Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342026345

Seri 7 EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFI


LINGKUNGAN (Buku: Geografi Lingkungan: Perubahan Lingkungan Global-
UNP Press)

Chapter · June 2020

CITATIONS READS

0 283

1 author:

Dedi Hermon
Universitas Negeri Padang
70 PUBLICATIONS   369 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Blue carbon View project

Policy, Mitigation, and Adaptation of Disaster View project

All content following this page was uploaded by Dedi Hermon on 09 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seri 7
EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DALAM
PERSPEKTIF GEOGRAFI LINGKUNGAN
(Buku: Geografi Lingkungan: Perubahan Lingkungan Global-UNP Press)

Prof. Dr. Dedi Hermon

1
7.1. Peran SIG dalam Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Pengembangan SIG yang terkait dengan evaluasi lahan merupakan suatu rancangan dari
penerapan sebuah sistem informasi dengan tiga kegiatan utama, yaitu: (1) input data hidro-
meteorologi, seperti musim hujan, musim kemarau, curah hujan bulanan dan tahunan, data geologi,
dan data kemiringan lereng, (2) pemrosesan data dengan melakukan perhitungan dan pengabungan
data, dan (3) informasi data sebagai out put yang berupa peta-peta yang berhubungan dengan evaluasi
lahan. Distribusi keruangan (spatial distribution) tentang perencanaan lahan ecara teknis sektoral
adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan lahan dapat diamati secara jelas, sehingga akan
memberi sinergi yang sangat besar terhadap pemerintah dalam mengusahakan kenyamanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Hasil analisis keruangan dengan sistem informasi geografi yang berupa peta-peta dapat
digunakan sebagai dasar penyusunan penggunaan lahan yang tepat bagi masyarakat. Ada beberapa
alasan penggunaan SIG di berbagai disiplin ilmu, yaitu: (1) SIG sangat efektif di dalam membantu
proses-proses pembentukan, pengembangan atau perbaikan peta mental yang telah dimiliki oleh setiap
orang, (2) SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi hingga sistemnya dapat
menjawab pertanyaan spasial, (3) SIG memiliki kemampuan-kemampuan untuk menguraikan unsur-
unsur yang terdapat dipermukaan bumi ke dalam bentuk layer atau coverage data spasial, (4) SIG
memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam memvisualkan data spasial berikut atribut-
atributnya, dan (5) SIG sangat membantu pekerjaan-pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang-
bidang spasial dan geo-informasi. Penggunaan GIS untuk melakukan suatu pemodelan sangat
diperlukan dalam memberikan arahan dalam penataan suatu lahan. Simulasi GIS cukup efektif dalam
memprediksikan kemampuan suatu lahan terhadap kerusakan dan konservasi air sehingga
menghasilkan arahan yang sangat tepat dalam penggelolaan lahan untuk masa yang akan datang.
Beberapa produk SIG yang sering digunakan untuk analisis spasial wilayah adalah GIS Arc
View, Arc GIS, R2V, Arc/info, ER Mapper, ERDAS, Spans GIS, dan sebagainya. Arc View merupakan
salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan yang telah dikembangan oleh ESRI, sehingga
pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore,
menjawab query, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Secara umum kemampuan GIS
Arc View adalah: (1) pertukaran data, membaca, dan menuliskan data dalam format perangkat lunak
GIS lainnya, (2) melakukan analisis statistik dengan operasi-operasi matematis, (3) menampilkan
informasi (basis data) spasial maupun atribut, (4) menjawab query spasial maupun atribut, (5)
melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, (6) membuat peta tematik, (7) meng-costumize aplikasi dengan
menggunakan bahasa skrip, (8) melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang
ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak Arc View.

7.2. Evaluasi Kemampuan Lahan dalam Perspektif Geografi Lingkungan


Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan ke dalam satuan-satuan khusus
menurut kemampuannya untuk penggunaan yang paling intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk
dapat digunakan secara terus menerus. Dengan kata lain, klasifikasi ini akan menetapkan jenis
penggunaan yang paling sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan sebagai
produksi pertanian secara lestari. Pada dasarnya, system klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan
adalah system yang dikembangkan oleh USDA. Sistem ini dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai
sifat tanah dan lokasi terhadap seperangkat kriteria untuk masing-masing kategori melalui proses
penyaringan. Nilai-nilai tersebut pertama-tama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan yang terbaik,
namun jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, maka lahan tersebut secara otomatis akan jatuh
kedalam kelas yang lebih rendah.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan USDA menggunakan sejumlah asumsi, yaitu: (1)
klasifikasi kemampuan lahan merupakan klasifikasi yang bersifat interpretative didasarkan atas sifat-
sifat permanen lahan, (2) lahan didalam satu kelas serupa dalam tingkat kegawatan faktor
penghambatnya, namun tidak harus sama dalam jenis faktor penghambat atau tindakan pengelolaan
yang dibutuhkan, (3) diasumsikan tingkat pengelolaan yang tinggi, (4) klasifikasi kemampuan lahan
bukanlah gambaran produk untuk jenis tanaman tertentu, meskipun perbandingan masukan terhadap
2
hasil dapat membantu dalam menentukan kelas, (5) system itu sendiri tidak menunjukan penggunaan
yang paling menguntungkan yang dapat dilakukan pada sebidang lahan, (6) apabila faktor penghambat
dapat dihilangakan atau perbaikan sedang dilakukan, maka lahan dinilai menurut faktor penghambat
yang masih ada setelah tindakan perbaikan tersebut, (7) penilaian kemampuan lahan suatu daerah dapat
berubah dengan adanya proyek reklamasi yang mengubah secara permanen keadaan alam, dan (8)
pengelompokan kemampuan lahan akan berubah apabila informasi baru tentang tanah tersedia.
Sistem kemampuan lahan menurut USDA mempunyai VIII kelas kemampuan lahan, dimana
kelas I sampai IV merupakan kelas yang dapat diusahakan untuk pertanian sedangkan kelas V sampai
VIII merupakan kelas yang tidak dapat diusahakan untuk usaha pertanian. Kelas I, tanah pada kelas
ini hanya mempunyai sedikit faktor pembatas tetap dan karena itu resiko kerusakannya juga kecil.
Tanah-tanah yang tergolong pada kelas ini sangat baik dan dapat diusahakan untuk segala macam
usaha pertanian. Tanah-tanah ini umumnya datar, bahaya erosinya kecil, solum tanah dalam, drainase
baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik dan responsif terhadap pemupukan. Perlu
diperhatikan bahwa tanah-tanah ini menghadapi resiko penurunan kesuburan dan pemadatan, karena
itu agar terus produktif diperlukan usaha-usaha pemupukan dan pemeliharan struktur tanah.
Kelas II, tanah pada kelas ini mempunyai sedikit faktor pembatas yang dapat mengurangi pilihan
penggunaannya atau membutuhkan tindakan konservasi yang sedang. Karena itu tanah pada kelas ini
membutuhkan pengelolaan tanah yang cukup hati-hati meliputi tindakan konservasi, menghindari
kerusakan, dan memperbaiki hubungan air-udara dalam tanah bila ditanami. Faktor pembatas dalam
kelas ini dapat merupakan satu atau kombinasi dari faktor-faktor lereng landai, kepekaan erosi sedang,
dan struktur tanah kurang baik. Adanya faktor-faktor ini tentu saja memerlukan perhatian yang agak
serius jika kita ingin mengusahakan tanah, seperti pengolahan tanah menurut kontur, strip cropping,
pergiliran tanaman, pemupukan dan pengapuran, dan pembuatan saluran-saluran air.
Kelas III, tanah pada kelas ini mempunyai lebih banyak faktor pembatas daripada tanah pada
kelas II, dan apabila digunakan untuk usaha pertanian akan memerlukan tindakan konservasi yang
serius, yang umumnya lebih sulit baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Faktor-faktor
pembatas pada lahan kelas ini dapat berupa lereng yang agak miring, cukup peka terhadap erosi,
darinase jelek, permeabilitas tanah sangat lambat, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah,
kesuburan dan produktifitas tanah rendah dan sulit untuk diperbaiki. Dengan adanya faktor-faktor
pembatas tersebut, maka ada keterbatasan dalam pemilihan tanaman. Tindakan-tindakan konservasi
seperti strip cropping, pergiliran tanaman, pembuatan teras, penambahan bahan organic dan
pemupukan, merupakan tindakan yang sangat diperlukan sekali.
Kelas IV, tanah pada kelas ini mempunyai faktor pembatas yang lebih besar daripada kelas III,
sehingga jenis penggunaan atau jenis tanaman yang diusahakan juga sangat terbatas. Tanah pada kelas
ini terletak pada lereng yang cukup curam (15% - 30%), sehingga sangat peka terhadap erosi,
drainasenya jelek, solumnya dangkal, dan kapasitas menahan air rendah. Dengan adanya faktor-faktor
pembatas tersebut, maka apabila digunakan untuk usaha pertanian tanaman semusim yang lebih khusus
dan relatif sulit, baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya, disbanding kelas-kelas
sebelumnya. Perlu diusahakan agar tanah selalu dalam keadaan tertutup tanaman, seperti pemberian
mulsa.
Kelas V, tanah pada kelas ini terletak pada tempat yang datar atau agak cekung, selalu basah atau
tergenang air, atau terlalu banyak batu diatas permukaan tanah. Karena itu tanah pada kelas ini tidak
sesuai untuk usaha pertanian tanaman semusim, namun lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi
permanen seperti tanaman makanan ternak atau dihutankan. Kelas VI, tanah pada kelas ini terletak
pada daerah yang mempunyai lereng cukup curam, sehingga mudah tererosi atau telah mengalami
erosi yang sangat berat atau mempunyai solum yang sangat dangkal sekali. Berdasarkan hal tersebut,
tanah pada kelas ini juga tidak sesuai dijadikan sebagai lahan pertanian, namun lebih sesuai untuk
vegetasi permanen seperti padang rumput, tanaman pakan ternak, atau dihutankan. Jika digunakan
untuk padang rumput, hendaknya pengembalaan tidak merusak rumput penutup tanah. Sedangkan jika
digunakan untuk hutan, maka penebangan kayu harus selektif dan mengikuti kaidah-kaidah
konservasi.
3
Kelas VII, tanah pada kelas ini terletak pada lereng yang cukup curam, telah tererosi berat, solum
sangat dangkal, dan berbatu. Karena itu tanah ini hanya cocok ditanami dengan vegetasi permanent.
Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan, maka harus diikuti dengan pengelolaan yang lebih
khusus dari yang diperlukan pada lahan kelas VI. Kelas VIII, tanah pada kelas ini terletak pada lereng
yang sangat curam, permukaan sangat kasar, tertutup batuan lepas atau batuan singkapan atau tanah
pasir di pantai. Karena itu tanah pada kelas ini dibiarkan pada keadaan alami dibawah vegetasi alami
(cagar alam, hutan lindung, atau tempat rekreasi).
Seperti telah diuraikan di atas, maka faktor-faktor klasifikasi pada kategori kelas adalah faktor
pembatas yang bersifat permanen atau sulit untuk dapat diubah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
(1) lereng, (2) tekstur tanah, (3) permeabilitas, (4) kedalaman solum, (5) drainase, dan (6) erosi.

Tabel 1. Harkat Penentu Tingkat Kemampuan Lahan dalam Perspektif


Geografi Lingkungan

No Unit Lahan Kriteria Harkat


1 Lereng
L1 datar (0-3%) 1
L2 landai/berombak (3-8%) 2
L3 agak miring/bergelombang (8-15%) 3
L4 miring/berbukit (15-30%) 4
L5 agak curam (30-45%) 5
L6 curam (45-65%) 6
L7 sangat curam (>65%) 7
2 Tekstur Tanah
T1 sedang, meliputi debu, lempung berdebu, dan lempung 1
T2 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir 2
T3 halus, meliputi liat dan liat berdebu 3
T4 agak kasar, meliputu lempung berpasir 4
T5 kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 5
3 Permeabilitas
P1 sedang (2,0-6,25 cm/jam) 1
P2 agak lambat (0,5-2,0 cm/jam) 2
P3 agak cepat (6,25-12,5 cm/jam) 3
P4 lambat (0,125-0,5 cm/jam) 4
P5 cepat (12,5-25,0 cm/jam) 5
P6 sangat lambat (<0,125 cm/jam) 6
P7 sangat cepat (>25,0 cm/jam) 7
4 Solum
K1 dalam (>90 cm) 1
K2 sedang (50-90 cm) 2
K3 dangkal (25-50 cm) 3
K4 sangat dangkal (<25 cm) 4
5 Drainase
D1 baik, dimana tanah mempunyai peredaran udara yang baik, seluruh profil tanah dari lapisan atas 1
sampai lapisan bawah berwarna seragam, tidak terdapat bercak-bercak
D2 agak baik, dimana tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak- bercak 2
berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bawah
D3 agak buruk, lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara yang baik, jadi pada lapisan ini tidak 3
terdapat bercak, tapi seluruh lapisan bawah penuh dengan bercak
D4 buruk, tanah lapisan atas sedikit bercak dan lapisan bawah penuh dengan bercak 4
D5 sangat buruk, seluruh lapisan tanah penuh dengan bercak 5
D6 sangat-sangat buruk, tanah selalu tergenang atau terendam air 6
6 Erosi
E1 tidak ada erosi 1
E2 ringan, jika <25% tanah lapisan atas hilang 2
E3 sedang, jika 25-75% tanah lapisan atas hilang 3
E4 berat, jika >75% tanah lapisan atas hilang dan <25% tanah lapisan bawah juga hilang 4
E5 sangat berat, jika >25% tanah lapisan bawah hilang 5
7 Singkapan Batuan
B1 tidak ada (<2% luas areal) 1
B2 sedikit (2-10% luas areal), dimana pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu 2
B3 sedang (10-50% luas areal), dimana pengolahan tanah dan penanaman sudah terganggu 3
B4 banyak (50-90% luas areal), dimana pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu 4
B5 sangat banyak (>90% luas areal), dimana tanah sama sekali tidak dapat digarap 5
8 Ancaman Banjir
O1 tidak pernah, dimana dalam periode 1 tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih 1
dari 24 jam
O2 kadang-kadang, banjir menutupi tanah >25 jam dan tidak teratur dalam periode kurang dari 1 tahun 2

4
O3 selama 1 bulan lebih tanah tertutup banjir >24 jam 3
O4 selama 2-5 bulan dalam 1 tahun tanah selalu tertutup banjir >24 jam 4
O5 selama >6 bulan tanah selalu tertutup banjir >24 jam 5
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi klasifikasi kemampuan lahan digunakan formula yang dikemukakan
oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 2. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kemampuan Lahan dalam


Perspektif Geografi Lingkungan

Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan


A <4,5 Kemampuan lahan Kelas I
B 4,6-9,1 Kemampuan lahan Kelas II
C 9,2-13,7 Kemampuan lahan Kelas III
D 13,8-18,3 Kemampuan lahan Kelas IV
E 18,4-22,9 Kemampuan lahan Kelas V
F 23,0-27,5 Kemampuan lahan Kelas VI
G 27,6-32,1 Kemampuan lahan Kelas VII
H >32,1 Kemampuan lahan Kelas VIII
Sumber: Hermon et al. (2008)

7.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dalam Perspektif Geografi Lingkungan


Kesesuaian lahan erat kaitannya dengan penggunaan lahan, yang merupakan bentuk atau
alternatif kegiatan usaha pemanfaatan lahan. Penggunaan lahan diawali dengan klasifikasi kemampuan
lahan untuk mengelompokan lahan pada kelas-kelas tertentu yang didasari oleh evaluasi lahan.
Evaluasi lahan adalah proses pendugaan (interpretasi) potensi lahan untuk penggunaan lahan. Dasar
pengelompokan dari evaluasi lahan adalah kesesuaian lahan, yaitu kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibedakan atas 2, yaitu: (1) kesesuaian lahan aktual,
merupakan potensi lahan yang mendasar dan (2) kesesuaian lahan potensial, merupakan potensi lahan
untuk masa yang akan datang setelah adanya reklamasi lahan. Klasifikasi kesesuaian lahan dapat
dibedakan atas:
Kelas I, lahan-lahan pada kelas ini dapat digarap dengan system irigasi yang bagus, berproduksi
cukup tinggi untuk mendukung berbagai jenis tanaman, biaya pengelolaan lahan relatif rendah karena
lahan relatif datar, solum tanah dalam, struktur tanah baik sehingga memudahkan penetrasi akar
tanaman, daya tahan air dalam tanah relatif tinggi, bebas dari unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tanaman. Kelas II, lahan-lahan pada kelas ini juga dapat digarap dengan system irigasi yang bagus,
berproduksi cukup tinggi untuk mendukung berbagai jenis tanaman, tapi produktifitasnya masih
dibawah kelas I, jenis tanaman yang diusahakan terbatas dan biaya pengelolaan lahan relatif tinggi.
Kelas III, lahan-lahan pada kelas ini tergolong pada lahan marginal (tapi masih dapat digarap) karena
adanya faktor pembatasan tanah, topografi relatif kasar dan drainase jelek sehingga kesesuaiannya
cukup terbatas, hanya sesuai untuk jenis tanaman tertentu saja. Kelas IV, lahan-lahan pada kelas ini
tergolong pada lahan yang tidak dapat digarap, tidak memiliki system irigasi yang bagus, dan sesuai
untuk kebun buah-buahan. Kelas V, lahan-lahan pada kelas ini juga tergolong pada lahan yang tidak
dapat digarap, juga tidak memiliki system irigasi yang bagus, dan sesuai untuk jenis tanaman keras.
Kelas VI, lahan-lahan pada kelas ini tergolong pada lahan yang tidak dapat digarap dan hanya sesuai
untuk hutan permanen.

5
Dalam system Frame Work for Land Suitability Classification of the FAO, penelitian kesesuaian
lahan bagi setiap bentuk penggunaan lahan yang berbeda-beda dilakukan secara terpisah. System ini
bukan system yang komplet tapi system ini mudah diadaptasikan atau dimodifikasikan secara local.
Sistem ini dapat dikembangkan oleh setiap negara sesuai dengan karakteristik fisis yang menyusun
negara tersebut.
Struktur klasifikasi system FAO adalah sebagai berikut:
a) Ordo, membagi lahan menjadi Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N) untuk digarap. Pada keadaan
tertentu dapat dibuat ordo Sesuai Bersyarat (SN)
b) Kelas, menunjukan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo yang dilambangkan dengan angka

• Dalam ordo Sesuai (S) terdapat tiga kelas, yaitu:


S1, sangat sesuai, lahan tanpa faktor pembatas bagi kelangsungan produksi suatu
penggunaan lahan tertentu. S2, agak sesuai, lahan dengan faktor pembatas ringan yang
menurunkan tingkat produksi, tetapi secara fisik maupun ekonomis masih sesuai untuk
penggunaan tertentu. S3, hampir sesuai, lahan dengan faktor pembatas sedang yang mempengaruhi
tingkat produksi atau meningkatkan biaya produksi yang secara ekonomis lahan ini bersifat
marginal
• Dalam ordo Tidak Sesuai (N) terdapat dua kelas, yaitu:
N1, tidak sesuai saat ini, lahan dengan pembatas yang berat yang belum dapat diatasi dengan
teknologi yang ada pada batas-batas biaya yang wajar sehingga membatasi kesesuaiannya pada
penggunaan tertentu. N2, tidak sesuai selamanya, lahan dengan pembatas berat sehingga
tidak memungkinkan/menguntungkan untuk mengusahakan lahan tersebut
c) Sub Kelas, pembagian kelas berdasarkan jenis faktor pembatas. Sub kelas disimbolkan dengan
huruf kecil dibelakang symbol kelas. Misalnya: S2w, S2t, S2wt; dimana w (pembatas kelembaban
tanah, t (pembatas topografi)
d) Unit, pembagian sub kelas berdasarkan perbedaan satuan pengelolaan yang diperlukan. Unit ini
dilambangkan dengan angka dalam kurung. Misalnya: S2w (1) atau S2w (2).

7.3.1. Pendekatan Evaluasi Kesesuaian Lahan dalam Perspektif Geografi Lingkungan

7.3.1.1. Pendekatan Keruangan


Pendekatan keruangan lebih memfokuskan pada analisis unit-unit ruang melalui interpretasi
peta-peta yang mendukung karakteristik kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu. Analisis
kesesuaian lahan dengan pendekatan keruangan digunakan untuk suatu kawasan yang luas atau
minimal dalam lingkup Kabupaten/Kota, dengan peta dasar skala 1:50.000. Ground Check diperlukan
untuk menghasilkan suatu kajian yang valid.

Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Beririgasi (Pengembangan Irigasi)


Kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi merupakan suatu metode evaluasi untuk suatu
penggunaan khusus bagi pengembangan sistem irigasi. Pembangunan sistem pertanian beririgasi
diperlukan karena hampir sepertiga dari lahan dipermukaan bumi, terutama di daerah-daerah beriklim
kering dan semi-arid kekurangan air, sehingga air merupakan pembatas utama bagi pengembangan
pertanian. Disamping itu pembangunan sistem irigasi sangat diperlukan untuk peningkatan intensitas
penggunaan lahan disamping meningkatkan efisiensi penggunaan air, baik untuk pertanaman palawija
maupun padi sawah.

6
Tabel 3. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian
Beririgasi dalam Perspektif Geografi Lingkungan

No Unit Lahan Kriteria Harkat


1 Peta Tanah
PT1 Oksisols 4
PT2 Ultisols 4
PT3 Aridisols 1
PT4 Spodosols 2
PT5 Molisols 2
PT6 Alfisols 2
PT7 Inceptisols 1
PT8 Andisols 1
PT9 Vertisols 3
PT10 Entisols 3
PT11 Histosols 4
2 Peta Lereng
PL1 <8 % 1
PL2 8-15 % 2
PL3 15-25 % 3
PL4 >25 % 4
3 Peta Curah Hujan
PD1 < 500 mm/tahun 1
PD2 500-1500 mm/tahun 2
PD3 1500-2000 mm/tahun 3
PD4 >2000 mm/tahun 4
4 Peta Penggunaan lahan Pertanian
PP1 Pertanian irigasi 3
PP2 Padang rumput permanen irigasi 2
PP3 Pertanian tanpa irigasi 1
PP4 Padang rumput permanen tanpa irigasi 1
PP5 Pohon besar dan belukar 1
PP6 Permukiman pinggir kota dan ladang 4
PP7 Padang tandus 1
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis model kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi (Hermon et al., 2008) adalah sebagai
berikut:

PB = PP + PT + 3 (PL) + 2 (PD)
PB: Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Beririgasi
PP: Penggunaan Lahan
PT: Peta Tanah (Jenis Tanah)
PL: Peta Lereng (Kemiringan Lereng, %)
PD: Peta Curah Hujan (Curah Hujan mm/tahun)

Analisis data dilakukan dengan GIS yang terdiri dari 4 tahap, yaitu (1) tahap tumpangsusun data
spasial, (2) tahap editing data atribut, (3) tahap analisis tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil
analisis. Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. Setiap parameter
penentu kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit
analisis skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan untuk
menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi. Analisis untuk menentukan zonasi
tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian sistem irigasi digunakan formula yang dikemukakan oleh
Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

7
Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi dilakukan pada hasil akhir
aplikasi model pada data atribut GIS.

Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Bebas Banjir


Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk permukiman bebas
banjirdikembangkan berdasarkan USDA (1971). Perumusan zona tingkat kesesuaian lahan dilakukan
dengan GIS Arc View 3.3.

Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Bebas Banjir


Dalam Perspektif Geografi Lingkungan

Simbol Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Harkat


Peta Tingkat Bahaya Banjir
PO1 Bahaya banjir tanpa 1
PO2 Bahaya banjir rendah-sedang 2
PO3 Bahaya banjir tinggi 3
Peta Lereng
PL1 0-15% Datar-Miring 1
PL2 >15-40% Miring- Curam 2
PL3 >40% Sangat Curam 3
Peta Tanah
PT1 Dangkal Entisols, Vertisols, Aridisols 1
PT2 Sedang Inceptisols, Andisols, Molisols, Alfisols, Spodosols, Ultisols, Oksisols 2
PT3 Histosols 3
Peta Sebaran Batuan
PB1 0-15% volume tanah Sedikit 1
PB2 >15 – 50 % volume tanah Sedang 2
PB3 > 50 % volume tanah Banyak 3
Peta Tingkat Bahaya Erosi
PE1 Bahaya erosi tanpa Tidak ada Erosi 1
PE2 Bahaya erosi rendah-sedang Erosi Ringan 2
PE3 Bahaya erosi tinggi Erosi Berat 3
Sumber: USDA (1971)

Analisis model kesesuaian lahan untuk permukiman bebas banjir (Hermon et al., 2008) adalah
sebagai berikut:
PBB = PE + PB + PT + PL + 3 (PO)
PBB: Permukiman Bebas Banjir
PE: Peta Tingkat Erosi (Bahaya Erosi)
PB: Peta Sebaran Batuan
PT: Peta Tanah
PL: Peta Lereng (Kemiringan Lereng, %)
PO: Peta Bahaya Banjir

Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah
skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman bebas banjir dilakukan pada hasil
akhir aplikasi model pada data atribut GIS.

8
Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Bebas Longsor
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk permukiman bebas
banjirdikembangkan berdasarkan USDA (1971). Perumusan zona tingkat kesesuaian lahan dilakukan
dengan GIS Arc View 3.3.

Tabel 5. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Bebas Longsor


dalam Perspektif Geografi Lingkungan

Simbol Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Harkat


Peta Tingkat Bahaya Longsor
PO1 Bahaya longsor tanpa 1
PO2 Bahaya longsor rendah-sedang 2
PO3 Bahaya longsor tinggi 3
Peta Lereng
PL1 0-15% Datar-Miring 1
PL2 >15-40% Miring- Curam 2
PL3 >40% Sangat Curam 3
Peta Tanah
PT1 Dangkal Entisols, Vertisols, Aridisols 1
PT2 Sedang Inceptisols, Andisols, Molisols, Alfisols, Spodosols, Ultisols, Oksisols 2
PT3 Histosols 3
Peta Sebaran Batuan
PB1 0-15% volume tanah Sedikit 1
PB2 >15 – 50 % volume tanah Sedang 2
PB3 > 50 % volume tanah Banyak 3
Peta Tingkat Bahaya Erosi
PE1 Bahaya erosi tanpa Tidak ada Erosi 1
PE2 Bahaya erosi rendah-sedang Erosi Ringan 2
PE3 Bahaya erosi tinggi Erosi Berat 3
Sumber: USDA (1971)

Analisis model kesesuaian lahan untuk permukiman bebas longsor (Hermon et al., 2008) adalah
sebagai berikut:
PBL = 2 (PE) + PB + PT + 2 (PL) + 4 (PO)
PBB: Permukiman Bebas Longsor
PE: Peta Tingkat Bahaya Erosi
PB: Peta Sebaran Batuan
PT: Peta Tanah
PL: Peta Lereng
PO: Peta Bahaya Longsor

Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman bebas longsor dilakukan pada
hasil akhir aplikasi model pada data atribut GIS.

7.3.1.2. Pendekatan Lahan


Pendekatan lahan lebih memfokuskan pada analisis unit-unit lahan melalui interpretasi langsung
kelapangan. Analisis kesesuaian lahan dengan pendekatan lahan digunakan untuk suatu kawasan yang
sempit-luas atau minimal kawasan dalam lingkup Kecamatan. Strategi pengambilan sampel harus
berdasarkan Satuan Lahan dengan peta penyusun satuan lahan berskala 1:50.000.
9
Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Beririgasi
Kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi merupakan suatu metode evaluasi untuk suatu
penggunaan khusus bagi pengembangan sistem irigasi. Pembangunan sistem pertanian beririgasi
diperlukan karena hampir sepertiga dari lahan dipermukaan bumi, terutama di daerah-daerah beriklim
kering dan semi-arid kekurangan air, sehingga air merupakan pembatas utama bagi pengembangan
pertanian.

Tabel 6. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian


Beririgasi dalam Perspektif Geografi Lingkungan
No Unit Lahan Kriteria Harkat
1 Tanah
T1 Tekstur sangat halus (liat) 13
T2 Tekstur agak halus (liat berdebu) 12
T3 Kedalaman dangkal ke sustrata yang relatif kedap air 11
T4 Struktur buruk (remah, butir) 10
T5 Konsistensi buruk (lepas, gembur) 9
T6 Tekstur yang kasar (pasir, pasir berlempung) 8
T7 Kedalaman dangkal kepasir kasar atau kerikil 7
T8 Kedalaman dangkal ke zone kapur yang terkosentrasi 6
T9 Salinitas dan alkalinitas 5
T10 Perbatuan 4
T11 Kapasitas air tersedia buruk (tanah jenuh air) 3
T12 Daya hantar air buruk (cekungan) 2
T13 Infiltrasi buruk (rawa) 1
2 Topografi
T1 Berlereng 4
T2 Permukaan kasar 3
T3 Tertutup pohon atau belukar 2
T4 Tertutup singkapan batuan 1
3 Drainase
D1 Saluran pembuangan alami 3
D2 Muka air tanah dalam 2
D3 Sering banjir 1
4 Penggunaan
lahan
P1 Pertanian irigasi 7
P2 Padang rumput permanen irigasi 6
P3 Pertanian tanpa irigasi 5
P4 Padang rumput permanen tanpa irigasi 5
P5 Pohon besar dan belukar 3
P6 Permukiman pinggir kota dan ladang 2
P7 Padang tandus 1
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk pertanian sistem irigasi digunakan
formula yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah
skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 7. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan untuk


Pertanian Beririgasi dalam Perspektif Geografi Lingkungan

Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan


A <3,83 Kelas VI: Tidak sesuai untuk pertanian beririgasi
B 3,84-7,67 Kelas V: Kelas penggunaan khusus yang mebutuhkan penelitian untuk pertanian beririgasi
C 7,68-11,51 Kelas IV: Kelas penggunaan khusus untuk buah-buahan
D 11,52-15,35 Kelas III: Kesesuaian lahan rendah untuk pertanian beririgasi
E 15,36-19,19 Kelas II: Kesesuaian lahan sedang untuk pertanian beririgasi
F >19,20 Kelas I: Kesesuaian lahan tinggi untuk pertanian beririgasi

10
Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk permukiman berdasarkan
USDA (1971). Perumusan zona tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan GIS Arc View 3.3.
Tabel 8. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Simbol Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Harkat
Drainase
D0 Memiliki saluran primer, sekunder, tersier yang berfungsi dengan baik sehingga tidak terjadi genangan air 3
D1 Memiliki saluran primer, sekunder, tersier yang kurang berfungsi dengan baik sehingga masih ada genangan 2
air
D2 Tidak memiliki saluran drainase yang lengkap sehingga air mengalir tidak terkontrol atau timbul genangan 1
air
Banjir
Dalam 1 tahun tidak pernah mengalami banjir untuk waktu 24 jam; banjir lebih dari 24 jam terjadinya dalam
3
O0 jangka waktu kurang dari 1 bulan
O1 Selama 1 bulan dalam setahun secara teratur menderita banjir lebih 24 jam 2
2-5 bulan dalam setahun secara teratur menderita banjir lebih dari 24 jam; 6 bulan atau lebih dilanda banjir
O2 1
secara teratur lebih dari 24 jam
Kemiringan Lereng
L0 0-15% Datar-Miring 3
L1 >15-40% Miring- Curam 2
L2 >40% Sangat Curam 1
Tekstur
T3 Agak Kasar Lempung Berpasir, Pasir Berlempung, Pasir 3
T2 Agak Halus Liat Berpasir, Lempung Liat Berdebu, Lempung Berliat, Lempung Liat Berpasir 2
T1 Halus Liat Berdebu, Liat 1
Batuan Kerikil
B0 0-15% volume tanah Sedikit 3
B1 >15 – 50 % volume tanah Sedang 2
B2 > 50 % volume tanah Banyak 1
Kedalaman Efektif
K2 < 50 cm Dangkal 3
K1 > 50 cm-90cm Sedang 2
K0 > 90 cm Dalam 1
Bahaya Erosi
E0 Tidak ada lapisan atas hilang Tidak ada Erosi 3
E1 < 25% lapisan atas hilang Erosi Ringan 2
E2 25%-75% lapisan atas hilang Erosi Berat 1
Sumber: USDA (1971)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 9. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Tingkat Kesesuaian Lahan


untuk Permukiman (USDA, 1971)

Zona Interval Karakteristik Lahan Kriteria Kesesuaian Lahan


I <14 Lahan Tidak Stabil Tidak Sesuai
II >14,1 Lahan Stabil Sesuai

Zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman dibedakan atas 2 zona:


1. Zona 1: lahan tidak sesuai untuk permukiman dengan artian kemampuan lahan dibatasi oleh sifat-
sifat lahan yang tidak sesuai untuk permukiman
2. Zona 2: lahan sesuai untuk permukiman, dengan artian kemampuan lahan sangat baik dalam
mendukung permukiman

11
Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk Padi Sawah dilakukan dengan
GIS Arc View 3.3 (Hermon et al., 2008).
Tabel 10. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah
No Unit Lahan Kriteria Harkat
1 Temperatur 0C
C1 18-30 1
C2 >30-35 2
C3 <18->35 3
2 Curah Hujan (mm/tahun)
H1 800-1500 1
H2 >1500 2
H3 <800 3
3 Drainase Tanah
Dt1 Terhambat (Tergenang) 1
Dt2 Agak Cepat 2
Dt3 Sangat Cepat (kering) 3
4 Tekstur Tanah
T1 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung 1
liat berpasir; halus, meliputi liat dan liat berdebu
T2 sedang, meliputi debu, lempung berdebu, dan lempung 2
T3 agak kasar, meliputu lempung berpasir; kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 3
5 Pada Lahan Gambut (kalau Sawah direncananakan pada Rawa)
G1 Saprik 1
G2 Hemik 2
G3 Fibrik 3
6 Kedalaman Solum (cm)
S1 >50 1
S2 25-50 2
S3 <25 3
7 Lereng (%)
L1 <5 1
L2 5-8 2
L3 >8 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <5 1
Sa2 5-8 2
Sa3 >8 3
Sumber: Hermon et al. (2008)

Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk padi sawah digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

12
Tabel 11. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan
untuk Padi Sawah

Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan


A < 6,7 Lahan sesuai untuk tanaman Padi Sawah
B 6,8-13,5 Lahan agak sesuai untuk tanaman Padi Sawah
C >13,6 Lahan tidak sesuai untuk tanaman Padi Sawah

Kesesuaian Lahan untuk Jagung


Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk Jagung dilakukan dengan GIS
Arc View 3.3 (Hermon et al., 2008).
Tabel 12. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Jagung

No Unit Lahan Kriteria Harkat


1 Temperatur 0C
C1 16-30 1
C2 >30-35 2
C3 <16->35 3
2 Curah Hujan (mm/tahun)
H1 600-1200 1
H2 >1200 2
H3 <600 3
3 Drainase Tanah
Dt1 Agak Cepat 1
Dt2 Terhambat (Tergenang) 2
Dt3 Sangat Cepat (kering) 3
4 Tekstur Tanah
T1 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung 1
liat berpasir; halus, meliputi liat dan liat berdebu
T2 sedang, meliputi debu, lempung berdebu, dan lempung 2
T3 agak kasar, meliputu lempung berpasir; kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 3
5 Pada Lahan Gambut (kalau Jagung direncananakan pada Rawa)
G1 Saprik 1
G2 Hemik 2
G3 Fibrik 3
6 Kedalaman Solum (cm)
S1 >50 1
S2 25-50 2
S3 <25 3
7 Lereng (%)
L1 < 15 1
L2 15-25 2
L3 >25 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <4 1
Sa2 4-8 2
Sa3 >8 3
11 pH Tanah
pH 1 5,5-7,5 1
pH 2 4 -<5,5 2
pH 3 <4 - >7,5 3
Sumber: Hermon et al. (2008)

13
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Jagung digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 13. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan


untuk Jagung

Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan


A < 7,3 Lahan sesuai untuk tanaman Jagung
B 7,4 – 14,7 Lahan agak sesuai untuk tanaman Jagung
C > 14,7 Lahan tidak sesuai untuk tanaman Jagung

