Anda di halaman 1dari 4

Apakah Bermimpi Perlu Etika?

First : Yes, I Have Dream!


Saat usia 15 tahun, membaca dan menonton serial Harry Potter adalah hal
membahagiakan bagi anak-anak. J.K. Rowling memperlihatkan kemampuan
terbang hanya dengan sebuah sapu, berbicara dengan binatang atau membuat orang
jatuh hati hanya dengan ramuan. Saat menontonnya, rasanya semua anak dibuat
ingin merasakan hal yang sama. Dahulu, proses bermimpi adalah perkara mudah.
Seiring bertambahnya usia, bermimpi menjadi hal yang sulit, baik karena
meragukan akhirnya, atau menduga kemustahilan selama prosesnya. Semakin
dewasa, berbagai penolakan dan kegagalan punya andil besar dalam proses
bermimpi dan mengambil keputusan. Lantas, apakah bermimpi tidak sebebas itu?
Apakah bermimpi saja perlu etika?
Satu bulan yang lalu saat bertugas sebagai dokter muda di Rumah Sakit
Pendidikan, aku bertemu seorang anak usia 10 tahun membeli jajanan di kantin
Rumah Sakit. Banyak dan beragam makanan yang ia ambil. Tapi kemudian
dikembalikan lagi yang sudah ia ambil dan hanya mengambil 2 jenis makanan.
“Kenapa dikembalikan lagi?” tanyaku menghampirinya.
“Iya dok, tadi itu saya yang pingin. Saya lupa, uang nya tidak cukup untuk
beli makan siang kalau jajan nya kebanyakan. Kasihan Ayah,” ungkapnya
sambil melangkahkan kaki menuju ruang hemodialysis menemani ayahnya.
Rasanya peristiwa itu mengingatkanku 7-8 tahun lalu, jangankan bisa
membeli makanan bergizi untuk Bapak yang sakit dan harus dialisa, bisa makan
siang saja sudah sangat beruntung. Rupanya aku dan anak kecil itu serupa. Memiliki
keadaan yang sulit, dan lahir dengan banyak ketidakberuntungan ekonomi.
Hidup ini memang tidak pernah ada rumusnya. Tapi untuk situasi ini, Pascal
punya rumus untuk membuktikan hukum alam. Energi besar hadir dari tekanan
yang besar pula. Jadi, setiap ujian dan “ketidakberuntungan” itulah, yang membuat
orang-orang seperti kami berani untuk bermimpi, dan memiliki alasan untuk
sekedar bertahan atau bahkan berjuang.
“Saya tidak berusaha supaya bisa menari lebih baik daripada orang lain.
Saya hanya berusaha menari lebih baik daripada diri saya”
– Mikhail Baryshnikov

Second : Stay Wise and Have Empathy


Ke mana pun kita memandang ke seluruh dunia, kita melihat pemimpin-
pemimpin cerdas-yang membuat keputusan buruk. Mereka tidak kekurangan IQ,
tapi kekurangan kebijaksanaan. Sangat sulit untuk memanfaatkan kebijaksanaan
diri, karena untuk melakukannya kita harus menunda banyak kepentingan dan
terhubung kembali dengan diri sendiri. Kembali pada “Mengapa dahulu aku
memulainya?”
Anna Huffington, CEO Huffington Post dengan kesuksesannya yang
melesat pada tahun 2005 mengawali perubahan pesat produktivitas dengan empati.
Hustle Culture yang membuatnya bekerja lebih dari 8 jam perhari membuat ia jatuh
pingsan dan harus dirawat di Rumah Sakit. Lantas dia mempertanyakan kembali,
“Apakah karyawanku juga mengalami penderitaan yang sama akan beban kerja
dibalik kesuksesannya?” Sejak saat itu, empati membuat nya mengambil keputusan
besar yaitu kembali menata jadwal kerja, mewajibkan setiap karyawan untuk
mengambil jatah cuti serta memperbesar tunjangan kesehatan. Lantas apa hasilnya?
Produktivitas perusahaan meningkat 14% hingga banyak start up besar di dunia
akhirnya meniru langkah perubahan Anna. Sejak saat itu, riset tentang budaya kerja
yang ideal mulai banyak dikembangkan.
Setelah mendapat musibah sakit dan dirawat serta harus berobat rutin, Anna
Huffington lantas tidak langsung mundur dari CEO. Justru ia bergerak dan berubah
menjadi lebih hebat. Aku kembali diyakinkan pada satu kesimpulan bahwa
ketidakberuntungan dan musibah di masa lalu bukanlah suatu hal yang buruk.
Justru itulah yang membuat ia kembali pada poses emosional “Mengapa aku
memulainya?” Maka, sudah sepantasnya kita bersyukur jika memiliki sebuah masa
kelam. Aku bersyukur, masih punya cerita dan alasan untuk kembali jika kelelahan
membuat kehilangan kebijaksanaan dan idealisme sebagai seorang dokter. Hidup
tanpa warisan, darah biru, atau kekayaan itu juga privilege. Semua berawal dari
empati bukan?

“Semakin kuat kita menekan senar biola, semakin sedikit kita merasakannya.
Semakin kencang kita bermain musik, semakin sedikit kita mendengarnya . . .
Jika saya ‘mencoba’ bermain, saya gagal; jika saya berlomba, saya terjatuh.
Satu-satunya jalan untuk jadi kuat adalah kerentanan”
– Stephen Nachmanovitch

Third : Make It Happen (Fidgetiness, Future, Fight)


Bermimpi saja tidak cukup untuk mengubah dunia. Mimpi bagaikan sebuah
kerangka yang membutuhkan komponen lain agar menjadi sebuah bangunan yang
utuh dan kokoh. Maka untuk mewujudkannya, kita memerlukan 3F (Fidgetiness-
Kegelisahan, Future-Pertimbangan Masa Depan, Fight-Perjuangan)
Fidgetiness [Kegelisahan] Banyak CEO hebat dan ilmuwan dunia berhasil
dengan pencapaiannya berawal dari kegelisahan. Tjokorda Sakawati gelisah akan
kemacetan dan menemukan system penyangga jalan layang yang diakui dunia. BJ.
Habibie gelisah akan kedirgantaraan Indonesia dan menemukan Crack Teory dan
Pesawat N-250 dan R80. Kenapa kegelisahan begitu penting? Karena apabila ada
kesulitan menerjang di tengah perjuangan, kita memiliki alasan untuk berdiri tegak
dan bertahan. Aku sadar bahwa saat itu, kegelisahan terbesarku adalah kesembuhan
ayah. Maka, memilih jalan menjadi seorang dokter merupakan sebuah pilihan.
Profesi ini berhubungan dengan nyawa seseorang. Tak ingin rasanya banyak anak
kehilangan ayah-ayah yang mereka sayangi, karena kebodohan dokternya.
Future [Masa Depan]. Transformasi digital di era 4.0 adalah pertimbangan
terbesar dalam bermimpi. Sebagian besar sumber daya manusia akan berubah
menjadi ter-otomatisasi. Segala sektor harus berusaha keras, agar gen Z di
Indonesia tidak memiliki gap yang terlalu besar. Saat ini Amerika dan Inggris telah
membuktikan keberhasilan microchip diabetes untuk menekan populasi pasien
diabetes yang selalu meningkat dan menjadi penyebab kematian terbesar.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menempati urutan ke-6 dari sepuluh
negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi, yang diprediksi akan meningkat
menjadi 16.7 juta pasien per tahun 2045. Kita terlalu sibuk mengobati hingga
kewalahan untuk mencari teknologi pencegahan lebih dari sekedar edukasi. Penting
bagi kami untuk melanjutkan studi abroad dan melihat dan mengaplikasikan sistem
teknologi kesehatan mereka.
Fight [Berjuang]. Tidak pernah ada keberhasilan yang bersifat instan. Untuk
bisa berjalan, kita harus jatuh beberapa kali bukan? lalu berusaha bangkit dan
berjalan lagi. Hingga akhirnya bahkan kita bisa berlari. Andai saja kita memutuskan
berhenti pada jatuh yang pertama. Berlari akan terasa seperti mimpi yang berat dan
jauh.
Menjadi seorang dokter membutuhkan 4 tahun pra- klinik, 2 tahun stase
klinik di RS Pendidikan, 1 tahun magang di daerah hingga kemudia ada gelar “dr”
di depan nama. Belum lagi, profesi spesialis yang membutuhkan 4 tahun.
Proses emosional masa lalu tentang ayah, sudah membawaku memiliki cita
untuk membangun sebuah klinik diabetes modern dengan fokus meningkatkan
kualitas hidup dan melakukan tindakan preventif lebih menyeluruh. Ya, inilah aku
dan mimpiku.

“Jika kamu gagal mempersiapkan, maka kamu sedang mempersiapkan


kegagalan”
– Benjamin Franklin

Anda mungkin juga menyukai