindak pidana / delik “menurut agama”
Delik ini meliputi tindakan tindakan pidan yang dilihat dari sudut pandang agama
dianggap sebagai sebuah perbuatan terlarang. Hal ini juga mencakup terkait
perbuatan yangberdasarkan hukum yang berlaku bukanlah perbuatan pidana namun
dilihat dari sudut pandang agama dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.
2) Tindak pidana / delik “terhadap agama”
Delik ini erat kaitannya dengan perbuatan perbuatan yang dianggap menghina atau
menistakan terhadap agama atau hal hak yang disakralkan dalam ajaran agama
tersebut. Dengan kata lain, delik ini ditujukan untuk melindungi aama dari pebuatan
yang menhinakan tuhan dan agama.
3) Tindak pidana / delik “yang berhubungan dengan agama” atau “terhadap kehidupan
beragama”
Delik ini erat kaitannya dengan perbuatan perbuatan yang sebenarnya tidak terkait
secara langsung dengan agama, tapi menyangkut dengan kehidupan keagamaan
masyarakat. Contoh diantaranya yakni mengganggu orang orang yang sedang
beribadah, menghina benda yang digunakan untuk melaksanakan peribadatan dan
lain sebagainya.8
Blasphemy
Blasphemy secara gramatikal berasal dari blasphemein dari bahasa Yunani yan
juga dapat diartikan sebagai penistaan nama Tuhan. Dalam artian luas, juga dapat
diartikan sebagai penghujatan kepada hal hal yang disucikan oleh suatu kepercayaan.
Dalam bentuk umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan
terhadap agama – agama yang mapan.
Balsphemy sendiri menjadi hukum negara sejak munculnya teokrasi, dimana
terjadinya penyatuan antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik.
7
Oemar senoadji, hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi (jakarta; erlangga, 1976)
8
Barda Nawawi Arief, Delik Agama, 1.
Defarmation of Religion
Dalam beberapa kasus di bebeapa negara seperti Pakistan, Iran dan Mesir,
berdasarkan evaluasi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB penerapan
konsep defarmation of religion ini justru menmbulkan masalah terkait hak asasi
manusia. Seperti contohnya adalalah kasus pembungkaman kebebasan berekspresi,
xenophobia dan ketegangan antar umat beragama. Sebagai solusi, munculah upaya guna
membentuk suatu instrumen hak asasi manusia skala internasional yang
menyeimbangakan antara hak dalam kebebasan berekspresi namun tetap menjalin dan
menjaga perdamaian khususnya dalam kehidupan umat antar agama. Adapun
pengaturan pembatasan kebebasan berekspresi tetap berdasarkan pada DUHAM dan
Interntional Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), tepatnya pada pasal 19
dan 20 kovenan Hak Hak Sipil dan Politik.
Perlindungan hak asasi manusia haruslah dilandaskan pada prinsip persamaan
martabat tanpa membedakan suku, ras, jenis kelamin, kebangsaan serta agama.
Sedangkan pada faktanya, Penebar kebencian (hate speech) merupakan ancaman
terhadap martabat manusia dan berpotensi memunculkan adanya suatu kondisi yang
menimbulkan perpecahan dan menghilangkan kesetaraan antar umat manusia. Oleh
sebab itu pelarangan pernyataan penear kebencian merupakan suatu kebutuhan guna
menghindari permusuhan, deskriminasi dan kekerasan antar golongan.
Masuk pada kasus adanya dugaan penistaan agama dalam kandungan materi
stand up comedy beberapa waktu terakhir yang berujung pada pelaporan kepada pihak
yang berwajib, dalam menyikapi hal ini memang diperlukan adanya kerjasama dan
kesadaraan seluruh elemen masyarakat dalam mencegah adanya laporan laporan serupa.
Bukan hanya bertujuan hal tersebut, lebih umumnya guna meminialisir adanya gesekan
antara golongan tertentu. Karena pada dasarnya, berdasarkan hukum positive Indonesia
pun pasal penistaan agama dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Penodaan Agama pun pernah diajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi yang memiliki keputusan final dan mengikat
seakan mengambil jalan tengah sebagai negative legislator.
Kerancuan unsur delik penistaan agama serta jalan tengah yang diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi belum menemui tindakan konkrit dari pihak legislative hingga
saat ini. Kemudian ketika mencul laporan yang menjerat komika indonesia, kembali hal
ini menjadi pelajaran bagi semua elemen masyarakat. Hal inilah yang menjadi tugas
bagi generasi muda untuk lebih cerdas dalam menyikapi segala hal. Selayaknya
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan amanat konstitusi, sudah sewajarnya jika
seluruh aspek kehidupan diatur dengan hukum, namun apa dan bagaimana
pengaplikasian hukum, haruslah dipahami lebih lanjut.
