Konstitusi Dan Aktivisme Yudisial
Konstitusi Dan Aktivisme Yudisial
Gelombang Pro-Kontra
Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh negara dunia, tidak
terkecuali pada negara-negara yang menganut sistem civil law. Namun demikian,
diskursus mengenai aktivisme tersebut turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan
para elit, akademisi, praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an
telah terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang berusaha
membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua, kelompok yang memandang
aktivisme yudisial sebagai sine qou non dari pengadilan yang merdeka dan independen;
dan Ketiga, kelompok moderat yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas
untuk kasus-kasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan
terhadap kaum lemah atau minoritas.
Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat menjadi
langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi konstitusional. Akan
tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru berpotensi mengakibatkan kontra-
produktif. Di sinilah letak kekhawatiran sebagian kalangan yang melihat aktivisme
yudisial dapat bermetamorfosa sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial
(judicial adventurism) ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).
Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap menjadi corak
esential dalam mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan. Dengan
demikian, judicial activism dan judicial self-restraint sebaiknya tidak perlu ditempatkan
sebagai dogma yang saling bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang
krusial dalam fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran
hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun progresif, patut
dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masing-masing dalam nuansa
“pertarungan” pertimbangan hukum pada saat merancang suatu putusan pengadilan.
Praktik Judicial Review
Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nomokrasi di bawah
payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal sekaligus pelindung hak-hak dasar
warga negara. Berkaitan dengan hal itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar
dari suatu konstitusi yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali
mempraktikkan aktivisme yudisial ketika memperkenalkan mekanisme judicial
review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs. Madison dengan mengatakan, “Our is a
Government of laws and not of men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah
adanya pendapat Hamilton dan Jefferson dalam the Federalist(1837).
Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan aktivisme yudisial
marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia, India, Korea, dan
Afrika Selatan. Sebagai contoh, dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954),
Mahkamah Agung Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu
pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan menyatakan bahwa
segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi inkonstitusional. Dalam menjalankan
fungsinya, Hakim tersebut menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya
perubahan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala
diperlukan penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan
“requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).
Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah mempraktikkan aktivisme
yudisial tatkala mempertahankan prinsip-prinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam
lima tahun terakhir, beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah
memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai dengan adanya
yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam UU SDA (2005),
lalu empat kali melakukan “tekanan konstitusional” (constitutional pressures) terhadap
kewajiban pemenuhan 20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan
perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan substantif yang
kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan dan pemungutan suara ulang
Pemilu di Jawa Timur dan beberapa wilayah lainnya (2009).
Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis dalam amar
putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan undang-undang agar tidak
bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini dapat ditemukan pada putusan judicial
review mengenai diperbolehkannya penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi
tahap kedua pada Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian
terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks pemisahan
kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya disambut dan diterima
dengan baik tidak hanya oleh perorangan, akademisi, ataupun aktivis hukum, namun
juga oleh Pemerintah, Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-
lembaga lainnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan menerima
kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum ketika kondisi memang
memperhadapkan antara perlindungan konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun
ketidakberdayaan peraturan hukum (constitutional lawlessness). Dalam sistem demokrasi
konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan. Akan tetapi, antusiasme yang
berlebihan justru dapat menyebabkan iklim yang tidak sehat bagi pertumbuhan
demokrasi itu sendiri. Untuk menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal
dengan kritisasi akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan
legitimasinya.
*Penulis adalah Pengadministrasi Yustisial Hakim Konstitusi RI.
Link: http://jurnalnasional.com/?