Kesesuaian Lahan untuk Sawit


Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk Sawit dilakukan dengan GIS
Arc View 3.3 (Hermon et al., 2008).
Tabel 14. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Sawit
No Unit Lahan Kriteria Harkat
1 Temperatur 0C
C1 15-30 1
C2 >30-35 2
C3 <15->35 3
2 Curah Hujan (mm/tahun)
H1 1000-1500 1
H2 >1500 2
H3 <1000 3
3 Drainase Tanah
Dt1 Agak Cepat 1
Dt2 Sangat Cepat (kering) 2
Dt3 Terhambat (Tergenang) 3
4 Tekstur Tanah
T1 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung 1
liat berpasir; halus, meliputi liat dan liat berdebu; sedang, meliputi debu, lempung
berdebu, dan lempung
T2 agak kasar, meliputu lempung berpasir 2
T3 kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 3
5 Pada Lahan Gambut (kalau Sawit direncananakan pada Rawa)
G1 Saprik 1
G2 Hemik 2
G3 Fibrik 3
6 Kedalaman Solum (cm)
S1 >100 1
S2 50-100 2
S3 < 50 3
7 Lereng (%)
L1 < 10 1
L2 10-20 2
L3 >20 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <5 1
14
Sa2 5-8 2
Sa3 >8 3
11 pH Tanah
pH 1 5-7 1
pH 2 4 -5 2
pH 3 <4 - >7 3
12 KTK Tanah
KTK 1 Rendah-sedang 1
KTK 2 Tinggi-sangat tinggi 2
KTK 3 Sangat rendah 3
Sumber: Hermon et al. (2008)

Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Sawit digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah
skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 15. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan


untuk Sawit
Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan
A <8 Lahan sesuai untuk tanaman Sawit
B 8,1-16,1 Lahan agak sesuai untuk tanaman Sawit
C > 16,2 Lahan tidak sesuai untuk tanaman Sawit

Kesesuaian Lahan untuk Karet


Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk Karet dilakukan dengan GIS Arc
View 3.3 (Hermon et al., 2008).
Tabel 16. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Karet
No Unit Lahan Kriteria Harkat
1 Temperatur 0C
C1 18-25 1
C2 >25-33 2
C3 <18->25 3
2 Curah Hujan (mm/tahun)
H1 900-1500 1
H2 >1500 2
H3 < 900 3
3 Drainase Tanah
Dt1 Agak Cepat 1
Dt2 Sangat Cepat (kering) 2
Dt3 Terhambat (Tergenang) 3
4 Tekstur Tanah
T1 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung 1
liat berpasir; halus, meliputi liat dan liat berdebu; sedang, meliputi debu, lempung
berdebu, dan lempung
T2 agak kasar, meliputu lempung berpasir 2
T3 kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 3
5 Ketinggian (mdpl)
Kt 1 < 600 1
Kt 2 600-1000 2
Kt 3 >1000 3
6 Kedalaman Solum (cm)
S1 >100 1
S2 50-100 2
S3 < 50 3
7 Lereng (%)
L1 < 15 1
L2 15-30 2

15
L3 >30 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <5 1
Sa2 5-10 2
Sa3 > 10 3
11 pH Tanah
pH 1 5-6,5 1
pH 2 4 -5 2
pH 3 <4 - >6,5 3
12 KTK Tanah
KTK 1 Rendah-sedang 1
KTK 2 Sangat rendah 2
KTK 3 Tinggi-sangat tinggi 3
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Karet digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k

I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah


skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan

Tabel 17. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan


untuk Karet

Zona Interval Kriteria Kemampuan Lahan


A <8 Lahan sesuai untuk tanaman Karet
B 8,1-16,1 Lahan agak sesuai untuk tanaman Karet
C > 16,2 Lahan tidak sesuai untuk tanaman Karet

16
Daftar Pustaka
(Seri 1-7)

Anonymous. 2003. Combating Desertification in Asia. Last Modified


Adams, W.M. 1990. Green Development: Environmental and Sustainable Development n the Third
World. Routledge. New York
Arsyad, S. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. IPB.
Bogor
Azam, M.M., A.Waris, dan N.M. Nahar. 2005. Prospect and Potential of Fatty Acid Ethyl Esters of
Some Non-Traditional Seed Oils for Use as Biodiesel in India. Biomass and Bioenergy. 29:
293-302
Borenstein, S. 2006. Global Warming Said Killing Some Species. Associated Press
Bouaid, A., Y. Diaz, M. Martinez, and J. Aracil. 2005. Pilot Plant Studies of Biodiesel Production
Using Brassica Carinata as Raw Material. Catalysis Today
Carver, S.J., A. Evans, R. Kingston, and I. Turton. 2000. Accessing Geographycal Information
Systems Over the World Wide Web: Improving Public Participation in Environmental
Decision-Making. Information, Infrastructure, and Policy. 6: 157-170
Conceicao, M. M., R.A. Candeia, H.J. Dantas, L.E.B. Soledade, V.J. Fernandes Jr, and A.G. Souza.
2005. Theological Behavior of Castor Oil Biodiesel. Energy & Fuels. 19: 2185-2188
Climate Change. 2001a. The Scientific Basic. http://www_gnida.no/climate/ipcc tar/wq1/001.htm
Climate Change. 2001b. Impacts, Adaption, and Vulnerability. http://www_gnida.no/climate/ipcc
tar/wq1/002.htm
Climate Change. 2001c. Mitigation. http://www_gnida.no/climate/ipcc tar/wq1/001.htm
Degraff, J.V and C.T. Rogers. 2003. An Unusual Landslide-Dam Event in Dominica, West Indies.
Landslides News. 14/15: 2-4
de Rato, R. 2006. Energy Policy in the Global Economy. Speech Presented at Energy and Minerals
Business Meeting in Melbourne tanggal 18 November 2006. Australia
Dibyosaputro. 1999. Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh. Kabupaten Kulon Progo. Daerah
Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia. 23. 3-34
Djayadiningrat, S. 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno
Ekonomi. ITB
Edwards, K.C. 2000. Lake Sediments, Erosion and Landscape Change During the Holocene in Britain
and Ireland. Catena. 42: 145-175
Evans, R. 1980. Mechanics of Water Erosion and Their Spatial and Temporal Controls: an Empirical
Viewpoint. John Wiley & Sons. Chichester
Gufran, G.D. 2003. Tinjauan Agenda 21 Dunia. PS-PSL. IPB. Bogor
Hanley, C.J. 2006. New Warming Report May Shift Debate. Greenhouse Gas Study Expands
Argument for Human Causes Being Behind the Phenomenon. Associated Press. Contra Costa
Hammer, W.I. 1981. Final Soil Conservation Report. Centre for Soil Research. Bogor
Hamdi, A., J. Bobo dan F. Ishom. 2005. Menarusutamakan Energi Baru dan terbarukan. Energi Hijau
Terbarukan Indonesia. Pusat Analisis Pelayanan Informasi Pengembangan jarak Pagar Nasional
Hermon, D., Khairani., Daswirman., Karim, K., Dasrizal., dan Triyatno. 2008. Metode dan Teknik
Penelitian Geografi Tanah: Aplikasi Instrumen dan Acuan Penelitian Geografi Fisik. YAJIKHA.
Padang
Hermon, D., dan Khairani. 2009. Geografi Tanah: Suatu Tinjauan Teoritis, Metodologis, dan Aplikasi
Proposal Penelitian. YAJIKHA. Padang