Demi terciptanya sebuah efektifitas penegakan hukum, mengutip pendapat
Lawrence M. Friedman maka terdapat tiga hal utama yang harus dibenahi dalam sistem
hukum yakni, struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of law)
dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum (structure of law)
Dalam hal struktur hukum perlu diperhatikan tentang adanya keseragaman
pemahaman aparat penegak hukum dalam memahami apa yang dimaksud dengan
penistaan agama, kategori kategori apa yang memenuhi unsur dalam delik tersebut serta
pemahaman tentang cepat tanggap prosedur pemeriksaan.
Substansi hukum (substance of law)
Substansi hukum adalah hal urgent karena indonesia menganut asas legalitas,
dimana apa yang tertuang di dalam norma itulah yang dilaksanakan. Oleh sebab itu
menjadi penting ketika dalam pembuatan norma oleh pihak legislative terutama dalam
hal terkait adanya penistaan agama mengacu pada hal hal yang lahir dari kebutuhan
masyarakat.
Budaya hukum (legal culture)
Budaya hukum yang dimaksud disini adalah menyangkut dengan sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum. Maka sebaik apapun sebuah konsep penataan
struktur hukum guna menjalankan aturan hukum serta sebaik apapun kualitas substansi
hukum yang dibuat tanpa disertai dengan budaya hukum oleh orang orang yang terlibat
dalam sistem dan masyarakat maka penegakkan hukum tidak akan dapat berjalan secara
efektif.
Maka terfokus pada kasus adanya dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh
komika stand up comedi, maka dalam penyelesaiannya jelas harus menggunakan
mekanisme litigasi yang berlaku. Semua harus melalui proses dimana pada akhirnya
palu hakim yang akan memutuskan. Namun penting untuk disoroti adalah bagaimana
agar kasus seperti itu tidak terulang kembali adalah dengan mengaplikasikan teori
Friedman M. Lawrence didukung oleh segenap lapisan masyarakat.
Masyarakat diharapkan tidak mudah terpancing dengan hal apa yang
bersinggungan dengan agama maupun golongan tertentu. Diperlukan pemikiran yang
logis, pencarian kebenaran akan data dan fakta serta cerdas dalam menggunakan sosial
media.
Penutup
Kesimpulan
Berbagai kasus terkait agama dan golongan seringkai terjadi di Indonesia. Baru baru ini
menghinggapi dunia hiburan tanah air dimana materi stand up comedy yang seharusnya
berisikan guyonan yang menghibur justru menyulut ketidak senangan beberapa pihak
sehingga berujung pada laporan adanya dugaan penistaan agama pada pihak yang
berwajib. Hal ini justru menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi masyarakat.
Adanya laporan terhadap komika tentang dugaan penistaan agama ditinjau dari teori
teori yang ada memunculkan fakta fakta bahwasannya dalam pengertian penistaan
agama memiliki banyak arti serta unsur delik yang bermacam macam. Selain itu
Undang Undang yeng memayungi yakni UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Penodaan Agama pernah diajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. Namun pada saat itu mahkamah lebih memilih jalan tengah sebagai negative
legislator yang mana sampai saat ini belum menemui tindak lanjut dari punggawa
legislative.
Menyikapi adanya keberagaman pengertian tentang delik penistaan agama serta unsur
unsurnya, maka menjadi penting ketika generasi muda seyogyanya lebih cerdas dalam
menyikapi segala hal, tidak mudah tersulut emosi, berfikir logis dan yang menjadi
penting di era milenial seperti sekarang ini adalah bijak dalam bersosial media. Pun
demikian, penyelesaian masalah masalah serupa juga harus disikapi oleh segenap unsur
lapisan masyarakat. Salah satunya dengan menggunakan teori Lawrence M. Friedman
yang mana memiliki tiga unsur substansial yang harus diperbaiki, yakni dari unsur
Struktur hukum, substansi hukum serta budaya hukum.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia
dan Perbandingan Berbagai Negara. Semarang : UNDIP Semarang, 2007

Saleh, Roeslan. 1995. Pembinaan Cita Hukum Dan Penerapan Asas Hukum Nasional,
dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN., Jakarta.

Senoadji , Oemar. 1976. Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi. Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai