PARKINSON’S DISEASE
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Joko Nafianto, Sp.S
Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154
Referat :
“PARKINSON’S DISEASE”
Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154
Pembimbing,
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UPN Veteran Jakarta di RS Bhayangkara Tk. 1 R. Said Sukanto. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada dr. Joko Nafianto, Sp.S selaku pembimbing
referat ini dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
II.1 Pendahuluan
II.1.1 Anatomi Otak
Otak adalah organ yang sangat kompleks. Mengandung sekitar 100 miliar
neuron dan prosesus neuronal dan sinapsis tak terhitung jumlahnya. Otak terdiri
dari empat komponen utama: otak besar (serebrum), otak kecil (cerebellum),
diensefalon, dan batang otak (brainstem). Otak manusia mencapai 2% dari
keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah
jantung (Chalik, 2016).
A. Serebrum (Otak besar) berfungsi Mengontrol persepsi sadar, pikiran,
dan aktivitas motorik sadar; bisa mengabaikan kebanyakan sistem
lainnya. Mengontrol aktivitas otot dan postur; umumnya menghambat
gerakan yang tidak disengaja saat istirahat.
Terdiri dari 4 lobus, antara lain : Lobus frontal, lobus pariental, lobus
oksipital, dan lobus temporal.
B. Diencephalon terdiri dari epithalamus, dorsal thalamus, dan hipotalamus
dan membentuk inti pusat otak. Memiliki fungsi menghubungkan batang
otak ke otak besar; memiliki banyak fungsi pengiriman impuls dan
homeostasis, seperti yang tercantum di bawah setiap subdivisi.
- Talamus : Pusat pengiriman impuls sensorik utama. Menerima dan
menyampaikan impuls saraf sensorik (kecuali bau) ke otak dan
impuls saraf motorik ke pusat otak yang lebih rendah.
- Hipotalamus : Mempengaruhi mood dan gerakan. Memberikan
kesadaran penuh terhadap nyeri, sentuhan, tekanan, dan suhu. Pusat
integrasi utama dari sistem saraf otonom. Mengatur suhu tubuh
(termoregulator), asupan makanan, keseimbangan air dan mineral,
denyut jantung dan tekanan darah rasa haus, lapar, pengeluaran urin,
dan respon seksual. Mempengaruhi perilaku dan emosi. Terlibat
dalam siklus tidur-bangun dan emosi kemarahan dan ketakutan.
Mengatur fungsi dari kelenjar hipofisis.
- Epitalamus : Mengandung inti yang merespon terhadap stimulasi
penciuman dan mengandung kelenjar pineal yang memproduksi
hormone melatonin.
C. Otak tengah, bagian rostral batang otak, terletak di persimpangan fossa
kranial tengah dan posterior. CN III dan IV berhubungan dengan otak
tengah. Mengandung traktur saraf asending dan desending;
mengirimkan impuls saraf sensorik dari sumsum tulang belakang ke
talamus dan impuls saraf motorik dari otak ke sumsum tulang belakang.
Mengandung pusat refleks yang mrnggrrakkan bola mata, kepala, dan
leher dalam menanggapi rangsangan visual dan pendengaran.
D. Pons adalah bagian dari batang otak antara otak tengah rostral dan
medula oblongata kaudal; itu terletak di bagian anterior fossa kranial
posterior. CN V dikaitkan dengan pons. Mengandung traktur saraf
asending dan desending; menyampaikan informasi dari otak besar
(serebrum) dan otak kecil (serebelum); pusat refleks; membanyu medula
mengontrol pernapasan.
E. Medula oblongata (medulla) adalah subdivisi paling kaudal dari batang
otak yang bersambung dengan sumsum tulang belakang; itu terletak di
fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII berhubungan dengan medula,
sedangkan CN VI-VIII berhubungan dengan sambungan pons dan
medula. Jalur untuk traktus saraf asending dan desending; pusat untuk
beberapa refleks penting (misalnya, denyut jantung dan kekuatan
kontraksi, diameter pembuluh darah, pernapasan, menelan, muntah,
batuk, bersin, dan cegukan)
F. Otak kecil berfungsi Mengontrol gerakan otot dan tonus; mengatur
keseimbangan dan postur yang tepat; mengatur tingkat gerakan yang
disengaja; terlibat dalam keterampilan pembelajaran motorik.
Berkontribusi terhadap perencanaan, pemrograman. massa otak besar
yang terletak di posterior pons dan medula dan inferior ke bagian
posterior serebrum. Itu terletak di bawah tentorium cerebelli di fossa
kranial posterior. Ini terdiri dari dua belahan lateral yang disatukan oleh
II.2.2 Epidemiologi
Parkinson’s Disease dikenal sebagai salah satu kelainan neurologis yang
paling umum, mempengaruhi sekitar 1% orang yang berusia lebih dari 60 tahun.
Insiden Parkinson’s Disease diperkirakan 4,5-21 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, dan perkiraan prevalensinya berkisar antara 18 hingga 328 kasus per
100.000 penduduk, dengan sebagian besar penelitian menghasilkan prevalensi
sekitar 120 kasus per 100.000 penduduk. Insiden dan prevalensi Parkinson’s
Disease meningkat seiring bertambahnya usia, dan rata-rata onsetnya adalah
sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif jarang.
Parkinson’s Disease sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
pada wanita (Hauser RA et al, 2020).
II.2.3 Etiologi
Penyebab dasar terjadinya PP masih belum diketahui, sehingga penyakit ini
disebut dengan Idiophatic Parkinsonism. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit
multifaktorial, yang dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik (Mark,
2010). Faktor risiko terkuat yang diasosiasikan menjadi penyebab terjadinya PP
antara lain memiliki riwayat keluarga menderita PP atau tremor serta riwayat
konstipasi (Noyce, 2012). Individu dengan konstipasi, dibandingkan dengan yang
tanpa konstipasi, memiliki risiko 2,27 kali lipat lebih besar mengalami
perkembangan PP (Adams-Carr, 2015). Peneliti lain berspekulasi bahwa
konstipasi dapat meningkatkan risiko PP dengan meningkatkan absorpsi
neurotoksin pada usus atau terdapat faktor risiko lingkungan maupun genetik yang
tidak diketahui baik pada konstipasi maupun PP (Lin, 2014).
Hal lain yang diasosiasikan positif tehadap PP antara lain trauma kepala,
depresi atau anxiety, dan penggunaan -blocker (Bellou, 2016). -blocker dapat
mengurangi neurotransmisi norepinefrin di otak. Sistem norepinefrin dianggap
memiliki peran penting dalam melindungi integritas neuron dopaminergik pada
SN. Gangguan pada sistem norepinefrin dianggap memiliki peran penting
terhadap patogenesis PP dengan mempengaruhi awitan dan perkembangan
kerusakan jalur DA nigostriatal. Hilangnya norepinefrin dapat meningkatkan
neurotoksik dari toksin lingkungan ke neuron dopaminergik nigostriatal (Ton,
2007).
Hal yang diasosiasikan negatif terhadap PP antara lain latihan fisik,
merokok, konsumsi kopi alkohol, serta penggunaan nonsteroidal antiinflamatory
drugs (NSAID) dan calcium channel blocker (CCB) (Bellou, 2016). Urat serum
merupakan penangkap radikal bebas yang dianggap berkontribusi terhadap
hilangnya neuron dopaminergik (Noyce, 2012). Latihan fisik dapat meningkatkan
kadar urat plasma, sehingga diasosiasikan dengan menurunnya risiko terjadinya
PP (Yang, 2015).
Salah satu faktor lingkungan yang dikaitkan menjadi penyebab PP adalah
paparan senyawa kimia beracun, misal MPTP. Hal tersebut dibuktikan oleh oleh
fakta bahwa individu yang tinggal di wilayah dengan pestisida yang strukturnya
mirip MPTP, relatif lebih besar memiliki risiko menderita PP (Bartels, 2009).
Serta terdapat penelitian yang lain menunjukkan bahwa PP lebih banyak diderita
oleh individu yang tinggal di wilayah pedesaan, yang bekerja sebagai petani dan
mengkonsumsi air sumur (Mark, 2010)
Mutasi gen yang dikaitkan dengan PP antara lain gen α-synuclein (SNCA),
gen eukaryotic translation initiation factor 4 gamma 1 (EIF4G1), gen
glucocerebrosidase (GBA), gen loci leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2), gen
loci PTEN-induced putative kinase 1 (PINK1), gen superokside dismutase 2
(SOD2), dan gen vacuolar protein sorting 35 homolog (VPS35) (DeMaagd, 2015).
II.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Idiopatik (primer)
Meliputi Parkinson’s Disease dan Juvenile Parkinsonism.
b. Simptomatik (sekunder)
Meliputi parkinsonism yang disebabkan oleh penggunaan obat (misal
antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin, α-metildopa, lithium,
flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi, pasca ensefalitis, slow
virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma kranioserebral, tumor otak,
vaskular, dan siringomielia.
c. Parkinsonism plus (Multiple System Degeneration)
Meliputi degenerasi ganglion kortikal basal, sindrom demensia,
Parkinsonism Guam-demensia-ALS, sindrom atrofi multi sistem, dan
palsy supranuklear progresif.
d. Parkinsonism heredodegenerative
Meliputi penyakit Hallervoden- Spatz, penyakit Huntington, Lubag,
nekrosis striatal dan sitopati mitokondria, neuroakantositosis, penyakit
Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker,
penyakit Machado-Joseph, atrofi familial olivopontoserebelar, dan
sindroma thalamik demensia (Syamsudin, 2013)
II.2.5 Patofisiologi
Parkinson’s Disease merupakan penyakit pada sistem ekstrapiramidal yang
dikarakterisasi oleh degenerasi neuron dopaminergik yang menyebabkan
pengurangan proyeksi dopaminergik dari substantia nigra pars compacta (SNc) ke
striatum (jalur nigostriatal), sehingga menghasilkan hilangnya fungsi
dopaminergik. Neurotransmitter yang terdapat di jalur langsung adalah GABA
yang bersifat inhibitorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur ini adalah
penurunan arus rangsang dari thalamus ke korteks. Sedangkan jalur tidak
langsung dibentuk oleh neuron striatal yang memproyeksikan ke GPe, lalu
menginervasi STN, kemudian dilanjutkan ke VA dan VL thalamus.
Tidak ada kriteria standar yang spesifik untuk diagnosis neuropatologis
penyakit Parkinson, karena spesifisitas dan sensitivitas dari temuan
karakteristiknya belum ditetapkan dengan jelas. Namun, berikut ini adalah 2
temuan neuropatologis utama pada penyakit Parkinson (Hauser RA et al, 2020) :
1. Hilangnya neuron dopaminergik berpigmen dari substansia nigra pars
compacta
Hilangnya neuron dopamin terjadi paling mencolok di ventral lateral
substantia nigra. Sekitar 60-80% neuron dopaminergik hilang sebelum
tanda-tanda motorik penyakit Parkinson muncul.
2. Adanya badan Lewy dan neurit Lewy
Beberapa individu pada saat kematian dianggap normal secara
neurologis bila ditemukan memiliki tubuh Lewy pada pemeriksaan
otopsi. Badan Lewy insidental ini telah dihipotesiskan untuk mewakili
fase pra-gejala penyakit Parkinson, namun bisa juga ditemukan pada
kasus parkinsonisme atipikal, penyakit Hallervorden-Spatz, dan kelainan
lainnya. Meskipun demikian, mereka adalah temuan patologi
karakteristik penyakit Parkinson.
Sinyal dari korteks serebral diproses melalui sirkuit motorik basal ganglia-
talamokortikal dan kembali ke area yang sama melalui jalur umpan balik. Output
dari rangkaian motor diarahkan melalui segmen internal globus pallidus (GPi) dan
substansia nigra pars reticulata (SNr). Output penghambatan ini diarahkan ke jalur
talamokortikal dan menekan gerakan (Hauser RA et al, 2020). Pada gerakan
normal, sirkuit motor ganglia basal memodulasi keluaran kortikal untuk
menghasilkan gerakan normal (Bagan 1) (Hauser RA et al, 2020). Proyeksi dari
striatum ke GPe dan dari GPe ke STN menggunakan neurotransmitter GABA,
tetapi jalur akhir proyeksi STN ke GPi dan SNr menggunakan neurotransmitter
glutamatergik yang bersifat eksikatorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur
ini adalah peningkatan arus rangsang dari thalamus ke korteks.
Setelah itu STN akan memberikan pengaruh rangsang pada GPi dan SNr
agar mengirimkan keluaran penghambatan ke inti ventral lateral (VL) dari
talamus. Dilanjutkan dengan pelepasan dopamin dari neuron nigrostriatal
(substantia nigra pars compacta (SNpc) untuk mengaktifkan jalur langsung dan
menghambat jalur tidak langsung.
Pada penyakit Parkinson, terjadi penurunan dopamin striatal yang
menyebabkan peningkatan keluaran penghambatan dari GPi / SNr melalui jalur
langsung yaitu dengan penurunan stimulasi dopamin striatal sehingga
menyebabkan penurunan penghambatan GPi / SNr dan jalur tidak langsung yaitu
penurunan penghambatan dopamin yang menyebabkan peningkatan
penghambatan GPe, mengakibatkan disinhibisi STN (Bagan 2) (Hauser RA et al,
2020).
Kerusakan pada ganglia basalis akan menyebabkan defisit sensorik dan juga
motoric. Defisit sensorik terjadi pada nucleus caudatus yang merupakan bagian
dari kognitive impairment sehingga menimbulkan gejala gelisah, demensia,
ansietas, gangguan perhatian, dan juga insight yang terganggu. Defisit sensorik
juga terjadi pada thalamus, sehingga menyebabkan penurunan relay sensory
seperti anesthesia (baal) dan juga penurunan propioreseptif atau postural
instability. Sedangkan defisit motoric terjadi pada jalur ekstrapiramidal sehingga
meningkatkan tonus otot dan menimbulkan gejala postur tubuh yang kaku, selain
itu terjadi juga gangguan pada fungsi hipotalamus (system otonom) dengan
ditandai dengan munculnya keluhan mengompol, serta adanya peningkatan
nucleus sub thalamus sehingga menyebabkan defek pada gerakan volunteer atau
muncul gejala bradikinensia (gerak yang lemah).
2. Gejala Non-motorik
a. Terjadi Sebelum Tahap Premotor Parkinson’s disease
- Hiposmia - Kantuk berlebihan di
- Gangguan perilaku siang hari
tidur REM - Kelelahan
- Depresi - Nyeri
- Sembelit - Disfungsi ereksi
b. Bersamaan Dengan Perjalanan Penyakit
Demensia, halusinasi, dan lain-lain (Pirtosek et al, 2020).