17
IPCC. 2001. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge
University Press. Cambridge UK
Isnaniawardhani, V., I. Haryanto, dan Abdurokhim. 2003. Penyuluhan tentang Zonasi Kerawanan,
Pencegahan dan Penanggulangan Tanah Longsor di Daerah Gunungsari dan Sekitarnya
Kecamatan Cimahi Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Jurnal Pengabdian. LPM
UNPAD. 10: 20-24
Jones, N and J. H. Miller. 1997. Jatropha Curcas. A Multipurpose Spesies for Problematic Sites. The
World Bank. Asia Technical Dapartment. Agriculture Division
Karnawati, D. 2005. Bencana Alam. Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Perpustakaan Nasional. Yogyakarta
Kemala. 2006. Analisis Usahatani Jarak Pagar. Materi Pembinaan Teknis Budidaya Jarak Pagar. Bogor
Kuswatojo, T., D. Rosnarti, V. Effendi, R. Eko, dan P. Sidi. 2005. Perumahan dan Permukiman di
Indonesia. Upaya Membuat Perkembangan Kehidupan yang Berkelanjutan. ITB. Bandung
Listyarini, E. 1988. Studi Erodibilitas Tanah dengan Hujan Buatan. Thesis S2. Universitas Brawijaya-
Universitas Gajah Mada. Malang
Lopez, H.J. and J.A. Zinck. 1991. GIS Assisted Modelling of Soil- Induced Mass Movement Hazard,
a Case Study of the Upper Coello River Basin Tolima, Colombia, ITC Journal. 4: 202-219
Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Jambatan. Jakarta
Mc. Cormack, D.E., Young, K.K., dan Kimbertin, L.W. 1979. Current Criteria for Determining Soil
Loss Tolerance. American Soc. Of Agronomi. Madison
Moore, D.C. and M.J. Singer. 1990. Crust Formation Effects on Soil Erosion Processes. Soil Sci. Soc.
Am. J. 54: 1117-1123
Morgan, R.C.P. 1979. Soil Erosion. Logman. London Purwowidodo. 1983. Teknologi Mulsa.
Dewaruci Press. Jakarta
Mudita, J. W., 1999. The Readiness of Solving Land Regradation in Eastern Indonesian
Murdiyarso, D. 2003a. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi: Konvensi Perubahan Iklim. Kompas.
Jakarta
. 2003b. Protokol Kyoto. Kompas. JakartaNusrat, M. 2006. Pertemuan Losari, Awal
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Kompas. Jakarta
Nusrat, M., 2006. Pertemuan Losari, Awal Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Kompas, 3 Juli
2006
Ophuls W. dan A.S. Boyan, Jr. 1992. Ecology and the Politics of Scarcity Revisited. The Unraveling
of the American Dream. W.H. Freeman and Company. New York
Opschoor, H. 2001. Economic Growth, the Environment and Welfare: are they Compatible? dalam
Economics and Policy Making in Developing Countries. Edited by Ronaldo Seroa da Motta.
Edward Elgar Publishing Ltd. Northampton
Proops, J. 2003. Research Challenges in the Twenty-first Century” dalam New Dimensions in
Ecological Economics. Integrated Approaches to People and Nature. Edited by Stephen
Dovers, et al. Edward Elgar Publishing Ltd. Northampton
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. VSI
Republic of Indonesia National Report. 2003. Combating Land Degradation in Indonesian. Jakarta
Rodrigues, D., F.J.A. Carcedo, J. Brilha, A. Tavares, and P. Noqueira. 2003. Landslides in the Baucau
and Viqueque Districts of East Timor. Landslides News. 14/15: 29-32
Seta, A.K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Soeradjaja, T.H. 2005. Energi alternatif-biodiesel (Bagian 1).
http://www.kimia.lipi.go.id/index.php?pilihan=berita&id=13.

18
Sitorus, S.R.P. 2006. Peran Penutupan Lahan untuk Menanggulangi Bahaya Banjir Bandang, Tanah
Longsor, dan Kekeringan. Makalah. Workshop Degradasi Lahan, Banjir Bandang, Tanah
Longsor dan Kekeringan. Yogyakarta. 24 Agustus 2006
State Ministry for Environment Republic of Indonesia. 1999. Indonesia: The First National
Communication. Under the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Jakarta
Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta. Yogyakarta
Suryono. 2000. Longsor Lahan Daerah Situraja dan Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat. Prosiding Seminar Geomatika. Cibinong, pp 23-34
UNCED. 1992. Agenda 21, Rio Declaration, Forest Principles. Rio de Janeiro. Brazil
UNDP. 1997. Agenda 21 Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
UNDP. 1999. Tinjauan Umum Bencana. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
[USDA] United States Department of Agriculture. 1971. Guide for Interpreting Engineering Uses of
Soils. U.S. Dept. of Agriculture. Washington, D.C
Utomo, W.H. 1989. Pengawetan Tanah dan Air. Dep.Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang
Vicente, G., M. Martinez, and J. Aracil. 2006. A Comparative Study of Vegetable Oils for Biodiesel
Production in Spain. Energy & Fuels. 20 : 394-398
Wisnu, A.W. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta
World Commission on Environment and Development (WCED). 1988. Hari Depan Kita Bersama.
PT. Gramedia. Jakarta
Yunus, H.S. 1991. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif Pemecahannya. Fakultas
Geografi UGM. Yogyakarta

19

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai