Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER

Oleh :
Riris Raudya Tuzahra, S.Ked
19360140

Pembimbing :
dr. Arief Effendi, Sp.KK

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN


RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER

Bandar Lampung, Agustus 2020

Penyaji Pembimbing

Riris Raudya T, S.Ked dr. Arief Effendi, Sp.KK


SKENARIO KASUS
Ny. S berusia 55 tahun datang dengan keluhan timbul bercak merah di

wajah, tangan dan kaki sejak 1 bulan SMRS. Keluhan lain yang dirasakan pasien

adalah rasa baal pada bagian tangan dan kaki.

Awalnya, sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul bercak secara

tiba – tiba dan tidak diketahui penyebabnya serta semakin lama semakin

menyebar ke seluruh tubuh. Pasien tidak mengeluh adanya gatal di bercak

merahnya, namun pasien merasa baal pada bercaknya dan di daerah sekitar bercak

tersebut. 1 minggu SMRS, bercak menyebar seluruh tubuh dan keluhan semakin

memberat sehingga pasien di bawa ke Rumah Sakit. Selama di rawat di Rumah

Sakit, bercak menajadi merah mengkilat, pasien mengeluh panas dan nyeri serta

baal pada bercak dan kulit sekitar.

Setelah dilakukan pemeriksaan status dermatologik, pada inspeksi

ditemukan plak eritematous multipel di regio fasialis, manus, kruris, dan pedis

dekstra dan sinistra, berukuran numuler sampai plakat, diskrit, sebagian konfluen

disertai krusta hitam ukuran lentikuler dengan skuama halus. Pada palpasi terdapat

pembesaran nervus ulnaris dekstra dan sinistra serta nyeri pada saat ditekan. Pada

pemeriksaan neurologis diperoleh tes sensoris hipoanastesi pada lesi diwajah,

tangan dan kaki. Tes motorik, pasien tidak mampu adduksi ibu jari dan tidak

ekstensi jari – jari tangan. Tes otonom, kulit pasien kering dan tidak berkeringat

pada lesi.
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR
LAMPUNG SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Ny. Siti Aminah/Jono
Umur : 55 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Raden Gunawan 2, Gang Melati
7, No. 25 Rajabasa, Bandar
Lampung.
Pekerjaan : Petugas Kebersihan
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan terhadap pasien pada hari Jumat, 05 Agustus
2020 pukul 14.15 WIB.
Keluhan utama : Bercak merah di wajah, tangan dan
kaki

Keluhan tambahan : Rasa baal pada bagian tangan dan kaki

Riwayat penyakit : Sejak 1 bulan SMRS pasien mengeluh


timbul bercak secara tiba – tiba dan tidak diketahui penyebab serta semakin
lama semakin menyebar ke seluruh tubuh. Pasien tidak mengeluh gatal di
bercak merahnya, namun pasien merasa baal pada bercaknya dan didaerah
sekitar bercak tersebut. 1 minggu SMRS bercak menyebar ke seluruh tubuh
dan keluhan semakin memberat sehingga pasien dibawa ke Rumah Sakit.
Selama dirawat di Rumah Sakit, bercak merah menjadi mengkilat, pasien
mengeluh panas dan nyeri serta baal pada bercak dan kulit sekitar.
Pengobatan yang pernah didapat : Pasien belum pernah berobat dan
belum pernah minum obat.

Penyakit lain yang pernah diderita : Pasien pernah mengalami penyakit


kulit seperti ini 2 tahun yang lalu.

III. STATUS GENERALIS


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Status gizi : Cukup
Tanda vital :
a. Tekanan darah : 130/80 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit
c. RR : 20 x/menit
d. Suhu : 36,3 C
Berat badan : 56 Kg
Tinggi badan : 163 cm
Bentuk badan
a. Thoraks : Cor dan Pulmo : Dalam batas normal
b. Abdomen : Hepar dan Lien : Tidak teraba
c. KGB : Tidak teraba

IV. STATUS DERMATOLOGIS


Lokasi : Bercak ditemukan di regio fasialis, manus, kruris, pedis
dekstra sinistra.

