Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH :

HAYUNING RACHMITA KURNIANTI

1834028

YAYASAN WAHANA KARYA BHAKTI HUSADA

AKADEMI KEPERAWATAN RSPAD GATOT SOEBROTO

JAKARTA

2020
Cedera Kepala

A. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks.Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat
sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan
fungsi fisiologis lainnya.Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat
mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam,
termasuk tengkorak dan otak (Soertidewi, 2006).Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Arif, 2000).

B. Klasifikasi Cedera Kepala


Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala.Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan
derajat cedera kepaka. Cedera kepaladiklasifikasikan dalam berbagi aspek,secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
 Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.Cedera
kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobilmotor, jatuh atau pukulan
benda tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.
Beratnya Cedera Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
-Cedera Kepala Ringan (CKR) GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran
( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
-Cedera Kepala Sedang (CKS) GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
-Cedera Kepala Berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

C. Penatalaksanaan Cedera Kepala

 Penanganan Cedera Kepala Ringan Pasien dengan CT Scan normal dapat


keluar dari UGD dengan peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun
(bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan
dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas
pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan
dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang
abnormal.
 Penanganan Cedera Kepala Sedang Beberapa ahli melakukan skoring cedera
kepala sedang dengan Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan
menambahkan skala Postrauma Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana
skore 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada
amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi : 1.Risiko
ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness 2.Risiko sedang :
ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma 3.Risiko tinggi :
nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan
Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain :
mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi
kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk
disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi .
 Penanganan Cedera Kepala Berat Diagnosis dan penanganan yang cepat
meliputi: Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner Secondary survey :
penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu
penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.

Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :


1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-
Brething-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung
memper-hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada
kesempatan pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler. Penilaian
neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan
natrium bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma. 
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
beratsurvei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak.

D. Komplikasi Cedera Kepala


 Kejang Pasca Trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah satu
komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7
hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah
trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, GCS <10
 Demam dan Menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperburuk
outcome.Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.Penatalaksanaan
dengan asetaminofen, neuro muskular paralisis. Penanganan lain dengan cairan
hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
 Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan.Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan
obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel.Gejala klinis
hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil odema, demensia, ataksia
dan gangguan miksi.
 Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan.Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan
pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam
memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen,
baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.
 Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.Agitasi juga sering terjadi akibat
nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi 22  sentral.Penanganan farmakologi
antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodiazepin dan terapi modifikasi lingkungan.
 Mood, Tingkah Laku dan Kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah
cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah
cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk
problem daya ingat pada 74%, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan
kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan
gangguan kognitif.Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem
gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal.Dopamine, Amantadinae dilaporkan
dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur.Donepezil dapat memperbaiki
daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu.Depresi mayor dan minor ditemukan
40-50%.Faktor risiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera
kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan
 Sindroma Post Kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera
kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah,
23  sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
E. Pengukuran Outcome
 Glasgow Outcome Scale (GOS) Glasgow Outcome Scale (GOS) terdiri dari 5
kategori, antara lain:
-Meninggal
-Status vegetative
-Kecacatan yang berat
-Kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan
pekerjaannya)
-Kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).
 Disability Rating Scale (DRS)
Disability Rating Scale (DRS) merupakan skala tunggal untuk melihat progress
perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori
termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan

Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS).GCS adalah
sebuah skala yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran pada pasien setelah
mengalami cedera kepala.Penilaian yang digunakan pada GCS yaitu penilaian respon mata,
verbal, dan motorik. Penilaian yang dilakukan dengan GCS bertujuan untuk mengetahui
klasifikasi tingkat keparahan pada pasien yang mengalami cedera kepala dengan kriteria:
• Berat: bila GCS≤ 8 • Sedang: bila GCS 9 - 12
• Ringan: bila GCS ≥ 13 Setelah mengetahui hasil GCS pada pasien, maka kita bisa
menentukan tingkat keparahan cedera kepala pasien tersebut.
Penilaian selanjutnya adalah dengan melihat hasil CT Scan pad apasien dengan cedera
kepala ringan yang telah kita ketahui hasil GCS nya ≥ 13. Penilaian ini untuk mengetahui
gambaran hasil CT scan pada pasien dengan cedera kepala ringan apakah ada kelaianan atau
tidak. Kelainan yang dilihat berupa fraktur, perdarahan, dan oedema.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
b. Angiografi cerebral
c. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema kontosio
dan pergeseran tulang tengkorak.
d. Pemeriksaan darah dan urine.
e. Pemeriksaan MRI
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
A. Asuhan Keperawatan Kritis Stroke Non Hemoragik

