Anda di halaman 1dari 9

MEDICAL COMPROMISED

A. DEFINISI MEDCOM
Pasien kompromis medis adalah pasien dengan penyakit sistemik yang harus

dikompromikan terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan medis yang menyebabkan

keterbatasan melakukan aktivitas normal sehari-hari (Harris dan Garcia-Godoy, 2004;

Lockhart, 2013). Oleh karena itu, setiap pasien kompromis medis sebaiknya memiliki

evaluasi riwayat medis dan gigi sejak kunjungan pertama perawatan untuk membantu

kontrol status kesehatan pasien (Lockhart, 2013).

National Center for Health Statistics melaporkan bahwa 15% dari populasi orang

dewasa berusia ≥ 65 tahun mengalami penyakit sistemik yang kronis. Penyakit paling

umum yang dilaporkan adalah penyakit jantung, DM, dan hipertensi (Bhateja, 2012).

Kondisi kompromis medis dikategorikan ke dalam 8 kelompok yaitu: (1) gangguan

kardiovaskuler, (2) gangguan perdarahan, (3) gangguan pernafasan, (4) gangguan

endokrin, (5) gangguan sistem imun, (6) gangguan neurologi, (7) gangguan pencernaan,

dan (8) gangguan ginjal. Umumnya, gangguan kardiovaskuler yang sering terjadi adalah

penyakit jantung dan gangguan endokrin yang sering terjadi adalah diabetes (Broderick,

2009).

B. MACAM MEDCOM
1. Penyakit Kardiovaskuler
Jantung adalah organ tubuh yang sangat baik bertindak sebagai pompa ganda

yaitu menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru, mengalirkannya ke seluruh

organ-organ tubuh, menerima kembali dari organ-organ tubuh, dan membawanya lagi

ke paru-paru, hal ini merupakan sistem tertutup. Jantung pada orang dewasa sehat

berisi 5 liter darah (Broderick, 2009). Tinggi rendahnya tekanan darah dapat memberi

petunjuk baik tidaknya kerja jantung serta besar kecilnya tahanan pembuluh darah dan

aliran darah di jaringan sehingga peningkatan volume darah atau denyut jantung akan

memiliki pengaruh yang kuat terhadap tekanan darah (WHO, 2011).


Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit yang banyak

diderita oleh jutaan orang dan menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara

termasuk Indonesia. Sampai saat ini penyebab pasti PJK belum diketahui, namun ada

beberapa faktor risiko yang diduga sangat berpengaruh terhadap timbulnya PJK ini

(Joewono, 2003; Fauci et al., 2008).

Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya PJK yaitu: (1) faktor perilaku, seperti

kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik, dan diet tidak sehat; (2) faktor

metabolik, seperti kadar lemak berlebihan (kolesterol), tekanan darah meningkat

(hipertensi), kadar gula darah (KGD) meningkat (diabetes), dan berat badan

berlebihan (obesitas) (Fauci et al., 2008; WHO, 2011); serta (3) faktor lain, seperti

status pendidikan dan ekonomi rendah, usia lanjut, jenis kelamin, dan faktor

psikologis (stres dan depresi) (WHO, 2011). Faktor risiko yang paling sering dijumpai

pada PJK adalah hipertensi. Hipertensi merupakan suatu keadaan ketika tekanan darah

di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal ini dapat terjadi karena jantung

bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi

tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ lain, terutama

organ vital seperti jantung. Kriteria hipertensi merujuk pada kriteria diagnosis Joint

National Committee (JNC) VII tahun 2003 yaitu hasil pengukuran tekanan darah

sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (cit. Kemenkes, 2013).

Klasifikasi derajat tekanan darah oleh JNC VII (Department Health Human Services
USA, 2003).
No Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah
Darah (mmHg) Diastolik (mmHg)
1 Normal < 120 < 80
2 Prehipertensi 120-139 80-89
3 Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
4 Hipertensi Stage 2 ≥ 160
≥ 100

Hipertensi jarang menunjukkan gejala, dan pengenalannya biasanya melalui

skrining, atau saat mencari penanganan medis untuk masalah kesehatan yang tidak

berkaitan. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit kepala
(terutama di bagian kepala belakang dan pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus

(dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan.

Pada pemeriksaan fisik, hipertensi juga dicurigai ketika terdeteksi adanya

retinopati hipertensi pada pemeriksaan fundus optik di belakang mata dengan

menggunakan oftalmoskop. Biasanya beratnya perubahan retinopati hipertensi dibagi

atas tingkat I-IV, walaupun jenis yang lebih ringan mungkin sulit dibedakan antara

satu dan lainnya. Hasil oftalmoskopi juga dapat memberi petunjuk berapa lama

seseorang telah mengalami hipertensi. Penderita hipertensi juga mengonsumsi jenis

obat yang berbeda-beda.

Adapun obat-obatan yang dikonsumsi adalah sebagai berikut:


Obat Mekanisme Kerja
Clonidine Central α2 agonis
Diazoxide Smooth muscle relaxant
Enalaprilat Angiotensin converting enzyme inhibitor
Esmolol β-1 selective blocker
Fenoldopam Dopamine agonist
Labetalol α & β blocker
Nicardipine Ca channel blocker
Nitroprusside Arterial/venous dilatation
Phentolamine α-blocker
Trimetaphan Camsylate Nondepolarizing ganglionic block

Sebelum melakukan tindakan invasif, perlu bagi dokter gigi untuk mengukur

tekanan darah pasien untuk mengidentifikasi apakah pasien menderita hipertensi atau

tidak. Pasien dengan tekanan darah normal (< 120 sistolik dan < 80 diastol) dan pasien

pra-hipertensi (120-139/80-89 mmHg) dapat menerima semua tindakan perawatan

dental serta dapat diberikan anastesi lokal dengan kandungan epinefrin 1:80.000 atau

setara dengan 0,0125 mg/cc.

Pasien dengan hipertensi derajat 1 serta 2, perlu menjadi pertimbangan bagi

dokter gigi. Tekanan darah mereka akan semakin meningkat apabila tingkat kecemasan

mereka terhadap perawatan yang akan dilakukan meningkat. Dokter gigi bisa menunda

perawatan sampai tekanan darah nya normal. Untuk pasien yang memiliki tekanan

darah >180/110, tidak ada perawatan invasif yang bisa dilakukan sampai tekanan

darahnya normal. Walaupun ada perawatan emergensi, konsultasikan kepada dokter


terlebih dahulu untuk mengontrol tekanan darah pasien tersebut. Pasien dengan

hipertensi stage 1 dan stage 2 dapat diberikan anastesi local dengan pehacain yang

diatur dosisnya. Untuk dosis maksimal adalah 0,04mg/kunjungan Perlu untuk

memberikan antibiotik profilaksis sebelum melakukan perawatan untuk mencegah

terjadinya bakterimia.

2. Gangguan Endokrin
Salah satu penyakit gangguan endokrin adalah diabetes melitus. Diabetes melitus

adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat

gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,

saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan

dengan mikroskop elektron.

Etiologi Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Melitus

Tergantung Insulin disebabkan oleh destruksi sel β Langerhans akibat proses

autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau

Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin disebabkan kegagalan relatif sel β dan

resistensi insulin.

Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa

oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,

artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan

glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas

mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

Diagnosis diabetes melitus awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa

polifagia, poliuria, polidipsia, proritus (gatal), dan parastesi. Pada pemeriksaan klinis

rongga mulut didapatkan Oral Hygiene yang baik/sedang tetapi terdapat kegoyangan

gigi, halitosis (bau mulut berupa bau khas aseton) dan xerostomia.
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa diabetes melitus dapat dilakukan

dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian

dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Keluhan dan gejala

yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau

glukosa darah puasa > 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa diabetes

melitus. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO

diperlukan untuk memastikan diagnosa diabetes melitus. Kadar plasma 2 jam setelah

TTGO > 200 mg/dl sudah termasuk kategori diabetes.

Klasifikasi diabetes melitus menurut WHO (1985) adalah:

1. Diabetes mellitus tipe 1 insulin, Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM)

yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset diabetes (JOD), tergantung

pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan

mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat

disebabkan karena keturunan.

2. Diabetes mellitus tipe 2, Diabetes tipe 2 adalah dimana hormon insulin dalam

tubuh tidak dapat berfungsi dengan semestinya, dikenal dengan istilah Non-

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini dikarenakan berbagai

kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin, resistensi terhadap

insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap

insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.

3. Diabetes mellitus tipe lain, biasanya diabetes tipe ini

dikarenakan beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, dia

betes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan

lain-lain. Obat-obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia antara lain

Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik.

4. Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama

kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan

kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionic


somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam

amino dan glukosa ke fetus.

Pasien yang memiliki gangguan endokrin akan mengalami waktu penyembuhan

luka yang lama apabila menerima tindakan invasif oleh dokter gigi. Pasien harus

melakukan diet diabetes agar kondisi gula normal saat dilakukan pencabutan,

setidaknya turun agar penyembuhan lebih cepat. Selain itu, pasien tersebut juga harus

meminum obat anti diabetes yang ia konsumsi. Dan dianjurkan untuk melakukan

perawatan di pagi hari karena biasanya saat itu pasien sudah melaksanakan anjuran

dokter dan diabetesnya terkontrol. Dokter gigi harus hati-hati terhadap masalah

periodontal, candidiasis, xerostomia, respon yang buruk terhadap perawatan,

penyembuhan luka yang cukup lama, serta apabila ada infeksi dental bisa diberikan

antibiotik profilaksis. Penyembuhan luka yang lama diakibatkan tingginya kadar gula

pada daerah luka sehingga terjadi gangguan aliran darah ke tempat terjadinya luka.

3. Penyakit Ginjal

Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga

dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami

komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan

penyakit pembuluh darah perifer.

Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome

Quality Initiative (K/DOQI) telah menyusun pedoman praktis penatalaksanaan klinik

tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal

kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan

kelainan patologis atau pertanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada

tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju

filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m.

Laju filtrasi glomerulus dan stadium penyakit ginjal kronik.

Stadium Fungsi Ginjal Laju filtrasi glomerulus


(ml/menit/1,73 m
Risiko Meningkat Normal >90 (ada faktor risiko)
Stadium 1 Normal/meningkat >90 (ada kerusakan ginjal)
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurunan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal ginjal < 15

Gagal ginjal terbagi atas 2, yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis.

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba yang biasanya, tapi

tidak seluruhnya, dan bersifat reversibel. Gejalanya berupa frekuensi urin berkurang,

tubuh mudah lelah, nyeri di dada dan sendi, mual dan muntah, sakit perut dan

punggung yang muncul dalam hitungan hari atau minggu. Etiologi gagal ginjal akut

dikelompokkan atas 3, yaitu:

1. Praginjal atau sirkulasi. Terjadi akibat kurangnya perfusi ginjal dan

perbaikan dapat terjadi dengan cepat setelah kelainan tersebut diperbaiki,

misalnya hipovolemia atau hipotensi, penurunan curah jantung, dan

peningkatan viskositas darah.

2. Pasca ginjal atau obstruksi. Terjadi akibat obstruksi aliran urin, misalnya

obstruksi pada kandung kemih, uretra, ureter, dan sebagainya.

3. Ginjal atau intrinsik atau parenkimal. Akibat penyakit pada ginjal atau

pembuluhnya.

Sedangkan gagal ginjal kronis adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat

persisten dan irreversibel. Etiologinya adalah glomerulonefritis, nefropati analgesik,

nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, dan bisa juga disebabkan oleh

hipertensi, obstruksi, asam urat, dan ada beberapa hal etiologi yang tidak bisa

didefinisikan. Gejalanya berupa urin berwarna gelap atau keruh, urin berbusa, rasa

nyeri saat buang air kecil, nyeri di pinggang atau perut dan peningkatan atau

penurunan produksi urin secara signifikan.

Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi

khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi

karena efek samping dan karakteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan

agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita. Perawatan yang
diindikasikan untuk pasien yang menderita penyakit ginjal adalah perawatan non

bedah.

Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan antibiotik profilaksis harus

dipertimbangkan apabila risiko bakterial endokarditis (pada penderita yang menjalani

hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, saat pencabutan gigi dan tindakan

bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari

setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal.

Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus diperhatikan dan

disarankan untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan sedasi.

Daftar Pustaka

Harris, N.O. dan Garcia-Godoy, F. 2004. Primary Preventive Dentistry. New


Jersey: Pearson Education, Inc.
Lockhart PB. 2013. Oral medicine and medically complex patients. 6th ed.
Oxford: John Wiley & Sons Inc: 1-2.
Broderick D. 2009. Medically compromised patients: part 1. Dent Nurs; 5 (1): 19-
25.
Bhateja S. 2012. High prevalence of cardiovascular diseases among other
medically compromised conditions in dental patients: a retrospective
study. J Cardio Dis Res; 3: 113-6.
Fauci et al. 2008. Severe Sepsis and Septic Shock. Harison’s: Principles of
Internal Medicine 17th Ed. USA: The McGraw Hill Companies. Ebook
version.
Joewono, B. S. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University
Press.
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure. 2003. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention,Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC-VII). NIH publication 03-5233: Bethesda.
National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Clasification and Stratification.
39:S1-S266. Available from: www.kidney.org.

Anda mungkin juga menyukai