Inspeksi : Tampak plak eritematous, multipel, ukuran numuler


sampai plakat, diskrit, sebagian konfluen disertai krusta berwarna hitam
dengan ukuran lentikuler dengan skuama halus.
Palpasi : Terdapat pembesaran nervus ulnaris bilateral serta nyeri
saat ditekan.
UKURAN LESI KONFIGURAS E.F.PRIMER EF SKUNDER
Pungtata Multiple Linier Makula Krusta
Milier Diskret / konfluen Anuler Papula Erosi
Guttata Gyrata Vasikel Ekskonasi
Lentikuler Kribformis Pustul Ulkus
Numularis Arsiner Bula Skuama
Plakat E F. KHUSUS Nodulus Likenifikasi
Komedo Nodus Vegetasi
Terowongan Plak Sikatriks
Purpura Urtika Abses
Eksanterna Kista
Milia Tumor

Tes Manipulasi : Tidak Dilakukan


Tes Sensoris : Hipoanastesi pada lesi diwajah, tangan dan kaki.
Tes Motorik : Tidak mampu adduksi ibu jari dan tidak mampu
ekstensi jari – jari tangan.
Tes Otonom : Kulit kering dan tidak berkeringat pada lesi.

V. LABORATORIUM
Tidak Dilakukan

VI. RESUME
Pasien datang dengan keluhan timbul bercak merah di wajah, tangan

dan kaki sejak 1 bulan SMRS. Pasien merasa baal pada bercaknya dan di

daerah sekitar bercak tersebut.

Status dermatologik, ditemukan plak eritematous multipel di regio

fasialis, manus, kruris, dan pedis dekstra dan sinistra, berukuran numuler

sampai plakat, diskrit, sebagian konfluen disertai krusta hitam ukuran

lentikuler dengan skuama halus. Adanya pembesaran nervus ulnaris

bilateral serta nyeri pada saat ditekan.

Pada pemeriksaan tes sensoris diperoleh hipoanastesi pada lesi. Tes

motorik pasien tidak mampu adduksi ibu jari dan ekstensi jari – jari tangan.
Tes otonom kulit pasien kering dan tidak berkeringat pada lesi.

VII. DIAGNOSA BANDING


A. Morbus Hansen Tipe Multi Basiler
B. Vitiligo
C. Ptiriasis Versikolor
D. Psoriasis

VIII. DIAGNOSA KERJA


MORBUS HANSEN TIPE MULTI BASILER

IX. PENATALAKSANAAN
A. Umum (Non Medikamentosa)
 Menyarankan pasien untuk menggunakan masker, karena penyakit
ini menular melalui pernapasan.
 Menyarankan pasien untuk imobilisasi.
 Menyarankan pasien untuk merawat kebersihan kulit sehari – hari.
 Menyarankan pasien untuk menggunakan sepatu atau pelindung kaki
serta sarung tangan apabila pasien bekerja dengan benda tajam.
 Menyarankan pasien untuk kontrol rutin dan meminum obat secara
teratur selama 12 bulan agar penyakit segera teratasi.

B. Khusus (Medikamentosa)
 Asam Mefenamat 3x500 mg
 Rifampisin 600 mg/bulan (diminum diawal bulan didepan pengawas)
 Klofazimin 300 mg/bulan (diminum diawal bulan didepan
pengawas)
 Dapsone 100 mg/bulan (diminum diawal bulan didepan pengawas)
 Klofazimin 50 mg/hari (pada hari ke 2-28 diminum dirumah)
 Dapsone 100 mg/hari (pada hari 2-28 diminum dirumah)
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
A. Pemeriksaan Skin Smear (Ziehl-Neelsen)
B. Pemeriksaaan Histopatologi

XI. PROGNOSIS
A. Quo ad vitam ad bonam
B. Quo ad functionam dubia ad bonam
C. Quo ad sanationam dubia ad bonam
D. Quo ad kosmetikum dubia ad malam
Tidak ada gejala dan tanda yang mengarah pada ancaman
kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik. Oleh karena itu,
dengan melakukan pengobatan rutin dan perawatan secara dini, maka
penyakit dapat diobati secara tuntas dan untuk menghindari kekambuhan.

XII. FOLLOW UP
Follow up tidak dilakukan karena pasien tidak dirawat inap.
TINJAUAN PUSTAKA

MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER


DEFINISI
Morbus Hansen (Lepra, kusta) merupakan infeksi bakteri granulomatosa
kronis, terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi kronik yang
yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. Kondisi ini ditandai dengan lesi kulit dan kerusakan
pada saraf perifer yang menyebabkan cacat fisik dan masalah sosial (Sharma,
2010).

