Anda di halaman 1dari 7

Investigasi Awal Hubungan Antara COVID-19 dengan Ide dan Perilaku Bunuh Diri di

A.S.

Lanjutan...

Analsis Awal

Tujuan 1. Setelah mempertimbangkan pengaruh usia dan etnis, analisis regresi


independen menunjukkan bahwa masalah fisik dan distress umum karena COVID-19 secara
signifikan postif berhubungan dengan ide bunuh diri, sedangkan rutinitas sehari-hari sebagai
dampak dari kebijakan pembatasan sosial terhadap COVID-19 secara signifikan negatif
berhubungan dengan ide bunuh diri. Pengaruh kebijakan pembatasan sosial pada kesehatan
mental seseorang tidak secara signifikan terkait dengan ide bunuh diri. Lihat Tabel 2.
Setelah mempertimbangkan pengaruh usia, jenis kelamin, etnis, dan ide bunuh diri bulan
lalu, analisis regresi independen menunjukkan bahwa keempat COVID-19 terkait pengalaman
secara signifikan positif berkaitan dengan upaya bunuh diri bulan lalu. Lihat Tabel 3.

Di antara mereka yang memiliki ide bunuh diri bulan lalu, rata-rata melaporkan bahwa
pikiran bunuh diri bulan lalu mereka dikaitkan dengan COVID-19 (M = 3,27, SD = 2.26, pada
skala 1-7). Lihat Tabel 4 untuk informasi deskriptif lebih lanjut.

Tujuan Eksplorasi. Dari keseluruhan sampel, 83 (9,2%) orang dilaporkan secara sengaja
mengekspos diri mereka terhadap COVID-19. Individu yang dengan sengaja mengekspos diri
terhadap COVID-19 lebih sering dilaporkan dengan ide bunuh diri bulan lalu (x2 (1) = 64.16, p
<.001, V = .27) dan percobaan bunuh diri bulan lalu (x2 (1) = 224.83, p <.001, V = .50).
Selanjutnya di antara mereka dengan ide bunuh diri bulan lalu, mereka yang dengan sengaja
mengekspos diri mereka pada COVID-19 dialporkan adanya hubungan yang lebih besar antara
ide bunuh diri bulan lalu dan COVID-19 (M = 5.68, SD = 1.42) dibandingkan dengan mereka
yang tidak sengaja terekspos COVID-19 (M = 2.42, SD = 1.86), t (156) = -10.24, p <.001.

Perbedaan multivariat antara mereka yang telah dan belum terlibat dalam paparan
COVID-19 secara sengaja ditunjukkan pada pengalaman terkait COVID-19, Wilks 'lambda = .
81, F (4,890) = 21,41, p <0,001. Statistik univariat menunjukkan perbedaan yang signifikan pada
keempat kelompok pengalaman terkait COVID-19 sehingga mereka yang dilaporkan seacara
sengaja mengekspos diri mereka terhadap COVID-19 menunjukkan skor yang lebih tinggi pada
semua pengalaman. Lihat Tabel 5.

Terdapat lima alasan yang dieksplorasi dari mereka yang dilaporkan secara sengaja
memaparkan diri pada COVID-19. Rata-rata orang yang dilaporkan memaparkan diri secara
sengaja terhadap COVID-19 memenuhi kelima alasan yang dinilai. Lihat Tabel 6.

Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan masyarakat terkait COVID-19 jauh
lebih luas dari yang didokumentasikan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyelidiki
potensial hubungan antara COVID-19 terhadap ide dan perilaku bunuh diri. Temuan
mendapatkan bukti awal bahwa pengalaman terkait COVID-19 dikaitkan dengan ide dan
perilaku bunuh diri di masyarakat AS. Selanjutnya, melalui analisis data eksplorasi, kami
menunjukkan bahwa paparan yang disengaja terhadap COVID-19 umum dalam sampel kami dan
beberapa individu merencanakan bunuh diri dengan sengaja memaparkan diri terhadap COVID-
19.

Temuan dari studi saat ini menyoroti bahwa beberapa pengalaman terkait COVID-19
dapat berkontribusi pada ide dan perilaku bunuh diri. Memang, pada hasil menyoroti bahwa
pengalaman spesifik dari masalah umum dan masalah keamanan fisik karena COVID-19
berkontribusi positif terhadap ide bunuh diri. Namun, keseluruhan pola temuan menunjukkan
bahwa dampak pengalaman terkait COVID-19 lebih kuat terkait percobaan bunuh diri daripada
ide bunuh diri. Memang, keempat pengalaman yang dinilai terkait COVID-19 berkontribusi
untuk percobaan bunuh diri dan asosiasi ini lebih besar terhadap percobaan bunuh diri daripada
ide bunuh diri. Kami mengamati hubungan yang kuat antara kesulitan umum dan kekhawatiran
tentang keamanan fisik karena COVID-19 dan upaya bunuh diri yang mendukung peningkatan
akut dalam tekanan dan kecemasan sebagai faktor risiko perilaku bunuh diri (Kerkhof & van
Spijker, 2011). Mungkin yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak yang dirasakan dari
kebijakan kesehatan masyarakat berupa pembatasan sosial (baik pada rutinitas / pekerjaan sosial
dan kesehatan mental) terhadap percobaan bunuh diri. Sementara itu tindakan karantina
berdampak buruk pada kesehatan mental (Brooks et al., 2020) temuan ini tentunya
mengkhawatirkan mengingat bahwa pembatasan sosial merupakan strategi pencegahan COVID-
19 yang lazim saat ini . Banyak teori bunuh diri dan kumpulan bukti yang kuat menunjukkan
bahwa berkurangnya hubungan sosial merupakan faktor risiko perilaku bunuh diri (mis., Teori
Interpersonal Bunuh Diri; Joiner, 2005). Mungkin saja tekanan akut dan kecemasan karena
COVID-19 dikombinasikan dengan gangguan sosial dari kebijakan pembatasan sosial dapat
mengakibatkan perpaduan faktor-faktor risiko untuk perilaku bunuh diri. Mengingat relevansi
temuan ini (Ferguson et al., 2020) penting bagi peneliti untuk mereplikasi dan memperluas hasil
penelitian kami.

Temuan juga memberikan bukti langsung dari hubungan antara COVID-19 terhadap ide
dan perilaku bunuh diri. Lebih dari 45% anggota masyarakat yang memiliki ide bunuh diri
melaporkan pikiran mereka secara eksplisit terkait dengan COVID-19 setengah waktu dan
sekitar 65% melaporkan ini sebagai kasus setidaknya beberapa waktu. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengeksplorasi lebih jauh bagaimana dan kepada siapa Pandemi COVID-19
memengaruhi risiko bunuh diri. Sebagai contoh, penting untuk memeriksa sejauh mana COVID-
19 dan dampaknya berperan dalam ekaserbasi ide bunuh diri dan menginisiasi timbulnya ide
bunuh diri. Penelitian prospektif harus menyelidiki pertanyaan-pertanyaan penting ini secara
langsung.
Proporsi yang mengejutkan bahwa 9% dari sampel kami dilaporkan dengan sengaja
mengekspos diri mereka terhadap COVID-19. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa banyak
dari orang-orang ini menjadikan paparan terhadap COVID-19 sebagai cara untuk bunuh diri:
sekitar 50% yang sengaja mengekspos diri mereka menunjukkan alasan mereka untuk
melakukan itu karena sangat berkeinginan untuk bunuh diri. Hubungan lebih lanjut antara
paparan COVID-19 yang disengaja dan bunuh diri menunjukkan hubungan sedang sampai kuat
antara paparan yang disengaja dan ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Memaparkan diri
secara senagaja terhadap COVID-19 dapat digunakan sebagai metode bunuh diri nontradisional
seperti banyak laporan kasus tentang individu yang memaparkan diri mereka terhadap penyakit
menular (mis., HIV) sebagai sarana untuk bunuh diri (mis., Frances, Wikstrom, & Alcena, 1985;
Papathomopoulos, 1989; Tompkins-Rosenblatt, 1997). Namun temuan saat ini adalah yang
pertama secara empiris memeriksa metode bunuh diri ini sebagaimana berlaku untuk COVID-19.

Fenomena nyata dari orang yang dengan sengaja memaparkan diri terhadap COVID-19
di tahap awal pandemi memiliki implikasi terhadap kesehatan masyarakat yang signifikan.
Pertama pnyebaran COVID-19 yang berkelanjutan memberikan peningkatan akses bunuh diri
yang berpotensi mematikan. Sebelumnya penelitian (Marzuk et al., 1992) menunjukkan bahwa
ketika akses ke virus meningkat melalui proliferasi, kematian yang disengaja karena COVID-19
juga dapat meningkat. Namun, ini akan sulit dilacak. Kematian terjadi dari paparan COVID-19
yang disengaja tidak didokumentasikan sebagai bunuh diri. Masuk akal bahwa hal ini dapat
meningkatkan ketertarikan terhadap bunuh diri, mengingat stigma terkait dengan bunuh diri
versus penyebab kematian lainnya (mis., Pitman, Osborn, Rantell, & King, 2016). Kedua,
temuan ini relevan dengan tujuan kesehatan masyarakat terhadap mitigasi virus melalui
penghambatan penyebaran virus. COVID-19 sangat menular (WHO, 2020), setiap derajat
paparan yang disengajadapat memiliki dampak yang berarti pada penyebaran virus.

Kekuatan dan batasan

Temuan penelitian ini harus diinterpretasikan dengan pertimbangan keterbatasan desain.


Pertama, penelitian ini adalah cross-sectional, tidak ada asosiasi yang diartikan sebagai kausal.
Temuan kami tidak menunjukkan bahwa dampak dari COVID-19 mendahului atau menyebabkan
ide atau perilaku bunuh diri. Penelitian longitudinal diperlukan untuk menarik kesimpulan
tentang hubungan temporal antara distress dan bunuh diri terkait COVID-19. Kedua, kami
memakai mTurk untuk merekrut sampel yang besar dalam waktu singkat dengan tujuan untuk
menyebar penelitian dengan cepat. Meskipun ada kekhawatiran mengenai sampel mTurk (mis.,
kemampuan generalisasi, tanggapan yang valid), ada penelitian yang mengatakanbahwa peserta
mTurk dapat diandalkan (Buhrmester, Kwang, & Gosling, 2011; Hauser & Schwarz, 2016), dan
mungkin lebih beragam secara sosial ekonomi dan ras daripada sampel lainnya (mis., sampel
dikumpulkan melalui sumber internet lainnya, mahasiswa) sampel; Behrend, Sharek, Meade, &
Wiebe, 2011; Casler, Bickel, & Hackett, 2013). Selain itu, tujuan dari penelitian ini bukan untuk
memberikan generalisasi terhadap warga AS melainkan untuk memberikan bukti awal tentang
dampak COVID-19 pada bunuh diri. Namun demikian akan penting untuk penelitian selanjutnya
untuk mereplikasi temuan saat ini dalam sampel yang lebih besar dan mempertimbangkan
dampak COVID-19 pada anak-anak dan remaja. Ketiga, mayoritas langkah-langkah yang
digunakan dikembangkan untuk tujuan penelitian ini dan dengan demikian tidak divalidasi
secara psikometrik. Keempat, ruang lingkup data kami terbatas. Mereka tidak mengizinkan
pemeriksaan peran gejala virus dalam ide atau perilaku bunuh diri; kami mengira virus
mempengaruhi orang secara berbeda dan tekanan psikologis akan meningkat seiring dengan
meningkatnya keparahan gejala virus. Sehubungan dengan itu, meskipun kami menilai efek usia
(korelasi penting dari kematian COVID-19; CDC, 2020d) terhadap ide dan perilaku bunuh diri,
kami tidak mengevaluasi keberadaan kondisi fisik penyerta, korelasi penyebab kematian lainnya
(CDC, 2020d), atau pengalaman terkait COVID-19 lainnya yang relevan (kesulitan keuangan).
Kelima, meskipun kami menilai beberapa alasan lain untuk paparan sengaja terhadap COVID-19
(mis., nonsuicidal self-injury, self-punishment), kami tidak menilai semua alasan yang potensial.
Memahami berbagai motivasi orang untuk memaparkan diri seperti itu mungkin penting untuk
mengurangi penyebaran penyakit ini. Misalnya, individu yang mungkin termotivasi untuk
"menyelesaikan penyakit", terutama jika mereka tidak berada dalam populasi yang rentan,
dengan kemungkinan kematian yang disebabkan oleh virus lebih rendah. Meskipunpun demikian
keterbatasan penelitian ini memiliki banyak kekuatan, yang paling utama adalah menjadi studi
pertama untuk pengetahuan kita yang menilai hubungan antara COVID-19 terhadap ide dan
perilaku bunuh diri serta untuk mengevaluasi keberadaan dan korelasi paparan yang disengaja
terhadap infeksi ini virus.

Implikasi Klinis

Studi ini menggarisbawahi agar meningkatkan upaya skrining risiko bunuh diri, karena
itu penting untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko untuk memberikan intervensi. Sejalan
dengan itu, dokter kejiwaan dan dokter umum harus melakukan skrining kepada semua pasien
terhadap risiko bunuh diri. Namun, penting untuk memperkenalkan lebih banyak prosedur
skrining yang sistematis. Sementara itu, penyaringan yang luas mungkin sulit dilakukan karena
kebijakan pembatasan sosial dan stay-at-home, salah satu peluang potensial untuk melakukan
skrining skala besar adalah dengan mengintegrasikan skrining bunuh diri dengan pengujian
COVID-19di posko-posko pemeriksaan. Dengan adanya jutaan orang Amerika yang akan diuji
dalam beberapa bulan mendatang, satu atau dua pertanyaan screener lewat panggilan telepon
untuk tindak lanjut risiko bunuh diri dapat dilakukan, jika terindikasi adanya risiko bunuh diri,
dapat memungkinkan sejumlah besar individu untuk dicapai, dengan pengeluaran yang terbatas.
Terlepas dari modalitas skrining, temuan kami menunjukkan bahwa selain langsung menilai
risiko bunuh diri yang akan terjadi, mungkin penting untuk menilai ide mengenai paparan yang
disengaja terhadap COVID-19. Mungkin saja mendeteksi mereka yang berisiko untuk perilaku
bunuh diri dengan cara ini tidak hanya dapat mengurangi risiko bunuh diri tetapi juga mungkin
mencegah penyebaran virus.

Selain meningkatkan skrining, penelitian ini menyarankan perlunya meningkatkan akses


untuk intervensi bagi mereka yang mengalami tekanan psikologis terkait dengan COVID-19.
Meskipun sumber edukasi kesehatan mental seperti kiat mengatasi dan keterampilan mawas diri
banyak disebarkan secara online, hal tersebut mungkin tidak memadai untuk individu yang sudah
mengalami krisis. Hal ini terbukti dengan adanya lonjakan panggilan ke hotline krisis (National
Public Radio, 2020). Namun, ini juga berpotensi menimbulkan waktu tunggu yang lama bagi
mereka yang mencari bantuan (Penyiaran Publik Layanan, 2018). Dengan demikian, dibutuhkan
alternatif lain seperti banyak layanan bantuan profesional telah menggunakan format sesi
telepon atau video online untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Negara-negara lain dapat
mengadopsi inisiatif yang mirip dengan yang dilakukan di Negara Bagian New York, yang telah
menunjukkan keberhasilan layanan online gratis bagi mereka yang membutuhkan psikiater,
psikolog, dan klinisi sosial berlisensi (Carlisle, 2020).

Dibutuhkan kampanye nasional yang menyoroti secara mendalam dampak epidemi pada
kesehatan mental dan mengiklankan layanan krisis yang dapat diakses dari jarak jauh.
Kemungkinan kampanye kesehatan masyarakat mengenai risiko bunuh diri dalam konteks
COVID-19 akan bermanfaat. Seperti program pencegahan bunuh diri nasional (Lewitzka, Sauer,
Bauer, & Felber, 2019), meningkatkan kesadaran publik selama masa-masa yang sulit seperti
yang disarankan oleh temuan ini dan relevan dalam situasi saat ini. Selain itu, tampaknya akan
ada manfaatnya meningkatkan kesadaran mengenai dampak negatif yang mungkin timbul dari
langkah pembatasan sosial terhadap kesehatan mental sebagai cara untuk meningkatkan
dukungan dan mengurangi isolasi, yang mungkin dapat mencegah terhadap risiko bunuh diri.

Senjata api, salah satu metode bunuh diri yang paling umum dan juga mematikan
(Shenassa, Catlin, & Buka, 2003), terjual dengan angka yag tinggi di AS sejak awal pandemi ini
(Biro Investigasi Federal, 2020). Karena itu, akan penting untuk mengkampanyekan
psikoedukasi tentang peningkatan risiko bunuh diri di antara mereka dengan akses ke senjata api.
(Anestis & Bond, 2020).

Kekhawatiran tentang penyebaran COVID-19 tetap tidak dapat diabantahkan dan


tentunya akan ada pertimbangan untuk melanjutkan kebijakan pembatasan sosial (Ferguson et
al., 2020). Meskipun kebijakan ini tetap diperlukan untuk mencegah penyebaran COVID-19,
temuan kami menggarisbawahi kebutuhan yang signifikan untuk mempertimbangkan kesehatan
mental warga di samping fisik, mengingat bagaimana kesejahteraan psikologis individu dapat
berdampak langsung pada penyebaran COVID-19 dan kematian yang terkait dengan virus.
Footnote :

Korelasi antara semua alasan sengaja memaparkan diri terhadap COVID-19 secara

signifikan berkorelasi (r's = .53-.68, p's <.001). Namun, kekuatan korelasi menunjukkan setiap

alasannya gagasan yang khas.

Anda mungkin juga menyukai