Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

SPACE OCCUPYING LESSION

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto

Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Dini Adriani Sp.S

Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN VETERAN JAKARTA
Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto
Periode 7 Desember – 26 Desember 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus:
“SPACE OCCUPYING LESSION”

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen


Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto

Disusun Oleh:
Leilevina Mega S 1820221154

Telah disetujui pada tanggal…........................................oleh:

Pembimbing,

(dr. Dini Adriani, Sp.S)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UPN Veteran Jakarta di RS Bhayangkara Tk. 1 R. Said Sukanto. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada dr. Dini Adriani selaku pembimbing laporan
kasus ini dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama kepaniteraan.
Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terima kasih
atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, 11 Desember 2020

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. AZ
Usia : 37 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tangal Lahir : 24 Agustus 1983
Alamat : Jl. H Yamen RT 01/01 No.54
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : BRIPKA
Agama : Islam
Status : Kawin
Pembayaran : BPJS Kesehatan – Polri
Tanggal Masuk : 29 November 2020
Tanggal Periksa : 8 Desember 2020
Ruang Rawat : ECU Kelas II
No RM : 2020110028**

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 8
Desember 2020 pukul 13.30 WIB di ECU Kelas II, RS Bhayangkara Tk. I R. Said
Sukanto, Kramat Jati.
.
Keluhan Utama:
Pasien merasakan keluhan pengelihatan tampak buram dan gelap

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli mata pada tanggal 01 November 2020 dengan keluhan
gangguan pengelihatan mata kanan dan kiri, seperti tampak buram dan gelap
mendadak. Keluhan gangguan pengelihatan tersebut tidak disertai dengan mata
merah, gangguan visus, ataupun adanya tekanan pada bola mata. Namun pasien
mengeluhkan adanya nyeri kepala berdenyut yang muncul tiba-tiba. Keluhan
seperti mual muntah, telinga berdenging, gangguan keseimbangan, dan gangguan
penciuman tidak dirasakan oleh pasien. Keluhan gangguan pengelihatan ini sudah
dirasakan pasien sejak tahun 2016 dan keluhan semakin parah sehingga
mengganggu aktivitas dan menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang oleh dokter spesialis
mata, didapatkan hasil pemeriksaan CT Scan Kepala dengan kontras didapatkan
hasil adanya kesan gambaran massa pada otak pasien (suspek craniofaringioma)
sehingga dokter spesialis mata merujuk pasien ke poli bedah saraf agar bisa
dilakukan tindakan lebih lanjut untuk massa tersebut.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Operasi Sebelumnya : disangkal.
b. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal.
c. Riwayat Hipertensi : disangkal.
d. Riwayat Penyakit Paru : disangkal
e. Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
b. Riwayat Diabetes Mellitus : ada
c. Riwayat Hipertensi : ada
d. Riwayat Penyakit Keganasan : disangkal
Riwayat Pengobatan
Tidak ada.

Riwayat Individu dan Sosial


Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak SMA, namun sudah mulai
berkurang sejak menikah. Pasien juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi minum
minuman beralkohol namun tidak dalam jumlah yang banyak.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : Baik.
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)
c. Vital Signs
Tekanan Darah :120/100 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Laju Pernapasan : 21 x/menit
Suhu : 36.2°C
d. Status Generalis
 Kepala
Bentuk normochepal, simetris, alopesia (-), trismus (-)
 Rambut
Warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
 Mata
Konjungtiva anemis (-/-), skera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-), pupil
refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor dengan diameter 4/4 mm,
sekret (-/-).
 Telinga
Othorrea (-/-), deformitas (-/-), discharge darah (-/-)
 Hidung
Napas cuping hidung (-/-), discharge darah (-/-), rhinorrhea (-/-)
 Mulut
Bibir sianosis (-/-), bibir kering (-), atrofi papil lidah (-/-), faring tidak
hiperemis, tonsil T1/T1.
 Leher
Deviasi trachea (-), Kaku Leher (-), KGB dan tiroid tidak teraba,
massa (-), nyeri (-), Range of motion (+)
 Thorax
a. Pulmo
 Inspeksi
Normochest, pergerakan simetris, ketinggalan gerak (-), tak
tampak retraksi interkostalis (-), jejas (-)
 Palpasi
Vokal fermitus paru kanan equal dengan paru kiri, krepitasi (-)
 Perkusi
Sonor pada seluruh lapang paru,
 Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
b. Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak, tidak ada jejas
 Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, kuat angkat (+)
 Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC III LPSD
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V Linea
Axillaris Anterior
Sinistra
 Auskultasi : BJ SI dan SII regular, murmur (-)
 Abdomen
Simetris, Membuncit, Jejas (-), BU (+) menurun, hepatomegali (-),
shifting dullness (-), Nyeri (-)
 Ekstremitas
Tidak ditemukan edema, akral hangat, CRT (capillary refill time) > 2
detik, Sianosis (-)
e. Status Neurologis
1) PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI LUHUR
1. Tingkat Kesadaran
Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif : GCS E4M6V5 Skor 15
2. Pemeriksaan Orientasi
Orientasi Orang : Baik
Orientasi Tempat : Baik
Orientasi Waktu : Baik
3. Pemeriksaan Fungsi Luhur Pemeriksaan Afasia :

Kelancaran bicara pasien Baik


Pemahaman bahasa lisan Baik
Kemampuan repetisi Baik
Kemampuan menamai benda Baik
Kemampuan membaca Tidak dinilai
Kemampuan menulis Tidak dinilai

4. Pemeriksaan Apraksia: tidak dilakukan pemeriksaan


5. Pemeriksaan Agnosia : tidak dilakukan pemeriksaan
6. Pemeriksaan Memori :

Memori segera baik


Memori baru (jangka pendek) baik
Kemampuan mempelajari hal baru Tidak dilakukan
Memori visual Tidak dilakukan
2) PEMERIKSAAN SARAF OTAK (NERVUS CRANIALIS)

N.I Tidak dilakukan (pasien menggunakan


masker)
N.II Dextra: Visus 1/∞ , buta warna tidak dapat
dinilai, lapang pandang : menyempit total
Sinistra: Visus 1/60, tidak buta warna, lapang
pandang : menyempit sebagaian
N.III, N.IV, Dextra: pupil isokor 4mm, reflex langsung &
N.VI tidak langsung (+/+), gerakan bola mata baik
Sinistra: pupil isokor 4mm, reflex langsung &
tidak langsung (+/+), gerakan bola mata baik
N.V Dextra: Motorik baik, sensorik baik
Sinistra: Motoric baik, sensorik baik
N.VII Dextra: dapat mengangkat alis, menutup mata
rapat, meringis tidak dinilai
Sinistra: dapat mengangkat alis, menutup mata
rapat, meringis tidak dinilai
N.VIII Dextra: Vestibular baik, Cochlear tidak dapat
dinilai
Sinistra: Vestibular baik, Cochlear tidak dapat
dinilai
N.IX, N.X Tidak dilakukan pemeriksaan
N.XI Dextra: M. Sternocelidomastoideus (+), M.
Trapezius (+)
Sinistra: M. Sternocelidomastoideus (+), M.
Trapezius (+)
N.XII Tidak dilakukan pemeriksaan

3) PEMERIKSAAN TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kaku Kuduk Negatif
Kernig Negatif
Brudzinski I Negatif
Brudzinski II Negatif
Laseque Negatif

4) PEMERIKSAAN SENSORIK

WAJAH
+/+
EKSTREMITAS ATAS
Sensasi taktil (raba) +/+
Sensasi nyeri superfisial +/+
Sensasi suhu Tidak
Dilakukan
Sensasi gerak dan posisi +/+
Sensasi getar Tidak
dilakukan
Sensasi tekan +/+
EKSTREMITAS BAWAH
Sensasi taktil (raba) +/+
Sensasi nyeri superfisial +/+
Sensasi suhu Tidak
dilakukan
Sensasi gerak dan posisi +/+
Sensasi getar Tidak
dilakukan
Sensasi tekan +/+

5) PEMERIKSAAN MOTORIK
EKSTREMITAS ATAS
Atrofi Tonus otot Tidak ada atrofi
Kekuatan motorik Normotoni / Normotono
5555 / 5555
EKSTREMITAS BAWAH
Atrofi Tonus otot Tidak ada atrofi
Kekuatan motorik Normotoni / Normotoni
5555 / 5555

6) PEMERIKSAAN REFLEKS
1) Refleks Fisiologis

EKSTREMITAS ATAS
Refleks Biceps +2 / +2
Refleks Triceps +2 / +2
EKSTREMITAS BAWAH
Refleks Patellar +2 / +2
Refleks Achilles +2 / +2

2) Refleks Patologis
EKSTREMITAS ATAS
Refleks Hoffman-Tromner - / -
EKSTREMITAS BAWAH
Refleks Babinski -/-
Refleks Chaddock -/-
Refleks Gordon -/-
Refleks Schaeffer -/-
Refleks Oppenheim -/-

7) PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF OTONOM


-BAB Normal
-BAK Normal
1.4 DIAGNOSIS KERJA
Susp. Craniofaringioma
Anopia homonim dextra, Hemianopia bitemporal sinistra ec SOL

1.5 RENCANA DIAGNOSIS


1. Pemeriksaan laboratorium darah (darah perifer lengkap, elektrolit, gula
darah sewaktu, ureum, kreatinin, hemostasis, profil lipid)
2. Pemeriksaan labolatorium hormon prolactin, ACTH, hormon
pertumbuhan
3. Pemeriksaan rontgen thorax AP/Lateral
4. Pemeriksaan CT Scan Kepala dengan kontras
5. Pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras

1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
a. Hasil Pemeriksaan Lab di RS Polri 4 Desember 2020 Pukul 10.34
WIB
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.300 g/dl 13.0 – 16.0
Leukosit 9.480/UI 5.000-10.000
Hematokrit 28% 40.0-48.0
Trombosit 319.000/Ul 150.000-400.000
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 2 182 mg/dl <140.000
jam Post Pradial

2. Pemeriksaan Laboratorium Hormon


Hasil pemeriksaan lab di RS Polri 4 Desember 2020 pukul 10.35 WIB
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Free Thyroxine (fT4) 0.65 ng/dl 0.80 – 2.00
Total
Thiodothyronine (T3) 0.55 ng/ml Hypothyroid : <0.8
Euthyroid : 0.8-1.9
Hyperthyroid : >
1.9
TSH-5 1.02 uIU/ml < 3 hr = 0.68-29
4-30 hr = 0.51-11
2-12 bulan = 0.55-
6,7
1-6 th = 0.45-3.6
7-12 th = 0.61-5.2
>12 th = 0.36-4.7

3. Pemeriksaan rontgen thorax AP/Lateral


Hasil pemeriksaan rontgen thorax di Radiologi RS Polri 18 November
2020
Expertise :
Kesan :
- Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru saat ini

4. Pemeriksaan CT Scan Kepala dengan kontras


Hasil pemeriksaan CT Scan Kepala dengan kontras di Radiologi RS Polri
03 Desember 2020
Expertise :
Kesan :
- Tampak gambaran massa solid hiperdens pada intra dan supra sella
ukuran 4,15 x 3,49 x 3,76 cm disertai lesi hipodens pada basal frontal
kanan kiri dengan pemberian kontras tampak penyengatan
- Massa tampak menekan ventrikel 3 dan infiltrasi ke ciasma optikum
- Tak tampak deviasi midline
- Dilatasi system ventrikel kanan kiri
- Sulci/gyri merapat
- Tak tampak gambaran massa solid atau cystic pada cella / paracella
- Orbita/aircell mastoid kanan-kiri normal
- Tulang-tulang normal

5. Pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras


Hasil pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras di Radiologi RS Polri
03 Desember 2020
Expertise :
Kesan :
- Tak tampak lesi hipo-hiper dens abnormal pada parenkim otak
- Tak tampak deviasi midline
- System ventrikel normal
- Sulci/gyri normal

1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis Neurologis
Diagnosis Klinis : Anopia homonim dextra, Hemianopia
bitemporal sinistra.
Diagnosis Topis : Kompresi pada kiasma optikus dengan dominasi
mengenai nervus II (optikus) dextra
Diagnosis Etiologis : SOL ec Susp Craniofaringioma dd/ Tumor
Adenoma Hipofisis

Diagnosis Tambahan
-

1.8 PLANNING
1) IVFD NaCl 20 tpm
2) Dexametason 2 x 0,5 mg
3) Mecobalamin 3x500 mcg
4) Operatif : Pembedahan dan biopsy

1.9 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia
Ad Sanationam : dubia
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan
II.1.1 Anatomi Otak
Otak adalah organ yang sangat kompleks. Terdiri dari 100 miliar neuron dan
prosesus neuronal dan sinapsis tak terhitung jumlahnya. Otak terdiri dari empat
komponen utama: otak besar (serebrum), otak kecil (serebelum), diensefalon, dan
batang otak (brainstem). Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat
tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah jantung.1
A. Serebrum (Otak besar) berfungsi mengontrol persepsi sadar, pikiran, dan
aktivitas motorik sadar; bisa mengabaikan kebanyakan sistem lainnya.
Mengontrol aktivitas otot dan postur; umumnya menghambat gerakan
yang tidak disengaja saat istirahat.
Terdiri dari 4 lobus, antara lain : Lobus frontal, lobus pariental, lobus
oksipital, dan lobus temporal.
B. Diencephalon terdiri dari epithalamus, dorsal thalamus, dan hipotalamus
dan membentuk inti pusat otak. Memiliki fungsi menghubungkan batang
otak ke otak besar; memiliki banyak fungsi pengiriman impuls dan
homeostasis, seperti yang tercantum di bawah setiap subdivisi.
- Talamus : Pusat pengiriman impuls sensorik utama. Menerima dan
menyampaikan impuls saraf sensorik (kecuali bau) ke otak dan
impuls saraf motorik ke pusat otak yang lebih rendah.
- Hipotalamus : Mempengaruhi mood dan gerakan, memberikan
kesadaran penuh terhadap nyeri, sentuhan, tekanan, dan suhu.
Hipotalamus juga berfungsi sebagai pusat integrasi utama dari sistem
saraf otonom. Sehingga memiliki fungsi untuk mengatur suhu tubuh
(termoregulator), asupan makanan, keseimbangan air dan mineral,
denyut jantung dan tekanan darah rasa haus, lapar, pengeluaran urin,
dan respon seksual. Mempengaruhi perilaku dan emosi. Terlibat
dalam siklus tidur-bangun dan emosi kemarahan dan ketakutan.
Hipotalamus juga mengatur fungsi dari kelenjar hipofisis.
- Epitalamus : Mengandung inti yang merespon terhadap stimulasi
penciuman dan mengandung kelenjar pineal yang memproduksi
hormone melatonin.
C. Otak tengah, bagian rostral batang otak, terletak di persimpangan fossa
kranial tengah dan posterior. CN III dan IV berhubungan dengan otak
tengah. Mengandung traktur saraf asending dan desending;
mengirimkan impuls saraf sensorik dari sumsum tulang belakang ke
talamus dan impuls saraf motorik dari otak ke sumsum tulang belakang.
Mengandung pusat refleks yang mrnggrrakkan bola mata, kepala, dan
leher dalam menanggapi rangsangan visual dan pendengaran.
D. Pons adalah bagian dari batang otak antara otak tengah rostral dan
medula oblongata kaudal; itu terletak di bagian anterior fossa kranial
posterior. CN V dikaitkan dengan pons. Mengandung traktus saraf
asending dan desending; menyampaikan informasi dari otak besar
(serebrum) dan otak kecil (serebelum); pusat refleks; membantu medula
dalam mengontrol pernapasan.
E. Medula oblongata (medulla) adalah subdivisi paling kaudal dari batang
otak yang bersambung dengan sumsum tulang belakang; itu terletak di
fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII berhubungan dengan medula,
sedangkan CN VI-VIII berhubungan dengan sambungan pons dan
medula. Jalur untuk traktus saraf asending dan desending; pusat untuk
beberapa refleks penting (misalnya, denyut jantung dan kekuatan
kontraksi, diameter pembuluh darah, pernapasan, menelan, muntah,
batuk, bersin, dan cegukan)
F. Otak kecil berfungsi mengontrol gerakan otot dan tonus; mengatur
keseimbangan dan postur yang tepat; mengatur tingkat gerakan yang
disengaja; terlibat dalam keterampilan pembelajaran motorik.
Berkontribusi terhadap perencanaan, pemrograman. massa otak besar
yang terletak di posterior pons dan medula dan inferior ke bagian
posterior serebrum.1 Itu terletak di bawah tentorium cerebelli di fossa
kranial posterior. Ini terdiri dari dua belahan lateral yang disatukan oleh
bagian tengah yang sempit, vermis.2

Gambar 1. Anatomi Otak


Sumber : Chalik, 20161

II.1.2 Nervus optikus, Khiasma Optikum, dan Traktus Optikus


Saat sel-sel bipolar retina menerima input ke dendritnya dari sel batang dan
kerucut dan menghantarkan impuls lebih jauh kea rah sentral ke laposan sel
ganglion. Akson Panjang sel ganglion akan meleewati papilla optika dan
meninggalkan mata sebagai nervus optikus, yang mengandung sekitar 1 juta
serabut. Separuh serabut ini menyilang di khiasma optikus, serabut dari separuh
bagian temporal masing-masing retina tidak menyilang, sedangkan serabut yang
berasal dari separuh bagian nasal retina menyilang ke sisi kontralateral.3
Sehingga, pada bagian distal (posterior) khiasma optikum, serabut dari
separuh bagian temporal retina ipsilateral dan separuh bagian nasal retina
kontralateral akan bergabung di dalam tractus optikus.3
Beberapa kelompok serabut nervus optikus bercabang ke tractus optikus dan
berjalan ke kolikulus superior dan ke nuclei di area pretektalis. Serabut-serabut ini
mengandung aferen dari berbagai refleks visual.3
Gambar 2 Nervus Optikus dan Jaras visual
Sumber : Baehr & Frotscher, 20123
Gambar 3 Pola Defek Lapang Pandang
Sumber : Estisari et al, 20184

II.1.3 Tekanan Intrakranial


Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyai tingkat metabolisme
tinggi, hanya dengan berat kurang dari 2% dari berat badan, memerlukan 15%
kardiak output dan menyita 20% oksigen yang beredar ditubuh, serta
membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh. Pada keadaan emergensi
dan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan bahan-bahan metabolism tersebut.
Dengan demikian apabila suplai bahan-bahan untuk metabolisme otak terganggu
tentunya akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat
berakibat kematian dan kerusakan permanen.5
Ruang didalam kepala dibatasi oleh struktur yang kaku, semua
kompartemen intrakranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini dikarenakan
volume intrakranial yang konstan (Hukum Monro-Kellie). Oleh karena itu bila
terdapat kelainan pada salah satu isi yang mempengaruhi peningkatan volume
didalamnya akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial setelah batas
kompensasi (compliance) terlewati. 5
Tekanan intrakranial normal berkisar pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai
kurang dari 15 mmHg untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20
mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai
hipertensi intrakranial. Efek peningkatan tekanan intrakranial sangatlah kompleks,
oleh karena itu perlu penanganan segera agar penderita tidak jatuh dalam keadaan
yang lebih buruk. Berdasarkan kejadian yang ada, hampir 36% penderita dengan
cedera otak yang disertai koma, datang dalam keadaan hipoksia dan gagal nafas
yang membutuhkan ventilator mekanik.5

II.2 Space Occupying Lession


II.2.1 Definisi
Intra-Cranial Space Occupying Lession (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lession intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses.6 SOL
memberikan tanda dan gejala akibat tekanan intrakranial, intracranial shift, atau
herniasi otak, sehingga dapat mengakibatkan ‘brain death’.7
Tumor intrakranial menyebabkan timbulnya gangguan neurologic progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak disebabkan oleh gangguan fokal akibat
tumor dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila
terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat
tekanan tumor menyebabkan nekrosis jaringan otak dan bermanifestasi sebagai
hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang merupakan manifestasi aktivitas
listrik abnormal yang dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai
darah ke jaringan otak. Beberapa tumor juga menekan parenkim otak sekitarnya
sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.7

II.2.2 Epidemiologi
Di antara Intra-Cranial Space Occupying Lession (ICSOL), tuberkuloma
sangat umum di negara berkembang tetapi di negara maju neoplasma serebral
lebih sering terjadi. Sebuah studi yang dilakukan oleh departemen Neuropatologi,
institut ilmu neurologi, Glasgow, di antara 2,7 juta populasi selama 5 tahun
menunjukkan kejadian astrositoma anaplastik 40%, meningioma 15%, metastasis
12%, astrositoma 8% dan adenoma hipofisis 4% pada orang dewasa. Di antara
tumor infratentorial, schwanoma adalah yang paling umum (6%). Kejadian SOL
yang disebabkan oleh metastasis adalah 4% sehingga menjadi yang paling umum
kedua.6

II.2.3 Klasifikasi dan Etiologi


Penyebab dari ICSOL dapat dibagi menjadi 2 yaitu6 :
 Lesi Neoplastik
1. Astrocytoma
2. Meningioma
3. Schwanoma
4. Arterio-venous malformation
5. Pituitary adenoma
6. Metastatic tumors
 Lesi Non-Neoplastik
1. Intracerebral haemorrage
2. Infective causes  tuberculoma

II.2.4 Patofisiologi
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika
terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian
yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya
kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis
lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat
kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada
massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dan
menimbulkan manifestasi klinis.5
II.2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda umum biasanya disebabkan oleh meningkatnya TIK,
infiltrasi difus dari massa neoplasma, oedema serebri, atau hidrosefalus.
Gambaran klinis umum yang lebih sering terlihat adalah nyeri kepala, muntah,
kejang, perubahan status mental. Tanda klinisnya berupa oedema pada papil
nervus optikus (N.II).8
Durasi gejala klinis ditentukan oleh antara lain letak atau topis neoplasma.
Neoplasma pada lobus temporal anterior atau lobus frontal anterior dapat tumbuh
tanpa diketahui hingga mencapai ukuran cukup besar untuk menyebabkan gejala
umum sebagai gambaran awal. Neoplasma pada fossa posterior atau lobus frontal,
parietal, dan oksipital dapat menyebabkan gejala-gejala fokal sebelum terjadi
disfungsi umum.8
II.2.6 Diagnosa
Diagnosis neoplasma intrakranial ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan
patologi anatomi. Pemeriksaan klinis kadang sulit menegakkan diagnosa
neoplasma intrakranial karena gejala klinis yang ditemukan tergantung dari topis
neoplasma intrakranial, kecepatan pertumbuhan massa neoplasma intrakranial dan
cepatnya timbul gejala peningkatan TIK serta efek massa neoplasma intrakranial
ke jaringan otak yang dapat menyebabkan kompresi, invasi dan destruksi dari
jaringan otak.8
A. Computed Tomography scan (CT scan)
Pemeriksaan ini kini menjadi prosedur diagnostik yang paling
penting pada pasien yang diduga menderita neoplasma intrakranial. CT
scan tidak hanya dapat mendeteksi adanya neoplasma intrakranial tetapi
juga dapat mengungkap perbedaan antara jenis neoplasma yang satu
dengan yang lain, karena masing-masing jenis neoplasma intrakranial
mempunyai karakteristik tertentu pada gambaran CT scan.
Kelebihan CT-Scan adalah relatif mudah, sederhana, non invasif,
tidak berbahaya, waktu pemeriksaan lebih singkat, meliputi penilaian
adakah tanda proses desak ruang berupa pergeseran struktur garis tengah
otak, maupun penekanan dan perubahan bentuk ventrikel otak, adakah
kelainan densitas pada lesi berupa hipodens, hiperdens atau kombinasi,
kalsifikasi maupun perdarahan, serta adakah oedema perifokal.
Kekurangan CT scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa
neoplasma yang kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang
kranium (misalnya adenoma hipofisis, neurinoma akustikus), dan massa
pada batang otak.8
B. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini lebih sensitif dalam mendeteksi massa yang
berukuran kecil, memberikan visualisasi yang lebih detail terutama untuk
daerah basis kranium, batang otak, dan fossa posterior. MRI juga lebih
baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan, kistik, atau massa
padat jaringan neoplasma intrakranial. Penggunaan kontras gadolinium
akan memperjelas gambaran lesi massa. MRI dengan kontras ini perlu
diperhatikan biaya yang relative mahal dibandingkan dengan CT-Scan
dengan kontras.8

II.2.7 Tatalaksana
Secara umum penatalaksaan peningkatan tekanan intracranial bertujuan
untuk menghindari hipoksia (PaO2 < 60 mmHg) dengan mengoptimalkan
oksigenasi (Saturasi O2 >94% atau PaO2 >80 mmHg) dan menghindari hipotensi
(tekanan darah sistol ≤ 90 mmHg). Penatalaksaan tersebut antara lain.5
1. Mengatur posisi kepala lebih tinggi sekitar 30-45o, dengan tujuan
memperbaiki venous return
2. Mengusahakan tekanan darah yang optimal, tekanan darah yang sangat
tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah
terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan
menyebabkan edema dan peningkatan TIK.
3. Mencegah dan mengatasi kejang
4. Menghilangkan rasa cemas, agitasi dan nyeri
5. Menjaga suhu tubuh normal < 37,5oC. Hal ini disebabkan karena
adanya gejala kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat
metabolisme. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, di
lain pihak suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi
kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan
mengakibatkan peninggian TIK.
6. Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit. Hiponatremia akan
menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi
edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya
sel-sel neuron.
7. Hindari kondisi hiperglikemia
8. Pasang kateter vena sentral untuk memasukkan terapi hiperosmolar atau
vasoaktif jika diperlukan. MAP < 65 mmHg harus segera dikoreksi.
9. Atasi hipoksia. Pasien dengan kekurangan oksigen akan menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme
tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa
metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan
terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema otak dan
peningkatan TIK.
10. Pertahankan kondisi normokarbia (PaCO2 35 - 40 mmHg)
11. Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal
seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan yang
berlebihan.
Sedangkan penatalaksaan secara khusus, dilakukan dengan menyesuaikan
penyebab dari peningkatan tekanan intracranial tersebut.5
1. Mengurangi efek Massa
Pada kasus tertentu seperti hematom epidural, subdural maupun
perdarahan intraserebral spontan maupun traumatik serta tumor maupun
abses intrakranial tentunya akan menyebabkan peninggian TIK dengan
segala konsekuensinya. Sebagian dari kondisi tersebut memerlukan
tindakan pembedahan untuk mengurangi efek massa. Kraniektomi
dekompresi dapat dilakukan untuk peningkatan yang refrakter terhadap
terapi konservatif dan menunjukkan penurunan TIK mencapai 70%.
2. Sedasi dan/atau paralisis bila diperlukan, misalnya pada pasien agitasi,
atau terjadinya peningkatan TIK karena manuver tertentu seperti
memindahkan pasien ke meja CT scan. Paralitik dapat digunakan untuk
menurunkan TIK refrakter, tetapi beresiko terjadinya myopati/neuropati
dan dapat menyebabkan kejang.
3. Mengurangi volume cairan serebrospinal
- Mengurangi cairan serebrospinal biasanya dilakukan apabila
didapatkan hidrosefalus sebagai penyebab peningkatan TIK seperti
halnya pada infeksi meningitis atau kriptokokkus. Ada tiga cara yang
dapat dilakukan dalam hal ini yaitu : memasang kateter intraventrikel,
lumbal punksi, atau memasang kateter lumbal. Pemilihan metode yang
dipakai tergantung dari penyebab hidrosefalus atau ada/tidaknya
massa intrakranial.
- Pengaliran cairan serebrospinal dengan kateter lumbal dapat
dikerjakan apabila diyakini pada pemeriksaan imaging tidak
didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya
dipakai kateter silastik 16 G pada intradura daerah lumbal. Dengan
kateter ini disamping dapat mengeluarkan cairan serebrospinal, dapat
juga dipakai untuk mengukur TIK. Keuntungan lainnya adalah teknik
ini tidak terlalu sulit dan perawatan dapat dilakukan di luar ICU.
4. Mengoptimalkan CPP dengan menambahkan vasopressor dan /atau
cairan isotonik jika CPP < 60 mmHg.
5. Mengurangi volume darah intravascular
Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratorik akut, dan
perubahan pH sekitar pembuluh darah ini akan menyebabkan
vasokonstriksi dan tentunya akan mengurangi CBV sehingga akan
menurunkan TIK. Efek hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam
beberapa menit. Tindakan hiperventilasi merupakan tindakan yang
efektif dalam menangani krisis peningkatan TIK namun akan
menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan dalam
keadaan emergensi saja karena dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan resiko iskemik jaringan. Sehingga hanya dilakukan dalam
waktu jangka pendek hingga mencapai PaCO2 25-30 mmHg.
Hemodilusi dan anemia mempunyai efek yang menguntungkan
terhadap CBF dan penyampaian oksigen serebral. Hematokrit sekitar
30% (viskositas darah yang rendah) akan lebih berefek terhadap diameter
vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen, sehingga akan terjadi
vasokonstriksi dan akan mengurangi CBV dan TIK.
6. Terapi osmotic
Terapi osmotik menarik air ke ruang intravaskuler, baik mannitol
maupun salin hipertonik memiliki manfaat dalam menurunkan viskositas
darah dan menurunkan volume dan rigiditas sel darah merah.

II.2.8 Prognosis
Dengan penanganan yang baik maka persentase angka ketahahan hidup
diharapkan dapat meningkat. Angka ketahanan hidup sekitar 5 tahun berkisar 50-
60% dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30- 40%. Prognosis juga akan
berbeda karena tergantung pada tipe tumornya. Bila pasien sudah mengangkat
seluruh tumornya maka akan mempengaruhi (recurrens rates) atau angka residif
kembali. Hasil penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’ menunjukkan bahwa:
25% dari seluruh penderita tumor otak yang telah dilakukan reseksi total, sepuluh
tahun kemudian tumornya residif kembali, sedangkan pada penderita yang hanya
dilakukan reseksi subtotal, 61% yang residif kembali.7

II.3 Tumor Otak


II.3.1 Pendahuluan
Tumor otak dibedakan menjadi primer (50%), bisa sekunder (50%). Tumor
primer bisa timbul dari jaringan otak, meningen, hipofisis dan selaput mielin.
Tumor sekunder bisa berasal dari hampir semua tumor di tubuh, dengan kejadian
paling sering berasal dari tumor paru-paru pada pria dan tumor payudara pada
wanita. Tumor otak lebih sering mengenai pria daripada wanita, dengan
perbandingan 55:45, kecuali meningioma yang lebih sering timbul pada wanita
daripada pria dengan perbandingan 2:1.9
II.3.2 Klasifikasi
Samuel (1986) membagi tumor berdasarkan lokasi tumor, antara lain9 :
1. Tumor Supratentorial
a. Hemisfer otak :
 Glioma : Glioblastoma multiforme, astrositoma, oligodendroglioma
 Meningioma
 Tumor metastasis
b. Tumor struktur median :
 Adenoma hipofisis
 Tumor grandula pinealis
 Kraniofaringioma
2. Tumor Intratentorial
a. Schwannoma akustikus
b. Tumor metastasis
c. Meningioma
d. Hemangioblastoma
3. Tumor medulla Spinalis
a. Ekstradular : metastasis
b. Intradular
c. Ekstradular : Meningioma, Neurofibroma
d. Intramedular : Ependimoma, Astrositoma

II.3.3 Penyebab dan Faktor Risiko


Penyebab tumor masih sangat sedikit diketahui. Meningioma jarang
ditemukan pada wanita. Sedangkan neurofibroma, neurilemma dan glioma sering
dihubungkan dengan neurofibromatosis. Radiasi merupakan satu faktor yang bisa
menimbulkan tumor otak. Trauma, infeksi dan toksin masih belum dapat
dibuktikan sebagai penyebab timbulnya tumor otak. Namun bahan industry
tertentu seperti nitrosourea adalah salah satu karsinogen yang berpotensi
menyebabkan tumor. Limfoma sering ditemukan pada pasien dengan
imunosupresan seperti transplantasi ginjal, sumsum tulang dan pasien AIDS.9

II.3.4 Epidemiologi
Insidensi tumor intracranial berkisar 4,2-5,4 per 100.000 penduduk.
Tampaknya insidensi tumor cenderung naik dengan bertambahnya umur, namun
tidak diketahui secara pasti perbedaan insidensi menurut ras, tempat tinggal
ataupun iklim.9

II.3.5 Gambaran Klinik


Gambaran klinik yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor dan
peningkatan tekanan intracranial. Tanda penting dari tumor otak ialah adanya
gejala neurologic yang progresif. Progresivitas ini bergantung pada lokasi,
kecepatan pertumbuhan tumor dan edema di sekitarnya. Gambaran klinik
terpenting adalah sebagai berikut : 9
1. Kenaikan tekanan intracranial yang terdapat pada sebagian besar tumor
otak bisa menyebabkan selfagia, mual dan muntah. Nyeri kepala yang
muncul bisa terjadi secara berulang, sedangkan sebelumnya tidak
menderita sefalgia kronis, harus dicurigai adanya tumor otak. Edema
papil nervus optikus juga bisa ditemukan pada Sebagian kecil tumor otak,
jadi lebih banyak tumor otak tanpa edema papil.
2. Manifestasi klinik fokal seperti hemiparesis, afasia, dan gangguan visus
tergantung pada lokasi tumor dan edema otak disekitarnya. Tumor pada
silent region hanya memberikan gejala edema papil atau gangguan
mental.
3. Konvulsi fokal, konvulsi umum atau keduanya terdapat pada sepertiga
penderita tumor otak. Epilepsi dapat disebabkan oleh tumor
supratentorial dan lebih sering pada tumor dengan pertumbuhan lambat
4. Perdarahan pada tumor yang kaya akan pembuluh darah bisa disangka
sebagai GPDO. Pada Glioblastima multiforme, metastatis dari
kortikorsinoma, melanoma, dan karsinoma paru anaplastic sering terjadi
perdarahan spontan.9

Pada kasus tumor adenoma hipofisis, terdapat gangguan hormonal karena


tumor tersebut menyebabkan fungsi endokrin hopofisis menjadi terganggu.
Kelainan terberat adalah Panhipopituitarisme, atau hilangnya semua fungsi
hipofisis dengan bermanifestasi klinis seperti penurunan performa fisik,
penurunan berat badan, hilangnya libido, bradikardia, berkurangnya pigmentasi
kulit, kerontokan rambut aksila dan pubis, dan kadang diabetes insipidus.3
Namun bila neoplasma hanya timbul dari satu jenis sel lobus anterior
hipofisis akan menimbulkan gejala berupa kelebihan hormone yang sesuai. Jika
tumor tersebut cukup besar, maka akan terjadi efek massa suprasellar yang akan
menimbulkan gangguan lapang pandang yang khas (biasanya hemianopsia
bitemporal, akibat kompresi chiasma optikus).3
Bila sebagian besar adenoma hipofisis menyekresikan prolactin, maka akan
muncul gejala pada wanita seperti amenore sekunder, galaktore, dan yang lebih
jarang seperti hirsutisme. Sedangkan pada laki-laki akan muncul gejala impotensi,
ginekomastia, dan galaktore. Selain menyekresi hormone prolactin, adenoma
hipofisis juga dapat menyekresikan growth hormone dan ACTH berlebih,
sehingga bisa menimbulkan gejala seperti3 :
1. Growth hormone di sirkulasi > 5 ng/dl  menyebabkan terjadinya
akromegali : peningkatan pertumbuhan bagian akral rangka,
osteoporosis, hyperhidrosis, intoleransi glukosa, hipertensi,
kardiomiopati hipertrofik, goiter, neuropati kompresif, miopati
proksimal, gangguan tidur, dan gangguan neuropsikiatrik  Uji
diagnosis standar adalah test toleransi glukosa oral.
2. ACTH yang berlebih akan menyebabkan sindrom cushing : obesitas,
moon facies, intoleransi glukosa, hipertensi, edema, amenore, impotensi,
polyuria, miopati steroid, dan gangguan neuropsikiatrik  Uji diagnosa
adalah jumlah kortikosol dalam urin tampung 24 jam.

II.3.6 Diagnosa
Evaluasi diagnostic pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak
harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan neurologic yang teliti.9 :
1. Foto rontgen
Untuk diagnostic ini, sekurang-kurangnya diambil dari dua arah
(AP dan lateral). Pada peningkatan tekanan intracranial yang sudah lama,
akan muncul gambaran impressions digitate atau gambaran cranium yang
seperti “aspek berawan”. Pada anak dengan tumor otak, selain ada
gambaran aspek berawan juga bisa dijumpai pelebaran sutura. Pelebaran
fosa hipofisis dan destruksi tulang disebabkan oleh tumor hipofisis atau
tumor di sekitarnya.
2. Tomografi
Pemeriksaan ini memberikan gambaran yang lebih jelas, Sebagian
besar tumor akan terlihat seperti massa abnormal yang menggeser
struktur normal. Tumor bisa juga menyebabkan edema vasogenic yang
pada CT-Scan tampak lebih rendah densitasnya daripada jaringan normal
lainnya.

II.3.7 Diagnosa Banding


1. Peningkatan tekanan intracranial dapat disebabkan oleh hipertensi arterial,
meningitis kronis, dan hipertensi intrakranialis benigna.
2. Epilepsi lebih sering disebabkan oleh sikatriks epileptogenic seperti trauma
dan meningitis dimasa lalu
3. Defisit neurologic local yang progresif dapat membingungkan. Kadang-
kadang gejala yang timbul oleh atheroma karotis interna suka dibedakan
dengan tumor maligna hemisfer otak. Kadang-kadang pada tumor otak
dapat terjadi perdarahan spontan sehingga diduga sebagai GPDO
perdarahan.9

II.3.8 Penatalaksaan
- Pemberian kortikosteroid dan mannitol untuk edema otak
- Pembedahan
- Radioterapi
- Kemoterapi
Pemilihan jenis terapi tergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi
umum pasien, tersedianya alat diagnostic yang lengkap, tingkat pengertian
penderita dan keluarganya, luasnya metastasis dan sebagainya.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik Raimundus. Anatomi Fisiologi Manusia. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia; 2016. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Anatomi-dan-Fisiologi-Manusia-
Komprehensif.pdf [2]

2. Moore, K.L., & Dalley, A. F. Clincally Oriented Anatomy. Philadelphia,


Lippincott Williams & Wilkins. https://archive.org/stream/Moore/Moore
%20-%20Clinically%20Oriented%20Anatomy%207th%20Edition_djvu.txt

3. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologis DUUS. Penerbit Buku


Kedokteran : EGC; 2012.

4. Estiasari Riwanti, Tunjungsari Dyah, Samatra Dewa PGP. Pemeriksaan klinis


Neurologi Praktis Edisi Pertama. Kolegium Neurologi Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2018.

5. Amri Imtihanah. Pengelolaan peningkatan tekanan intrakranial. Medika


Tadulako. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2017;4[3]:1-17.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/download/
9288/7380

6. PK Datta, SR Sutradhar, NA Khan, MZ Hossain, SM Sumon, I Hasan, et al.


Clinical pattern of intra-cranial space occupying lesion in tertiary level
hospital. Journal of Dhaka Medical College, 2020;28[1]:17–22.
https://www.banglajol.info/index.php/JDMC/article/view/45751

7. Simamora SK, Zanariah Z. Space Occupying Lesion (SOL). Jurnal Medula,


2017;7[1]:68–73.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/749

8. Prabawani, A.T. Hubungan Tropis dan Volume Neoplasma Intrakranial Dengan


Lokasi dan Intensitas Nyeri Kepala. Universitas Diponegoro. Semarang.
2011. Hlm : 30-38. http://eprints.undip.ac.id/30683/3/Bab_2.pdf (2)

9. Harsono. Buku ajar neurologis klinis. Gadjah Mada University Press; 2015.

Anda mungkin juga menyukai