Anda di halaman 1dari 6

Argumentasi Keberadaan Tuhan

Allah sebagai wujud mutlak tidaklah terbatas, sehingga hakikat diriNya tidak akan pernah
dicapai. Namun, pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita mengenal-Nya dengan
pengenalan yang secara umum dapat diperoleh malalui jejak dan tandatanda yang tak terhingga.
Imam `Ali ra. dalam hal ini menjelaskan bahwa: “Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara
menjangkau sifat-sifatNya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk
mengetahuiNya.”Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia
memiliki rasa berketuhanan. Fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat ditekan dan
disembunyikan, dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan lainnya, sehingga ia terkadang
muncul pada saat-saat tertentu seperti pada saat tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang
benar-benar tidak mampu ia atasi. Pada kondisi ini, kita secara fitriah mengharapkan adanya
sosok lain yang memiliki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan memberikan pertolongan
kepada kita. Dalil fitrah ini merupakan perasaan berketuhanan secara langsung yang tertanam
pada diri manusia. Ia menjadi model sekaligus modal khusus manusia. Akan tetapi untuk
memperkuat fitrah itu kita memerlukan dalil-dalil yang argumentatif yang bersandar pada akal
dan kemudian wahyu sebagai tambahan dan penguat argumentasi. Untuk itu di bawah ini akan
dijabarkan secara singkat dan sederhana beberapa argumentasi tentang keberadaan dan ke-esa-an
Allah swt.
a) Argumentasi Kesempurnaan
Semua manusia mendambakan kesempurnaan dirinya. Saat manusia melihat ke sekelilingnya,
maka ia menemukan tingkat-tingkat kesempurnaan, dan merasa bahwa dirinyalah yang paling
sempurna dari sekelilingnya. Akan tetapi, ia melihat dirinya memiliki banyak kekurangan. Hal
ini menghasilkan kesimpulan bahwa ada suatu wujud yang lebih sempurna dari manusia, yang
tidak memiliki kekurangan apapun. Wujud itulah yang kita sebut dengan Tuhan.
b) Argumentasi Keteraturan (nizham)
Keteraturan adalah berkumpulnya bagian-bagian yang beragam dalam sebuah tatanan dengan
kualitas dan kuantitas khusus, yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan tertentu. Secara jelas
kita dapat menyaksikan adanya sebuah sistem harmonis dan teratur di dunia ini. Setiap sesuatu
yang harmonis dan teratur pasti memiliki pengatur. Dengan demikian, keteraturan dan
keharmonisan alam pasti memiliki pengatur. Pengatur tersebut mestilah memiliki kemampuan
dan kebijaksanaan agar sistem yang mengatur alam tersebut berjalan dengan baik.
c) Argumentasi Keterbatasan atau Kebermulaan (huduts)
Jika kita melihat diri dan sekeliling kita maka kita menemukan berbagai keterbatasan. Ada yang
terbatas oleh ruang dan waktu, seperti wujud-wujud material (benda-benda), atau keterbatasan
dalam esensinya (hakikat) seperti manusia bukanlah kambing, bukan kuda, bukan batu. Kita
ketahui bahwa secara prinsipil setiap yang terbatas mempunyai batasan, dan setiap yang
mempunyai batasan berarti memiliki rangkapan, dan setiap yang mempunyai rangkapan berarti
keberadaanya adalah akibat dari bersatunya bagian-bagian, dan setiap akibat pasti membutuhkan
sebab untuk menjadi ada. Dengan demikian, setiap yang terbatas berarti membutuhkan sebab.
Artinya, setiap yang terbatas adalah berawal, dan sesuatu yang berawal maka ia diadakan karena
sebelum awal dia tidak ada dan setiap yang diadakan berarti ada yang mengadakan.
Persoalannya, bagaimanakah wujud yang mengadakan itu, terbatas atau tidak terbatas?
Jika dijawab yang mengadakan adalah wujud terbatas, maka argumen di atas akan terulang lagi
yaitu bahwa yang terbatas adalah berawal, dan yang berawal berarti diadakan oleh sesuatu yang
lain. Karena hanya ada dua jenis wujud, maka selain wujud terbatas adalah wujud tidak terbatas,
dengan demikian maka yang mengadakan segala wujud yang terbatas pastilah wujud yang tidak
terbatas yang selalu ada dan tidak pernah tidak ada. Wujud seperti ini kita sebut Allah swt.
d) Argumentasi Kemungkinan (Imkan)
Dalil ini membicarakan posisi keberadaan (wujud). Keberadaan sesuatu (wujud) itu dapat kita
bagi pada dua: 1) Sesuatu yang selalu ada dan tidak pernah tidak ada yang disebut dengan wa>jib
al-wuju>d; 2) Sesuatu yang bisa diandaikan ada dan bisa diandaikan tidak ada yang disebut
mungkin wujud (mumkin al-wuju>d). Karena mungkin wujud bersifat netral, yaitu menempati
posisi ada dan tidak ada secara seimbang, maka, keberadaan wujud mungkin disebabkan oleh
wujud lain.
Dan wujud lain yang menyebabkan keberadaan wujud mungkin tersebut pasti bukanlah bersifat
wujud mungkin juga, karena hal ini akan menghasilkan tasalsul (rentetan tiada akhir) yang
menurut hukum akal adalah mustahil. Artinya, seandainya yang menciptakan alam yang
‘mungkin’ ini adalah sesuatu yang ‘mungkin’ juga, maka berarti “pencipta” tersebut juga butuh
kepada selainnya, dan begitulah seterusnya, akan terjadi saling membutuhkan jika yang
menciptakan masih bersifat ‘wujud mungkin’. Karena selain wujud mungkin adalah wujud
wajib, maka, mau tidak mau, kita harus menghentikan rentetan sebab tersebut pada wa>jib al-
wuju>d dan pasti Dialah yang menjadi penyebab keberadaan wujud mungkin tersebut. Dan wajib
wujud merupakan suatu wujud yang senantiasa ada, yang keberadaan-Nya tidak membutuhkan
dan tidak disebabkan oleh apa pun. Wajib wujud inilah yang disebut Tuhan.
e) Argumentasi Wujud
Wujud memiliki satu makna yaitu wuju>d (ada adalah ada) dan menjadi lawan dari ‘adam atau
ketiadaan (ada bukanlah tiada). Karena ada memiliki satu makna, maka ia tidak bisa diandaikan
tidak ada, serta tidak bisa pula dikatakan bercampur dengan ketiadaan, sebab ketiadaan adalah
tidak ada, maka tidak mungkin bisa bercampur dengan ada (ada tidak bercampur dengan tiada).
Dengan demikian, ada adalah sebuah keniscayaan. Ada yang senantiasa murni dari ketiadaan,
inilah yang dikenal dengan Tuhan. Maksudnya, wuju>d (ada) itu tunggal dan berlaku pada
semua realitas. Selain itu, ‘wujud’ juga bersifat murni, makanya mustahil untuk dikatakan tidak
ada. Sebab, hal itu akan menghasilkan kontradiksi yakni “ada adalah tidak ada”, dan
sesuai dengan hukum akal, kontradiksi tersebut tidak dapat dibenarkan. Oleh karenanya, Tuhan
(sebagai ada murni) haruslah ada secara niscaya (wa>jib alwuju>d) dan tidak mungkin untuk
dikatakan tidak ada.
Argumentasi di atas telah mengukuhkan prinsip ketuhanan (teisme) sekaligus meruntuhkan
pandangan anti Tuhan (ateisme).
Pengesaan Allah
Tauhid adalah inti ajaran Islam, bahkan juga inti ajaran semua agama samawi.Para Nabi dan
Rasul silih berganti di utus Allah ke muka bumi sesungguhnya bertugas untuk menyampaikan
paham tauhid ini. Tauhid –dalam banyak tempat di tulis tawhid-merupakan kata benda kerja
(verbal noun)sebuah derivasi atau tashrif dari kata-kata “wahid” yang artinya “satu” atau “esa.”
Pengertian Tauhid dalam bahasa arab merupakan mashdar (kata suatu benda dari sebuah kata
kerja) berasal dari kata wahhada. yang dimaksud wahhadasyai’a berarti menjadikan sesuatu itu
menjadi satu. Sedangkan menurut ilmu syariat mempunyai arti mengesakan terhadap Allah
dalam sesuatu hal yang merupakan kekhususan bagi-Nya, yaitu yang berupa Rububiyah,
Uluhiyah, dan Asma’ Wa Shifat (Sanrego dan Ismil, 2015). Maka makna harfiah tauhid adalah
“menyatukan,” atau “mengesakan.” Bahkan dalam makna generiknya juga digunakan untuk arti
mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah, seperti penggunaan dalam
bahasa Arab “tauhid alkalimah”yang kurang lebih berarti “mempersatukan paham”, dan dalam
ungkapan “tauhid alquwwah,” berarti “mempersatukan kekuatan.”
Pembagian yang sangat populer di kalangan para ulama adalah pembagian pemahaman tauhid
menjadi tiga bagian, yaitu tauhid berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian
tersebut terkumpul dalam firman atau sabda Allah di dalam Al Qur’an: Artinya :“Rabb
(penguasa) langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya, maka
sembahlah Dia dan teguhkan hati dalam beribadah kepadaNya. Apakah kamu tahu bahwa ada
seorang yang sama dengan Dia (yang berhak disembah)?” (Maryam: 65).
Perhatikan ayat di atas: 1. Dalam firman-Nya “rabbussamaawati wal ardh” (Rabb yang
menguasai langit dan bumi) merupakan ketetapan tauhid rububiyah. 2. Dalam firman-Nya
“fa’budhu wasthabir li’ibaadatihi” (maka sembahlah Dia serta berteguh hatilah ketika dalam
beribadah kepada-Nya) merupakan ketetapan tauhid uluhiyah. 3. Dan dalam firman-Nya “hal
ta’lamu lahu sami’an” (Apakah kamu mengetahuinya bahwa ada seorang yang sama dengan
Dia?) merupakan ketetapan tauhid asma’ wa shifat.
Berikut penjelasan ringkas tentang tiga macam tauhid tersebut: Tauhid rububiyah artinya adalah
mengesakan Allah di dalam hal penciptaan, kepemilikan serta pengurusan. Salah satu dalil yang
menunjukkan hal ini di dalam firman Allah: “Ingatlah, yang menciptakan dan memerintahkan
hanyalah hak bagi Allah” (Al- A’raf: 54)
Tauhid uluhiyah ataupun tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah dikarenakan penisbatanya
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan disebut tauhid ibadah dikarenakan penisbatannya
kepada makhluknya atau hambanya. Adapun maksud tersebut ialah pengesaan Allah dalam hal
ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Allah
Ta’ala berfirman: Artinya :”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hakiki dan
sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah yang batil” (Luqman: 30)
Tauhid asma’ wa shifat. Maksud dari hal ini adalah pengesaan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla
dengan nama dan sifat-sifat yang jadi milik-Nya.Tauhid ini mewakili dua hal yaitu ketetapan dan
kenafian, berarti kita harus menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah seperti halnya yang
ditetapkan bagi diri-Nya.
Dalam kitab-Nya maupun sunnah nabi-Nya, dan tidak membuat sesuatu yang sama dengan Allah
terhadap nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat terhadap Allah tidak boleh melaksanakan
ta’thil, tahrif, tamtsil, ataupun takyif. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Artinya :”Tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
Ketauhidan yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah ketauhidan yang
mempertautkan kehidupan keseharian manusia dengan kekuasaan Allah (trensendensi
kehidupan) atau mentarnsformasikan ketauhidan/keimanan kepada Allah dalam kehidupan
sehari-hari atau yang disebut dengan tauhid sosial. Jadi kata kuncinya ada pada dua hal:
1) Transformasi Ketauhidan, 2) Transendensi Kehidupan.
Pertama, transformasi ketauhidan.Tarnsformasi ketauhidan adalah mewujudkan ketauhdian
kepada Allah dalam bentuk amal nyatadalam kehidupan sehari-hari.Karena kita menyadari betul
bahwa Allah senantiasa bersama kita, maka kita senantiasa menjaga perilaku kita dari hal-hal
buruk misalnya kesombongan, berbuat zalim, menyakiti orang lain, merugikan orang lain, dan
setersunya.Sebaliknya, kita selalu terdorong unatu melakukan hal-hal yang baik misalnya
bersikap ramah, menolong orang lain, peduli, empati pada sesame, dan setersunya. Intinya
kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat benar-benar membawa manfaat bagi orang lain.
Kedua, transendensi kehidupan.
Transendensi kehidupan adalah upaya mengaitkan semua dinamika kehidupan ini dengan Allah
SWT. Allah hadir sebagai pengawas kehidupan kita, sebagai tempat bersandar, meminta,
bersyukur dan hal lain yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saat kita menerima rezeki,
pertolongan, bahkan bencana semuanya selalu terkait dengan Allah.Allah-lah yang memudahkan
semuanya melalui tangan hamba-hamba-Nya.Terkadang kita hanya berterima kasih pada
manusia.Kita tak pernah sadar bahwa Allah-lah yang mengetuk hatinya.Allah-lah yang
memudahkan semuanya untuk kita.Jadi seharusnya, pertama kali yang kita beri ucapan terima
kasih adalah Allah. Baru manusia.Demikian juga misalnya kita menerima musibah.Musibah
harus menyadarkan kita bahwa itu adalah ujian, peringatan, atau bahkan azab dari Allah.
Intinya semuanya perilaku kehidupan ini, kecuali ada ikhtiar lahiriah dan jawaban-jawaban
rasional yang tak boleh ketinggalan harus dihubungkan dengan Allah.Jika kita membutuhkan
pertolongan, jika kita punya masalah, jika kita ingin berbagi cerita, dan seterusnya, maka Allah-
lah pihak pertama yang kita jadikan tempat berbagi, tempat memohon, dan tempat melabuhkan
perasaan.Mengapa? Karena Dia-alah Yang Maha Mendengar. Dia-lah Yang Maha Peduli.
Memurnikan Ibadah
Secara umum ibadah memiliki arti segala sesuatu yang dilakukan manusia
atas dasar patuh terhadap pencipta Nya sebagai jalan untuk mendekatka diri kepada
Nya. Ibadah menurut bahasa (etimologis) adalah diambil dari kata ta’abbud yang
berarti menundukkan dan mematuhi dikatakan thariqun mu’abbad yaitu : jalan yang
ditundukkan yang sering dilalui orang. Ibadah dalam bahasa Arab berasal dari kata
abda’ yang berarti menghamba. Jadi, meyakini bahwasanya dirinya hanyalah seorang
hamba yang tidak memiliki keberdayaan apa- apa sehingga ibadah adalah bentuk taat
dan hormat kepada Tuhan Nya.
Sementara secara terminologis, Hasbi- Al Shiddieqy dalam kuliah ibadahnya,
mengungkapkan :
Menurut ulama’ Tauhid ibadah adalah : “pengesaan Allah dan pengagungan- Nya dengan segala
kepatuhan dan kerendahan diri kepada- Nya.” Menurut ulama’ Akhlak, ibadah adalah:
“Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah secara badaniah, dengan menegakkan syariah-
Nya.” Menurut ulama’ Tasawuf, ibadah adalah: “Perbuatan mukalaf yang berlawanan dengan
hawa nafsunya untuk mengagungkan Tuhan- Nya.” Sedangkan menurut ulama’ Fikih, ibadah
adalah: “Segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan
pahala-Nya di akhirat.”
Menurut jumhur ulama’: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang disukai Allah
dan yang diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang- terangan maupun
diam- diam.”1

Dengan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ibadah disamping merupakan sikap diri yang
pada mulanya hanya ada dalam hati juga diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan,
sekaligus cermin ketaatan kepada Allah
2. Hakikat Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka tidak semata- mata ada di
dunia ini tanpa ada tujuan di balik penciptaannya tersebut Menumbuhkan kesadaran diri manusia
bahwa ia adalah makhluk Allah SWT. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-
Nya. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam QS Al- Dzariyat [51]:56:
َ‫ي نَّا إِ اَ ْقإ ِ ن اَ نَّاو ْقإ ِ ْق تُا ا َ َ ا‬ ُ ‫َ و ا إِ تُوو‬
َ ‫ت ْق َ ِإ‬

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (Q.S Adz Dzariyat 56)2

Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia ini dan
mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada pencipta, melainkan manusia
diciptakan oleh Allah SWT. untuk mengabdi kepada- Nya. Dijelaskan pula dalam QS Al
Bayyinah [98]: 5: ‫ي تُ\ا‬ ِّ َ ‫ي ءاو َ فَ تُن َي اح‬ َ ‫ت‬ َ ‫إِا ةَ ِّم َ ْق تُا إِي اد َ إِك َ َذ ا َو ةَ ك َّن تُو ا ز ْقت تُؤ‬
ُ ‫يي ا َو ةَ تُو ا صنَّ َل إِ م‬
ُ ‫ي نَّا إِ تُو ا ِإر‬
‫ت اأ َ َ و‬ َ ِ‫ت ْق َ إ‬ ُ ‫هَ اَ إِصإِين تُ ْق ا َ\َُُم نَّه تُو ا‬

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus.3

Serta masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwasanya tujuan utama manusia diciptakan di
bumi ini untuk beribadah hanya kepada Allah sedangkan tujuan yang lain adalah sebagai
pelengkap atas tujuan utama diatas. Lalu apabila tujuan manusia untuk beribadah kepada Allah
semata, bagaimana manusia dapat menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial? Ibadah
tidak hanya terbatas kepada sholat, puasa ataupun membaca Al qur’an tetapi ibadah juga berarti
segala sesuatu yang disukai Allah dan yang diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik terang- terangan maupun diam- diam.
Pada dasarnya, tujuan akal dan pikiran adalah baik dan benar. Akan tetapi sebelum jalan akan
dan fikiran itu diarahkan dengan baik, kebenaran dan kehendaknya itu belum tentu baik dan
benar menurut Allah. Oleh sebab itulah manusia diberi beban atau taklif, yaitu perintah- perintah
dan larangan- larangan menurut agama Allah SWT, yaitu agama Islam. Gunanya ialah untuk
memperbaiki jalan akal pikirannya

Sumber : Komaruddin Didin. 2016. Argumen Fitrah Tentang Adanya Tuhan. Bandung. Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati

Anda mungkin juga menyukai