Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

PARKINSON’S DISEASE

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto

Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Joko Nafianto, Sp.S

Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN VETERAN JAKARTA
Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto
Periode 7 Desember – 26 Desember 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
“PARKINSON’S DISEASE”

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen


Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto

Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154

Telah disetujui pada tanggal…........................................oleh:

Pembimbing,

(dr. Joko Nafianto, Sp.S)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UPN Veteran Jakarta di RS Bhayangkara Tk. 1 R. Said Sukanto. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada dr. Joko Nafianto, Sp.S selaku pembimbing
referat ini dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, 14 Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Parkinsonism merupakan sindrom yang memiliki gejala utama tremor pada
waktu istirahat, rigidity (kekakuan), bradykinesia atau akinesia (melambatnya
gerakan), dan instabilitas postural (Syamsudin, 2013). Parkinson’s Disease (PP)
adalah penyakit yang memiliki parkinsonism. Dari 41 penderita parkinsonism, 15
penderita diantaranya dengan diagnosis PP (36,6%), 13 penderita dengan
diagnosis parkinsonism karena obat (31,7%), 7 penderita dengan diagnosis
parkinsonism vaskular (17,1%), 4 penderita dengan parkinsonism yang
diasosiasikan dengan gejala (9,8%), dan 2 penderita dengan parkinsonism yang
tidak spesifik (4,9%) (Seijo-Martinez, 2011).
Parkinson’s Disease merupakan penyakit neurodegeneratif kronik progresif
yang ditandai dengan hilangnya sel saraf (neuron) dopaminergik pada bagian
substantia nigra (SN). Neuron tersebut bertugas untuk memproduksi dopamin
(DA), sebuah neurotransmitter yang bertanggungjawab untuk memulai perjalanan
pesan yang mengkoordinasi pergerakan otot yang normal (Patel, 2014). Pasien PP
diestimasikan mengalami kehilangan neuron dopaminergik pada SN hingga 60-
80%, menyebabkan timbulnya gejala parkinsonism (NINDS, 2015). Di bawah
pengamatan mikroskop, saat terjadi kerusakan dan kematian neuron pada SN,
terdapat inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut dengan badan Lewy. Adanya
badan Lewy, yang kemudian dipertimbangkan menjadi karakteristik dari PP,
membuat penyakit ini sering disebut dengan penyakit badan Lewy, Parkinsonism
badan Lewy, atau PP badan Lewy (Mark, 2010). Namun dalam penelitian
selanjutnya, tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara hilangnya neuron
dan munculnya badan Lewy pada SN penderita PP (Iacono, 2015).
Insiden parkinsonism pada penderita usia 65-84 tahun sebesar 395/100.000
orang/tahun, sedangkan insiden PP pada penderita usia 65- 84 tahun sebesar
210/100.000 orang/tahun (Taylor, 2006). Parkinson’s Disease adalah penyakit
neurodegeneratif kedua terbanyak diderita setelah penyakit Alzheimer.
Parkinson’s Disease diperkirakan diderita oleh 876.665 penduduk Indonesia dari
total jumlah penduduk sebesar 238.452.952 (Noviani, 2010). Penyakit ini
diestimasikan diderita oleh sekitar 1,5% dari populasi dunia yang berusia lebih
dari 65 tahun (Blesa, 2014). Estimasi prevalensi dan insiden PP dapat bervariasi
tergantung pada metodologi yang digunakan (de Lau, 2006). Prevalensi PP
tercatat berada dalam rentang 15-12.500/100.000 orang/tahun dan insidennya
berada dalam rentang 15-328/100.000 orang/tahun (Chen, 2010). Prevalensi PP
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, baik pada pria maupun wanita
(Pringsheim, 2014). Parkinson’s Disease lebih banyak diderita pria daripada
wanita, dengan rasio 3:2 (Syamsudin, 2013).
Walaupun saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan
parkinsonism, ada beberapa terapi yang bertujuan untuk mengontrol gejala
parkinsonism dan meningkatkan kualitas hidup penderita parkinsonism. Terapi
farmakologi harus dimulai ketika pasien mengalami gangguan fungsional atau
keadaan yang memalukan akibat gejala parkinsonism yang muncul. Gangguan
tersebut dapat berbeda antar pasien. Secara umum, pasien yang mengalami
gangguan fungsional memiliki kesulitan dalam melakukan hal yang penting
baginya. Pemilihan terapi farmakologi didasarkan pada gejala yang dialami serta
usia pasien parkinsonism (Brown, 2010).
Menurut beberapa penelitian, 48% dari 331 permasalahan terkait dengan
obat antiparkinsonian berhubungan dengan jenis antiparkinsonian, yang paling
banyak adalah L-Dopa dan DA agonis. Masalah yang terkait dengan penggunaan
antiparkinsonian diantaranya adalah pasien tidak menerima pengobatan walaupun
telah nampak gejala parkinsonian (26,3%), munculnya gejala efek samping
(12,4%), ketidaktepatan waktu penggunaan (10%), kurang dosis (9,7%), serta
adanya interaksi obat (9,4%) (Schroder, 2011).
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan
II.1.1 Anatomi Otak
Otak adalah organ yang sangat kompleks. Mengandung sekitar 100 miliar
neuron dan prosesus neuronal dan sinapsis tak terhitung jumlahnya. Otak terdiri
dari empat komponen utama: otak besar (serebrum), otak kecil (cerebellum),
diensefalon, dan batang otak (brainstem). Otak manusia mencapai 2% dari
keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah
jantung (Chalik, 2016).
A. Serebrum (Otak besar) berfungsi Mengontrol persepsi sadar, pikiran,
dan aktivitas motorik sadar; bisa mengabaikan kebanyakan sistem
lainnya. Mengontrol aktivitas otot dan postur; umumnya menghambat
gerakan yang tidak disengaja saat istirahat.
Terdiri dari 4 lobus, antara lain : Lobus frontal, lobus pariental, lobus
oksipital, dan lobus temporal.
B. Diencephalon terdiri dari epithalamus, dorsal thalamus, dan hipotalamus
dan membentuk inti pusat otak. Memiliki fungsi menghubungkan batang
otak ke otak besar; memiliki banyak fungsi pengiriman impuls dan
homeostasis, seperti yang tercantum di bawah setiap subdivisi.
- Talamus : Pusat pengiriman impuls sensorik utama. Menerima dan
menyampaikan impuls saraf sensorik (kecuali bau) ke otak dan
impuls saraf motorik ke pusat otak yang lebih rendah.
- Hipotalamus : Mempengaruhi mood dan gerakan. Memberikan
kesadaran penuh terhadap nyeri, sentuhan, tekanan, dan suhu. Pusat
integrasi utama dari sistem saraf otonom. Mengatur suhu tubuh
(termoregulator), asupan makanan, keseimbangan air dan mineral,
denyut jantung dan tekanan darah rasa haus, lapar, pengeluaran urin,
dan respon seksual. Mempengaruhi perilaku dan emosi. Terlibat
dalam siklus tidur-bangun dan emosi kemarahan dan ketakutan.
Mengatur fungsi dari kelenjar hipofisis.
- Epitalamus : Mengandung inti yang merespon terhadap stimulasi
penciuman dan mengandung kelenjar pineal yang memproduksi
hormone melatonin.
C. Otak tengah, bagian rostral batang otak, terletak di persimpangan fossa
kranial tengah dan posterior. CN III dan IV berhubungan dengan otak
tengah. Mengandung traktur saraf asending dan desending;
mengirimkan impuls saraf sensorik dari sumsum tulang belakang ke
talamus dan impuls saraf motorik dari otak ke sumsum tulang belakang.
Mengandung pusat refleks yang mrnggrrakkan bola mata, kepala, dan
leher dalam menanggapi rangsangan visual dan pendengaran.
D. Pons adalah bagian dari batang otak antara otak tengah rostral dan
medula oblongata kaudal; itu terletak di bagian anterior fossa kranial
posterior. CN V dikaitkan dengan pons. Mengandung traktur saraf
asending dan desending; menyampaikan informasi dari otak besar
(serebrum) dan otak kecil (serebelum); pusat refleks; membanyu medula
mengontrol pernapasan.
E. Medula oblongata (medulla) adalah subdivisi paling kaudal dari batang
otak yang bersambung dengan sumsum tulang belakang; itu terletak di
fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII berhubungan dengan medula,
sedangkan CN VI-VIII berhubungan dengan sambungan pons dan
medula. Jalur untuk traktus saraf asending dan desending; pusat untuk
beberapa refleks penting (misalnya, denyut jantung dan kekuatan
kontraksi, diameter pembuluh darah, pernapasan, menelan, muntah,
batuk, bersin, dan cegukan)
F. Otak kecil berfungsi Mengontrol gerakan otot dan tonus; mengatur
keseimbangan dan postur yang tepat; mengatur tingkat gerakan yang
disengaja; terlibat dalam keterampilan pembelajaran motorik.
Berkontribusi terhadap perencanaan, pemrograman. massa otak besar
yang terletak di posterior pons dan medula dan inferior ke bagian
posterior serebrum. Itu terletak di bawah tentorium cerebelli di fossa
kranial posterior. Ini terdiri dari dua belahan lateral yang disatukan oleh

bagian tengah yang sempit, vermis.

Gambar 1. Anatomi Otak


Sumber : Chalik, 2016

II.1.2 Ganglia Basalia


Ganglia basal adalah bagian dari system motoric yang menerima input dari
korteks dan Sebagian besar menyalurkan implus Kembali ke korteks sebagai
feedback. Nuklei utama ganglia basalia adalah nucleus kaudatus, putamen, dan
globus palidus, yang semua terletak di substansia alba subkortikalis telensefali.
Nuklei ini berhubungan satu dengan lainnya, dan dengan korteks motoric, dalam
sirkuit regulasi yang kompleks. Sehingga terdapat jaras eferen dan jaras aferen
antara nuclei ganglia basal satu dan lainnya (Baehr M & Frotscher M, 2012).
Jaras aferen dihantarkan ke korpus striatum dari area korteks serebri yang
luas, terutama area motoric lobus frontalis, yaitu area Brodmann 4, 6a, dan 6a.
Aferen kortikal ini bersifat glutamatergic, berjalan ipsilateral, dan terorganisasi
secara topis. Sehingga serabut tidak berjalan bolak-balik, jaras aferen ini akan
menghantarkan implus dari serebelum dan formasio retikularis mesensefali ke
striatum. Substansia nigra mengirimkan serabut aferen dopaminergic ke striatum,
dan menerima input serotonergic dari nuclei raphes. Globus palidus menerima
sebagaian besar input aferennya dari korpus striatum dan tidak menerima serabut
aferen langsung dari korteks serebri. Namun, serabut aferen yang berasal dari
korteks berjalan ke substansia nigra, nucleus ruber, dan nucleus subtalamikus
(Baehr M & Frotscher M, 2012).
Jaras eferen dari korpus striatum berjalan ke segmen interna dan eksterna
globus palidus. Serabut eferen lain berjalan ke pars kompakta dan part retikulata
substansiae nigrae. Jaras eferen juga berasal dari globus palidus yang berjalan ke
thalamus dan kemudian berproyeksi ke korteks serebri, melengkapi lengkung
umpan balik (Baehr M & Frotscher M, 2012).

Bagan 1 : Sirkuit Motor Ganglia Basal Pada Gerakan Normal


Sumber : Hauser RA et al, 2020

Interpretasi fungsional proyeksi aferen dan eferen ganglia basalia


memerlukan pemahaman mengenai beberapa zat neurotransmitter dan reseptor
yang terlibat, dan bila jaras tertentu tidak berfungsi secara optimal maka akan
terbentuk defisit neurologic (Baehr M & Frotscher M, 2012).
Ganglia basal juga memiliki peran dalam sirkuit regulatoris, karena
merupakan salah satu sirkuit yang penting dalam menghantarkan impuls di
sepanjang dua jaras yang berbeda dari korteks, melalui korpus striatum, ke globus
palidus, dan kemudian ke thalamus dan kembali ke korteks. Korteks motoric dan
sensorik mengirimkan proyeksi yang terorganisasi secara topografis ke striatum
yang menggunakan neurotransmitter eksitatoris, glutamate. Setelah sampai di
striatum, sirkuit ganglia basal terbagi menjadi dua bagian yaitu jaras langsung dan
tidak langsung (Baehr M & Frotscher M, 2012).
Jaras langsung bersifat GABA-ergik dan berjalan dari striatum ke globus
palidus medialis. Sedangkan jaras tidak langsung menggunakan neurotransmitter
GABA dan enkefalin, berjalan dari striatum ke globus palidus lateralis. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa sitmulasi jaras tidak langsung adalah inhibitorik dan jaras
langsung adalah eksitatorik (Baehr M & Frotscher M, 2012).
Fungsi utama dari ganglia basalia adalah mengenai inisiasi dan fasilitasi
gerakan volunteer dan supresi simultan pengaruh involunter atau tidak diinginkan
yang dapat mengganggu gerakan halus dan efektif. Sehingga bila terdapat lesi
pada ganglia basal akan menimbulkan gangguan gerakan kompleks dan berbagai
jenis gangguan kognitif yang tergantung pada lokasi dan luasnya (Baehr M &
Frotscher M, 2012).

II.2 Parkinson’s Disease


II.2.1 Definisi
Parkinsonism adalah sindrom yang ditandai dengan bradykinesia atau
akinesia, tremor pada saat istirahat, rigidity, serta hilangnya reflek postural akibat
penurunan kadar DA dengan berbagai macam sebab (Shahab, 2007).
Parkinson’s Disease merupakan suatu penyakit neurodegeneratif pada
sistem ekstrapiramidal yang bersifat progresif. Secara patologi, penyakit ini
ditandai dengan degenerasi sel saraf dopaminergik pada SN. Hilangnya neuron
tersebut diiringi dengan munculnya inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut
dengan badan Lewy (Hisahara, 2011). Neuron dopaminergik hingga 60-70%
menyebabkan berkurangnya produksi DA, menyebabkan terjadinya gejala
parkinsonism (Patel, 2015). Parkinson’s Disease pertama kali dideskripsikan oleh
Dr. James Parkinson dan kemudian dikenal dengan sebutan shaking palsy pada
abad selanjutnya, serta dalam bahasa latin, PP dikenal dengan istilah paralysis
agitans (Mark, 2010).

II.2.2 Epidemiologi
Parkinson’s Disease dikenal sebagai salah satu kelainan neurologis yang
paling umum, mempengaruhi sekitar 1% orang yang berusia lebih dari 60 tahun.
Insiden Parkinson’s Disease diperkirakan 4,5-21 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, dan perkiraan prevalensinya berkisar antara 18 hingga 328 kasus per
100.000 penduduk, dengan sebagian besar penelitian menghasilkan prevalensi
sekitar 120 kasus per 100.000 penduduk. Insiden dan prevalensi Parkinson’s
Disease meningkat seiring bertambahnya usia, dan rata-rata onsetnya adalah
sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif jarang.
Parkinson’s Disease sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
pada wanita (Hauser RA et al, 2020).

II.2.3 Etiologi
Penyebab dasar terjadinya PP masih belum diketahui, sehingga penyakit ini
disebut dengan Idiophatic Parkinsonism. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit
multifaktorial, yang dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik (Mark,
2010). Faktor risiko terkuat yang diasosiasikan menjadi penyebab terjadinya PP
antara lain memiliki riwayat keluarga menderita PP atau tremor serta riwayat
konstipasi (Noyce, 2012). Individu dengan konstipasi, dibandingkan dengan yang
tanpa konstipasi, memiliki risiko 2,27 kali lipat lebih besar mengalami
perkembangan PP (Adams-Carr, 2015). Peneliti lain berspekulasi bahwa
konstipasi dapat meningkatkan risiko PP dengan meningkatkan absorpsi
neurotoksin pada usus atau terdapat faktor risiko lingkungan maupun genetik yang
tidak diketahui baik pada konstipasi maupun PP (Lin, 2014).
Hal lain yang diasosiasikan positif tehadap PP antara lain trauma kepala,
depresi atau anxiety, dan penggunaan -blocker (Bellou, 2016). -blocker dapat
mengurangi neurotransmisi norepinefrin di otak. Sistem norepinefrin dianggap
memiliki peran penting dalam melindungi integritas neuron dopaminergik pada
SN. Gangguan pada sistem norepinefrin dianggap memiliki peran penting
terhadap patogenesis PP dengan mempengaruhi awitan dan perkembangan
kerusakan jalur DA nigostriatal. Hilangnya norepinefrin dapat meningkatkan
neurotoksik dari toksin lingkungan ke neuron dopaminergik nigostriatal (Ton,
2007).
Hal yang diasosiasikan negatif terhadap PP antara lain latihan fisik,
merokok, konsumsi kopi alkohol, serta penggunaan nonsteroidal antiinflamatory
drugs (NSAID) dan calcium channel blocker (CCB) (Bellou, 2016). Urat serum
merupakan penangkap radikal bebas yang dianggap berkontribusi terhadap
hilangnya neuron dopaminergik (Noyce, 2012). Latihan fisik dapat meningkatkan
kadar urat plasma, sehingga diasosiasikan dengan menurunnya risiko terjadinya
PP (Yang, 2015).
Salah satu faktor lingkungan yang dikaitkan menjadi penyebab PP adalah
paparan senyawa kimia beracun, misal MPTP. Hal tersebut dibuktikan oleh oleh
fakta bahwa individu yang tinggal di wilayah dengan pestisida yang strukturnya
mirip MPTP, relatif lebih besar memiliki risiko menderita PP (Bartels, 2009).
Serta terdapat penelitian yang lain menunjukkan bahwa PP lebih banyak diderita
oleh individu yang tinggal di wilayah pedesaan, yang bekerja sebagai petani dan
mengkonsumsi air sumur (Mark, 2010)
Mutasi gen yang dikaitkan dengan PP antara lain gen α-synuclein (SNCA),
gen eukaryotic translation initiation factor 4 gamma 1 (EIF4G1), gen
glucocerebrosidase (GBA), gen loci leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2), gen
loci PTEN-induced putative kinase 1 (PINK1), gen superokside dismutase 2
(SOD2), dan gen vacuolar protein sorting 35 homolog (VPS35) (DeMaagd, 2015).

II.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Idiopatik (primer)
 Meliputi Parkinson’s Disease dan Juvenile Parkinsonism.
b. Simptomatik (sekunder)
 Meliputi parkinsonism yang disebabkan oleh penggunaan obat (misal
antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin, α-metildopa, lithium,
flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi, pasca ensefalitis, slow
virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma kranioserebral, tumor otak,
vaskular, dan siringomielia.
c. Parkinsonism plus (Multiple System Degeneration)
 Meliputi degenerasi ganglion kortikal basal, sindrom demensia,
Parkinsonism Guam-demensia-ALS, sindrom atrofi multi sistem, dan
palsy supranuklear progresif.
d. Parkinsonism heredodegenerative
 Meliputi penyakit Hallervoden- Spatz, penyakit Huntington, Lubag,
nekrosis striatal dan sitopati mitokondria, neuroakantositosis, penyakit
Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit Gertsmann-Strausler-Scheinker,
penyakit Machado-Joseph, atrofi familial olivopontoserebelar, dan
sindroma thalamik demensia (Syamsudin, 2013)

II.2.5 Patofisiologi
Parkinson’s Disease merupakan penyakit pada sistem ekstrapiramidal yang
dikarakterisasi oleh degenerasi neuron dopaminergik yang menyebabkan
pengurangan proyeksi dopaminergik dari substantia nigra pars compacta (SNc) ke
striatum (jalur nigostriatal), sehingga menghasilkan hilangnya fungsi
dopaminergik. Neurotransmitter yang terdapat di jalur langsung adalah GABA
yang bersifat inhibitorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur ini adalah
penurunan arus rangsang dari thalamus ke korteks. Sedangkan jalur tidak
langsung dibentuk oleh neuron striatal yang memproyeksikan ke GPe, lalu
menginervasi STN, kemudian dilanjutkan ke VA dan VL thalamus.
Tidak ada kriteria standar yang spesifik untuk diagnosis neuropatologis
penyakit Parkinson, karena spesifisitas dan sensitivitas dari temuan
karakteristiknya belum ditetapkan dengan jelas. Namun, berikut ini adalah 2
temuan neuropatologis utama pada penyakit Parkinson (Hauser RA et al, 2020) :
1. Hilangnya neuron dopaminergik berpigmen dari substansia nigra pars
compacta
 Hilangnya neuron dopamin terjadi paling mencolok di ventral lateral
substantia nigra. Sekitar 60-80% neuron dopaminergik hilang sebelum
tanda-tanda motorik penyakit Parkinson muncul.
2. Adanya badan Lewy dan neurit Lewy
 Beberapa individu pada saat kematian dianggap normal secara
neurologis bila ditemukan memiliki tubuh Lewy pada pemeriksaan
otopsi. Badan Lewy insidental ini telah dihipotesiskan untuk mewakili
fase pra-gejala penyakit Parkinson, namun bisa juga ditemukan pada
kasus parkinsonisme atipikal, penyakit Hallervorden-Spatz, dan kelainan
lainnya. Meskipun demikian, mereka adalah temuan patologi
karakteristik penyakit Parkinson.

Sinyal dari korteks serebral diproses melalui sirkuit motorik basal ganglia-
talamokortikal dan kembali ke area yang sama melalui jalur umpan balik. Output
dari rangkaian motor diarahkan melalui segmen internal globus pallidus (GPi) dan
substansia nigra pars reticulata (SNr). Output penghambatan ini diarahkan ke jalur
talamokortikal dan menekan gerakan (Hauser RA et al, 2020). Pada gerakan
normal, sirkuit motor ganglia basal memodulasi keluaran kortikal untuk
menghasilkan gerakan normal (Bagan 1) (Hauser RA et al, 2020). Proyeksi dari
striatum ke GPe dan dari GPe ke STN menggunakan neurotransmitter GABA,
tetapi jalur akhir proyeksi STN ke GPi dan SNr menggunakan neurotransmitter
glutamatergik yang bersifat eksikatorik, sehingga efek akhir dari stimulasi jalur
ini adalah peningkatan arus rangsang dari thalamus ke korteks.
Setelah itu STN akan memberikan pengaruh rangsang pada GPi dan SNr
agar mengirimkan keluaran penghambatan ke inti ventral lateral (VL) dari
talamus. Dilanjutkan dengan pelepasan dopamin dari neuron nigrostriatal
(substantia nigra pars compacta (SNpc) untuk mengaktifkan jalur langsung dan
menghambat jalur tidak langsung.
Pada penyakit Parkinson, terjadi penurunan dopamin striatal yang
menyebabkan peningkatan keluaran penghambatan dari GPi / SNr melalui jalur
langsung yaitu dengan penurunan stimulasi dopamin striatal sehingga
menyebabkan penurunan penghambatan GPi / SNr dan jalur tidak langsung yaitu
penurunan penghambatan dopamin yang menyebabkan peningkatan
penghambatan GPe, mengakibatkan disinhibisi STN (Bagan 2) (Hauser RA et al,
2020).

Bagan 2 Sirkuit Motor Ganglia pada Hypokinetic and Hyperkinetic Disorder


Sumber : Hauser RA et al, 2020

Kerusakan pada ganglia basalis akan menyebabkan defisit sensorik dan juga
motoric. Defisit sensorik terjadi pada nucleus caudatus yang merupakan bagian
dari kognitive impairment sehingga menimbulkan gejala gelisah, demensia,
ansietas, gangguan perhatian, dan juga insight yang terganggu. Defisit sensorik
juga terjadi pada thalamus, sehingga menyebabkan penurunan relay sensory
seperti anesthesia (baal) dan juga penurunan propioreseptif atau postural
instability. Sedangkan defisit motoric terjadi pada jalur ekstrapiramidal sehingga
meningkatkan tonus otot dan menimbulkan gejala postur tubuh yang kaku, selain
itu terjadi juga gangguan pada fungsi hipotalamus (system otonom) dengan
ditandai dengan munculnya keluhan mengompol, serta adanya peningkatan
nucleus sub thalamus sehingga menyebabkan defek pada gerakan volunteer atau
muncul gejala bradikinensia (gerak yang lemah).

II.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis Parkinson’s Disease dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok: gejala motorik (MS) dan gejala non-motor (NMS), dan berkembang
melalui tiga tahap utama: (1) tahap praklinis, (2) tahap premotor (dengan hanya
beberapa NMS hadir), dan (3) tahap motorik dengan MS (Pirtosek et al, 2020).
Pasien yang mengalami tremor saat istirahat, rigiditas, hipobradikinesia,
bradikinesia, dan / atau gangguan postural bisa dicurigai adanya Parkinson’s
Disease sehingga bisa dirujuk ke spesialis saraf untuk penanganan lebih lanjut.
Kriteria diagnostik yang lebih baru adalah kriteria dari International Parkinson
and Movement Disorder Society (MDS, 2015). Dalam kriteria MDS (Movement
Disorder Society), kriteria utama untuk diagnosis Parkinson’s Disease adalah
adanya parkinsonisme, yang didefinisikan sebagai bradikinesia, dalam kombinasi
dengan rigiditas atau tremor saat istirahat, atau keduanya (Pirtosek et al, 2020).
Ada 4 tanda utama penyakit Parkinson, dengan 2 dari 3 pertama di bawah
ini diperlukan untuk membuat diagnosis klinis. Tanda kardinal keempat,
ketidakstabilan postural (kesulitan keseimbangan), muncul pada tahap lanjut
penyakit, biasanya setelah 8 tahun atau lebih (Hauser RA et al, 2020) 4 tanda
utama tersebut antara lain :
1. Tremor saat istirahat
 Tremor istirahat dinilai dengan meminta pasien mengendurkan lengan
mereka di pangkuan mereka saat dalam posisi duduk. Membuat pasien
menghitung mundur dari 10 dapat membantu mengeluarkan gejala
tremor. Pemeriksa harus mengamati lengan dalam posisi terulur untuk
menilai tremor postural, dan tremor kinetik (tremor dengan gerakan
sukarela) yang dapat diamati selama tes jari ke hidung. Meskipun tremor
istirahat adalah karakteristik tremor penyakit Parkinson, banyak pasien
penyakit Parkinson juga mengalami tremor postural dan / atau kinetik.
2. Kekakuan
 Kekakuan mengacu pada peningkatan resistensi terhadap gerakan
pasif di sekitar sambungan. Hambatan dapat berupa halus (pipa timah)
atau berosilasi (cogwheeling). Cogwheeling dianggap mencerminkan
tremor daripada kekakuan dan mungkin hadir dengan tremor yang tidak
terkait dengan peningkatan tonus (yaitu, tremor esensial). Kekakuan
biasanya diuji dengan meregangkan dan meregangkan pergelangan
tangan pasien yang rileks dan dapat dibuat lebih jelas dengan meminta
pasien melakukan gerakan sukarela, seperti mengetuk, dengan tungkai
kontralateral.
3. Bradykinesia
 Bradykinesia mengacu pada kelambatan gerakan tetapi juga termasuk
berkurangnya gerakan spontan dan penurunan amplitudo gerakan.
Bradykinesia juga dinyatakan sebagai mikrografi (tulisan tangan kecil),
hipomimia (penurunan ekspresi wajah), penurunan kecepatan berkedip,
dan hipofonia (ucapan lembut). Dengan demikian, kecepatan berkedip
dan ekspresi wajah pasien harus diperhatikan.
4. Ketidakstabilan postur tubuh
 Ketidakstabilan postural mengacu pada ketidakseimbangan dan
hilangnya refleks meluruskan. Kemunculannya pada pasien dengan
penyakit Parkinson merupakan tonggak penting, karena kurang dapat
diterima untuk pengobatan dan sumber umum kecacatan pada penyakit
lanjut. Stabilitas postural biasanya dinilai dengan meminta pasien berdiri
dengan mata terbuka dan kemudian menarik bahu mereka kembali ke
arah pemeriksa. Pasien diminta untuk bersiap-siap dengan perpindahan
dan mendapatkan kembali keseimbangan mereka secepat mungkin.
Mengambil 1 atau 2 langkah mundur untuk mendapatkan kembali
keseimbangan dianggap normal. Pemeriksa harus siap untuk menangkap
pasien jika mereka tidak bisa mendapatkan kembali keseimbangan.

Setelah konfirmasi parkinsonisme dan evaluasi "kriteria pengecualian


absolut" (gejala tidak ada pada Parkinson’s Disease), "tanda bahaya/red flag"
(gejala atipikal untuk Parkinson’s Disease), dan juga "kriteria pendukung" (gejala
biasanya atau sering muncul pada Parkinson’s Disease), seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 1 (Pirtosek et al, 2020).

Bagan 2. Diagram of Parkinson’s disease diagnosis based on the diagnostic


criteria of the movement disorder society
Sumber : Pirtosek et al, 2020

Kriteria Pengecualian Absolut atau tidak ada pada Parkinson’s disease


(Pirtosek et al, 2020) :
1) Kelainan serebelum sangat jelas.
2) Kelumpuhan pandangan supranuklear vertikal ke bawah, atau
perlambatan selektif saccades vertikal ke bawah.
3) Kemungkinan demensia varian perilaku frontotemporal atau afasia
progresif primer, dalam 5 tahun pertama penyakit.
4) Gejala Parkinson terbatas pada tungkai bawah selama > 3 tahun.
5) Kemungkinan parkinsonisme yang diinduksi obat menurut riwayat
pengobatan
6) Tidak ada respons terhadap levodopa dosis tinggi meskipun setidaknya
penyakit dengan tingkat keparahan sedang.
7) Kehilangan sensorik kortikal tegas, apraxia ideomotor tungkai bersih,
atau afasia progresif.
8) Pencitraan saraf fungsional normal dari sistem dopaminergik presinaptik.
9) Dokumentasi dari kondisi alternatif yang diketahui menghasilkan
parkinsonisme dan secara masuk akal berhubungan dengan gejala
Kriteria tanda bahaya/red flag/gejala atipikal (Pirtosek et al, 2020) :
1) Perkembangan cepat gangguan gaya berjalan yang membutuhkan
penggunaan kursi roda secara teratur dalam waktu 5 tahun sejak onset
2) Tidak adanya perkembangan gejala atau tanda motorik di atas ≥5 tahun
kecuali stabilitas terkait dengan pengobatan.
3) Disfungsi bulbar dini: disfonia berat atau disartria atau disfagia berat
dalam 5 tahun pertama.
4) Disfungsi pernapasan inspirasi: stridor inspirasi atau seringnya desahan
inspirasi.
5) Kegagalan otonom berat dalam waktu 5 tahun sejak onset penyakit.
a. Hipotensi ortostatik
b. Retensi urin yang parah atau inkontinensia urin yang tidak
disebabkan oleh kondisi lain.
6) Recurrent (>1/tahun) jatuh karena gangguan keseimbangan dalam
waktu 3 tahun sejak onset.
7) Anterocollis yang tidak proporsional (distonik) atau kontraktur tangan
atau kaki dalam 10 tahun pertama.
8) Tidak adanya salah satu gambaran umum penyakit non-motor meskipun
durasi penyakit 5 tahun. Termasuk : tidur disfungsi, disfungsi otonom,
hiposmia, atau disfungsi psikiatri.
9) Tanda-tanda saluran piramidal yang tidak dapat dijelaskan, tidak
termasuk asimetri refleks ringan dan respon plantar ekstensor terisolasi.
10) Parkinsonisme simetris bilateral.
Kriteria pendukung (Pirtosek et al, 2020) :
1) Respon menguntungkan yang jelas dan dramatis terhadap terapi
dopaminergik
a. Perbaikan nyata dengan peningkatan dosis atau perburukan nyata
dengan penurunan dosis (> 30% pada UPDRS III dengan perubahan
pengobatan atau riwayat perubahan yang ditandai dengan jelas).
b. Fluktuasi hidup / mati yang ditandai, dan penurunan dosis akhir yang
dapat diprediksi.
2) Tardive yang diinduksi Levodopa.
3) Tremor istirahat pada anggota tubuh
4) Kehilangan penciuman atau denervasi simpatis jantung.

Berdasarkan kriteria yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka menurut


Pirtosek et al (2020) untuk diagnosis Parkinson’s Disease adalah sebagai berikut:
i. Ada dua kriteria diagnostik yang berbeda untuk diagnosis klinis
Parkinson’s Disease.
ii. Gambaran pertama dan terpenting dari Parkinson’s Disease adalah
bradykinesia. Bila terdapat tremor tanpa bradykinesia, maka tidak cukup
untuk mendiagnosis parkinsonisme atau Parkinson’s Disease.
iii. Pasien yang didiagnosis dengan benar dengan Parkinson’s Disease harus
memiliki efek yang jelas dari obat anti-parkinson jika dosisnya cukup.
Namun, beberapa gejala motorik seperti tremor dapat terjadi akibat
kombinasi lesi otak dopaminergik dan nondopaminergik, yang dapat
berkontribusi pada respon variabel levodopa pada seluruh pasien.

II.2.7 Manifestasi Klinis Berdasarkan Gejala


1. Gejala Motorik
- Hipomimia - Kesulitan membalikkan
- Disartria tempat tidur
- Disfagia - Memotong makanan,
- Penurunan ayunan makan dan kebersihan,
lengan - Mikrografi,
- Gaya berjalan menyeret - Adanya refleks glabellar
- Festination yang tidak ada habisnya,
- Kedinginan - Blepharospasm atau
- Kesulitan bangkit dari disonia lainnya (Pirtosek
kursi et al, 2020).
- Camptocormia

2. Gejala Non-motorik
a. Terjadi Sebelum Tahap Premotor Parkinson’s disease
- Hiposmia - Kantuk berlebihan di
- Gangguan perilaku siang hari
tidur REM - Kelelahan
- Depresi - Nyeri
- Sembelit - Disfungsi ereksi
b. Bersamaan Dengan Perjalanan Penyakit
 Demensia, halusinasi, dan lain-lain (Pirtosek et al, 2020).

II.2.8 Diagnosa
Kriteria diagnosis menurut Hughes, yaitu:
a. Possible, bila terdapat 1 dari 4 gejala utama berikut: bradykinesia, tremor
pada saat istirahat, rigidity, dan ketidakstabilan postural.
b. Probable, bila terdapat 2 dari 4 gejala utama (termasuk kegagalan refleks
postural) atau terdapat 1 dari 3 gejala berikut: tremor istirahat asimetris,
rigiditas asimetris, atau bradikinesia asimetris.
c. Definite, bila terdapat 3 dari 4 gejala utama atau 2 dari 4 gejala utama
dengan satu gejala lain yang asimetris (tiga tanda kardinal). Bila semua
tanda tidak jelas, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang beberapa bulan
kemudian (Syamsudin, 2013)

Kriteria diagnosis klinik menurut UK Parkinson’s Disease Society Brain


Bank adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis sindrom Parkinson, dimana pasien memiliki gejala berupa
bradykinesia atau akinesia, ditambah minimal salah satu dari tiga tanda
berikut: 4-6 Hz tremor pada saat istirahat, rigidity, serta ketidakstabilan
postural yang tidak disebabkan oleh disfungsi visual, vestibular,
cerebellar, atau propioseptif.
b. Kriteria eksklusi untuk PP antara lain: riwayat stroke berulang, riwayat
trauma kepala berulang, post-encephalitis Parkinsonism, dalam terapi
neuroleptik saat muncul gejala, gejala unilateral yang jelas setelah 3
tahun, supranuclear gaze palsy, gejala serebellar, demensia berat onset
awal, tanda Babinski, adanya tumor otak pada CT-scan, dan memiliki
respon negatif terhadap L-Dopa.
c. Minimal 3 dari kriteria suportif (prospektif) berikut: unilateral onset,
tremor pada waktu istirahat, perjalanan penyakit progresif, gejala
asimetri yang menetap pada sebagian besar onset, memberikan respon
yang baik (70-100%) pada L-Dopa, timbul khorea berat yang diinduksi
L-Dopa, memberikan respon terhadap L-Dopa selama 5 tahun atau lebih,
serta perjalanan klinis 10 tahun atau lebih (Syamsudin, 2013).

Perjalanan penyakit menurut Hoehn dan Yahr, yaitu:


a. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan,
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat
dikenali orang terdekat.
b. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu.
c. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu
saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
d. Stadium 4: Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya
untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri
sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
e. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachcactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu, memerlukan perawatan
tetap (Syamsudin, 2013).

Pemeriksaan neurokognitif yang bisa dilakukan adalah dengan


menggunakan MMSE (The Mini–Mental State Examination), Clock Drawing
Test, atau Activating of Daily Living. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan
radiologi seperti MRI untuk menyingkirkan kemungkinan adanya stroke, tumor,
keadaan multi-infark, hidrosefalus, dan lesi penyakit Wilson. Pemeriksaan MRI
harus dilakukan pada pasien yang memiliki presentasi klinisnya tidak
memungkinkan untuk menegakan diagnostik yang tinggi, termasuk mereka yang
tidak mengalami tremor, memiliki progresi akut atau bertahap, atau berusia
kurang dari 55 tahun (Hauser RA et al, 2020).
Bila memungkinkan bisa dilakukan pemeriksaan Positron Emission
Tomography (PET) dan pemindaian Single-Photon Emission Computed
Tomography (SPECT). Pada permulaan tanda-tanda motorik, pasien dengan
penyakit Parkinson menunjukkan penurunan serapan F-dopa (Fluorodopa F)
sekitar 30% pada pencitraan PET di putamen kontralateral. SPECT bisa
menunjukkan sindrom defisiensi dopamin tetapi tidak membedakan penyakit
Parkinson dari parkinsonisme atipikal, termasuk atrofi sistem multipel (MSA) dan
kelumpuhan supranuklear progresif (PSP). Pencitraan SPECT Ioflupane
menunjukkan adanya defisiensi dopamin pada penyakit Parkinson, MSA, PSP,
degenerasi ganglion kortikobasal, dan penyakit tubuh Lewy. Studi ini normal pada
tremor esensial, tremor distonik, parkinsonisme atau tremor yang diinduksi obat,
gangguan psikogenik, dan pada individu normal (Hauser RA et al, 2020).

II.2.9 Tatalaksana
A. Farmakologis
Levodopa oral, merupakan terapi standar emas awal untuk Parkinson’s
Disease, paling efektif dan banyak digunakan dalam pengobatan gangguan
neurodegeneratif ini. Levodopa biasa diberikan bersamaan dengan Karbidopa
(penghambat dekarboksilase perifer) yang bertujuan agar dapat menghambat
dekarboksilasi levodopa menjadi dopamine dalam sirkulasi sistemik, sehingga
memungkinkan distribusi levodopa menjadi lebih besar ke dalam system saraf
pusat (Hauser RA et al, 2020). Namun penggunaan Levodopa oral sebagai terapi
ini ternyata menghasilkan perkembangan fluktuasi motorik seperti “wearing off”
dan levodopa-induced dyskinesia (LID) karena dapat merangsang reseptor
dopaminergic. Hampir 40% pasien PD mengalami LID setelah 4-6 tahun
pengobatan levodopa. Berdasarkan kejadian tersebut, bila terdapat pasien yang
masih berusia muda dan sudah terjadi komplikasi motoric lebih awal dan lebih
parah, maka pengobatan dengan penghambat MAO B atau agonis dopamine harus
dimulai terlebih dahulu, setelah itu baru dilanjutkan dengan Levodopa (Pirtosek et
al, 2020).
Sebagian besar pasien mengalami respon yang baik pada dosis levodopa
harian 300-600 mg / hari (biasanya dibagi 3 atau 4 kali sehari) selama 3-5 tahun
atau lebih. Dosis yang lebih tinggi dari yang diperlukan untuk mengontrol gejala
secara adekuat harus dihindari, karena dosis yang lebih tinggi meningkatkan
risiko perkembangan diskinesia. Jika mual terjadi, pemberian Levodopa dapat
diberikan segera setelah makan dan menambahkan karbidopa ekstra atau
memasukkan domperidone untuk mengurangi mual. Efek samping lainnya
termasuk pusing dan sakit kepala. Pada pasien usia lanjut, kebingungan, delusi,
agitasi, halusinasi, dan psikosis mungkin lebih sering terlihat (Hauser RA et al,
2020).
Penghambat Monoamine Oksidase (MAO-B) memiliki fungsi juga dalam
mengurangi simptomatik ringan tanpa profil efek samping yang buruk dengan
kualitas hidup sebesar 20-25%. Jenis obat penghambat Monoamine Oksidase
(MAO-B), seperti selegiline dan rasagiline, dapat digunakan untuk pengobatan
gejala awal Parkinson’s Disease. Obat-obatan ini memberikan manfaat gejala
ringan, memiliki profil efek samping yang sangat baik, dan dapat meningkatkan
hasil jangka panjang. Jika MAO-B inhibitor saja tidak cukup untuk mengontrol
gejala motorik dengan baik, obat lain (misalnya, agonis dopamin atau levodopa)
dapat ditambahkan. Selegiline diindikasikan sebagai terapi tambahan (5 mg setiap
pagi; maksimal, 10 mg / hari) dalam pengobatan Parkinson’s Disease pada pasien
yang diobati dengan levodopa / karbidopa. Rasagiline diindikasikan untuk
pengobatan tanda dan gejala Parkinson’s Disease sebagai monoterapi awal (1 mg /
hari) dan sebagai terapi tambahan (0,5-1,0 mg / hari) untuk levodopa. Potensi efek
samping termasuk mual, sakit kepala, dan pusing (Hauser RA et al, 2020).
Agonis dopamine (Ropinirole, Pramipexole) juga memberi manfaat dalam
menatalaksana simptomatik sedang dan menunda perkembangan dyskinesia
walaupun memiliki efek yang lebih merugikan daripada levodopa, seperti
mengantuk, halusinasi, edema, dan gangguan kontrol impuls. Namun, efek
samping ini sembuh dengan menurunkan dosis atau menghentikan pengobatan.
(Hauser RA et al, 2020).
Pasien Parkinson’s Disease juga dapat diberikan terapi pelindung saraf
(kreatin dan isradipin) yang bertujuan untuk memperlambat, memblokir, atau
membalikkan perkembangan penyakit, walaupun memang tidak ada terapi yang
terbukti untuk melindungi saraf, namun agen ini memiliki efek jangka Panjang
dari penghambat MAO-B (Hauser RA et al, 2020).
Namun bila gejala tidak dapat diatasi secara optimal dengan menggunakan
pengobatan oral konvensional, maka bisa dilanjutkan dengan terapi lanjutan
(Pirtosek et al, 2020). Pemberian terapi lanjutan ini harus dalam pengawasan
spesialis saraf dan tim multidisiplin, karena terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi.
Terapi lanjutan diberikan bila terapi farmakologi hasilnya tidak optimal atau
terdapat periode “on” kurang dari 3 jam dan sudah diberikan terapi oral secara
maksimal maka bisa dilakukan 3 terapi utama berdasarkan konsep CDS :
(1)Infus apomorphine (subkutan) secara terus menerus
 Apomorphine (Agonis Reseptor Dopamin D1 dan D2) memiliki onset
kerja yang cepat, sehingga pada tahap awal selama periode “off’ bisa
diberikan melalui metode suntik dan dilanjutkan melalui infus subkutan
kontinyu melalui portable pump.
(2)Infus levodopa-karbidopa gel (intra-usus)
 pemberian Levodopa-karbidopa sel ini dikirim langsung ke jejenum
proksimal melalui gastrojejunostomy perkutan (PEG-J) tube yang
dihubungkan ke pompa infus portable. Terapi ini digunakan untuk
menghindari pengosongan lambung yang tidak menentu dan
meningkatkan absorbsi usus.
Terapi ini adalah pengobatan yang efektif untuk mengurangi
fluktuasi motoric, meningkatkan waktu “on” tanpa dyskinesia dan
meningkatkan Health-Related Quality Of Life (HRQol)
(3)Deep Brain Stimulation (DBS)
 Terapi ini adalah prosedur bedah saraf fungsional yang dapat
digunakan untuk mengobati fluktuasi motorik, tardive, dan tremor.
Terapi ini juga telah terbukti meningkatkan HRQol. Namun, gejala
levodopa-tidak responsif pada PD lanjut (misalnya, ketidakstabilan gaya
berjalan, gangguan kejiwaan, gangguan kognitif, disartria, dan disfungsi
otonom) tidak mungkin membaik dengan DBS (Pirtosek et al, 2020).
Selain itu, pasien yang memiliki kecacatan akibat tremor yang tidak
terkontrol dengan obat dopaminergic, bisa diberikan antikolinergic dosis rendah
dan ditingkatkan perlahan agar meminimalkan efek samping seperti mudah lupa,
bingung, dan halusinasi. Salah satu antikolinergik yang paling umum adalah
Triheksifenidil dengan dosis awal tunggal 1 mg dan dapat dititrasi sebanyak 1 mg
setiap minggu atau lebih sampai total 4-6 mg diberikan setiap hari, selain itu bisa
juga menggunakan Benztropine (Cogentin) dengan dosis awal 0,5-1 mg setiap
hari menjelang tidur. Dosis dapat dititrasi dengan interval mingguan dengan
peningkatan 0,5 mg hingga maksimum 6 mg / hari (Hauser RA et al, 2020).
Amantadine yang merupakan agen antivirus dikatakan juga memiliki
aktivitas sebagai anti Parkinson, walaupun mekanismenya belum sepenuhnya
dipahami namun amantadine tampaknya memiliki potensi dalam merespon
dopaminergic system saraf pusat sehingga mampu melepaskan dopamine dan
norepinefrin dari tempat penyimpanan dan mengambat pengambilan kembali
dopamine dan norepinefrin. Dosis amantadine diawali dengan 100 mg per hari
dan perlahan ditingkatkan menjadi dosis pemeliharaan awal 2-3 x sehari 100 mg.
Efek samping potensial amantadine yang paling memprihatinkan adalah
kebingungan dan halusinasi. Efek samping yang umum termasuk mual, sakit
kepala, pusing, dan insomnia. Efek samping yang jarang dilaporkan termasuk
kecemasan dan iritabilitas, ataksia, liveo reticularis, edema perifer, dan hipotensi
ortostatik (Hauser RA et al, 2020).
Pada tahun 2010, American Academy of Neurology (AAN) merilis pedoman
tentang pengobatan gejala non-motorik Parkinson’s Disease antara lain :
1. Sildenafil sitrat (Viagra) dapat dianggap untuk mengobati disfungsi
ereksi
2. Polyethylene glycol dapat dianggap untuk mengobati sembelit
3. Modafinil harus dipertimbangkan untuk pasien yang secara subyektif
mengalami rasa mengantuk berlebihan di siang hari
4. Bila terdapat gangguan tidur bisa diberikan benzodiazepine, terutama bila
terdapat gangguan perilaku tidur gerakan mata cepat (REM) (RBD), dan
Obstruktif Sleep Apneu (OSA) yang dapat diobati dengan tekanan
saluran napas positif terus menerus atau tekanan empedu. Selain itu
disarankan juga untuk menghindari stimulant/cairan menjelang waktu
tidur, menghindari makan larut malam yang berat, dan mengikuti jadwal
tidur yang teratur. Serta menghindari mengemudi dan mengambil
tindakan pencegahan terhadap potensi bahaya pekerjaan (Hauser RA et al,
2020).
5. Gangguan tidur lainnya mungkin mendapat manfaat dari pemberian
Levodopa / karbidopa terutama untuk mengobati gerakan tungkai secara
berkala saat tidur.
6. Methylphenidate dapat dipertimbangkan untuk kelelahan (catatan:
methylphenidate memiliki potensi penyalahgunaan dan kecanduan)
7. Bukti tidak cukup untuk mendukung atau menyangkal perawatan spesifik
dari hipotensi ortostatik, inkontinensia urin, kecemasan, dan RMD

Berikut adalah bagan dari algoritma penatalaksanaan untuk symptom


motoric pada pasien PD.

Bagan 3 Treatment of Motor Symptoms of PD


Sumber : Jankovic et al, 2020
Bagan 4 Algorithm of medical treatment of PD
Sumber : Dietrichs, Odin, 2017

B. Non-Farmakologis
Tujuan utama dari setiap manajemen harus mempertahankan tingkat fungsi
dan kemandirian yang dapat diterima. Pada PD tingkat lanjut, hal ini dapat dicapai
dengan kombinasi obat yang cermat dan terapi non-farmakologis yang
mendukung dalam konteks kolaborasi antara dokter umum, spesialis saraf, dan
tim multidisiplin (Pirtosek et al, 2020).
Manajemen non-farmakologis suportif pada pasien PD lanjut harus
mencakup rehabilitasi fisik, dukungan psikologis, terapi okupasi, bicara, bahasa
dan terapi menelan, dan nutrisi di antara kemungkinan intervensi lainnya.
Keseimbangan dan gaya berjalan telah terbukti meningkat dengan terapi fisik dan
olahraga, sehingga mengurangi risiko jatuh. Aktivitas fisik seperti Latihan aerobic
termasuk menari dan latihan treadmill, latihan ketahanan, dan aktivitas tradisional
seperti Tai Chi dan yoga memiliki efek menguntungkan pada PD. Latihan
intensitas tinggi juga dapat memperbaiki gejala dan keterbatasan motorik. Terapi
wicara telah berhasil digunakan untuk meningkatkan kemampuan bicara
hipofonik dan hipokinetik dan fungsi terkait, seperti masalah menelan yang
berhubungan dengan PD. Integrasi perawatan medis dan nonmedis paling efisien
direncanakan oleh anggota tim multidisiplin, biasanya didirikan sebagai bagian
dari pelayanan dokter spesialis saraf (Pirtosek et al, 2020).

Tabel 1 Movement Disorder dan Terapi yang Diberikan


Sumber : Hauser RA et al, 2020

II.2.10 Diagnosa Banding


Diagnosa banding Parkinson’s Disease yang tanpa sebab atau idiopatik
menurut Pagano et al (2016) :
A. Degenerative disorders
 Multiple system atrophy parkinsonian type
 Progressive supranuclear palsy
 Corticobasal degeneration
 Dementia with Lewy bodies.
B. Non-degenerative disorders
 Essential tremor
 Dystonic tremor
 Vascular parkinsonism
 Drug-induced parkinsonism
 Tremor related to metabolic (eg hyperthyroidism) or functional causes.

II.2.11 Komplikasi
Pasien Parkinson’s Disease pada tingkat sedang biasanya setelah 5-10 tahun
di diagnosa, hampir 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang
diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu periode
“on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala
parkinson kembali kambuh. Komplikasi motorik pada PD mencakup fluktuasi
motorik, dinamakan sebagai fenomena “on-off” diskinesia dan kaku (freezing).
Fluktuasi motorik dan diskinesia adalah problem yang umum dalam manajemen
pasien PD dan merupakan alasan yang terbanyak dipertimbangkan untuk terapi
pembedahan.
[1]. Fluktuasi Motorik “On Off”
Fenomena ini menunjukkan bahwa pasien memiliki berbagai variasi dalam
respons mereka terhadap levodopa dan memberikan “off times” yang
menunjukkan keadaan penurunan mobilitas. Beberapa pola klinis fluktuasi motorik
yang secara umum telah dikenal ialah :
1. Efek “wearing off” : Efek anti parkinson levodopa akan menghilang
menjelang akhir dosis dalam bentuk yang bisa diramalkan. Ini disebut
juga kegagalan diakhir dosis (end-of-dose failure)
2. “Wearing off” bermasalah : lama respon levodopa terjadi bervariasi
sehingga penentuan waktu “wearing off” menjadi kurang pasti (tidak
dapat diramalkan)
3. “Delayed-on” : keterlambatan dalam memulainya efek levodopa
4. No-on : sebuah dosis levodopa tidak memberikan efek, disebut sebagai
“kegagalan dosis” (dose failure)
5. “On-off” : respon pada levodopa bervariasi dalam cara yang tidak bisa
diramalkan yang tidak ada hubungannya dengan waktu pemberian dosis.
Terjadi tiba-tiba seperti timbol lampu yang dihidup matikan
6. Yo-yoing : fluktuasi dari immobilitas berat ke diskinesia berat secara
tiba-tiba
Jadi faktor-faktor resiko utama timbulnya fluktuasi dan diskinesia adalah :
keparahan penyakit, lamanya pemberian levodopa, dosis levodopa harian dan
onset PD pada usia muda. Respon terhadap levodopa (kurva dosisrespon) bergeser
selama pemberian terapi, dari kurva yang relatif datar (gambar 1 A), dimana
respon motorik masih bagus didapatkan dalam rentang dosis yang lebar, menjadi
kurva yang miring (gambar 1B), dimana kemungkinan untuk memperoleh respon
motorik yang bagus tanpa diskinesia lebih sedikit.
Strategi dalam penatalaksanaan fenomena “wearing-off” berfokus pada
pengaturan dosis pengobatan untuk efek yang optimal.
1. Pasien SDR sering berespon baik dengan terapi tambahan dopamin
agonist yang akan meningkatkan efikasi anti parkinsonisme dan
memperbaiki fluktuasi dalam respon, melalui stimulasi langsung reseptor
dopamin post sinaps. Problem motorik sering dapat diperbaiki dengan
pengaturan perbandingan dosis levodopa terhadap agonis dopamin,
tergantung mana yang bertoleransi baik.
2. Dengan penurunan dosis individual levodopa dan pemendekan interval
dosis sehingga dosis total harian tidak berubah, pada awalnya bisa
berhasil baik.
3. Ketika beralih dari preparat regular ke preparat lepas terkontrol, dosis
levodopa harus ditingkatkan.
4. Pasien yang merasakan cukup enak pada hampir sepanjang hari dengan
carbidopa/levodopa CR tetapi memiliki kesulitan dengan akinesia dipagi
hari akan bermanfaat dengan memakai obat ”immediate release” (lepas
cepat) bersamaan dengan obat CR, yang diberikan pertama dipagi hari.
Regimen ini merupakan “langkah awal” memperbaiki hari-hari pasien
ini, dan mempersiapkan mereka secara fisik untuk kegiatan normal.
5. Inhibitor Cathecol-O-methyltransferase (COMT) juga berguna untuk
fenomena “wearing-off”
6. MAO-B inhibitor seperti selegiline dan rasagiline juga dapat
dipertimbangkan.
7. Penambahan N-Methyl D, Aspartat (Amantadin) mungkin sedikit
memperbailki SDR.

Manajemen Fluktuasi On-Off :


1. Penambahan atau peningkatan dosis dari agonis dopamin atau
memperbesar dosis levodopa dapat dicoba Karena fluktuasi “on-off” itu
tiba-tiba dan tak terduga, sering sukar untuk diobati.
2. Perubahan ke levodopa cair dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
fluktuasi berat karena lebih konsisten dan lebih terkontrol. Opsi ini
hanya diberikan pada pasien dengan motivasi tinggi dan bersedia
menerima pemberian dosis yang terlalu sering dan persiapan setiap hari.
Bila levodopa cair tidak tersedia maka dapat diusahakan dengan cara :
- Giling tablet 25/100mg bubuk carbidopa/levodopa lepas standar dan
2g asam ascorbat
- Larutkan bubuk tersebut dengan 1 liter air minum
- Berikan dalam dosis kecil dengan interval waktu 60-90 menit,
dititrasi respon yang muncul, dosis total perhari seharusnya sama
dengan yang diresepkan dalam formula resep biasa.

[2]. Deskinesia Fenomena “On Off”


Diskinesia adalah gejala yang terkait dengan penyakit dan obat. Gerak
distonia secara khusus dalam keadaan tanpa chorea sering dijumpai pada PD dan
dapat disebabkan oleh proses penyakitnya sendiri atau paling sering karena
kurangnya pengobatan. Diskinesia biasanya terjadi pada konsentrasi puncak dari
levodopa, meskipun kadang-kadang timbul selama respon interval “off” dan “on”.
Diskinesia yang diinduksi levodopa mungkin dapat diklasifikasikan dalam
tiga kategori utama :
1. Diskinesia difasik, stereotipik, gerakan berulang dari anggota gerak
bawah.
2. Diskinesia “off”, dicirikan oleh postur yang distonik terutama pada kaki.
3. Diskinesia “on”, diciri khas kan oleh chorea, mioklonus dan gerakan
distonia.
Diskinesia difasik (diskinesia-perbaikan-diskinesia) adalah sebuah variasi
dimana pasien mengalami diskinesia pada awal dan disaat akhir suatu pemberian
dosis levodopa, berhubungan dengan level levodopa sesuai peningkatan dan
penurunan dosisnya. Distonia”off”, terutama distonia anggota gerak bawah, sering
menjadi masalah paling utama ketika pasien bangun tidur di pagi hari. Mereka
mengalami gerakan distonik berputar pada satu kaki sepanjang hari, sehingga
cenderung sering tersandung.
Manajemen Diskinesia On-Off :
a. Pendekatan pertama dalam penatalaksaan dyskinesia dalah
penyederhanaan dosis rendah individual dari levodopa (dengan
peningkatan 25mg)
b. Penambahan agonis dopamin mungkin bisa menurunkan dosis levodopa
tanpa mengganggu kontrol gejala simptomatis (level C). Diskinesia
difasik mungkin membutuhkan regimen levodopa cair.
c. Amantadin (100 mg 2 kali sehari) cukup menguntungkan dalam
mengurangi gejala diskinesia dan fluktuasi motorik pada beberapa
laporan.
d. Pemberian clozapin dengan dosis rata-rata 39,4mg/hr mengurangi gejala
diskinesia (level C).

II.2.12 Prognosis
Sebelum adanya Levadopa sebagai terapi Parkinson’s Disease, penyakit ini
dapat menyebabkan kecacatan parah atau kematian pada 25% pasien dalam waktu
5 tahun sejak onset, 65% dalam 10 tahun, dan 89% dalam 15 tahun. Angka
kematian akibat Parkinson’s Disease adalah 3 kali lipat dari populasi umum yang
disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan asal ras. Dengan masuknya levodopa,
angka kematian turun sekitar 50%, dan umur panjang diperpanjang beberapa
tahun. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh efek simptomatik levodopa, karena
tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa levodopa merupakan akar dari
sifat progresif penyakit ini (Hauser RA et al, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Adams-Carr, K.L., Bestwick, J.P., Shribman, S., Lees, A., Schrag, A., Noyce,
A.J., 2015. Constipation preceding Parkinson’s disease: a systematic review
and meta-analysis. J Neurol Neurosurg Psychiatry, p. 1-7.
Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologis DUUS. Penerbit Buku
Kedokteran : EGC; 2012.
Bartels, A.L., Leenders, K.L., 2009. Parkinson’s disease: The syndrome, the
pathogenesis and pathophysiology. Cortex, Vol. 45 No. 8, p. 915-21.
Bellou, V., Belbasis, L., Tzoulaki, I., Evangelou, E., Ioannidis, J.P.A., 2016.
Enviromental risk factors and Parkinson’s disease: An umbrella review of
meta-analysis. Parkinsonism and Related Disorders, Vol. 23, p. 1-9
Blesa, J., Przedborski, S., 2014. Parkinson’s disease: animal models and
dopaminergic cell vulnerability. Frontiers in Neuroanatomy, Vol. 8 No. 155,
p. 1-12.
Brown, K., Johnston, D., Kinsella, J., McMilan, F., Qureshi, S., Sonthalia, V.,
Twaddle, S., 2010. Diagnosis and pharmacological management of
Parkinson’s disease: A national clinical guideline. Edinburgh: Scottish
Intercollegiate Guidelines Network.
Chalik Raimundus. Anatomi Fisiologi Manusia. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Anatomi-dan-Fisiologi-Manusia-
Komprehensif.pdf [2]
Chen, S-Y., Tsai. S-Z., 2010. The epidemiology of Parkinson’s Disease. Tzu Chi
Med J, Vol. 22 No. 2, p. 1-9.
Dietrichs, E. Odin, P. 2017. Algorithms for the treatment of motor problems in
Parkinson’s disease. Acta Neurol Scand. Vol. 136, p. 378–385.
de Lau, L.M.L., Breteler, M.M.B., 2006. Epidemiology of Parkinson’s disease.
Lancet Neurol, Vol. 5, p. 525-35.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 1:
Disease entity, risk factors, pathophysiology, clinical presentation, and
diagnosis. P&T, Vol. 40 No. 8, p. 504-10.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 2:
Introduction to the pharmacotherapy of Parkinson’s disease, with a focus on
the use of dopaminergic agents. P&T, Vol. 40 No. 9, p. 590-600.
DeMaagd, G., Philip, A., 2015. Parkinson’s disease and its management part 3:
Nondopaminegic and nonpharmacologic treatment options. P&T, Vol. 40
No. 10, p. 668-79.
Hauser Robert A et al. 2020. Parkinson Disease Treatment & Management.
Medscape. Available https://emedicine.medscape.com/article/1831191-
treatment#d1
Iacono, D., Geraci, E.M., Rabin, M.L., Adler, C.H., Serrano, G., Beach, T.G.,
Kurlan, R., 2015. Parkinson disease and incidental Lewy body disease: Just
a question of time? Neurology, Vol. 85 No. 19, p. 1670-9.
Jankovic Joseph, Tan Eng K. 2020. Parkinson’s disease: etiopathogenesis and
treatment. Neurol Neurosurg Psychiatry, Vol. 91, p. 795–808
Lin, C., Lin, J., Liu, Y., Chang, C., Wu, R., 2014. Risk of Parkinson’s disease
following severe constipation: A nationwide population- based cohort study.
Parkinsonism and Related Disorders, p. 1- 5.
Mark, M.H., 2010. Parkinson’s Disease Handbook: A Guide for Patients and
Their Families. New Jersey: American Parkinson Disease Association, Inc.
Mark, M.H., 2010. Parkinson’s Disease Handbook: A Guide for Patients and
Their Families. New Jersey: American Parkinson Disease Association, Inc.
National Institute of Neurological Disorders and Stroke., 2015. Parkinson’s
Disease: Challenge, Progress, and Promise. United State: National Institutes
of Health.
Noviani, E., Gunarto, U., Setyono, J., 2010. Hubungan Antara Merokok dengan
Parkinson’s Disease di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Mandala of Health, Vol. 4 No. 2, hlm. 81-86.
Noyce, A.J., Bestwick, J.P., Silveira-Moriyama, L., Hawkes, C.H., Giovannoni,
G., Lees, A.J., Schrag, A., 2012. Meta-Analysis of Early Nonmotor Features
and Risk Factors for Parkinson Disease. American Neurological Association
Neurol, Vol. 72 No. 6, p. 893-901.
Pagano Gennaro, Niccolini F., Politis M. 2016. Imaging in Parkinson’s disease.
Clinical Medicine. Vol 16 (4): p. 371–5.
Patel, T., Chang, F., 2014. Parkinson’s disease guidelines for pharmacists. Can
Pharm J (Ott), Vol. 147 No.5, p. 161-70.
Pirtosek Zvezdan, Bajenaru Ovidiu, et al., 2020. Update on the Management of
Parkinson’s Disease for General Neurologists. Hindawi,
Pringsheim, T., Jette, N., Frolkis, A., Steeves, T.D., 2014. The prevalence of
Parkinson’s disease: A systematic review and meta-analysis. Mov Disord,
Vol. 29 No. 13, p. 1583-90.
Schroder, S., Martus, P., Odin, P., Schaefer, M., 2011. Drug-related problems in
Parkinson’s disease: the role of community pharmacists in primary care. Int
J Clin Pharm, Vol. 33 No. 4, p. 674-82.
Seijo-Martinez, M., del Rio, M.C., Alvarez, J.R., Prado, R.S., Salgado, E.T.,
Esquete, J.P., Sobrido, M.J., 2011. Prevalence of parkinsonism and
Parkinson’s disease in the Arosa Island (Spain): A community-based door-
to-door survey. Journal of the Neurological Sciences, Vol. 304, p. 49-54.
Shahab, A., 2007. Clinical Features and Diagnosis of Parkinson Disease. Dalam:
Sjahrir, H., Nasution, D., Gofir, G. Parkinson’s Disease & Other Movement
Disorders. Pustaka Cedekia Press bekerjasama dengan Panitia “The
National Symposium of Parkinsons Disease & other movement disorders”
dan Departemen Neurologi FK USU Medan serta PERDOSSI Cabang
Medan.
Syamsudin, T., 2013. Parkinson’s Disease. Dalam: Buku Panduan Tatalaksana
Parkinson’s Disease dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi
Movement Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).
Taylor, K.S.M., Cook, J.A., Counsell, C.E., 2006. Heterogeneity in male to
female risk for Parkinson’s disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry, Vol. 78,
p. 905-12.
Ton, T.G.N., Heckbert, S.R., Longstreth Jr. W.T., Rossing, M.A., Kukull, W.A.,
Franklin, G.M., Swanson, P.D., Smith-Weller, T., Chekoway, H., 2007.
Calcium channel blockers and Beta-blockers in relatin to Parkinson’s
disease. Parkinsonism Relat Disord, Vol. 13 No. 3, p. 165-69.
Yang, F., Lagerros, Y.T., Bellocco, R., Adami, H., Fang, F., Pedersen, N.L.,
Wirdefeldt, K., 2015. Physical activity and risk of Parkinson’s disease in the
Swedish National March Cohort. Brain, Vol. 138, p. 269-75.
A. Basjirudin. 2011. Manajemen dari Penyakit Parkinson yang Lanjut.
Universitas Andalasan. Padang

Anda mungkin juga menyukai