Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning Disability” yang
berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan kesulitan” untuk memberikan kesan
optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain learning disabilities adalah
learning difficulties dan learning differences. Ketiga istilah tersebut memiliki nuansa pengertian yang
berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning differences lebih bernada positif, namun di pihak
lain istilah learning disabilities lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan
perbedaan rujukan, maka digunakan istilah Kesulitan Belajar. Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan
belajar , istilah kata yakni disfungsi otak minimal ada yang lain lagi istilahnya yakni gannguan
neurologist.
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan , berpikir , berbicara, membaca, menulis,
mengeja , atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gannguan perseptual, luka
pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang
memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan
hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya,
atau ekonomi. Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata
dalam aktivitas mendengarkan, bercakap- cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau dalam
berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya disfungsi sistem
saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris,
hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses
pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab
kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang
sudah ada.
ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam Lovitt, (1989)
mengatakan bahwa kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari
masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan
bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau
di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem
sensoris. Sedangkan NJCLD (National Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Lerner, (2000)
berpendapat bahwa kesulitan
kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini bukan karena
kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan, melainkan karena faktor
kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan melakukan pemrosesan informasi
terhadap objek yang diinderainya. Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak dengan kemampuan
intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam
belajar yang berkaitan dengan hambatan dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori,
serta pemusatan perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam
Weiner,
2003). Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi yang
merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan belajar spesifik (spesific
learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah emosional. Kelompok anak
dengan Learning Dissability (LD) dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang
menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar- figure,
visual-motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa,
sosio-emosional, body image, dan konsep diri.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan beragam gangguan
dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena faktor internal individu itu
sendiri, yaitu disfungsi minimal otak. Kesulitan belajar bukan disebabkan oleh faktor eksternal berupa
lingkungan, sosial, budaya, fasilitas belajar, dan lain-lain. Tidak seperti cacat fisik, kesulitan belajar tidak
terlihat dengan jelas dan sering disebut “hidden handicap”. Terkadang kesulitan ini
tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya anak yang mengalami kesulitan belajar sering
diidentifikasi sebagai anak yang underachiever, pemalas, atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami
perasaan frustrasi, marah, depresi, cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, 2001).
1. Faktor keturunan/bawaan
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu yang merokok,
menggunakan obat-obatan (drugs), atau meminum alkohol selama masa kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma kepala, atau pernah
tenggelam.
5. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak dengan kesulitan belajar biasanya
mempunyai sistem imun yang lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan
neurotoksin lainnya.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun-tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun
adalah masa-masa kritis yang penting terhadap pembelajaran ke depannya. Stimulasi pada masa bayi
dan kondisi budaya juga mempengaruhi belajar anak. Pada masa awal kelahiran samapi usia 3 tahun
misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu, berbicara kepadanya, atau
membacakannya cerita. Pada beberpa kondisi, interaksi ini kurang dilakuan, yang bisa saja
berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak yang dapat membuat anak sulit membaca
(Harwell, 2001)
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab kesulitan belajar sebagai berikut:
Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika Serikat pada akhir tahun
1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan
perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada
hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan kemampuan
sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas
yang berhubungan dengan auditori termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan
aktivitas non verbal. Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa
anak-anak dengan kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan kinerja yang lebih baik daripada
kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari anak
yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager, 1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa, yang faktor herediter menentukan
ketidakmampuan dalam membaca, menulis dan mengeja diantara orang-orang yang didiagnosa
disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann (dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia
pada kembar identik dan kembar tidak identik yang menemukan bahwa frekwensi disleksia pada
kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan bahwa
ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatu yang diturunkan.
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia awal kehidupan merupakan dua
hal yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar pada anak. Cruickshank
dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang
jelas antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada usia awal akan mempengaruhi sistem
syaraf pusat dan kemampuan belajar serta berkembang anak.
4. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan
bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun
kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986)
membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi,
perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan kesulitan
belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak- anak yang
mengalami kesulitan belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil namun ada juga yang tidak cukup
berhasil. Beberapa ahli kemudian menyebutkan bahwa memang ada beberapa anak yang tidak cocok
dengan bahan makanan. Mulyono Abdurrahman mengatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor Internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis,
sedangkan penyebab utama problema belajar adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi
pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar
anak, dan pemberian ulangan penguatan.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi faktor neurologis yakni :
1. Faktor genetik
3. Faktor Biokimia
4. Pencemaran Lingkungan
Mencermati definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki beberapa
karakteristik utama, yaitu:
1. Gangguan Internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu sendiri.
Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat.
Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi visual (proses pemahaman terhadap
objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman terhadap objek yang didengar) maupun
persepsi taktil- kinestetis (proses pemahaman terhadap objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-
faktor internal tersebut menjadi penyebab kesulitan belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari
luar anak), seperti faktor lingkungan keluarga, budaya, fasilitas, dan lain-lain.
Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa diantaranya
di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang rendah.
Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara potensi dan prestasi yang
ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan belajar akademik yang spesifik, yaitu
pada kemampuan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).
Mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental.
Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut ini:
50-70. Kondisi tersebut menghambat prestasi akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.
Slow learner adalah anak yang memiliki keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga proses belajarnya
menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit dibawah rata- rata dengan IQ antara 80-90.
Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran. Slow learner disebut anak border line
(“ambang batas”), yaitu berada di antara kategori kecerdasan rata-rata dan kategori mental retardation
(tunagrahita)
Anak dengan problem belajar (bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami hambatan
belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi lingkungan keluarga, fasilitas
belajar di rumah atau di sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat temporer/sementara dan
mempengaruhi prestasi belajar.
Menurut Valett (dalam Sukadji, 2000) terdapat tujuh karakteristik yang ditemui pada anak dengan
kesulitan belajar. Kesulitan belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan
belajar khusus.
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu
berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak adanya reinforcement. Semua ini
ataupun sendiri- sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan
umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang akademik dapat
menular ke bidang- bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang,
yang tidak pasti dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam keinginan
untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun atau tidak memperhatikan.
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan
angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena naik turunnya minat dan
perhatian mereka terhadap pelajaran. Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih
merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang anak berdasarkan informasi
yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan
mental tetapi terlihat perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan
mental.
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung
proses belajar. Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada
ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang
didapat dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar.
(Praakademik)
bentuk gangguan perkembangan motorik meliputi; motorik kasar (gerakan melimpah, gerakan
canggung), motorik halus (gerakan jari jemari), penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan
lateralisasi (arah).
(Penginderaan)
Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan tersebut
mencakup pada proses penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecap.
(Pemahaman atau apa yangdiinderai) Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami
rangsang dari proses penginderaan sehingga menjadi informasi
tersebut meliputi:
• Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek yang didengarkan.
• Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang dilihat.
• Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami objek yang bergerak
atau digerakkan.
• Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek. · Pembalikan kiri-
kanan (Inversion)
• Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang. ataupun angka dengan arah
terbalik kiri- kanan.
· µ; 4 ¼
mengendalikan diri yang bersifat internal dari dalam diri anak. Gangguan tersebut meliputi:
Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas-bawah.
mama wawa; 2 5; 6 9
disertai hiperaktivitas.
· Penambahan (Addition) Menambahkan huruf pada suku kata Contoh : suruh disuruh; gula
· Penghilangan (Omission) Menghilangkan huruf pada suku kata Contoh : kelapa lapa; kompor
mamas; 3 8
Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol simbol bunyi menjadi simbol
huruf atau angka. Kesulitan menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap aktivitas menulis, yaitu:
· Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan dari
suku kata/kata. Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain (1) Decoding atau
kemampuan menguraikan kode/simbol visual; (2) Ingatan auditoris dan visual atau ingatan atas objek
kode/simbol yang sudah diurai tadi; untuk (3) Divisualisasikan dalam bentuk tulisan.
· Menulis Permulaan (Menulis cetak dan Menulis sambung) yaitu aktivitas membuat gambar
simbol tertulis.
Sebagian anak berkesulitan belajar umumnya lebih mudah menuliskan- huruf- cetak yang terpisah-pisah
daripada menulis-huruf-sambung. Tampaknya, rentang perhatian yang pendek menyulitkan mereka saat
menulis-huruf-sambung. Dalam menulis-huruf-cetak, rentang perhatian yang dibutuhkan mereka relatif
pendek, karena mereka menulis “per huruf”.
Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain:
1) Ketidakkonsistenan bentuk/
ukuran/proporsi huruf
Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga terjadi pada kesulitan membaca, seperti:
Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan
mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah. Kemampuan berhitung
sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar sampai kemampuan lanjut. Oleh
karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut tingkatan, yaitu kemampuan dasar
berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat, kemampuan melakukan operasi penjumlahan
dengan atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam,
kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
uraian di bawah.
i. Mengelompokkan (classification), yaitu kemampuan mengelompok- kan objek sesuai warna, bentuk,
maupun ukurannya. Objek yang sejenis dikelompokkan dalam suatu himpunan, misalnya himpunan
kursi, himpunan kelereng merah, himpunan bola besar, dan lain-lain. Pada anak yang kesulitan
mengklasifikasi, anak tersebut kesulitan menentukan bilangan ganjil dan genap, bilangan cacah,
bilangan asli, bilangan pecahan, dan seterusnya.
ii. Membandingkan (comparation), yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas dari dua
buah objek. Misalnya:
iii. Mengurutkan (seriation), yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua
buah objek. Pola pengurutannya sendiri bisa dimulai dari yang paling minimal ke yang paling maksimal
atau sebaliknya. Contohnya:
Penggaris A paling pendek, Penggaris B agak panjang, dan Penggaris C paling panjang;
Bola X paling besar, Bola Y lebih kecil, dan Bola Z paling kecil;
Bangku Merah paling banyak, Bangku Biru lebih sedikit, dan Bangku Hijau paling sedikit;
5 – 4 – 3 atau 20 – 40 – 70 – 80 –
(sama dengan) dan lain-lain. Penguasaan simbol-simbol tanda ini akan berguna saat anak melakukan
operasi hitung.
v. Konservasi, yaitu kemampuan memahami, mengingat, dan menggunakan suatu kaidah yang sama
dalam proses/operasi hitung yang memiliki kesamaan. Bentuk konkret dari konservasi adalah
penggunaan rumus atau kaidah suatu operasi hitung. Dalam sebuah operasi hitung berlangsung proses
yang serupa untuk objek kuantitas yang berbeda. Misalnya dengan memahami konsep penjumlahan
anak akan tahu bahwa 2+5 adalah
7 dan 4+9 adalah 13; karena meskipun jumlah angkanya berbeda tetapi pola hitungannya sama. Anak
akan mengalami kesulitan saat menterjemahkan kalimat bahasa menjadi kalimat matematis pada soal
cerita.
Dalam berhitung/matematis, pemahaman akan nilai tempat adalah sesuatu yang penting, karena
bilangan ditentukan nilainya oleh urutan atau posisi suatu angka di antara angka lainnya. Dalam
matematika, bilangan yang terletak di sebelah kiri nilainya lebih besar dari bilangan di sebelah kanan.
Misalnya pada bilangan 15; angka “1” nilainya adalah 1 puluhan sedangkan angka “5” adalah “5 satuan”.
Konsep nilai puluhan dan satuan melekat pada posisi/tempatnya masing- masing. Begitu juga nilai
ratusan, ribuan, puluhribuan, dan seterusnya. Pemahaman mengenai konsep nilai tempat juga penting
dalam operasi hitung. Pada operasi penjumlahan konsep ini akan mengarahkan penentuan berapa nilai
yang disimpan, sedangkan operasi pengurangan konsep nilai tempat akan mengarahkan penentuan
berapa nilai yang dipinjam. Contoh:
Menjumlah
Sedangkan konsep pembagian adalah lanjutan dari konsep operasi pengurangan. Pembagian pada
dasarnya adalah pengurangan yang berulang (sebanyak angka pembaginya). Kedua konsep operasi
hitung ini akan bisa dikuasai anak hanya bila anak telah menguasai konsep penjumlahan dan
pengurangan. Pada anak yang kesulitan mengalikan atau membagi akan cenderung menebak-nebak
jawaban atau tidak cermat melakukan proses penghitungan.
