Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROMA DOWN

Sindroma Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan

mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.14

Sindroma Down, yang juga dikenal dengan sebutan Trisomi 21 adalah kelainan

kromosom yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu kelainan

genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Trisomi 21 biasanya disebut

sindroma down karena pertama diidentifikasi pada tahun 1966 sebagai sebuah

kondisi yang spesifik oleh John Langdon Down, seorang dokter di Inggris.3,15,16

Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai “Mongolism”, karena adanya

lipatan pada kelopak mata penderita, yaitu lipatan epicanthal, yang memberi kesan

seperti ras Mongoloid. Namun, untuk menghindari penghinaan ras tertentu, maka

nama yang sering digunakan adalah sindroma Down.3

2.1.1 Insidensi Terjadinya Sindroma Down

Sindroma Down (SD) adalah kelainan genetik yang biasa terjadi. Frekuensi

terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran

hidup.3 Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan adalah 10 SD per 10.000 kelahiran

hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini telah meningkat. Untuk sebagian

besar, prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial-budaya. Di negara-


negara di mana aborsi ilegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensinya

lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah, dan ini mungkin karena

tingginya persentase penghentian kehamilan SD. Di Belanda, ukuran yang paling

terbaru dari prevalensi SD adalah 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris,

prevalensi kehamilan SD telah meningkat secara signifikan, namun belum ada

perubahan secara keseluruhan prevalensi kelahiran hidup dari SD.14 Angka kejadian

sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Semakin meningkat usia

ibu saat kehamilan, semakin besar resiko melahirkan anak dengan sindroma Down.17

Gambar 2.1: Peningkatan angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu
saat kehamilan. Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian
genetiks resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL:
www.genetiks.edu.au. Accessed December 26, 2011.

9
Tabel 2.1 Angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan

Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian genetiks


resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL: www.genetiks.edu.au.
Accessed December 26, 2011.

2.1.2 Etiologi Terjadinya Sindroma Down

Penyebab langsung terjadinya sindroma Down adalah adanya kelebihan

kromosom 21. Penyebab tidak langsung adanya kelebihan kromosom belum dapat

diidentifikasi. Namun, sindroma Down tidak diakibatkan oleh aktivitas ibu selama

hamil.15

Trisomi 21 dapat terjadi dalam satu dari tiga bentuk:

10
a. Kegagalan berpisah pada meiosis. Sebuah kesalahan terjadi pada pemisahan

sepasang kromosom 21 selama pembelahan sel pada proses pembentukan

sperma atau sel telur. Seorang anak dengan sindroma Down mempunyai 47

kromosom yang berbeda pada setiap sel (bandingankan dengan keadaan biasa

dimana terdapat 46 kromosom). Ini adalah tipe yang paling sering. Terhitung

rata-rata 95% terjadi sindroma Down.

b. Translokasi. Sekitar 3 % terjadi sindroma Down. Hal ini terjadi jika salah satu

kromosom 21 yang berlebih menempel (translokasi) pada kromosom lain.

Kromosom lain itu kemungkinan adalah kromosom 13, 14, 15, atau 22. Dengan

terjadinya translokasi, terdapat 46 kromosom dalam setiap sel ditambah

kelebihan kromosom 21 yang menempel pada kromosom lain.

c. Mosaik. Sekitar 2 % terjadi sindroma Down. Mosaik sindroma down (46,

XX/47, XX, 21) terjadi ketika beberapa sel dalam tubuh normal dan sel-sel lain

trisomi 21.15

2.1.3 Patogenesis Sindroma Down

Sindroma Down (SD) dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang disebabkan

adanya tiga kromosom 21.1 Berdasarkan pemeriksaan sitogenetik, umumnya

sindroma Down dibedakan atas tiga tipe, yaitu SD trisomi bebas, SD translokasi, dan

SD mosaic. Sindroma Down trisomi bebas merupakan tipe yang paling banyak

dijumpai. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut ketiga tipe sindroma Down

tersebut.18

Kromosom adalah struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan protein

lain. Kromosom-kromosom itu ada di setiap sel tubuh dan membawa informasi

11
genetik yang diperlukan oleh sel untuk berkembang. Gen adalah unit informasi yang

dikodekan dalam DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat

disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 sama untuk pria maupun wanita yang

disebut dengan autosom. Pasangan kromosom ke-23 adalah kromosom kelamin (X

dan Y). Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang sama,

yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang sama pada kromosom.

Namun, variasi gen (alel) mungkin terjadi. Contoh: informasi genetik untuk warna

mata disebut gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel.19

Ada dua cara pembelahan sel manusia. Yang pertama adalah pembelahan sel

biasa (mitosis). Dengan cara ini, satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki

jumlah dan tipe kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Yang

kedua adalah pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis (meiosis) dan

terdiri dari satu sel yang membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah

dari jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma hanya

memiliki 23 kromosom bukan 46.19

Ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Pada

meiosis, beberapa pasang kromosom membelah diri dan berpisah ke tempat yang

berbeda, peristiwa ini disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang

tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu daerah. Ini berarti bahwa dalam sel-sel

yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki

22 kromosom.19 Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat

terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I). 20 Jika sperma atau

sel telur dengan jumlah kromosom yang abnormal menyatu dengan pasangan normal,

12
sel telur yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom yang abnormal. Pada

sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh peristiwa ini, satu sel

mempunyai dua kromosom 21, bukan satu sehingga sel telur yang dibuahi akan

memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu sering disebut dengan nama ilmiah,

trisomi 21. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90%

dari sel-sel yang abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak

diketahui, tetapi pastinya memiliki kaitan dengan usia ibu. Penelitian saat ini

bertujuan untuk mencoba menentukan penyebab dan waktu terjadinya peristiwa

nondisjunction.19

Gambar 2.2 : Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b) Terjadi kesalahan pada
meiosis I, (c) Terjadi kesalahan pada meiosis II. Sumber : Girirajan S. Parental-age
effects in sindroma Down. USA: Journal of Genetiks 2009 Apr;88(1):1-7.

Tiga sampai empat persen dari semua kasus trisomi 21 adalah karena

Translokasi Robersonian. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom

yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan ulang materi

13
genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan oleh kromosom 21

tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah kromosom normal, terjadi triplikasi dari

kromosom 21. Beberapa anak mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21

bukan pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21 parsial.

Translokasi yang hasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat diwariskan, jadi penting

untuk memriksa kromosom orang tua dalam kasus ini untuk melihat apakah anak

mungkin memiliki sifat pembawa (carrier).19

Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang-orang ini memiliki

campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah kromosom normal dan

lainnya memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari

jenis yang sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel , seperti semua sel darah

mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel

kulit, mungkin memiliki trisomi 21.19

Kromosom adalah pemegang gen, dimana sejumlah kecil DNA diarahkan

dalam hal produksi beragam materi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengarahan oleh

gen ini disebut ekspresi gen. Pada trisomi 21, kehadiran sebuah gen tambahan

menyebabkan overekspresi dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi

produk tertentu. Untuk sebagaian besar gen, overekspresi memiliki pengaruh yang

kecil karena adanya mekanisme tubuh yang mengatur gen dan produknya. Akan

tetapi, gen yang menyebabkan sindroma Down tampaknya merupakan suatu

pengecualian.19

Gen-gen apa saja yang terlibat? Itu menjadi pertanyaan peneliti-peneliti sejak

ketiga kromosom 21 ditemukan. Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang

14
terkenal menyebutkan bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang

sebenarnya benar-benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada sindroma Down,

yang disebut sebagai Down’s Syndrome Critical Region. Namun, region ini bukan

merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah yang kemungkinan besar

tidak selalu berdampingan. Kromosom 21 mungkin benar-benar memegang 200-250

gen (menjadi kromosom yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan

bahwa hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada sindroma

Down. 19

Adanya Down’s Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada

kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri

utama sindroma Down, telah mendominasi penelitian sindroma Down pada tiga

decade terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan

menjadi DSCR1 dan DSCR2.21

Menurut Davies ae al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),

DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di

overekspresikan dalam otak fetus sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan

fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik sub unit dari kalsium / calmodulin-

dependent protein phosphatase. Menurut Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan

Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak diekspresikan di otak dan jantung

menunjukkan overekspresi itu berhubungan pada patogenesis sindroma Down,

terutama retardasi mental dan / atau kelainan jantung. Sedangkan menurut Vidal-

Taboada et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), DSCR2 lebih

15
banyak diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti

jaringan fetus, testis, dan sel kanker.21

Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya sindroma Down meliputi : 18

a. Superoxide Dismustase (SOD1) – overekspresi yang menyebabkan penuaan

dini dan menurunnya fungsi sitem imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe

Alzheimer.

b. COL6A1 – overekspresi yang menyebabkan cacat jantung.

c. ETS2 – overekspresi yang menyebabkan kelainan tulang (abnormalitas

skeletal).

d. CAF1A – overekspresi yang dapat merusak sintesis DNA.

e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – overekspresi yang menyebabkan gangguan

metabolisme dan perbaikan DNA.

f. DYRK – overekspresi yang menyebabkan retardasi mental.

g. CRYA1 – overekspresi yang menyebabkan katarak.

h. GART – overekspresi yang menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan

DNA.

i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, overekspresi yang dapat

mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem organ lainnya.

Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, diantaranya APP, GLUR5, S100B,

TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, penting untuk diketahui bahwa

belum ada gen yang sepenuhnya terkait dengan setiap karakteristik yang

berhubungan dengan sindroma Down.19

2.1.4 Karakteristik Sindroma Down

16
Karakteristik sindroma Down terbagi atas 2, yaitu:

a. Karakteristik Fisik15

1) Penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan fisik. Kebanyakan orang

dengan sindroma down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata

2) Mempunyai bentuk kepala atipikal. Kepala mungkin lebih kecil dari rata-rata

(Microcephaly), dengan daerah datar di bagian belakang (tengkuk)

3) Mata yang miring ke atas, menuju tepi wajah (upslanting palpebral fisura) dan

kelebihan lipatan kulit di atas sudut dalam mata (Lipatan Epicanthal)

4) Bintik-bintik putih (Brushfield) di bagian berwarna dari mata

5) Telinga kecil atau berlipat, hidung datar, dan mulut kecil dengan tonus otot

mulut yang rendah dan lidah yang menonjol

6) Tangan pendek dan lebar dengan jari pendek dan sebuah garis selebar telapak

tangan (single palmar crease).

7) Penurunan tonus otot.

b. Karakteristik Perkembangan15

1) Keterlambatan perkembangan kognitif, biasanya dengan retardasi mental

kategori ringan hingga sedang. Pada individu tertentu, dengan genotip mosaik

mungkin memiliki IQ di kisaran rata-rata.

2) Keterlambatan berbicara dan berbahasa

3) Keterlambatan perkembangan keterampilan sosial.

4) Keterlambatan keterampilan motorik

5) Kemungkinan adanya gangguan perkembangan lain, kesehatan mental atau

kondisi perilaku.

17
Gambar 2.3 : Anak sindroma Down. Sumber : Leonard H, dkk. Understanding
sindroma Down: capturing family experiences through research. Telethon Institute
for Child Health Research; 2011. Available from URL :
www.childhealthresearch.com.au. Accessed January 14, 2012.

18
2.1.5 Kondisi Sistemik15,22

Gambar 2.4 : Kondisi sistemik pada anak sindroma Down. Sumber : Leonard H,
dkk. Understanding sindroma Down: capturing family experiences through research.

19
Telethon Institute for Child Health Research; 2011. Available from URL :
www.childhealthresearch.com.au. Accessed January 14, 2012.

Kondisi sistemik sindroma Down adalah sebagai berikut.

a. bertubuh pendek.

b. penyakit jantung kongenital. Lebih dari 40% anak-anak lahir dengan sindroma

Down akan memiliki kelainan jantung bawaan.

c. infeksi telinga yang sering dan infeksi saluran pernafasan lainnya.

d. Gangguan pendengaran. Bayi dan anak-anak mungkin mengalami gangguan

konduktif sebagai hasil dari efusi telinga tengah atau kelainan struktural dari

telinga, gangguan sebuah saraf sensoris, atau kedua-duanya. Beberapa orang

dengan sindroma Down mungkin mulai mengembangkan gangguan

pendengaran setelah 10 tahun. Jika tidak terdeteksi, hal ini secara signifikan

dapat berdampak pada semua bidang pembangunan.

e. Masalah mata termasuk kesalahan bias, strabismus, nystagmus, dan

katarak. Katarak kongenital dapat menyebabkan kehilangan penglihatan jika

tidak diobati.

f. Gigi anomali dan penyakit gusi.

g. kelainan fungsi tiroid (hipo- atau hipertiroidisme) lebih sering terjadi diantara

individu dengan sindroma Down.

h. Penyakit obstruktif saluran napas. Gejala-gejalanya termasuk mendengkur,

posisi tidur yang tidak biasa, kelelahan yang berlebihan atau tidur siang

sepanjang hari, kurang perhatian dan distractibility, atau perubahan perilaku.

20
i. Peningkatan mobilitas tulang belakang leher antara tulang yang pertama dan

kedua (ketidakstabilan atlantoaxial). Kondisi ini ditemukan dengan x-ray

sekitar 14 persen dari individu dengan sindroma Down. Gejala, terjadi di

sekitar 1-2 persen dari individu dengan sindroma Down, termasuk sakit leher,

posisi kepala dan leher yang tidak biasa, perubahan gaya berjalan, hilangnya

kekuatan tubuh bagian atas, refleks neurologis yang abnormal, dan perubahan

dalam usus / fungsi kandung kemih (Cohen 1996).

j. Cacat kongenital saluran pencernaan. Ini termasuk atresia duodenum, suatu

obstruksi segmen pertama dari usus kecil.

k. Insidensi yang tinggi (tapi masih hanya sekitar 1 persen) dari leukimia

limpoblastik akut dibandingkan pada populasi umum. Dalam kondisi ini, terjadi

abnormalitas sel-sel darah putih dalam mengganti elemen sumsum darah yang

normal, menjadikan anak rentan terhadap anemia, perdarahan, dan infeksi.

Gejala mungkin termasuk perdarahan yang berlebihan dan memar, bintik-bintik

merah (pteki), nyeri tulang atau sendi, dan pembesarn kelenjar getah bening.

l. kecenderungan terjadi obesitas.

Tabel 2.2 Prevalensi masalah sistemik pada anak sindroma Down

21
Sumber : Weijerman M. Consequences of Sindroma Down for patient and
family. Amsterdam : Ipskamp Drukkers B.V.; 2011. p. 13,15,17

2.1.6 Manifestasi Extra Oral dan Intra Oral

1. Extra Oral3

a. Retardasi Mental

Penderita sindroma Down mengalami retardasi mental kategori sedang

sampai berat. Berdasarkan skor IQ (Intelligence Quotient), digolongkan:

1) Retardasi ringan (IQ = 55-65), cukup mampu berbicara untuk komunikasi.

2) Retardasi sedang (IQ = 40-54), dapat dilatih untuk komunikasi terbatas atau

tingkat dasar.

3) Retardasi berat (IQ = 25-39), sulit dilatih dan sulit berkomunikasi.

4) Retardasi sangat berat (IQ < 25), tidak dapat dilatih dan tidak mampu

berkomunikasi.

Penderita sindroma Down biasanya bersifat menyenangkan, namun ada

pula yang bersifat kurang memperhatikan, selalu gelisah, dan bersifat perusak.

b. Tubuh

Pada umumnya sosok tubuh penderita sindroma Down pendek dengan

leher pendek dan bungkuk.

c. Wajah

Wajah penderita sindroma Down lebih ke arah bentuk bulat dengan

kepala brachicephalic dan pangkal hidung lebar dan datar. Rambut terlihat

jarang dan halus.

22
Hipoplasia maksila, deformitas pada tulang sphenoid, tulang rusuk, dan

tulang pelvis, dislokasi pinggang dan subluksasi patella sering dijumpai pada

penderita sindroma Down.

d. Mata

Penderita memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini disebabkan bagian luar

canthus lebih tinggi dari pada bagian dalam, sehingga mata terlihat sipit dan

agak ke atas, secara klinis memberikan kesan seperti ras Mongol.

Karakteristik pada mata lainnya adalah ditemukannya bintik putih pada

iris yang dinamakan brushfield spots, strabismus, nistagmus, kelainan refraksi,

dan katarak kongenital.

Gambar 2.5 : Brushfield spots. Sumber : Weijerman M. Consequences of


Sindroma Down for patient and family. Amsterdam : Ipskamp Drukkers B.V.;
2011. p. 13,15,17

e. Tangan

Telapak tangan hanya memiliki satu garis tangan

melintang dengan jari pendek dan lebar yang dinamakan

simian crease.

Gambar 2.6 : Single palmar crease. Sumber : Weijerman M. Consequences of


Sindroma Down for patient and family. Amsterdam : Ipskamp Drukkers B.V.;
2011. p. 13,15,17

2. Intra Oral3

23
a. Palatum

Palatum berkurang dalam ukuran panjang, lebar, dan tinggi, sehingga

tampak berbentuk anak tangga atau dapat pula berbentuk V.

b. Hipotonus otot

Hipotonus otot orbicularis, sigomatikus, masseter, dan temporal

menyebabkan perubahan fasial yang bermakna, seperti sudut mulut turun dan

mulut terbuka.

c. Lidah

Lidah membesar atau makroglosia dan berfisura pada permukaan dorsal

2/3 anterior dengan panjang dan kedalaman yang bervariasi. Pada penderita

sindroma down, hal ini dapat terjadi dengan kombinasi geographic tongue.

Permukaan dorsal lidah biasanya kering dan merekah serta tepinya mempunyai

pola cetakan gigi yang dinamakan scalloped tongue.

Kebiasaan menjulurkan lidah selama waktu minum, menghisap dot,

makan, dan bicara akan terjadi pada lidah hipotonus. Jaringan lidah bagian

tengah bersifat hipotonus dengan cekungan berlebihan di bagian 2/3 anterior

lidah dan hipotonus pada frenulum lidah.

d. Gigi-geligi

Kelainan gigi-geligi pada penderita sindroma Down dapat berupa

mikrodonsia, partial anodonsia, taurodonsia. Mikrodonsia dapat terlihat pada

gigi sulung maupun tetap, mahkota klinis berbentuk kerucut, pendek, dan kecil.

Hal ini menyebabkan timbulnya celah antar gigi (spacing). Keadaan gigi

berjejal sering terjadi pada rahang atas, sedangkan pada rahang baawah sering

24
terjadi spacing. Taurodonsia terjadi dengan manifestasi perpanjangan ruang

pulpa dan perubahan letak apical, bifurkasi, atau trifurkasi akar, paling sering

terjadi pada molar kedua bawah tetap. Penyakit periodontal dapat terjadi sejak

usia 6 tahun. Kelainan periodontal yang dijumpai adalah gingivitis marginalis,

ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis), periodontitis lanjut, resesi

gusi, pembentukan poket, keterlibatan furkasi dan bifurkasi pada gigi molar,

mobilitas gigi anterior dan posterior, kehilangan gigi terutama pada regio

anterior bawah. Pola dan penyebaran penyakit periodontal pada penderita sama

dengan pasien normal yaitu melalui akumulasi plak yang berat pada gigi.

Berbeda dengan keadaan jaringan periodontal, insidensi karies pada penderita

sindroma Down rendah. Hal ini karena efek buffer saliva yang baik.

2.2 KARIES

Karies gigi adalah penyakit yang menyebabkan gigi berlubang. Jika tidak

ditangani, penyakit ini dapat menyebabkan nyeri, penanggalan gigi, infeksi, berbagai

kasus berbahaya, dan bahkan kematian. Karies gigi terdapat di seluruh dunia dan

dapat dialami oleh setiap orang tanpa memandang umur, bangsa, ataupun keadaan

ekonomi. dan dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih serta dapat meluas ke

bagian yang lebih dalam dari gigi. 23

2.2.1 Definisi Karies

Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan

sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat

25
yang dapat diragikan. Tandanya adalah demineralisasi jarinegan keras gigi yang

kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya.11

Menurut Edwina A. M. Kidd, karies gigi adalah suatu proses yang mungkin

terjadi pada setiap permukaan gigi dalam rongga mulut di mana plak gigi dibiarkan

berkembang selama periode waktu tertentu.24

Menurut Sturdevant, Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi

mikrobiologi pada gigi yang menyebabkan perubahan secara lokal dan kerusakan

jaringan keras gigi. Adanya kavitas / lubang pada gigi merupakan tanda adanya

infeksi bakteri.25

2.2.2 Etiologi Karies

Ada empat hal utama yang berpengaruh pada karies, yaitu:

a. Inang / Host

Umumnya, karies dimulai pada enamel tetapi juga bisa dimulai pada dentin

atau sementum. Saliva memainkan beberapa peran penting dalam proses karies.

Dalam menghilangkan substrat dan pH plak-asam, air liur membantu untuk

memperlambat proses karies dan remineralisasi kritis.26

b. Plak Gigi

Plak mengandung bakteri penghasil asam yang baik dan dapat bertahan hidup

pada pH rendah. Streptokokus Mutans diyakini sebagai bakteri yang paling penting

dalam inisiasi dan perkembangan karies gigi. Dalam proses caries, setelah pH dalam

plak turun di bawah tingkat kritis, asam yang dihasilkan mulai mendemineralisasi

enamel. Ini akan berlangsung selama 20 menit atau lebih lama tergantung pada

ketersediaan substrat.26

26
c. Substrat

Bakteri menggunakan karbohidrat untuk energi difermentasi dan titik akhir dari

jalur glikolisis dalam metabolisme bakteri adalah asam. Sukrosa merupakan

karbohidrat yang paling sering terlibat difermentasi tetapi penting untuk diingat

bahwa bakteri dapat menggunakan semua karbohidrat difermentasi.25 Karbohidrat

kompleks seperti pati relatif tidak berbahaya karena mereka tidak sepenuhnya

dicerna di mulut, tetapi karbohidrat berat molekul rendah (gula) mudah berdifusi ke

dalam plak dan dimetabolisme dengan cepat oleh bakteri. Dengan demikian, banyak

makanan yang mengandung gula dan minuman menyebabkan penurunan pH plak

yang cepat ke tingkat yang dapat menyebabkan demineralisasi enamel gigi.26

d. Waktu

Ketika situasi asam terjadi berulang-ulang dapat menyebabkan runtuhnya

kristal enamel yang cukup untuk menghasilkan suatu rongga yang terlihat. Kavitasi

ini akan menghancurkan gigi dalam hitungan bulan sampai tahun, bukan dalam

hitungan hari atau minggu.26 Oleh karena itu, sebenarnya terdapat kesempatan yang

baik untuk menghentikan penyakit ini.24

Gambar 2.7 :
Keterkaitan
hubungan empat
faktor penyebab
karies. Sumber :
Higham S. Caries

27
process and prevention strategies: the agent. Continuing Education Recognition
Program; 2010.

Faktor penyebab karies lainnya, yaitu :23

a. Umur

Sepanjang hidup dikenal 3 phase umur dilihat dari sudut pagi geligi.

1) Periode gigi campuran, disini Molar 1 paling sering terkena karies.

2) Periode puberitas ( remaja ) umur antara 14 s/d 20 tahun. Pada masa puberitas

terjadi perubahan hormonal yang dapat menimbulkan pembengkakan gusi,

sehingga kebersihan mulut menjadi kurang terjaga. Hal inilah yang

menyebabkan presentasi karies lebih tinggi.

3) Umur antara 40 – 50 tahun. Pada umur ini sudah terjadi retraksi atau

menurunyya gusi dan papila sehingga, sisa – sisa makanan sering lebih sukar

dibersihkan.

Penelitian epidemiologis menunjukan terjadi peningkatan prevalensi karies

sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan

terhadap karies. Kerentanannya ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi

yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi

dengan gigi antagonisnya. Anak – anak mempunyai resiko karies yang paling tinggi

ketika gigi mereka baru erupsi sedangkan orang tua lebih beresiko terhadap

terjadinya karies 23

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor dalam proses terjadinya karies,

prevalensi karies gigi tetap wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Demikian juga

28
dengan anak-anak, prevalensi karies gigi sulung anak perempuan sedikit lebih tinggi

dibandingkan anak laki-laki. Hal ini disebabkan antara lain karena erupsi gigi anak

perempuan lebih cepat dibanding anak laki-laki sehingga gigi anak perempuan

berada lebih lama dalam mulut. sehingga gigi anak perempuan akan lebih lama

berhubungan dengan faktor risiko terjadinya.23

c. Makanan

Makanan sangat berpengaruh terhadap gigi dan mulut, pengaruh ini dapat

dibagi menjadi 2 :

1) Isi makanan yang menghasilkan energi, misalnya karbohidrat, protein, lemak,

vitamin serta mineral. Unsur tersebut di atas berpengaruh pada masa pra-erupsi

serta pasca erupsi gigi-geligi.

2) Fungsi mekanis dari makanan yang dimakan. Makanan yang bersifat

membersihkan ini adalah apel, jambu air, bengkuang dan lain sebagainya.

Sebaliknya makanan yang lunak dan melekat pada gigi dapat merusak gigi

seperti bonbon, cokelat, biskuit dan lain sebagainya.23

d. Vitamin

Vitamin berpengaruh pada proses terjadinya karies gigi, terutama pada periode

pembentukan gigi.23

e. Unsur kimia

Unsur kimia juga mempunyai pengaruh terhadap terjadinya karies gigi. Unsur

kimia yang paling berpengaruh persentase terjadinya karies gigi adalah Fluor.23

2.2.3 Epidemiologi Karies

29
Penyakit gigi dan mulut merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia,

karena termasuk rangking 10 penyakit terbanyak, yaitu tetap berkisar antara

peringkat 2-3. Dari 5 jenis penyakit gigi dan mulut yang terdapat pada masyarakat

yang berobat di puskesmas pada akhir pelita V dapat diketahui bahwa penyakit

karies gigi menduduki peringkat teratas (16,38%), disusul kelainan pulpa (29,30%),

kelainan gusi dan periodontal (31,66%), kelainan dentofasial dan maloklusi

(11,51%), serta monilis dan stomatitis (11,15%). 11

2.2.4 Pencegahan Karies

Mencegah, menyisakan atau setidaknya memperlambat karies gigi umumnya

melibatkan pengubahan satu atau lebih faktor, seperti yang jelaskan di atas. Beberapa

tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu:

a. Diet modifikasi

Meskipun sering mendapat perhatian minimal oleh praktisi gigi, pola makan

mungkin merupakan faktor paling penting dalam menentukan risiko karies.

Meskipun beberapa kebiasaan makan telah diubah, konsumsi gula secara

keseluruhan tidak berubah selama 50 tahun terakhir. Banyak makanan, yang bukan

kariogenik, mengandung gula tersembunyi dan karbohidrat difermentasi. Riwayat

diet mungkin berguna dalam mengidentifikasi anak-anak yang berisiko tinggi.

Mengubah kebiasaan makan sangat sulit dan karena itu saran harus secara individu,

praktis, dan realistis.26

1) Frekuensi asupan lebih penting daripada kuantitas keseluruhan.

2) Mengemil di antara waktu makan harus dikurangi.

30
3) Konsumsi minuman ringan sering merupakan masalah besar, hal ini bukan

hanya karena kariogenik namun juga sangat erosif.

4) Gula-gula dan lain-lain sangat berguna sebagai imbalan/hadiah, tetapi

seharusnya dibatasi waktu makannya.

5) Banyak makanan berlabel "Tidak ada tambahan gula” mengandung kadar

tinggi dari gula alami.

6) Anjuran diet tidak semuanya negatif, seharusnya dapat diambil alternatif

positifnya.26

b. Fluorida

Prinsip utama dari semua aktivitas fluorida (pasta gigi, bilasan, gel dan air

fluoridasi komunitas) adalah efek topikal yang diberikan pada enamel. Bahkan

konsentrasi rendah fluorida dalam lingkungan yang kecil di sekitar gigi menghambat

demineralisasi dan mempromosikan remineralisasi permukaan gigi.26

c. Fissure sealant

Walaupun pada masyarakat dengan angka kejadian karies yang rendah,

terjadinya karies pada pit dan fisura masih rentan. Cara yang paling efektif untuk

mencegah karies pit dan fisura adalah dengan fissure sealant (perhatikan indikasi

untuk penggunaan bahan dalam kedokteran gigi anak ).26

d. Kontrol Plak

1) Menyikat gigi

Menyikat gigi dapat dianggap sebagai pengaplikasian topikal fluorida.

Dalam masyarakat dengan air berfluoridasi, hampir semua karies terjadi pada

pit dan fisura serta interproksimal. Harus disadari bahwa tindakan mekanis

31
menyikat gigi saja tidak akan mencegah karies karena tidak menghilangkan

plak dari daerah yang disebutkan di atas. Anak-anak harus didorong untuk

mengadopsi kebiasaan menyikat gigi yang baik sejak awal dan sebagai bagian

dari kebersihan sehari-hari.26

Orangtua harus disarankan untuk mulai membersihkan gigi anak-anak

mereka sejak erupsi gigi yang pertama. Sikat gigi kecil yang sangat lembut

dapat digunakan untuk menghilangkan plak. Pengolesan pasta gigi fluorida

harus digunakan untuk memberikan perlindungan pada gigi yang sedang erupsi.

Hal ini berguna untuk orang dewasa yang secara rutin menyikatkan gigi

anaknya sampai anak berumur sekitar 6 tahun dan memiliki kemampuan untuk

menghilangkan plak secara efektif dengan sendirinya. Idealnya, menyikat gigi

harus dilakukan dua kali sehari dan diingatkan pentingnya menyikat gigi

sebelum tidur.26

2) Flossing

Pada tahun prasekolah akhir, dan periode awal gigi bercampur, permukaan

interproksimal dari gigi molar permanen menjadi lebih berisiko karies. Orang

tua dapat ditunjukkan bagaimana cara membersihkan daerah kontak antar gigi

dan terutama jika ada tanda-tanda demineralisasi. Anak yang lebih tua harus

diajarkan untuk melakukan hal ini sendiri dan mungkin akan lebih mudah jika

menggunakan salah satu dental floss yang memiliki pegangan.26

3) Disclosing Solution

Anak-anak, orang tua mereka, dan pasien yang lebih tua merasa sulit untuk

tahu kapan secara efektif kapan mereka harus menghilangkan plak dari gigi

32
mereka. Disclosing solution dan tablet sangat berguna untuk membantu pasien

dan orang tua untuk melihat dan menghapus plak secara lebih efektif.26

4) Antimikroba

Obat kumur antibakteri telah menjadi bagian dari tindakan preventif

kedokteran gigi dalam beberapa tahun terakhir. Peran mereka dalam

pencegahan karies terbatas, namun mereka mungkin berguna pada anak-anak

yang lebih tua dan remaja sebagai tambahan untuk kontrol plak. Peran utama

mereka adalah dalam mengontrol individu dengan resiko karies yang tinggi.

Antimikrobial sistemik (antibiotik) menyebabkan perubahan yang signifikan

dalam flora normal dalam rongga mulut dan tidak digunakan dalam upaya

pencegahan karies.26

2.3 RELASI GIGI DAN MALOKLUSI

Relasi gigi merupakan hubungan gigi atas dan bawah dalam keadaan oklusi.

Oklusi melibatkan relasi gigi pada oklusi sentrik dan relasi sentrik selama berfungsi.

Apabila terdapat penyimpangan dari letak gigi dan relasi gigi dapat menyebabkan

terjadinya maloklusi.28,29

2.3.1 Definisi Relasi Gigi

Relasi gigi adalah hubungan gigi atas dan bawah dalam keadaan oklusi. 28

Sedangkan pengertian oklusi sendiri adalah hubungan statis antara gigi atas dan gigi

bawah selama interkuspasi (pertemuan tonjol gigi atas dan bawah secara maksimal).

Oklusi ideal adalah keadaan beroklusinya setiap gigi, kecuali insisivus sentral bawah

33
dan molar ketiga atas, beroklusi dengan dua gigi di lengkung antagonisnya dan

didasarkan pada bentuk gigi yang tidak mengalami keausan. Akan tetapi, oklusi

sudah dapat dikatakan normal apabila memenuhi persyaratan fungsi dan estetik

walau disertai adanya ketidakteraturan pada gigi secara individu. 30

2.3.2 Jenis-jenis Relasi Gigi

Relasi gigi ada 2 jenis, yaitu :28

a. Relasi Gigi Anterior

Yang dimaksud dengan gigi anterior adalah insisivus sentral dan lateral. Relasi

gigi anterior diperiksa dalam jurusan sagital dan vertikal. Relasi gigi yang normal

dalam jurusan sagital adalah adanya jarak gigit / overjet. Ada beberapa pengertian

tentang jarak gigit misalnya menurut Proffit dkk.(2007), jarak gigit adalah horizontal

overlap of the incisors. Pada keadaan normal gigi insisivus bawah dengan jarak

selebar ketebalan tepi insisal insisivus atas, kurang lebih 2-3 mm dianggap normal.

Bila insisivus bawah lebih anterior daripada atas disebut jarak gigit terbalik atau

kadang-kadang ada yang menyebut gigitan silang anterior atau gigitan terbalik.

Untuk mendapatkan pengukuran yang sama maka di klinik digunakan

pengertian jarak gigit adalah jarak horizontal antara insisal insisivus atas dengan

bidang labial insisivus bawah. Jarak gigit pada gigitan silang anterior diberi tanda

negatif, misalnya -3 mm. Pada relasi gigitan edge to edge, jarak gigitnya 0 mm.

Pada jurusan vertikal dikenal adanya tumpang gigit / overbite yang merupakan

vertical overlap of the incisors. Di klinik, tumpang gigit diukur dari jarak vertikal

insisal insisivus atas dengan insisal insisivus bawah, yang normal ukurannya 2 mm.

34
Tumpang gigit yang bertambah menunjukkan adanya gigitan dalam. Pada gigitan

terbuka tidak ada overlap dalam jurusan vertikal, tumpang gigit ditulis dengan tanda

negatif, misalnya -5 mm. pada relasi edge to edge, tumpang gigitnya 0 mm.

b. Relasi Gigi Posterior

Gigi yang diperiksa adalah molar pertama permanen dan kaninus permanen.

Pemeriksaan dalam jurusan sagital, transversal, dan vertikal.

1) Relasi jurusan sagital

Kemungkinan relasi molar yang dapat terjadi adalah netroklusi, distoklusi,

mesioklusi, gigitan tonjol, dan tidak ada relasi.

a) Netroklusi, yaitu bila tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas terletak

pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.

b) Distoklusi, yaitu bila tonjol distobukal molar pertama permanen atas terletak

pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.

c) Mesioklusi, yaitu bila tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas terletak

pada tonjol distal molar pertama permanen bawah.

d) Gigitan tonjol, yaitu bila tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas

beroklusi dengan tonjol mesiobukal molar pertama permanen bawah.

e) Tidak ada relasi, yaitu bila salah satu molar pertama permanen tidak ada,

misalnya oleh karena telah dicabut, atau bila kaninus permanen belum erupsi.

Untuk relasi kaninus meskipun kaninus permanen baru tumbuh sebagian

telah dapat ditetapkan relasinya dengan melihat relasi sumbu kaninus tersebut.

2) Relasi jurusan transversal

35
Pada keadaan normal, relasi transversal gigi posterior adalah gigitan fisura

luar rahang atas, oleh karena rahang atas lebih lebar daripada rahang bawah.

Apabila rahang atas terlalu sempit atau terlalu lebar dapat menyebabkan

terjadinya perubahan relasi gigi posterior dalam jurusan transversal. Perubahan

yang dapat terjadi adalah gigitan tonjol, gigitan fisura dalam atas, dan gigitan

fisura luar atas.

Keadaan klinis relasi gigi posterior dalam jurusan transversal apabila

rahang bawah terlalu sempit atau terlalu lebar dapat sama dengan yang di atas

akan tetapi penyebutannya lain.

3) Relasi jurusan vertikal

Kelainan dalam jurusan vertikal dapat berupa gigitan terbuka yang berarti

tidak ada kontak antara gigi atas dan bawah pada saat oklusi.

2.3.3 Defenisi Maloklusi

Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi

(rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa

merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian

tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan mengganggu

estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan

perawatan.29

2.3.4 Klasifikasi Maloklusi

36
Untuk kemudahan penyebutan maloklusi, penggunaan klasifikasi sangat

membantu guna menggolongkan maloklusi yang sangat bervariasi dalam beberapa

golongan saja. Banyak klasifikasi telah diajukan akan tetapi sampai sekarang

klasifikasi Angle merupakan klasifikasi yang paling luas digunakan di dunia

meskipun masih banyak kekurangannya. Klasifikasi Angle didasarkan atas relasi

lengkung geligi dalam jurusan sagittal. Kunci klasifikasi Angle adalah pada relasi

molar pertama permanen. Pada keadaan normal, tonjol mesiobukal molar pertama

permanen atas beroklusi dengan lekukan bukal molar pertama permanen bawah.28

Klasifikasi Angle :

a. Klas I : maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar

tonjol lebih mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi

semacam ini biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang dapat

menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior

dan lain-lain.29

Ada 5 tipe maloklusi klas I, yaitu :31

1) Tipe I : Terdapat gigi anterior (insisivus) yang berdesakan / crowded; atau gigi

kaninus yang terletak lebih ke labial (labioversi)

2) Tipe II : Terdapat gigi anterior maksila yang protrusi atau labioversi

3) Tipe III : Terdapat satu atau lebih gigi anterior maksila yang linguoversi

terhadap gigi anterior mandibula (anterior crossbite).

4) Tipe IV : Terdapat satu atau lebih gigi posterior (malar dan premolar) yang

linguoversi ( posterior crossbite).

37
5) Tipe V : Terjadi pergeseran kea rah mesial dari gigi molar akibat hilangnya gigi

sulung secara prematur.

b. Klas II : Lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari

relasi yang normal terhadap lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar.

Relasi seperti ini biasa juga disebut distoklusi.29

Maloklusi klas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi gigi insisivus

atas, yaitu:

1) Divisi 1 : Insisivus atas proklinasi atau meskipun insisivus atas inklinasinya

normal, tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang bertambah.

2) Divisi 2: Insisivus sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivus lateral

proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit biasanya dalam

batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah. Tumpang gigit

bertambah. Dapat juga keempat insisivus atas retroklinasi dan kaninus terletak

di bukal.29

c. Klas III : Lengkung bawah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial

daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relasi molar pertama permanen.

Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi

anterior menunjukkan adanya gigitan terbalik.29

Ada 3 tipe maloklusi klas III, yaitu :31

1) Tipe I : Lengkung maksila dan mandibula normal; gigi insisivus berhubungan

edge to edge.

2) Tipe II : Lengkung maksila normal; gigi insisivus mandibula crowded dan agak

ke lingual dari insisivus maksila

38
3) Tipe III : gigi maksila berdesakan, lengkung mandibula normal; insisivus

mandibula lebih ke labial dari insisivus maksila

Beberapa kekurangan klasifikasi Angle adalah sebagai berikut.28

Klasifikasi angle didasarkan atas relasi molar pertama permanen. Bila molar

pertama permanen bergeser karena molar sulung hilang premature, maka relasi molar

yang ada bukan relasi molar yang sebenarnya sebelum terjadi pergeseran. Bila molar

pertama permanen dicabut, berarti tidak ada relasi molar. Bila telah terjadi

pergeseran molar pertama permanen ke mesial maka perlu dibayangkan letak molar

pertama permanen sebelum terjadi pergeseran, baru ditetapkan klasifikasinya,

demikian juga bila molar pertama permanen telah dicabut.

Ada kemungkinan relasi molar pertama permanen kanan tidak sama dengan

relasi molar pertama permanen kiri. Angle memperbolehkan hal ini disebut sebagai

subdivisi klas II dan klas III. Jadi, pada satu sisi relasi molar pertama permanen

distoklusi atau mesioklusi sedangkan pada sisi lainnya bukan distoklusi atau

mesioklusi. Kemungkinan lain adalah kesukaran untuk menetapkan garis batas

secara tegas klas I dengan klas lainnya. Pada akhirnya kesimpulan penentuan

klasifikasi harus mempertimbangkan gambaran umum suatu maloklusi.28

Angle berpendapat bahwa letak molar pertama permanen tetap stabil dalam

perkembangannya pada rahang sehingga dengan melihat relasi molar dapat dilihat

pula relasi rahang. Hal ini tidak selamanya benar karena letak gigi dalam

perkembangannya tidak sama dengan letak rahang. Klasifikasi gigi dan rahang tidak

selamanya selalu sama.28

2.3.5 Etiologi Maloklusi

39
Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya

karena adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi proses tumbuh

kembang. Secara garis besar, etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat

digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. 29

a. Faktor Herediter29

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu :

1) disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi

berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun

yang terakhir ini jarang dijumpai.

2) disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang

menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis,

Beberapa hal yang terjadi akibat faktor herediter, yaitu :

1) Kelainan Gigi

Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah kekurangan

jumlah gigi (hipodonsia), kelebihan jumlah gigi (hiperdonsia), misalnya adanya

mesiodens, bentuk gigi yang khas misalnya karabeli pada molar, kaninus yang

impaksi di palatal, transposisi gigi misalnya kaninus yang terletak di antara

premolar pertama dan kedua.

2) Kekurangan Jumlah Gigi

Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau agenesis

gigi. Anodonsia adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi sama sekali,

untungnya frekuensinya sangat jarang dan biasanya merupakan bagian dari

sindrom dysplasia ectodermal. Bentuk gangguan pertumbuhan yang tidak

40
separah anodonsia adalah hipodonsia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi

mengalami agenesis (sampai dengan 4 gigi), sedangkan oligodonsia adalah gigi

yang tidak terbentuk lebih dari 4 gigi. Sebagai panduan dapat dikatakan apabila

gigi sulung agenesis maka gigi permanennya juga agenesis, tetapi meskipun

gigi sulung ada bisa saja gigi permanennya agenesis. Gigi yang agenesis

biasanya adalah gigi sejenis yang letaknya lebih distal sehingga dapat dipahami

bahwa yang sering agenesis adalah molar ketiga, premolar kedua, dan insisivus

lateral.

3) Kelebihan Jumlah Gigi

Yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang terletak di garis

median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis gigi kelebihan lainnya

adalah yang terletak di sekitar insisivus lateral sehingga ada yang menyebut

laterodens, premolar tambahan bisa sampai dua premolar tambahan pada satu

sisi sehingga pasien mempunyai empat premolar pada satu sisi. Adanya gigi-

geligi kelebihan dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.

4) Disharmoni Dentomaksiler

Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi

dan rahang dalam hal ini lengkung geligi. Menurut Anggraini (1975) etiologi

disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter. Karena tidak adanya

harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi maka keadaan klinis yang dapat

dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan diastema yang menyeluruh pada

lengkung geligi bila gigi-geligi kecil dan lengkung geligi normal, meskipun hal

ini jarang dijumpai. Keadaan yang sering dijumpai adalah gigi-geligi yang

41
besar pada lengkung geligi yang normal atau gigi yang normal pada lengkung

geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan. Meskipun pada

disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-geligi berdesakan tetapi tidak semua

gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni dentomaksiler.

Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang khas. Gambaran

maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah.

b. Faktor Lokal29

1) Gigi Sulung Tanggal Prematur

Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi

permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi

sulung, semakin besar akibatnya pada gigi permanen.

2) Persistensi Gigi Sulung

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decicuous teeth berarti

gigi sulung yang sudah melewati waktu nya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu

diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas

menunjukkan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti

telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi

gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui

anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua

pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di regio tersebut.

3) Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila

terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi

42
gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah

terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi

bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak

dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat

ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut.

4) Pengaruh Jaringan Lunak

Tekanan dari otot, bibir, pipi, dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap

letak gigi, Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan

otot pengunyahan tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian, tekanan

yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa bibir, pipi, dan lidah yang menempel terus pada gigi

hamper selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi.

5) Kebiasaan Buruk

Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup

tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan

mengisap jari atau benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat

menyebabkan maloklusi. Faktor yang paling berpengaruh adalah durasi atau

lama kebiasaan berlangsung. Beberapa kebiasan buruk yang dapat

menyebabkan maloklusi , yaitu :

a) Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak

pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi

permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen

erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas

43
proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit,

serta retroklinasi insisivus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh

jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada

waktu mengisap.

b) Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus

atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivus bawah.

c) Kebiasaan mendorong lidah, sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi

lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena

mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih besar

daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk

mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya

dorongan lidah pada saat menelan.

d) Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi

biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.

6) Faktor Iatrogenik

Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan professional.

Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik.

Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan piranti lepasan,

tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak

benar sehingga yang terjadi gerakan gigi ke distal dan palatal.

44

Anda mungkin juga menyukai