Anda di halaman 1dari 4

Nama : Haryanto

Kelas : XII IPS 1


Mapel : Bahasa Indonesia
Hari/Tanggal : Kamis, 14 Februari 2021

Artikel
Ditulis Oleh : Hendri Susanto

Pembelajaran Daring di Masa Pandemi:


Antara Kultur Akademis dan Krisis

Terhitung hampir sepuluh bulan lebih pandemi hadir di tengah-tengah masyarakat


Indonesia, membawa dampak yang signifikan di hampir seluruh aspek sosial, tak
terkecuali Pendidikan. Salah satunya adalah perubahan metode proses belajar dan
pembelajaran - dari pembelajaran konvensional face-to-face, menjadi pembelajaran
jarak jauh / daring - yang menuai banyak kritik dan kontroversi dalam pelaksanaannya.
Selain permasalahan teknis, mulai dari kesiapan sekolah dan siswa dalam melaksanakan
proses belajar secara daring / virtual, ketimpangan infrastruktur antara kota dan
desa, metode pembelajaran daring juga menjauhkan siswa dari tradisi akademik dan
esensi belajar, yang berpotensi menyebabkan kemunduran daya berfikir kritis siswa.

Situasi belajar dari rumah di masa pandemi yang kurang mendukung


Implementasi sosial di sektor Pendidikan yang tertuang pada Surat Edaran Kemdikbud
No. 36962/MPK.A/HK/2020, tentang Pembelajaran Secara Daring dan Bekerja dari
Rumah Untuk Mencegah Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), menuai
banyak perdebatan di kalangan masyarakat.
Belajar dari rumah dengan memaksimalkan teknologi seperti smartphone dan laptop
melalui platform berbayar Zoom hingga yang gratis seperti GMeet dianggap tidak begitu
efektif. Pasalnya, proses belajar dan pembelajaran lebih bertendensi pada
penugasan (assessment), ketimbang proses transfer dan interaksi mengolah
pengetahuan.
Hal ini memungkinkan siswa menelan mentah-mentah ilmu tanpa melalui proses analisa
dan pengayaan yang cukup mendalam. Situasi seperti ini tidak terjadi secara serta-merta,
melainkan didukung dengan terbatasnya waktu yang disediakan oleh platform
pertemuan virtual, tenggang waktu pengumpulan tugas yang cukup berdekatan, dan
komunikasi searah antara instruktur pengajar dengan siswa. Alhasil kesempatan siswa
untuk bertanya, mengolah, ataupun menyanggah terhadap materi yang diberikan
semakin menyempit.
Belum cukup sampai disitu, minimnya follow-up materi belajar juga seolah-olah hilang
dari proses belajar dan pembelajaran pada metode daring ini. Kondisi ini berpotensi
menempatkan siswa dalam posisi abu-abu yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi
tingkat keberhasilan dan capaian belajar siswa, dalam memahami sebuah kompetensi
dasar.
Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa asing - Bahasa Inggris khususnya
pada skill writing - mengajarkan 4 jenis teks; deskriptif, naratif, persuasif, dan ekspositor,
sangat tidak tepat dalam satu semester daring ini. Alih-alih memperkenalkan siswa
dengan konten tersebut secara detail dan menyeluruh, mengapa siswa tidak di bimbing
untuk belajar dengan materi yang lebih otentik dan relevan - menulis opini (misalnya).
Dengan begitu, pengalamam belajar dengan konteks yang riil dari skill tersebut dapat
dirasakan langsung oleh siswa. Melalui manajemen kelas yang baik, kemudian follow-
up dan revisi naskah tiap pertemuannya, serta feedback dari teman-teman sekelas,
proses belajar dan pembelajaran akan bisa menemukan kembali esensi nya - proses nya
ada, hasilnya juga ada, dan yang terpenting nyata.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, siswa tidak dapat berbuat banyak. Hal ini
disebabkan terbatasnya ruang dan kesempatan siswa untuk ikut berdiskusi,
mengusulkan, dan mempertanyakan sejauh mana materi bisa membantu
mengembangkan ranah kognitif mereka, sebagaimana yang terjadi pada kelas-
kelas konvensional. Bagi siswa yang kritis, pengalaman belajar seperti ini sangatlah tidak
relevan.
Memang distribusi materi dan kompetensi dasar telah ter-determinasikan sedemikian
rupa dalam Kurikulum Nasional, Silabus, maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Namun, dikala proses belajar dan pembelajaran tidak dapat dipantau secara
nyata khususnya pada situasi pandemi seperti ini, paling tidak materi yang diberikan
relevan dan dekat dengan realitas sosial.
Dinamika seperti ini sangat bertolak belakang dengan tradisi akademis selama ini
diantaranya, menanya, mendiskusikan, di dalamnya termasuk follow-up, hingga
menyanggah konsep atas Ilmu Pengetahuan. Alih-alih menerapkan konsep “High Order
Thinking Skills” HOTS atau berpikir tingkat tinggi, pelajar semacam dihadapkan dengan
dinding kebuntuan yang dapat menurunkan sisi kritis mereka.
Yang demikian, jelas tidak baik bagi masa depan produk lulusan satuan Pendidikan,
karena esensi belajar dan pembelajaran yang berangkat dari proses berpikir, terkikis
dengan dinamika metode belajar daring yang dilaksanakan selama masa pandemi ini.

Menyoal ketidakpastian pandemi dan kemunduran kultur akademis


Masyarakat Indonesia telah dihantui ketidakpastian sejak implementasi sosial terkait
penanganan pandemi pada “kapan sebenarnya masa-masa sulit akibat pandemi ini akan
berakhir.” Melihat berita yang ada di media masa, kita seolah-olah dibuat harus hidup
berdampingan dengan sesuatu yang sifatnya membahayakan serta mengancam
keselamatan.
Keadaan lain yang tak jauh menghawatirkan adalah, bagaimana kita mendapati
konstruksi teks/wacana/informasi/berita, yang terkonstruksi secara berulang-ulang dari
pusat hingga daerah. Konstruksi tersebut dibangun menggunakan pendekatan Bahasa
Politis setiap hari sehingga menyebabkan “common sense” atau kelumrahan di kalangan
masyarakat. Kelumrahan yang demikian berpotensi menghilangkan sisi kritis manusia -
akan pertanyaan-pertanyaan simpel namun mendasar terkait dengan informasi - karena
penerimaan yang wajar di masyarakat.
Wacana tersebut turut mempengaruhi bagaimana konsentrasi gerakan belajar yang
biasanya digelar di kampus-kampus, atau sudut-sudut ruangan kota, menjadi semakin
berkurang. Tidak ada lagi kegiatan ngopi alias ngobrol pintar di warung kopi, atau
sekretariat organisasi, membahas soal pandemi (misalnya).
Di sisi lain aktifitas ekonomi ekstraktif terus dijalankan. Pertambangan, industri, dan lain
sebagainya, harus terus beroprasi demi menopang sektor ekonomi. Jika yang menjadi
soal adalah kerumunannya, lantas apa yang membedakan kerumunan di ruang-ruang
intelektual dengan kerumunan di ruang-ruang pekerjaan? Dalih yang demikian, dan
kelumrahan yang diciptakan, adalah sebaik-baiknya sirine kemunduran di bidang
Pendidikan.
Kondisi tersebut sangat berpotensi mengakibatkan kelesuan dalam dunia akademis,
karena ruang-ruang untuk berfikir kritis nyaris tertutup habis. Tentu masih terdapat
alternatif untuk menyiasati keterbatasan dengan menggunakan platform
pertemuan virtual agar dapat tetap menggelar kegiatan-kegiatan intelektual. Namun,
tendensi persoalan kembali pada soal kerumunan. Mengapa yang itu boleh, dan yang ini
tidak boleh.
Kebijakan pemerintah guna memutus rantai penyebaran virus corona, telah menemui titik
jenuh yang mengundang sejuta tanya di setiap benak masyarakat Indonesia. Memang
saat ini seluruh dunia sedang mengalami kesulitan yang sama, namun tingkat capaian
dan penanganan setiap Negara, tentulah berbeda-beda.
Harapannya, institusi Pendidikan dan Pemerintah di sektor pemerataan pembangunan
dapat membenahi dan lebih mempersiapkan kembali masyarakat, terkait dengan
metode belajar dan pembelajaran secara daring, dengan tanpa mengurangi esensi, dan
objektif belajar dan pembelajaran seperti pada metode pembelajaran konvensional.
Dengan demikian, menjadi penting agar Kemendikbud, Koordinator Nasional Jaringan
Pemantau Pendidikan (JPPI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), dan khususnya
Pemerintah Indonesia, untuk duduk bersama membahas bagaimana alternatif dan
solusi terbaik dari pandemi yang tak kunjung berkesudahan, serta ancaman krisis dari
kemunduran kultur akademis

Anda mungkin juga menyukai