Contoh:
17
25 +
42
atau
17
25 +
312
2x5=7
12 : 3 = 9
· Kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan; dan
pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam. Anak yang tidak menguasai tahapan konservasi akan
kesulitan melakukan operasi hitung. Anak yang belum menguasai konsep nilai tempat akan mengalami
kesulitan dalam proses operasi hitung penjumlahan dengan menyimpan atau pengurangan dengan
meminjam.
=6
Dan seterusnya.
· Kemampuan Menjumlah dan Megurang Bilangan Bulat. Bilangan bulat terdiri dari bilangan
positif dan negatif. Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif lain pada umumnya
tidak ditemukan kendala.
Misal: 10 + 3 = 13
7 + 13 = 20
Pada operasi pengurangan yang nilai pengurangnya lebih kecil, juga tidak ditemukan kendala.
Misal: 10 - 3 = 7
17 - 8 = 9
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yaitu:
5 + (- 9) = ....
(2) Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan positif
Contoh: - 7 + 9 = ....
- 8 + 3 = ....
-9 + (-12) = ....
(4) Pengurangan bilangan bulat positif dengan positif (bilangan pengurangan lebih besar)
Contoh: 6 – 10 = ....
8 – 12 = ....
9 – (-3) = ....
Contoh: - 4 – 8 = ....
-5 – 9 = ....
Dari uraian di atas, tampak bahwa kemampuan berhitung merupakan kemampuan yang sifatnya
bertingkat. Dimulai dari tingkat yang paling sederhana, yaitu kemampuan dasar (seperti klasifikasi,
komparasi, seriasi, serta simbolisasi dan konservasi) sampai kemampuan
Menurut Kirk & Gallagher (1986), kesulitan belajar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar
yaitu developmental learning disabilities dan kesulitan belajar akademis. Komponen utama pada
developmental learning disabilities antara lain perhatian, memori, gangguan persepsi visual dan
motorik, berpikir dan gangguan bahasa. Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk
ketidakmampuan pada membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik.
berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya,
tidak dapat mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar dan tidak dapat mengarahkan
perhatian secara utuh pada sesuatu hal.
b. Memory Disorder
Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah dilihat atau didengar
ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat memiliki kesulitan dalam me-recall kata-
kata yang ditampilkan
secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan masalah pada ingatan auditorinya yang
mempengaruhi
d. Thinking disorder
Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah pembentukan
konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat dengan gangguan dalam berbahasa verbal.
Dalam penelitian oleh Luick terhadap 237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang parah,
menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan yang normal dalam tes visual dan motorik
namun berada di bawah rata-rata pada
tes persepsi auditori, ekspresi verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.
e. Language Disorder
Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak pra- sekolah. Biasanya anak-anak ini
tidak berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan verbal.
Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam membaca,
mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada saat anak menampilkan kinerja
di bawah potensi akademik mereka.
Harwell (2001) mengungkapkan bahwa sebaiknya assesmen dan identifikasi siswa berkesulitan belajar
dilakukan oleh team yang terdiri dari berabagi disiplin ilmu, yaitu :
1. Psikolog sekolah: memperoleh informasi tentang kondisi keluarga, sosial, dan budaya, mengukur
inteligensi dan perilaku melalui alat ukur yang terstandar, dan memperoleh gambaran tentang kelebihan
dan kekurangan siswa.
2. Guru kelas dan orang tua: memberi informasi tentang perkembangan anak, keterampilan yang telah
diperoleh anak, motivasinya, rentang perhatiannya, penerimaan sosial, dan penyesuaian emosional,
yang dapat diperoleh dengan mengisi rating scale tentang perilaku anak.
3. Ahli pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus: melakukan penilaian akademik dengan
menggunakan berbagai tes individual, mengobservasi siswa dalam situasi belajar dan bermain, melihat
hasil pekerjaan siswa, dan mendiskusikan performa siswa denga guru dan orangtua.
4. Perawat sekolah : memperoleh data perkembangan kesehatan siswa. Perawat bisa meminta siswa
untuk menunjukkan aktivitas motorik sederhana, melakukan tes pendengaran dan penglihatan siswa,
dan jika ada masalah kesehatan, perawat bisa mendiskusikannya ke dokter.
5. Administrator sekolah: memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait dan menyediakan dana. Dan
terkadang juga melibatkan pihak lain seperti guru olahraga, terapis wicara, terapis okupasi, pekerja
sosial, atau dokter anak.
