Anda di halaman 1dari 3

Prahara promosi hakim

Achmad Fauzi

KOMPAS.com - Patogen birokrasi akibat ambruknya kerangka regulasi sistem


karier dan ketidakjelasan kriteria perekrutan pejabat menjadi persoalan sistemik
lembaga pemerintahan kita.

Alih-alih menciptakan pemerintahan yang bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan
nepotisme, pascareformasi penyalahgunaan wewenang dan jual-beli jabatan justru
menggurita dan menegasikan asas umum tata kelola yang baik. Temuan populer
terkait patogen birokrasi adalah para pegawai negeri sipil yang bermasalah dengan
hukum tetapi memegang jabatan strategis.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mencatat, 474 PNS tersangkut kasus hukum
dan menduduki jabatan pemerintahan daerah di 19 provinsi. Mereka berstatus
tersangka, terdakwa, bahkan terpidana (Kompas, 22/11). Dalam hal ini, pemerintah
perlu membangun sistem pengangkatan pejabat birokrasi berbasis rekam jejak,
kompetensi, dan integritas.

MA terjangkit

Patogen birokrasi juga menjangkiti Mahkamah Agung (MA). Beberapa hakim yang
pernah terlibat pelanggaran berat terkait etika profesi justru dipromosikan ke jabatan
yang lebih tinggi. Kejadian hakim ”sakti” yang seharusnya didemosi tetapi justru
mendapat promosi terus berulang. Setidaknya ada dua peristiwa anomali promosi
yang bisa menjadi batu uji.

Pertama, terkait peristiwa promosi hakim XX yang berdasarkan hasil rapat Tim
Promosi dan Mutasi (TPM) MA pada 29 November 2012 menduduki jabatan sebagai
wakil ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Padahal, Komisi Yudisial (KY) memiliki
catatan hitam tentang perbuatan tercela yang bersangkutan empat tahun silam.

Hakim XX pernah berkomunikasi dengan pihak beperkara, yaitu Artalyta Suryani


alias Ayin, perihal keinginannya untuk bermain golf di Shanghai, China, bersama
teman-temannya. Percakapan itu mengandung unsur mengharapkan sesuatu
sehingga melanggar prinsip persamaan dan imparsialitas.

Keputusan mempromosikan hakim XX menjadi preseden buruk dan menurunkan


tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Jabatan strategis yang
idealnya diisi hakim bersih justru dimandatkan kepada oknum hakim dengan
reputasi buruk. Keputusan itu harus dievaluasi karena mencederai asas kepatutan
dan norma kesusilaan. Pejabat publik harus menjadi figur panutan bagi
bawahannya.

Proses evaluasi mencakup desain ulang kriteria penerapan sistem promosi secara
lebih jelas dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Parameter promosi
harus meliputi aspek kualitas, integritas, dan prestasi hakim, bukan semata-mata
berdasarkan senioritas/pangkat.

MA saat mempromosikan hakim XX memberikan beberapa alasan. Pertama,


”pemutihan” cacat integritas telah dilakukan dengan mencopot hakim XX dari
jabatannya kala itu, yaitu sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kedua,
hakim XX telah menjalani etape uji kelayakan dengan predikat baik.

Namun, pertimbangan itu mengandung polemik karena yang terkesan uji kelayakan
dan kepatutan justru mengalpakan aspek integritas. Padahal, tak sukar mencari
hakim dengan reputasi cemerlang untuk jabatan tertentu. Jika iktikad tulus untuk
bersih-bersih MA benar-benar menjadi napas para pengambil kebijakan, anomali
mutasi dan promosi macam ini tidak terjadi.

Kedua, pada saat pertemuan bersama empat lingkungan peradilan di wilayah


Provinsi Nusa Tenggara Timur, pimpinan MA memberikan pengarahan agar warga
peradilan senantiasa menjaga citra dan keagungan MA. Jangan sampai kesetiaan
terhadap institusi justru menjelma menjadi kayu bakar dan membakar institusi
sendiri.

Menggugat promosi

Seorang peserta menanggapi dengan kritis bahwa idealnya citra MA harus


dipelihara. Namun, jika sistem mutasi dan promosi MA terus mengoyak rasa
keadilan, ia siap menjadi kayu bakar dan akan membakar MA. Peserta tersebut tidak
sedang bercanda. Ia menggugat promosi seorang mantan pimpinan pengadilan
sebagai wakil ketua pengadilan kelas IA. Padahal, yang bersangkutan sedang
menjalani hukuman disiplin hingga Maret 2013 berupa penurunan pangkat dan
pemotongan remunerasi.

Merespons pertanyaan itu, pimpinan MA mengatakan akan mengeceknya. Tak lama


berselang hakim yang dimaksud dicopot dari jabatannya meski yang bersangkutan
baru saja dilantik.

Jelas bahwa perbaikan sistem menjadi mutlak. Ke depan pengembangan sistem


rotasi, mutasi, dan karier hakim perlu terus disempurnakan parameter yang obyektif.
Dengan demikian, sistem reward and punishment bisa diterapkan dan menekan
unsur nepotisme. Promosi hakim yang (pernah) melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim perlu dipertimbangkan matang dan penuh kehati-hatian.

Catatan buruk sepak terjang seorang hakim tak boleh diabaikan begitu saja. Kelak
ketika yang bersangkutan mendaftar sebagai hakim agung di KY, rekam jejak itu
sangat memengaruhi penilaian. Itulah dasar filosofis mengapa hakim yang cacat
reputasi tidak punya ruang yang luas untuk dipromosikan. Jabatan harus diemban
oleh orang yang berintegritas tinggi, berprestasi, dan memenuhi standar kompetensi.

Begitu juga hakim yang berprestasi bisa mendapat reward dalam bentuk
peningkatan karier. Hakim berprestasi yang terlalu lama bertugas di daerah
terpencil, misalnya, akan mengalami keterbatasan akses pengetahuan dan
kesempatan melanjutkan studi dibandingkan dengan mereka yang bertugas di kota
besar. Karena itu, asas pemerataan—dengan menempatkan hakim ke sejumlah
daerah— jangan sampai mengalahkan porsi penilaian kemampuan seorang hakim
dalam menentukan mutasi.

Ukuran hakim berprestasi bukan semata-mata karena berani menjatuhkan hukuman


berat atau putusannya tidak pernah dibatalkan di tingkat banding ataupun kasasi.
Hakim yang berprestasi adalah hakim yang gigih menggali norma yang hidup dalam
masyarakat dan memunculkan teori baru sebagai pedoman bagi hakim lain
sehingga menjadi yurisprudensi.

Standar baku

Sistem mutasi dan promosi memang merupakan bagian dari upaya pembinaan dan
peningkatan kapabilitas/keahlian hakim. Namun, diperlukan standar baku yang
transparan agar proporsionalitas perjalanan karier hakim bisa dipantau. Sistem
mutasi dan promosi yang ideal berbasis pada tiga hal: database rekam jejak,
manajemen putusan dan berorientasi pada peningkatan kualitas hakim.

Selama ini MA kecolongan mempromosikan hakim bermasalah karena kurang


mengoptimalkan integrasi data sumber daya manusia dengan pengawasan, sistem
karier, promosi, dan mutasi. Keterlibatan KY yang terkait langsung dengan
pengawasan hakim sangat diperlukan.

KY dan MA seyogianya menjalin kerja sama dalam proses penilaian kinerja hakim
karena keduanya memiliki keterkaitan dalam tugas dan pelaksanaan fungsi
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Achmad Fauzi Hakim Pengadilan Agama Kota Baru, Kalimantan Selatan

Anda mungkin juga menyukai