net/publication/342026345
CITATIONS READS
0 283
1 author:
Dedi Hermon
Universitas Negeri Padang
70 PUBLICATIONS 369 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Dedi Hermon on 09 June 2020.
1
7.1. Peran SIG dalam Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Pengembangan SIG yang terkait dengan evaluasi lahan merupakan suatu rancangan dari
penerapan sebuah sistem informasi dengan tiga kegiatan utama, yaitu: (1) input data hidro-
meteorologi, seperti musim hujan, musim kemarau, curah hujan bulanan dan tahunan, data geologi,
dan data kemiringan lereng, (2) pemrosesan data dengan melakukan perhitungan dan pengabungan
data, dan (3) informasi data sebagai out put yang berupa peta-peta yang berhubungan dengan evaluasi
lahan. Distribusi keruangan (spatial distribution) tentang perencanaan lahan ecara teknis sektoral
adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan lahan dapat diamati secara jelas, sehingga akan
memberi sinergi yang sangat besar terhadap pemerintah dalam mengusahakan kenyamanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Hasil analisis keruangan dengan sistem informasi geografi yang berupa peta-peta dapat
digunakan sebagai dasar penyusunan penggunaan lahan yang tepat bagi masyarakat. Ada beberapa
alasan penggunaan SIG di berbagai disiplin ilmu, yaitu: (1) SIG sangat efektif di dalam membantu
proses-proses pembentukan, pengembangan atau perbaikan peta mental yang telah dimiliki oleh setiap
orang, (2) SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi hingga sistemnya dapat
menjawab pertanyaan spasial, (3) SIG memiliki kemampuan-kemampuan untuk menguraikan unsur-
unsur yang terdapat dipermukaan bumi ke dalam bentuk layer atau coverage data spasial, (4) SIG
memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam memvisualkan data spasial berikut atribut-
atributnya, dan (5) SIG sangat membantu pekerjaan-pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang-
bidang spasial dan geo-informasi. Penggunaan GIS untuk melakukan suatu pemodelan sangat
diperlukan dalam memberikan arahan dalam penataan suatu lahan. Simulasi GIS cukup efektif dalam
memprediksikan kemampuan suatu lahan terhadap kerusakan dan konservasi air sehingga
menghasilkan arahan yang sangat tepat dalam penggelolaan lahan untuk masa yang akan datang.
Beberapa produk SIG yang sering digunakan untuk analisis spasial wilayah adalah GIS Arc
View, Arc GIS, R2V, Arc/info, ER Mapper, ERDAS, Spans GIS, dan sebagainya. Arc View merupakan
salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan yang telah dikembangan oleh ESRI, sehingga
pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore,
menjawab query, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Secara umum kemampuan GIS
Arc View adalah: (1) pertukaran data, membaca, dan menuliskan data dalam format perangkat lunak
GIS lainnya, (2) melakukan analisis statistik dengan operasi-operasi matematis, (3) menampilkan
informasi (basis data) spasial maupun atribut, (4) menjawab query spasial maupun atribut, (5)
melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, (6) membuat peta tematik, (7) meng-costumize aplikasi dengan
menggunakan bahasa skrip, (8) melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang
ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak Arc View.
4
O3 selama 1 bulan lebih tanah tertutup banjir >24 jam 3
O4 selama 2-5 bulan dalam 1 tahun tanah selalu tertutup banjir >24 jam 4
O5 selama >6 bulan tanah selalu tertutup banjir >24 jam 5
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi klasifikasi kemampuan lahan digunakan formula yang dikemukakan
oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
5
Dalam system Frame Work for Land Suitability Classification of the FAO, penelitian kesesuaian
lahan bagi setiap bentuk penggunaan lahan yang berbeda-beda dilakukan secara terpisah. System ini
bukan system yang komplet tapi system ini mudah diadaptasikan atau dimodifikasikan secara local.
Sistem ini dapat dikembangkan oleh setiap negara sesuai dengan karakteristik fisis yang menyusun
negara tersebut.
Struktur klasifikasi system FAO adalah sebagai berikut:
a) Ordo, membagi lahan menjadi Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N) untuk digarap. Pada keadaan
tertentu dapat dibuat ordo Sesuai Bersyarat (SN)
b) Kelas, menunjukan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo yang dilambangkan dengan angka
6
Tabel 3. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian
Beririgasi dalam Perspektif Geografi Lingkungan
PB = PP + PT + 3 (PL) + 2 (PD)
PB: Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Beririgasi
PP: Penggunaan Lahan
PT: Peta Tanah (Jenis Tanah)
PL: Peta Lereng (Kemiringan Lereng, %)
PD: Peta Curah Hujan (Curah Hujan mm/tahun)
Analisis data dilakukan dengan GIS yang terdiri dari 4 tahap, yaitu (1) tahap tumpangsusun data
spasial, (2) tahap editing data atribut, (3) tahap analisis tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil
analisis. Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. Setiap parameter
penentu kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit
analisis skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan untuk
menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi. Analisis untuk menentukan zonasi
tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian sistem irigasi digunakan formula yang dikemukakan oleh
Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
7
Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk pertanian beririgasi dilakukan pada hasil akhir
aplikasi model pada data atribut GIS.
Analisis model kesesuaian lahan untuk permukiman bebas banjir (Hermon et al., 2008) adalah
sebagai berikut:
PBB = PE + PB + PT + PL + 3 (PO)
PBB: Permukiman Bebas Banjir
PE: Peta Tingkat Erosi (Bahaya Erosi)
PB: Peta Sebaran Batuan
PT: Peta Tanah
PL: Peta Lereng (Kemiringan Lereng, %)
PO: Peta Bahaya Banjir
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah
skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan
Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman bebas banjir dilakukan pada hasil
akhir aplikasi model pada data atribut GIS.
8
Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Bebas Longsor
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk permukiman bebas
banjirdikembangkan berdasarkan USDA (1971). Perumusan zona tingkat kesesuaian lahan dilakukan
dengan GIS Arc View 3.3.
Analisis model kesesuaian lahan untuk permukiman bebas longsor (Hermon et al., 2008) adalah
sebagai berikut:
PBL = 2 (PE) + PB + PT + 2 (PL) + 4 (PO)
PBB: Permukiman Bebas Longsor
PE: Peta Tingkat Bahaya Erosi
PB: Peta Sebaran Batuan
PT: Peta Tanah
PL: Peta Lereng
PO: Peta Bahaya Longsor
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
Pengklasifikasian tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman bebas longsor dilakukan pada
hasil akhir aplikasi model pada data atribut GIS.
10
Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk permukiman berdasarkan
USDA (1971). Perumusan zona tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan GIS Arc View 3.3.
Tabel 8. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Simbol Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Harkat
Drainase
D0 Memiliki saluran primer, sekunder, tersier yang berfungsi dengan baik sehingga tidak terjadi genangan air 3
D1 Memiliki saluran primer, sekunder, tersier yang kurang berfungsi dengan baik sehingga masih ada genangan 2
air
D2 Tidak memiliki saluran drainase yang lengkap sehingga air mengalir tidak terkontrol atau timbul genangan 1
air
Banjir
Dalam 1 tahun tidak pernah mengalami banjir untuk waktu 24 jam; banjir lebih dari 24 jam terjadinya dalam
3
O0 jangka waktu kurang dari 1 bulan
O1 Selama 1 bulan dalam setahun secara teratur menderita banjir lebih 24 jam 2
2-5 bulan dalam setahun secara teratur menderita banjir lebih dari 24 jam; 6 bulan atau lebih dilanda banjir
O2 1
secara teratur lebih dari 24 jam
Kemiringan Lereng
L0 0-15% Datar-Miring 3
L1 >15-40% Miring- Curam 2
L2 >40% Sangat Curam 1
Tekstur
T3 Agak Kasar Lempung Berpasir, Pasir Berlempung, Pasir 3
T2 Agak Halus Liat Berpasir, Lempung Liat Berdebu, Lempung Berliat, Lempung Liat Berpasir 2
T1 Halus Liat Berdebu, Liat 1
Batuan Kerikil
B0 0-15% volume tanah Sedikit 3
B1 >15 – 50 % volume tanah Sedang 2
B2 > 50 % volume tanah Banyak 1
Kedalaman Efektif
K2 < 50 cm Dangkal 3
K1 > 50 cm-90cm Sedang 2
K0 > 90 cm Dalam 1
Bahaya Erosi
E0 Tidak ada lapisan atas hilang Tidak ada Erosi 3
E1 < 25% lapisan atas hilang Erosi Ringan 2
E2 25%-75% lapisan atas hilang Erosi Berat 1
Sumber: USDA (1971)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk permukiman digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
11
Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah
Analisis data untuk mengidentifikasikan kesesuaian lahan untuk Padi Sawah dilakukan dengan
GIS Arc View 3.3 (Hermon et al., 2008).
Tabel 10. Harkat Penentu Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah
No Unit Lahan Kriteria Harkat
1 Temperatur 0C
C1 18-30 1
C2 >30-35 2
C3 <18->35 3
2 Curah Hujan (mm/tahun)
H1 800-1500 1
H2 >1500 2
H3 <800 3
3 Drainase Tanah
Dt1 Terhambat (Tergenang) 1
Dt2 Agak Cepat 2
Dt3 Sangat Cepat (kering) 3
4 Tekstur Tanah
T1 agak halus, meliputi liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung 1
liat berpasir; halus, meliputi liat dan liat berdebu
T2 sedang, meliputi debu, lempung berdebu, dan lempung 2
T3 agak kasar, meliputu lempung berpasir; kasar, meliputi pasir berlempung dan pasir 3
5 Pada Lahan Gambut (kalau Sawah direncananakan pada Rawa)
G1 Saprik 1
G2 Hemik 2
G3 Fibrik 3
6 Kedalaman Solum (cm)
S1 >50 1
S2 25-50 2
S3 <25 3
7 Lereng (%)
L1 <5 1
L2 5-8 2
L3 >8 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <5 1
Sa2 5-8 2
Sa3 >8 3
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk padi sawah digunakan formula yang
dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
12
Tabel 11. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Kesesuaian Lahan
untuk Padi Sawah
13
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Jagung digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Sawit digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah
skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan
15
L3 >30 3
8 Batu Permukaan (%)
B1 <5 1
B2 5-25 2
B3 >25 3
9 Singkapan Batuan (%)
S1 < 25 1
S2 25-50 2
S3 >50 3
10 Salinitas (mmhos/cm)
Sa1 <5 1
Sa2 5-10 2
Sa3 > 10 3
11 pH Tanah
pH 1 5-6,5 1
pH 2 4 -5 2
pH 3 <4 - >6,5 3
12 KTK Tanah
KTK 1 Rendah-sedang 1
KTK 2 Sangat rendah 2
KTK 3 Tinggi-sangat tinggi 3
Sumber: Hermon et al. (2008)
Analisis untuk menentukan zonasi kesesuaian lahan untuk tanaman Karet digunakan formula
yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
c −b
I=
k
16
Daftar Pustaka
(Seri 1-7)
17
IPCC. 2001. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge
University Press. Cambridge UK
Isnaniawardhani, V., I. Haryanto, dan Abdurokhim. 2003. Penyuluhan tentang Zonasi Kerawanan,
Pencegahan dan Penanggulangan Tanah Longsor di Daerah Gunungsari dan Sekitarnya
Kecamatan Cimahi Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Jurnal Pengabdian. LPM
UNPAD. 10: 20-24
Jones, N and J. H. Miller. 1997. Jatropha Curcas. A Multipurpose Spesies for Problematic Sites. The
World Bank. Asia Technical Dapartment. Agriculture Division
Karnawati, D. 2005. Bencana Alam. Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Perpustakaan Nasional. Yogyakarta
Kemala. 2006. Analisis Usahatani Jarak Pagar. Materi Pembinaan Teknis Budidaya Jarak Pagar. Bogor
Kuswatojo, T., D. Rosnarti, V. Effendi, R. Eko, dan P. Sidi. 2005. Perumahan dan Permukiman di
Indonesia. Upaya Membuat Perkembangan Kehidupan yang Berkelanjutan. ITB. Bandung
Listyarini, E. 1988. Studi Erodibilitas Tanah dengan Hujan Buatan. Thesis S2. Universitas Brawijaya-
Universitas Gajah Mada. Malang
Lopez, H.J. and J.A. Zinck. 1991. GIS Assisted Modelling of Soil- Induced Mass Movement Hazard,
a Case Study of the Upper Coello River Basin Tolima, Colombia, ITC Journal. 4: 202-219
Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Jambatan. Jakarta
Mc. Cormack, D.E., Young, K.K., dan Kimbertin, L.W. 1979. Current Criteria for Determining Soil
Loss Tolerance. American Soc. Of Agronomi. Madison
Moore, D.C. and M.J. Singer. 1990. Crust Formation Effects on Soil Erosion Processes. Soil Sci. Soc.