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang
kemudian menyebar ke seluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang
disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang
ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Distribusi penyakit di
tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri berbeda-beda (Mochtar, 2007).
Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya multi drug therapy
(MDT) prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga
WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi
penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga
mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan bagi
negara-negara dengan endemis kusta (WHO, 2014). Berdasarkan data WHO tahun
2015, angka kejadian kusta terbanyak di India, yaitu sebesar 127.326 kasus baru,
ini merupakan 60% dari seluruh kasus baru di dunia. Peringkat kedua diduduki
oleh Brazil sebesar 26.395 kasus dan diikuti Indonesia di peringkat ketiga dengan
jumlah kasus 17.202 (WHO, 2016).
Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus
kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,
serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%.
(WHO, 2015). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali
tahun 2013, ditemukan kasus kusta baru sebanyak 84 kasus (9 kusta tipe
pausibasiler dan 75 kusta tipe multibasiler) (Dinkes Bali, 2014).
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia antara usia 3 minggu
hingga lebih dari 70 tahun namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan
produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan
perempuan, namun berdasarkan laporan di beberapa negara laki-laki lebih sering
dibanding perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi,
dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang
tinggi (Kemenkes RI, 2012).
Waktu inkubasi yang panjang merupakan salah satu faktor penting,
hal ini dikarenakan pasien yang sebenarnya telah terinfeksi namun masih
asimptomatik, dapat bermigrasi ke negara lain tanpa terdeteksi, sehingga frekuensi
kasus yang dilaporkan sering kali lebih rendah dibandingkan yang sebelumnya
diprediksi (Massone dkk., 2012).

FAKTOR PENCETUS
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang
merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan
tidak berspora tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan bersifat obligat
intraseluler. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen
pada tahun 1873 (Lee dkk., 2012). Mycobacterium leprae merupakan bakteri
dengan panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung
yang membulat. Mycobacterium leprae hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu
dingin dan membelah secara biner. Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 21
hari, tumbuh maksimal pada suhu 270C hingga 300C (Eichelmann, 2013).
Mycobacterium leprae ini mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwann cell) dan sel sistem retikuloendotelial. Secara mikroskopis,
tampak basil yang bergerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of
cigars (globi) yang terletak intraseluler dan ekstraseluler. Pada pewarnaan Ziehl-
Neelsen (ZN) akan tampak berwarna merah yang merupakan basil tahan asam
(Rea dkk., 2012).
Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan
arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan
respon imunitas seluler maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian
luar hingga ke membran sel. Kapsul Mycobacterium leprae mengandung 2 lipid
bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1)
yang merupakan glikolipid spesifik untuk Mycobacterium leprae yang aktif secara
serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu imunoglobulin
(Lee dkk., 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi bangsa
atau ras, sosioekonomi, kebersihan dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden
bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih cenderung tipe
lepramatosa. Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan
sosioekonomi rendah dan lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor
genetik berperan penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak
diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra (Eichelmann, 2013).

Gambar 2.1. Mycobacterium leprae (Darmaputra, 2018)

ETIOPATOGENESIS
Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon
imunitas seluler pejamu. Pada tahap awal Mycobacterium leprae dikenali oleh
beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like
receptor 2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen
mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk.,
2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped
lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama
pada spesies mikobakterium berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan
berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Selain
itu, stimulasi makrofag oleh molekul LAM Mycobacterium leprae yang telah
dimurnikan, menunjukkan penurunan pelepasan IFN γ oleh makrofag, penurunan
proliferasi dan aktivasi sel T (Kampirapap, 2012).
Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh
Mycobacterium leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung
oleh Mycobacterium leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium
leprae dapat menginvasi sel Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G
pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin
binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya Mycobacterium
leprae menuju ke intraseluler sel schwann, selanjutnya internalisasi
Mycobacterium leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer diakibatkan
oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan
Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase (Misch dkk., 2010).
Demielinisasi oleh Mycobacterium leprae akan memicu invasi lebih lanjut
karena Mycobacterium leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermielin.
Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe
multibasiler (Renault dan Ernst, 2015).
Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga
disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12,
IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang
dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan
menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara
in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric
oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan
saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada
saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia. Selain sel Schwann, makrofag
merupakan sel host yang paling banyak berinteraksi pada Mycobacterium leprae.
Fagositosis Mycobacterium leprae oleh makrofag dimediasi oleh reseptor
komplemen CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan
diregulasi oleh protein kinase (Renault dan Ernst, 2015).
Mekanisme transmisi Mycobacterium leprae hingga saat ini masih belum
diketahui secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat
masuk utama Mycobacterium leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan
metode transmisi utama (Eichelmann, 2013). Faktor risiko terjadinya kusta antara
lain kontak yang erat dan lama, lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin,
serta ras dan etnis tertentu (Thorat, 2010).
Gambar 2.2. Mekanisme Kerusakan Saraf (Scollard, 2010)

KLINIS
1. Anamnesis
Anamnesis pada penderita kusta biasanya diperoleh bercak
keputihan atau kemerahan dengan batas yang kurang jelas dan dapat
terjadi mati rasa pada area bercak. Keluhan lain yang dirasakan adalah
demam, anoreksia, nausea, dan cepalgia. Kemudian dapat diperoleh tanda
– tanda seperti, kulit tidak berkeringat dan tidak berambut, kulit mengkilap
atau kering bersisik, nyeri tekan pada saraf, kelemahan anggota gerak atau
wajah, rasa kesemutan dan seperti tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
gerak. Pada penyakit kusta terdapat tanda-tanda utama (cardinal sign)
yaitu, kelainan kulit yang mati rasa akan terlihat hipopigmentasi (bercak
putih) atau kemerahan, penebalan saraf tepi yang ditandai dengan
gangguan fungsi saraf; pada gangguan fungsi otonom akan ditandai
dengan adanya kulit kering dan retak-retak, pada gangguan fungsi sensoris
akan ditandai dengan adanya mati rasa, pada gangguan fungsi motorik
akan ditandai dengan adanya kelemahan atau kelumpuhan otot
(Amiruddin, 2003).

2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis Morbus Hansen tipe multi basiler merupakan lesi
kulit hipopigmentasi atau eritematous berupa makula, plakat, nodul, dan
papul yang meninggi. Jumlah lesi lebih dari lima, terjadi penebalan dan
pembengkakan pada bercak, distribusi lebih simetris. Kemudian dapat
terjadi mati rasa bisa total atau sebagian saja tehadap rasa raba, rasa suhu
(panas/dingin) dan rasa sakit, penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi
saraf. Gangguan fungsi saraf yaitu, sensoris (anestesi), motoris
(parese/paralisis), otonom (kulit kering). Keadaan ini disertai BTA (+)
pada pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) pada hapusan jaringan kulit
misalnya kerokan kulit pada cuping telinga atau biopsi kulit. Tipe multi
basiler sangat mudah menular (Misch dkk., 2010).

Gambar 2.3. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Bordeline

Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe Lepramatosa


Gambar 2.5 Penderita Kusta Tipe LL

Gambar 2.6. Penderita Kusta BB dan BT

KLASIFIKASI
Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi oleh Ridley dan
Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan
histopatologis, yaitu kusta tipe Tuberculoid Tuberculoid (TT), Borderline
Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL) dan
Lepromatous Lepromatous (LL). Untuk kepentingan program kusta, WHO
mengeluarkan klasifikasi kusta pada tahun 1988 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu
tipe pausibasiler dan multibasiler (Darmaputra, 2018).

Tabel 2.1 Klasifikasi Kusta Menurut Ridley dan Jopling (Darmaputra, 2018).
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya Sedikit (s/d Beberapa Banyak Tidak
10) (10-30) asimetris terhitung,
tunggal (s/d
(>30) simetris
3)
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, Bervariasi Kecil, Kecil
umumnya beberapa beberapa
besar besar dapat besar
Permukaan Kering, Kering, Kusam atau Mengkilap Mengkilap
dengan dengan sedikit
skuama skuama, mengkilap
terlihat cerah,
terdapat
infiltrat
Sensasi Hilang Menurun Menurun Sedikit Normal atau
dengan jelas sedang menurun menurun
minimal
Pertumbuhan Tidak ada Menurun Menurun Sedikit Normal pada
rambut dengan jelas sedang menurun tahap awal
BTA Negatif Negatif atau Jumlah Banyak Banyak sekali
sedikit sedang termasuk
globi
Reaktivitas Positif kuat Positif lemah Negatif atau Negatif Negatif
lepromin (+++) (+ atau ++) positif lemah

Tabel 2.2 Klasifikasi Kusta Menurut WHO (Darmaputra, 2018)


PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula
yang datar, papul 1-5 lesi >5 lesi
yang meninggi, Hipopigmentasi/eritema Distribusi
infiltrat, plak Distribusi tidak simetris lebih simetris
eritem, nodul)
Kerusakan saraf
(menyebabkan
Hilangnya sensasi
hilangnya Hilangnya sensasi
yang jelas
sensasi/kelemahan kurang jelas
Hanya satu
otot yang Banyak cabang saraf
cabang saraf
dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),
Tuberkuloid (TT), Borderline lepromatosa
Tipe
Borderline tuberkuloid (BL), Mid-borderline
(BT) (BB)

DIAGNOSIS
Berdasarkan WHO tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan
adanya 3 tanda kardinal yaitu, lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang
disertai dengan gangguan atau hilangnya sensasi. Makula atau plak
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna seperti tembaga.
Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat,
dapat pula mengkilap. Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap
rasa raba, nyeri dan suhu. Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf. Saraf
yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus komunis. Adanya
pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih sering ditemukan pada kusta
tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan pemeriksaan palpasi. Evaluasi
meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras)
dan ukuran (membesar, normal atau kecil) (Kumar dan Dogra, 2010).
Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi lalu dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum, kapas, tabung
reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinda dan
sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, dan kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan
pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung
reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta. Cara menggoresnya dimulai dari tengah lesi
kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih
tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan
Voluntary Muscle Test (VMT) (Agusni, 2003).
Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,
konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis
magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N.
Tibialis posterior (Advisedly, 2016)
Pemeriksaan penunjang pada kusta dapat dilakukan pemeriksaan
bakterioskopik yaitu, skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan
yang diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi
pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu
dengan menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang
penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman Mycobacterium
leprae. Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya
minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah, mukosa nasal dan
2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak (Misch
dkk., 2010). Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit dapat ditentukan indeks
bakteri 10 (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan
tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013).
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada
sediaan. Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk
fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih
berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley, Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:
0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali. Indeks morfologi (IM)
adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid
yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil
pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat (Darmaputra,
2018).

Gambar 2.7. Gambaran Bentuk Mycobacterium leprae

Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk


memastikan gambaran klinik atau penentuan klasifikasi lepra. Gambaran
histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata,
tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada
tipe Borderline (Misch dkk., 2010).

Gambar 2.8. Gambaran Histopatologi Morbus Hansen; A. Sel epitheloid


pada BT; B. Langerhans giant cells; C. epidermal erosi; D. bentuk makrofag
granuloma pada LL; E. ENL; F. Globi

Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi


tubuh seseorang yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik
terhadap Mycobacterium leprae yaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1)
dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan serologis ini dapat membantu
diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan
serologik lepra adalah uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination),
uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow
test) (Agusni, 2003).

DIAGNOSIS BANDING
Vitiligo
Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula
putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap
bahan kimia. Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler.
Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian
atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan
tangan bagian fleksor. Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang
– kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva. Vitiligo
dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan
dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata
juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada
bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo
generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk
satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir
menyeluruh merupakan vitiligo total (Bacigalupi, 2012).
Ptiriasis Versikolor
Ptiriasis versikolor disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah
terdpat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu
Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase
spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor
endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan
faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi
dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize
furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya
sangat superfisialis, bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur,
batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan
berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan.
Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora (spaghetti and meat ball)
(Burns, 2010).

Psoriasis
Psoriasis merupakan gangguan autoimun bersifat kronik dan residitif.
Ditandai dengan adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh terhadap keadaan umum,
gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi
atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada
akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,
lentikuler dan dapat konfluen (Apriliana dan Mutiara, 2017).

PENATALAKSANAAN
World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan
penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan
clofazimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk
menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta
menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya pengobatan
(Darmaputra, 2018).
Pengobatan kusta menurut WHO adalah sebagai berikut:
1. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB) diberikan dosis
berdasarkan golongan umur sesuai tabel di bawah. Pemberian
satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang
dapat diminum selama 6–9 bulan.

Tabel 2.3 Pemberian MDT pada Kusta tipe PB Berdasarkan Golongan Umur
JENIS < 5 TH 5-9 TH 10-15 TH >15 TH KETERANGAN
OBAT
Rifampisin Berdasarkan 300mg/bln 450mg/bln 600mg/bln Minum didepan
Berat petugas
Dapson 25mg/bln 50mg/bln 100mg/bln Minum didepan
Badan*
petugas
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari Minum dirumah
*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:
a. Rifampisin: bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson: bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB

Gambar 2.9 Blister MDT untuk Kusta Tipe PB

2. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB) diberikan dosis


berdasarkan golongan umur sesuai tabel di bawah. Pemberian
satu blister untuk 28
hari sehingga dibutuhkan 12 blister yang dapat diminum
selama 12-18 bulan.
Tabel 2.4 Pemberian MDT pada Kusta tipe MB Berdasarkan Golongan Umur
JENIS < 5 TH 5-9 TH 10-15 TH >15 TH KETERANGAN
OBAT
Rifampisin Berdasarkan 300mg/bln 450mg/bln 600mg/bln Minum didepan
Berat petugas
Dapson 25mg/bln 50mg/bln 100mg/bln Minum didepan
Badan*
petugas
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari Minum dirumah
Klofazimin 100mg/bln 150mg/bln 300mg/bln Minum didepan
petugas
50mg 2x 50mg/hari 50mg/hari Minum dirumah
seminggu
*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:
a. Rifampisin: bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson: bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB
c. Klofazimin: bulanan: 6 mg/kgBB, harian: 1 mg/kgBB

Gambar 2.10 Blister MDT untuk Kusta Tipe MB

Tabel 2.5 Efek Samping Obat MDT dan Penanganannya


Masalah Nama Obat Penanganan
Ringan:
Air Seni Berwarna Merah Rifampisin Reassurance
(menenangkan Penderita
Kusta dengan penjelasan
yang benar), konseling
Perubahan Warna Kulit Klofamizin Konseling
Menjadi Cokelat
Masalah Gastrointestinal Semua Obat MDT Obat diminum bersama
makan atau setelah
makan
Anemia Hemolitik Dapson Hentikan dapson
Serius:
Ruam kulit, gatal Dapson Hentikan dapson, rujuk
Alergi Urtikaria Dapson dan Rifampisin Hentikan keduanya, rujuk
Ikterus Rifampisin Hentikan Rifampisin,
rujuk
Syok, Purpura, Gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin,
Ginjal rujuk

3. Pengobatan pada Penderita Kusta dengan Keadaan Khusus:


a. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu
hamil/menyusui dan anaknya.
b. Tuberkulosis: bila seseorang menderita Tuberkulosis (TB)
dan Kusta, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT
dapat diberikan bersamaan, dengan dosis Rifampisin
sesuai dosis untuk Tuberkulosis:
1) Untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe MB
Pengobatan Kusta cukup dengan Dapson dan
Klofazimin karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat
TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka
waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah
selesai maka pengobatan Kusta kembali sesuai blister
MDT
2) Untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe PB
untuk pengobatan Kusta cukup ditambahkan Dapson
100 mg, karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat
TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka
waktu pengobatan PB.
c. Untuk Penderita Kusta PB yang alergi terhadap Dapson,
Dapson dapat diganti dengan Klofazimin.
d. Untuk Penderita Kusta MB yang alergi terhadap dapson,
pengobatan hanya dengan dua macam obat saja, yaitu
Rifampisin dan Klofazimin sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB.
e. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Dapson (contoh
Sindrom Dapson/SD). Setelah SD reda, terapi MDT tanpa
Dapson dapat dilanjutkan. Penderita Kusta MB
melanjutkan terapi dengan Rifampisin dan Klofazimin saja
sampai memenuhi regimen 12 bulan. Penderita Kusta PB
melanjutkan terapi dengan Rifampisin dan Klofazimin
(sebagai pengganti Dapson) sampai memenuhi regimen 6
bulan.
f. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Rifampisin.
Penyebabnya adalah ada efek samping Rifampisin atau ada
penyakit penyerta seperti hepatitis kronis, atau terinfeksi
dengan Rifampicin-resistant Mycobacterium leprae. Mereka
mendapat regimen 24 bulan sebagai berikut:
1) Klofazimin 50 mg ditambah 2 dari obat berikut:
Ofloksasin 400 mg atau Minosiklin 100 mg atau
Klaritomisin 50 mg, setiap hari - untuk 6 bulan.
2) Kemudian dilanjutkan dengan Klofazimin 50 mg
ditambah Ofloksasin 400 mg atau Minosiklin 100 mg,
setiap hari selama 18 bulan.
g. Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin . Pada
Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin karena
terjadi perubahan warna kulit diberikan regimen berikut:
MDT MB 12 bulan tapi Klofazimin diganti Ofloksasin 400
mg per hari atau Minosiklin 100 mg per hari atau
Rifampisin 600 mg per bulan, Ofloksasin 400 mg per bulan
dan Minosiklin 100 mg per bulan, selama 24 bulan
(Permenkes, 2019).
REAKSI LEPRA
Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang
menyerang kuman Mycobacterium leprae. Penderia lepra dapat mengalami reaksi
hampir setiap saat yaitu sebelum pengobatan, saat diagnosis ditegakkan, selama
pengobatan maupun setelah pengobatan selesai. Sebagian besar reaksi terjadi
dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada penderita tipe MB, reaksi dapat timbul
setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan beberapa tahun setelah
pengobatan (Andini dkk., 2016).
Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu, reaksi tipe I
disebut juga reaksi reversal. Reaksi tipe I ini disebabkan peningkatan aktivitas
sistem kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang
mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap terdapat
basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB
maupun PB dapat mengalami reaksi tipe I. Sekitar seperempat dari seluruh
penderita lepra kemungkinan akan mengalami reaksi tipe I. Reaksi tipe I paling
sering terjadi dalam enam bulan setelah mulai minum obat. Beberapa penderita
mengalami reaksi tipe I sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi
merupakan tanda penyakit yang sering muncul pertama yang menyebabkan
penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil penderita mengalami reaksi lebih
lambat, baik selama masa pengobatan maupun sesudahnya (Andini dkk., 2016).
Reaksi tipe II disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum
(ENL). Reaksi tipe II ini terjadi apabila basil lepra dalam jumlah besar terbunuh
dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi
alergi. Reaksi tipe II akan mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala
sistemik karena protein ini terdapat dialiran pembuluh darah. Erythema nodusum
leprosum hanya terjadi pada penderita tipe MB. Secara imunopatologis, ENL
termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi
antara antigen Mycobacterium leprae, antibodi (IgM, IgG) dan komplemen, maka
ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun, karena salah satu
protein Mycobacterium leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentuk.
ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena
banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan
dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks
imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan
berbagai organ (Andini dkk., 2016).

Tabel 2.6 Perbedaan Reaksi Lepra Tipe I dan Tipe II (Wisnu dkk., 2015)
Reaksi Tipe I Tipe II
Onset yang tersering 6-12 bulan PCT Setelah 12 bulan PCT
Bentuk klinis BT,BB,BL,LL BL dan LL
Manifestasi klinis Kondisi monomorfik: plak Polimorfik : nodul, plak,
eritem, berbagai bentuk dan papul, vesikel, bulla, ulkus.
ukuran, terdapat skuama di
lesi
Lokalisasi Trunkus dan ekstremitas Wajah dan ekstremitas
Prodromal Hiperestesia kutan pada Demam, nyeri sendi, udem
pamar dan plantar, pinna, bilateral
biasanya unilateral.
Mekanisme Reaktivasi dari respon imun Humoral dan cell mediated
cell-mediated
Histopatologi Granuloma epiteloid Mononuclear dan inflitrasi
PMN
Terapi Prednisone 1mg/kg/hari Thalidomide 100-300mg/hr
atau Prednisone
1mg/kg/hari

DEFORMITAS PADA LEPRA


Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya,
dapat dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder. Kelompok cacat primer
adalah kecacatan yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama
kecacatan sebagai respon kerusakan jaringan terhadap infeksi. Yang termasuk
cacat ini adalah cacat pada fungsi sensorik, misalnya anestesia dan fungsi saraf
motorik, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop, lagoftalmos serta cacat pada
fungsi otonom yang dapat menyebabkan kulit kering dan elastisitas kulit
berkurang. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia dan
madarosis. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman dapat terjadi tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata (Kosasih dkk., 2013).
Kelompok cacat sekunder adalah cacat yang terjadi akibat cacat primer,
terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anestesi memudahkan luka akibat trauma
mekanis maupun termis. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan kontraktur
sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam dan berjalan. Lagoftalmos
dapat menyebabkan kornea kering dan terjadinya keratitis (Kosasih dkk., 2013).
Gejala-gejala kerusakan saraf akibat Mycobacterium leprae adalah sebagai
berikut: Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking
dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lubrikalis medial. Nervus Medianus terjadi anestesia
pada ujung jari sebagian anterior ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, ibu jari
kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral. Nervus Radialis
terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus. Nervus
Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot
intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatubkan bibir.
Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata,
atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral (Wisnu dkk., 2015).
Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya
nervus fasialis yang dapat membuat paralisis nervus orbicularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus, selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan (Wisnu dkk., 2015).
WHO (2012) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut:
Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang
bersifat patologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia,
madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.
Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas kehidupan yang normal bagi
manusia.
Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau
disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang
bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor soial budaya. Handicap ini
merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.

WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam


WHO Technical Report Series No. 968 telah membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain:
Tingkat 0 (tidak terdapat gangguan sensibilitas atau deformitas yang
terlihat pada kaki, tangan dan mata).
Tingkat 1 (ada gangguan sensibilitas, tanpa ada kerusakan yang terlihat
pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata, tidak terdapat gangguan
penglihatan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik).
Tingkat 2 (ada deformitas pada tangan dan kaki, visus kurang dari 6/60,
terdapat gangguan penglihatan berat) (Kosasih dkk., 2013).

PROGNOSIS
Prognosis penyakit pada pasien ini Quo ad vitam ad bonam, Quo ad
functionam dubia ad bonam, Quo ad sanationam dubia ad bonam, Quo ad
kosmetikum dubia ad malam.
Tidak ada gejala dan tanda yang mengarah pada ancaman kematian, tetapi
menyebabkan gangguan kosmetik. Oleh karena itu, dengan melakukan
pengobatan rutin dan perawatan secara dini, maka penyakit dapat diobati secara
tuntas dan untuk menghindari kekambuhan (Massone, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Advisedly, 2016. Seorang Perempuan Usia 35 Tahun dengan Diagnosis
Morbus Hansen dan Ulkus pada Regio Dorsum Pedis Lateral. J Medula Unila;
4(3).
Agusni, I., Menaldi, SL., 2003. Beberapa prosedur diagnostik baru pada
penyakit kusta. Dalam: Daili, ES., Menaldi, SL., Ismiarto, SP., Nilasari, H., editor.
Kusta. Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar.
Amirudin, MD., Hakim, Z., Darwis, E., 2003. Diagnosis penyakit Kusta.
Dalam: Daili, ESS., Menaldi, SL., Ismiarto, SP., Nilasari, H., editor. Kusta. Edisi
ke-2. Jakarta: FKUI.
Apriliana, KF., Mutiara, H., 2017. Laporan Kasus Psoriasis Vulgaris Pada
Laki-Laki 46 Tahun. Bandar Lampung. J Agromed Unila.
Bacigalupi, RM., Postolova, A., David, RS., 2012. Evidence based, non
surgical treatments for vitiligo. American Journal of Clinical Dermatology; 13(4).
Burns, DA., Stephen, B., Neil, COX., Christopher, G., 2010. Rook’s
Textbook of Dermatology. 8th edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell
Publishing.
Darmaputra, IGN., Ganeswari, PAD., 2018. Peran Sitokin dalam
Kerusakan Saraf Penyakit Kusta: Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis; 9(39).
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Bali
Tahun 2014. Bali: Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
Eichelmann, K., 2013. Leprosy. An update: definition, pathogenesis,
classification, diagnosis, and treatment.
Gulia, A., Fried, I., and Massone, C. 2010. New insights in the
pathogenesis and genetics of leprosy. Med Reports; 2(30).
Kampirapap, K., Poonpracha, T., 2015. Squamous Cell Carcinoma
Arising In Chronic Ulcers In Leprosy. J med Assoc Thai.
Kemenkes RI, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kosasih A., Wisnu IM.,, Daili ES., Menaldi SL., 2015. Kusta. Dalam:
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-5. Cetakan ke-2 (dengan perbaikan). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Kumar, B., Dogra, S., 2009. Leprosy: A Disease With Diagnostic And
Management Challenges. Indian J. Dermatol Venereol Leprol;75(2)
Lee, DJ., Rea, TH., and Modlin, RL., 2012. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K (editors). Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill.
Massone, C., Nunzi, E., 2012, Leprosy a Practical Guide, Springer,
Verlag Italia.
Mochtar, H., Siti, A., 2007, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Misch, EA., Berrington, WR., Vary, JR., Hawn, TR., 2010 Leprosy
and the human genome. Microbiol Mol Biol.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Nomor 11 Tahun
2019 Tentang Penanggulangan Kusta.
Rao, S. & Joseph, G. 2013. Impact Of Leprosy On The Quality Of Life.
Renault, C.A., and Ernst, J.D. 2015. Mycobacterium leprae (Leprosy).
In:Bennet, J.E., Dolin, R., Blaser, M.J., editors. Mendell, Douglas, and
Bennetts Principles and Practice of Infectious Diseases. 8th ed. New York:
Elsevier.
Scollard, DM., Adams, LB., Gillis, TP., Krahenbuhl, JL., Truman, RW.,
Williams, DL., 2010. The continuing challenges of Leprosy. Clinical Microbial.
Thorat, D.M., and Sharma, P. 2010. Epidemiolog. In: Kumar
Kar, H.,Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers.
WHO (World Health Organization), 2014. Weekly Epidimeological
Record.
WHO (World Health Organization), 2016. Weekly Epidimeological
Record.
Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. 2015. Kusta. Dalam: Menaldi
SLSW, Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai