Anda di halaman 1dari 3

A.

Sejarah Perkembangan Penelitian Kesuburan Tanah

Setelah tahun berganti tahun, maka suatu saat mulailah manusia meninggalkan pola hidup
berpindah dan mulai menetap pada suatu tempat. Keluarga-keluarga, clan-clan, dan kampung-kampung
berkembang dan bersamaan dengan perkembangan ini mulailah mereka mencoba bercocok tanam,
yang akhirnya kita sebut sebagai pertanian (agriculture).

Telah lama disepakati, bahwa salah satu daerah di permukaan bumi yang memperlihatkan
permukaan perkembangan civiliasi ialah Mesopotamia, terletak di antara sungai-sungai Tigris dan
Euphrat yang sekarang kita kenal dengan nama Irak. Dicatat kira-kira 2500 tahun sebelum masehi
daerah ini sangat makmur penduduknya, tanah cukup subur dan dilaporkan setiap satu biji tanaman
yang ditanamkan pada tanah ini memberikan hasil panen antara 86 hingga 300 biji. Dua ribu tahun
kemudian daerah ini pernah dikunjungi oleh Herodotus, seorang ahli sejarah bangsa Yunani dan
melaporkan kemakmuran petani di daerah itu dengan produksi tanaman yang tertinggi. Tingginya
produksi ini mungkin disebabkan rakyat petani telah mengenal irigasi di samping tanahnya sendiri
memang subur akibat endapan berasal dari banjir tahunan sungai-sungai di sekitarnya. Tahun 300
sebelum Masehi Theoprastus menulis tentang daerah ini dan melaporkan kesuburan tanah aluvial
sungai Tigris dibentuk dari endapan debu yang berasal dari genangan sungai yang kadang-kadang cukup
lama.

Pada suatu saat manusia itu mempelajari suatu kenyataan di lapangan, bahwa suatu tanah tang
ditanami terus-menerus suatu saat akan menghasilkan produksi yang tidak lagi memuaskan. Usaha
penambahan pupuk kandang ataupun pupuk hijau ke tanah ini untuk perbaikan kesuburan tanahnya,
sebenarnya berkembang sebagai akibat hal tersebut di atas tadi, tetapi bagaimana dan kapan mulainya
pemberian atau pemakaian bahan organik itu hingga kini belum diketahui. Xenophon yang hidup antara
tahun 434-355 SM melaporkan, bahwa suatu usaha perkebunan akan mengalami kegagalan kalau dalam
usaha pertaniannya itu pupuk kandang sama sekali tidak dilibatkan. Xenophon menganggap tidak ada
sesuatunya sebaik pupuk kandang.

Theophrastus (372-287 SM) merekomendasikan pemakaian bahan kompos sebanyak-banyaknya


untuk memupuk tanah yang tidak subur. Sebaliknya ia menganjurkan agar hati-hati dalam penggunaan
kompos terhadap tanah yang subur. Beliau juga menasihatkan perlunya pembuatan lobang
penampungan kotoran dan air seni binatang yang jika disimpan lama, lambat laun bahan ini meningkat
mutunya. Theophrastus pulalah yang mula-mula berpendapat, bahwa tetumbuhan yang memerlukan
makanan yang banyak membutuhkan pula sejumlah air yang banyak. Kebun buahan maupun sayuran di
sekitar kota Athena dipersubur tanahnya dengan penggunaan sampah kota. Pada saat itu sistem kanal di
tengah kota telah dikenal dan ada bukti bahwa aliran air dan kotoran di kanal itu diberi sistem pengatur
untuk mendapatkan output yang berguna bagi pertanian sekitarnya. Pada saat itu petani telah pula
menggunakan air yang mengandung pupuk kandang terlarut di dalamnya untuk memupuk tanaman
anggur. Pupuk kandang (manure) diklassifikasikan menurut kesuburannya atau konsentrasinya.
Theophrastus misalnya membuat suatu deretan pupuk kandang yang berkurang nilainya sebagai
berikut: manusia, babi, kambing, biri-biri, lembu betina, lembu jantan dan kuda.
Belakangan Varro, penulis pemula mengenai pertanian di zaman Romawi, melaporkan hal yang
sama, tetapi menempatkan kotoran ayam dan burung lebih subur dibandingkan dengan tinja manusia.
Columella menganjurkan agar lembu diberi makan “snail clover” (sejenis tanaman kacangan dari genus
Trifolium), oleh karena beliau menganggap hal ini akan mempersubur ekskremen lembu. Beberapa
waktu sebelum ini, orang mulai mengobservasi pengaruh tubuh-tubuh mati dan berpendapat, bahwa
bahan-bahan ini dapat pula dipakai sebagai bahan untuk membantu pertumbuhan tanaman. Bagaimana
pentingnya nilai pupuk hijau tanaman, terutama leguminosa telah mulai diketahui orang. Theophrastus
mencatat, bahwa sisa-sisa tanaman kacang (Vicia faba) telah dibenamkan orang ke dalam tanah ketika
pengolahan tanah berlangsung yang dilakukan oleh petani-petani di Macedonia dan Thessalia. Beliau
mengobservasi dan melaporkan, bahwa kendati tanaman berikutnya ditanam rapat dan menghasilkan
bijibijian cukup memuaskan, namun tanah tetap subur. Beliau belum lagi mengetahui adanya peranan
bakteri bintil akar.

Cato (234-149 SM) menganjurkan penanaman tanaman sela acinum pada lahan tanaman anggur
yang rendah kesuburan tanahnya. Hingga kini masih belum diketahui jenis tanaman apa yang dimaksud
Cato dengan acinum, tetapi mungkin sejenis kacangan. Namun yang jelas penanaman campuran (mix-
cropping) telah dikenal orang sebagai suatu cara untuk meningkatkan produktifitas tanah. Beliau juga
mengemukakan, bahwa jenis leguminosa yang terbaik adalah kacangkacangan, lupina dan vetch
(Astragallus). Tanaman lupina merupakan jenis leguminosa yang amat populer di zaman ini. Seterusnya
Columella mendaftarkan beragam leguminosa yang kesemuanya amat berpengaruh bagi peningkatan
kesuburan tanah. Banyak penulis ketika itu memuji tanaman lupina sebagai pupuk hijau yang bagus. Di
samping itu tanaman ini juga dapat tumbuh sempurna di bawah kondisi tanah yang berbedabeda, dapat
menghasilkan makanan untuk manusia serta binatang dan mudah menyemaikannya cepat tumbuh dan
berkembang.

Penggunaan apa yang kita kenal sekarang sebgaai pupuk mineral (buatan) atau “soil amendment”
(suatu masukan tanah) belum lagi dikenal di zaman ini. Theophrastus telah menganjurkan mencampur
tanah yang berbeda sifatnya dalam usaha memperbaiki kekurangan sesuatu tanah. Cara ini
memungkinkan perolehan keuntungan dari beberapa sudut. Penambahan tanah subur kepada tanah
yang tidak subur akan menambah kesuburan tanah yang disebutkan terakhir, dan usaha pencampuran
suatu jenis tanah lainnya dapat pula memungkinkan inokulasi bakteri bintil akar ke tanah lainnya.
Pencampuran tanah tertekstur kasar dengan tanah bertekstur halus atau sebaliknya dapat pula
meningkatkan hubungan antara air dan udara dalam tanah yang diperlakukan.

Nilai napal (marl) yakni bahan yang mengandung kapur, telah pula dikenal orang di Aegina dan di
Yunani dan dianggap pertama sekali menggunakan bahan kapur untuk lahan pertanian. Cara ini
belakangan dipelajari oleh bangsa Romawi dan mengembangkannya. Bahkan oleh ahli-ahli bangsa
Romawi telah mengklassifikasikan berbagai bahan kapur itu dan membuat rekomendasi yang berbeda-
beda untuk tanaman bijibijian dan rumput makanan ternak. Plinneus (62-113 SM) mengemukakan
bahwa bahan kapur sebaiknya ditebar merata di atas permukaan tanah dan perlakuan ini cukup untuk
waktu yang agak lama. Sendawa atau KNO3 telah diutarakan oleh Plinneus sebagai bahan yang berguna
untuk memupuk tanaman. Pada waktu itu juga diketahui tanaman palma membutuhkan garam asin
dalam jumlah yang banyak. Petani-petani ketika itu telah pula menggunakan air garam pekat (bruin)
disekitar batang pohon-pohonan. Kendati ahli tanah dimasa sekarang terus aktif mencari metoda untuk
memprediksi kesegaran tanah untuk produksi tanaman-tanaman, demikian pula hal itu telah dilakukan
oleh para ahli filosofi pertanian di zaman ini, dan penulis-penulis pun melakukan hal yang sama. Warna
tanah juga mendapat perhatian dalam menentukan kesuburan suatu tanah. Kebanyakan peneliti-
peneliti pertanian di zaman dulu maupun di zaman sekarang mengemukakan bahwa, warna tanah dapat
dipakai sebagai kriteria kesuburan suatu tanah. Pendapat umum peneliti ketika itu ialah tanah-tanah

Anda mungkin juga menyukai