1. Pengkajian

Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala menurut Yasmara

dkk  (2016) “Pengkajian Pola Kesehatan Fungsional” adalah sebagai berikut :

a. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien gangguan sistem saraf biasanya akan terlihat

bila sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan yang didapatkan meliputi

kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat

berkomunikasi, konvulsi, sakit kepala hebat, tingkat kesadaran menurun

(GCS <15), akral dingin dan ekspresi rasa takut.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada gangguan neurologis riwayat penyakit sekarang yang mungkin

didapatkan meliputi adanya riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada

saat pasien sedang melakukan aktivitas, keluhan pada gastrointestinal

seperti mual muntah bahkan kejang sampai tidak sadar di samping gejala

kelumpuhan separuh badan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu 

Pengkajian riwayat penyakit dahulu diarahkan pada penyakit penyakit yang

dialami sebelumnya yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan

masalah yang dialami klien sekarang seperti adakah riwayat penggunaan

obat obat, tekanan darah tinggi.


4. Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian riwayat penyakit keluarga diarahkan pada penyakit penyakit

yang terjadi pada keluarga pasien secara garis keturunan maupun yang

tinggal serumah yang dapat mempengaruhi kesehatan pada pasien. Buat

genogram untuk mengetahui alur keturunan jika terdapat faktor penyakit

keturunan.

5. Pola Metabolik

Kaji kesulitan menelan dan adanya mual muntah (yang berkaitan dengan

perdarahan).

6. Pola Eliminasi

Kaji adanya inkontinensia urin atau feses.

7. Pola Aktivitas

Kaji adanya kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiplegi).

8. Pola Persepsi

a.Kaji pasien apabila tidak memahami penjelasan dari apa yang telah terjadi atau

menanggapi pertanyaan.

b. Kaji pasien saat mengeluh pusing, mengantuk, sakit kepala, leher kaku, dan

merasakan nyeri atau sakit di kaki. 

c. Kaji pola pikir pasien, emosi labil dan perubahan perilaku.

9. Pola Istirahat

Kaji gejala-gejala dari trombosis saat tiduratau saat bangun tidur.

10. Kardiovaskular

Kaji adanya hipertensi atau hipotensi.

11. Paru-paru

Kaji respirasi pasien apakah terjadi takipnea atau bradhipnea.


12. Neurologis

Kaji adanya kejang, perubahan tingkat kesadaran, kaku kuduk, gangguan

memori, kebingungan, perdarahan retina, hemiparalise, hemianopia (defisit

bidang visual pada satu atau kedua mata), apraxia (keridakmampuan untuk

melakukan tindakan terarah), afasia reseptif (ketidakmampuan untuk memahami

kata-kata) atau ekspresif (ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata),

agnosia (ketidakmampuan untuk mengenali obyek secara detail), disorientasi,

ukuran pupil yang abnormal, disfagia, dan defisit sensorik.

13. Integumen

Kaji Cappilary Refill Time (CRT), turgor kulit dan adanya tanda sianosis.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa dan fokus intervensi menurut Holloway (2004) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.

Tujuan : Mempertahankan jalan napas paten dan mencegah komplikasi paru,

dengan kriteria hasil pasien tidak sesak nafas, tidak terdapat ronchi, wheezing

maupun terdapat suara nafas tambahan, tidak terdapat retraksi otot bantu pernafasan,

pernafasan teratur (16-20 x/menit).

Intervensi:

1. Posisikan pasien lebih tinggi dari jantung atau miring jika memungkinkan. Posisikan

pasien dengan tepat agar tidak menghambat ekspansi dada.

2. Berikan terapi oksigen sesuai advice.

3. Posisikan pasien yang mengalami hemiplegi dengan tepat agar tidak menghambat

atau memperberat ekspansi dada.


4. Dorong pasien untukmelakukan batuk efektif (kecuali pada pasien dengan CVA

hemoragik) dan nafas dalam setiap 2 jam saat terjaga. Lakukan suction jika diperlukan

karena terjadi penumpukan secret.

5. Nilai suara paru setidaknya setiap 4 jam. Perhatikan juga kecukupan upaya

pernapasan, tingkat dan karakteristik pernapasan, dan warna kulit. Selidiki

kegelisahan segera, terutama pada pasien afasia. 

6. Evaluasi kemampuan menelan pasien. Jika pasien mengalami kesulitan menelan bantu

atau mengamati makan pasien. 

b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan iskemia

jaringan otak.

Tujuan : Meningkatkan perfusi jaringan otak dengan kriteria hasil pasien tidak

gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS E4, M6, V5, pupil isokor,

refleks cahaya baik, tanda-tanda vital normal (tekanan darah : 100-140/80-90 mmHg,

nadi : 60-100 x/menit, suhu : 36-36,7ºC, RR : 16-20x/menit).

Intervensi:

1. Nilai status neurologis, memeriksa tingkat kesadaran, orientasi, kekuatan kaki, respon

di bawah naungan, dan tanda-tanda vital setiap jam. Laporkan setiap ada kelainan atau

perubahan, terutama penurunan kesadaran dan mengalami kelemahan, kegelisahan,

ukuran pupil yang tidak sama, pelebaran tekanan nadi, kejang, sakit kepala parah,

vertigo, pingsan, atau mimisan.

2. Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30º dengan letak jantung dan berikan oksigen

tambahan sesuai advice.

3. Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi

pernapasan.

4. Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.


c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.

Tujuan : Meminimalkan efek imobilitas dan mencegah komplikasi yang terkait

dengan kriteria hasil adalah mempertahankan posisi yang optimal dibuktikan dengan

tidak adanya kontraktur, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi

bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan

melakukan aktivitas, serta mempertahankan integritas kulit.

Intervensi:

a. Menjaga aligment fungsional dalam posisi pasien saat istirahat, bantu pasien saat

melakukan mobilisasi.

b. Latih gerakan aktif pasif dan berbagai latihan gerak untuk semua ekstremitas

setidaknya empat kali sehari. Meningkatkan tingkat aktivitas yang diizinkan,

tergantung pada penyebab CVA. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk merencanakan

jadwal rehabilitasi dengan pasien dan keluarga.

c. Dorong pasien untuk melakukan perawatan diri semaksimal mungkin jika tidak ada

kontraindikasi.

d. Pantau pasien jika terdapat tanda komplikasi tromboemboli. Laporsegera setiap nyeri

dada, sesak napas, nyeri, kemerahan atau bengkak di ekstremitas. Kolaborasi

pemberian obat anti trombolitik.

e. Ubah pasien dari sisi ke sisi setidaknya setiap 2 jam, tempat tidur tetap bersih dan

kering. 

f. Pertahankan eliminasi yang memadai. jika pasien terpasang kateter latih kembali 

sesegera mungkin, menurut sebuah protokol yang ditetapkan atau perintah medis. Jika

pasien tidak tidak terpasang tawarkan pispot setiap 2 jam. Amati urin pantau jumlah

dan warna. memberikan pelunak tinja dan pencahar, seperti yang diperintahkan dan
memantau frekuensi dan karakteristik buang air besar. Memberikan jaminan bahwa

usus dan kandung kemih dapat mengkontrol dengan baik seperti biasa kembali selama

rehabilitasi.

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Meminimalkan efek dari defisit persepsi dan meningkatkan fungsi neurologis

dengan kriteria hasil adalah memperthankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual,

mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya kemampuan residual.

Intervensi: 

1. Bangun kedekatan dengan menggunakan secara meyakinkan dan tenang, kontak mata,

dan sentuhan. Memanggil pasien dengan nama panggilannya. 

2. Lindungi pasien dari cedera pada sisi yang terjadi hemiparalise. Berikan pengingat

reguler untuk melihat dan menyentuh sisi yang terkena hemiparalise.

3. Pastikan bahwa makanan dan benda-benda di samping tempat tidur di tempatkan baik

dalam bidang visual pasien.

e. Resiko tinggi gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Membangun sarana komunikasi yang efektif, dengan kriteria hasil adalah

terciptanya komunikasi dimana kebutuhan pasiendapat terpenuhi, pasienmampu merespon

setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi : 

1. Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana.

2. Hargai kemampuan pasiendalam berkomunikasi.

3. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.

4. Kolaborasi ke ahli terapi wicara.


TUGAS
Contoh Kasus: (Hitung menggunakan rumus Siraij Score)

Kasus 
 Suatu malam perawat A didatangi rumahnya dikarenakan ada tenggan nya yang
mengalami sakit kepala, muntah, seperti menyembur. Dan saat ini tetangganya tertidur
setelah didatangi oleh perwat didapatkan data : kesadaran somnolen, TD 200/120 mmHg.
Pasien mempunyai riwayat DM dan hipertensi. Terdapat muntahan dilantai.

 Pertanyaan : jenis stroke apa pasien tersebut apa yang harus dikaji dan apa
diagnosanya, bagaimana penatalaksanaannya

Jawaban 

 Rumus : 
(2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x diastol) – (3 x faktor ateroma) –
12

= (2,5 x 1) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 120) – (3 x 1) – 12


= 2,5 + 2 + 2 + 12 – 3 – 12
= 3,5 ( Stroke Hemoragic)

STROKE HEMORAGIC
A. Pengertian 
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara
cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang
disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa
saja dan kapan saja. (Muttaqin, 2008)
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak.
Hampir 70 % kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. (Nurarif &
Kusuma, 2013)
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga menghambat aliran
darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan kemudian
merusaknya. (Adib, M, 2009)
Stroke hemoragik ada dua jenis yaitu:
a. Hemoragik intra serebral: perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
b. Hemoragik sub arachnoid: perdahan yang terjadi pada ruang sub arachnoid (ruang
sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak). (Nurarif &
kusuma,2013)
B. Komplikasi
a. Infark serebri.
b. Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif.
c. Fistula caroticocavernosum.
d. Epistaksis.
e. Peningkatan TIK, tonus otot abnormal.
f. Gangguan otak berat.
g. Kematian bila tidak dapat mengontrol respon pernafasan atau kardiovaskuler.

B. Apa yang harus di kaji 


1. Identitas 
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga

6. Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadnag mengalami gangguan yaitu
sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia, TTV meningkat, nadi bervariasi.
1. B1 (Breathing)
Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan sputum, sesak naps, penggunaan alat
bantu napas, dan peningkatan frekuensi napas. Pada klien dengan kesadaran CM, pada
infeksi peningkatan pernapasannya tidak ada kelainan, palpasi thoraks didapatkan taktil
fremitus seimbang, auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang
sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terdapat peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg)
c. B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada likasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran arean perfusinya tidak adekuat, dan
aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
d. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sememntara karena
konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
mengendalian kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermitten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunujukkan kerusakan neurologis luas. 
e. B5 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan
2

maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga tanda-tanda dekubitus terutama
pada daerah yang menonojol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegi serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat

C. Pengkajian Tingkat Kesadaran


Pada klien lanjut usia kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor
dan koma
D. Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal
dan hemisfer
E. Pangkajian Saraf Kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central
F. Pengkajian Sistem Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh
G. Pengkajian Reflek
Pada fase akur refleks fisiologis yang lumpuh akan menghilang setelah beberapa hari
reflek fisiologian muncul kembali didahului refleks patologis
H.  Pengkajian Sistem Sensori
Dapat terjadi hemihipertensi.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: darah rutin, gula darah, urin rutin, cairan serebrospinal, AGD, biokimia
darah, elektrolit.
b. CT Scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk
memperlihatkan adanya edema hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Ultrasonografi doppler: mengidentifikasi penyakit arterio vena.
d. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri.
e. MRI: menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragic.
f. EEG: memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosit
serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisme pada perdarahan sub arachhnoid.
(Batticaca, 2008)

Penatalaksanaanya
A. Penatalaksanaan Medis
1. Menurunkan kerusakan iskemik serebral.
Tindakan awal difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik dengan
memberikan oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat dengan mengontrol atau
memperbaiki disritmia serta tekanan darah.
2. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 derajat menghindari flexi dan rotasi kepala yang
berlebihan, pemberian dexamethason.
3. Pengobatan 
a. Anti koagulan : Heparin untuk menurunkan kecenderungan perdarahan pada fase
akut.
b. Obat anti trombotik : pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik atau
embolik.
c. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral.
4. Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak.
B. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Posisi kepala dan badan 15-30 derajat. Posisi miring apabila muntah dan boleh
mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat.
3. Tanda-tanda vital usahakan stabil.
4. Bedrest.
5. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction yang berlebih.
(Muttaqin, 2008)
Daftar pustaka

Alexander (1995). Care of the patient in Surgery. (10 th ed.), St Louis ; Mosby. P : 855 –
930.
Doenges, Moorehouse & Geisser (1993). Nursing Care Plans ; Guidelines for planning and
dokumenting patient care. (3 ed) philadelphia ; F.A.Davis Company. p : 271 – 290.
rd

Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 - 1728

Anda mungkin juga menyukai