Anda di halaman 1dari 19

A.

PENGERTIAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata


“Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti “menunjukan,
membimbing, menuntun, ataupun membantu”. Sesuai dengan istilahnya, maka
secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan.
Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa
bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli
kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun
dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya
sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada
dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Djumhur dan Moh. Surya, (1975:15) berpendapat bahwa bimbingan adalah
suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada
individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai
kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan
untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan
dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self
realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai
penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah dikemukakan bahwa: Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan
kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan,
dan merencanakan masa depan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada
prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli
kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri,
menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih,
menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan
lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Berdasarkan rumusan tentang bimbingan di atas, dapat dikemukakan unsur-
unsur pokok bimbingan sebagai berikut:
1. Pelayanan bimbingan merupakan suatu proses. Ini berarti bahwa pelayanan
bimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi, melainkan melalui liku-liku
tertentu dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini.
2. Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan (bantuan yang bersifat
menunjang bagi pengembangan pribadi individu yang dibimbing).
3. Bantuan itu diberikan kepada individu, baik perseorangan maupun kelompok.
4. Pemecahan masalah dalambimbingan dilakukan oleh dan atas kekuatan klien
sendiri.
5. Bimbingan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi,
nasehat ataupun gagasan, serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari klien
sendiri, konselor,maupun lingkungan.
6. Bimbingan tidak hanya diberikan untuk kelompok-kelompok umur tertentu
saja,tetapi meliputi semua usia,mulai dari anak-anak, remaja,dan orang
dewasa.
7. Bimbingan diberikan oleh orang-orang yang ahli
8. Pembimbing tidak selayaknya memaksakan keinginan-keinginannya kepada
klien.
9. Bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Sedangkan konseling, secara Etimologi berasal dari bahasa Latin “consilium
“artinya “dengan” atau bersama” yang dirangkai dengan “menerima atau
“memahami” . Sedangkan dalam Bahasa Anglo Saxon istilah konseling berasal
dari “sellan” yang berarti”menyerahkan” atau “menyampaikan”
Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105) konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang
ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah
(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Sejalan dengan itu, Winkel (2005:34) mendefinisikan konseling sebagai
serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu
konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil
tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.
Dalam wawancara konseling itu klien mengemukakan masalah-masalah
yang sedang dihadapinya kepada konselor,dan konselormenciptakan suasana
hubungan yang akrab dengan menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik
wawancara konseling sedemikian rupa, sehingga masalahnya itu terjelajahi
segenap seginya dan pribadi klien terangsang untuk mengatasi masalah yang
sedang dihadapi dengan menggunakan kekuatannya sendiri.
Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik,
baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara
optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan
bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Bimbingan dan Konseling, “Proses interaksi antara konselor dengan
klien/konselee baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui
media : internet, atau telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat
mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya”
Dalam pengertian tersebut tersimpul hal-hal pokok bahwa :
 Bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bantuan
 Pelayanan Bimbingan dan konseling dilakukan melalui kegiatan secara
perorangan dan kelompok
 Arah kegiatan Bimbingan dan konseling adalah membantu peserta didik
untuk dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri dan
berkembang secara optimal
 Ada empat bidang bimbingan yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan
karir.
 Pelayanan Bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui jenis-jenis layanan
tertentu, ditunjang sejumlah kegiatan pendukung
 Pelayanan Bimbingan dan konseling harus didasarkan pada norma-norma
yang berlaku
B. ISTILAH PENYULUHAN DAN KONSELING

Bila ditinjau dari segi sejarah perkembangannya ilmu bimbingan dan


konseling di Indonesia, maka sebenarnya istilah bimbingan dan konseling pada
awalnya dikenal dengan istilah bimbingan dan penyuluhan yang merupakan
terjemahan dari istilah guidance and counseling. Penggunaan istilah bimbingan
dan penyuluhan sebagai terjemahan dari kata guidance and counseling ini
diceruskan oleh Tatang Mahmud, MA. Seorang pejabat Depatemen Tenaga Kerja
Republik Indonesia pada tahun 1953. Sebagaimana yang dikemukakan oleh DR.
Tohari Musnawar (1985:8)
Menurut riwayatnya, penggunaan istilah penyuluhan sebagai terjemahan
counseling, sudah dimulai sejak tahun 1953. pencetusnya Tatang Mahmud., MA.
Seorang pejabat di Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Pada tahun
tersebut ia menyebarkan suatu edaran untuk meminta persetujuan kepada
beberapa orang yang dipandang ahli, apakah istilah “guidance and conseling dapat
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Bimbingan dan Penyuluhan. Pada
waktu itu ternyata tidak ada yang menolaknya. Oleh karena itu Tatang Mahmud
untuk mencarikan terjemahan istilah Guidance and Counseling ini dengan istilah
Bimbingan dan Penyuluhan itu tidak ada yang membantahnya, maka sejak saat itu
populerlah istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan istilah Guidance
and Counseling.
Sejak tahun 1960-an istilah bimbingan dan penyuluhan seperti telah
memasyarakat, khususnya di kalangan persekolahan. Namun sejak awal tahun
1970-an muncul istilah "penyuluhan" yang sama sekali di luar pengertian
konseling. "Penyuluhan" dalam pengertiannya yang kemudian itu lebih mengarah
pada usaha-usaha suatu badan, baik pemerintah maupun swasta dalam rangka
meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan keterampilan warga masyarakat
berkenaan dengan hal tertentu. Misalnya "Penyuluhan Pertanian" bermaksud
meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap, dan keterampilan warga masyarakat,
khususnya petani, berkenaan dengan aspek pertanian tertentu, seperti cara-cara
bertanam, pemilihan bibit, penggunaan pupuk, pemberantasan hama dan
sebagainya.
Penggunaan istilah penyuluhan dalam arti "konseling" dan penyuluhan
dalam arti "pembinaan masyarakat" seolah-olah berlomba dan saling
mempertahankan keberadaan masing-masing. Dalam "perlombaan" ini dapat
dimengerti bahwa penyuluhan dalam arti kedua lebih memperoleh pasaran, dalam
arti konseling semakin tertinggal dan terkungkung dalam lingkungannya sendiri,
khususnya lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah istilah
penyuluhan dalam arti konseling itu ternyata steril, tidak mampu memantapkan
diri sendiri maupun pelayanannya kepada masyarakat. Dalam keadaan demikian
dikhawatirkan pengertian penyuluhan dalam arti konseling akan makin luntur atau
mungkin tidak dikenal di satu pihak, dan di pihak lain penggunaan penyuluhan
dalam arti yang lainnya semakin luas dan sama sekali tidak terbendung.
Akibat yang lebih jauh ialah masyarakat akan menyamaratakan saja
pengertian penyuluhan untuk konseling dan penyuluhan untuk arti yang lain itu.
Tidak perlu diherankan apabila masyarakat akan menganggap bahwa tugas guru
BP (Bimbingan dan Penyuluhan) di sekolah sama dengan tugas para penyuluh
pertanian, penyuluh kesehatan dan sebagainnya. Padahal, pekerjaan konseling dan
pekerjaan penyuluh pertanian dan sebagiannya itu sangat berbeda. Persamaan itu
memang ada, tetapi perbedaan lebih menonjol dan substansial daripada persamaan
itu. Adalah semacam kemustahilan apabila ada orang yang mengharapkan agar
masyarakat dididik supaya mereka memahami perbedaan antara penyuluh dalam
"bimbingan dan penyuluhan" dan penyuluhan dalam arti lain.
Sejak tahun 1980-an, gerakan bimbingan mulai di galakkan dengan
menggunakan istilah konseling. Para pemakai istilah ini sengaja memakainnya
untuk benar-benar menampilkan pelayanan yang sesungguhnya dari usaha yang
dimaksudkan itu. Lebih jauh, pemakaian istilah konseling juga dimaksudkan
untuk menggantikan istilah penyuluhan yang ternyata sudah dipakai secara meluas
untuk pengertian yang bersifat non-konseling.
Digalakkannya penggunaan istilah konseling itu menimbulkan semacam dua
"aliran" dalam gerakan bimbingan di tanah air, yang pertama ingin tetap
mempertahankan istilah bimbingan dan penyuluhan, sedangkan yang lain
berkehendak memakai istilah bimbingan dan konseling. Keinginan yang pertama
bertumpu pada alasan kesejahteraan dan kemurnian istilah yang khas Indonesia,
disamping itu mereka terpaksa menginginkan suatu "status quo"; sedangkan
kehendak yang lain mengacu pada ketetapan makna arti konseling di satu segi,
dan di segi lain mengingat sudah dipakainya secara meluas istilah penyuluhan
untuk kegiatan non-konseling di masyarakat. Alasan lain yang kiranya mendasari
kehendak mereka yang lebih menyukai istilah konseling adalah istilah itu tampak
lebih modern.
Masih dalam rangka ketidaksepakatan dalam penggunaan istilah
"penyuluhan" dan "konseling", ada sejumlah orang yang berusaha mencari jalan
tengah. Dengan mencari istilah baru yang bersifat asli Indonesia. Sayangnya,
istilah baru ini, kalau memang ada, belum ditampilkan secara luas dan
memasyarakat. Jalan tengah yang kedua adalah dengan membagi dua tingkat
pelayanan bimbingan. Untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dipakai istilah
bimbingan dan penyuluhan, dan untuk perguruan tinggi dipakai istilah bimbingan
dan konseling. Jalan tengah yang kedua ini tidak tepat. Pertama, karena pelayanan
bimbingan untuk siswa-siswa sekolah dasar, menengah dan mahasiswa pada
dasarnya tidak berbeda. Pengertian, prinsip, asas dan aspek-aspek
penyelenggaraannya pada dasarnya sama, yang terhadap anak-anak, remaja,
pemuda, dan juga orang dewasa harus disesuaikan dengan keadaan pribadi dan
lingkungan orang yang dilayani itu. Penyesuaian pelayanan ini sudah dengan
sendirinya merupakan salah satu variasi dalam praktek bimbingan, dan konseling
harus melalui variasi kompetensi seorang konselor. Kedua, jika untuk siswa-siswa
sekolah dasar dan sekolah menengah dipakai istilah "penyuluhan" dan untuk
mahasiswa dipakai istilah "konseling", istilah apa yang dipergunakan untuk
masyarakat umum atau mereka yang berada di luar lingkungan sekolah? Untuk ini
tidak ada jawaban yang dapat diberikan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, demi kemantapan profesi yang didambakan
oleh semua, kiranya perlu dipakai satu istilah. Istilah yang dimaksud di sini
adalah Konseling. Kalau ada istilah asli Indonesia yang belum pernah dipakai
untuk pengertian-pengertian non-konseling, sebenarnya akan baik juga. Istilah
baru ini, kalau memang ada, tentulah harus dikaji terlebih dahulu ketepatannya.

C. TUJUAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Dalam berbagai literatur tentang bimbingan dan konseling, para ahli


mengemukakan tentang tujuan bimbingan dan konseling yang beragam, tetapi
pada intinya akan menerucut pada tujuan yang sama yaitu tercapainya
perkembangan para peserta didik/klien secara optimal dan tercapainya
penyesuaian diri.. 

D. ASAS-ASAS BIMBINGAN DAN KONSELING

Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling


selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga
dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas
bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan
layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau
bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan
sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling.
Apabila asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan
bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti
sama sekali.
Asas- asas bimbingan dan konseling tersebut adalah :
1. Asas Kerahasiaan, Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan
keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data
atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
Dalam hal ini, guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan
menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar
terjamin.
2. Asas Kesukarelaan , Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan
peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang
diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban
membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
3. Asas Keterbukaan, Asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang
menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura,
baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam
menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban
mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik
(klien) mau terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap
terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan
asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.
4. Asas Kegiatan, Asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang
menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam
penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu
mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap
layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
5. Asas Kemandirian, Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan
dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang
mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu
mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru
Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan
bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6. Asas Kekinian, Asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan
bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta
didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan
dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan
diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap
sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan
kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru
pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan
terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak
yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan
harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
9. Asas Kenormatifan, Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik
norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan
kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui
segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat
meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami,
menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10. Asas Keahlian, Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah
profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam
bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor)
harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik
bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, Asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang
tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara
tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat
mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing
(konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain,
atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor),
dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik
yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
12. Asas Tut Wuri Handayani, Asas yang menghendaki agar pelayanan
bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana
mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan
memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-
luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.