II.2.8 Diagnosa
Kriteria diagnosis menurut Hughes, yaitu:
a. Possible, bila terdapat 1 dari 4 gejala utama berikut: bradykinesia, tremor
pada saat istirahat, rigidity, dan ketidakstabilan postural.
b. Probable, bila terdapat 2 dari 4 gejala utama (termasuk kegagalan refleks
postural) atau terdapat 1 dari 3 gejala berikut: tremor istirahat asimetris,
rigiditas asimetris, atau bradikinesia asimetris.
c. Definite, bila terdapat 3 dari 4 gejala utama atau 2 dari 4 gejala utama
dengan satu gejala lain yang asimetris (tiga tanda kardinal). Bila semua
tanda tidak jelas, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang beberapa bulan
kemudian (Syamsudin, 2013)
II.2.9 Tatalaksana
A. Farmakologis
Levodopa oral, merupakan terapi standar emas awal untuk Parkinson’s
Disease, paling efektif dan banyak digunakan dalam pengobatan gangguan
neurodegeneratif ini. Levodopa biasa diberikan bersamaan dengan Karbidopa
(penghambat dekarboksilase perifer) yang bertujuan agar dapat menghambat
dekarboksilasi levodopa menjadi dopamine dalam sirkulasi sistemik, sehingga
memungkinkan distribusi levodopa menjadi lebih besar ke dalam system saraf
pusat (Hauser RA et al, 2020). Namun penggunaan Levodopa oral sebagai terapi
ini ternyata menghasilkan perkembangan fluktuasi motorik seperti “wearing off”
dan levodopa-induced dyskinesia (LID) karena dapat merangsang reseptor
dopaminergic. Hampir 40% pasien PD mengalami LID setelah 4-6 tahun
pengobatan levodopa. Berdasarkan kejadian tersebut, bila terdapat pasien yang
masih berusia muda dan sudah terjadi komplikasi motoric lebih awal dan lebih
parah, maka pengobatan dengan penghambat MAO B atau agonis dopamine harus
dimulai terlebih dahulu, setelah itu baru dilanjutkan dengan Levodopa (Pirtosek et
al, 2020).
Sebagian besar pasien mengalami respon yang baik pada dosis levodopa
harian 300-600 mg / hari (biasanya dibagi 3 atau 4 kali sehari) selama 3-5 tahun
atau lebih. Dosis yang lebih tinggi dari yang diperlukan untuk mengontrol gejala
secara adekuat harus dihindari, karena dosis yang lebih tinggi meningkatkan
risiko perkembangan diskinesia. Jika mual terjadi, pemberian Levodopa dapat
diberikan segera setelah makan dan menambahkan karbidopa ekstra atau
memasukkan domperidone untuk mengurangi mual. Efek samping lainnya
termasuk pusing dan sakit kepala. Pada pasien usia lanjut, kebingungan, delusi,
agitasi, halusinasi, dan psikosis mungkin lebih sering terlihat (Hauser RA et al,
2020).
Penghambat Monoamine Oksidase (MAO-B) memiliki fungsi juga dalam
mengurangi simptomatik ringan tanpa profil efek samping yang buruk dengan
kualitas hidup sebesar 20-25%. Jenis obat penghambat Monoamine Oksidase
(MAO-B), seperti selegiline dan rasagiline, dapat digunakan untuk pengobatan
gejala awal Parkinson’s Disease. Obat-obatan ini memberikan manfaat gejala
ringan, memiliki profil efek samping yang sangat baik, dan dapat meningkatkan
hasil jangka panjang. Jika MAO-B inhibitor saja tidak cukup untuk mengontrol
gejala motorik dengan baik, obat lain (misalnya, agonis dopamin atau levodopa)
dapat ditambahkan. Selegiline diindikasikan sebagai terapi tambahan (5 mg setiap
pagi; maksimal, 10 mg / hari) dalam pengobatan Parkinson’s Disease pada pasien
yang diobati dengan levodopa / karbidopa. Rasagiline diindikasikan untuk
pengobatan tanda dan gejala Parkinson’s Disease sebagai monoterapi awal (1 mg /
hari) dan sebagai terapi tambahan (0,5-1,0 mg / hari) untuk levodopa. Potensi efek
samping termasuk mual, sakit kepala, dan pusing (Hauser RA et al, 2020).
Agonis dopamine (Ropinirole, Pramipexole) juga memberi manfaat dalam
menatalaksana simptomatik sedang dan menunda perkembangan dyskinesia
walaupun memiliki efek yang lebih merugikan daripada levodopa, seperti
mengantuk, halusinasi, edema, dan gangguan kontrol impuls. Namun, efek
samping ini sembuh dengan menurunkan dosis atau menghentikan pengobatan.
(Hauser RA et al, 2020).
Pasien Parkinson’s Disease juga dapat diberikan terapi pelindung saraf
(kreatin dan isradipin) yang bertujuan untuk memperlambat, memblokir, atau
membalikkan perkembangan penyakit, walaupun memang tidak ada terapi yang
terbukti untuk melindungi saraf, namun agen ini memiliki efek jangka Panjang
dari penghambat MAO-B (Hauser RA et al, 2020).
Namun bila gejala tidak dapat diatasi secara optimal dengan menggunakan
pengobatan oral konvensional, maka bisa dilanjutkan dengan terapi lanjutan
(Pirtosek et al, 2020). Pemberian terapi lanjutan ini harus dalam pengawasan
spesialis saraf dan tim multidisiplin, karena terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi.
Terapi lanjutan diberikan bila terapi farmakologi hasilnya tidak optimal atau
terdapat periode “on” kurang dari 3 jam dan sudah diberikan terapi oral secara
maksimal maka bisa dilakukan 3 terapi utama berdasarkan konsep CDS :
(1)Infus apomorphine (subkutan) secara terus menerus
Apomorphine (Agonis Reseptor Dopamin D1 dan D2) memiliki onset
kerja yang cepat, sehingga pada tahap awal selama periode “off’ bisa
diberikan melalui metode suntik dan dilanjutkan melalui infus subkutan
kontinyu melalui portable pump.
(2)Infus levodopa-karbidopa gel (intra-usus)
pemberian Levodopa-karbidopa sel ini dikirim langsung ke jejenum
proksimal melalui gastrojejunostomy perkutan (PEG-J) tube yang
dihubungkan ke pompa infus portable. Terapi ini digunakan untuk
menghindari pengosongan lambung yang tidak menentu dan
meningkatkan absorbsi usus.
Terapi ini adalah pengobatan yang efektif untuk mengurangi
fluktuasi motoric, meningkatkan waktu “on” tanpa dyskinesia dan
meningkatkan Health-Related Quality Of Life (HRQol)
(3)Deep Brain Stimulation (DBS)
Terapi ini adalah prosedur bedah saraf fungsional yang dapat
digunakan untuk mengobati fluktuasi motorik, tardive, dan tremor.
Terapi ini juga telah terbukti meningkatkan HRQol. Namun, gejala
levodopa-tidak responsif pada PD lanjut (misalnya, ketidakstabilan gaya
berjalan, gangguan kejiwaan, gangguan kognitif, disartria, dan disfungsi
otonom) tidak mungkin membaik dengan DBS (Pirtosek et al, 2020).
Selain itu, pasien yang memiliki kecacatan akibat tremor yang tidak
terkontrol dengan obat dopaminergic, bisa diberikan antikolinergic dosis rendah
dan ditingkatkan perlahan agar meminimalkan efek samping seperti mudah lupa,
bingung, dan halusinasi. Salah satu antikolinergik yang paling umum adalah
Triheksifenidil dengan dosis awal tunggal 1 mg dan dapat dititrasi sebanyak 1 mg
setiap minggu atau lebih sampai total 4-6 mg diberikan setiap hari, selain itu bisa
juga menggunakan Benztropine (Cogentin) dengan dosis awal 0,5-1 mg setiap
hari menjelang tidur. Dosis dapat dititrasi dengan interval mingguan dengan
peningkatan 0,5 mg hingga maksimum 6 mg / hari (Hauser RA et al, 2020).
Amantadine yang merupakan agen antivirus dikatakan juga memiliki
aktivitas sebagai anti Parkinson, walaupun mekanismenya belum sepenuhnya
dipahami namun amantadine tampaknya memiliki potensi dalam merespon
dopaminergic system saraf pusat sehingga mampu melepaskan dopamine dan
norepinefrin dari tempat penyimpanan dan mengambat pengambilan kembali
dopamine dan norepinefrin. Dosis amantadine diawali dengan 100 mg per hari
dan perlahan ditingkatkan menjadi dosis pemeliharaan awal 2-3 x sehari 100 mg.
Efek samping potensial amantadine yang paling memprihatinkan adalah
kebingungan dan halusinasi. Efek samping yang umum termasuk mual, sakit
kepala, pusing, dan insomnia. Efek samping yang jarang dilaporkan termasuk
kecemasan dan iritabilitas, ataksia, liveo reticularis, edema perifer, dan hipotensi
ortostatik (Hauser RA et al, 2020).
Pada tahun 2010, American Academy of Neurology (AAN) merilis pedoman
tentang pengobatan gejala non-motorik Parkinson’s Disease antara lain :
1. Sildenafil sitrat (Viagra) dapat dianggap untuk mengobati disfungsi
ereksi
2. Polyethylene glycol dapat dianggap untuk mengobati sembelit
3. Modafinil harus dipertimbangkan untuk pasien yang secara subyektif
mengalami rasa mengantuk berlebihan di siang hari
4. Bila terdapat gangguan tidur bisa diberikan benzodiazepine, terutama bila
terdapat gangguan perilaku tidur gerakan mata cepat (REM) (RBD), dan
Obstruktif Sleep Apneu (OSA) yang dapat diobati dengan tekanan
saluran napas positif terus menerus atau tekanan empedu. Selain itu
disarankan juga untuk menghindari stimulant/cairan menjelang waktu
tidur, menghindari makan larut malam yang berat, dan mengikuti jadwal
tidur yang teratur. Serta menghindari mengemudi dan mengambil
tindakan pencegahan terhadap potensi bahaya pekerjaan (Hauser RA et al,
2020).
5. Gangguan tidur lainnya mungkin mendapat manfaat dari pemberian
Levodopa / karbidopa terutama untuk mengobati gerakan tungkai secara
berkala saat tidur.
6. Methylphenidate dapat dipertimbangkan untuk kelelahan (catatan:
methylphenidate memiliki potensi penyalahgunaan dan kecanduan)
7. Bukti tidak cukup untuk mendukung atau menyangkal perawatan spesifik
dari hipotensi ortostatik, inkontinensia urin, kecemasan, dan RMD
B. Non-Farmakologis
Tujuan utama dari setiap manajemen harus mempertahankan tingkat fungsi
dan kemandirian yang dapat diterima. Pada PD tingkat lanjut, hal ini dapat dicapai
dengan kombinasi obat yang cermat dan terapi non-farmakologis yang
mendukung dalam konteks kolaborasi antara dokter umum, spesialis saraf, dan
tim multidisiplin (Pirtosek et al, 2020).
Manajemen non-farmakologis suportif pada pasien PD lanjut harus
mencakup rehabilitasi fisik, dukungan psikologis, terapi okupasi, bicara, bahasa
dan terapi menelan, dan nutrisi di antara kemungkinan intervensi lainnya.
Keseimbangan dan gaya berjalan telah terbukti meningkat dengan terapi fisik dan
olahraga, sehingga mengurangi risiko jatuh. Aktivitas fisik seperti Latihan aerobic
termasuk menari dan latihan treadmill, latihan ketahanan, dan aktivitas tradisional
seperti Tai Chi dan yoga memiliki efek menguntungkan pada PD. Latihan
intensitas tinggi juga dapat memperbaiki gejala dan keterbatasan motorik. Terapi
wicara telah berhasil digunakan untuk meningkatkan kemampuan bicara
hipofonik dan hipokinetik dan fungsi terkait, seperti masalah menelan yang
berhubungan dengan PD. Integrasi perawatan medis dan nonmedis paling efisien
direncanakan oleh anggota tim multidisiplin, biasanya didirikan sebagai bagian
dari pelayanan dokter spesialis saraf (Pirtosek et al, 2020).
II.2.11 Komplikasi
Pasien Parkinson’s Disease pada tingkat sedang biasanya setelah 5-10 tahun
di diagnosa, hampir 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang
diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu periode
“on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala
parkinson kembali kambuh. Komplikasi motorik pada PD mencakup fluktuasi
motorik, dinamakan sebagai fenomena “on-off” diskinesia dan kaku (freezing).
Fluktuasi motorik dan diskinesia adalah problem yang umum dalam manajemen
pasien PD dan merupakan alasan yang terbanyak dipertimbangkan untuk terapi
pembedahan.
[1]. Fluktuasi Motorik “On Off”
Fenomena ini menunjukkan bahwa pasien memiliki berbagai variasi dalam
respons mereka terhadap levodopa dan memberikan “off times” yang
menunjukkan keadaan penurunan mobilitas. Beberapa pola klinis fluktuasi motorik
yang secara umum telah dikenal ialah :
1. Efek “wearing off” : Efek anti parkinson levodopa akan menghilang
menjelang akhir dosis dalam bentuk yang bisa diramalkan. Ini disebut
juga kegagalan diakhir dosis (end-of-dose failure)
2. “Wearing off” bermasalah : lama respon levodopa terjadi bervariasi
sehingga penentuan waktu “wearing off” menjadi kurang pasti (tidak
dapat diramalkan)
3. “Delayed-on” : keterlambatan dalam memulainya efek levodopa
4. No-on : sebuah dosis levodopa tidak memberikan efek, disebut sebagai
“kegagalan dosis” (dose failure)
5. “On-off” : respon pada levodopa bervariasi dalam cara yang tidak bisa
diramalkan yang tidak ada hubungannya dengan waktu pemberian dosis.
Terjadi tiba-tiba seperti timbol lampu yang dihidup matikan
6. Yo-yoing : fluktuasi dari immobilitas berat ke diskinesia berat secara
tiba-tiba
Jadi faktor-faktor resiko utama timbulnya fluktuasi dan diskinesia adalah :
keparahan penyakit, lamanya pemberian levodopa, dosis levodopa harian dan
onset PD pada usia muda. Respon terhadap levodopa (kurva dosisrespon) bergeser
selama pemberian terapi, dari kurva yang relatif datar (gambar 1 A), dimana
respon motorik masih bagus didapatkan dalam rentang dosis yang lebar, menjadi
kurva yang miring (gambar 1B), dimana kemungkinan untuk memperoleh respon
motorik yang bagus tanpa diskinesia lebih sedikit.
Strategi dalam penatalaksanaan fenomena “wearing-off” berfokus pada
pengaturan dosis pengobatan untuk efek yang optimal.
1. Pasien SDR sering berespon baik dengan terapi tambahan dopamin
agonist yang akan meningkatkan efikasi anti parkinsonisme dan
memperbaiki fluktuasi dalam respon, melalui stimulasi langsung reseptor
dopamin post sinaps. Problem motorik sering dapat diperbaiki dengan
pengaturan perbandingan dosis levodopa terhadap agonis dopamin,
tergantung mana yang bertoleransi baik.
2. Dengan penurunan dosis individual levodopa dan pemendekan interval
dosis sehingga dosis total harian tidak berubah, pada awalnya bisa
berhasil baik.
3. Ketika beralih dari preparat regular ke preparat lepas terkontrol, dosis
levodopa harus ditingkatkan.
4. Pasien yang merasakan cukup enak pada hampir sepanjang hari dengan
carbidopa/levodopa CR tetapi memiliki kesulitan dengan akinesia dipagi
hari akan bermanfaat dengan memakai obat ”immediate release” (lepas
cepat) bersamaan dengan obat CR, yang diberikan pertama dipagi hari.
Regimen ini merupakan “langkah awal” memperbaiki hari-hari pasien
ini, dan mempersiapkan mereka secara fisik untuk kegiatan normal.
5. Inhibitor Cathecol-O-methyltransferase (COMT) juga berguna untuk
fenomena “wearing-off”
6. MAO-B inhibitor seperti selegiline dan rasagiline juga dapat
dipertimbangkan.
7. Penambahan N-Methyl D, Aspartat (Amantadin) mungkin sedikit
memperbailki SDR.
II.2.12 Prognosis
Sebelum adanya Levadopa sebagai terapi Parkinson’s Disease, penyakit ini
dapat menyebabkan kecacatan parah atau kematian pada 25% pasien dalam waktu
5 tahun sejak onset, 65% dalam 10 tahun, dan 89% dalam 15 tahun. Angka
kematian akibat Parkinson’s Disease adalah 3 kali lipat dari populasi umum yang
disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan asal ras. Dengan masuknya levodopa,
angka kematian turun sekitar 50%, dan umur panjang diperpanjang beberapa
tahun. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh efek simptomatik levodopa, karena
tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa levodopa merupakan akar dari
sifat progresif penyakit ini (Hauser RA et al, 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Adams-Carr, K.L., Bestwick, J.P., Shribman, S., Lees, A., Schrag, A., Noyce,
A.J., 2015. Constipation preceding Parkinson’s disease: a systematic review
and meta-analysis. J Neurol Neurosurg Psychiatry, p. 1-7.
Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologis DUUS. Penerbit Buku
Kedokteran : EGC; 2012.
Bartels, A.L., Leenders, K.L., 2009. Parkinson’s disease: The syndrome, the
pathogenesis and pathophysiology. Cortex, Vol. 45 No. 8, p. 915-21.
Bellou, V., Belbasis, L., Tzoulaki, I., Evangelou, E., Ioannidis, J.P.A., 2016.
Enviromental risk factors and Parkinson’s disease: An umbrella review of
meta-analysis. Parkinsonism and Related Disorders, Vol. 23, p. 1-9
Blesa, J., Przedborski, S., 2014. Parkinson’s disease: animal models and
dopaminergic cell vulnerability. Frontiers in Neuroanatomy, Vol. 8 No. 155,
p. 1-12.
Brown, K., Johnston, D., Kinsella, J., McMilan, F., Qureshi, S., Sonthalia, V.,
Twaddle, S., 2010. Diagnosis and pharmacological management of
Parkinson’s disease: A national clinical guideline. Edinburgh: Scottish
Intercollegiate Guidelines Network.
Chalik Raimundus. Anatomi Fisiologi Manusia. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Anatomi-dan-Fisiologi-Manusia-
Komprehensif.pdf [2]
Chen, S-Y., Tsai. S-Z., 2010. The epidemiology of Parkinson’s Disease. Tzu Chi
Med J, Vol. 22 No. 2, p. 1-9.
Dietrichs, E. Odin, P. 2017. Algorithms for the treatment of motor problems in
Parkinson’s disease. Acta Neurol Scand. Vol. 136, p. 378–385.
de Lau, L.M.L., Breteler, M.M.B., 2006. Epidemiology of Parkinson’s disease.
Lancet Neurol, Vol. 5, p. 525-35.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 1:
Disease entity, risk factors, pathophysiology, clinical presentation, and
diagnosis. P&T, Vol. 40 No. 8, p. 504-10.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 2:
Introduction to the pharmacotherapy of Parkinson’s disease, with a focus on
the use of dopaminergic agents. P&T, Vol. 40 No. 9, p. 590-600.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 3:
Nondopaminegic and nonpharmacologic treatment options. P&T, Vol. 40
No. 10, p. 668-79.
Hauser Robert A et al. 2020. Parkinson Disease Treatment & Management.
Medscape. Available https://emedicine.medscape.com/article/1831191-
treatment#d1
Iacono, D., Geraci, E.M., Rabin, M.L., Adler, C.H., Serrano, G., Beach, T.G.,
Kurlan, R., 2015. Parkinson disease and incidental Lewy body disease: Just
a question of time? Neurology, Vol. 85 No. 19, p. 1670-9.
Jankovic Joseph, Tan Eng K. 2020. Parkinson’s disease: etiopathogenesis and
treatment. Neurol Neurosurg Psychiatry, Vol. 91, p. 795–808
Lin, C., Lin, J., Liu, Y., Chang, C., Wu, R., 2014. Risk of Parkinson’s disease
following severe constipation: A nationwide population- based cohort study.
Parkinsonism and Related Disorders, p. 1- 5.
Mark, M.H., 2010. Parkinson’s Disease Handbook: A Guide for Patients and
Their Families. New Jersey: American Parkinson Disease Association, Inc.
Mark, M.H., 2010. Parkinson’s Disease Handbook: A Guide for Patients and
Their Families. New Jersey: American Parkinson Disease Association, Inc.
National Institute of Neurological Disorders and Stroke., 2015. Parkinson’s
Disease: Challenge, Progress, and Promise. United State: National Institutes
of Health.
Noviani, E., Gunarto, U., Setyono, J., 2010. Hubungan Antara Merokok dengan
Parkinson’s Disease di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Mandala of Health, Vol. 4 No. 2, hlm. 81-86.
Noyce, A.J., Bestwick, J.P., Silveira-Moriyama, L., Hawkes, C.H., Giovannoni,
G., Lees, A.J., Schrag, A., 2012. Meta-Analysis of Early Nonmotor Features
and Risk Factors for Parkinson Disease. American Neurological Association
Neurol, Vol. 72 No. 6, p. 893-901.
Pagano Gennaro, Niccolini F., Politis M. 2016. Imaging in Parkinson’s disease.
Clinical Medicine. Vol 16 (4): p. 371–5.
Patel, T., Chang, F., 2014. Parkinson’s disease guidelines for pharmacists. Can
Pharm J (Ott), Vol. 147 No.5, p. 161-70.
Pirtosek Zvezdan, Bajenaru Ovidiu, et al., 2020. Update on the Management of
Parkinson’s Disease for General Neurologists. Hindawi,
Pringsheim, T., Jette, N., Frolkis, A., Steeves, T.D., 2014. The prevalence of
Parkinson’s disease: A systematic review and meta-analysis. Mov Disord,
Vol. 29 No. 13, p. 1583-90.
Schroder, S., Martus, P., Odin, P., Schaefer, M., 2011. Drug-related problems in
Parkinson’s disease: the role of community pharmacists in primary care. Int
J Clin Pharm, Vol. 33 No. 4, p. 674-82.
Seijo-Martinez, M., del Rio, M.C., Alvarez, J.R., Prado, R.S., Salgado, E.T.,
Esquete, J.P., Sobrido, M.J., 2011. Prevalence of parkinsonism and
Parkinson’s disease in the Arosa Island (Spain): A community-based door-
to-door survey. Journal of the Neurological Sciences, Vol. 304, p. 49-54.
Shahab, A., 2007. Clinical Features and Diagnosis of Parkinson Disease. Dalam:
Sjahrir, H., Nasution, D., Gofir, G. Parkinson’s Disease & Other Movement
Disorders. Pustaka Cedekia Press bekerjasama dengan Panitia “The
National Symposium of Parkinsons Disease & other movement disorders”
dan Departemen Neurologi FK USU Medan serta PERDOSSI Cabang
Medan.
Syamsudin, T., 2013. Parkinson’s Disease. Dalam: Buku Panduan Tatalaksana
Parkinson’s Disease dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi
Movement Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).
Taylor, K.S.M., Cook, J.A., Counsell, C.E., 2006. Heterogeneity in male to
female risk for Parkinson’s disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry, Vol. 78,
p. 905-12.
Ton, T.G.N., Heckbert, S.R., Longstreth Jr. W.T., Rossing, M.A., Kukull, W.A.,
Franklin, G.M., Swanson, P.D., Smith-Weller, T., Chekoway, H., 2007.
Calcium channel blockers and Beta-blockers in relatin to Parkinson’s
disease. Parkinsonism Relat Disord, Vol. 13 No. 3, p. 165-69.
Yang, F., Lagerros, Y.T., Bellocco, R., Adami, H., Fang, F., Pedersen, N.L.,
Wirdefeldt, K., 2015. Physical activity and risk of Parkinson’s disease in the
Swedish National March Cohort. Brain, Vol. 138, p. 269-75.
A. Basjirudin. 2011. Manajemen dari Penyakit Parkinson yang Lanjut.
Universitas Andalasan. Padang