Am. J. 54: 1117-1123
Morgan, R.C.P. 1979. Soil Erosion. Logman. London Purwowidodo. 1983. Teknologi Mulsa.
Dewaruci Press. Jakarta
Mudita, J. W., 1999. The Readiness of Solving Land Regradation in Eastern Indonesian
Murdiyarso, D. 2003a. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi: Konvensi Perubahan Iklim. Kompas.
Jakarta
. 2003b. Protokol Kyoto. Kompas. JakartaNusrat, M. 2006. Pertemuan Losari, Awal
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Kompas. Jakarta
Nusrat, M., 2006. Pertemuan Losari, Awal Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Kompas, 3 Juli
2006
Ophuls W. dan A.S. Boyan, Jr. 1992. Ecology and the Politics of Scarcity Revisited. The Unraveling
of the American Dream. W.H. Freeman and Company. New York
Opschoor, H. 2001. Economic Growth, the Environment and Welfare: are they Compatible? dalam
Economics and Policy Making in Developing Countries. Edited by Ronaldo Seroa da Motta.
Edward Elgar Publishing Ltd. Northampton
Proops, J. 2003. Research Challenges in the Twenty-first Century” dalam New Dimensions in
Ecological Economics. Integrated Approaches to People and Nature. Edited by Stephen
Dovers, et al. Edward Elgar Publishing Ltd. Northampton
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. VSI
Republic of Indonesia National Report. 2003. Combating Land Degradation in Indonesian. Jakarta
Rodrigues, D., F.J.A. Carcedo, J. Brilha, A. Tavares, and P. Noqueira. 2003. Landslides in the Baucau
and Viqueque Districts of East Timor. Landslides News. 14/15: 29-32
Seta, A.K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Soeradjaja, T.H. 2005. Energi alternatif-biodiesel (Bagian 1).
http://www.kimia.lipi.go.id/index.php?pilihan=berita&id=13.
18
Sitorus, S.R.P. 2006. Peran Penutupan Lahan untuk Menanggulangi Bahaya Banjir Bandang, Tanah
Longsor, dan Kekeringan. Makalah. Workshop Degradasi Lahan, Banjir Bandang, Tanah
Longsor dan Kekeringan. Yogyakarta. 24 Agustus 2006
State Ministry for Environment Republic of Indonesia. 1999. Indonesia: The First National
Communication. Under the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Jakarta
Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta. Yogyakarta
Suryono. 2000. Longsor Lahan Daerah Situraja dan Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa
Barat. Prosiding Seminar Geomatika. Cibinong, pp 23-34
UNCED. 1992. Agenda 21, Rio Declaration, Forest Principles. Rio de Janeiro. Brazil
UNDP. 1997. Agenda 21 Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
UNDP. 1999. Tinjauan Umum Bencana. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
[USDA] United States Department of Agriculture. 1971. Guide for Interpreting Engineering Uses of
Soils. U.S. Dept. of Agriculture. Washington, D.C
Utomo, W.H. 1989. Pengawetan Tanah dan Air. Dep.Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang
Vicente, G., M. Martinez, and J. Aracil. 2006. A Comparative Study of Vegetable Oils for Biodiesel
Production in Spain. Energy & Fuels. 20 : 394-398
Wisnu, A.W. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta
World Commission on Environment and Development (WCED). 1988. Hari Depan Kita Bersama.
PT. Gramedia. Jakarta
Yunus, H.S. 1991. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif Pemecahannya. Fakultas
Geografi UGM. Yogyakarta
19