E. KESALAH PAHAMAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING DI


INDONESIA
Prayitno Guru Besar Konseling dalam bukunya (Dasar-dasar bimbingan
dan konseling) menjelaskan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling
merupakan barang impor yang pengembangannya di Indonesia masih tergolong
baru.
Apalagi untuk penggunaan istilah saja masih belum adanya kesepakatan
semuapihak, ada yang menggunakan istilah  Penyuluhan dan Bimbingan,
Penyuluhan dan konseling (atau pun hanya memakai istilah konseling saja.
Makanya sering terjadinya kesalahpahaman di bidang bimbingan dan konseling
ini. Patterson (dalam shertzer/stone, Fundamental of couseling) menjelaskan ada
beberapa isu tentang pelayangan konseling salah satunya adalah, Profesi
konseling adalah pekerjaan profesi profesional namun menjadi tidak profesional
karena pelaksanaannya. Dikarenakan adanya pelaksanaan dari guru pembimbing
yang salah sehingga profesi konseling tidak menjadi profesional.
Prayitno menjelaskan ada beberapa kesalahpahaman dalam bidang
bimbingan dan konseling yang sampai saat ini terjadi dalam pelaksanaan
konseling tersebut yakni sebagai berikut;

1. Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama


sekali dari pendidikan.
Ada dua pendapat yang berbeda kaitannya dengan pelaksanaan bimbingan
dan konseling.
a. Bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Jadi
dengan sendirinya sudah termasuk ke dalam usaha sekolah yang
menyelenggararakan pendidikan. Sekolah tidak perlu bersusah payah
menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara mantap dan
mandiri. Pendapat ini cenderung mengutamakan pengajaran dan
mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan dan sama sekali tidak
melihat pentingnya bimbingan dan konseling.
b. Bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara
khusus oleh tenaga ahli dengan perlengkapan yang benar-benar
memenuhi syarat. Pelayanan ini harus secara nyata dibedakan dari
praktek pendidikan sehari-hari.
Kedua pendapat tersebut diatas adalah pandangan-pandangan ekstrem
yang perlu dievaluasi. Memang secara umum bimbingan dan konseling di
sekolah termasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan, namun bukan
berarti pengajaran (yang baik) saja akan menjangkau seluruh misi
pendidikan di sekolah. Sekolah juga harus memperhatikan kepentingan
peserta didik untuk bisa membuat mereka berkembang secara optimal.
Maka dalam hal ini, peran bimbingan dan konseling adalah menunjang
seluruh usaha sekolah demi keberhasilan peserta didik.
2. Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai
polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin,
dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan ”barangsiapa diantara
siswa-siswa melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan
dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas
mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari
siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi
siswa-siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti
atau berusaha agar siswa mengakua bahwa ia telah berbuat sesuatu yang
tidak pada tempatnya atau kurang ajar, atau merugikan.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau
datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada
konselor berarti menunjukkan aib, ia telah berbuat salah, atau predikat-
predikat negative lainnya. Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan yang
merugikan itu, di sekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan
siswa. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring petunjuk
jalan, pembangun kekuatan, dan Pembina tingkah laku positif yang
dikehendaki. 
3. Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian
nasehat
Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien
dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping
memerlukan pemberian nasehat, pada umumnya klien sesuai dengan
problem yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pembrian
informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar,
pengalih tangan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan
kepada orang tua siswa dan masayarakat, dan sebagainya.
Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta
mensinkronisasikan upaya yang satiu dan upaya lainnya sehingga
keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan
bersinambungan.
4. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang
bersifat incidental
Pada hakikatnya pelayan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih
luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping itu
konselor seyogyanya tidak hanya menunggu klien datang dan
mengungkapkan masalahnya. Maka petugas bimbingan dan konseling harus
terus memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling,
serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah ditanggulangi,
diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan
segenap individu.
5. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-kliean tertentu saja.
Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolonan siswa-siswa atas dasar
mana golongan siswa tertentu dalam memperoleh palayanan yang lebih dari
golongan yang lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang
sama untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan konseling, kapan,
bagaimana, dan di mana pelayanan itu diberikan. Pertimbangannya semata-
mata didasarkan atas sifat dan jenis masalah yang dihadapi serta ciri-ciri
keseorangan siswa yang bersangkutan. Petugas bimbingan dan konseling
membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin
mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling. 
6. Bimbingan dan konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”
Ada asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani orang-orang normal
yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang ada
pada diri seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, dia akan dapat
menjalin kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini pasti
menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang
sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tetap
sehingga memerlukan bantuan konselor demi lebih lancar dan lebih
terarahnya kegiatan fungsi-fungsi tersebut.
Jika seseorang ternyata mengalami keabnormalan tertentu, apalagi kalau
sudah bersifat sakit jiwa, maka orang tersebut sudah seyogianya menjadi
klien psikeater. Masalahnya ialah masih banyak konselor yang terlalu cepat
menggolongkan atau setidak-tidaknya menyangka seseorang mengalami
keabnormalan mental atau ketidaknormalan jiwa, sehingga terlalu cepat pula
menghentikan pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling dan
menyarankan klien agar pergi saja ke psikeater. Hal ini tentu saja tidak pada
tempatnya atau bahkan berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi
oleh konselor dikirim ke dokter atau psikeater, pertama-tama akan
menganggap bahwa konselor tersebut sebenarnya ahli; keahlianya adalah
semua atau setidak-tidaknya diragukan. Sebagai akibatnya, klien tidak lagi
mempercayainya. Konselor-konselor yang demikian itu akan memudarkan
citra profesi bimbingan dan konseling. Kedua, klien berkemungkinan akan
mempersepsi masalah yang dialaminya secara salah. Atau mungkin akan
memprotes pengiriman yang salah alamat itu dan memeberikan reaksi-reaksi
lain yang justru memperberat masalah yang dialaminya.
7. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi,
melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan unsur-unsur budaya,
social dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling
tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerjasama dengan orang-orang
yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi
oleh klien.
Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri
sendiri. Masalah itu seringkali terkait dengan orangtua siswa, guru dan pihak-
pihak lain; terkait pila dengan berbagai unsure lingkungan rumah, sekolah
dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dilakukan
sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini peranan guru, orang tua danpihak-
pihak llain sering kali sangat menentukan. Konselor harus pandai menjalin
hubungan kerjasama yang saling mengerti dan saling menunjang demi
terbantunya siswa yang mengalami masalah. 
8. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Sesuai asas kegiatan, disamping kinselor bertindak sebagai pusat
penggerak bimbingan dan konseling, pihak lainpun, terutama klien, harus
secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak
lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri.
Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan. Pada dasarnya
pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban
kegiatannya tidak semata-mata ditimpakannpada konselor saja. Jika kegiatan
yang pada dasarnya bersifat usaha itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja,
dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat,
atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
9. Bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan
melihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien.
Namun demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan
dikembangkan, seringkali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih
jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan
itu. Bahkan kadang– kadang masalah yang sebenarnya, sama sekali lain
daripada yang tampak atau dikemukakan itu. Usaha pelayanan seharusnya
dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh terpukau
oleh keluahan atau masalah yang pertama disampaikan oleh kien. Konselor
harus mampu menyelami sedala-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.
10. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakuka oleh siapa
saja.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja, jika
dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran
saja. Tapi jika pekerjaan bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prisip keilmuan (mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas
tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara professional, maka pekerjaan
ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Salah satu ciri profesionalnya adalah pelayanan itu dilakukan oleh orang-
orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu
diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup.
11. Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter
atau psikiater
Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara pekerjaan
bimbingan dan konseling dengan pkerjaan dokter atau pskiater, yaitu sama-
sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang
dialaminya. Di samping itu, baik konselor maupun dokter atau psikiater,
memakai teknik-teknik yang sudah teruji pada bidang pelayananya masing-
masing untuk mengungkapkan masalah klin/pasien, untuk melakukan
pragnosis dan diagnosis, dan akhirnya menetapkan cara-cara pengentasan
masalah atau penyembuhannya. Namun demikian, pekerjaan bimbingan dan
konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Baik
dokter atau psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja
dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah.
Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah dengan
memakai obat dan resep serta teknik pengobatan dokter atau psikiater lainnya,
sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah
melalui jalan pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis,
penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan,
serta teknik-teknik bimbingan dan konseling lainnya, sedangkan bimbingan
dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah melalui pengubahan
orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, penguatan tingkah laku,
pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta upaya-upaya
perbaikan, serta tehnik-tehnik bimbingan dan konseling lainnya.
12. Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat 
Usaha-usaha bimbingan dan konseling bukanlah hal yang instant, tapi
menyangkut aspek-aspek psikologi/mental dan tingkah laku yang kompleks.
Maka proses ini tidak bisa didesak-desakkan agar cepat matang dan selesai.
Pendekatan ingin mencapai hasil segera justeru dapat melemahkan proses itu
sendiri. Ini bukan berarti bahwa usaha bimbingan dan konseling boleh santai-
santai saja menghadapi masalah klien, karena proses bimbingan dan
konseling adalah hal yang serius dan penuh dinamika, maka harus wajar dan
penuh tanggung jawab. Petugas bimbingan dan konseling harus berusaha
sebaik dan seoptimal mungkin dalam menghadapi masalah klien.
13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Segala cara yang dipakai untuk mengatasi masalah harus disesuaikan
dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak semua
masalah bisa diselesaikan dengan cara yang sama, bahkan masalah yang sama
sekalipun. Pada dasarnya, pemakaian suatu cara tergantung pada pribadi
klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas
bimbingan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha bimbibingan dan konseling hanya pada penggunaan
instrumentasi dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat
pengungkap lainnya)
Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan
dapat dikembangkan pada diri konselor adalah ketrampilan pribadi.  Dengan
kata lain koselor tidak seharusnya terganggu dengan ada atau tiadanya
instrument-instrumen pembantu (tes, inventori, angket, dan sebagainya).
Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa
yang dimiliki secar optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-
sarana penunjang yang diperlukan.
15. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah
yang ringan saja
Berat atau ringannya sebuah masalah bukanlah hal yang mudah untuk
ditetapkan. Oleh karena itu, memberikan sifat ringan atau berat pada masalah
yang dihadapi klien tidaklah perlu, karena hal itu tidak akan membantu
meringankan usaha pemecahan masalah. Yang terpenting adalah bagaimana
menanganinya dengan cermat dan tuntas.
Apabila seluruh kemampuan konselor tidak bisa mengatasi masalah klien,
maka diperlukan pengalihtanganan. Pengalihtanganan tidak harus sekaligus
kepada psikiater atau ahli-ahli lain diluar bidang bimbingan dan konseling.
Alih tangan pada tahap pertama hendaknya dilakukan kepada sesama
konselor sendiri yang memiliki keahlian yang lebih tinggi. Dan bila ternyata
ditemukan gejala-gejala kelainan kejiwaan misalnya, maka ahli tangan
sebaiknya diserahkan kepada psikiater.

Timbul pertanyaan kita bersama, mengapa kesalahpahaman ini terjadi? Ada


beberapa penyebabnya yakni;
1. Kesalahpahaman-kesalahpahaman diatas diakibatkan karena bidang BK
masih tergolong baru dan merupakan produk impor sehingga menyebabkan
para pelaksanaannya dilapangan belum terlalu mengetahui BK secara
menyeluruh (Prayitno: Dasar-dasar bimbingan dan konseling, 2004)

2. Penyebabnya dari konselor itu sendiri. Banyak yang bukan dari tamatan BK
itu sendiri yang menjadi pelaksanan BK, sehingga tidak efesiennya
pelaksanaan BK dilapangan, dan juga pelaksanaan yang belum efesin dari
guru BK itu sendiri, tidak jelasnya program yang akan dijalankan, baik
program harian, mingguan, bulanan maupun semesteran, walaupun dia dari
tamatan BK itu sendiri.

3. Masih belum disepakatinya penggunaan istilah Bimbingan dan Konseling itu


sendiri, di Indonesia masih ada yang menggunakan istilah pelayanan
BP, BK, dan konseling, dan ini juga mempengaruhi persepsi masyarakat
tentang pelayanan yang dilakukan oleh petugas BK dilapangan.

Padahal Istilah “konseling” sebagai pengganti “bimbingan dan konseling”


semakin menguat sejak digunakan istilah Konselor dalam UU No. 20/2003
tentang SPN, secara resmi istilah konseling telah digunakan dalam permendiknas
no.22/2006 tentang Standarisasi Untuk Satuan Dasar Dan Menengah, Rumusan
tentang Istilah “Bimbingan dan Konseling” dan istilah Konseling dapat dilihat
sebagai berikut dalam SK Mendiknas no. 25/1995; “Bimbingan dan Konseling
adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun
kelompok, agar mempu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang
pribadi, sosial, belajar dan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku” Sedangkan Dalam
Permendiknas No.22/2006: “Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta
didik, baik baik secara perorangan maupun kelompok, agar mempu mandiri dan
berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi,
kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai
jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku”.
Walaupun pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru untuk memperkuat
status BK di indonesia tentang istilah dan pelaksanaan BK, akan tetapi tetap saja
belum semaksimal mungkin pelaksanaan BK dengan semestinya, ini sangat
memprihatinkan sekali, padahal Guru BK bermanfaat sekali bagi perkembangan
anak disekolah untuk menjadi lebih bagi.

Anda mungkin juga menyukai