Ada beberapa aspek penilaian yang harus dilakukan dalam assesmen, yaitu:
1. Intelectual assesment. Penilaian kemampuan intelektual ini meliputi beberapa hal, yaitu (1) IQ yang
bisa diukur dengan tes inteligensi terstandar;(2) Peserpsi visual untuk melihat interpretasi otak terhadap
apa yang dilihatnya, dapat diketahui dengan tes Visual Motor Integration (VMI) untuk anak usia 3-18
tahun atau The Bender Visual Motor Gestalt Test untuk usia 4-11 tahun; (4) Persepsi Auditori untuk
melihat kemampuan proses menerima informasi melalui stimulus auditori yang bisa dilakukan melalui
observasi kelas atau tes-tes auditori; (5) Ingatan untuk melihat kemampuan anak dalam mengingat
informasi yang diterimanya, bisa diketahui melalui subtes digit span WISC atau tes lainnya.
a. Melihat hasil kerja anak dan bagaimana ia merespon huruf, kata, dan kalimat.
b. Bahasa yang diucapkan, seberapa banyak kosa katanya, apakah kata yang dipilihnya sesuai atau
tidak.
d. Observasi percakapannya dengan teman- teman sebayanya, dengan yang lebih muda, dengan yang
lebih tua. Apakah Ia bisa menyesuaikan bahasa yang tepat.
4. Health assesment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui riwayat kesehatan siswa.
5. Behavior assesment. Penilaian perilaku ini dilakukan untuk melihat dampak perilaku anak terhadap
keberhasilannya di sekolah., yang dapat dilakukan melalui observasi, wawancara dengan orangtua dan
guru, penggunaan rating scale, penggunaan inventori keprbadian, dan tes proyektif. Ketika menilai
perilaku siswa, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
Penangan yang diberikan pada kasus anak dengan kesulitan belajar tergantung pda hasil pemeriksaan
yang komprehensif dari tim kerja. Penanganan yang diberikan pada anak dengan kesulitan belajar
meliputi :
a. Terapi Obat
Pengobatan yang diberikan adalah sesuai dengan gangguan fisik atau psikiatrik yang diderita oleh anak,
misalnya:
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang sering diberikan adalah modifikasi perilaku. Dalam halini anak akan mendapatkan
penghargaan langsung jika dia dapat memenuhi suatu tugas atau tanggung jawab atau perilaku positif
tertentu. Di lain pihak, ia akan mendapatkan peringatan jika jika ia memperlihatkan perilaku negative.
Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung ini maka diharapkan anak dapat mengontrol
perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di sekolah maupun di rumah.
c. Psikoterapi Suportif
Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk memberi pengertian dan
pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga dapat menimbulkan motivasi yang konsisten dalam
usaha untuk memerangi kesulitan ini.
Dalam hal ini terapi yang paling efektif adalah terapi remedial, yaitu bimbingan langsung oleh guru yang
terlatih dalam mengatasi kesulitan belajar anak. Guru remedial ini akan menyusun suatu metoda
pengajaran yang sesuai bagi setiap anak. Mereka juga melatih anak untuk dapat belajar baik dengan
teknik-teknik pembelajaran tertentu (sesuai dengan jenis kesulitan belajar yang dihadapi anak) yang
sangat bermanfaat bagi anak dengan kesulitan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Devaraj, S, Roslan, S. (2006). Apa itu disleksia, panduan untuk ibu bapa, guru, dan kaunselor, dalam S.
Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.
Frank, R. (2002). The secret life of dyslexic child, a practical guide for parents and educators. The Philip
Lief Group,Inc,2002., Inc, 2002.
Harwell, Joan M. 2000. Information & Materials for LD, New York: The Center of Applied Research in
Education.
Kirk, S.A, & Gallagher, J.J. (1986). Educating Exceptional Children 5th ed. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Menkes, J.H, Sarna,J.B, Maria, B.L. (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB. Sarnat
(penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
Reid, G. (2004). Dyslexia: A complete guide for parents. John Wiley and Sons, Ltd, England.
Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier (penyunting). Pediactric neurology principles and practice, volume 1,
edisi ke 4, Mosby, Philadelphia
Pendidikan Nasional.